Kasihilah Musuhmu:Lukas 6:27-36

Pdt. Budi Asali, M.Div.
Kasihilah Musuhmu:Lukas 6:27-36Kasihilah Musuhmu:Lukas 6:27-36. Lukas 6:27-36 - “(27) ‘Tetapi kepada kamu, yang mendengarkan Aku, Aku berkata: Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu; (28) mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang yang mencaci kamu. (29) Barangsiapa menampar pipimu yang satu, berikanlah juga kepadanya pipimu yang lain, dan barangsiapa yang mengambil jubahmu, biarkan juga ia mengambil bajumu. (30) Berilah kepada setiap orang yang meminta kepadamu; dan janganlah meminta kembali kepada orang yang mengambil kepunyaanmu. (31) Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka. (32) Dan jikalau kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu? Karena orang-orang berdosapun mengasihi juga orang-orang yang mengasihi mereka. (33) Sebab jikalau kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kamu, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun berbuat demikian. (34) Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu dari padanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun meminjamkan kepada orang-orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak. (35) Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Allah Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat. (36) Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati.’”.

I) Kasihilah musuhmu (Lukas 6:27,35).

Lukas 6:27,35: “(27) ‘Tetapi kepadakamu, yang mendengarkan Aku, Aku berkata: Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu; ... (35) Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Allah Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat.”.

1) Dengan memberikan perintah ini Yesus bukannya menentang Perjanjian Lama tetapi menentang penafsiran para ahli Taurat tentang Perjanjian Lama.

Kalau kita melihat bagian paralel dari Lukas 6:27 ini, yaitu Matius 5:43-44, maka kelihatannya Yesus menentang Perjanjian Lama. Matius 5:43-44 - “(43) Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. (44) Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu”.

Penggunaan kata ‘firman’, yang selalu menunjuk pada kata-kata Allah, menunjukkan bahwa seolah-olah Yesus menentang Perjanjian Lama. Karena itu perlu diketahui bahwa kata ‘firman’ dalam Matius 5:43 adalah terjemahan yang salah (demikian juga dengan kata ‘firman’ dalam Matius 5:21,27,31,33,38). Bandingkan dengan terjemahan NIV di bawah ini.

NIV: “You have heard that it was said, ‘Love your neighbor and hate your enemy’” (=Kamu telah mendengar bahwa dikatakan: ‘Kasihilah sesamamu dan bencilah musuhmu’).

Di sini diterjemahkan ‘dikatakan’, dan karenanya tidak harus menunjuk pada kata-kata Allah dalam Perjanjian Lama, tetapi bisa menunjuk pada kata-kata / penafsiran para ahli Taurat.

Memang dalam Perjanjian Lama tidak ada firman yang menyuruh mengasihi sesama dan membenci musuh. Itu merupakan pengajaran / penafsiran ahli-ahli Taurat. Jadi Yesus bukannya menentang Perjanjian Lama tetapi menentang penafsiran / pengajaran para ahli Taurat tentang Perjanjian Lama.

2) Apakah perintah ini menunjukkan kesalahan kekristenan, atau sebaliknya justru menunjukkan benarnya kekristenan?

Perintah untuk mengasihi musuh ini sering menyebabkan kekristenan diserang oleh orang-orang beragama lain, karena dianggap tidak masuk akal, dsb. Tetapi tentang ‘kasihilah musuhmu’ ini Adam Clarke justru berkata: “This is the most sublime precept ever delivered to man: a false religion durst not give a precept of this nature, because, without supernatural influence, it must befor ever impracticable” (= Ini adalah perintah yang paling mulia / luhur yang pernah diberikan kepada manusia: agama yang salah / palsu tidak berani memberikan perintah seperti ini, karena, tanpa pengaruh supranatural, itu pasti tidak akan bisa dipraktekkan untuk selama-lamanya) - hal 408.

II) Perwujudan kasih terhadap musuh.

Kasih kepada musuh ini bukan hanya berupa kasih didalam hati kita, tetapi harus ada wujud lahiriahnya, yaitu:

1) Berbuat baik kepada mereka (Lukas 6:27b).

Lukas 6:27: “‘Tetapi kepada kamu, yang mendengarkan Aku, Aku berkata: Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu;”.

Ingat bahwa Yesus bukannya berkata: ‘Jangan membenci musuhmu’, tetapi ‘kasihilah musuhmu’. Sejalan dengan itu, Yesus bukannya berkata: ‘janganlah berbuat jahat kepada mereka’; tetapi Ia berkata ‘berbuatlah baik kepada mereka’. Karena itu tidak cukup kalau kita sekedar tidak berbuat jahat terhadap musuh kita; kita harus berbuat baik kepadanya!

Yesus sendiri bukan hanya mengajarkan ajaran ini, tetapi Ia sendiri mempraktekkan perintah untuk mengasihi musuh dan berbuat baik baginya, khususnya pada waktu Ia mau menjadi manusia dan menderita dan mati disalib untuk dosa kita, yang adalah musuhNya.

Leon Morris (Tyndale): “It is not enough to refrain from hostile acts. He is to do good to those who hate him” (= Tidak cukup untuk menahan diri dari tindakan-tindakan bermusuhan. Ia harus berbuat baik kepada mereka yang membencinya) - hal 129.

William Barclay:“... the word used here is AGAPAN. ... AGAPAN describes an active feeling of benevolence towards the other person; it means that no matter what that person does to us we will never allow ourselves to desire anything but his highest good; and we will deliberately and of set purpose go out of our way to be good and kind to him. ... We cannot love our enemies as we love our nearest and dearest. ... But we can see to it that, no matter what a man does to us, even if he insults, ill-treats and injures us, we will seek nothing but his highest good” (= ... kata yang digunakan di sini adalah AGAPAN. ... AGAPAN menggambarkan perasaan baik yang aktif terhadap orang lain; itu berarti bahwa tak peduli apa yang dilakukan oleh orang itu terhadap kita, kita tidak pernah mengijinkan diri kita untuk menginginkan apapun kecuali kebaikan yang tertinggi bagi dia; dan kita, secara sengaja dan dengan tujuan / maksud yang tetap, akan berbuat baik kepadanya. ... Kita tidak bisa mengasihi musuh kita seperti kita mengasihi orang yang terdekat dan terkasih. ... Tetapi kita dapat mengusahakan bahwa tak peduli apa yang seseorang lakukan terhadap kita, bahkan jika ia menghina, menyakiti dan melukai kita, kita tidak akan mengusahakan apapun kecuali kebaikan yang tertinggi baginya) - hal 78.

Adam Clarke:“The retaliation of those who hearken not to their own passion, but to Christ, consists in doing more good than they receive evil” (= Pembalasan dari mereka yang tidak mendengarkan pada nafsu / perasaan mereka sendiri, tetapi kepada Kristus, terdiri dari melakukan lebih banyak kebaikan dari pada kejahatan yang mereka terima) - hal 408.

2) Mendoakan mereka / memintakan berkat untuk mereka (Lukas 6:28).

