7 AREA PERUBAHAN PENTING SETELAH MENIKAH

By Samuel T. Gunawan..
7 AREA PERUBAHAN PENTING SETELAH MENIKAH
“Hendaklah suami memenuhi kewajibannya terhadap isterinya, demikian pula isteri terhadap suaminya. Isteri tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi suaminya, demikian pula suami tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi isterinya” (1 Korintus 7:3-4)

Pengantar: 

Melalui pernikahan Allah menyatukan dua orang menjadi satu. Pernikahan dari sudut pandang Tuhan merupakan kesatuan seorang pria dan wanita, yaitu seorang pria yang bersedia meninggalkan semua orang lainnya untuk bersatu dengan istrinya. Rela meninggalkan tempat tinggalnya yang nyaman, orang tuanya, kebebasannya, untuk menciptakan kenyamanan yang baru, tempat tinggal yang baru, prioritas kesetiaan yang baru terhadap seseorang, dan saling ketergantungan yang baru, yang mengawali proses dari suatu cara hidup yang sepenuhnya baru. Penyatuan melalui pernikahan ini memang menyebabkan banyak perubahan radikal yang terjadi. 

Hal ini perlu sungguh-sungguh dipahami, bahwa kehidupan lajang benar-benar berbeda dengan kehidupan setelah pernikahan. Banyak hal-hal baru yang belum pernah ditemui semasa lajang, ditemukan dalam rumah tangga. Ada banyak tanggung jawab yang harus dipikul, yang tidak pernah dipikul semasa lajang. 

Ada banyak tuntutan yang harus dipenuhi dalam rumah tangga yang tidak ditemui semasa lajang. Karena itu, biasanya rumah tangga yang masih baru terbentuk masih lemah dan mudah tergoncang. Apalagi jika di dalam katekisasi pranikah, mereka tidak dibekali dengan pengetahuan yang mendasar mengenai perubahan-perubahan penting dalam kehidupan berumah tangga setelah upacara pernikahan. Karena itu, berikut ini saya memberikan secara ringkas tujuh / 7 area perubahan penting yang terjadi setelah upacara pernikahan, yang perlu diketahui dan dimengerti oleh kedua calon pasangan yang akan menikah, yaitu: 

(1) Otoritas baru; 

(2) Relasi dan tanggung jawab baru; 

(3) Arah dan tujuan baru; 

(4) Relasi dan tanggung jawab yang meluas; 

(5) Bersama-sama mengelola keuangan dan harta milik mereka; 

(6) Program bersama dan perubahan jadwal; 

(7) Minat yang lebih luas.

AREA PERUBAHAN 1 # OTORITAS BARU

Sebelum upacara pernikahan, seorang pria dan seorang wanita berada di bawah otoritas orangtua atau walinya. Setelah upacara pernikahan, seorang pria sebagai suami diperintahkan untuk memiliki otoritas yang lain atas seorang wanita, yaitu istrinya sendiri. Rasul Paulus mengingatkan, “Tetapi aku mau, supaya kamu mengetahui hal ini, yaitu kepala dari tiap-tiap laki-laki ialah Kristus, kepala dari perempuan ialah laki-laki dan kepala dari Kristus ialah Allah” (1 Korintus 11:3). 

Jadi, pertama-tama suami harus tunduk kepada Kristus karena kepala dari pria adalah Kristus. Kemudian, sebagaimana suami tunduk kepada Kristus demikian juga hendaknya istri tunduk kepada suaminya, dan mengizinkan suami bertanggung jawab bagi dirinya.

Pertanyaannya: Mengapa Paulus memberi perintah “istri tunduk kepada suami” dan “suami mengasihi Istri”? Dan hal ini diulangi lagi dalam Kolose 3:18-19, “Hai isteri-isteri, tunduklah kepada suamimu, sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan. Hai suami-suami, kasihilah istrimu dan janganlah berlaku kasar terhadap dia”. Suami yang dihormati oleh istrinya akan merasa hidupnya lebih berarti. 

Sebaliknya, jika suami kurang dihormati oleh istrinya, maka ia merasa hidup kurang berarti. Tetapi, perkataan “istri tunduk pada suami” bukan berarti suami boleh sewenang-wenang dan berbuat sembarangan terhadap istrinya melainkan di sini keistimewaan yang diberikan Tuhan, yaitu kedudukannya sebagai kepala. Kata Yunani untuk “kepala” adalah “kephale” yang berarti “memerintah” dan “otoritas” yang bermakna “tanggung jawab”. Tunduk pada suami adalah pengaturan yang ditetapkan Tuhan agar istri dapat memberi rasa hormat pada suaminya. Inilah yang dibutuhkan pria (Efesus 5:33).

