BENARKAH FRASE “τo τέλειος” DALAM 1 KORINTUS 13:8-13 MENUNJUK KEPADA ALKITAB?

Pdt.Samuel T.Gunawan.M.Th.
BENARKAH FRASE “τo τέλειος” DALAM 1 KORINTUS 13:8-13 MENUNJUK KEPADA ALKITAB?
BENARKAH FRASE “τo τέλειος” DALAM 1 KORINTUS 13:8-13 MENUNJUK KEPADA ALKITAB? (Sebuah tanggapan terhadap artikel Dr. Suhento Liauw, DRE.,D.Th yang berjudul “ALKITAB FIRMAN YANG SEMPURNA (1 KORINTUS 13:8-13)

PENGANTAR:

Artikelnya Dr. Suhento Liauw, DRE.,D.Th yang berjudul “ALKITAB FIRMAN YANG SEMPURNA” merupakan satu contoh dari tafsiran Alkitab yang keluar dari konteks (out of context) dan contoh dari “reduksi yang tidah sah” terhadap arti kata Yunani “τo τέλειος (yang sempurna)” yang tertulis di dalam 1 Korintus 13:10. Ia menyatakan bahwa kata “τo τέλειος (yang sempurna)” dalam 1 Korintus 13:10 menunjuk pada Alkitab.

Kesalahan eksegesis yang dilakukan oleh Dr. Suhento Liauw, DRE.,D.Th terhadap teks 1 Korintus 13:8-13 ini terjadi disebabkan ia membawa atau memasukkan idenya sendiri ke dalam teks, yaitu ide yang tidak dimaksudkan oleh teks tersebut. Hal ini bisa terjadi karena ia di dalam memahami teks dipengaruni oleh asumsi (anggapan) atau pandangan teologinya sendiri, sehingga memaksanya untuk menafsirkan teks tertentu sesuai dengan apa yang diinginkannya. 

Memang harus diakui, setiap penafsir Alkitab pasti memiliki asumsi (anggapan dasar) sebelum ia menafsirkan Alkitab. Karena itulah tidak seorangpun penafsir Alkitab yang bebas sama sekali dari pengaruh subjektivitas. Tetapi yang dapat dilakukan untuk meminimalisir subjektivitas tersebut adalah dengan bersikap seobjektif mungkin. 

Penafsir memang perlu memiliki asumsi yang wajar tetapi bukan prasangka yang subjektif. Penafsir dengan prasangka yang subjektif pasti akan memasukkan idenya ke dalam bagian Alkitab yang ditafsirnya, sebagaimana yang dilakukan Dr. Suhento Liauw, DRE.,D.Th terhadap teks 1 Korintus 13:10. Biasanya penafsir seperti ini tidak memperhatikan maksud penulis kitab, dan juga tidak memperdulikan jalan pikiran yang sehat (logis) dan bukti yang ada. Jadi penafsir seperti ini lebih memilih memegang asumsinya sendiri ketimbang menyelaraskannya dengan yang penulis Kitab Suci maksudkan.

Secara moral, kesimpulan pernyataan Dr. Suhento Liauw, DRE.,D.Th terhadap teks 1 Korintus 13:10 beserta seluruh argumen yang dibangunnya di atas dasar penyataan tersebut bersifat manipulatif dengan membentuk opini yang reduksionistik bagi pembaca artikelnya, seakan-akan ia telah melakukan penggalian (eksegesis) kebenaran layaknya seorang ekseget yang handal, padahal sama sekali tidak demikian kenyataannya.

Berikut ini saya kutip 16 point penjelasan Dr. Suhento Liauw, DRE.,D.Th terhadap teks 1 Korintus 13:8-13 dalam artikelnya tersebut di atas : “

(1) Paulus nyatakan bahwa KASIH tidak berkesudahan, artinya akan ada kasih terus hingga kekal. KASIH ada sejak awal sampai akhir, dia bukan yang akan datang, kasih sudah ada dan akan ada terus hingga kekal.

(2) Ada tiga karunia rohani yang tidak kekal, yaitu nubuatan yang akan berakhir, bahasa lidah akan berhenti, dan pengetahuan akan lenyap. Perhatikan, seharusnya bukan bahasa roh tetapi dalam bahasa Yunaninya ialah bahasa lidah (speaking in Tongue). Dan pengetahuan yang akan lenyap itu bukan akal sehat, tetapi maksudnya ialah karunia pengetahuan, misalnya pada zaman itu tanpa perlu belajar seseorang diberi pengetahuan. (3) Tiga karunia tersebut akan berhenti, berakhir, dan lenyap apabila “YANG SEMPURNA” tiba.

(4) Ketika yang sempurna tiba maka akan tinggal IMAN, PENGHARAPAN dan KASIH. Berarti ketika yang sempurna tiba orang Kristen masih di bumi sebab kalau sudah di Sorga tentu tidak perlu iman lagi. Dan berarti yang sempurna yang dimaksud oleh Paulus bukan Tuhan Yesus karena kalau Tuhan Yesus tiba maka tidak diperlukan lagi iman maupun pengharapan.

(5) Meninjau bahasa asli dari kata “YANG SEMPURNA” adalah τo τέλειος (to teleion), adalah Adjective, Accusative, Neutral, Singular. Artinya kata sifat, obyek, benda, dan tunggal. Maka itulah sebabnya di banyak Interlinear kata ini diterjemahkan the perfect thing (BARANG sempurna).

(6) Sebuah barang (benda), bukan Yesus karena kalau yang dimaksud Yesus maka Paulus akan memakai gender maskulin.

(7) Jika dihubungkan dengan konteksnya, berarti berbicara tentang sesuatu yang berhubungan dengan nubuatan, bahasa lidah, dan pengetahuan. Barang sempurna ini datang, ia BERPOSISI menggantikan nubuatan, bahasa lidah, dan pengetahuan.

(8) Kelihatannya sulit untuk menghindari penafsiran bahwa yang dimaksud dengan BARANG SEMPURNA di situ ialah ALKITAB atau firman tertulis (Written Revelation). Firman tertulis yaitu firman sempurna, selesai (datang) akan sebagai pengganti firman lisan yang tidak sempurna.

(9) Berarti, ketika Alkitab selesai diwahyukan dan dituliskan, maka nubuatan berakhir, karunia bahasa lidah berhenti, dan karunia pengetahuan lenyap, selanjutnya untuk mendapatkan pengetahuan seseorang harus melalui sekolah, bukan dengan doa puasa”. (10) Pewahyuan isi Alkitab berakhir sampai kitab Wahyu 22:21, sekitar tahun 95-98 AD di pulau Patmos kepada Rasul terakhir yaitu Yohanes, dan itu adalah wahyu terakhir dari Tuhan.

(11) Sesudah pewahyuan kitab Wahyu, maka tidak turun wahyu tambahan lagi, sehingga di Wahyu 22:18-19 dikatakan tidak boleh menambah wahyu lagi. Alkitab menjadi sebuah KANON, atau patokan, atau ukuran.

(12) Karena tidak ada penambahan wahyu lagi maka berarti Alkitab adalah Satu-satunya firman Tuhan, Alkitab adalah kanon tertutup. Kanon artinya ukuran atau patokan, berarti Alkitab adalah satu-satunya PATOKAN kebenaran.

(13) Lalu mengapakah dalam surat Korintus dikatakan kejarlah karunia bernubuat? Jawabnya, pada saat surat Korintus ditulis, yaitu sekitar tahun 50-an, memang proses pewahyuan belum ditutup maka di surat itu dikatakan AKAN berakhir.

(14) Berarti bisa disimpulkan bahwa roh yang menggerakkan orang-orang bernubuat sesudah tahun 98 AD sesungguhnya bukan roh Tuhan, melainkan roh lain (2 Korintus 11:4). (15) Demikian juga dengan bahasa lidah yang marak, sesungguhnya itu adalah asal bunyi ikut-ikutan, atau bersumber dari roh lain seperti yang terjadi pada dukun Tatung. (16) Alkitab adalah satu-satunya firman Tuhan, dan adalah kanon tertutup, tidak ada firman Tuhan di luar Alkitab”.

PERTANYAAN DAN TANTANGAN UNTUK DR. SUHENTO LIAUW, DRE.,D.Th

Saya hampir tidak percaya bahwa tafsiran seperti ini datang dari seorang akademisi dengan dua gelar doktor dalam bidang agama dan teologi yang berslogan Kristen Alkitabiah. Sebaiknya, berhentilah dengan slogan sebagai seorang Kristen Alkitabiah jika masih mempertahankan cara penafsiran Alkitab tetapi tidak dengan cara yang Alkitabiah Pertanyaan muncul disini, “Darimanakah dan bagaimanakah caranya Dr. Suhento Liauw, DRE.,D.Th mendapatkan tafsirannya yang keluar dari konteks dan reduksionistik ini?” 

Melalui tanggapan dan kritik saya ini, Dr. Suhento Liauw, DRE.,D.Th seharusnya tertantang untuk membaca ulang keseluruhan Kitab 1 Korintus, khususnya 1 Korintus 12-14, untuk kemudian melakukan penafsiran yang ketat dan berhati-hati sehingga tidak menghasilkan tafsiran yang ngawur dan konyol seperti itu! Tafsiran yang keluar dari konteks dan tidak seperti yang maksudkan oleh rasul Paulus selaku penulis kitab 1 Korintus. 

Kelihatannya, Dr. Suhento Liauw, DRE.,D.Th perlu mempelajari lagi gramatika Yunani dengan lebih berhati-hati sehingga bisa menafsirkan Alkitab dengan tepat dan mengajarnya dengan benar kepada orang lain. Dr. Suhento Liauw, DRE.,D.Th juga perlu diingatkan kembali tentang peraturan dasar penafsiran Alkitab ini “bahwa suatu teks tidak dapat mempunyai arti yang tidak pernah dimaksudkan oleh penulis atau para pembacanya”. 

Peraturan dasar penafsiran Alkitab yang telah dilanggar oleh Dr. Suhento Liauw, DRE.,D.Th ini tertulis dengan jelas dalam buku “Hermeneutik: Menafsirkan Alkitab Dengan Tepat” yang ditulis bersama oleh Gordon D. Fee dan Douglas Stuart. Gordon D. Fee adalah profesor Perjanjian Baru di Regent College, Vancouver, British Colombia. Sedangkan Douglas Struart adalah profesor Perjanjian Lama di Gordon-Conwell Theological Seminary. (Stuart, Douglas & Gordon D. Fee., 2011. Hermeneutik: Menafsirkan Firman Tuhan Dengan Tepat. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang, hal. 64).

