AJARAN TENTANG MAKANAN HALAL DAN HARAM MENURUT PANDANGAN ALKITAB

Pdt.Samuel T. Gunawan, M.Th.
AJARAN TENTANG MAKANAN HALAL DAN HARAM MENURUT PANDANGAN ALKITAB
AJARAN TENTANG MAKANAN HALAL DAN HARAM MENURUT PANDANGAN ALKITAB. “Sebab Akulah TUHAN, Allahmu, maka haruslah kamu menguduskan dirimu dan haruslah kamu kudus, sebab Aku ini kudus, dan janganlah kamu menajiskan dirimu dengan setiap binatang yang mengeriap dan merayap di atas bumi. Sebab Akulah TUHAN yang telah menuntun kamu keluar dari tanah Mesir, supaya menjadi Allahmu; jadilah kudus, sebab Aku ini kudus. Itulah hukum tentang binatang berkaki empat, burung-burung dan segala makhluk hidup yang bergerak di dalam air dan segala makhluk yang mengeriap di atas bumi, yakni untuk membedakan antara yang najis dengan yang tahir, antara binatang yang boleh dimakan dengan binatang yang tidak boleh dimakan” (Imamat 11:44-47)

PROLOG: 

Makan adalah suatu realitas jasmani sekaligus rohani dalam Alkitab. Lebih dari tujuh ratus rujukan yang disebutkan dalam Alkitab tentang tindakan makan, sehingga dapat disimpulkan bahwa makan adalah topik yang penting yang dibicarakan Alkitab. Baik secara jasmani maupun rohani, makan mengkomunikasikan paradigma Pencipta yang menyediakan dan manusia yang bergantung. Makan juga mendemonstrasikan berita tentang perbuatan-perbuatan Allah yang paling berkemurahan (bandingkan Matius 6:25-34). Makan adalah suatu pengingat yang terus menerus tentang eksistensi manusia dalam dunia, merupakan suatu aktivitas bagi keberlangsungan hidup, sebab tanpa makan manusia tidak bisa hidup.

Makanan adalah segala bahan yang tersedia bagi kebutuhan makan manusia. Alkitab menyebut tentang makanan dari awal sampai akhir, yang mengisi kisah kehidupan manusia setiap hari. Walaupun segala yang diciptakan Tuhan itu baik, tetapi tidak semuanya boleh dimakan oleh manusia. Pada awalnya, semua tumbuhan berbiji, termasuk gandum dan sayur, dan buah dari pohon-pohonan berbiji menjadi makanan manusia (Kejadian 1:29; 2:16), sedangkan tumbuh-tumbuhan hijau menjadi makanan binatang (kejadian 1:30). 

Setelah kejatuhan manusia dalam dosa, manusia harus bekerja keras mencari makanannya, dan tumbuh-tumbuhan dipadang menjadi makanannya (Kejadian 3:17-18). Sejak saat itu, manusia mulai bertani/berladang untuk menghasilkan makanan bagi keberlangsungan hidupnya (Kejadian 3:23; 4:2,3), hingga zaman Nuh sebelum air bah, tumbuh-tumbuhan ini tetap menjadi makanan yang biasa dimakan manusia (Kejadian 6:21). Tetapi setelah air bah, manusia tidak hanya makan dari hasil pertanian, karena Tuhan mengijinkan binatang yang hidup dan bergerak untuk dimakan manusia, dengan pengaturan berupa larangan memakan darahnya (Kejadian 9:3-4).

Jadi pada masa awal setelah air bah, meskipun sudah ada pembedaan antara hewan korban yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima, tetapi dalam kaitannya dengan makanan, tampaknya tidak ada pembedaan antara makanan hewani yang najis dan tidak najis, atau antara yang halal dan yang haram. 

Dikemudian hari, pengaturan mengenai yang halal dan yang haram diperkenalkan dan ditetapkan Tuhan melalui Musa kepada bangsa Israel dalam suatu hukum, yang kita kenal sebagai hukum Taurat. Khususnya, bagian Alkitab dalam Imamat 11 dan Ulangan 14 terlihat bahwa Tuhan memberikan peraturan tentang binatang / hewan yang boleh dimakan dan binatang / hewan yang tidak boleh dimakan. Pengaturan ini terus berlaku dalam Perjanjian Lama hingga Kristus membatalkannya dalam Perjanjian Baru (bandingkan Markus 7:18-19; Efesus 2:15).

PENGERTIAN HALAL DAN HARAM

Kamus Bahasa Indonesia mengartikan halal sebagai “diizinkan atau tidak dilarang menurut agama; merupakan lawan dari kata haram”. Sedangkan haram berarti “tidak diizinkan atau dilarang menurut agama; merupakan lawan dari kata halal”. Kata Ibrani “tahor” berarti “bersih dari kotoran, halal atau tahir”.  Sedangkan kata “tame” berarti “kotor, najis atau haram” (Bandingkan, Imamat 11 dan Ulangan 14).

Kata Yunani yang biasa dipakai untuk “haram” adalah “’akathatros” yang berarti “najis menurut ritus agama; kotor dalam pengertian moral”, merupakan lawan dari kata “katharos”. Kata “katharos” ini dalam Alkitab bahasa Indonesia diterjemahkan dengan “bersih, murni, jernih, suci, dan halal”. Kata “katharos” dalam pengertian fisik berarti bersih dari kotoran, murni seperti emas dimurnikan oleh api; Dalam pengertian imamat berarti  halal atau tahir sebagai lawan dari haram atau najis; Dalam pengertian etis berarti bebas dari dosa dan kesalahan, tidak bersalah atau suci. 

Kata Yunani lainnya yang digunakan untuk menerjemahkan kata haram adalah “koinon” yang berarti “najis, tidak tahir, haram”. Sedangkan kata Yunani lainnya yang digunakan untuk menerjemahkan halal adalah “exesti” yang berarti “diperbolehkan atau diizinkan menurut hukum” (Bandingkan Matius 14:4; Markus 7:19; Kisah Para Rasul 10:14-15; Roma 14:20).

Ringkasnya, halal berarti sesuatu yang diperbolehkan atau diizinkan menurut peraturan, sedangkan haram berarti sesuatu yang tidak diperbolehkan atau tidak diizinkan menurut peraturan. Yang dimaksud dengan peraturan disini mengacu pada ketetapan atau hukum dalam Kitab Suci (Alkitab). Dalam hubungannya dengan makanan maka halal berarti boleh dimakan menurut Alkitab, sedangkan haram berarti tidak boleh dimakan menurut Alkitab.

DAFTAR BINATANG YANG HALAL DAN HARAM DALAM PERJANJIAN LAMA

Sebelum air bah pada zaman Nuh, meskipun sudah ada pembedaan antara hewan korban yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima, tetapi dalam kaitannya dengan makanan, tampaknya tidak ada pembedaan antara makanan hewani yang najis dan tidak najis, atau antara yang halal dan yang haram. 

Pembedaan haram dan tidak haram dalam Kejadian 7:1-10 tampaknya lebih mengikuti Imamat 11 dan Ulangan 14, tetapi sekali lagi lebih ditujukan kepada keperluan korban (Bandingkan Kejadian 8:20), ketimbang keperluan makan (Bandingkan Kejadian 9:3). Regulasi mengenai binatang / hewan yang halal dan yang haram barulah ditetapkan Tuhan kepada bangsa Israel melalui Musa dalam suatu hukum, yang kita kenal sebagai hukum Taurat, khususnya dalam bagian kitab Imamat 11 dan Ulangan 14.