Lukas 6: 28: “mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang yang mencaci kamu.”.

a) Pada waktu mendoakan musuh ini, perlu dicamkan bahwa kita harus berdoa demi dia, bukan demi diri kita sendiri. Kalau kita mempunyai teman sekerja / sekolah yang menjengkelkan, kita mungkin akan berdoa supaya dia bertobat. Tetapi kita bisa melakukan ini demi diri kita sendiri, yaitu dengan pemikiran: ‘Kalau dia bertobat, dia tidak lagi akan menjengkelkan saya’. Ini doa yang dilandasi oleh egoisme, bukan oleh kasih. Tentu bukan doa seperti ini yang Yesus Kristus maksudkan. Kita harus berdoa betul-betul demi musuh itu!

b) Ini juga dipraktekkan oleh Yesus sendiri di kayu salib (Lukas 23:34), oleh Stefanus pada waktu dirajam (Kisah Para Rasul 7:60), dan oleh Paulus (1Korintus 4:12-13).

Lukas 23:34 - “Yesus berkata: ‘Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.’ Dan mereka membuang undi untuk membagi pakaianNya.”.

Kis 7:60 - “Sambil berlutut ia berseru dengan suara nyaring: ‘Tuhan, janganlah tanggungkan dosa ini kepada mereka!’ Dan dengan perkataan itu meninggallah ia.”.

1Korintus 4:12-13 - “(12) kami melakukan pekerjaan tangan yang berat. Kalau kami dimaki, kami memberkati; kalau kami dianiaya, kami sabar; (13) kalau kami difitnah, kami tetap menjawab dengan ramah; kami telah menjadi sama dengan sampah dunia, sama dengan kotoran dari segala sesuatu, sampai pada saat ini.”.

3) Tidak membalas kejahatan yang mereka lakukan terhadap kita (Lukas 6:29-30).

Lukas 6:29-30: “(29) Barangsiapa menampar pipimu yang satu, berikanlah juga kepadanya pipimu yang lain, dan barangsiapa yang mengambil jubahmu, biarkan juga ia mengambil bajumu. (30) Berilah kepada setiap orang yang meminta kepadamu; dan janganlah meminta kembali kepada orang yang mengambil kepunyaanmu.”.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan tentang Lukas 6:29-30 ini:

a) Dalam bagian paralelnya dalam Matius 5:38-39 bagian ini didahului dengan ‘mata ganti mata dan gigi ganti gigi’.

Matius 5:38-39 - “(38) Kamu telah mendengar firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. (39) Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipikirimu.”.

Dalam Hukum Turat memang ada hukum ini yaitu dalam Imamat 24:20 Kel 21:23-25 Ulangan 19:21, tetapi semua ini diberikan untuk diterapkan dalam pengadilan (baca ketiga ayat ini dan perhatikan kontextnya).

Imamat 24:20 - “patah ganti patah, mata ganti mata, gigi ganti gigi; seperti dibuatnya orang lain bercacat, begitulah harus dibuat kepadanya.”.

Keluaran 21:23-25 - “(23) Tetapi jika perempuan itu mendapat kecelakaan yang membawa maut, maka engkau harus memberikan nyawa ganti nyawa, (24) mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki, (25) lecur ganti lecur, luka ganti luka, bengkak ganti bengkak.”.

Ulangan 19:21 - “Janganlah engkau merasa sayang kepadanya, sebab berlaku: nyawa ganti nyawa, mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki.’”.

Saya beri satu contoh saja yang paling menyolok, bahwa itu memang harus diterapkan dalam pengadilan.

Ulangan 19:15-21 - “(15) ‘Satu orang saksi saja tidak dapat menggugat seseorang mengenai perkara kesalahan apapun atau dosa apapun yang mungkin dilakukannya; baru atas keterangan dua atau tiga orang saksi perkara itu tidak disangsikan. (16)Apabila seorang saksi jahat menggugat seseorang untuk menuduh dia mengenai suatu pelanggaran, (17) maka kedua orang yang mempunyai perkara itu haruslah berdiri di hadapan TUHAN, di hadapan imam-imam dan hakim-hakim yang ada pada waktu itu. (18) Maka hakim-hakim itu harus memeriksanya baik-baik, dan apabila ternyata, bahwa saksi itu seorang saksi dusta dan bahwa ia telah memberi tuduhan dusta terhadap saudaranya, (19) maka kamu harus memperlakukannya sebagaimana ia bermaksud memperlakukan saudaranya. Demikianlah harus kau hapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu. (20) Maka orang-orang lain akan mendengar dan menjadi takut, sehingga mereka tidak akan melakukan lagi perbuatan jahat seperti itu di tengah-tengahmu. (21) Janganlah engkau merasa sayang kepadanya, sebab berlaku: nyawa ganti nyawa, mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki.’”.

Catatan: yang kita persoalkan adalah kata-kata yang saya cetak dengan huruf besar, sedangkan kata-kata yang saya garis-bawahi menunjukkan bahwa kontextnya adalah kontext pengadilan, dan karena itu bagian itu harus diterapkan dalam pengadilan.

Karena itu artinya adalah: pengadilan harus memberikan hukuman yang setimpal dengan kesalahan orang yang diadili. Tujuan dari hukum ini justru adalah supaya tidak terjadi balas dendam pribadi. Tetapi para ahli Taurat menafsirkannya sebagai hukum pribadi (boleh membalas dendam secara pribadi). Inilah yang dikoreksi oleh Yesus.

Barnes’ Notes:“In these places it was given as a rule to regulate the decisions of judges. ... But, instead of confining it to magistrates, the Jews had extended it to private conduct, and made it the rule by which to take revenge” [= Di tempat-tempat ini (maksudnya Kel 21:23-25 Im 24:20 Ul 19:21) itu diberikan sebagai peraturan untuk mengatur keputusan dari hakim. ... Tetapi orang-orang Yahudi bukannya membatasi hal itu bagi hakim, melainkan memperluasnya untuk tingkah laku pribadi, dan membuatnya sebagai peraturan untuk membalas dendam] - hal 26.

Calvin: “Here another error is corrected. God had enjoined, by his law, (Lev. 24:20,) that judges and magistrates should punish those who had done injuries, by making them endure asmuch as they had inflicted. The consequence was, that every one seized on this as a pretext for taking private revenge. They thought that they did no wrong, provided they were not the first to make the attack, but only, when injured, returned like for like. Christ informs them, on the contrary, that, though judges were entrusted with the defence on the community, and were invested with authority to restrain the wicked and repress their violence, yet it is the duty of every man to bear patiently the injuries which he receives” [= Di sini kesalahan yang lain dikoreksi. Allah telah memerintahkan melalui hukumNya (Im 24:20), bahwa hakim harus menghukum mereka yang telah melukai, dengan membuat mereka merasakan sama banyaknya dengan apa yang mereka timbulkan. Akibatnya adalah, bahwa setiap orang menggunakan ini sebagai alasan / dasar untuk melakukan pembalasan dendam pribadi. Mereka mengira bahwa mereka tidak melakukan hal yang salah, asalkan mereka tidak menyerang lebih dulu, tetapi hanya membalas secara sama pada waktu mereka dilukai / disakiti. Sebaliknya Kristus memberi tahu mereka bahwa sekalipun hakim dipercaya untuk membela masyarakat, dan diberi otoritas untuk mengekang orang jahat dan menekan kekerasan / kekejaman mereka, tetapi merupakan kewajiban dari setiap orang untuk menanggung dengan sabar tindakan menyakitkan yang ia terima] - hal 297.