Sebenarnya, bila dicermati lebih jauh, implikasi yang diharapkan oleh Dr. Suhento Liauw, DRE.,D.Th dari tafsirannya terhadap teks 1 Korintus 13:10 tersebut bertujuan untuk menyerang teologi Kharismatik yang mengakui eksistensi karunia-karunia roh (termasuk nubuat dan bahasa roh) masih berlaku saat ini. Alasannya sederhana, Dr. Suhento Liauw, DRE.,D.Th adalah seorang fundamentalis yang sessasionistik, yaitu kelompok yang berpandangan bahwa karunia-karunia rohani telah berhenti ketika kanon Alkitab sudah selesai. 

Tentu saja, pandangan tersebut bertolak belakang dengan teologi Kharismatik yang non sessasionistik (mengakui eksistensi dan keberlanjutan karunia-karunia rohani hingga Kristus datang kembali). Saya sudah membaca artikel-artikel Dr. Suhento Liauw, DRE.,D.Th dan pengikutnya yang secara sporadis dan generalisasi menyerang seluruh gerakan kharismatik dengan sebutan-sebutan yang menghina, tetapi tanpa menyajikan data historis yang valid dan penyajian biblika yang akurat ketika menyerang doktrin kharismatik. 

Sikap permusuhan terhadap kharismatik, telah diekspesikan oleh Dr. Suhento Liauw, DRE.,D.Th dengan kalimat seperti “Kharismatik telah menyeret kekristenan dari hidup bagi Tuhan dan bersaksi kepada dunia menjadi hidup bagi dunia, dan semakin duniawi”. Contoh lainnya ia mengatakan, “Tetapi iblis memberikan Kharismatik, dan juga denominasi-denominasi yang salah sebuah perisai canggih yang namanya jangan menghakimi. 

Tujuannya? Agar mereka tetap di dalam kesalahan”. Ini hanya dua pernyataan yang agak lunak dari banyak tuduhannya yang lebih keras terhadap Kharismatik. Memang benar bahwa semangat yang keras dan kasar dari Dr. Suhento Liauw, DRE.,D.Th dan para fundamentalismetidaklah selalu memuliakan Injil Kristus, khususnya pada saat mereka menggunakan pernyataan-pernyataan negatif untuk menyerang sesama orang percaya lainnya.

Kelihatannya dalam upaya mendapatkan dukungan Kitab Suci bagi tuduhan-tuduhannya terhadap gerakan Kharismatik maka Dr. Suhento Liauw, DRE.,D.Th menggunakan ayat-ayat tertentu dari Alkitab hanya untuk berusaha membuktikan bahwa Kharismatik itu tidak Alkitabiah. Ini merupakan upaya yang sia-sia karena ternyata tafsirannya terhadap ayat-ayat tertentu tersebut justru salah (sesat)! Misalnya, ketika Dr. Suhento Liauw, DRE.,D.Th menyimpulkan bahwa maksud dari frase “τo τέλειος (yang sempurna)” dalam 1 Korintus 13:10 menunjuk kepada Alkitab, maka saya melihat eksegesis Dr. Suhento Liauw, DRE.,D.Th hanya sebatas pada penarikan kesimpulan berdasarkan pemahaman gramatika pada tingkat observasi, itupun dilakukan dengan cara yang tergesa-gesa dan keliru. 

Tafsiran ini tidak legitimit karena tidak didukung oleh konteks. Karena dalam rentang eksegesis manapun, kata “τo τέλειος (yang sempurna)” tidak pernah menunjukkan pada Alkitab. Disini Dr. Suhento Liauw, DRE.,D.Th hanya memasukan idenya sendiri, dan ketika ia memasukan ide asing ke dalam teks yang tak dikenali oleh konteks, maka ia telah melakukan eisegesis yang berlawanan dengan eksegesis.

Saya, dan tentu saja banyak pemimpin Kharismatik lainnya terbuka terhadap kritik. Tetapi ketika kritik tersebut menyerang, menghina dan memfitnah seluruh gerakan Kharismatik tanpa pandang bulu maka saya pastikan berada di posisi terdepan untuk memberikan pembelaan. Ini tidak berarti saya menyetujui ajaran dan praktek tertentu dari beberapa orang yang mengaku Kharismatik tetapi “bablas” dalam ajaran dan prakteknya. 

Persoalan utama disini bukan hanya karena saya perlu memberikan pembelaan dalam posisi saya sebagai seorang teolog injili Kharismatik, melainkan karena tafsiran Dr. Suhento Liauw, DRE.,D.Th tersebut memang tidak sesuai konteks (out of context). Jadi disini, yang sedang saya bicarakan sangat berkaitan dengan epistemonologi, yaitu pencarian dan pembuktian dari apa yang sebenarnya Kitab Suci maksudkan. Karena itu, maka teologi biblika dengan penerapan eksegesis yang akurat harus menjadi dasar dari kesimpulan suatu pandangan teologi. 

Dengan demikian perdebatan bukan berada di sekitar asumi pribadi atau pandangan teologi tertentu, melainkan berfokus pada tujuan menemukan kebenaran yang teks Kitab Suci maksudkan. Pertanyaan sederhana saya untuk Dr. Suhento Liauw, DRE.,D.Th, adalah ini, “bagian manakah di dalam 1 Korintus yang menyatakan, mendukung atau mengindikasikan bahwa kata ‘τo τέλειος (yang sempurna)’ dalam 1 Korintus 13:10 mengacu pada Alkitab?”. Tentu saja jawabannya “tidak ada!”.

Seluruh penjelasan dan argumentasi saya di bawah ini akan memberikan sanggahan (bantahan) terhadap penafsiran salah Dr. Suhento Liauw, DRE.,D.Th yang menyatakan bahwa kata “τo τέλειος (yang sempurna)” dalam 1 Korintus 13:10 mengacu pada Alkitab. Secara sistematis dan terstruktur saya akan menjelaskan arti yang sesungguhnya dari 1 Korintus 13:10. 

Pertama-tama saya akan memulai argumen dengan menyajikan eksegesis singkat seluruh pasal 1 Korintus 13. Kemudian saya akan melanjutkan dengan melakukan analisis terhadap kata sifat “τo τέλειος (yang sempurna)”, dan menghubungkannya dengan analisis konteks. Selanjutnya saya juga akan memberikan kutipan dari pakar teologi dan hermeneutika yang menolak penafsiran kata “τo τέλειος (yang sempurna)” menujuk pada Alkitab dalam 1 Korintus 13:10. Paling akhir, saya akan memberikan kesimpulan dengan menunjukkan tiga prinsip hermeneutika (penafsiran) Alkitab yang telah dilanggar Dr. Suhento Liauw, DRE.,D.Th ketika menafsirkan 1 Korintus 13:10.

EKSEGESIS 1 KORINTUS 13

Pada bagian ini saya akan menyajikan eksegesis singkat seluruh pasal 1 Korintus 13. Melalui eksegesis singkat ini saya akan menunjukkan kata kunci terpenting yang mengikat kesatuan dari seluruh 1 Korintus 13, dan menujukkan makna sesungguhnya dari kata sifat “τo τέλειος (yang sempurna)” dalam ayat 10. Rasul Paulus dalam seluruh pasal 1 Korintus 13 ini sedang membicarakan tentang kasih, yaitu : keunggulan kasih (ayat 1-3), karakteristik kasih (ayat 4-7), kekekalan kasih (ayat 8), kesempurnaan kasih (ayat 9-12) dan kebesaran kasih (ayat 13) dibandingkan dengan karunia-karunia rohani yang ada pada jemaat Korintus.

1. Di 1 Korintus 13: 1-3 rasul Paulus sedang membicarakan tentang keunggulan kasih dibandingkan dengan karunia-karunia lahiriah (bahasa, pengetahuan, iman, dan karunia bernubuat) dan pengorbanan (membagikan dan mati syahid) yang dapat dimiliki oleh manusia. Frase kunci dalam ayat ini adalah frase Yunani “αγαπην δε μη εχω (agapên de mê ekhô) atau secara harfiah berarti “tetapi kasih tidak kumiliki” atau “Tetapi jika aku tidak mempunyai kasih” yang diulang sebanyak 3 kali dalam gaya retorik khas Rasul Paulus. 

Tentu saja hal ini menunjukkan sesuatu yang menjadi penekanan Paulus, yaitu bahwa karunia-karunia rohani tanpa kasih adalah tidak berguna atau sia-sia. Jadi dalam bagian ini rasul Paulus hendak menyatakan bahwa tanpa adanya kasih sebagai motivasi maka karunia-karunialahiriah seperti semua bahasa lidah, ucapan kenabian (nubuat), iman yang menghasilkan mujizat, bahkan pengorbanan diri tidak berguna sama sekali tanpa kasih yang menyertainya. Disinilah keunggulan kasih!

2. Di 1 Korintus 13: 4-7 rasul Paulus sedang membicarakan karakteristik dari “η αγαπη (hê agapê)” atau kasih itu. Paulus tidak berusaha mendefinisikan apa kasih itu, tetapi memperlihatkan sifat-sifat dan tindakan moral dari kasih itu. Tercatat lima belas sifat dan tindakan moral kasih yang disebutkan Paulus, yaitu: 

(1) sabar, bersabar, memberi kesempatan (μακροθυμεω - makrothumeô); 

(2) murah hati, bermurah hati atau baik hati (χρηστευομαι - khrêsteuômai); 

(3) tidak cemburu atau tidak iri hati (ου ζηλοω - ou zêloô); 

(4) tidak memegahkan diri (ου περπερευομαι - ou perpereuomai); 

(5) tidak sombong (ου φυσιοω - ou phusioô); 

(6) tidak melakukan yang tidak sopan (ου ασχημονεω - ou askhêmoneô); 

(7) tidak mencari keuntungan diri sendiri (ου εαυτου - ou heautou); 

(8) tidak pemarah atau tidak mudah tersinggung (ου παροξυνω - ou paroxuno); 

(9) tidak menyimpan kesalahan orang lain atau tidak mengingat hal yang jelek (ου λογιζομαι το κακος - ou logizomai to kakos); 

(10) tidak bersukacita karena ketidakadilan atau tidak bersukacita atas perbuatan yang tidak benar (ου χαιρω επι τη αδικια - ou khairô epi tê adikia); 

(11) Bersukacita bersama kebenaran (συγχαιρει τη αληθεια - sugkhairei tê alêtheia); 

(12) menutupi segala sesuatu (στεγω - stegô); 

(13) percaya segala sesuatu (πιστευω - pisteuô); 

(14) mengharapkan segala sesuatu, (ελπιζω - elpizô); 

(15) sabar menanggung segala sesuatu (υπομονη - hupomonê). Disini dapat dilihat dengan sangat jelas bahwa rasul Paulus memberikan penekanan khusus pada karakteristik kata benda “η αγαπη (hê agapê)”. Kata benda “η αγαπη (hê agapê)” disini ditulis dalam bentuk gender feminim tunggal akusatif. Artikel di depan kata benda tersebut menunjukkan. Kata benda “η αγαπη (hê agapê)” itu sendiri merupakan subjek yang diikuti dengan 15 kata kerja yang berjajar berfungsi untuk menjelaskan subjek tersebut.

