APAKAH YESUS MENGIZINKAN PERCERAIAN ? (Suatu Analisis dan interpretasi Teologis Terhadap Teks Matius 19:1-11)

Pdt.Samuel T. Gunawan,M.Th.
APAKAH YESUS MENGIZINKAN PERCERAIAN ? (Suatu Analisis dan interpretasi Teologis Terhadap Teks Matius 19:1-11)APAKAH YESUS MENGIZINKAN PERCERAIAN ? (Suatu Analisis dan interpretasi Teologis Terhadap Teks Matius 19:1-11). “Maka datanglah orang-orang Farisi kepadaNya untuk mencobai Dia. Mereka bertanya: “Apakah diperbolehkan orang menceraikan istrinya dengan alasan apa saja?” Jawab Yesus: “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. 

Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” Kata mereka kepada-Nya: “Jika demikian, apakah sebabnya Musa memerintahkan untuk memberikan surat cerai jika orang menceraikan istrinya?” Kata Yesus kepada mereka: “Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan istrimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian. Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan istrinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah." Murid-murid itu berkata kepada-Nya: “Jika demikian halnya hubungan antara suami dan isteri, lebih baik jangan kawin.” (Matius 19:1-11)

Orang-orang Farisi adalah salah satu sekte Yudaisme yang paling berpengaruh dan banyak pengikutnya dalam masa Perjanjian Baru. Kelompok ini berasal dari orang-orang yang memisahkan diri (parash) pada zaman Makabe, dan pada tahun 135 SM telah berdiri dengan kokoh dalam Yudaisme. Teologi mereka didasarkan pada seluruh Perjanjian Lama (hukum Taurat dan kitab Para Nabi) dan tulisan para imam. Selain itu mereka juga menjunjung tinggi hukum lisan atau adat istiadat nenek moyang yang mereka taati sampai hal-hal yang sekecil-kecilnya. Mereka menjalankan kewajiban doa puasa pada hari Senin dan Kamis, serta membayar persepuluhan dari harta mereka dengan sangat teliti (Matius 23:23; Lukas 11:42). 

Mereka memelihara hukum Sabat dengan sangat ketat, hingga menyembuhkan orang sakit atau sekedar memetik bulir gandum sambil berjalan pun tidak mereka perkenankan (Matius 12:1-2). Mereka juga sangat menekankan makanan halal dan haram, bahkan menajiskan orang yang makan tanpa mencuci tangan lebih dahulu (Matius 15:1-9). Paulus, sebelum bertobat dan mengikut Yesus, pada mulanya adalah anggota dari kelompok ini (Filipi 3:5: Galatia 1:14). Kaum Farisi mengajarkan hukum Taurat dan hukum-hukum lainnya yang tidak terdapat dalam kitab Suci. Tafsiran mereka atas hukum-hukum tersebut dimuat dalam Misnah dan Talmud. 

Orang-orang Farisi ini suatu ketika datang kepada Yesus dengan pertanyaan mengenai alasan bagi diperbolehkannya perceraian (Matius 19:3). Yesus tidak langsung menjawab pertanyaan, namun Ia membawa mereka untuk kembali kepada rencana Allah sejak semula bagi pernikahan, yaitu: bahwa maksud Allah bagi pernikahan, perceraian mutlak tidak mendapat tempat sama sekali. Sama sekali tidak, termasuk juga pemisahan. 

Pernikahan merupakan suatu hubungan yang dalam dan intim antara seorang pria dan seorang wanita, untuk tujuan pertemanan hidup, saling menolong, pemenuhan hasrat seksual, dan menghasilkan keturunan. Pernikahan adalah sebuah hubungan total, eksklusif, dan seumur hidup. Tidak boleh ada manusia yang memisahkan hubungan ini dengan alasan dan cara apapun. 

Namun orang-orang Farisi keberatan dengan pernyataan Yesus tersebut terhadap soal perceraian, karena Yesus lebih menekankan kepada tujuan dan maksud Allah sejak semula untuk pernikahan daripada sekedar menjawab pertanyaan mereka. Karena itulah mereka mengajukan pertanyaan berikutnya, atau lebih tepatnya, mereka mengajukan pernyataan dalam bentuk pertanyaan, “Apakah sebabnya Musa memerintahkan untuk memberikan surat cerai jika orang menceraikan istrinya?” Jadi orang-orang Farisi tersebut sebenarnya tidak mengajukan pertanyaan, melainkan sedang membuat pernyataan, di mana mereka merujuk pada Ulangan 24:1-4. 

