TANGGAPAN TERHADAP FENOMENA ZIARAH KE ISRAEL
Pdt.Samuel T. Gunawan, M.Th.
Beberapa tahun terakhir ini istilah “holyland tour” telah dikenal secara luas di kalangan orang Kristen. Di Indonesia “holyland tour” atau wisata ke “tanah suci” Israel, Yerusalem dan sekitarnya telah menjadi trend di kalangan Kristen.
Menyikapi fenomena holyland tour ini ada dua sikap ekstrim yang perlu kita hindari.
Pertama, sikap ekstrim yang mewajibkan orang Kristen ziarah ke Israel yaitu ke Yerusalem dan kota/tempat tertentu disekitarnya lalu melakukan ibadat atau ritual-ritual. Kedua, sikap ektrim yang melarang orang Kristen untuk berziarah ke Israel dengan alasan hal ini tidak diperintahkan dalam kitab Suci.
Menyikapi fenomena holyland tour ini ada dua sikap ekstrim yang perlu kita hindari.
Pertama, sikap ekstrim yang mewajibkan orang Kristen ziarah ke Israel yaitu ke Yerusalem dan kota/tempat tertentu disekitarnya lalu melakukan ibadat atau ritual-ritual. Kedua, sikap ektrim yang melarang orang Kristen untuk berziarah ke Israel dengan alasan hal ini tidak diperintahkan dalam kitab Suci.
Memperhatikan fenomena tersebut diatas, setidaknya ada empat keprihatinan berkenaan dengan fenomena ziarah ke Israel tersebut.
Pertama, dari sudut pandang pastoral, yaitu dari hukum pertumbuhan rohani hal ini akan menyebabkan pertumbuhan yang “tidak sehat” apabila ketaatan kepada Kristus ditentukan atau di ukur dari pengalaman-pengalaman perjalanan ke “tanah suci” (Yerusalem) tersebut.
Kedua, dari sudut pandang dokrinal-teologikal maka fenomena ini menjadikan orang Kristen berpusat pada diri sendiri, manusia, dan pengalaman lebih dari pada pernyataan kitab suci (Alkitab) serta tidak berpusat pada Kristus.
Ketiga, dari sudut pandang sosial-ekonomikal, apabila holyland tourdiwajibkan bagi orang Kristen maka tidak semua orang Kristen bisa melakukannya. Hal ini disebabkan strata atau tingkat ekonomi yang berbeda, dan kenyataan bahwa tidak semua orang Kristen itu kaya secara materi. Pengalaman menujukan bahwa beberapa orang Kristen “rela” berhutang hanya karena ikut-ikutan holyland tour,
sementara yang lainnya mengadopsi pola MLM (multi level marketing) dengan dalih membantu dan memberi kemudahan bagi orang Kristen yang kurang mampu agar bisa pergi ke Israel. Pengalaman menujukkan bahwa dalam pola MLM akan ada yang diuntungkan dan akan ada yang “dikorbankan”. Pengamat yang jeli akan segera mengetahui bahwa yang paling diuntungkan secara financial adalah penyedia jasa, guide tour, dan biro perjalanan.
Keempat, dari sudut pandang psikologikal, maka secara emosional ada semacam “sensasi” atau semacam perasaan sebagai orang Kristen yang “lebih baik” bagi mereka yang dapat melakukan holyland tourtersebut lebih daripada mereka yang tidak dapat melakukannya. Hal ini menyebabkan kesombongan dalam taraf tertentu.
Bagaimana seharusnya sikap orang Kristen yang tulus menanggapi fenomena “holyland tour” ini? Lalu, apakah perspektif Kitab Suci mengenai hal ini? Berikut ini beberapa pertimbangan dalam menentukan sikap kita terhadap fenomena ziarah ke “Tanah Suci” / Israel tersebut
Pertama, bahwa dalam Kitab Suci tidak ada perintah yang secara eksplisit mewajibkan atau pun melarang orang Kristen untuk melakukan holyland tour atau berziarah ke Israel (Yerusalem dan sekitarnya). Implikasi dari pernyataan ini jelas yaitu bahwa sikap ekstrim yang mewajibkan atau pun melarang holyland tour perlu dihindari.
Kedua, perlu bagi orang Kristen untuk bisa membedakan antara Israel dan Gereja (kumpulan orang percaya). Kitab Suci menunjukkan bahwa Israel dan Gereja adalah dua entitas yang berbeda. Teolog seperti Charles C. Ryrie dalam Basic Theology, Paul Enns dalam Approaching God membedakan dengan jelas antara Israel dan Gereja. Israel bukanlah Gereja, sebaliknya Gereja bukanlah Israel basik secara fisik maupun rohani.
Pertama, Israel dalam pengertian teknis merupakan sebuah bangsa, sedangkan gereja pengertian teknis bukanlah sebuah bangsa. Ada beberapa fakta yang mennjukkan perbedaan ini, yaitu: Israel memiliki bahasa nasional, sedangkan Gereja adalah kumpulan bermacam-macam manusia dari suku bangsa yang berbeda dan memiliki banyak bahasa yang berbeda; Israel memiliki negara, ibu kota, pemerintahan dan para pemimpin politis di bumi ini, namun gereja tidak memiliki negara, pemerintahan, dan para pemimpin politis; Israel memiliki tradisi dan sejarah nasional, sedangkan gereja merupakan campuran manusia dari berbagai tradisi dan sejarah yang berbeda; Israel memiliki tentara untuk menghadapi serangan dan menyerang bangsa lain, sedangkan gereja tidak memiliki tentara seperti itu.