3. Di 1 Korintus 13: 8 rasul Paulus sedang membicarakan tentang kekekalan kasih. Frase Yunani “kasih tidak berkesudahan” dalam ayat 8 adalah “η αγαπη ουδεποτε εκπιπτει (hê agapê oudepote ekpiptei)” yang dapat diterjemahkan “kasih sejati tidak pernah lenyap; tidak pernah menghilang; atau tidak pernah berhenti sampai kesudahannya”. Makna frasa ini harus dipahami dari kata “η αγαπη (hê agape)” sendiri, serta pemakaian frasa “ουδεποτε εκπιπτει (oudepote ekpiptei). 

Pertama-tama, analisa leksikal perlu dilakukan pada kata “η αγαπη”, dimana pemakaian kata “η αγαπη” oleh Paulus dilihat sebagai kasih yang mengarahkan relasi antar manusia. Tentu saja ini diperkuat oleh konteks yang memperlihatkan bahwa Paulus sedang berusaha membenahi kesalahpahaman jemaat Korintus mengenai karunia-karunia lahiriah. Tetapi meskipun “η αγαπη” pada pasal 13 dimengerti sebagai kasih yang mengarahkan relasi antar manusia, “η αγαπη” juga mempunyai makna teologis yang khusus. 

Pengertian terhadap makna “η αγαπη” harus dimulai dengan pemahaman bahwa bagi Paulus sumber “η αγαπη” sendiri adalah Allah yang bekerja di dalam Kristus. Paulus memahami bahwa kasih adalah natur dari Allah sendiri (Roma. 8:37-39). Karena itu Paulus mengingatkan jemaat Korintus yang sejatinya telah berada di dalam Kristus, harus memiliki kasih itu (η αγαπη) dalam kehidupan mereka. Kasih menurut Paulus adalah dasar sikap hidup umat Kristen, sehingga kasih adalah yang pertama-tama dan terutama untuk dimiliki orang Kristen sebelum segala karunia-karunia lahiriah. 

Selanjutnya, kata Yunani “εκπιπτει (ekpiptei)” yang memakai tense present menunjukan bahwa kasih itu berlaku saat ini, terus-menerus, dan tanpa akhir. Hal ini diperkuat oleh modus indikatif yang memastikan keseriusan dan kepastian bahwa “η αγαπη” tidak akan berakhir. Berbeda dengan dua kata kerja pada klausa berikutnya, memakai tensa future, lebih tepatnya predictive future, yang berarti di masa depan dua subjek pada dua klausa tersebut yaitu “γλωσσαι - glôssai (bahasa)” dan “γνωσις gnôsis (pengetahuan)” benar-benar akan berakhir, digantikan dengan suatu keberadaan yang lain. 

Bentuk indikatif yang dipakai adalah declarative indicative, yang menunjukkan ketegasan dan kepastian dari pernyataan atau hal yang sedang disampaikan Paulus tersebut. Kesimpulan yang jelas adalah bahwa karunia-karunia lahiriah yang tidak sempurna akan berakhir (1 Korintus 13:9) tetapi kasih terus berlanjut dalam kekekalan.

4. Di 1 Korintus 13: 9-12 rasul Paulus sedang membicarakan tentang kesempurnaan kasih. Frase “ελθη το τελειον (elthê to teleion)” atau “yang sempurna tiba” disini jelas bukan merujuk kepada kanon Perjanjian Baru ataupun rampungnya Alkitab tetapi kepada kesempurnaan kasih yang menyempurnakan orang percaya pada saat kedatangan Kristus kembali. Namun disini beberapa penafsir Alkitab yang kurang memahami gramatika Yunani sering kali terjebak untuk menyimpulkan bahwa kata “το τελειον (yang sempurna)” dalam ayat tersebut adalah suatu benda yang menunjuk kepada Alkitab. 

Penyimpulan seperti ini biasanya disebabkan tidak adanya nominatif (kasus kata benda) dalam ayat tersebut. Secara umum, kata sifat (adjektiva) menjelaskan subjek (nomina atau kata benda) dan memang kebanyakan adjektiva dalam bahaya Yunani Koine bersifat atributif dimana ia berfungsi secara serasi menerangkan nominatif (kata yang diterangkannya dalam kasus). Tetapi jika tidak ada nominatif yang diterangkan oleh adjektiva, maka dalam hal ini adjektiva berfungsi sebagai substantif atau pengganti, dan berperan sebagai subjek (nomina), dan kasusnya ditentukan oleh fungsinya seperti halnya pada nomina. 

Dengan demikian adjektiva dari kata “το τελειον” dalam ayat ini tidak bersifat atributif, tetapi substantif. Karena adjektiva disini bersifat substantif maka ia berfungsi sebagai pengganti yang berperan sebagai nominaf. Dan fungsi dari kasus dalam 1 Korintus 13 terpampang jelas pada subjek atau kata benda (nomina) “η αγαπη (hê agapê)”. 

Menurut Interlinier Perjanjian Baru Yunani Indonesia, kata “το τελειον” dalam 1 Korintus 13:10 tersebut secara gramatikal adalah “adjektiva, neuter, singular, nominatif, no degree” atau “kata sifat berjenis netral tunggal nominatif tak bertingkat”. (Susanto, Hasan, Perjanjian Baru Interlinier, hal 934). 

Dan kata, itu menurut konteks dalam ayat-ayat sebelumnya jelas menunjuk kepada kata benda “η αγαπη (hê agapê)”, dimana “η αγαπη (hê agapê)”, itu merupakan penyempurna bagi orang percaya. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan rasul Paulus selanjutnya bahwa ia akan “επιγνωσομαι (epignôsomai)” atau “mengenal dengan sempurna” dan “κατηργηκα τα του νηπιου (katêrgêka ta tou nêpiou)” atau “meninggalkan sifat kanak-kanak”. 

Jadi yang sempurna itu menunjuk kepada “η αγαπη (hê agapê)” yang akan menyempurnakan orang-orang percaya. Dengan demikian jelas bahwa karunia-karunia lahiriah yang tidak sempurna (1 Korintus 13: 9) akan lenyap ketika yang sempurna tiba (ayat 10). Karena “η αγαπη (hê agapê)” disini berbeda dengan karunia-karunia lahiriah, maka ia “ουδεποτε εκπιπτει” atau “tidak akan pernah berakhir”.

Catatan: Dari penjelasan point 4 di atas, akan timbul pertanyaan, “bagaimana bisa kata sifat τελειον (sempurna) yang bergender netral ditafsirkan sebagai kata αγαπη (agapê) yang bergender feminim? Dan bagaimanakan kasih yang sudah datang dikatakan akan datang lagi jika yang sempurna itu menunjuk kepada kasih? 

Perlu diketahui bahwa kata Yunani mengenal tiga jenis gender, yaitu maskulin, feminim dan netral. Menurut William D. Mounce, Dosen Perjanjian Baru dan Dekan Program Bahasa Yunani di Gordon-Conwell Theological Seminary, bahwa “Gender netral adalah gender yang dipergunakan pada objek yang diwakilinya. Misalnya, kita menyebut batu karang sebagai ‘it’ (dalam bahasa Inggris) karena kita tidak tahu batu karang adalah pria atau wanita. Namun kita menyebut seorang pria sebagai ‘he’ dan wanita sebagai ‘she’. Dalam bahasa Yunani, pronomina (kata ganti benda) mengikuti gender netral”. (Mounce, William D., 2011. Basics of Biblical Greek, edisi 3. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang, hal. 30). 

Selanjutnya, Adjektiva adalah kata sifat yang menerangkan nomina (kata benda) atau pronomina (pengganti kata benda), dengan tiga fungsi, yaitu: atributif, substantif, dan predikat. Adjektiva atributif menyatakan mutu atau kualitas kepada kata yang diterangkan. Ini merupakan pemakaian normal adjektiva. 

Kata yang diterangkan disebut istilah utama. Sedangkan adjektiva predikat menyisipkan sesuatu untuk subjek dan verba entah nyata atau diapliksikan. Berbeda dengan adjektiva atributif dan adjektiva predikat, maka adjketiva substantif berfungsi seperti sebuah nomina (kata benda). William D. Mounce menjelaskan, “Ketika sebuah adjektiva berfungsi sebagai substantif, kasusnya ditentukan oleh fungsinya seperti halnya pada nomina...Gender dan jumlahnya ditentukan oleh apa yang digantikannya”. (Mounce, William D, Basics of Biblical Greek, hal. 62). 

Berdasarkan penjelasan Willian D. Mouce tersebut, maka sifat τελειον (sempurna) yang bergender netral tunggal akan menjadi tunggal feminim karena ia menggantikan kata αγαπη (agapê) yang berbentuk tunggal feminim. Jadi ketika menafsirkan τελειον (sempurna) yang bergender netral tetapi bersifat substantif ini maka kita perlu berfokus pada apa yang digantikannya karena gender netral akan mengikuti apa yang digantikan itu.

5. Di ayat 13 rasul Paulus sedang membicarakan tentang kebesaran kasih. Ayat ini merupakan kesimpulan penutup dari pasal 13 ini dan menunjukkan kebesaran “η αγαπη (kasih itu)”, dibandingkan dengan iman dan pengharapan. Kasih adalah yang paling besar dari kedua hal tersebut, karena ketika Kristus datang kembali, maka iman dan pengharapan akan berakhir. Namun, tiga serangkai “πιστις (iman), ελπις (pengharapan) dan αγαπη (kasih)” dalam ayat 13 di atas adalah frase Yunani “τα τρια ταυτα - ta tria tauta”, yang berarti “ketiga hal-hal ini” ditulis dalam dalam bentuk jamak. 

Dan kita mendapatkan juga kata sebelumnya “μενει - menei” dalam bentuk tunggal, yang menunjukkan bahwa ketiganya akan tetap tinggal dan merupakan suatu kesatuan. Disini kita mendapat pengertian bahwa di dalam kekekalan nanti bukan berarti iman dan pengharapan dalam pengertian tertentu akan berakhir juga. Tetapi yang dimaksud rasul Paulus disini adalah bahwa iman akan mencapai kepenuhannya dan pengharapan akan mendapatkan penggenapannya di dalam kekekalan. 

Selanjutnya, kata Yunani “μειζων - meizon” adalah adjektiva komparatif yang digunakan untuk membandingkan dua atau lebih, sehingga “yang lebih besar” menurut bahasa Yunani sering bermakna “yang paling besar”. Dengan demikian disini tidak berlebihan jika kita menyimpulkan bahwa rasul Paulus sedang membicarakan kebesaran kasih.

Ringkasnya: Berdasarkan eksegesis terhadap 1 Korintus 13 tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kesatuan yang mengikat 1 Korintus 13 adalah kata benda “η αγαπη (hê agapê)” dan kata benda “η αγαπη (hê agapê)” adalah kata kunci terpenting untuk memahami 1 Korintus 13. Secara khusus pada ayat 3-8 kata benda “η αγαπη (hê agapê)” tersebut merupakan subjek yang diikuti dengan lima belas kata kerja yang berjajar berfungsi untuk menjelaskan subjek tersebut. 