Imamat 11:1-23 , juga bandingkan Ulangan 14:3-21, merupakan penetapan daging hewan / binatang  yang boleh dimakan dan yang tidak boleh dimakan dalam empat golongan yang berbeda, yaitu :

1. Binatang berkaki empat (Imamat 11:2-8; Ulangan 14:4-8). Dari binatang yang berkaki empat ini, hanya yang berkuku belah dan yang memamah biak yang boleh dimakan, jenis hewan ini antara lain disebutkan: lembu (sapi, kerbau), domba, kambing, rusa, kijang, dan sebagainya. Sedangkan jenis hewan yang diharamkan antara lain: unta, kelinci, pelanduk, marmot, dan babi.

2. Binatang yang hidup di air  (Imamat 11:9-12; Ulangan 14;9-10). Dari binatang yang hidup di air (di laut maupun di sungai), hanya ikan yang bersirip dan bersisik yang boleh dimakan. Sedangkan yang tidak bersirip dan bersisik dilarang. Peraturan ini jelas melarang spesies berkulit licin seperti ikan lele atau belut dan krustasea berkulit keras seperti kepiting, kerang, udang, lopster, katak dan sebagainya.

3. Binatang yang merayap dan bersayap dan jenis burung  (Imamat 11:13-19; Ulangan 14;9-10). Dari binatang yang merayap dan bersayap serta burung-burung yang dilarang disebutkan sekitar dua puluh jenis antara lain : rajawali, ering, elang, dendang, gagak, burung unta, burung hantu, camar, pungguk, undan, ranggung, bangau, meragai dan kelelawar. Juga segala binatang mengeriap yang bersayap. 

Jenis burung atau unggas ini biasanya pemakan daging atau bangkai.  Sedangkan burung-burung lainnya yang tidak termasuk dalam daftar haram di atas, dianggap bersih dan dihalalkan terutama adalah jenis burung-burung atau unggas pemakan serangga, tempayak atau padi-padian, seperti burung dara, dan  lain sebagainya.

4. Binatang  hewan yang merayap dan bersayap dan jenis serangga  (Imamat 11:20-23). Dari segala segala binatang yang merayap dan bersayap dan berjalan dengan keempat kakinya dilarang untuk dimakan. Sedangkan yang boleh dimakan jenis belalang, yang walaupun merupakan binatang yang merayap, bersayap dan yang berjalan dengan keempat kakinya, tetapi belalang mempunyai paha di sebelah atas kakinya untuk melompat di atas tanah. 

MENGAPA TUHAN MEMBERIKAN PERATURAN MENGENAI HALAL DAN HARAM INI BAGI BANGSA ISRAEL?

Pertanyaan penting dan logisnya ialah “Mengapa binatang-binatang yang pada waktu diciptakan Tuhan dalam kondisi semuanya baik, kemudian ada yang diharamkan (Kejadian 1:21,25)? Bukankah ini menunjukkan suatu kontradiksi dan menunjukkan bahwa Tuhan tidak konsisten? Sebenarnya, tidak ada yang kontradiksi, apalagi menuduh Tuhan tidak konsisten! Jelaslah bahwa semua binatang yang diciptakan Tuhan itu baik dari mulanya, dan hingga saat ini semua yang diciptakanNya itu baik (1 Timotius 4:4 )

Artinya binatang itu haram bukan karena ia diciptakan haram. Dengan kata lain, binatang itu haram bukan dari dirinya sendiri, melainkan karena Tuhan yang pada suatu waktu menyatakannya haram khusus untuk UmatNya Israel. Perhatikanlah misalnya sebagai contoh, dalam Ulangan 14:21, “Janganlah kamu memakan bangkai apa pun, tetapi boleh kauberikan kepada pendatang yang di dalam tempatmu untuk dimakan, atau boleh kau jual kepada orang asing; sebab engkaulah umat yang kudus bagi TUHAN, Allahmu”. 

Dalam ayat ini, umat Israel dilarang memakan bangkai (binatang mati), tetapi bangkai itu sendiri boleh diberikan atau dijual oleh orang Israel kepada  pendatang atau orang asing untuk dimakan. Dengan demikian jelaslah bahwa binatang-binatang yang dikategorikan (dinyatakan) haram pada saat itu merupakan larangan yang dikhususkan bagi umat Israel. Lalu apakah alasan Tuhan mengharamkan beberapa binatang dan tetap menghalalkan yang lainnya bagi umat Israel, jika semua yang diciptakan  itu baik? Paling sedikit ada tiga alasannya, yaitu :

1.  Peraturan mengenai binatang halal dan haram ini merupakan kehendakNya yang berdaulat bagi bangsa Israel (Bandingkan Imamat 11:44-45).

Perhatikanlah frase “sebab Akulah TUHAN...”. Frase ini menunjukkan bahwa Dia adalah Allah yang berdaulat. Kata “Akulah (I am)” merupakan terjemahan kata Ibrani “אֲנִי־הוּא - ANI HU” yang hanya diucapkan oleh TUHAN Allah (YHVH ELOHIM) dan dihubungkan erat dengan ungkapan lain yang dipakai Allah untuk menyatakan diri-Nya, khususnya dengan frasa “ANI YHVH (Akulah TUHAN)”. 

Allah berdaulat berarti bahwa Ia adalah Pribadi yang utama di alam semesta dan yang tertinggi kekuasaanNya di alam semesta. Ia mencipta, memelihara, dan memerintah segala sesuatu secara sempurna. Ia sepenuhnya menguasai segala sesuatu, dan semua mahluk ciptaan berada dibawahNya, dan ia berbuat segala sesuatu kepada mereka sesuai dengan yang dikehendakiNya. 

Tetapi ini bukan berarti bahwa Allah itu sewenang-wenang, karena segala sesuatu yang dilaksanakanNya sesuai dengan rencanaNya dalam kekekalan menurut kehendakNya. Dengan demikian Allah bebas dan tidak dibatasi oleh apapun selain oleh kehendakNya sendiri, untuk merencanakan dan bertindak sesuai sesuai dengan yang dikehendakiNya. Demikian juga, ia berkehendak agar bangsa Israel, umat pilihanNya itu tidak memakan binatang yang diharamkanNya. Ketetapan mengenai larangan ini harus ditaati oleh bangsa Israel, dengan demikian mereka belajar taat dibawah otoritas dan supremasi Allah. 

2.  Peraturan mengenai binatang halal dan haram ini memisahkan Israel sebagai bangsa yang berbeda dari bangsa-bangsa lainnya disekitar mereka (Ulangan 14:2).

Perintah berupa larangan memakan binatang yang diharamkan dalam Ulangan 14:3-21, diawali dengan pernyataan Tuhan melalui Musa demikian, “sebab engkaulah umat yang kudus bagi TUHAN, Allahmu, dan engkau dipilih TUHAN untuk menjadi umat kesayangan-Nya dari antara segala bangsa yang di atas muka bumi” (Ulangan 14:2). 

Kata “kudus” adalah terjemahan dari kata Ibrani “qadeshyang mengandung dua pengertian yaitu : pertama, menekankan penyucian dalam arti posisi atau status; Kedua,  menekankan arti dipisahkan dan diasingkan atau disucikan untuk suatu penggunaan khusus. 

Sebagai bangsa pilihan, Israel adalah umat yang dikuduskan bagi Tuhan, dengan cara dipisahkan dari bangsa-bangsa lain. Bukan hanya itu, Israel juga disebut sebagai umat kesayanganNya. Kata Ibrani “kesayangan” adalah “segullâ”. Pada mulanya kata ini digunakan untuk menyatakan kepemilikan terhadap harta benda, tetapi kemudian kata ini dikenakan kepada Israel sebagai milik Allah sendiri (Ulangan 14:2; bandingkan Ulangan 26:18). 