Perlu diketahui bahwa pada saat itu ada tiga pandangan penafsiran yang berbeda mengenai alasan perceraian. Ketiga pandangan tersebut diuraikan dalam Talmud Misnah Gittin, sebagai berikut, “Dewan Shammai mengatakan: Seorang tidak boleh menceraikan istrinya kecuali apabila ia menemukannya tidak setia. Sebagaimana telah dikatakan dalam Ulangan 24:1, karena ia menemukan sesuatu yang tidak senonoh padanya. 

Dewan Hillel mengatakan: Suami boleh saja menceraikan istrinya kalau sang istri membuat makanan basi bagi suaminya karena telah dikatakan, bahwa kenajisan merupakan persoalan yang serius. Sementara itu Rabi Akiba mengatakan: Suami boleh menceraikan istrinya apabila ia menemukan perempuan lain yang lebih cantik dari istrinya, karena telah dikatakan dalam Ulangan 24:1, bahwa kemudian ia tidak menyukai lagi perempuan itu”.

Jadi pada saat itu ada tiga pandangan yang di pegang di antara para rabi Yahudi tentang alasan perceraian berdasarkan penafsiran dari Ulangan 24:1-4, yaitu: Pandangan Sammai, Hillel, dan Akiba. Pandangan Sammai nampak lebih ketat ketimbang pandangan Hillel. Pandangan Hillel jelas terlihat ceroboh dan dipaksakan. Sedangkan pandangan Akiba nampaknya merupakan perluasan dari pandangan keteledoran Hillel. 

Tetapi setidaknya, pandangan Hillel yang ceroboh dan pandangan Sammai yang tegas memiliki pendapat yang sama, bahwa keduanya mensyaratkan adanya suatu kesalahan pada sang istri yang membenarkan sang suami menceraikannya. Sedangkan pandangan Akiba mengizinkan suami menceraikan istrinya bukan karena istri melakukan sesuatu yang salah, tetapi karena suami lebih tertarik kepada perempuan lain. 

Menanggapi pernyataan orang-orang Farisi itu Yesus mengatakan, “Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan istrimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian” (Matius 19:8). Ada tiga hal yang ditekankan Yesus dalam pernyataanNya tersebut, yaitu: 

(1) Musa tidak pernah memerintahkan perceraian, ia hanya mengizinkan. Jadi orang-orang Farisi nampaknya salah menafsirkan Ulangan 24:1 sebagai perintah Musa, karena menurut Yesus, Musa pun tidak pernah memerintahkan; 

(2) Perceraian dengan memberikan surat cerai tersebut terjadi karena kekerasan hati manusia; 

(3) Dalam rancana Allah dari sejak semula perceraian tidak diperbolehkan dengan alasan apapun. Artinya, perceraian adalah konsensi Musa bukan konstitusi ilahi. Perceraian merupakan kelonggaran bukan norma atau standar Allah. Karena dalam ayat-ayat itu Yesus sama sekali tidak memberikan kemungkinan bahwa izin perceraian merupakan konsensi ilahi (berasal dari Allah). Dengan demikian kehendak Allah untuk pernikahan dengan tidak memberi tempat bagi perceraian tidak pernah diubah ataupun dibatalkan. 

ARGUMENTASI YANG MENJADI DASAR LARANGAN PERCERAIAN 

Bukankan Kristus telah menegaskan bahwa “apa yang telah disatukan Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia”? Apa yang dikatakan Kristus tersebut benar adanya. Lalu bagaimana dengan perceraian? 

Menurut Norman L. Geisler dalam bukunya Etika Kristen: Pilihan dan Isu, setidaknya ada tiga argumentasi kesepakatan umum di kalangan Kristen yang menjadi dasar larangan bagi perceraian, yaitu: (1) Perceraian bukanlah ideal Allah; (2) Perceraian tidak dipebolehkan untuk setiap alasan; dan (3) Perceraian menciptakan masalah-masalah. 

1. Perceraian bukanlah ideal Tuhan. Jelaslah bahwa Tuhan tidak merancang perceraian. Apapun pandangan orang mengenai perceraian, adalah penting untuk mengingat kata-kata Alkitab dalam Maleakhi 2:16a: “Sebab Aku membenci perceraian, firman TUHAN, Allah Israel.” Menurut Alkitab, kehendak Allah adalah pernikahan sebagai komitmen seumur hidup. “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Matius 19:6). 

Yesus mengatakan bahwa Musa “mengizinkan” perceraian dikalangan Israel tetapi tidak pernah memerintahkan perceraian, dan menurut Kristus perceraian itu “diizinkan” Musa karena “ketegaran hati” mereka (Matius 19:8; Bandingkan Markus 5:10). Kata Yunani “ketegaran hati” adalah “sklerokardia” yang lebih tepat diterjemahkan dengan “kekerasan hati”. Alkitab memberitahu kita bahwa perbuatan-perbuatan dosa bersumber dari hati manusia. 