Selanjutnya, karena di dalam ayat 10 kata “το τελειον (yang sempurna)” merupakan adjektiva yang bersifat substantif maka ia berfungsi sebagai pengganti yang berperan sebagai nominaf, dan fungsi dari kasus dalam 1 Korintus 13 adalah kata benda (nomina) “η αγαπη (hê agapê)”. Dengan demikian, berdasarkan eksegesis tersebut kita menolak penafsiran yang menyatakan bahwa kata “το τελειον (yang sempurna)” dalam 1 Korintus 13 menunjuk pada Alkitab karena tafsiran tersebut merupakan ide asing yang tidak dikenali oleh penulis kitab maupun pembaca kitab pada saat itu, tetapi ide asing ini berasal dari si penafsir sendiri.

ANALISIS KATA “το τελειον”

Dr. Suhento Liauw, DRE.,D.Th (dan para pengikutnya) dengan menggunakan 1 Korintus 13:10 ini mengajarkan bahwa karunia-karunia rohani sudah berhenti ketika kanon Alkitab selesai dengan penekanan pada frase “ελθη το τελειον (elthê to teleion)” atau “yang sempurna tiba” untuk mendapat dukungan bagi pandangan sessasionistiknya. Ayat ini dianggap seakan-akan rasul Paulus sedang meramalkan kanon Alkitab bahwa yang tidak sempurna itu (karunia-karunia rohani) akan diganti oleh yang sempurna (kanon Alkitab). 

Benarkah yang Paulus maksud demikian? Jawabannya dengan tegas “tidak!”. Perhatikanlah frase Yunani “οταν δε ελθη το τελειον τοτε το εκ μερους καταργηθησεται (hotan de elthê to teleion tote to ek merous katargêthêsetai)” yang dalam bahasa Indonesia telah diterjemahkan dengan baik, “Tetapi jika yang sempurna tiba, maka yang tidak sempurna itu akan lenyap”. Disini, kata “τελειον” yang dipakai rasul Paulus adalah kata sifat (adjektiva) dari kata “τέλειος - teleios”. 

Dalam seluruh Perjanjian Baru kata sifat “τέλειος - teleios” muncul sebanyak 19 kali. Sedangkan kata bendanya (nomina) “τελειότης - teleiotês” muncul sebanyak 2 kali dan kata kerjanya “τελειόω - teleioô” muncul sebanyak 23 kali. Kata itu digunakan dalam pengertian : 

(1) Menyampaikan gagasan membawa kepada kelengkapan atau kadar penuh (Lukas 8:14; 2 Korintus 12:9; Yakobus 1:4); 

(2) Menjadi dewasa atau matang (1 Korintus 14:20; Ibrani 5:14); dan 

(3) Telah mencapai akhir, tujuan, atau target yang tepat atau yang ditentukan (Yohanes 19:28; Filipi 3:12).

Secara khusus kata sifat “τέλειος - teleios” yang muncul sebanyak 19 kali dalam seluruh perjanjian baru ini, yaitu : 3 kali dalam Injil Matius (Matius 4:48; 19:21); 8 kali dalam surat-surat rasul Paulus (Roma 12:2; 1 Korintus 2:6; 13:10; 14:20; Efesus 4:13; Filipi 3:15; Kolose 1:28; 4:12); 2 kali dalam surat Ibrani (Ibrani 5:14; 9:11); dan 6 kali dalam surat-surat kiriman lainnya (Yakobus 1:4, 17, 25; 3:2; 1 Yohanes 4:18). 

Rasul Paulus dalam delapan kali penggunaannnya atas kata sifat “τέλειος - teleios” tersebut tidak satupun yang mengemukakan gagasan atau menujukkan kepada selesainya kanon Perjanjian Baru atau rampungnya Alkitab. Dan untuk mendapatkan ketepatan pengertian rasul Paulus ketika ia menggunakan kata sifat “τελειον (teleion)” dalam 1 Korintus 13:10 di atas, maka ada baiknya kita membandingkannya dengan teks lainnya yang menggunakan kata itu. 

Disini kita akan melihat penggunaannya dalam konteks yang paling dekat dengan teks. Berikut 2 teks lainnya yang paling dekat dengan 1 Korintus 13:10 dimana Paulus menggunakan kata sifat “τελειον (teleion)”, yaitu 1 Korintus 2:6 yang berbunyi, “Sungguhpun demikian kami memberitakan hikmat di kalangan mereka yang telah matang (τέλειος - teleios), yaitu hikmat yang bukan dari dunia ini, dan yang bukan dari penguasa-penguasa dunia ini, yaitu penguasa-penguasa yang akan ditiadakan”, dan dalam 1 Korintus 14:20 yang berbunyi, “Saudara-saudara, janganlah sama seperti anak-anak dalam pemikiranmu. 

Jadilah anak-anak dalam kejahatan, tetapi orang dewasa (τέλειοι - teleioi) dalam pemikiranmu!”. Dalam kedua teks tersebut ketika menggunakan kata sifat “(τέλειος - teleios)” jelas bahwa rasul Paulus tidak berbicara tentang selesainya kanon Perjanjian Baru atau rampungnya Alkitab. Kata sifat “(τέλειος - teleios)” dalam kedua ayat tersebut digunakan untuk menunjukkan kedewasaan atau keadaan menjadi dewasa. 

Dari cara rasul Paulus menggunakan istilah “τελειον (teleion)” dalam contoh-contoh di atas maupun pada bagian lainnya menunjukkan dengan jelas kepada kita bahwa kata tersebut dalam 1 Korintus 13:10 tidak boleh ditafsirkan dengan pengertian sebagai selesainya kanon Perjanjian Baru atau rampungnya Alkitab, melainkan sebagai “kesempurnaan kasih yang menyempurnakan orang percaya”.

Jadi, istilah Yunani “τελειον (teleion)” dalam 1 Korintus 13:10 tidak dapat digunakan untuk mengacu pada selesainya kanon Perjanjian Baru atau rampungnya Alkitab, melainkan sebagai “kesempurnaan kasih yang menyempurnakan orang percaya”. Segala sesuatu akan diubah jika yang sempurna tiba. Lalu segala sesuatu yang tidak sempurna itu akan lenyap, bahkan karunia bahasa lidah yang digemari orang Korintus. Yang sempurna menyisihkan yang kurang sempurna dengan memenuhinya. Kasih menyempurnakan pengetahuan yang tidak sempurna. 

Kedewasaan rohani dan penggunaan yang tepat dari karunia-karunia rohani tersebut merupakan maksud dari rasul Paulus dalam ayat 10 ini. Hal ini sesuai konteks dekat pernyataan rasul Paulus dalam ayat 11 yang menggambarkan pertumbuhan dari kanak-kanak menjadi dewasa. 

Bahkan sebelumnya di 1 Korintus 3:1-2 Rasul Paulus dengan jelas memberitahaun keadaan jemaat di Korintus yang masik kanak-kanak dan belum dewasa ini, “Dan aku, saudara-saudara, pada waktu itu tidak dapat berbicara dengan kamu seperti dengan manusia rohani, tetapi hanya dengan manusia duniawi, yang belum dewasa dalam Kristus. Susulah yang kuberikan kepadamu, bukanlah makanan keras, sebab kamu belum dapat menerimanya. Dan sekarang pun kamu belum dapat menerimanya”. Kehidupan ini tidak ada yang sempurna (Filipi 3:12), maka harus ada pertumbuhan didalam kedewasaan Kristen seperti halnya seorang anak berkembang dari kanak-kanak hingga dewasa. 

Rasul Paulus katakan, “Ketika aku kanak-kanak, aku berkata-kata seperti kanak-kanak, aku merasa seperti kanak-kanak, aku berpikir seperti kanak-kanak” (1 Korintus 13:11). Dengan memberi tekanan kepada bahasa lidah dan karunia-karunia lainnya tetapi mengabaikan kasih maka sikap jemaat di Korintus ini menunjukkan sifat yang belum dewasa. Seiring dengan datangnya kasih yang sempurna, maka mereka akan menjadi sempurna dalam pemgertian menjadi dewasa.

KONTEKS 1 KORINTUS 13

Korintus, sebuah kota kuno di Yunani, dalam banyak hal merupakan kota metropolitan Yunani yang terkemuka pada zaman Paulus. Seperti halnya banyak kota yang makmur pada masa kini, Korintus menjadi kota yang angkuh secara intelek, kaya secara materi, dan bejat secara moral. Segala macam dosa merajalela di kota ini yang terkenal karena perbuatan cabul dan hawa nafsu. Bersama dengan Priskila dan Akwila (1 Korintus 16:19) dan rombongan rasulinya sendiri (Kisah Para Rasul 18:5), Paulus mendirikan jemaat Korintus itu selama delapan belas bulan pelayanannya di Korintus pada masa perjalanan misinya yang kedua (Kisah Para Rasul 18:1-17). 

Jemaat di Korintus terdiri dari beberapa orang Yahudi tetapi kebanyakan adalah orang bukan Yahudi yang dahulu menyembah berhala. Setelah Paulus meninggalkan Korintus, berbagai macam masalah timbul dalam gereja yang masih muda itu, yang memerlukan wewenang dan pengajaran rasulinya melalui surat-menyurat dan kunjungan pribadi.

Surat 1 Korintus ditulis selama tiga tahun pelayanannya di Efesus ( Kisah Para Rasul 20:31) pada waktu perjalanan misinya yang ketiga (Kisah Para Rasul 18:23--21:16). Berita mengenai masalah-masalah jemaat di Korintus terdengar oleh Paulus di Efesus pertama-tama dari orang-orangnya Chloe (1 Korintus 1:11), kemudian dari utusan jemaat Korintus yaitu Stefanus, Fortunatus, dan Akhaikus (1 Korintus 16:17) yang menyampaikan sepucuk surat kepada Paulus berisi permohonan agar Paulus memberikan petunjuknya atas berbagai persoalan di Korintus (1 Korintus 7:1; bandingkan 1 Korintus 8:1; 1 Korintus 12:1; 1 Korintus 16:1). Sebagai tanggapan atas berita dan surat yang diterimanya dari Korintus inilah sebabnya Paulus menulis surat ini. 

Kelihatannya, Paulus memiliki dua alasan utama dalam ketika ia menulis surat ini, yaitu: 

(1) Untuk membetulkan masalah yang serius dalam jemaat di Korintus yang telah diberitahukan kepadanya. Hal-hal ini meliputi pelanggaran yang dianggap remeh oleh orang Korintus, tetapi dianggap oleh Paulus sebagai dosa serius; dan 

(2) Untuk memberikan bimbingan dan instruksi atas berbagai pertanyaan yang telah ditulis oleh orang Korintus. Hal-hal ini meliputi soal doktrin dan juga perilaku dan kemurnian sebagai perorangan dan sebagai jemaat.