Kedua, pada kenyataannya Israel oleh karena iri hati menolak Kristus, Mesias yang dijanjikan kepada mereka walaupun sebelumnya Allah sudah berulangkali memperingatkan mereka bahwa mereka akan menolak Dia (Yes. 53; Yohanes 1:11; 12:37-41), sedangkan kontras dengan Gereja sebagai kumpulan orang percaya menerima Kristus yang telah ditolak oleh Israel.
Ketiga, dalam Roma 11, Rasul Paulus menjelaskan bahwa Israel adalah umat pilihan Allah yang mana mereka berada di bawah berkat Allah. Namun oleh karena Israel menolak Kristus, maka untuk sementara berkat itu diambil dari Israel dan dialihkan kepada Gereja (kumpulan orang percaya). Implikasi dari perbedaan ini membawa pada pengertian bahwa tanah perjanjian adalah bagi orang Israel dengan demikian tidak mewajibkan orang Kristen untuk berziarah ke sana.
Ketiga, Kitab Suci menegaskan bahwa keselamatan adalah anugerah bukan usaha manusia. Setidaknya ada dua pandangan keliru tentang mengenai hal ini.
Pertama, ada pandangan yang menganggap bahwa kita diselamatkan karena perbuatan-perbuatan baik dan bukan hanya karena anugerah. Sebaliknya, Kitab Suci mengajarkan bahwa kita diselamatkan karena percaya (respon) pada Injil yang menyelamatkan bukan karena perbuatan baik apapun dari kita (Galatia 3:1-8; Roma 3:16-23; Efesus 2:8-9). Setelah diselamatkan adalah keharusan bagi setiap orang Kristen untuk berbuat baik (Efesus 2:10-11).
Kedua, ada juga yang menganggap bahwa baptisan air adalah Injil yang menyelamatkan dan dapat menghapus dosa, apalagi bila dibaptis di Sungai Yordan. Kitab Suci mengajarkan bahwa baptisan air bukanlah syarat keselamatan (1 Korintus 1:17). Baptisan air itu penting tetapi bukan syarat keselamatan. Baptisan air adalah tanda pertobatan (Matius 3:11); Tanda ketataan kepada perintah Tuhan bahwa seseorang sudah diselamatkan (Matius 28:18,19); orang percaya secara simbolik mengalami persatuan dengan Kristus melalui baptisan air (Roma 6).
Perlu diingat, Kitab suci menunjukan adanya orang yang memberitakan injil lain yang berbeda dari Injil yang menyelamatkan. Injil ini disebut “injil sungsang” atau pemutar-balikan Injil (Galatia 1:6-9). Kutuk (anathema) ditimpakan kepada pengajar injil sungsang ini (Galatia 1:8,9). Kata Yunani “anathema”berarti murka Allah, hukuman Allah yang membinasakan.
Keempat, dalam Yohanes 4:24 Kristus juga menegaskan bahwa, “Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran” . Ibadah sejati adalah ibadah yang dipimpin oleh Roh Kudus dan sesuai dengan firman Tuhan (kebenaran). Dengan demikian, dalam hal ibadah kepada Allah, orang Kristen tidak dibatasi pada satu tempat tertentu, termasuk tempat yang dianggap ”suci” atau ”sakral”.
Justru, hidup setiap orang Kristen harus menjadi ibadah, yakni menjadi persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah (Roma 12:1). Itu berarti orang Kristen perlu menyadari bahwa tubuhnya adalah Bait Roh Kudus sehingga ia dapat melayani Allah baik dengan pikirannya, rohnya, maupun dengan tubuhnya. Ibadah yang sejati adalah mempersembahkan tubuh kepada Allah dan semua yang dikerjakannya setiap hari.
Dan hal itu dapat terjadi apabila hidup orang-orang percaya berubah oleh pembaharuan budi (Roma 12:2), yakni dengan kehidupan yang berpusat pada Kristus. Implikasi dari penyataan ini menegaskan kembali kepada kita bahwa pendapat yang menganggap ibadah/berdoa dan meminta berkat Tuhan di ritus-ritus atau tempat-tempat sakral di “tanah suci” (Israel) seolah-olah Tuhan hanya ada di sana, atau menganggap bahwa dengan mengunjungi tempat-tempat tersebut iman seseorang akan menjadi hidup dan tidak hanya sekedar teori adalah tidak sesuai dengan pernyataan Kitab Suci.
Kelima, orang Kristen dinasihati untuk hidup bijaksanaan dan menuruti kehendak Tuhan (Efesus 5:15-17), menjadi dewasa dan tidak mudah digoyahkan oleh berbagai ajaran dan pendapat manusia yang membingungkan (Efesus 4:14-15), tetap teguh dalam iman, pengharapan dan Injil yang menyelamatkan (Kolose 1:23; Yudas 1:20-21).
Akhirnya, sebagaimana telah saya sampaikan di atas, merupakan hal yang baik bagi orang Kristen jika dapat melakukan wisata / ziarah ke Israel dan mengunjungi kota-kota atau tempat-tempat tertentu yang bersejarah. Namun, merupakan sebuah kekeliruan bila holyland tour dijadikan hal yang wajib dilakukan oleh orang Kristen dengan alasan-alasan yang sebenarnya tidak Alkitabiah. Karena itu, motivasi dari holyland tour perlu berdasarkan pertimbangan yang bijak, pemahaman dan tujuan yang benar serta sesuai dengan interpretasi yang tepat atas ajaran Kitab Suci.TANGGAPAN TERHADAP FENOMENA ZIARAH KE ISRAEL
Salam sejahtera!
https://teologiareformed.blogspot.com/