D. Martyn Lloyd-Jones: “the most important thing is that this enactment was not given to the individual, but rather to the judges who were responsible for law and order amongst the individuals” (= hal yang terpenting adalah bahwa undang-undang ini tidak diberikan kepada individu, tetapi kepada hakim-hakim yang bertanggung jawab untuk hukum dan tata tertib diantara individu-individu) - ‘Studies in the Sermon of the Mount’, hal 272.

b) Dalam bagian paralelnya dalam Matius 5:39 juga ada tambahan kata-kata ‘jangan melawan orang yang berbuat jahat kepadamu’. Ini berlaku hanya dalam hubungan pribadi.

D. Martyn Lloyd-Jones (hal 274-275) mengatakan tentang seseorang yang bernama Count Tolstoy, yang menafsirkan ayat ini secara extrim dengan mengatakan bahwa suatu negara tidak boleh mempunyai polisi, tentara, hakim, maupun pengadilan, karena semua ini berarti ‘melawan kejahatan’, dan itu tidak kristiani. Kesalahan orang ini adalah bahwa ia menerapkan ayat ini dalam hubungan antar bangsa / negara, dan juga dalam hubungan pejabat pemerintah dengan warga negara. 

D. Martyn Lloyd-Jones: “this teaching, which concerns the Christian individual and nobody else, applies to him only in his personal relationships and notin his relationships as a citizen of his country” (= ajaran ini, yang menyangkut individu Kristen dan tidak orang lain, berlaku baginya hanya dalam hubungan pribadinya dan bukan dalam hubungannya sebagai seorang warga negara dari negaranya) - ‘Studies in the Sermon of the Mount’, hal 277.

D. Martyn Lloyd-Jones: “those who base their pacifism upon this paragraph - whether pacifism is right or wrong I am not concerned to say - are guilty of a kind of heresy” (= mereka yang mendasarkan sikap cinta damai / anti perang pada text ini - apakah sikap cinta damai / anti perang itu benar atau salah saya tidak mempersoalkannya - bersalah tentang sejenis kesesatan) - ‘Studies in the Sermon of the Mount’, hal 278.

John Stott membandingkan Roma 12:17-21 yang berbunyi: “(17) Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan; lakukanlah apa yang baik bagi semua orang! (18) Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang! (19) Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah kamu sendiri menuntut pembalasan, tetapi berilah tempat kepada murka Allah, sebab ada tertulis: Pembalasan itu adalah hakKu. Akulah yang akan menuntut pembalasan, firman Tuhan. (20) Tetapi, jika seterumu lapar, berilah dia makan; jika ia haus, berilah dia minum! Dengan berbuat demikian kamu menumpukkan bara api di atas kepalanya. (21) Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan!” dengan Ro 13:4 yang berbunyi: “Karena pemerintah adalah hamba Allah untuk kebaikanmu. Tetapi jika engkau berbuat jahat, takutlah akan dia, karena tidak percuma pemerintah menyandang pedang. Pemerintah adalah hamba Allah untuk membalaskan murka Allah atas mereka yang berbuat jahat” dan ia lalu berkata sebagai berikut:

“It is better, then, to see the end of Romans 12 and the beginning of Romans 13 as complementary to one another. Members of God’s new community can be both private individuals and state officials. In the former role we are never to take personal revenge or repay evil for evil, but rather bless our persecutors (12:14), serve our enemies (12:20), and seek to overcome evil with good (12:21). In the latter role, however, if we are called by God to serve as police or prison officers or judges, we are God’s agents in the punishments of evildoers. True, ‘vengeance’ and ‘wrath’ belong to God, but one way in which he executes his judgment on evildoers today is through the state. To ‘leave room for God’s wrath’ (12:19) means to allow the state to be ‘an agent of wrath to bring punishment on the wrongdoer’ (13:4).” [= Maka, adalah lebih baik untuk memandang bagian akhir dari Roma 12 dan bagian awal dari Roma 13 sebagai saling melengkapi. Anggota-anggota dari masyarakat yang baru dari Allah bisa merupakan pribadi maupun pejabat pemerintah. Dalam peranan yang pertama kita tidak pernah boleh membalas dendam atau membalas kejahatan dengan kejahatan, tetapi sebaliknya memberkati penganiaya kita (12:14), melayani musuh kita (12:20), dan berusaha mengalahkan kejahatan dengan kebaikan (12:21). Tetapi, dalam peranan yang terakhir, jika kita dipanggil oleh Allah untuk melayani sebagai polisi atau pejabat penjara atau hakim, kita adalah agen Allah dalam menghukum pelaku kejahatan. Memang benar ‘pembalasan’ dan ‘murka’ adalah milik Allah, tetapi salah satu cara yang Ia pakai untuk melaksanakan penghakimanNya terhadap pelaku kejahatan sekarang ini adalah melalui pemerintah. ‘Memberi tempat kepada murka Allah’ (12:19) berarti mengijinkan pemerintah untuk menjadi ‘agen kemurkaan untuk membawa hukuman kepada pelaku kejahatan’(13:4)] - ‘Involvement’, vol I, hal 127.

Jadi, Lukas 6:29 ini tidak berarti bahwa suatu negara tidak boleh mempunyai polisi, hakim atau pengadilan. Konsekwensinya, sebagai orang kristen kita boleh melaporkan orang yang menampar / memukul / menganiaya kita ke polisi atau mengajukannya ke pengadilan, karena kalau tidak maka apa gunanya polisi, hakim dan pengadilan itu? Melaporkan si pemukul ke polisi / mengajukannya ke pengadilan dengan tujuan supaya keadilan ditegakkan, dan supaya ia tidak melakukan hal itu kepada orang lain, dan supaya orang lain tidak meniru tindakannya, boleh dilakukan. Jadi yang dilarang oleh ayat ini adalah balas dendam pribadi.

c) Kata-kata ‘berikanlah juga kepadanya pipimu yang lain’ dalam Lukas 6: 29a ini tidak boleh diartikan secara hurufiah.