Jadi untuk membedakan bangsa pilihanNya dan umat kesayanganNya, Tuhan menguduskan bangsa Israel dan memisahkannya dari bangsa-bangsa lain dengan memberikan peraturan-peraturan berupa sepuluh hukum, hukum moral, hukum seremonial (tata ibadah dan upacara kurban) dan hukum yudisial (peraturan sipil yang mengatur kehidupan sehari-hari), termasuk didalamnya peraturan tentang yang tahir dan yang najis, yang haram dan yang halal, serta yang boleh dan yang tidak boleh. 

Dengan adanya peraturan-peraturan berupa perintah maupun larangan itu maka bangsa Israel tidak hanya berbeda dengan bangsa-bangsa lain, tetapi juga tidak dapat berbaur (menyatu) dengan bangsa-bangsa lain. Pembauran dengan bangsa-bangsa lain dapat menyebabkan mereka bermasalah, ternodai dan najis, karena hal ini berhubungan erat dengan seremonial, tata kehidupan, dan makanan yang sangat berbeda dengan bangsa-bangsa lain itu. 

Dari sudut soteriologis, hal ini penting untuk menjaga tetap terpelihara garis keturunan bagi penggenapan janji kedatangan Juruselamat (Mesias), yaitu Kristus yang datang dari bangsa Yahudi, keturunan Daud (Bandingkan Kejadian 3:14-15; Kejadian 12:1-3; Mazmur 110:1; Yesaya 11:1; 53:2; Ibrani 7:11; Wahyu 22:16).

3.  Peraturan mengenai binatang halal dan haram ini menghasilkan efek terpeliharanya kesehatan umat Israel (Bandingkan Keluaran 15:26; Ulangan 28:1-68).

Bagi bangsa Israel, ketaatan pada peraturan dan ketetapan Tuhan, termasuk ketaatan terhadap pengaturan soal binatang yang boleh dimakan dan yang diharamkan, pastilah mendatangkan kebaikan bagi mereka.  Salah satu hasil penting, sekalipun bukan yang terutama, dari pengaturan mengenai makanan halal dan haram ini adalah terpeliharanya kesehatan umat Israel. Memang, terpeliharanya kesehatan melalui pengaturan ini bukanlah tujuan utama, melainkan efek positif dan bermanfaat bagi bangsa Israel.

Para ahli berpendapat bahwa penyebab utama dari sebagian besar kesehatan yang buruk di Amerika adalah karena konsumsi daging babi, yang menyebabkan penyakit darah, kelemahan pada lambung, gangguan hati, eksem, sakit paru-paru, tumor, kanker, dan sebagainya. Ikan tanpa sisik dan semua kerang-kerangan termasuk tiram, kerang, lobster, udang, dan sebagainya, menurut temuan ilmiah hanyalah gumpalan penyakit yang menghasilkan kotoran, karena pengeluaran yang tidak memadai. 

Binatang-binatang ini meskipun bermanfaat sebagai penyeimbang dan mata rantai ekosistem di air dan laut, tetapi kurang bermanfaat jika dikonsumsi oleh manusia, karena  binatang ini adalah pemakan sampah, wadah sampah dari air dan laut. Selain itu, efek toksinnya berbahaya bagi kesehatan. 

Dr. Rothschild menjelaskan mengenai efek toksin yang berbahaya dari binatang yang diharamkan sebagai berikut, “Jangan makan daging apapun dari binatang pemakan segala seperti babi, semua jenis kerang-kerangan (shellfish), ikan yang tidak bersisik, burung pemakan bangkai, ular dan sebagian besar reptil. Alasan untuk larangan (alkitabiah) ini bersifat ganda. Alasan pertama, daging binatang seperti ini sekitar sepuluh kali lebih mudah busuk, sulit diawetkan, dibanding daging binatang yang diperbolehkan. 

Seringkali orang tidak sadar bahwa sepotong daging sudah busuk dan beracun hingga mereka merasakan gejala keracunan... (dan sudah) mencernanya. Alasan kedua adalah fakta mengerikan bahwa... produk lanjutan yang bermula dari mencerna daging binatang pemakan segala seperti itu sangatlah beracun. Kami mengacu pada apa yang disebut enzim maut, seperti cadaverine, putrescine... enzim mematikan ini sangat berguna di alam. Tanpa bantuan enzim ini tidak ada daging yang akan kembali menjadi debu... enzim ini sangat berguna untuk mengurai mayat atau bangkai, tetapi sangat mengganggu di dalam tubuh manusia hidup” (Rubin, Jordan S, The Maker’s Diethal 44).

APAKAH PENGATURAN MENGENAI BINATANG HALAL DAN HARAM DALAM PERJANJIAN LAMA TERSEBUT BERLAKU BAGI ORANG KRISTEN?

Jika dalam Perjanjian Lama, pengaturan mengenai binatang halal dan haram untuk dimakan begitu ketatnya diatur oleh hukum Taurat bagi bangsa Israel, maka pertanyaan  pentingnya adalah “apakah peraturan mengenai binatang yang halal dan haram ini juga berlaku bagi orang Kristen?” Jawaban saya adalah “tidak!” Peraturan mengenai binatang yang halal dan haram ini tidaklah berlaku bagi orang Kristen, sekalipun peraturan ini masih mengandung prinsip-prinsip penting yang bermanfaat bagi kesehatan jasmani, tetapi sifatnya tidak mengikat bagi orang Kristen. Dua alasan yang menjadi dasar argumentasi saya bagi intitesis tersebut, yaitu :

1.  Peraturan mengenai binatang halal dan haram tersebut hanya berlaku bagi Umat Israel bukan bagi gereja.

Perhatikanlah pernyataan Tuhan melalui Musa berikut ini, “sebab engkaulah umat yang kudus bagi TUHAN, Allahmu, dan engkau dipilih TUHAN untuk menjadi umat kesayangan-Nya dari antara segala bangsa yang di atas muka bumi” (Ulangan 14:2). Allah yang berdaulat, berkehendak agar bangsa Israel, umat pilihanNya tidak memakan binatang yang diharamkanNya. Ketetapan mengenai larangan ini harus ditaati oleh bangsa Israel, dengan demikian mereka belajar taat dibawah otoritas dan supremasi Allah.  

Sebagai bangsa pilihan, Israel adalah umat yang dikuduskan bagi Tuhan, dengan cara dipisahkan dari bangsa-bangsa lain. Jadi untuk membedakan bangsa pilihanNya dan umat kesayanganNya, Tuhan menguduskan bangsa Israel dan memisahkannya dari bangsa-bangsa lain dengan memberikan peraturan-peraturan termasuk didalamnya peraturan tentang yang tahir dan yang najis, yang haram dan yang halal, serta yang boleh dan yang tidak boleh. Sekali lagi, peraturan-peraturan ini berlaku bagi Israel bukan bagi Gereja!

Perlu diketahui, Gereja dan Israel sama-sama umat pilihan Allah, tetapi keduanya merupakan entitas yang berbeda seperti yang diajarkan Alkitab. Pakar teologi seperti Charles C. Ryrie dan Paul Enns membedakan dengan jelas antara Israel dan Gereja, baik secara fisik maupun spiritual. 