Pertanyaannya, “mengapa Rasul Paulus, ketika menulis surat kepada jemaat di Korintus, ini justru menuliskan tentang kasih?” Pasal 13 tentang kasih secara unik memisahkan pasal 12 dan 14 yang menjelaskan tentang karunia-karunia Roh. Alasan yang paling penting mengapa Rasul Paulus menulis pasal 13 tentang kasih dalam 1 Korintus ini adalah karena ia sedang memberikan teguran kepada jemaat di Korintus. 

Mereka adalah jemaat yang menerima karunia besar dari Tuhan, karunia-karunia rohani, dan merupakan jemaat yang dinamis sekali. Tetapi, Korintus adalah jemaat yang paling bermasalah, baik itu masalah doktrinal, kurangnya moralitas, hubungan seksual di antara anggota keluarga (incest), hubungan dengan persembahan berhala dan sebagainya. 

Di tengah-tengah situasi yang kacau itu, Rasul Paulus memberikan pengajarannya tentang penggunaan karunia roh dan pentingnya karunia rohnai sehingga tidak disalahgunakan. Setelah dia memberikan pengajarannya, barulah dia menekankan bahwa yang terpenting dari semuanya adalah kasih. keutamaan kasih ini disebut oleh Paulus sebagai “jalan yang lebih utama” (1 Korintus 12:31b).

Rasul Paulus dalam seluruh pasal 1 Korintus 13 sedang membicarakan tentang kasih. Disini ia menjelaskan tentang keunggulan kasih (ayat 1-3), karakteristik kasih (ayat 4-7), kekekalan kasih (ayat 8), kesempurnaan kasih (ayat 9-12) dan kebesaran kasih (ayat 13) dibandingkan dengan karunia-karunia rohani yang ada pada jemaat Korintus. 

Dimana pada saat surat ini ditulis jemaat Korintus bersikap masih kanak-kanak rohani dengan membanggakan karunia-karunia roh yang ada pada mereka tetapi mengabaikan penerapan kasih. Di jemaat Korintus saat itu terjadi perpecahan, pertikaian, percabulan, penyembahan berhala, dan kesombongan, padahal mereka berlimpah dengan karunia rohani. Masalah utamanya terletak pada kurangnya penerapkan kasih, bukan pada kurangnya karunia rohani. 

Dengan demikian, menurut konteksnya di dalam 1 Korintus 13 ini Paulus sama sekali tidak membicarakan tentang kanon Perjanjian Baru ataupun Alkitab, tetapi ia sedang membicarakan tentang kekekalan dan kesempurnaan kasih dibandingkan karunia-karunia rohani, termasuk karunia nubuat, bahasa roh, dan pengetahuan, yaitu “kesempurnaan kasih yang menyempurnakan orang percaya”.

Sebagai tambahan, kasih yang menyempurnakan itu sudah datang tetapi kita semua akan menjadi sempurna di dalam kasih hanya pada saat kedatangan kristus kembali yang kedua kalinya. Tafsiran ini lebih konsisten dengan perkataan Paulus sebelumnya dalam 1 Korintus 1:7, yang mengatakan, “Demikianlah kamu tidak kekurangan dalam suatu karunia pun sementara kamu menantikan penyataan Tuhan kita Yesus Kristus”. 

Kata “karunia” yang digunakan rasul Paulus dalam ayat ini adalah “χαρισμ (charisma)” menunjuk kepada karunia-karunia rohani sebagai pemberian dari Allah. Menarik untuk memperhatikan bahwa rasul Paulus menyatakan bahwa jemaat di Korintus tidak akan “kekurang dalam suatu karuniapun” atau dalam frese Yunaninya “μη υστερεισθαι εν μηδενι χαρισματι (mê hustereisthai en mêdeni kharismati)”. 

Kata Yunani “μη υστερεισθαι (mê hustereisthai)” atau “tidak kekurangan” dalam ayat ini ditulis dalam bentuk duoble negative (negatif ganda) yang kuat, yaitu gabungan dari “μη” dan “υστερεισθαι” yang dapat diterjemahahkan dengan parafrase “tidak mungkin dapat berkekurangan sedikitpun”. 

Seluruh karunia rohani telah dilimpahkan oleh Allah kepada jemaat di Korintus dan mereka tidak mungkin akan kekurangan sedikitpun dari seluruh karunia rohani itu dengan rentang waktu hingga “αποκαλυψιν του κυριου ημων ιησου χριστου (apokalupsin tou kuriou hêmôn iêsou khristou)” atau “penyataan Tuhan Yesus Kristus”. Kata Yunani “αποκαλυψιν (apokalupsin)” yang diterjemahkan dengan “pernyataan” menunjuk kepada kedatangan Kristus yang kedua kali.

Perlu diketahui, bahwa rasul Paulus menggunakan tiga istilah untuk menjelaskan kedatangan Kristus kembali, yaitu parousia, apokalypsis dan ephipania. Kata parousia yang berarti “kehadiran”, dipakai untuk menjelaskan kedatangan Kristus kembali. Kata epiphania yang berarti “penampakan”, juga dipakai menunjuk kepada kedatangan Kristus kedua kali yang kelihatan atau dapat dilihat. Sedangkan kata apokalysis merupakan istilah yang berarti “penyataan” atau “pengungkapan”, juga menunjuk kepada kedatangan Kristus kedua kali. 

Menurut George E. Ledd, Professor Perjanjian Baru di Fuller Theological Seminary, bahwa “kedatangan Kristus juga akan menjadi satu apokalypsis, satu pengungkapan atau penyataan. .. Apokalypsis-Nya itu yang akan mengungkapkan kemuliaan dan kuasa yang sekarang dimilikiNya kepada dunia (2 Tesalonika 1:7; 1 Korintus 1:7; lihat juga 1 Petrus 1:7; 13). 

Jadi kedatangan Kristus yang kedua kali itu tidak dapat dipisahkan dari kenaikkanNya dan bagianNya di surga, karena peristiwa itu akan mengungkapkan ketuhananNya kepada dunia dan akan menjadi penyebab setiap lutut untuk bertelut dan setiap lidah untuk mengakui ketuhananNya (Filipi 2:10-11)”. (Ladd, George Eldon., 1999, Teologi Perjanjian Baru. Jilid II. Terj, Penerbit Kalam Hidup: Bandung, hal. 350-351). 

Dengan demikian, seluruh karunia roh termasuk bahasa roh, nubuat, dan pengetahuan, tidak akan berhenti hingga saat apokalypsis, yaitu pada saat kedatangan Kristus kembali, yaitu pada waktu kedatanganNya yang kedua kali dalam kemuliaanNya. Parena pada saat itulah semua karunia rohani akan tidak lagi diperlukan oleh tubuh Kristis (gereja).

Pernyataan bahwa seluruh karunia rohani termasuk bahasa roh, nubuat, dan pengetahuan akan terus berlanjut hingga kedatangan Kristus kembali dikuatkan secara tajam oleh Wayne Grudem seorang Calvinis Baptis, dan profesor teologi sistematika dan Alkitab di Trinity Evangelical Divinity School di Deerfield Illinois, AS. Serta juga ahli riset dalam bidang Alkitab dan teologi di Phoenix Seminary, Arizona, yang mengatakan demikian, “Beberapa orang mengemukakan bahwa maksud 1 Korintus 13:8 ini Paulus mengharapkan nubuat dan bahasa roh akan berhenti pada awal sejarah gereja. 

Tetapi apakah nas ini betul-betul mengajarkan hal itu? Kita harus melihat konteksnya yang agak luas... dalam ayat 9, Paulus memberikan alasan mengapa nubuat dan bahasa roh akan berhenti; ia berkata, ‘nubuat kita tidak sempurna, tetapi jika yang sempurna tiba, maka yang tidak sempurna itu akan lenyap’ (1 Korintus 13:9-10). 

Jadi ia mengatakan bahwa nubuat akan lenyap pada suatu waktu tertentu, yaitu ‘pada waktu yang sempurna itu tiba’. Tetapi kapan waktu itu akan tiba? Sudah pasti waktu itu terjadi pada saat kedatangan Yesus Kristus yang kedua kali. Alasannya, karena waktunya harus sama dengan waktu yang dinyatakan dengan kata ‘nanti’ dalam ayat 12, “sekarang kita melihat dalam cermin suatu gambaran yang smar-samar, tetapi nanti kita akan melihat muka dengan muka. Sekarang akan hanya mengenal dengan tidak sempurna, tetapi nanti aku akan mengenal dengan sempurna, seperti aku sendiri dikenal’. 

Ungkapan: ‘melihat muka dengan muka’ adalah sebuah frase Perjanjian Lama untuk menyatakan melihat Allah secara pribadi (Baca Kejadian 32:30; Keluaran 33:11; Ulangan 34:10; Hakim-hakim 6:22; Yehezkiel 20:35 – hanya di dalam ayat-ayat Perjanjian Lama inilah muncul frse bahasa Yunani atau padanannya dalam bahasa Ibrani, dan semuanya merujuk kepada pengertian melihat Allah). 

Saat ketika aku akan mengenal ‘seperti aku sendiri dikenalnya’ pasti merujuk kepada kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kali (1 Yohanes 3:2; Wahyu 22:4)”. (Wayne A. Grudem, Haruskah Orang Kristen Mengharapkan Mujizat Sekarang Ini? Berbagai Keberatan dan Jawaban dari Allah, dalam Greig, Gary. S & Kevin N. Spinger, ed., 2001. The Kingdom And The Power. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang, hal. 112-113).

PENDAPAT PARA PAKAR TEOLOGI TERHADAP TEKS 1 KORINTUS 13:8-10

Pada bagian ini saya sengaja mengutip pandangan dan kesimpulan tafsiran teks 1 Korintus 13:8-10 dari para ahli teologi dan hermeneutik yang diakui kepakarannya, dimana mereka menyatakan bahwa kata “το τελειον (yang sempurna)” dalam ayat 1 Korintus 13:10 tersebut bukan menunjuk kepada kanon Perjanjian Baru ataupun Alkitab. Artinya, penafsiran Dr. Suhento Liauw, DRE.,D.Th jelas kontras (bertentangan) dengan penafsiran para pakar teologi dan hermeneutika.Berdasarkan penjelasan saya di atas, saya yakin bahwa penafsiran para pakar ini lebih akurat dibandingkan dengan penafsiran Dr. Suhento Liauw, DRE.,D.Th.

1. David K. Lowery, profesor Peneliti Perjanjian Baru di Dallas Theological Seminary menyatakan bahwa menafsirkan “το τελειον (yang sempurna)” sebagai selesainya kanon Perjanjian Baru adalah penafsiran yang meragukan dan tidak ada bukti jelas dalam surat ini bahwa karunia-karunia rohani itu berhenti. Ia menuliskan demikian, “Sebagian orang menafsirkan kedatangan ‘yang sempurna’ sebagai suatu referensi untuk penyelesaian Perjanjian Baru. Tetapi kebenaran bahwa Paulus kemudian berkata dalam teks ini, ‘sekarang aku hanya mengenal dengan tidak sempurna, tetapi nanti aku akan mengenal dengan sempurna, seperti aku sendiri dikenal’ (ayat 12) memberikan alasan untuk meragukan penafsiran ini. 