Perhatikanlah beberapa kutipan yang memberikan komentar tentang Lukas 6: 29 ini:

1. Pulpit Commentary: “No reasonable, thoughtful man would feel himself bound to the letter of these commandments. Our Lord, for instance, himself did not offer himself to be stricken again (John 18:22,23), but firmly, though with exquisite courtesy, rebuked the one who struck him. St. Paul, too (Acts 23:3), never dreamed of obeying the letter of this charge. It is but an assertion of a great principle, and so, with the exception of a very few mistaken fanatics, all the great teachers of Christianity have understood it” [= Tidak ada orang yang bijaksana dan berpikiran sehat yang merasa dirinya terikat oleh arti hurufiah dari perintah-perintah ini. Sebagai contoh, Tuhan kita sendiri tidak menawarkan diriNya untuk dipukul lagi (Yoh 18:22,23), tetapi dengan tegas, sekalipun dengan kesopanan yang sangat indah / halus, mencela orang yang memukulNya. Juga santo Paulus (Kis 23:3), tidak pernah memikirkan untuk mentaati arti hurufiah dari perintah / tuntutan ini. Ini hanya merupakan pernyataan yang tegas dari suatu prinsip yang besar, dan demikianlah, dengan beberapa orang fanatik yang salah sebagai perkecualian, semua pengajar-pengajar kekristenan yang besar telah mengertinya] - hal 147.

Yohanes 18:22-23 - “(22) Ketika Ia mengatakan hal itu, seorang penjaga yang berdiri di situ, menampar mukaNya sambil berkata: ‘Begitukah jawabMu kepada Imam Besar?’ (23) Jawab Yesus kepadanya: ‘Jikalau kataKu itu salah, tunjukkanlah salahnya, tetapi jikalau kataKu itu benar, mengapakah engkau menampar Aku?’”.

Kisah Para Rasul 23:2-3 - “(2) Tetapi Imam Besar Ananias menyuruh orang-orang yang berdiri dekat Paulus menampar mulut Paulus. (3) Membalas itu Paulus berkata kepadanya: ‘Allah akan menampar engkau, hai tembok yang dikapur putih-putih! Engkau duduk disini untuk menghakimi aku menurut hukum Taurat, namun engkau melanggar hukum Taurat oleh perintahmu untuk menampar aku.’”.

Catatan: kata-kata ‘membalas itu’ di awal Lukas 6: 3 sebetulnya tidak ada.

KJV: ‘Then said Paul unto him’ (= Lalu Paulus berkata kepadanya).

Tetapi bagaimanapun juga, ia tidak diam, apalagi memberikan pipi satunya untuk juga ditampar, tetapi ia memprotes. Dalam Yohanes 18:23 Yesus juga memprotes. Tetapi baik Yesus maupun Paulus tidak membalas!

2. A.T. Robertson: “Sticklers for extreme literalism find trouble with the conduct of Jesus in John 18:22f. where Jesus, on receiving a slap in the face, protested against it” (= Orang-orang yang berpegang teguh pada penghurufiahan yang extrim akan mendapatkan problem dengan tingkah laku Yesus dalam Yoh 18:22-dst dimana Yesus, pada waktu menerima tamparan di wajahNya, memprotes hal itu) - hal 90.

3. Leon Morris (Tyndale): “Jesus illustrates from physical violence. The cheek is SIAGON, which is rather the jaw. Jesus is speaking of a punch to the side of the jaw rather than a light slap in the face. The natural reaction to such a blow is to strike back hard. Jesus enjoins His followers to offer the other side of the jaw. He is speaking about an attitude. When we receive an injury we must not seek revenge, but be ready if need be to accept another such injury. Aliteral turning of the other side of the face is not always the best way of fulfilling the command (cf. Jesus’ own attitude to a blow, Jn. 18:22f.)” [= Yesus memberikan ilustrasi dari kekerasan / kekejaman secara fisik. ‘Pipi’ adalah SIAGON, yang sebetulnya adalah ‘rahang’. Yesus berbicara tentang sebuah pukulan pada rahang, dan bukannya suatu tamparan ringan pada wajah. Reaksi yang alamiah terhadap pukulan seperti itu adalah memukul kembali dengan keras. Yesus memerintahkan para pengikutNya untuk menawarkan rahang yang satunya. Ia berbicara tentang sikap. Pada waktu kita disakiti kita tidak boleh membalas dendam, tetapi jika diperlukan harus siap untuk menerima lagi tindakan yang menyakitkan itu. Memberikan pipi yang lain secara hurufiah tidak selalu merupakan cara yang terbaik untuk memenuhi perintah ini (bdk. sikap Yesus sendiri terhadap pukulan, Yohanes 18:22-dst.)] - hal 129.

Jadi, kalau suatu hari saudara ditampar orang, jangan betul-betul memberikan pipi yang lain untuk ditampar lagi. Cukuplah kalau saudara tidak membalas tamparan itu dan tetap mengasihi orang itu.

d) Perludi ingat bahwa ‘menampar’ (Lukas 6:29) merupakan serangan yang tidak membahayakan jiwa. Pada waktu mendapatkan serangan yang tidak membahayakan jiwa kita tidak boleh membalas. Tetapi, kalau serangan itu membahayakan jiwa, orang kristen boleh membela diri, karena kita juga harus mengasihi diri kita sendiri (Matius 22:39), sehingga kita tidak boleh membiarkan begitu saja diri kita sendiri dibunuh orang.

Nehemia 4:16-23 - “(16) Sejak hari itu sebagian dari pada anak buahku melakukan pekerjaan, dan sebagian yang lain memegang tombak, perisai dan panah dan mengenakan baju zirah, sedang para pemimpin berdiri di belakang segenap kaum Yehuda (17) yang membangun di tembok. Orang-orang yang memikul dan mengangkut melakukan pekerjaannya dengan satu tangan dan dengan tangan yang lain mereka memegang senjata. (18) Setiap orang yang membangun bekerja dengan berikatkan pedang pada pinggangnya, dan di sampingku berdiri peniup sangkakala. (19) Berkatalah aku kepada para pemuka dan para penguasa dan kepada orang-orang yang lain: ‘Pekerjaan ini besar dan luas, dan kita terpencar pada tembok, yang satu jauh dari pada yang lain. (20) Dan kalau kamu mendengar bunyi sangkakala di suatu tempat, berkumpullah ke sana mendapatkan kami. Allah kita akan berperang bagi kita!’ (21) Demikianlah kami melakukan pekerjaan itu, sedang sebagian dari pada orang-orang memegang tombak dari merekahnya fajar sampai terbitnya bintang-bintang. (22) Padawaktu itu juga aku berikan perintah kepada rakyat: ‘Setiap orang dengan anak buahnya harus bermalam di Yerusalem, supaya mereka mengadakan penjagaan bagi kami pada malam hari, dan melakukan pekerjaannya pada siang hari.’ (23) Demikianlah aku sendiri, saudara-saudaraku, anak buahku dan para penjaga yang mengikut aku, kami semua tidak sempat menanggalkan pakaian kami. Setiap orang memegang senjata dengan tangan kanan.”.

Bandingkan juga dengan Ester 9 (silahkan baca sendiri seluruh pasal, terlalu panjang untuk diberikan di sini).