Pertama, Israel dalam pengertian teknis merupakan sebuah bangsa, sedangkan gereja dalam pengertian teknis bukanlah sebuah bangsa. Ada beberapa fakta yang mennjukkan perbedaan ini, yaitu: Israel memiliki bahasa nasional, sedangkan Gereja adalah kumpulan bermacam-macam manusia dari suku bangsa yang berbeda dan memiliki banyak bahasa yang berbeda; Israel memiliki negara, ibu kota, pemerintahan dan para pemimpin politis di bumi ini, namun gereja tidak memiliki negara, pemerintahan, dan para pemimpin politis; Israel  memiliki tradisi dan sejarah nasional, sedangkan gereja merupakan campuran manusia dari berbagai tradisi dan sejarah yang berbeda;  Israel memiliki tentara untuk menghadapi serangan dan menyerang bangsa lain, sedangkan gereja tidak memiliki tentara seperti itu; 

Kedua, pada kenyataannya Israel oleh karena iri hati menolak Kristus, Mesias yang dijanjikan kepada mereka walaupun sebelumnya Allah sudah berulangkali memperingatkan mereka bahwa mereka akan menolak Dia (Yes. 53; Yohanes 1:11; 12:37-41), sedangkan kontras dengan Gereja sebagai kumpulan orang percaya menerima Kristus yang telah ditolak oleh Israel; 

Ketiga, dalam Roma 11, Rasul Paulus menjelaskan bahwa Israel adalah umat pilihan Allah yang mana mereka berada di bawah berkat Allah. Namun oleh karena Israel menolak Kristus, maka untuk sementara berkat itu diambil dari Israel dan dialihkan kepada Gereja (kumpulan orang percaya). Implikasi dari perbedaan ini membawa pada pengertian bahwa larangan makan binatang yang diharamkan khusus berlaku bagi bangsa Israel dan dengan demikian tidak berlaku bagi orang Kristen.

2. Pewahyuan Alkitab yang progresif dan prioritas Perjanjian Baru atas Perjanjian Lama

Kegagalan untuk mengenal sifat progresif dari pewahyuan Alkitab dan prioritas Perjanjian Baru atas Perjanjian Lama ini telah menyebabkan banyak kesalahan dalam menafsirkan Alkitab dan memberlakukan secara salah beberapa bagian Alkitab dalam kehidupan Kristen.

Pertama, untuk bisa menafsirkan Alkitab secara sederhana tetapi konsisten, harus mengakui bahwa pewahyuan Alkitab diberikan secara progresif. Artinya bahwa dalam proses pewahyuan pesanNya kepada manusia, Allah bisa menambah atau bahkan mengubah dalam suatu waktu apa yang Dia telah berikan sebelumnya. Sangat jelas Perjanjian Baru menambah banyak yang belum dinyatakan dalam Perjanjian Lama. Apa yang Allah nyatakan sebagai kewajiban suatu saat bisa dibatalkan kemudian. Contoh : Seperti larangan makan daging babi pernah mengikat umat Allah, kini dibatalkan (1 Timotius 4:3-4). 

Kegagalan untuk mengenal sifat progresif ini, dalam pewahyuan, akan membangkitkan kontradiksi yang tidak bisa diselesaikan antara bagian-bagian Alkitab kalau diartikan secara harfiah. Perhatikan contoh-contoh berikut  dari Alkitab yang akan berkontradiksi jika diartikan secara sederhana atau harfiah kecuali jika kita mengenal adanya perubahan karena adanya kemajuan (progres) dalam pewahyuan : Matius 10:5-7 dan 28:18-20; Lukas 9:3 dan 22:36; Kejadian 17:10 dan Galatia 5:2; Keluaran 20:8  dan Kisah Para Rasul 20:7. 

Perhatikan juga perubahan penting dinyatakan dalam Yohanes 1:17;  2 Korintus 3:7-11. Mereka yang tidak secara konsisten memakai prinsip pewahyuan yang progresif ini dalam penafsiran terpaksa kembali pada penafsiran secara alegoris, mistis atau kadang-kadang mengabaikan saja bukti yang ada.

Kedua, ajaran Kekristenan yang Alkitabiah tidak didasarkan atas Perjanjian Lama, melainkan berdasarkan Perjanjian Baru yang didasarkan pada ajaran Kristus. Setiap ajaran utama dalam Alkitab selalu ditemukan dalam perkataan Tuhan Yesus? Karena Yesus Kristus sendiri adalah Firman itu, yang berinkarnasi (Yohanes 1:1,14), dan sementara di bumi Ia sendiri memiliki pewahyuan penuh dari Bapa dan Roh. Ia mempunyai kemampuan dan otoritas untuk menambah, menegaskan, menjernihkan, dan mengesahkan kata-kata dalam Perjanjian Lama (Ibrani 1:1-2). Ingatlah, bahwa Injil awalnya diberitakan oleh Tuhan, selanjutnya Injil tersebut diberitakan oleh murid-muridNya (Ibrani 2:3-4). 

Yesus berjanji bahwa saat Roh Kudus datang, Dia akan memimpin rasul-rasul pertama itu dalam seluruh kebenaran dan mengungkapkan segala sesuatu kepada mereka (Yohanes 14:26 bandingkan 16:13-14). Yesus memang telah mengajarkan segala sesuatu kepada murid-muridNya, tetapi dalam ukuran tertentu sebelum Roh Kudus datang,  mereka tidak mampu memahami perkataan-perkataan Kristus. 

Pada hari Pentakosta, saat Roh Kudus diberikan, murid-murid mendapatkan permahaman baru terhadap perkataan Kristus dan Perjanjian Lama, dan mereka mencatatnya dalam apa yang kita kenal dengan Perjanjian Baru. Dengan demikian, Perjanjian Lama harus dipahami dalam terang Perjanjian Baru, yang menjelaskan, menegaskan kembali dan mengoreksi Perjanjian Lama. Dengan demikian harus dimengerti bahwa ajaran Kekristen yang Alkitabiah tidak didasarkan atas Perjanjian Lama, melainkan berdasarkan Perjanjian Baru yang didasarkan pada ajaran Kristus.
  
ORANG KRISTEN BERADA DI BAWAH HUKUM KRISTUS BUKAN DI BAWAH HUKUM TAURAT

Rasul Paulus dalam Galatia 6:2 mengingat orang Kristen di Galatia agar “anaplêrôsate ton nomon tou khristou (kamu memenuhi hukum Kristus)” dan menegaskan pentingnya hidup didalam kasih karunia dengan berkata, “kamu lepas dari Kristus, jikalau kamu mengharapkan kebenaran oleh hukum Taurat; kamu hidup di luar kasih karunia” (Galatia 5:4). Bagi orang percaya, pembenarannya tidak lagi tergantung kepada kepatuhannya terhadap hukum Taurat (legalisme), baik secara keseluruhan maupun sebagian (parsial). 

Orang Kristen tidak berada di bawah hukum Taurat, tetapi di bawah hukum Kristus. Dalam Galatia 3:11, Paulus dengan tegas mengatakan bahwa tidak seorangpun akan dibenarkan dengan mematuhi hukum Taurat, termasuk sepuluh perintah. Faktanya, begitu kita datang kepada Kristus, kita telah mati bagi hukum Taurat (Roma 7:4-7). 

Kita dibebaskan dari hukum Taurat itu. Lalu, apakah hal ini berarti bahwa kita bebas melanggar hukum Taurat jika kita tidak lagi berada di bawah kekuasannya? Sama sekali tidak! Dibebaskan dari hukum Taurat oleh Kristus tidak berarti bebas untuk melakukan dosa. Dibebaskan dari dosa tidaklah sama dengan bebas berbuat dosa! Karena kita tidak hanya mati bagi hukum Taurat, tetapi juga mati bagi dosa (Roma 6:2). Artinya, kita tidak lagi berada dibawah kekuasaan dosa. 

Dosa tidak lagi berkuasa atas orang yang percaya, hal ini karena mereka tidak lagi berada dibawah hukum Taurat. Sebab orang yang berada dibawah hukum Taurat, ia juga berada di bawah kekuasaan dosa (1 Korintus 15:56; Roma 7:5-6). Kematian dan kebangkitan Kristus membebaskan kita untuk menjalani kehidupan yang berkenan kepada Tuhan.