Paulus sepertinya menantikan suatu masa ketika seluruh batasan duniawi pada akhirnya akan berlalu dan keintiman dengan Allah akan menjadi sempurna. Jadi sementara pemikiran-pemikiran historis seperti pembentukan Perjanjian Baru bisa berarti bahwa karunia-karuniaawal seperti nubuat berhenti di dalam generasi pertama gereja, tidak ada bukti jelas dalam surat-surat ini bahwa Paulus menganggap karunia-karunia itu tidak bekerja di dalam suatu waktu di masa depan” (David K. Lowery, teologi Dari Surat-Surat Misi Paulus dalam Zuck, Roy B, editor., 2011. A Biblical of Theology The New Testament. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang, hal. 311).

2. Gordon D. Fee, profesor Perjanjian Baru di Regent College, Vancouver, British Colombia dan Douglas Struart, profesor Perjanjian Lama di Gordon-Conwell Theological Seminary menyatakan bahwa 1 Korintus 13:10 merupakan ayat yang paling sering dipakai untuk mendukung pengabaian perintah mencari karunia-karunia rohani. Menurut kedua ahli ini menyatakan bahwa “το τελειον (yang sempurna)” menunjuk kepada rampungnya kanon Alkitab merupakan penafsiran yang mengabaikan maksud dari teks tersebut dan merupakan eksegese yang salah. 

Kedua profesor ini menuliskan demikian, “Suatu teks tidak dapat mempunyai arti yang tidak pernah dimaksudkan oleh penulis ataupun para pembacanya. Itulah sebabnya, eksegese harus selalu diutamakan. Khususnya penting kita mengulang dasar pikiran ini disini, karena hal ini sekurang-kurangnya menetapkan beberapa parameter arti. Peraturan ini tidak selalu menolong kita untuk menemukan apa yang dimaksud oleh satu teks, tetapi itu membantu untuk membatasi apa yang tidak dapat dimaksudkannya. Misalnya, yang paling sering dipakai untuk membenarkan pengabaian perintah untuk mencari karunia-karuniaRoh dalam 1 Korintus 14 ialah suatu penafsiran yang khusus mengenai 1 Korintus 13:10, yang menyatakan bahwa, ‘jika yang sempuna tiba, maka yang tidak sempurna itu akan lenyap’. 

Kita diberitahu bahwa yang sempurna sudah datang, dalam bentuk Perjanjian Baru, dan karena itu yang belum sempurna (nubuat dan bahasa roh) sudah berhenti berfungsi dalam gereja. Akan tetapi ini adalah satu hal yang tidak dapat dimaksudkan oleh teks itu karena eksegese yang baik sama sekali menolaknya. Tidak mungkin Paulus bermaksud demikian; bagaimanapun juga, orang-orang di Korintus tidak mengetahui akan ada Perjanjian Baru, dan Roh Kudus tidak akan mengijinkan Paulus menulis sesuatu yang sama sekali tidak dimengerti oleh mereka”. (Stuart, Douglas & Gordon D. Fee., 2011. Hermeneutik: Menafsirkan Firman Tuhan Dengan Tepat. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang, Hal. 64).

3. Bob Utley, seorang profesor dalam bidang hermeneutika (penafsiran Alkitab) di East Texas Baptist University dalam komentarnya terhadap frase “jika yang sempurna tiba” menolak penafsiran bahwa itu menunjuk pada kanon perjanjian Baru ataupun Alkitab. Ia menjelaskan demikian, “Istilah ini (yaitu, teleios) berarti ‘kedewasaan, kelengkapan’, atau ‘lengkap sepenuhnya untuk tugas yang diberikan’ (lihat 1 Korintus 2:6; 13:10; 14:20). Pertanyaannya selalu, ‘Menunjuk pada apakah ini?’

(1) Beberapa orang telah menegaskan bahwa hal itu merujuk pada Perjanjian Baru. Tidak ada satupun dalam konteks ini yang menunjuk ke arah ini. Ini hanyalah suatu teori yang digunakan untuk mengklaim bahwa karunia-karunia rohani telah berhenti pada masa pasca rasuli;

(2) Beberapa telah menegaskan bahwa itu merujuk pada kedewasaan rohani karena ayat 11 (yaitu, anak kemudian dewasa) atau penggunaan yang tepat dari karunia-karunia rohani; dan

(3) Beberapa telah menegaskan bahwa itu merujuk pada kedatangan kedua Kristus dan penyempurnaan dari zaman baru kebenaran karena ayat 12 (yaitu, ‘melihat muka dengan muka”). Bagi saya tampaknya menjadi kombinasi dari point (2) dan point (3)”. (Utley, Bob., 2011. Surat-Surat Paulus Kepada Kepada Sebuah Gereja Yang Bermasalah: I dan II Korintus. Terjemahan, diterbitkan Bible Lesson International: Marshall, Texas, hal. 221-222).

4. Wayne A Grudem, seorang profesor teologi sistematika dan Alkitab di Trinity Evangelical Divinity School di Deerfield Illinois, AS. Dia juga ahli riset dalam bidang Alkitab dan teologi di Phoenix Seminary, Arizona, serta ahli teologi sistematika, membantah penafsiran kata “yang sempurna dalam 1 Korintus 13:10 mengacu pada kanon Perjanjian Baru atau Alkitab. Ia mengatakan demikian, “Beberapa orang berdebat bahwa ungkapan ‘jika yang sempurna itu tiba’ mengacu kepada waktu kanon Perjanjian Baru sudah lengkap. (Kirab terakhir Perjanjian Baru yang ditulis adalah Kitab Wahyu. 

Kitab ini ditulis paling lambat pada tahun 90, sekitar 35 tahun sesudsah Paulus menulis surat 1 Korintu). Tetapi apakah warga jemaat Korintus dapat mengerti hal itu dari apa yang ditulis Paulus? Apakah ada yang menyeburkan mengenai suatu kumoulan kitab-kitab Perjanjian Baru atau suatu kanon Perjanjian Baru dalam konteks 1 Korintus 13 ini? Gagasan semacam itu asing bagi konteks 1 Korintus 13 ini. 

Lagi pula, penyataan semacam itu tidak akan sesuai dengan tujuan Paulus mengemukakan argumen itu. Apakah akan lebih persuasif beragumen sebagai berikut: kita dapat memastikan bahwa kasih tidak akan berakhir, karena kasih dapat bertahan lebih dari 35 tahun? Argumen seperti ini hampir-hampir tidak akan menjadi argumen yang meyakinkan. 

Sebaliknya, konteks nas ini menuntut bahwa Paulus akan membandingkan zaman ini dengan zaman yang akan datang dan kasih akan berlangsung sampai kekal. ..Ini berarti kita mempunyai penyatan Alkitab yang jelas bahwa Paulus mengharapkan karunia bernubuat (dan secara tidak langsung, mungkin semua karunia rohani) berlangsung sepanjang zaman gereja dan berfungsi demi kepentingan gereja hingga kedatangan Tuhan Yesus kembali”. (Greig, Gary. S & Kevin N. Spinger, ed., 2001. The Kingdom And The Power. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang, hal. 112-113).

Catatan: Sebagai tambahan, perlu diketahui bahwa para pakar teologi dan hermeneutik yang saya kutip pendapatnya tersebut di atas bukanlah teolog Kharismatik melainkan dari latar belakang berpandangan teologi Injili Calvinis dan Injili Despensasional. Dengan demikian, tidak bisa dikatakan bahwa tafsiran saya tersebut dibuat-buat hanya untuk “mengamankan” (seperti yang seringkali dituduhkan para fundamentalisme) posisi teologi Kharismatik yang saya yakini, karena terbukti tafsiran itu juga dipegang oleh para pakar teologi dari Injili Calvinsi dan Injili Dispensasional yang bukan Kharismatik.

TIGA PRINSIP HERMENEUTIKA YANG DILANGGAR DR. SUHENTO LIAUW, DRE.,D.Th

Apabila eksegesis dipahami merujuk kepada prinsip-prinsip penafsiran yang benar, wajar, dan sehat untuk menemukan arti dari suatu kata, frase atau teks, maka tidak bisa terhindarkan bahwa eksegesis akan diwujudkan dalam serangkaian argumen dan kesimpulan yang menunjukkan bahwa eksegesis itu telah dilakukan dengan tepat. Namun setelah memperhatikan dengan cermat, paling sedikit ada tiga prinsip penafsiran Alkitab yang telah dilanggar secara langsung oleh Dr. Suhento Liauw, DRE.,D.Th ketika ia menafsirkan 1 Korintus 13:10 tersebut yaitu:

1. Melanggar prinsip menafsir menurut konteksnya. Sangat penting untuk menafsirkan kata, frase, kalimat dan ayat dalam suatu teks dengan terlebih dahulu mempertimbangkan konteksnya. Ini penting karena tanpa mempelajari konteksnya maka pengertian kita terhadap kata, frase, kalimat dan ayat tersebut menjadi tidak lengkap, khususnya jika ada kaitan pengertian yang tidak dapat dilepaskan satu dengan yang lain. 

Kata “konteks” berasal dari dua kata Latin, yaitu kata “con” yang berarti “bersama-sama atau menjadi satu” dan kata “textus” yang berarti “tersusun”. Jadi yang dimaksud dengan konteks disini menujuk pada kalimat atau bagian yang berada disekitar teks (ayat yang ditafsir). 

Konteks sendiri terdiri dari konteks dekat (ayat-ayat paling dekat yang berada sebelum dan sesudah teks yang ditafsirkan) dan konteks jauh (mulai dari seluruh bagian pada kitab dimana teks yang hendak ditafsirkan berada hingga seluruh Alkitab). Atau dalam sebuah bentuk lingkaran mulai dari lingkaran terdekat, maka yang dimaksud dengan konteks adalah konteks langsung, konteks keseluruhan kitab, konteks dari kumpulan kitab-kitab dari penulis yang sama, konteks seluruh Perjanjian Lama atau Perjanjian Baru, dan konteks keseluruhan Alkitab. 

Jadi intinya jelas bahwa dalam menafsirkan Alkitab, teks (text) yang tidak dibaca dan dipelajari dengan memperhatikan konteks (context) akan menjadi “dalil” (pretext). Ini merupakan bahaya yang perlu diwaspadai oleh para penafsir Alkitab. Kesalahan inilah yang telah dilakukan oleh Dr. Suhento Liauw, DRE.,D.Th ketika menafsirkan 1 Korintus 13:10. Ia telah melakukan proof-texting, yaitu mengambil bagian-bagian tertentu dari Kitab Suci dan menafsirkannya secara tidak bertanggung jawab hanya untuk mempertahankan asumsi pribadi dan pandangan teologinya.