Barnes’ Notes:“The general principle which he laid down was, that we are not to resist evil; ...But even this general direction is not to be pressed too strictly. Christ did not intend to teach that we are to see our families murdered, or to be murdered ourselves, rather than to make resistance. The law of nature, and all laws, human and Divine, have justified self-defence, when life is in danger” (=Prinsip umum yang Ia tetapkan adalah bahwa kita tidak boleh melawan kejahatan; Tetapi bahkan pengarahan umum ini tidak boleh ditekankan secara terlalu ketat. Kristus tidak bermaksud untuk mengajar bahwa kita harus membiarkan keluarga kita atau diri kita dibunuh, dan bukannya melakukan perlawanan. Hukum alam, dan semua hukum, baik hukum manusia maupun hukum ilahi, membenarkan pembelaan diri, pada waktu jiwa ada dalam bahaya) - hal 26.

e) Larangan untuk melakukan balas dendam pribadi ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Paulus dalam Roma 12:17-21, yang berbunyi: “(17) Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan; lakukanlah apa yang baik bagi semua orang! (18) Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang! (19) Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah kamu sendiri menuntut pembalasan, tetapi berilah tempat kepada murka Allah, sebab ada tertulis: Pembalasan itu adalah hakKu. Akulah yang akanmenuntut pembalasan, firman Tuhan. (20) Tetapi, jika seterumu lapar, berilah dia makan; jika ia haus, berilah dia minum! Dengan berbuat demikian kamu menumpukkan bara api di atas kepalanya. (21) Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan!”.

Catatan: kita tidak boleh membalas karena pembalasan adalah hak Tuhan. Tetapi awas, kita bukannya tidak membalas supaya Tuhan yang membalas orang itu!

Leon Morris (Tyndale): “He who retaliates thinks that he is man fully resisting aggression; in fact, he is making an unconditional surrender to evil” (= Ia yang membalas, berpikir bahwa ia menahan serangan /agresi secara jantan; tetapi sebenarnya ia sedang menyerah tanpa syarat kepada kejahatan) - hal 129.

Leon Morris (Tyndale): “It is possible to be outwardly forgiving without showing real love. But it is love that Jesus looks for” (= Adalah mungkin untuk mengampuni secara lahiriah tanpa menunjukkan kasih yang sungguh-sungguh. Tetapi adalah kasih yang dicari oleh Yesus) - hal 129.

f) Lukas 6:29b: ‘jubah’ menunjuk pada ‘outer garment’ (= pakaian luar); sedangkan ‘baju’ menunjuk pada ‘tunic / under garment’ (= pakaian dalam).

1. Matius 5:40 mengatakan sebaliknya; kalau mereka mengambil baju kita, kita harus menyerahkan juga jubah kita. Mungkin Yesus mengucapkan keduanya, Lukas menulis yang satu, Matius menulis yang lain. Jadi Matius dan Lukas bukannya bertentangan tetapi saling melengkapi.

2. Sama seperti Lukas 6: 29a, ini tidak boleh diartikan secara hurufiah, tetapi harus diartikan bahwa kita tidak boleh membalas perlakuan jahat kepada kita. Jadi, kalau saudara dirampok di jalan, lalu saudara pulang dan mengambil uang dirumah dan memberikannya kepada perampok itu, saudara sudah menerapkan ayat ini secara salah.

g) Lukas 6:30a: ‘berilah kepada setiap orang yang meminta kepadamu’.

Yang membingungkan dari bagian ini adalah: apakah si peminta ini seorang musuh yang meminta secara paksa / setengah memaksa, atau ia adalah peminta biasa?

1. Kebanyakan penafsir mengartikan orang ini sebagai peminta biasa.

2. Kontextnya menunjukkan bahwa peminta ini adalah musuh, dalam arti ia adalah orang yang meminta secara paksa / setengah memaksa. Bagian paralelnya yaitu Matius 5:42 juga ada dalam kontext musuh.

Matius 5:42 - “Berilah kepada orang yang meminta kepadamu dan janganlah menolak orang yang mau meminjam dari padamu.”.

Kalau ini memang adalah musuh, maka artinya adalah: dari pada gegeran / berkelahi untuk mempertahankan hak, lebih baik memberikan apa yang ia minta.

Yang manapun penafsiran yang kita terima dari 2 penafsiran di atas ini, kita tetap harus mempertimbangkan hal-hal di bawah ini:

(1) Sekalipun Lukas 6:30a ini kelihatannya berlaku mutlak, tetapi tidak boleh diartikan secara mutlak. Apa dasarnya?

(a) Pada waktu Yesus melarang sumpah (Matius 5:33-37) kelihatannya juga berlaku mutlak.

Mat 5:33-37 - “(33) Kamu telah mendengar pula yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan bersumpah palsu, melainkan peganglah sumpahmu di depan Tuhan. (34) Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah sekali-kali bersumpah, baik demi langit, karena langit adalah takhta Allah, (35) maupun demi bumi, karena bumi adalah tumpuan kakiNya, ataupun demi Yerusalem, karena Yerusalem adalah kota Raja Besar; (36) janganlah juga engkau bersumpah demi kepalamu, karena engkau tidak berkuasa memutihkan atau menghitamkan sehelai rambutpun. (37) Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat.”.

Tetapi tidak mungkin kata-kata Yesus ini ditafsirkan seperti itu, karena:

· Yesus tidak mungkin menentang Perjanjian Lama (bdk. Matius 5:17-19) yang bukan hanya mengijinkan sumpah, tetapi bahkan dalam hal-hal tertentu mengharuskan sumpah (Ulangan 6:13 Kel 22:10-11).

Matius 5:17-19 - “(17) ‘Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. (18) Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi. (19) Karena itu siapa yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga; tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga.”.

Ulangan 6:13 - “Engkau harus takut akan TUHAN, Allahmu; kepada Dia haruslah engkau beribadah dan demi namaNya haruslah engkau bersumpah.”.

Keluaran 22:10-11 - “(10) Apabila seseorang menitipkan kepada temannya seekor keledai atau lembu atau seekor domba atau binatang apapun dan binatang itu mati, atau patah kakinya atau dihalau orang dengan kekerasan, dengan tidak ada orang yang melihatnya, (11) maka sumpah di hadapan TUHAN harus menentukan di antara kedua orang itu, apakah ia tidak mengulurkan tangannya mengambil harta kepunyaan temannya, dan pemilik harus menerima sumpah itu, dan yang lain itu tidak usah membayar ganti kerugian.”.

· Paulus sering bersumpah.

Roma 1:9 - “Karena Allah, yang kulayani dengan segenap hatiku dalam pemberitaan Injil AnakNya, adalah saksiku, bahwa dalam doaku aku selalu mengingat kamu:”.

Roma 9:1 - “Aku mengatakan kebenaran dalam Kristus, aku tidak berdusta. Suara hatiku turut bersaksi dalam Roh Kudus,”.

2Korintus 1:23 - “Tetapi aku memanggil Allah sebagai saksiku - Ia mengenal aku -, bahwa sebabnya aku tidak datang ke Korintus ialah untuk menyayangkan kamu.”.