Yesus dalam kesempatan lain mengatakan demikian, “Karena dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat. Itulah yang menajiskan orang. Tetapi makan dengan tangan yang tidak dibasuh tidak menajiskan orang” (Matius 15:19-20). 

Dosa telah membuat hati manusia menjadi keras. Kekerasan hati manusia mengakibatkan manusia sulit mengampuni, menganggap diri benar, meremehkan firman Tuhan, menutup diri terhadap koreksi, menolak untuk berubah, menyebabkan hubungan suami dan istri rusak, keluarga berantakan, bahkan perceraian. Dengan demikian, perceraian adalah konsensi Musa bukan konstitusi Allah. Merupakan kelonggaran bukan norma atau standar Allah. Dengan kata lain, perceraian bukanlah yang ideal atau yang terbaik bagi pernikahan.

2. Perceraian mengakibatkan masalah-masalah. Apabila rancangan Tuhan diabaikan oleh manusia, maka pastilah timbul masalah-masalah. Bagi orang-orang tertentu perceraian sepertinya merupakan penyelesaian masalah, tetapi sebenarnya justru menjadi masalah. Karena akan ada pihak-pihak yang dikecewakan, tertekan, tersakiti, terluka dan dirugikan. 

Pasangan yang bercerai, anak-anak, pihak keluarga, serta masyarakat yang lebih luas bisa jadi akan terkena dampak dari perceraian tersebut. Konselor pernikahan dan keluarga, Gery dan Barbara Rosberg mengatakan, “Kepedihan akibat perceraian tidak sebatas kepada pasangan yang terlibat. Setiap tahun lebih dari satu juta anak Amerika mengalami luka batin akibat perceraian orangtuanya. 

Pertimbangkan kehancuran emosional dalam kehidupan anak-anak ini, hilangnya rasa aman, marah, semangat yang patah, kecewa; semua menegaskan betapa tragisnya akibat yang dapat ditimbulkan oleh perceraian”. Lagu “Butiran Debu” yang dinyanyikan Rumor dengan tepat mengekspresikan kebahagiaan cinta yang dirusak oleh ketidaksetiaan dan pengkhiataan, serta betapa dalam luka yang diakibatkannya. Ada harga mahal yang dibayar bagi sebuah pilihan untuk bercerai karena perceraian mengakibatkan luka yang tidak mudah untuk disembuhkan. Dan mungkin, bila luka tersebut disembuhkan tetap akan menyisakan goresan bekas luka tersebut. 

3. Perceraian tidak diperbolehkan karena setiap alasan. Beberapa penafsir Alkitab menyatakan Kristus menyetujui perceraian dapat terjadi hanya karena satu alasan yaitu “zinah” (Matius 19:9). Menurut beberapa teolog dan penafsir Alkitab, frase “kecuali karena zinah” adalah satu-satunya alasan dalam Alkitab di mana Tuhan memberikan izin untuk perceraian. 

Menurut mereka, satu alasan ini perlu ditegaskan karena orang Farisi datang kepada Yesus dengan pertanyaan “Apakah diperbolehkan orang menceraikan istrinya dengan alasan apa saja?” (Matius 19:3). Tetapi, frase “kecuali kerena zinah” dalam ucapan Yesus “Barangsiapa menceraikan istrinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah” (Matius 19:9) adalah kesalahan terjemahan! 

Frase yang diterjemahkan dengan “kecuali karena zinah” adalah frase Yunani “mé epi porneia” yang ditulis dalam bentuk negatif dan lebih tepat diterjemahkan “tidak untuk percabulan”. Mengapa? Karena kata “mé” adalah kata biasa yang berarti “tidak” atau “jangan”. Kata ini muncul lebih dari 1000 kali dalam Perjanjian Baru dan tidak sekalipun diterjemahkan dengan kata “kecuali”, selain dalam ayat ini. 

Beberapa contoh dari penggunaan kata “mé” yang berarti “tidak” diterjemahkan dengan kata “jangan” seperti dalam Matius 26:5; Markus 14:2; Lukas 13:14; Yohanes 13:9; 18:40. Tentu saja ini adalah kesalahan terjemahan yang berakibat fatal karena menyalahgunakan dari maksud Kristus yang sebenarnya! 