Pertanyaannya, “apakah hukum Taurat itu dan mengapa hukum Taurat diberikan kepada Orang Israel? Sejak zaman Adam sampai dengan diturunkannya hukum Taurat, manusia belum pernah memiliki suatu sistem atau perangkat hukum yang diberlakukan oleh Allah (Roma 5:13-14, perhatikan frase “sebelum hukum Taurat” dan frase “dari zaman Adam sampai kepada zaman Musa”). Hukum Taurat diberikan kepada Musa sebagai suatu sistem perundang-undangan yang lengkap dan menyeluruh; Tidak boleh ditambah atau dikurangi (Ulangan 4:1-2). Hukum Taurat adalah satu kesatuan (Yohanes 1:17). 

Hukum Taurat itu harus dipatuhi secara keseluruhan, bukan sebagian (Yakobus 2:10-11; Galatia 3:10). Baik hukum moral, hukum sipil (yudisial), dan hukum seremonial yang dijabarkan oleh orang Yahudi dalam 613 perintah semuanya tanpa terkecuali harus dilakukan. Secara historis, hukum Taurat sebagai seperangkat aturan tidak pernah diberikan Allah kepada orang-orang bukan Yahudi; Hukum Taurat ini khusus diberikan Allah kepada bangsa Israel. 

Ada empat tujuan utama mengapa Allah memberikan hukum Taurat, yaitu: 

Pertama, untuk menelanjangi dosa dan memperlihatkan kepada manusia keadaan mereka yang berdosa (Roma 3:19-20; 7:7,12-13); 

Kedua, untuk membuktikan ketidakberdayaan manusia, dimana sebagai orang berdosa menusia tidak dapat membenarkan diri melalui usahanya sendiri (Roma 7:18-23); 

Ketiga, untuk menubuatkan kedatangan Kristus melalui berbagai pola dan tata cara (ulangan 18:18-19: Kisah Rasul 3:22-26); 

Keempat, untuk melindungi dan memelihara Israel. Hukum Taurat itu bermanfaat untuk menjaga keutuhan bangsa Israel sehingga mereka sebagai suatu bangsa walaupun tercerai-berai selama sekian abad. Sampai sekarang bangsa itu masih ada untuk mencapai tujuan istimewa yang direncanakan Allah bagi mereka (Galatia 3:23).

Rasul Paulus mengatakan bahwa “Kristus adalah kegenapan hukum Taurat (Roma 10:4). Paulus sangat berhati-hati dan cermat dalam memilih kata-katanya dalam ayat ini. Ia tidak berkata bahwa hukum Taurat itu berakhir sebagai sebagian dari Firman Tuhan, karena “Firman Tuhan kekal selama-lamanya” (Mazmur 119:160). 

Kristus pernah mengatakan, Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi” (Matius 5:17,18).  

Pertanyaannya, “dengan cara bagaimanakah Kristus menggenapi hukum Taurat? 

Pertama, melalui kehidupanNya yang sempurna Kristus menggenapi hukum Taurat. Ia melakukannya secara pribadi dan mematuhi hukum Taurat secara sempurna dengan kebenaranNya sendiri (Galatia 4:4-5); 

Kedua, melalui kematiannya sebagai korban tebusan. Kematian dan kebangkitan Kristus sebagai korban tebusan untuk memenuhi persyaratan hukum Taurat yang adil dan berkenaan dengan semua orang yang gagal mematuhinya dengan sempurna (1 Petrus 2:22-24); 

Ketiga, Kristus menggenapi hukum Taurat dengan menjadi Juruselamat dan Mesias yang dijanjikan oleh Allah (Yohanes 1:45; Lukas 24:44)

Ketika Paulus berkata bahwa “Kristus adalah kegenapan hukum Taurat (Roma 10:4), maka yang dimaksud Paulus adalah bahwa bagi orang percaya, hukum Taurat itu berakhir sebagai suatu cara untuk mendapatkan kebenaran.  Jadi jelaslah bahwa bagi orang percaya, pembenarannya tidak lagi tergantung kepada kepatuhannya terhadap hukum Taurat (legalisme), baik secara keseluruhan maupun parsial (sebagian). Kebenaran orang percaya diperoleh bukan karena mematuhi hukum Taurat melainkan hanya karena iman kepada Kristus (Roma 1:16-17; 5:1; Efesus 2:8). 

Pada waktu seseorang percaya kepada Kristus untuk mendapatkan keselamatan, pada saat itulah hukum Taurat tergenapi dan berakhir sebagai suatu jalan untuk mencapai kebenaran bagi orang itu (Kolose 2:13-14). Dalam konteks ayat ini Paulus tidak mengatakan bahwa yang dihapus adalah dosa-dosanya, melainkan “ketentuan-ketentuan hukumnya” atau peraturan-peraturannya. 

Yang dimaksud dengan ketentuan-ketentuan hukum itu adalah seluruh sistem hukum Taurat yang dahulu ditetapkan Allah melalui Musa. Peraturan hukum Taurat itu menjadi penghalang antara Allah dan orang-orang yang melanggar peraturan itu sehingga harus “dihapuskan” terlebih dahulu, termasuk bagian yang disebut sepuluh Hukum. Ini jelas ditegaskan oleh Paulus dalam Kolose 2:16. 

Ketika sabat dibatalkan berarti semua hukum yang lain dibatalkan karena hukum Taurat itu adalah satu kesatuan (Yakobus 2:10-11; Galatia 3:10). Melalui kematianNya di kayu salib sebagai korban tebusan, Yesus Kristus telah membatalkan atau menghapus hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya (Efesus 2:14-15). Kata Yunani “telah membatalkan” adalah “katarghésaz” berasal dari kata “katargeó” yang berarti “membuat tidak berlaku lagi”. 

Frase “hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya” menunjukkkan dengan jelas bahwa seluruh sistem hukum Taurat Musa, termasuk Sepuluh Hukum telah dibatalkan sebagai suatu sarana menuju kebenaran oleh karena Kristus telah mati dikayu salib. Jadi, supaya manusia dapat memperoleh kebenaran maka Yesus menghapus hukum Taurat dengan sekaligus membayar hukuman mati yang dijatuhkan oleh hukum Taurat itu, untuk semua orang yang berada dibawah hukum Taurat.

Kekebasan Kristen bukan berarti hidup tanpa hukum, sebab setiap orang Kristen akan mempertanggungjawabkan dirinya sendiri dihadapan Tuhan (Roma 14:12). Dengan demikian, menjadi orang Kristen bukan berarti hidup tanpa hukum atau peraturan (antinomianisme), melainkan hidup dalam hukum Kristus (Galatia 6:2), yaitu kasih karunia (Roma 6:14). 

Lalu, apakah hukum Kristus itu?Hukum Kristus berbeda dengan hukum Taurat. Hukum Kristus bukanlah kelanjutan dari hukum Taurat. Hukum Kristus adalah hukum kasih karunia. Hukum ini terdiri dari beberapa perintah baru (1 Timotius 4:4), beberapa perintah lama (Roma 13:9); dan beberapa perintah yang telah diperbaharui (Roma 13:4).  Hukum kasih karunia mengajarkan etika, moral dan spiritual yang jauh melampaui hukum Taurat, karena hukum ini diukir dan ditulis oleh Roh Kudus dalam hati kita (2 Korintus 3:4-8).