2Korintus 12:19 - “Sudah lama agaknya kamu menyangka, bahwa kami hendak membela diri di depan kamu. Dihadapan Allah dan demi Kristus kami berkata: semua ini, saudara-saudaraku yang kekasih, terjadi untuk membangun iman kamu.”.

Galatia 1:20 - “Dihadapan Allah kutegaskan: apa yang kutuliskan kepadamu ini benar, aku tidak berdusta.”.

Filipi 1:8 - “Sebab Allah adalah saksiku betapa aku dengan kasih mesra Kristus Yesus merindukan kamu sekalian.”.

1Tesalonika 2:5,10 - “(5) Karena kami tidak pernah bermulut manis - hal itu kamu ketahui - dan tidak pernah mempunyai maksud loba yang tersembunyi - Allah adalah saksi - ...(10) Kamu adalah saksi, demikian juga Allah, betapa saleh, adil dan tak bercacatnya kami berlaku di antara kamu, yang percaya.”.

· Yesus menghargai sumpah (Mat 26:63-64).

Matius 26:63-64 - “(63) Tetapi Yesus tetap diam. Lalu kata Imam Besar itu kepadaNya: ‘Demi Allah yang hidup, katakanlah kepada kami, apakah Engkau Mesias, Anak Allah, atau tidak.’ (64) Jawab Yesus: ‘Engkau telah mengatakannya. Akan tetapi, Aku berkata kepadamu, mulai sekarang kamu akan melihat Anak Manusia duduk di sebelah kanan Yang Mahakuasa dan datang di atas awan-awan di langit.’”.

(b) Kitab Suci mengajar bahwa hanya orang yang miskin dan yang berhak ditolong, yang perlu diberi.

Ulangan 15:7-8 - “(7) Jika sekiranya ada di antaramu seorang miskin, salah seorang saudaramu didalam salah satu tempatmu, di negeri yang diberikan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu, maka janganlah engkau menegarkan hati ataupun menggenggam tangan terhadap saudaramu yang miskin itu, (8) tetapi engkau harus membuka tangan lebar-lebar baginya dan memberi pinjaman kepadanya dengan limpahnya, cukup untuk keperluannya, seberapa ia perlukan.”.

Amsal 3:27-28 - “(27) Janganlah menahan kebaikan dari pada orang-orang yang berhak menerimanya, padahal engkau mampu melakukannya. (28) Janganlah engkau berkata kepada sesamamu: ‘Pergilah dan kembalilah, besok akan kuberi,’ sedangkan yang diminta ada padamu.”.

Perhatikan kata-kata ‘seorang miskin’ (Ulangan 15:7); dan kata-kata ‘yang berhak menerimanya’ (Amsal 3:27). Kalau kita menafsirkan ay 30a ini secara mutlak, maka kita akan bertentangan dengan Ulangan 15:7-8 dan Amsal 3:27-28 ini.

(2) Sekalipun memberi itu merupakan kebiasaan yang baik, tetapi ada hal-hal lain yang harus dipertimbangkan.

Barnes’ Notes:“It is good to be in the habit of giving. At the same time, the rule must be interpreted so as to be consistent with our duty to our families, (1Tim 5:8) and with other objects of justice and charity. It is seldom, perhaps never, good to give to a man that is able to work, 2Tes 3:10. To give to such is to encourage laziness, and to support the idle at the expense of the industrious” [= Adalah baik untuk terbiasa memberi. Pada saat yang sama, perintah ini harus ditafsirkan sedemikian rupa sehingga konsisten dengan kewajiban kita terhadap keluarga kita (1Tim 5:8), dan dengan obyek-obyek keadilan dan kasih yang lain. Jarang, mungkin tidak pernah, merupakan hal yang baik untuk memberi kepada orang yang bisa bekerja (2Tes 3:10). Memberi kepada orang seperti itu sama dengan menganjurkan kemalasan, dan menyokong orang malas dengan mengorbankan orang rajin] - hal 27.

1Timotius 5:8 - “Tetapi jika ada seorang yang tidak memeliharakan sanak saudaranya, apalagi seisi rumahnya, orang itu murtad dan lebih buruk dari orang yang tidak beriman.”.

2Tesalonika 3:10 - “Sebab, juga waktu kami berada di antara kamu, kami memberi peringatan ini kepada kamu: jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan.”.

Matthew Poole:“These precepts of our Saviour must be interpreted, not according to the strict sense of the words, as if every man were by them obliged, without regard to his own abilities, or the circumstances of the persons begging or asking of him, to give to every one that hath the confidence to ask of him; but as obliging us to liberality and charity according to our abilities, and the true needs and circumstances of our poor brethren, and in that order which God’s word hath directed us; first providing for our own families, then doing good to the household of faith, then also to others, as we are able, and see any of them true objects of our charity” (= Perintah-perintah Juruselamat kita ini harus ditafsirkan, bukan menurut arti kata yang ketat, seakan-akan setiap orang diwajibkan oleh perintah-perintah ini untuk memberi kepada setiap orang yang mempunyai keberanian untuk meminta kepadanya, tanpa memandang kemampuannya sendiri, atau keadaan dari orang yang mengemis atau meminta kepadanya; tetapi mewajibkan kita kepada kedermawanan dan kasih sesuai dengan kemampuan kita, dan kebutuhan yang sungguh-sungguh dan keadaan dari saudara-saudara kita yang miskin, dan dalam urut-urutan sesuai dengan pengarahan Firman Allah; pertama-tama pemeliharaan terhadap keluarga kita sendiri, lalu berbuat baik kepada saudara-saudara seiman, lalu juga kepada orang-orang lain, sesuai dengan kemampuan kita, dan memastikan setiap dari mereka sebagai obyek yang benar dari kasih kita) - hal 213.

Galatia 6:9-10 - “(9) Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik, karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika kita tidak menjadi lemah. (10) Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman.”.

Jadi ada 3 hal yang harus dipertimbangkan, yaitu:

(a) Kewajiban untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Kalau kita terus memberi kepada seadanya orang yang meminta sehingga keluarga kita sendiri tidak tercukupi, maka ini salah. Bdk. 1Tim 5:8.

(b) Adanya orang-orang lain yang juga harus diberi. Kalau kita terus memberi kepada seseorang yang tidak tahu diri dalam meminta, sehingga kita lalu tidak bisa memberi kepada orang lain yang sebetulnya lebih berhak, maka ini salah.

(c) Apa pengaruh pemberian ini bagi orang yang menerima? Kalau itu menjadikannya makin malas maka ini justru tidak kasih.