Perlu diketahui bahwa dua istilah yang banyak digunakan secara berbeda di dalam Alkitab untuk menunjukkan imoralitas seksual adalah : 

(1) Percabulan (porneia), menggambarkan aneka ragam perbuatan seksual sebelum atau di luar pernikahan. Istilah ini tidak terbatas pada perbuatan senggama. Setiap kegiatan atau permainan seksual yang intim di luar hubungan pernikahan, termasuk menyentuh bagian-bagian kelamin atau menyingkapkan ketelanjangan seseorang, terangkum dalam istilah ini dan jelas merupakan pelanggaran terhadap norma-norma moral Allah bagi umatNya (1 Korintus 6:18; 1 Tesalonika 4:3); Bandingkan (Imamat 18:6-30; 20:11-21); 

(2) Perzinahan (moikeia), yang menujukkan kepada seks haram yang melibatkan seseorang yang sudah menikah (Matius 19:5), dan kata kerja “moikeuo” yang berarti “berbuat zinah (Matius 5:27-28; 19:18). 

Para penulis Perjanjian Baru secara konsisten mengunakan kata moikeia dan moikeuo untuk perzinahan yang menjelaskan seks haram yang dilakukan atau melibatkan seseorang yang sudah menikah (Markus 7:21; Lukas 16:18; Yohanes 8:4; Roma 2:22; Yakobus 2:11; Wahyu 2:22). Kedua kata tersebut, yaitu percabulan (porneia) dan perzinahan (moikeia) berulangkali dipakai secara berbeda satu sama lain di dalam bagian yang sama, misalnya ketika Yesus berkata, “Karena dari hati timbul ... perzinahan (moikeia), percabulan (porneia) ...” (Matius 15:19; Bandingkan Markus 7:21-22; Galatia 5:19). 

Dengan demikian, ayat di dalam Matius 19:9 tersebut lebih tepat diterjemahkan dengan kata “percabulan”, bukan “perzinahan. Sebab jika yang dimaksud adalah perzinahan maka kata Yunani yang umum digunakan adalah moikeia, yang menujuk kepada seks haram yang melibatkan seseorang yang sudah menikah. 

Kata “porneia” dalam Matius 19:9 tersebut merupakan istilah yang setara dengan kata Ibrani “erwath dabar” yang diterjemahkan dengan istilah “tidak senonoh” dalam Ulangan 24:1, secara harfiah berarti “ketelanjangan suatu benda”. 

Kata “erwath dabar” ini dapat diartikan sebagai “keadaan telanjang atau pamer aurat yang dikaitkan dengan perilaku yang tidak suci”, tetapi bukan perzinahan setelah pernikahan. Karena hukuman bagi perzinahan setelah pernikahan dalam hukum Taurat adalah hukuman mati, sebagaimana yang disebutkan dalam Imamat 20:10 “Bila seorang laki-laki berzinah dengan isteri orang lain, yakni berzinah dengan isteri sesamanya manusia, pastilah keduanya dihukum mati, baik laki-laki maupun perempuan yang berzinah itu” (Bandingkan Yohanes 8:5). 

Jadi jelas disini mengapa Matius menggunakan kata Yunani “porneia” atau “percabulan”, yang pada dasarnya berarti ketidaksetiaan secara seksual atau ketidaksetiaan sebelum pernikahan yang mencakup segala macam hubungan seksual yang bertentangan dengan hukum. Dalam tradisi Yahudi, laki-laki dan perempuan dianggap sudah menikah walaupun mereka masih “bertunangan”. 

Percabulan dalam masa “pertunangan” ini dapat merupakan satu-satunya alasan untuk bercerai pada saat itu. Namun, tampaknya ada kesalahpahaman di antara pria Yahudi dalam menafsirkan tujuan dari izin perceraian dengan memberikan surat cerai tersebut (ulangan 24:1). 

Sebenarnya, surat cerai diberikan bukan untuk membenarkan perceraian, tetapi untuk melindungi hak-hak perempuan (istri), agar ia jangan diusir begitu saja atau diperlakukan seenaknya. Tetapi ayat ini justru digunakan oleh para lelaki untuk mengajukan perceraian terhadap istri mereka. Suatu interpretasi yang keliru, sehingga tepat jika Yesus menuding keras dengan mengatakannya “Karena ketegaran (kekerasan) hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian” (Matius 19:8). 

ARGUMENTASI YANG MENDUKUNG PENDAPAT BAHWA YESUS TIDAK PERNAH MENGIZINKAN PERCERAIAN 

Jadi di dalam ayat Matius 19:9 tersebut Yesus dengan tegas tidak memberikan kekecualiaan apapun yang memperbolehkan perceraian, termasuk alasan percabulan yang diizinkan Musa untuk bercerai dalam Ulangan 24:1 di PerjanjianLama. Disini Yesus menegaskan lagi tujuan dan ketetapan Allah semula dalam pernikahan (Matius 19:6). Seperti yang telah saya kemukakan di atas, bahwa frase “kecuali karena zinah” dalam Matius 19:9, merupakan kesalahan terjemahan dan tidak sesuai dengan maksud aslinya. 