Istri lebih mementingkan cinta, itu sebabnya diperintahkan agar “suami mengasihi istri”. Cinta adalah segala-galanya bagi istri, melebihi apapun; tetapi bukan berarti ia tidak memerlukan hormat atau penghargaan dari suaminya. Seorang wanita merasa dihargai, apabila suaminya mencintainya. Dapat dikatakan bahwa cinta merupakan seluruh hidup dari istri, tetapi hanya sebagian dari hidup pria. 

Tetapi pernyataan ini bukan berarti pria tidak memerlukan cinta, atau bukan berarti cinta seorang pria (suami) boleh dibagi kepada beberapa orang, tetapi justru seutuhnya dari yang sebagian ini hanya diberikan kepada istrinya saja. Jadi dari firman Allah kita melihat bahwa yang dibutuhkan suami adalah penghormatan dan perhargaan dari istrinya, Sedang bagi istri yang dibutuhkan adalah perhatian dan kasih sayang dari suaminya. Dan kebutuhan ini seharusnya bisa diperoleh dari pasangan masing-masing. 

Penjelasan tersebut di atas juga didukung oleh pengetahuan psikologi. James Dobson seorang psikolog dan konselor pernikahan mengutip pendapat George Gidler seorang sosialog brilian dan penulis buku Men and Marriage yang menyatakan bahwa seorang wanita memegang kunci bagi stabilitas dan produktivitas pria. Ia menjelaskan bahwa jika seorang istri percaya kepada suaminya dan sangat menghormatinya, maka si suami memperoleh keyakinan yang diperlukan untuk bersaing dengan berhasil dan hidup secara bertanggung jawab. 

Istri memberikan suaminya alasan untuk menggunakan energi maskulinnya untuk membangun rumah tangga, memperoleh dan mempertahankan pekerjaan, membantu membesarkan anak-anak mereka, tetap waras, hidup sesuai hukum, membelanjakan uang dengan bijaksana, dan seterusnya. 

Tanpa pengaruh feminim yang positif, kecenderungan suami adalah melepaskan kekuatan testosteron dengan cara yang merusak dirinya sendiri dan masyarakat luas. Sebaliknya, seorang wanita secara khusus mempunyai kerinduan mendalam yang hanya dapat dipuaskan melalui hubungan jangka panjang yang romantis dengan seorang pria. Harga diri, kepuasan, dan kebahagiaannya biasanya diperoleh dari keintiman, hubungan hati ke hati, dalam pernikahan.

AREA PERUBAHAN 2 # RELASI DAN TANGGUNG JAWAB BARU

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, pria lebih mementingkan otoritas atau wibawa, sedang wanita lebih mementingkan cinta. Masing-masing ini adalah kelebihan, ciri khas, dan juga menjadi kelemahannya. Suami yang tidak dihormati oleh istrinya cenderung “menyalahgunaan otoritas” atau bahkan “membagi” cintanya pada wanita yang lain. Istri yang tidak dicintai suaminya cenderung berusaha mengambil “kendali”. Atau, jika ia tidak mendapatkan cinta dari suaminya, maka ia berusaha mendapatkan perhatian dari pria lain. Di sinilah bahayanya jika suami istri tidak memahami dan tidak mengerti hal ini! 

Karena itulah rasul Paulus dalam Efesus 5:22-25 menjelaskan tentang relasi suami dan istri dalam pernikahan demikian, “Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala istri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. Karena itu, sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah istri kepada suami dalam segala sesuatu. Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diriNya baginya”. 

Herman Ridderbos menjelaskan ayat tersebut demikian, “Saat membahas relasi dalam pernikahan, Paulus tidak mulai dari fakta keberbagian setiap orang percaya dalam tubuh Kristus, tetapi ia melihat seluruh relasi suami istri di dalam terang relasi Kristus dengan jemaat yang ia sebut sebagai relasi pernikahan. Bagi istri, hal itu berarti kewajiban untuk menyadari kewajiban suami sebagai pemimpin. Bagi suami, hal itu berarti kewajiban untuk mengasihi istri. Di satu pihak, kesatuan Kristus dan jemaat dijelaskan dari kesatuan misterius antara suami istri dalam pernikahan (Efesus 5:32). Di lain pihak, kesatuan Kristus dan jemaat menjelaskan kesatuan pernikahan yang sejati”.