Bahaya dari penafsiran yang mengabaikan konteks (seperti yang telah dilakukan oleh Dr. Suhento Liauw, DRE.,D.Th di atas) telah diperingatkan oleh tiga pakar teologi dan hermeneutik dalam buku mereka yang berjudul Introduction To Biblical Interpretation. Ketiga pakar itu adalah Willian W. Klien profesor Perjanjian Baru di Denver Seminary, Craig L. Blomberg profesor Kehormatan Perjanjian Baru di Denver Seminary dan Robert L. Hubbard, Jr profesor Perjanjian Lama di North Park Theological Seminary, Chicago. 

Dalam buku yang tersebut mereka mengingatkan demikian, “Setiap pernyataan harus dipahami sesuai dengan makna alamiah yang berlaku dalam konteks kesusastraan yang dipakai. Prinsip ini merupakan satu-satunya prinsip terpenting dari hermeneutika, karena konteks kesusastraan merupakan unsur terpenting dari semua komunikasi bahasa. Ia mempengaruhi pemahaman pembaca atas makna dari kata-kata individual maupun makna dari sebuah pernyataan lengkap. ... Akibat wajar dari prinsip di atas adalah sebuah teks tanpa konteks mungkin merupakan sebuah protext. 

Meskipun berfungsi sebagai perluasan dan panduan sebelumnya, prinsip ini ditampilkan secara negatif dan fokus pada penyalahgunaan atas Kitab Suci. Disini kami mengartikan ‘pretext’ sebagai sebuah penafsiran yang dibuat-buat yang hanya kelihatan absah; padahal pada kenyataannya ia telah mengaburkan makna yang sesungguhnya. 

Prinsip ini berfungsi sebagai sebuah peringatan atas kecenderungan populer untuk melakukan proof-texting secara tidak bertanggung jawab: mengutip bagian-bagian Alkitab untuk membuktikan sebuah doktrin atau standar bagi kehidupan Kristen tanpa memperdulikan konteks sastranya” (Klein, William W, Craig L. Blomberg, Robert L. Hubbard., 2012. Introduction Biblical Interpretation. Jilid 2, terjemahan, Literatur SAAT: Malang, hal 12).

2. Melanggar prinsip menentukan arti kata aslinya. Ini berarti harus menafsirkan sesuai dengan arti kata atau kata-kata yang tepat sebagaimana dimaksudkan oleh penulis aslinya, dengan cara menemukan definisi kata itu dan apa artinya yang tepat sesuai dengan konteks zaman atau budaya waktu penulisannya. 

Sama seperti kalimat tidak dapat dipahami maknanya tanpa membaca konteksnya, begitu juga kata tidak dapat dipahami artinya tanpa membaca kalimatnya. Upaya memahami makna sebuah kata perlu dilakukan dalam lingkupan kalimat, sebaliknya jika penafsir belum dapat memastikan makna kata, maka mungkin dia akan sulit mengerti maksud kalimat itu. Jadi konteks kalimat dan kata mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan. 

Ketika menafsirkan “τελειον (teleion)” dalam 1 Korintus 13:10 dan menggunakannya untuk mengacu pada selesainya kanon Perjanjian Baru atau rampungnya Alkitab, maka Dr. Suhento Liauw, DRE.,D.Th telah mengeliminasi (membuang) arti kata yang sesungguhnya dimaksudkan oleh rasul Paulus selaku penulis kitab Korintus dan menggantinya dengan arti yang asing. 

Karena dari 8 kali kemunculan kata sifat “τελειον (teleion)” yang digunakan oleh rasul Paulus dalam surat-surat kirimannya menujukkan bahwa kata itu digunakannya untuk menjelaskan “kedewasaan atau keadaan menjadi dewasa”, dan tidak satupun menujuk pada kanon Perjanjian Baru ataupun Alkitab. Memasukan ide asing ke dalam teks yang tak dikenali oleh konteks ini merupakan kesalahan eksegesis yang disebut dengan istilah “eisegesis”.

Bahaya dari penafsiran yang mengabaikan prinsip makna dari kata aslinya (seperti yang telah dilakukan oleh Dr. Suhento Liauw, DRE.,D.Th di atas) juga telah diperingatkan oleh tiga pakar teologi dan hermeneutik Willian W. Klien, Craig L. Blomberg Robert L. Hubbard dalam buku mereka teresebut di atas. Mereka mengingatkan demikian, “Kita harus melatih diri untuk menghindari diri dari secara ceroboh (atau secara tidak bertanggung jawab) memaksakan makna-makna tertentu ke dalam kata-kata untuk mencapai tujuan tertentu. Godaan seperti ini akan menjadi sangat besar kalau terdapat makna tertentu yang dapat mendukung pandangan teologi atau pendapat pribadi dari penafsir” (Klein, William W, Craig L. Blomberg, Robert L. Hubbard.,. Introduction Biblical Interpretation. Jilid 2, hal 84).

3. Melanggar prinsip menafsir sesuai tata bahasa (gramatika). Arti dari sesuatu bagian atau paragraf harus ditentukan oleh penyelidikan kata-kata yang ada di dalamnya dan hubungannya dalam kalimat. Kita menyebutnya sebagai gramatika (tata bahasa). 

Perlu diketahui, bahwa tata bahasa diperlukan untuk menyampaikan suatu berita dengan jelas dan akurat. Tata bahasa sendiri berkaitan dengan kaidah dari struktur yang terdiri dari unsur penting, seperti: subjek, objek, predikat, kata kerja, kata sifat, kata keterangan, kata ganti, kata sambung, dan lainnya. 

Kaidah dari struktur tersebut digunakan oleh penulis kitab untuk menyusun kalimat sebagai kesatuan yang bermakna dan dapat dipahami oleh pembaca pada saat kitab itu ditulis. Secara metodologi, penelitian gramatika paling sedikit meliputi 2 hal, yaitu penyelidikan kata (lexiologi) dan penyelidikan tata bahasa dan relasi sintaksis. 

Karena kata memiliki artinya masing-masing dan maksud penggunaanya sangat bertalian erat dengan kata-kata lain yang membentuk sebuah kalimat maka penyelidikan antar kata atau antar frase (kalimat) menjadi sangat penting. Inilah yang disebut relasi sintaksis, yaitu menyelidiki hubungan antar kata dalam sebuah kalimat atau anak kalimat (frase). Jadi sebenarnya yang terutama ialah bagaimana agar penafsiran gramatikal tidak melenceng dari maksud keseluruhan teks dan sinkron dengan keseluruhan konteks.

Ketika Dr. Suhento Liauw, DRE.,D.Th menyimpulkan bahwa “τελειον (teleion)” dalam 1 Korintus 13:10 adalah kata benda yang menujuk kepada Alkitab maka ia telah melakukan kesalahan gramatika. Kesalahan gramatika ini terjadi disebabkan pemahaman Dr. Suhento Liauw, DRE.,D.Th terhadap gramatika Yunani Koine (bahasa asli Perjanjian Baru) hanya sebatas observasi interlinier. Perhatikanlah cara Dr. Suhento Liauw, DRE.,D.Th menafsir dengan menggunakan interliner dalam kutipan berikut ini “Meninjau bahasa asli dari kata “yang sempurna” adalah τo τέλειος (to teleion), adalah adjective, accusative, neutral, singular. 

Artinya kata sifat, obyek, benda, dan tunggal. Maka itulah sebabnya di banyak Interlinear kata ini diterjemahkan the perfect thing (barang sempurna). Sebuah barang (benda), bukan Yesus karena kalau yang dimaksud Yesus maka Paulus akan memakai gender maskulin. Jika dihubungkan dengan konteksnya, berarti berbicara tentang sesuatu yang berhubungan dengan nubuatan, bahasa lidah, dan pengetahuan. Barang sempurna ini datang, ia berposisi menggantikan nubuatan, bahasa lidah, dan pengetahuan. Kelihatannya sulit untuk menghindari penafsiran bahwa yang dimaksud dengan barang sempurna di situ ialah Alkitab atau firman tertulis (Written Revelation). 

Firman tertulis yaitu firman sempurna, selesai (datang) akan sebagai pengganti firman lisan yang tidak sempurna”. Tidak perlu pendidikan teologi tingkat doktoral jika hanya menjelaskan gramatika Yunani dengan cara seperti yang dilakukan Dr. Suhento Liauw, DRE.,D.Th tersebut. Dengan bantuan interlinier, penyajian seperti itu juga dapat dilakukan dengan mudahnya oleh sarjana teologi strata 1, bahkan dapat dilakukan mahasiswa teologi semester 6 atau 7 yang telah lulus mata kuliah Ibrani dan Yunani!


Disini Dr. Suhento Liauw, DRE.,D.Th yang kurang memahami gramatika Yunani terjebak untuk menyimpulkan bahwa kata “το τελειον (yang sempurna)” dalam ayat tersebut merupakan suatu benda (barang) yang menunjuk kepada Alkitab. Penyimpulan seperti ini biasanya disebabkan tidak adanya nominatif (kasus kata benda) dalam ayat tersebut. 

Secara umum, kata sifat (adjektiva) menjelaskan subjek (nomina atau kata benda) dan memang kebanyakan adjektiva dalam bahaya Yunani Koine pada umumnya bersifat atributif dimana ia berfungsi secara serasi (sama) menerangkan nominatif (kata yang diterangkannya dalam kasus. Tetapi jika tidak ada nominatif yang diterangkan oleh adjektiva, maka dalam hal ini adjektiva berfungsi sebagai substantif atau pengganti, dan berperan sebagai subjek (nomina), dan kasusnya ditentukan oleh fungsinya seperti halnya pada nomina. 

Disinilah kesalahan Dr. Suhento Liauw, DRE.,D.Th, ia lupa atau mungkin tidak tahu, bahwa “setiap gramatika memiliki kaidah kekecualian atau kaidah khusus”. Adjektiva “το τελειον (yang sempurna)” dalam 1 Korintus 13:10 tidak bersifat atributif tetapi bersifat substantif, karena itu ia berfungsi sebagai pengganti yang berperan sebagai nominaf. Menurut William D. Mounce, Dosen Perjanjian Baru dan Dekan Program Bahasa Yunani di Gordon-Conwell Theological Seminary, “Ketika sebuah adjektiva berfungsi sebagai substantif, kasusnya ditentukan oleh fungsinya seperti halnya pada nomina...Gender dan jumlahnya ditentukan oleh apa yang digantikannya”. (Mounce, William D, Basics of Biblical Greek, hal. 62). 