Frase tersebut tidak dapat dianggap sebagai perkataan Yesus yang otentik karena penerjemahan telah memasukan kata yang tidak pernah dimaksudkan oleh Yesus. John Stott dalam buku Isu-Isu Global mengatakan bahwa Yesus mengizinkan perceraian dan perkawinan kembali hanya dengan satu-satunya alasan, yaitu perbuatan zinah (porneia). Menurut John Stott, ketentuan pengecualian (frase “kecuali karena zinah”) tersebut harus diterima sebagai ungkapan otentik Yesus. Tetapi hal tersebut telah dibantah oleh B. Ward Powerd dalam bukunya yang berjudul Perceraian dan Perkawinan Kembali yang menyatakan bahwa frase kekecualiaan tersebut bukan merupakan perkataan otentik Kristus. 

Berikut ini rangkuman dari argumentasi-argumentasi saya yang diadaptasi dari buku B. Ward Powers. 

1. Frase “kecuali karena zinah” tersebut hanya terdapat dalam tulisan Matius 19:9. 

Baik Markus maupun Lukas tidak mencantumkannya! (bandingkan Markus 10:11-12; Lukas 16:18). Telah dijelaskan sebelumnya bahwa frase “mê epi porneia”, yang diterjemahkan dengan “kecuali karena zinah” adalah salah terjemahan, karena seharusnya diterjemahkan “tidak untuk percabulan”. Kesalahan terjemahan ini terjadi karena penerjemah memasukan kata “ei” dalam frese “ei mê epi porneia”. 

Ketika kata “ei” digunakan bersama-sama dengan kata “mê” maka tentu saja artinya adalah “kecuali”. Ungkapan berganda “ei mê “ ini muncul sekitar 36 kali dalam Perjanjian Baru. Dan, teks Yunani yang diterbitkan Erasmus telah memasukkan kata “ei” ini di depan kata “mê” sehingga mengubah arti dari “tidak” menjadi “kecuali”. 

Kesalahan terjemahan ini juga termasuk dalam Tekstus Receptus yang merupakan dasar banyak terjemahan lama. Sejak abad ke 19 para sarjana telah memiliki naskah Yunani yang dapat dipercaya seperti Majority Text, Teks Bazitium, edisi-edisi Nestle-Aland, dan edisi-edisi United Bible Society, yang semuanya dengan bulat sepakat bahwa teks bahasa Yunani yang berbunyi “mê epi porneia” tanpa “ei” diterjemahkan sebagai “tidak karena percabulan” yang berbeda artinya dengan “kecuali karena zinah”. Namun sayangnya, hingga saat ini masih banyak orang Kristen mengikuti sebuah tradisi terjemahan yang berasal dari Textus Receptus, yang telah menerjemahkan apa yang tidak tertulis dalam naskah aslinya.

2. Menjadikan Kristus tidak konsisten dengan ucapannya sendiri. 

Ketika Ia berkata, “apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Matius 9:6), maka tidaklah mungkin Yesus hanya dalam rentang beberapa ayat kemudian menentang perkataanNya sendiri dengan mengizinkan perceraian, seperti kesalahan terjemahan dalam Matius 19:9, yang menyatakan bahwa perceraian dapat dibenarkan hanya dengan alasan “kecuali karena zinah” yang telah dilakukan. 

Tentu saja itu merupakan kesalahan! kesalahan terjemahan yang mengakibatkan Yesus menentang perkataanNya sendiri. Sebaliknya, justru disini Yesus hendak menegaskan bahwa hubungan eksklusif dalam pernikahan itu “tidak boleh diceraikan manusia” atau secara harafiah “manusia jangan memisahkan (”anthrōpos mē chōrizō”). Kata Yunani “diceraikan” adalah “chōrizō” yang artinya “membagi, memisahkan, memotong, membelah, memecah, atau mematahkan”. 

Jadi karena Allah dari sejak semula menetapkan bahwa pernikahan merupakan suatu ikatan yang permanen, yang berakhir hanya ketika salah satu pasangannya meninggal (bandingkan Roma 7:1-3; 1 Korintus 7:10-11), maka pemisahan (perceraian) jelaslah dilarang oleh Allah! Yesus telah menegaskan kembali rencana Allah yang semula ini. 