Jadi pernyataan rasul Paulus tentang bentuk relasi antara suami dan istri, sesuai Efesus 5:22-23 dan Kolose 3:18-19, dapat diringkas sebagai berikut, “suami mengasihi istri dan tidak boleh berlaku kasar pada istrinya; sedangkan istri tunduk dan taat kepada suami dalam segala hal”. Istri tunduk kepada suami bukan didorong oleh rasa takut tetapi oleh rasa hormat. Suami diperintahkan untuk mengasihi istri sama seperti Kristus mengasihi jemaat. Kasih Kristus kepada jemaat adalah kasih yang penuh pengorbanan. Demikian juga suami harus mengasihi istrinya dengan kasih yang penuh pengorbanan. 

Berdasarkan relasi di atas, suami maupun istri memiliki tanggung jawab masing-masing yang harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Tanggung jawab suami terhadap istri yang berhubungan dengan mengasihinya ialah: memberi perhatian dan menyayangi istrinya; memelihara dan melindungi istri; menerima dan menghargai istri; peduli dan penuh pengertian; memimpin istri dan berkorban baginya. 

Sementara itu tanggung jawab istri terhadap suami yang berhubungan dengan tunduk kepadanya ialah: mendukung dan menolong suami; menerima dan mengagumi suami; mempercayai dan menaati suami; menghormati dan lebih menghormati suami. Selanjutnya relasi ini dapat dikembangkan oleh suami dan istri dengan cara: menjadi teman dan sahabat; saling melayani dan merawat; mengatur seisi rumah; rendah hati dan murah hati; memperhatikan pertumbuhan pribadi lebih dari hal lahiriah; dan lain sebagainya (bandingkan 1 Korintus 13:1-8; 1 Petrus 3:1-7).

AREA PERUBAHAN 3 # ARAH DAN TUJUAN BARU

Banyak orang memahami bahwa arah dan tujuan dari berkeluarga adalah anak. Ini merupakan salah paham yang harus diperbaiki. Anak adalah anugerah, tetapi tidak menjamin kebahagiaan dan kelanggengan pernikahan. Fokus yang sebenarnya adalah pernikahan itu sendiri, bukan pada anak. Justru dengan mengalihkan fokus pernikahan menjadi fokus kepada anak akan dapat merusak kesatuan maupun kesepakatan suami istri. 

Anak membutuhkan rasa aman, dan rasa aman bagi anak-anak diperoleh dari ayah dan ibu mereka yang saling mengasihi serta menerapkan prinsip-prinsip Tuhan dalam pernikahan. Tugas dan tanggung jawab sebagai orangtua akan selesai setelah anak menjadi dewasa, menikah, dan meninggalkan rumah. Tetapi tugas dan tanggung jawab sebagai suami dan istri akan terus berlanjut hingga kematian yang memisahkan. Tragisnya, ada banyak pasangan suami istri yang tidak lagi memiliki hubungan setelah anak-anak mereka dewasa karena fokus mereka yang keliru.

Karena itu, suami dan istri perlu sehati dalam arah dan tujuan pernikahan dengan memfokuskan pernikahan mereka agar tetap langgeng dan bahagia. Ada tiga hal yang perlu dikembangkan suami dan istri secara terus menerus, yaitu: 

(1) Saling memberi kebahagiaan dengan cara berkata dan bertindak yang dapat membuat pasangan bahagia; 

(2) Menghadirkan kepuasan bagi pasangan dengan membuat hidup pasangan menjadi berarti; dan 

(3) Menghayati makna “kesatuan yang komplementer” dan menjadi lengkap dengan saling melengkapi satu sama lain. Allah selalu membuat yang baik dan menginginkan yang terbaik (bandingkan Yakobus 1:17). Dia ciptakan semua dalam kondisi baik, Dia ciptakan Adam sungguh amat baik; Ketika Adam sendirian Tuhan melihat tidak baik, sehingga Ia ciptakan Hawa (Kejadian 2:18-24). 

Demikian pula dalam pernikahan, suami dan istri menempatkan semua yang terbaik dan membahagiakan pasangan di atas segalanya. Berusahalah untuk membuat istri atau suami menjadi bahagia. Rasul Paulus mengingatkan,: “Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat” (Roma 12:10). 