Jadi pada dasarnya ialah, “kita tidak berada dibawah hukum Taurat; kita berada dibawah kasih karunia” Kehidupan Kristen bukanlah tentang  mematuhi peraturan tetapi tentang mengikut Kristus dengan iman (Bandingkan Kolose 2:20-23; Galatia 2:20-21). Apakah hal ini berarti kita bebas melanggar semua peraturan dan bahwa perintah-perintah Alkitab tidak berlaku bagi kita? Bukan kebebasan yang demikian yang Alkitab maksudkan. Mengikut Kristus dengan iman berarti mengasihi dan hidup dalam kasih karunia, bukan hidup dalam dosa (Galatia 5:6). 

Sebuah kehidupan yang mengasihi Tuhan dan sesama tentu sangat berlawanan dengan dosa. Sejauh perintah-perintah itu menolong kita hidup dalam kasih karunia perintah-perintah itu berguna. Tetapi, jika memperlakukan perintah-perintah tersebut hanya sebagai aturan yang wajib diikuti dengan kemampuan kita, maka kita telah menyalahgunakannya. 

Seberapapun besarnya kemampuan kita, itu tidak akan pernah cukup. Karena itu, hidup dalam iman membuat kita wajib mematuhi sebuah hukum yang baru, yaitu hukuk kasih karunia. Kegagalan untuk mengerti kebenaran sederhana ini adalah akar dari semua legalisme dan mentalitas perbuatan, dan membawa kembali ke hukum Taurat. 

Legalisme persis seperti yang Paulus tolak ketika ia berkata, “jangan jamah ini, jangan kecap itu, jangan sentuh ini; semuanya itu hanya mengenai barang yang binasa oleh pemakaian dan hanya menurut perintah-perintah dan ajaran-ajaran manusia. Peraturan-peraturan ini, walaupun nampaknya penuh hikmat dengan ibadah buatan sendiri, seperti merendahkan diri, menyiksa diri, tidak ada gunanya selain untuk memuaskan hidup duniawi” (Kolose 2:21-23). 

Legalisme ini kemudian berevolusi kedalam pengajaran terkini dalam kelompok-kelompok tertentu yang melarang orang Kristen : nonton televisi, nonton film, menggunakan internet, minum kopi (kafein), makan daging bagi,  menari, dan segala larangan lainnya. 

Kebenaran penting yang telah diabaikan oleh banyak orang Kristen adalah pernyataan bahwa “kita hanya bisa hidup bagi Allah (Galatia 2:19), apabila kita terlebih dahulu mengijinkan Kristus hidup melalui kita”. Beberapa orang Kristen telah berusaha untuk hidup bagi Allah dengan kekuatan mereka sendiri. Ini mustahil, sebab kehidupan Kristen tidak hanya sulit untuk dijalani bahkan mustahil dijalani dengan kekuatan kita sendiri. 

Karena itu, rahasia kekuatan kehidupan Kristen adalah, “Kristus yang hidup melalui kita!” Bukan kita yang hidup bagi Yesus, tetapi Yesus hidup melalui kita. Rasul Paulus mengatakan, “namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku. Aku tidak menolak kasih karunia Allah. Sebab sekiranya ada kebenaran oleh hukum Taurat, maka sia-sialah kematian Kristus”  (Galatia 2:20-21; Bandingkan 2 Korintus 4:10-11). 

Ingat, ketika kita berfokus terhadap apa yang harus kita lakukan, kita menempatkan diri kita di bawah legalisme. Tetapi, ketika berfokus pada apa yang Kristus telah lakukan, kita berjalan dalam kekuatan supranatural kasih karunia. Kasih karunia memberitahu kita apa yang sudah Kristus genapkan dan selesai kerjakan di kayu salib bagi kita.

Karena itu, senada dengan rasul Paulus, rasul Petrus memberikan nasehat yang penting dan sangat berharga ketika berkata “Tetapi bertumbuhlah dalam kasih karunia dan dalam pengenalan akan Tuhan dan Juruselamat kita, Yesus Kristus. Bagi-Nya kemuliaan, sekarang dan sampai selama-lamanya” (2 Petrus 3:18). 

Kata Yunani yang diterjemahkan dengan “bertumbuhlah” adalah “auksanete”, merupakan bentuk kata kerja aktif imperatif atau kata kerja bentuk perintah. Kata “auksanete” ini berasal dari kata “auksano” yang berarti “tumbuh, bertambah, berkembang, dan bertambah besar”. Disini Petrus menasihati untuk bertumbuh dalam pengertian akan kasih karunia karena makin baik pengertian kita akan kasih karunia, makin baik kita akan menjalani hidup sebagai orang percaya.  

Cara untuk bertumbuh dalam pengertian akan kasih karunia berarti bertumbuh dalam pengetahuan akan Yesus Kristus, sebab kasih karunia bukanlah suatu konsep yang abstrak, tetapi suatu Pribadi. Kata Yunani yang diterjemahkan dengan “pengenalan” adalah “gnosis” yang berarti “pengetahuan yang sebenarnya”. Dengan demikian, cara kita bertumbuh dalam kasih karunia adalah dengan mengenal Yesus Kristus melalui persekutuan yang akrab dengan Dia, karena makin baik kita mengenal Yesus, makin banyak kita mengalami kasih karuniaNya.

AJARAN PERJANJIAN BARU YANG BERKAITAN DENGAN MAKANAN

Dari apa yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa dalam Perjanjian Baru larangan untuk memakan binatang-binatang yang diharamkan dalam Perjanjian Lama itu sudah tidak berlaku lagi, karena : 

(1) Pengaturan bintang halal dan haram itu secara khusus hanya berlaku bagi bangsa Israel; 

(2) Pewahyuan Alkitab yang bersifat progresif, yang artinya bahwa dalam proses pewahyuan pesanNya kepada manusia, Allah bisa menambah atau bahkan mengubah dalam suatu waktu apa yang Dia telah berikan sebelumnya. Sangat jelas Perjanjian Baru menambah banyak yang belum dinyatakan dalam Perjanjian Lama. Apa yang Allah nyatakan sebagai kewajiban suatu saat bisa dibatalkan kemudian. Contoh : Seperti larangan makan daging babi pernah mengikat umat Allah, kini dibatalkan (1 Timotius 4:3-4); dan 

(3) Kekristen tidak berada di bawah hukum Taurat, melainkan di bawah hukum Kristus, sehingga sejak kematian Kristus di kayu salib semua larangan itu sudah tidak berlaku (Efesus 2:15).

Berikut ini argumentasi saya bahwa Perjanjian Baru telah menghapus larangan untuk memakan binatang-binatang yang diharamkan dalam Perjanjian Lama, dan larangan itu sudah tidak berlaku lagi. 

Pertama, Perjanjian Baru menegaskan bahwa semua makanan itu halal. Kristus dalam menanggapi orang Farisi dan Saduki yang menuding para muridNya najis karena makan dengan tangan yang tidak dibasuh dan menuduh mereka meniadakan adat istiadat Yahudi mengatakan bahwa kenajisan itu justru tidak berasal dari luar tetapi dari dalam seseorang (Markus 7:1-15). 

Selanjutnya kepada para muriNya ia menegaskan bahwa “...segala sesuatu dari luar yang masuk ke dalam seseorang tidak dapat menajiskannya,karena bukan masuk ke dalam hati tetapi ke dalam perutnya, lalu dibuang di jamban? Dengan demikian Ia menyatakan semua makanan halal (Markus 7:18-19).  

Frase Yunani untuk “Ia menyatakan semua makan halal” adalah “katharizon panta ta brômata” yang dapat diterjemahkan “ia menyatakan halal atau  bersih semua daging atau makanan”. Dalam tata bahasa Yunani frase ini bukanlah perkataan Yesus, karena kata dasar katharizô hanya digunakan dalam present tense, aktif, indikatif untuk orang pertama tunggal. Jadi frase itu  ditambahkan oleh Markus sebagai penulis Injil Markus untuk memberikan penekan pada perkataan Kristus sebelumnya.