Leon Morris (Tyndale): “it is the spirit of the saying that is important. If Christians took this one absolutely literally there would soon be a class of saintly paupers, owning nothing, and another of prosperous idlers and thieves. It is not this that Jesus is seeking, but a readiness among His followers to give and give and give. The Christian should never refrain from giving out of a love for his possessions. Love must be ready to be deprived of everything if need be. Of course, in a given case it may not be the way of love to give. But it is love that must decide whether we give or withhold, not a regard for our possessions” (= arti dari kata-kata inilah yang penting. Jika orang kristen menerima / menuruti perintah ini dalam arti hurufiah sepenuhnya, maka segera akan ada segolongan orang kudus yang miskin, yang tidak mempunyai apa-apa, dan golongan lain yang makmur yang terdiri dari orang-orang malas dan pencuri-pencuri. Bukan ini yang dicari oleh Yesus Kristus, tetapi suatu kesediaan di antara para pengikutNya untuk memberi dan memberi dan memberi. Orang kristen seharusnya tidak pernah menahan diri dari memberi karena cinta kepada miliknya. Kasih harus siap untuk kehilangan segala sesuatu jika itu diperlukan. Tentu saja, dalam kasus tertentu, memberi bukanlah merupakan jalan kasih. Tetapi adalah kasih, dan bukannya perhatian / penilaian terhadap milik kita, yang harus menentukan apakah kita memberi atau menahan)- hal 130.

h) Lukas 6:30b: ‘janganlah meminta kembali kepada orang yang mengambil kepunyaanmu’.

Ada 2 pandangan tentang ayat ini:

1. Ini adalah orang miskin.

Jadi seluruh Lukas 6:30 artinya: dalam urusan pribadi, kasih menuntut supaya apapun yang dibutuhkan diberikan dengan cuma-cuma, tanpa mengharap dikembalikan.

2. Ini adalah musuh. Alasan:

3. Dalam bahasa Yunaninya kata-kata ‘from the one who takes away’ (= dari orang yang mengambil) muncul 2 x, yaitu ay 29b dan Lukas 6: 30. Dalam Lukas 6: 29b mereka ambil dengan paksa / secara tidak benar, maka dalam ay 30 mesti juga demikian.

b. Kontextnya berbicara tentang ‘musuh’.

Sama seperti Lukas 6:30a di atas, Lukas 6: 30b ini juga tidak berlaku mutlak.

Matthew Poole:“Nor must the second part of the verse be interpreted, as if it were a restraint of Christians from pursuing of thieves or oppressors, but as a precept prohibiting us private revenge, or too great contending for little things, &c.” [= Juga bagian kedua dari ayat ini (ay 30)tidak boleh diartikan seakan-akan itu merupakan pengekangan terhadap orang-orang kristen untuk tidak melakukan pengejaran / penangkapan terhadap pencuri atau penindas, tetapi sebagai larangan yang melarang kita untuk melakukan balas dendam pribadi, atau untuk bercekcok untuk hal-hal kecil, dsb.]- hal 213.

4) Melakukan kepada mereka apa yang kita inginkan mereka lakukan terhadap kita (Lukas 6: 31).

Lukas 6: 31: “Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka.”.

William Hendriksen: “It should be noted that the Golden Rule does not read, ‘Treat others as they treat you,’ but ‘Treat others as you would have them treat you.’” (= Harus diperhatikan bahwa Peraturan Emas ini tidak berbunyi: ‘Perlakukan orang lain seperti mereka memperlakukan kamu’, tetapi ‘Perlakukan orang lain seperti yang kamu inginkan mereka memperlakukanmu’) - hal 352.

Dalam Apocrypha / Deuterokanonika, yaitu dalam Tobit 4:15a, ada bentuk negatifnya, yang berbunyi: ‘Apa yang tidak kausukai sendiri, janganlah kauperbuat kepada siapapun’.

Catatan: saya tak mengakui ini sebagai Firman Tuhan. Ini ada dalam Alkitab Katolik.

William Barclay:“The Christian ethics is positive. It does not consist in not doing things but in doing them. Jesus gave us the Golden Rule which bids us do to others as we would have them do to us. That rule exists in many writers of many creeds in its negative form. Hillel, ... ‘What is hateful to thee, do not to another’.... Philo, ‘What you hate to suffer, do not do to anyone else’. Isocrates, ...‘What things make you angry when you suffer them at the hands of others, do not you do to other people’. The Stoics ..., ‘What you do not wish to be done to yourself, do not you do to any other’. ... Confucius ... ‘... What you do not want done to yourself, do not do to others’ Every one of these forms is negative.... The very essence of Christian conduct is that it consists, not in refraining from bad things, but in actively doing good things” (= Etika Kristen itu positif. Itu tidak berarti tidak melakukan hal-hal tertentu, tetapi melakukan hal-hal tertentu. Yesus memberikan kita Peraturan Emas yang meminta kita untuk melakukan apa yang kita inginkan mereka lakukan terhadap kita. Peraturan itu ada dalam banyak penulis dari banyak kepercayaan dalam bentuk negatifnya. Hillel, ... ‘Apa yang menjengkelkan bagimu, jangan lakukan itu kepada orang lain’. ... Philo, ‘Apa yang engkau tidak senang mengalaminya, jangan lakukan itu kepada siapapun’. Isocrates, ...‘Hal-hal yang membuatmu marah pada waktu kamu mengalaminya dari orang lain, jangan engkau lakukan kepada orang lain’. The Stoics ..., ‘Apa yang engkau tidak inginkan untuk dilakukan kepadamu, jangan lakukan kepada siapapun’. ... Khong Hu Cu ... ‘... Apa yang kamu tidak ingin dilakukan kepadamu, jangan lakukan kepada orang lain’. Setiap bentuk-bentuk ini adalah negatif. ... Hakekat dari tingkah laku Kristen adalah bahwa kita bukannya menahan diri dari hal-hal yang jelek, tetapi secara aktif melakukan hal-hal yang baik) - hal 79.

Untuk mentaati ajaran-ajaran yang bersifat negatif ini, kita hanya perlu berpikir: ‘Apakah aku senang orang lain melakukan hal ini terhadap aku?’. Tetapi untuk melakukan ajaran Yesus dalam ay 31 ini membutuhkan imaginasi / perenungan: ‘Apa yang aku ingin orang lakukan terhadap aku dalam situasi ini?’. Jadi pada waktu ada teman yang sakit, kita harus merenungkan: ‘Kalau aku sakit, apa yang aku ingin ia lakukan terhadapku?’. Pada waktu ada seorang yang sangat kekurangan uang, kita harus merenungkan: ‘Kalau aku kekurangan uang, apa yang aku inginkan ia lakukan terhadapku?’. Lalu lakukanlah hal-hal itu!

5) Meminjami mereka tanpa mengharapkan dibayar kembali (Lukas 6: 34,35).

Lukas 6:34-35: “(34) Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu dari padanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun meminjamkan kepada orang-orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak. (35) Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Allah Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat.”.

Lukas 6:35: ‘pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan’.

NIV: ‘lend to them without expecting to get anything back’ (= pinjamilah mereka tanpa mengharapkan untuk mendapatkan apapun kembali).

RSV/NASB: ‘lend, expecting nothing in return’ (= pinjamilah, tanpa mengharapkan pengembalian apa-apa).

KJV: ‘lend, hoping for nothing again’ (= pinjamilah, tanpa mengharapkan apa-apa lagi).