AREA PERUBAHAN 4 # RELASI DAN TANGGUNG JAWAB YANG MELUAS

Pernikahan akan membawa suami dan istri pada relasi yang lebih luas. Pernikahan tidak hanya menyatukan pria dan wanita tetapi juga melibatkan relasi dengan keluarga mereka masing-masing. Bentuk dari relasi ini antara lain: relasi mertua dan menantu, relasi antar besan dan relasi dengan paman dan bibi, relasi dengan ipar, dan lainnya. 

Bentuk relasi lainnya adalah relasi pertemanan atau persahabatan. Sebelum menikah pria dan wanita masing-masing mempunyai relasi pertemanannya sendiri-sendiri, tetapi setelah menikah suami dan istri perlu melibatkan diri dan mengenal teman atau sahabat pasangannya dan menerima pertemanan yang dihadirkan dalam pernikahan. Jadi pernikahan membawa relasi yang lebih luas lagi dalam pertemanan dan persahabatan.

Secara khusus, dengan hadirnya anak sebagai karunia dari Tuhan, relasi suami istri dalam pernikahan akan bertambah. Kehadiran anak akan membentuk relasi orangtua dengan anak. Suami dan istri yang telah mempunyai anak, kini menjadi orangtua. 

Relasi ini disertai suatu tanggung jawab, yaitu tanggung jawab orangtua terhadap anak dan tanggung jawab anak-anak terhadap orangtua. Rasul Paulus mengingatkan, “Hai anak-anak, taatilah orangtuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian. Hormatilah ayahmu dan ibumu -- ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini: supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi. Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan. (Efesus 6:1-4). 

Hal yang sama disampaikan rasul Paulus dalam Kolose 3:20-21, “Hai anak-anak, taatilah orangtuamu dalam segala hal, karena itulah yang indah di dalam Tuhan. Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya”. 

Tanggung jawab orang tua terhadap anak-anaknya antara lain: merencanakan masa depan mereka; merawat dan memelihara mereka; mengasuh dan mencukupi kebutuhan mereka; mengasihi mereka; mengajar, mendidik, dan membimbing mereka; memberi teladan dan bersaksi bagi mereka. Sedangkan tanggung jawab anak terhadap orang tua antara lain: membantu orang tua dalam memelihara seisi rumah; mengerjakan tugas-tugas yang diberikan orangtua; dan belajar di bawah bimbingan orangtua.

AREA PERUBAHAN 5 # PERUBAHAN JADWAL PRIBADI UNTUK PROGRAM BERSAMA 

Seorang pria dan wanita yang memutuskan untuk menikah akan mengalami perubahan besar yang terjadi khususnya dalam lingkungan dan jadwal. Mereka harus membiasakan diri untuk hidup bersama. Ini berarti baik suami maupun istri, perlu memangkas dari jadwal mereka hal-hal yang kurang bermanfaat yang dapat menghilangkan kebersamaan mereka. 

Ini juga berarti suami dan istri perlu memberi batasan terhadap pergaulan, hobi, dan kesenangannya sendiri. Mereka perlu meluangkan waktu lebih banyak untuk saling memahami, memberi dan memerima satu dengan yang lain. Hal ini dilakukan mengingat pernikahan menyatukan dua pribadi yang berbeda. Pria dan wanita memiliki kodrat yang tidak sama baik secara fisik, perasaan, maupun perilaku. Ditambah lagi perbedaan dalam kebiasaan, adat istiadat, budaya, pendidikan, sikap dan pembawaan. 


Karena pernikahan itu adalah kesempatan yang diberikan Allah kepada pria dan wanita untuk hidup bersama, maka untuk menjaga kebersamaan dalam keluarga berjalan dengan baik perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 

(1) Menyembah dan melayani Tuhan bersama-sama di gereja lokal; 

(2) Berdoa bersama-sama atau mezbah keluarga; 

(3) Mengatur keuangan bersama-sama; 

(4) Mengerjakan dan menyelesaikan pekerjaan rumah bersama; 

(5) Membuat dan menetapkan rencana untuk masa depan bersama-sama; 

(6) Membiasakan makan bersama-sama; 

(7) Melaksanakan peran dan tanggung jawab masing-masing dengan sebaik-baiknya; 

(8) dan lain sebagianya.