Berdasarkan penjelasan Willian D. Mouce tersebut, maka sifat τελειον (sempurna) yang bergender netral tunggal akan menjadi tunggal feminim karena ia menggantikan kata αγαπη (agapê) yang berbentuk tunggal feminim. Jadi ketika menafsirkan τελειον (sempurna) yang bergender netral tetapi bersifat substantif ini maka kita perlu berfokus pada apa yang digantikannya karena gender netral akan mengikuti apa yang digantikan itu. 

Dan kata, itu menurut konteks dalam ayat-ayat sebelumnya jelas menunjuk kepada kata benda “η αγαπη (hê agapê)”, dimana “η αγαπη (hê agapê)”, itu merupakan penyempurna bagi orang percaya. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan rasul Paulus selanjutnya bahwa ia akan “επιγνωσομαι (epignôsomai)” atau “mengenal dengan sempurna” dan “κατηργηκα τα του νηπιου (katêrgêka ta tou nêpiou)” atau “meninggalkan sifat kanak-kanak”. 

Jadi yang sempurna itu menunjuk kepada “η αγαπη (hê agapê)” yang akan menyempurnakan orang-orang percaya. Karena saat itulah, seperti yang rasul Paulus katakan bahwa ia akan “επιγνωσομαι (epignôsomai)” atau “mengenal dengan sempurna” dan “κατηργηκα τα του νηπιου (katêrgêka ta tou nêpiou)” atau “meninggalkan sifat kanak-kanak”. Kasih yang menyempurnakan itu sudah datang tetapi kita semua akan menjadi sempurna di dalam kasih hanya pada saat kedatangan kristus kembali yang kedua kalinya.

PENUTUP: 

HIMBAUAN KEPADA DR. SUHENTO LIAUW, DRE.,D.Th

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kata “τo τέλειος (yang sempurna)” dalam 1 Korintus 13:10 yang ditafsirkan oleh Dr. Suhento Liauw, DRE.,D.Th menunjuk pada rampungnya Perjanjian Baru atau pun Alkitab di dalam artikelnya yang berjudul “ALKITAB FIRMAN YANG SEMPURNA” tidak hanya tafsiran yang bersifat meragukan tetapi merupakan kesalahan eksegesis ditinjau dari konteks, arti kata, dan kaidah gramatika. 

Ini merupakan satu contoh dari tafsiran Alkitab yang keluar dari konteks (out of context) dan contoh dari “reduksi yang tidah sah” terhadap arti kata Yunani “τo τέλειος (yang sempurna)” yang tertulis di dalam 1 Korintus 13:10. Karena itu, seperti yang sudah saya katakan pada bagian pendahuluan artikel ini, sekali lagi saya sarankan sebaiknya Dr. Suhento Liauw, DRE.,D.Th berhenti memakai slogan sebagai seorang Kristen Alkitabiah apabila masih mempertahankan cara penafsiran yang tidak Alkitabiah. 

Juga kelihatannya Dr. Suhento Liauw, DRE.,D.Th perlu mempelajari lagi gramatika Yunani, tidak hanya sampai pada tingkat observasi interlinier, tetapi lebih teliti dan mendalam sehingga bisa menafsirkan Alkitab dengan tepat dan mengajarnya dengan benar kepada orang lain.

Akhirnya, berdasarkan hasil eksegesis, analisis kata dan analisis konteks terhadap 1 Korintus 13:10 yang dipakai Dr. Suhento Liauw, DRE.,D.Th untuk menyerang gerakan Kharismatik justru menunjukkan bahwa ajaran dan keyakinan akan eksistensi dan kontinuitas (keberlangsungan) karunia-karunia rohani itu merupakan ajaran yang Alkitabiah (ssesuai dengan Alkitab). 

Hal ini konsisten dengan pernyataan tegas rasul Paulus dalam 1 Korintus 1:7 bahwa jemaat di Korintus tidak mungkin akan kekurangan karunia-karunia rohani dengan rentang waktu hingga saat apocalupsis (kedatangan Kristus yang kedua kali). Hal ini jelas berdasarkan penegasan double negatif yang kuat dari kata Yunaninya “μη υστερεισθαι εν μηδενι χαρισματι (tidak mungkin dapat berkekurangan sedikitpun)”. 

Dengan demikian, Dr. Suhento Liauw, DRE.,D.Th (dan pengikut-pengikutnya para fundamentalis) yang bersikeras menunjukkan bahwa ajaran dan teologi Kharismatik itu sesat, tidak alkitabiah, bahkan menuduhnya sebagai penyusupan atau alat Iblis, ternyata tuduhan yang sama ini juga dapat ditujukan kepadanya dan para pengikutnya, “bahwa dibalik slogan kekristenan yang Alkitabiah terselip pengajaran yang sesat, dan ini merupakan penyusupan terselubung dari Iblis, bapak segala dusta itu”. 

Hal ini dapat dilihat lebih lanjut dari banyaknya tafsiran-tafsiran yang salah terhadap teks tertentu dalam Kitab Suci di dalam artikel-artikel lain Dr. Suhento Liauw, DRE.,D.Th (yang juga akan saya tanggapi). Logikanya sederhana saja, “tidak mungkin seseorang bisa mengajar dengan benar dari hasil tafsiran yang salah”! Kalau Dr. Suhento Liauw, DRE.,D.Th (dan pengikut-pengikutnya para fundamentalis baptis) benar-benar akademisi yang cerdas, maka berpikirlah sebagaimana layak akademisi yang cerdas melakukannya. Sola Scriptura, Soli Deo Gloria!

Ikuti saya di google news untuk membaca artikel lainnya :



Carson, D.A., 2009. Kesalahan-Kesalahan Eksegetis. Terjemahan, Penerbit Momentum: Jakarta.

Clark, Howard, ed. 2010. The Learning Bible Contemporary English Version. Dicetak dan diterbitkan Lembaga Alkitab Indonesia : Jakarta.

Conner, Kevin J., 1993. Pengetahuan Dasar Alkitab, diktat. Harvest International Theological Seminary/Harvest Publication House: Jakarta.

Conner, Kevin J & Ken Malmin., 1983. Interprenting The Scripture. Edisi Indonesia dengan judul Hermeneuka, Terjemahan 2004. Penerbit Gandum Mas: Malang.

Cox, Alan D., 1988. Penafsiran Alkitabiah : Prinsip-prinsip Hermeneutik. Yayasan Lembaga Sabda : Yokyakarta.

Drewes, B.F, Wilfrid Haubech & Heinrich Vin Siebenthal., 2008. Kunci Bahasa Yunani Perjanjian Baru. Jilid 1 & 2. Penerbit BPK Gunung Mulia : Jakarta.

Erickson J. Millard., 2003. Teologi Kristen. 3 Jilid. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang.

Fee, Gordon D., 2002. New Testament Exegesis. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT: Malang.

Ferguson, B. Sinclair, David F. Wright, J.I. Packer., 2009. New Dictionary of Theology. jilid 2, terjemahkan, Penerbit Literatur SAAT : Malang.

Fisher, Don L., 1987. Pra Hermeneutik. Penerbit Gandum Mas : Malang.

Greig, Gary. S & Kevin N. Spinger, ed., 2001. The Kingdom And The Power. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang.

Grudem, Wayne., 1994. Systematic Theology: A Introduction to a Biblical Doctrine. Zodervan Publising House : Grand Rapids, Michigan.

Gunawan, Samuel T., 2009. Pengantar Hermeneutika Alkitab. Diktat. Dicetak dan diterbitkan oleh BESEI Ministries: Palangka Raya.

Guthrie, Donald., 2010. New Tastemant Theology. 2 Jilid, Terjemahan. Penerbit BPK : Jakarta.

Gutrie, Donald., 1990 New Tastament Introduction. Edisi Indonesia dengan judul Pengantar Perjanjian Baru, Jilid 2, diterjemahkan (2009), Penerbit Momentum: Jakarta.

Iverson, Dick., 1994. The Holy Spirit Today, Diktat. Terjemahan, Harvest International Teological Seminary, Harvest Publication House: Jakarta.

Klein, William W, Craig L. Blomberg, Robert L. Hubbard., 2012. Introduction Biblical Interpretation. Jilid 1 & 2, terjemahan, Literatur SAAT: Malang.

Ladd, George Eldon., 1999, Teologi Perjanjian Baru. Jilid I dan II. Terj, Penerbit Kalam Hidup: Bandung.

Marxsen, Willi., 2012. Pengantar Perjanjian Baru: Pendekatan Kristis Terhadap Masalah-Masalahnya. Terjemahan. Penerbit BPK : Jakarta.

Mounce, William D., 2011. Basics of Biblical Greek, edisi 3. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang.

Ngandas, Deky Hidnas Yan., 2013. Paradigma Eksegetis Penting dan Harus. Penerbit Indie Publising: Depok.

Osbone, Grant R., 2012. Spiral Hermeneutika: Pengantar Komprehensif Bagi Penafsiran Alkitab. Terjemahan, Penerbit Momentum : Jakarta.

Pandensolang, Welly., 2010. Gramatika dan Sintaksis Bahasa Yunani Perjanjian Baru. Penerbit YAI Press : Jakarta.

Schafer, Ruth., 2004. Belajar Bahasa Yunani Koine: Panduan Memahami dan Menerjemahkan Teks Perjanjian Baru. Penerbit BPK Gunung Mulia : Jakarta.

Pfeiffer F. Charles & Everett F. Harrison., ed. 1962. The Wycliffe Bible Commentary. Volume 1,2 & 3. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas Malang.

Stein, Robert H., 2015. Prinsip-Prinsip Dasar dan Praktis Penafsiran Alkitab. Terjemahan, Penerbit ANDI Offset: Yogyakarta.

Stott, John R.W., 2000. Memahami Isi Alkitab. Terj. Diterbitkan oleh Persekutuan Pembaca Alkitab : Jakarta.

Stuart, Douglas., 1994. Eksegese Perjanjian Lama. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang.

Stuart, Douglas & Gordon D. Fee., 2011. Hermeneutik: Menafsirkan Firman Tuhan Dengan Tepat. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang.

Susanto, Hasan., 2003. Perjanjian Baru Interlinier Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru, jilid I & II. Penerbit Literatur SAAT : Malang.

___________., 2011. Hermeneutika: Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab. Penerbit Literatur SAAT : Malang.

Tenney, Merril C., 1985. New Testament Survey. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang.

Utley, Bob., 2011. Surat-Surat Paulus Kepada Kepada Sebuah Gereja Yang Bermasalah: I dan II Korintus. Terjemahan, diterbitkan Bible Lesson International: Marshall, Texas.

Virkler A. Henry & Karelynne Gerber Ayayo., Hermeneutik: Prinsip-Prinsip dan Proses Interpretasi Alkitabiah. Terjemahan, Penerbit Andi. Yogyakarta.

Zuck, Roy B, editor., 2011. A Biblical of Theology The New Testament. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang.https://teologiareformed.blogspot.com/

BENARKAH FRASE “τo τέλειος” DALAM 1 KORINTUS 13:8-13 MENUNJUK KEPADA ALKITAB?
Next Post Previous Post