Calvin (hal 302) berkata bahwa adalah salah kalau ini diartikan hanya sebagai: ‘pinjamkanlah dengan tidak mengharapkan bunga’. Arti yang benar adalah: ‘pinjamkanlah dengan tidak mengharapkan pembayaran sama sekali’.

Barnes’ Notes:“This deserves, however, some limitation. It must be done in consistency with other duties. To lend to every worthless man, would be to throw away our property, encourage laziness and crime, and ruin our families. ... Perhaps our Saviour meant to teach that where there was a deserving friend or brother in want, we should lend to him, without usury, and without standing much about the security” (= Tetapi ini harus dibatasi. Ini harus dilakukan secara konsisten dengan kewajiban-kewajiban yang lain. Meminjamkan kepada setiap orang yang tak berharga, sama dengan membuang milik kita, menganjurkan kemalasan dan kejahatan, dan menghancurkan keluarga kita. ... Mungkin Juruselamat kita bermaksud untuk mengajar bahwa dimana ada teman atau saudara yang kekurangan, yang layak untuk dibantu, kita harus meminjaminya, tanpa bunga, dan tanpa terlalu mempersoalkan keamanan) - hal 27.

Keberatan saya terhadap kutipan ini adalah dalam bagian yang saya garisbawahi. Lukas 6: 34-35 ini terletak dalam kontext mengasihi musuh. Jadi perintah untuk meminjami ini harus diterapkan bukan hanya kepada teman atau saudara kita, tetapi juga kepada musuh / orang yang jahat terhadap kita. Biasanya kita hanya mau meminjami orang yang baik kepada kita. Tetapi Tuhan menyuruh kita untuk mau meminjami orang yang jahat kepada kita, bahkan tanpa mengharapkan untuk dibayar kembali.

III) Mengapa harus mengasihi musuh.

1) Tuhan menghendaki kita lebih baik dari orang-orang brengsek.

Lukas 6:32-34: “(32) Dan jikalau kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu? Karena orang-orang berdosapun mengasihi juga orang-orang yang mengasihi mereka. (33) Sebab jikalau kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kamu,apakah jasamu? Orang-orang berdosapun berbuat demikian. (34) Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu dari padanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun meminjamkan kepada orang-orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak.”.

Lukas 6: 32b,33b mengatakan: kalau kita mengasihi /berbuat baik kepada orang yang mengasihi / berbuat baik kepada kita, apa jasa kita? Lukas 6: 34 mengatakan kalau kita meminjami orang supaya dibayar kembali, apa jasa kita?

Kata yang diterjemahkan ‘jasa’ dalam bahasa Yunaninya adalah KHARIS, yang biasanya diartikan ‘grace’ (= kasih karunia). Jadi kita harus berbuat baik kepada orang yang jahat kepada kita, karena Tuhan menghendaki kita menunjukkan kasih karunia / menunjukkan kebaikan bagi orang yang tidak layak menerima kebaikan kita.

Sebaliknya kalau kita hanya berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kita, maka kita tidak lebih baik dari orang-orang berdosa (Lukas 6: 32b,33b,34b). Orang berdosa di sini harus diartikan sebagai orang yang sangat brengsek.

Bdk. Matius 5:46-47 - “(46) Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? (47) Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain?Bukankah orang yang tidak mengenal Allahpun berbuat demikian?”.

Matius 5:46 - ‘pemungut cukai’ jelas merupakan sampah masyarakat pada jaman itu.

Matius 5:47 - ‘orang yang tidak mengenal Allah’.

NIV: ‘pagans’ (= orang-orang kafir); NASB/Lit: ‘Gentiles’ (= orang-orang non Yahudi).

Adam Clarke:“A man should tremble who finds nothing in his life besides the external part of religion, but what may be found in the life of a Turk or a heathen” (= Seseorang harus gemetar jika ia tidak mendapati apapun dalam hidupnya selain bagian agama yang bersifat lahiriah, tetapi yang bisa didapatkan dalam kehidupan seorang Turki atau seorang kafir) - hal 408.

2) Upahmu akan besar (Lukas 6:35b).

Lukas 6: 35: “Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Allah Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat.”.

Yang dimaksud dengan ‘upah’ adalah: dalam hidup ini ada damai dan sukacita dan disurga ada pahala.

Tetapi jangan mengasihi orang jahat karena mengharapkan hal ini.

3) Kamu akan menjadi anak-anak Allah (Lukas 6:35).

Lukas 6: 35: “Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Allah Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat.”.

Ini tidak boleh diartikan bahwa perbuatan baik kita itu menjadikan kita anak Allah, karena kalau ditafsirkan seperti ini akan bertentangan dengan Yohanes 1:12 yang menunjukkan bahwa iman kepada Kristuslah yang menjadikan kita anak-anak Allah.

Yohanes 1:12 - “Tetapi semua orang yang menerimaNya diberiNya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam namaNya;”.

Jadi artinya adalah: perbuatan baik itu membuktikan bahwa kita adalah anak-anak Allah, atau perbuatan baik itu sesuai dengan kedudukan kita sebagai anak-anak Allah. Ini terlihat dari kata-kata selanjutnya yang menggambarkan bahwa Allah baik kepada orang jahat (ay 35c).

William Hendriksen: “Not that unselfish love makes them sons, but it proves that they are sons”(= Bukan bahwa kasih yang tidak egois membuat mereka menjadi anak-anak, tetapi itu membuktikan bahwa mereka adalah anak-anak) - hal 354.

4) Karena kita harus menyerupai Bapa, yaitu:

a) Baik kepada orang yang tidak tahu berterima kasih dan kepada orang jahat (Lukas 6:35c).

Lukas 6: 35: “Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Allah Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat.”.

b) Murah hati (Lukas 6:36).

Lukas 6: 36: “Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati.’”.

c) Sempurna (Matius 5:48).

Matius 5:48 - “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.’”.

Penutup: Kasihilah Musuhmu:Lukas 6:27-36

Perintah untuk mengasihi musuh dalam bagian ini menunjukkan standard tuntutan Allah yang begitu tinggi, sehingga tidak mungkin bisa dicapai oleh siapapun secara sempurna. Mungkin patut dipertanyakan mengapa Tuhan memberi standard yang begitu tidak masuk akal?

1) Ini menunjukkan kesucian Allah.

2) Ini bukan tidak masuk akal, tetapi menjadi tidak masuk akal, karena manusia jatuh ke dalam dosa, sehingga lalu mempunyai kecondongan kepada dosa. Allah tak mau menurunkan standardnya, karena itu akan menurunkan kesucianNya.

Tuntutan yang begitu tinggi ini tidak mungkin bisa dicapai secara sempurna oleh siapapun, dan karenanya makin menunjukkan bahwa semua orang membutuhkan Kristus sebagai Juruselamat / Penebus dosa. Dengan seseorang mau percaya kepada Yesus Kristus, pertama-tama ia mendapatkan pengampunan dosa, dan kedua ia mendapatkan Roh Kudus untuk membantunya mentaati standard Allah ini.

-AMIN-
Next Post Previous Post