AREA PERUBAHAN 6 # BERSAMA-SAMA MENGELOLA KEUANGAN DAN HARTA MILIK 

Dalam rancangan Allah sejak semula, pernikahan adalah antara satu orang pria dengan satu orang wanita yang menjadi satu. Pernikahan adalah hal yang paling misterius tetapi serius. Karena, “keduanya akan menjadi satu”. Artinya, secara praktis keduanya akan beralih “dari aku dan kau menjadi kita” dan “dari saya dan dia menjadi kami”. Persatuan ini mencakup segalanya, disatukan secara fisik, emosional, intelektual, dan spiritual. Suami dan istri tidak lagi berpusat pada diri sendiri, masing-masing akan memberi dirinya dalam berbagai area, baik rohani, jiwani, maupun jasmani. 

Uang dan harta milik (seperti tanah, rumah, kendaraan, perabotan, aset, uang dan lainnya) masing-masing perlu diserahkan menjadi milik bersama dan dikelola bersama untuk kepentingan bersama satu sama lainnya. Khususnya mengenai keuangan, perlu membuat rencana yang terbaik, dimulai dengan merencanakan anggaran belanja (Amsal 21:5). Dalam bentuk yang sederhana, sebuah anggaran belanja adalah cara untuk melacak uang yang masuk dan keluar. 

Berikut ini prinsip-prinsip pengelolaan keuangan yang dianjurkan, yaitu: (1) Pahami kondisi keuangan yang ada. Perlu untuk mengetahui jumlah pendapatan dan pengeluaran setiap bulannya. Ini bertujuan untuk menghindari ”lebih besar pasak dari pada tiangnya”; (2) Buat buku anggaran yaitu catatan penerimaan dan catatan pengeluaran. Tujuannya adalah untuk mengetahui dari mana datangnya pendapatan keuangan dan mengetahui kemana atau untuk keperluan apa pengeluaran keuangan tersebut. 

Selanjutnya, perlu menentukan prioritas dengan cara membedakan pengeluaran menurut kepentingannya, seperti berikut ini: 

(1) Kewajiban-kewajiban, yaitu kewajiban kepada Allah seperti buah sulung, persepuluhan dan persembahan lainnya; kewajiban kepada pemerintah dan kewajiban lainnya seperti pajak, rekening listrik, rekening PDAM, rekening telepon, pembayaran utang atau cicilaan kredit, iuran, dan lainnya. 

(2) Kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan yang harus terpenuhi seperti: pangan atau makanan; sandang atau pakaian; papan atau rumah tempat tinggal; biaya transport; biaya pendidikan; biaya kesehatan. 

(3) Keinginan, yaitu sesuatu yang kurang begitu penting, yang tidak akan mempengaruhi apapun jika tidak dipenuhi. Keinginan lebih banyak berkenaan dengan gaya hidup seseorang, bukan kebutuhan mendasar, yaitu: rekreasi, jajan, handphone, kendaraan atau mobil mewah.

AREA PERUBAHAN 7 # MINAT YANG LEBIH LUAS

Banyak penelitian menunjukkan bahwa rata-rata orang memiliki antara 500 sampai 700 keterampilan dan kemampuan yang berbeda. Ini mungkin jauh lebih banyak dari pada yang disadari. Berikut ini hanya beberapa dari yang disebutkan dalam Alkitab: kemampuan artistik, kemampuan arsitektur, manajerial, membuat roti, membuat perahu, membuat permen, berdebat, merancang, merempah-rempahi, menenun, memahat, bertani, nelayan, berkebun, memimpin, mengelola, tukang batu, menggubah musik, membuat senjata, menjahit, melukis, menanam, berfilsafat, mekanika, menciptakan, tukang kayu, berlayar, memasarkan, menjadi tentara, mengajar, menulis sastra dan puisi, dan lain sebagainya.

PENUTUP: 

Ketika suami istri menaruh minat serta dapat menerima kemampuan dan kecakapan pasangannya, hal ini akan memberi manfaat bagi mereka. Setiap pasangan adalah sebuah kajian seumur hidup. Suami dan istri perlu mengkaji pasangannya untuk mengenal dan memahami kebutuhan mereka. Penyatuan seorang pria dan wanita dalam pernikahan bukan bermaksud menghilangkan jati dirinya. Kesatuan ini adalah kesatuan yang komplementer yaitu kesatuan yang saling mengisi dan melengkapi. Karena itu, minat seharusnya menghasilkan manfaat-manfaat bagi keduanya. 7 AREA PERUBAHAN PENTING SETELAH MENIKAH.
Next Post Previous Post