Paulus juga mendukung hal ini dengan tegas ketika ia berkata “Sebab seorang istri terikat oleh hukum kepada suaminya selama suaminya itu hidup. Akan tetapi apabila suaminya itu mati, bebaslah ia dari hukum yang mengikatnya kepada suaminya itu. Jadi selama suaminya hidup ia dianggap berzinah, kalau ia menjadi istri laki-laki lain; tetapi jika suaminya telah mati, ia bebas dari hukum, sehingga ia bukanlah berzinah, kalau ia menjadi istri laki-laki lain” (Roma 7:2-3). 

3. Salah terjemahan frase “kecuali karena zinah tersebut” telah menyebabkan Yesus menaruh harga yang tinggi terhadap perbuatan dosa perzinahan, melebihi dosa lainnya. 

Dengan kata lain, hanya dosa perzinahan itu saja yang dapat membatalkan rencana Allah yang semula tentang perkawinan. Perzinahan adalah dosa dan mengatakan perzinahan sebagai pembenaran untuk bercerai berarti bahwa dosa membenarkan perceraian. Pertanyaannya: Mau dibawa ke mana pemikiran dan ajaran yang salah seperti itu? Yesus dalam kesempatan lain mengatakan demikian, “Karena dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat. Itulah yang menajiskan orang” (Matius 15:19-20b). 

Disini Yesus menunjukkan kesejajaran dosa perzinahan dengan dosa-dosa lainnya, yang bersumber dari hati manusia yang telah menjadi keras. Ketika Yesus mengatakan kepada orang-orang Farisi bahwa Musa “mengizinkan” perceraian tetapi tidak pernah memerintahkannya, ia langsung memberikan alasan paling mendasar mengapa terjadi perceraian. Menurut Kristus perceraian itu diizinkan Musa karena “ketegaran hati” manusia (Matius 19:8; Bandingkan Markus 5:10). 

Kata Yunani “ketegaran hati” adalah “sklerokardia” yang lebih tepat diterjemahkan dengan “kekerasan hati”. Jadi mengapa orang bercerai? Yesus menjawab dengan tegas karena kekerasan hati mereka. Yesus tidak pernah sama sekali mengatakan orang boleh bercerai karena perzinahan atau orang boleh bercerai kecuali karena zinah. 

Alasan mengapa Allah sangat membenci perceraian adalah karena perceraian merupakan satu kegagalan untuk memiliki sifat-sifat yang dikehendaki standar Allah (Bandingkan: Maleakhi 2:16a). Perceraian merupakan suatu serangan terhadap standar Allah, suatu upaya penghancuran dari rencanaNya untuk pernikahan. 

Dengan demikian, tidaklah masuk akal jika Yesus mengizinkan perceraian. Karena dalam naskah aslinya Yesus tidak pernah sama sekali mengizinkan perceraian dengan alasan apapun, termasuk alasan percabulan. 

4. Respon para murid terhadap ucapan Yesus. Ketika mendengar penegasan Yesus bahwa perceraian dilarang dengan alasan apapun, termasuk alasan percabulan, seketika para muridNya memberi respon dengan berkata, “Jika demikian halnya hubungan antara suami dan istri, lebih baik jangan kawin” (Matius 19:10). 

Respon para murid tersebut menunjukkan bahwa mereka benar-benar mengerti bahwa Yesus tidak pernah mengizinkan perceraian dengan alasan apapun. Menurut mereka hal seperti itu sangat berat sekali untuk dilaksanakan. Tetapi menurut Yesus memang “Tidak semua orang dapat mengerti perkataan itu, hanya mereka yang dikaruniai saja” (Matius 19:11).

5. Pandangan dan kesimpulan para ahli Alkitab, pakar teologi dan etika Kristen berikut ini menunjukkan bahwa Kristus tidak pernah mengizinkan perceraian dengan alasan apapun.


(1) Homer A. Kent, profesor bidang Perjanjian Baru dan Bahasa Yunani; Grace Theological Seminary dalam tafsiran Injil Matius (The Wycliffe Bible Comentary, Volume 3) menuliskan, “apabila zinah dipandang sebagai sesuai dengan artinya yang umum, dan disini mengacu kepada kesucian pihak wanita sepanjang masa pertunangan (bdg. Kecurigaan Yusuf, Matius 1:18,19), maka Kristus sama sekali tidak memberikan peluang untuk bercerai bagi pasangan yang sudah menikah. Dengan demikian Dia tidak sependapat dengan Syamai maupun dengan Hillel”.

(2) F.F. Bruce seorang profesor Perjanjian Baru di University of Manchester dalam bukunya ucapan Yesus yang sulit mengatakan, “Namun pernikahan ditetapkan oleh Allah untuk manusia di bumi. Atas pertanyaan ‘apakah seseorang suami diperbolehkan menceraikan istrinya!’ maka jawabannya, kita simpulkan adalah tidak; tidak dengan alasan apa saja!” 