Kedua, masih berhubungan dengan penjelasan di atas, tentulah Markus dalam menulis Injil mendapatkan informasi yang cukup dari rasul Petrus. Kemungkinan pengalaman Petrus pada waktu berada di Yope pernah diceritakan kepada Markus, dimana pada saat di Yope itu Petrus mendapat penglihatan sebanyak 3 kali dari Allah yang menekankan bahwa apa yang dinyatakan halal (katharizô) oleh Allah tidak boleh dinyatakan haram (Kisah Para Rasul 10:9-16). Melalui penglihatan di Yope ini, rasul Petrus kini mengerti bahwa Allah kini telah menghapus peraturan-peraturan tentang makanan yang halal dan yang haram seperti yang tertulis dalam Imamat 11 dan Ulangan 14. 

Lebih jauh, Patrus mengerti bahwa penglihatan tersebut tidak hanya bermakna penghapusan larangan makan binatang yang diharamkan hukum Taurat, tetapi secara teologis Allah telah mengeluarkan Petrus dari belenggu legalisme Yahudinya sehingga ia tidak lagi menganggap orang lain yang bukan Yahudi sebagai najis. Anugerah keselamatan itu bagi semua orang (Bandingkan Galatia 3:28). Tembok pemisah yang selama ini memisahkan orang Yahudi dan orang bukan Yahudi telah ditiadakan melalui kematian Kristus di salib (Efesus 2:11-22).

Ketiga, rasul Paulus dalam 1 Timotius 4:1-5 menuliskan, “Tetapi Roh dengan tegas mengatakan bahwa di waktu-waktu kemudian, ada orang yang akan murtad lalu mengikuti roh-roh penyesat dan ajaran setan-setan oleh tipu daya pendusta-pendusta yang hati nuraninya memakai cap mereka. Mereka itu melarang orang kawin, melarang orang makan makanan yang diciptakan Allah supaya dengan pengucapan syukur dimakan oleh orang yang percaya dan yang telah mengenal kebenaran. Karena semua yang diciptakan Allah itu baik dan suatu pun tidak ada yang haram, jika diterima dengan ucapan syukur, sebab semuanya itu dikuduskan oleh firman Allah dan oleh doa”. 

Disini rasul Paulus menegaskan dua hal, yaitu: 

(1) bahwa ciri dari ajaran sesat diantaranya adalah melarang orang Kristen menikah dan melarang orang Kristen makan makanan (binatang) yang ciptakan Allah; 

(2) berhubungan dengan makanan, maka semua makanan (daging) yang diciptakan Allah itu baik dan tidak ada yang haram. Disini kemungkinan rasul Paulus merujuk pada kisah penciptaan di Kejadian 1:29; 2:16. 

Kata Yunani “baik” dalam ayat 4 di atas adalah “kalon” yang berarti “baik secara lahiriah”, sedangkan frase  “suatu pun tidak ada yang haram” adalah frase Yunani “oudén apobléton” yang dapat diterjemahkan menjadi “tidak satupun yang haram”. Penghapusan larangan makan makanan yang diharamkan dalam Perjanjian Lama ini juga ditegaskan Paulus dalam Roma 14:1-23 dan Kolose 2:13-23.

Keempat, walaupun Perjanjian Baru mengajarkan bahwa semua yang diciptakan Allah itu baik dan boleh dimakan, tetapi tidak semua bermanfaat untuk dimakan. Paulus mengatakan “Segala sesuatu diperbolehkan.” Benar, tetapi bukan segala sesuatu berguna” (1 Korintus 10:23). Itu artinya, bahwa semua makanan yang diciptakan Allah bisa dimakan, namun bukan bararti semua makan harus kita makan. Melainkan perlu bersikap bijak dalam memilih makanan untuk kebaikan tubuh kita. 

Jadi, apapun yang kita makan saat ini bukan lagi masalah halal dan haram, melainkan soal bermanfaat atau tidak bermanfaat bagi tubuh dan kesehatan kita. Kita perlu menyadari bahwa kesehatan yang kita miliki adalah anugerah dari Tuhan, karena itu kita harus menjaga dan merawat tubuh kita, termasuk dengan cara memperhatikan apa yang kita makan. Diatu sisi, tubuh kita membutuhkan makanan menyehatkan sehingga terhindar dari penyakit dan tetap bugar. Namun dilain sisi, tubuh kita juga bisa menimbulkan reaksi yang tidak baik terhadap makanan yang tidak baik (tidak sehat).
Kelima, berdasarkan Kisah Para Rasul 15:28-29 ada pengaturan berupa pembatasan makanan yang harus diperhatikan oleh Kristen non Yahudi. Ada empat makanan yang harus dihindari, yaitu : 

(1) makanan yang dipersembahkan kepada berhala; 

(2) makanan yang berasal dari darah; 

(3) Makanan yang berasal dari bintang yang darahnya tertahan di dalam atau tidak dikeluarkan; 

(4) Makan dari percabulan. 

Pengaturan ini, sekali lagi bukan berkaitan dengan halal dan haram, melainkan berkaitan dengan berhala, darah, dan percabulan. Makanan yang dipersembahkan kepada berhala disini adalah makanan yang dicemarkan oleh berhala, yaitu sisa-sisa daging dari hewan yang dipersembahkan kepada dewa-dewa bangsa-bangsa kafir. Seringkali daging ini dijual di pasar. 

Sebenarnya, bagi orang Kristen non Yahudi memakan sisa-sisa daging dari hewan yang dipersembahkan kepada berhala tidaklah haram, tetapi memakan daging seperti ini dapat menjadi batu sandungan karena mengganggu hati nurani orang Yahudi karena seakan-akan ikut ambil bagian dalam penyembahan berhala (Bandingkan Kisah Para Rasul 21:25; 1 Korintus 8:1-13). 

Sedangkan untuk daging yang memang dipersembahkan kepada berhala (bukan sisi-sasa daging) sama sekali tidak boleh dimakan. Ini ditegaskan oleh Paulus, karena berkaitan dengan persekutuan dengan roh-roh jahat dibalik berhala tersesebut (1 Korintus 10:19-21). Makanan yang berasal dari darah atau dari daging binatang yang mati tercekik (tertahan darahnya) tidak boleh dimakan karena sejak awal sudah dilarang oleh Tuhan sebelum hukum Taurat ada (Kejadian 9:3-4), kemudian dilarang dalam hukum Taurat (imamat 17:10-14), kembali ditegaskan karena “nyawa mahluk ada di dalam darah”. 

Larangan ini masih berlaku bagi orang Kristen hingga saat ini. Sedangkan yang dimaksud dengan larangan makan dari percabulan jelas sekali berhubungan dengan kemesuman atau pelacuran berkedok agama di kuil. Hingga saat ini, percabulan sangat dilarang dalam Alkitab, karena itu makan dari hasil percabulan juga dilarang, baik yang diberi maupun dibeli dengan menggunakan uang hasil percabulan karena percabulan menghasilkan kenajisan pada diri seseorang (Bandingkan 1 Korintus 6:13,16,18; 10:8).