(3) Glen H. Stassen, profesor Etika Kristen di Fuller Theological Seminary, bersama David P. Gushee Profesor Filsafat Moral di Union University, Jackson dalam buku Etika Kerajaan Allah, mereka menyatakan demikian, “Kita bisa percaya bahwa Yesus sedang memberikan kepada kita sebuah peraturan baru dimana tidak ada pengecualiaan sama sekali - tidak ada perceraian yang dapat dibenarkan, - atau, dihadapan ‘dilema-dilema yang janggal dan bahkan kejam’ yang diciptakan oleh interpretasi ini, kita dipaksa untuk menggantikan paradigma”.

(4) Norman L. Geisler, profesor Apologetika di Dallas Theological Seminary dan dekan dari The Liberty Center for Christian Scholarship di Liberty University dalam bukunya Etika Kristen: Pilihan dan Isu, saat mengevaluasi pandangan tidak ada alasan apapun untuk bercerai menyatakan, “Allah sungguh membenci perceraian. Yesus sungguh melarangnya dan bagian Alkitab yang selebihnya menyetujui sikap ini. 

Paling banter, Allah hanya memperbolehkan perceraian, tapi tidak pernah memerintahkannya. Tidak ada dasar-dasar Alkitabiah untuk perceraian, bahkan juga perzinahan. Perzinahan adalah dosa dan mengatakan perzinahan sebagai pembenaran untuk bercerai bararti bahwa dosa membenarkan perceraian. Perceraian merupakan satu kegagalan untuk memiliki sifat-sifat yang dikehendaki standar Allah, tidak peduli apapun alasanya. Perceraian adalah satu serangan terhadap standar Allah, satu penghancuran dari rencanaNya untuk pernikahan”. 

Daftar Referensi :APAKAH YESUS MENGIZINKAN PERCERAIAN ? (Suatu Analisis dan interpretasi Teologis Terhadap Teks Matius 19:1-11) 

Abineno, J.L.Ch. 2012. Tafsiran Alkitab: Surat Efesus. Penerbit BPK Gunung Mulia : Jakarta. 

Banks, Robert & R. Paul Stevens., 2012. The Complete Book of Everyday Christianity. Terjemahan Penerbit Kalam Hidup : Bandung.

Burke, Dale., 2007. Dua Perbedaan dalam Satu Tujuan. Terjemahan, Penerbit Metanoia Publising : Jakarta.

Campolo, Tony., 2005. Mengikut Yesus Tanpa memalukan Allah. Terjemahan Penerbit Gospel Press : Batam. 

Chamblin, J. Knox., 2010. Paul and The Self: Apostolic Teaching For Personal Wholeness. Terjemahan, Penerbit Momentum : Jakarta. 

Clinton, Tim & Mark Laaser., 2012. Sex and Relationship. Terjemahan, Penerbit ANDI : Yogyakarta. 

Dobson, James., 2004. Panduan Lengkap Pernikahan dan Keluarga. Terjemahan Penerbit Gospel Press : Batam. 

Dobson, James., 2007. Marriage Under Fire. Terjemahan Penerbit Immanuel : Jakarta. 

Douglas, J.D., ed, 1993. Ensiklopedia Alkitab Masa Kini, Jilid 1 & 2, Tejemahan, Yayasan Komunikasi Bina Kasih : Jakarta.

Evans, Tony., 2001. Cara Hidup Yang Luar Biasa. Jili 1 & 2, terjemahan, Penerbit Interaksara : Batam.

Geisler, Norman L., 2000. Etika Kristen: Pilihan dan Isu. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Jakarta. 

Gutrie, Donald., ed, 1981. Tafsiran Alkitab Masa Kini, Jilid 1, 2, & 3. Terjemahan, Yayasan Komunikasi Bina Kasih : Jakarta.

Gutrie, Donald., 1991. Teologi Perjanjian Baru. Jilid 1, 2, & 3, Terjemahan, BPK Gunung Mulia : Jakarta.

King, Clayton & Charie King., 2012. 12 Pertanyaan yang Harus Diajukan Sebelum Menikah. Terjemahan, Penerbit Immanuel : Jakarta. 

LaHaye, Tim & Beverly., 2007. Kehidupan Seks Dalam Pernikahan. Terjemahan Penerbit Kalam Hidup : Bandung & Penerit Andi : Yogyakarta. 

Ladd, Geoge Eldon, 1999. Teologi Perjanjian Baru. Jilid 2, terjemahan Penerbit Kalam Hidup : Bandung.

Leman, Kevin., 2000. Seks Di Mulai Dari Dapur. Terjemahan, Penerbit ANDI : Yogyakarta. 

Lewis, C.S., 2006. Mere Christianity. Terjemahan, Penerbit Pionir Jaya : Bandung

Mack, Wayne., 1985. Bagaimana Mengembangkan Kesatuan Yang kukuh Dalam Hubungan Perkawinan. Terjemahan, Penerbit Yakin : Surabaya.

McDowell, Josh., 1997. Right From Wrong. Terjemahan, Penerbit Profesional Books : Jakarta.

Pfeiffer, Charles F & Eferett F. Herrison., ed, 2004. Tafsiran Alkitab Wycliffe Perjanjian Baru. Volume 1, 2, & 3, diterjemahkan, Penerbit Gandum Mas : Malang.

Piper, John & Justin Taylor, ed., 2011. Seks dan Supremasi Kristus. Terjemahan, Penerbit Momentum : Jakarta. 

Powers, B. Ward., 2011. Perceraian dan Perkawinan Kembali : Pendekatan Hukum dan Anugerah Allah dalam Alkitab. Terjemahan, Penerbit Yayasan Komunikasi Bina Kasih : Jakarta.

Prince, Derek., 2003. Pernikahan Ikatan Yang Kudus. Penerbit Derek Prince Ministries Indonesia : Jakarta. 

Prince, Derek., 2004. Jodoh Pilihan Tuhan. Penerbit Derek Prince Ministries Indonesia : Jakarta. 

Prince, Derek., 2004. Suami dan Ayah. Penerbit Derek Prince Ministries Indonesia : Jakarta.

Prokopchak, Stave and Mary., 2011. Called Together. Penerbit ANDI : Yogyakarta. 

Ryken, Leland, James C. Wilhoit, Tremper Longman III, editor., 2002. Kamus Gambaran Alkitab. Terjemahan, Penerbit Momentum: Jakarta.

Ronda, Daniel., 2015. Pengantar Konseling Pastoral : Teori dan Kasus Praktis Dalam Jemaat. Penerbit Kalam Hidup Bandung.

Rosberg, Gery & Barbara., 2010. Pernikahan Anti Cerai. Terjemahan, Penerbit ANDI : Yogyakarta. 

Rosen, Margary., ed, 2004. 7 Secrets of a Happy Marriage. Terjemahan Penerbit Karisma Publising Group : Batam. 

Sproul, R.C., 1997. Essential Truths of the Christian Faith. diterjemahkan, Penerbit Literatur SAAT : Malang. 

Stassen, Glen & David Gushee., 2008. Etika Kerajaan: Mengikut Yesus dalam Konteks Masa Kini. Terjemahan, Penerbit Momentum : Jakarta. 

Stamps, Donald C., ed, 1995. Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan. Terjemahan Penerbit Gandum Mas : Malang. 

Stinnett, Nick & Nancy Stinnett., 2004. Fantastic Families. Terjemahan Penerbit Interaksara : Batam. 

Stoop, Davit & Jan Stoop., 2008. A To Z Pranikah. Terjemahan, Penerbit ANDI : Yogyakarta.

Stott, John., 2005. Isu-Isu Global: Penilaian Atas Masalah Sosial dan Moral Kontemporer Menurut Perspektif Kristen. Edisi revisi, terjemahan, Penerbit Yayasan Komunikasi Bina Kasih : Jakarta.

Tong. Stephen., 1991. Keluarga Bahagia. Cetakan kesebelas (2010), Penerbit Momentum: Jakarta. 

Trisna, Jonathan A., 2013. Two Become One. Penerbit ANDI : Yogyakarta. 

Walker, James., 2003. Suami Yang Tidak Mau Memberi Teladan dan Istri Yang Tidak Mau Mencontoh. Terjemahan, Penerbit Interaksara : Batam. 

Wijaya, Andik., 2014. Equipping Leaders to Figth for Sexual Holiness. Diterbikan oleh Kenza Publising House : Surabaya.

Wiersbe, Warren W., 1993. Kaya Dalam Kristus: Tafsiran Surat Efesus. Terjemahan, Penerbit Kalam Hidup : Bandung.

Young, Ed., 2003. The 10 Commandments of Marriage. Penerbit Lembaga Literatur Baptis : Bandung. 

Zuck, Roy B, editor., 2010. A Biblical of Theology The Old Testament. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang.

_____________, editor., 2011. A Biblical of Theology The New Testament. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang.APAKAH YESUS MENGIZINKAN PERCERAIAN ?(Suatu Analisis dan interpretasi Teologis Terhadap Teks Matius 19:1-11).
Next Post Previous Post