Tampaknya pengaturan makanan dalam Kisah Para Rasul 15:28-29 ini terus berlaku sampai sekarang bagi orang Kristen, dengan dua alasan : Pertama, Kisah Para Rasul yang ditulis oleh Lukas ditulis setelah Peristiwa Yesus menghentikan pereturn mengenai hal-hal yang diharamkan (Matius 15:11-20; Markus 7:1-15). Dengan demikian, artinya semua yang tertulis di Kisah Para Rasul 15:28-29 itu masih berlaku. Kedua, sesudah sidang di Yerusalem dalam Kisah Para Rasul 15 itu, baik  rasul Petrus dan rasul-rasul lainnya maupun rasul Paulus meneruskan larangan itu kepada jemaat-jemaat (Kisah Para Rasul 15:22-31; Bandingkan 21:15-26). Larangan mengenai makanan berhala dan percabulan secara khusus kita temukan dalam surat Paulus kepada jemaat di Korintus.

EPILOG: 

Ringkasnya, berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 

(1) Bahwa semua binatang yang diciptakan Allah itu baik dan tidak ada yang haram; 

(2) Bahwa pada suatu waktu Tuhan mengharamkan beberapa jenis bintang dan melarang untuk dimakan bagi Israel adalah berdasarkan kedaulatanNya agar Israel taat kepadaNya, dan yang terutama membuat Israel berbeda dari bangsa-bangsa lain. Larangan ini hanya berlaku bagi Israel dan bukan bangi bangsa-bangsa lain; 

(3) Sejak kematian Kristus di kayu salib semua larangan yang mengharamkan beberapa jenis bintang untuk dimakan bagi Israel telah dibatalkan. 

(4) Bahwa Kekristen tidak berada di bawah hukum Taurat, melainkan di bawah hukum Kristus, yaitu kasih karunia; 

(5) Walaupun semua binatang yang diciptakan Tuhan itu baik dan tidak satupun yang haram, namun tidak semua berguna bagi kesehatan kita apabila dimakan; 

(6) Bahwa Perjanjian Baru memberikan pembatasan kepada orang Kristen untuk tidak makan daging binatang yang telah dipersembahkan kepada berhala, darah binatang atau binatang yang darahnya tertahan, dan makan daging dari hasil percabulan.


Akhirnya, orang Kristen diselamatkan karena anugerah oleh iman (Efesus 2:8), dan harus menjalani keselamatan itu dengan hidup oleh iman, karena “orang yang benar akan hidup oleh iman” (Habakuk 2:4; Roma 1:7; Galatia 3:11; Ibrani 10:38). Kata “hidup” adalah kata Yunan “zaó” disini begitu luas: mencakup setiap keadaaan atau perbuatan yang dapat dilakukan; mencakup segala segi dari kepribadian dan pengalaman manusia disegala bidang rohani, mental, jasmani dan materi; mencakup segala macam kegiatan termasuk bernafas, berpikir, berbicara, tidur dan sebagainya. 

Ini berarti segala sesuatu yang dilakukan oleh orang percaya harus berdasarkan iman, sebab “segala sesuatu yang tidak berdasarkan iman, adalah dosa” (Roma 14:23). Bahkan makan pun kita kita harus melakukannya berdasarkan iman! (Roma 14:23). Rasul Paulus dalam Roma 14 memberikan contoh hidup berdasarkan iman ini dan menghubungkannya dengan makan. Pertanyaannya, “apakah artinya makan dengan iman tersebut bagi kita?” Setidaknya ada tiga pengertiannya bagi kita, yaitu: 

Pertama,kita mengakui bahwa yang menyediakan segala sesuatu yang baik yang kita makan adalah Allah yang baik (Yakobus 1:16-17); 

Kedua, karena kita mengakui bahwa yang menyediakan segala sesuatu yang kita makan adalah Allah selayaknyalah kita mengucap syukur kepadaNya atas makanan tersebut (Kolose 3:17; Bandingkan 1 Timotius 4:4-5), sehingga kita mendapat kepastian mengenai berkat dan manfaat atas makanan tersebut (1 Timotius 4:4-5); 

Ketiga, makan berdasarkan iman berarti mengakui, bahwa kesehatan dan kekuatan yang kita terima melalui makanan itu sebenarnya juga merupakan milik Allah dan harus dipakai untuk kemuliaanNya (1 Korintus 6:13).https://teologiareformed.blogspot.com/

REFERENSI: AJARAN TENTANG MAKANAN HALAL DAN HARAM MENURUT PANDANGAN ALKITAB

Achenbach, Reinhard., 2012. Kamus Ibrani-Indonesia Perjanjian Lama. Terjemahan, Penerbit Yayasan Komunikasi Bina Kasih: Jakarta.
Archer, Gleason L., 2009. Encyclopedia of Bible Difficulties. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang.
Browning, W.R.F., 2007. Kamus Alkitab. Terjemahan, Penerbit BPK Gunung Mulia: Jakarta.
Chang, Jimmy., 2012. Hidup Dalam Kesehatan Ilahi. Penerbit ANDI Offset: Yogyakarta
Davids, Peter H., 2000. Ucapan Yang Sulit Dalam Perjanjian Baru. Terjemahan, Diterbitkan Departemen Literatur SAAT: Malang.
Douglas,  J.D., ed, 1993. Ensiklopedia Alkitab Masa Kini, 2 Jilid. Terjemahkan Yayasan Komunikasi Bina Kasih : Jakarta.
Enns, Paul., 2004.The Moody Handbook of Theology, jilid 1 & 2. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT: Malang.
Gunawan, Samuel., 2014. Kharismatik Yang Kukenal dan Kuyakini. Penerbit Bintang Fajar Ministries: Palangka Raya.
Guthrie, Donald, dkk., 1982. Tafsiran Alkitab Masa Kini 1. Cetakan 11,  Terjemahan. Penerbit Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF : Jakarta.
Guthrie, Donald., 2010. Teologi Perjanjian Baru Jilid 1, 2 & 3, Terjemahan, Penerbit BPK : Jakarta.
Gutrie, Donald., 2009. Pengantar Perjanjian Baru. Terjemahan, Penerbit Momentum: Jakarta.
Haryono, Danie & Desi Damayanti, Penyunting., 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Baru, Penerbit Pustaka Phoenix: Jakarta.
Pfeiffer F. Charles & Everett F. Harrison., ed. 1962. The Wycliffe Bible Commentary, volume 1. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas Malang.
Poerwadarminta, W.J.S., 2007. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Penerbit Balai Pustaka: Jakarta
Prince, Derek., 2005. Iman Yang Olehnya Kita Hidup. Terjemahan, Penerbit Derek Princ Ministries Indonesia: Jakarta
Ridderbos, Herman., 2004. Paul: An Outline of His TheologyTerjemahan, Penerbit  Momentum : Jakarta.
Rubin, Jordan S., 2008. The Maker’s DietTerjemahan, Penerbit Immanuel: Jakarta.
Ryken, Leland, James C. Wilhoit, Tremper Longman III, editor., 2002. Kamus Gambaran Alkitab.Terjemahan, Penerbit Momentum: Jakarta.
Ryrie, Charles C., 1991. Teologi DasarJilid 1, Terjemahan, Penerbit ANDI Offset: Yogyakarta.
Scahnabal, Echhard J., 2010. Rasul Paulus Sang Misionaris: Perjalanan, Stategi dan Metode Misi Rasul Paulus. Terj, Penerbit ANDI: Yogyakarta.
Stamps, Donald C., ed, 1995. Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang.
Susanto, Hasan., 2003. Perjanjian Baru Interlinier Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru, jilid I & II. Penerbit Literatur SAAT : Malang.
Zuck, Roy B, editor., 2010. A Biblical of Theology The Old TestamentTerjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang.
_____________, editor., 2011. A Biblical of Theology The New TestamentTerjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang.AJARAN TENTANG MAKANAN HALAL DAN HARAM MENURUT PANDANGAN ALKITAB. https://teologiareformed.blogspot.com/
Next Post Previous Post