RENCANA ALLAH BAGI ANDA - J.I.PACKER

RENCANA ALLAH BAGI ANDA - J.I.PACKER. ADAKAH SESUATU YANG DISEBUT RENCANA? ORANG ZAMAN SEKARANG MERASA TERSESAT DAN TERHILANG. Kesenian, puisi, novel modern, atau perbincangan lima menit dengan orang yang peka akan membuat kita meyakini hal ini. Sepertinya aneh jika hal ini bisa terjadi pada zaman ketika pengendalian kita atas kekuatan alam jauh melampaui zaman-zaman sebelumnya. Namun hal ini sesungguhnya tidak aneh. Hal ini adalah penghukuman Allah karena kita mencoba untuk merasa terlalu betah tinggal di duma ini. 
RENCANA ALLAH BAGI ANDA - J.I.PACKER
Kita menolak untuk percaya bahwa tujuan hidup kita harus melampaui kehidupan masa sekarang. Bahkan sekalipun kita mencurigai kaum materialis karena menyangkali keberadaan Allah dan dunia lain, kita tidak mengizinkan keyakinan kita menjauhkan kita dari kehidupan berdasarkan prinsip-prinsip materialistis. Kita memperlakukan dunia ini seolah-olah ini satu-satunya rumah kita, dan kita berkonsentrasi penuh untuk mengaturnya demi kenyamanan kita. Kita menyangka kita bisa membangun sorga di bumi. 

Kini Allah menghakimi kita karena keduniawian kita. Pada abad silam kita mengalami dua perang dunia “yang panas,” dan satu perang “dingin,” yang dalam bidang tertentu masih berlangsung. Kita hidup pada zaman perang nuklir, rasisme, perang antarsuku, penipuan uang, terorisme, dan segala jenis pencucian otak. 

Mustahil kita dapat betah di dunia seperti ini. Dunia ini telah mengecewakan kita. Kita berharap kehidupan ini ramah tetapi kehidupan mengejek pengharapan kita, dan membiarkan kita kecewa dan frustrasi. Kita menyangka kita tahu apa yang harus diperbuat dalam hidup ini. Kini kita cemas apakah masih ada yang bisa kita perbuat dengannya. Kita menganggap diri bijak. Kini kita mendapati diri bagaikan anak-anak yang tersesat di kegelapan malam. 

Cepat atau lambat ini pasti terjadi. Dunia milik Allah tak pernah ramah terhadap mereka yang melupakan Penciptanya. Pemeluk agama Buddha yang mengaitkan ateisme mereka dengan pesimisme menyeluruh terhadap hidup, benar sampai batas ini. Tanpa Allah manusia kehilangan arah, dan kecuali ia menemukan Sang Empunya dunia ini, ia tidak akan dapat menemukan arah itu. Tidak heran jika orang yang tidak percaya merasa diri mereka tidak berarah dan menyedihkan. 

Tidak heran jika jiwa jiwa yang pahit dan frustrasi ini berpaling pada obat-obat terlarang dan minuman keras, atau jika para remaja menanggapi kekacauan di sekeliling mereka dengan bunuh diri. Allah menciptakan hidup, dan hanya Allah yang bisa memberi tahu maknanya. Jika kita mau memahami hidup di dunia ini, maka kita harus tahu tentang Allah. Dan jika kita mau tahu tentang Allah, kita harus kembali kepada Alkitab. 

BACALAH ALKITAB 

Jadi marilah kita membaca Alkitab – jika kita bisa. Tetapi bisakah kita? Banyak di antara kita yang kehilangan kemampuan ini. Kita membuka Alkitab dengan kerangka pikir yang membentuk batasan yang tak dapat ditembus. Meski terdengar mengejutkan, hal ini benar. Izinkan saya menjelaskan. 

Ketika Anda membaca sebuah buku, Anda memperlakukannya sebagai suatu kesatuan. Anda mencari plot atau alur utamanya, dan menelusurinya sampai akhir. Anda membiarkan pikiran si penulis menuntun Anda. Tidak peduli apakah Anda membiarkan diri “terbenam” sebelum menyerap isi buku tersebut atau tidak, Anda tahu bahwa Anda tak akan pernah memahaminya sampai Anda membacanya dari awal hingga akhir. Jika Anda ingin menguasai buku itu, Anda akan meluangkan waktu khusus untuk mempelajarinya dengan saksama dan tidak tergesa-gesa. 

Tetapi kita membaca Kitab Suci secara berbeda. Kita tidak terbiasa memperlakukannya sebagai sebuah buku. Kita melihatnya hanya sebagai kumpulan cerita dan pepatah yang tepisah. Kita begitu saja menganggap tulisan ini sebagai nasihat moral atau penghiburan bagi mereka yang bermasalah. Jadi kita membaca Alkitab dalam dosis ringan, beberapa ayat setiap kali baca. 

Kita tidak membaca keseluruhan kitab, apalagi membaca kedua Perjanjian tersebut secara menyeluruh. Kita menyusuri masa tua Yakub yang kaya raya, sambil menantikan sesuatu menyambar kita. Ketika ayat-ayat ini menenangkan pikiran atau memberi gambaran yang menyenangkan, kita yakin Alkitab telah menyelesaikan tugasnya. 

Kita menganggap Alkitab bukan sebagai buku, melainkan sekumpulan penggalan bacaan yang indah dan menguatkan, dan berdasarkan itulah kita menggunakannya. Akibatnya, dalam pengertian “membaca” secara umum, kita sama sekali tidak membaca Alkitab. Kita menganggap kita telah memperlakukan Kitab Suci dengan cara yang benar, tetapi kita ternyata salah. Ini hanyalah religiusitas semu, bukan religiositas sejati. 

Allah tidak ingin Alkitab dibaca hanya sebagai obat bagi pikiran yang sedang kesal. Pembacaan Kitab Suci dimaksudkan untuk membangunkan pikiran kita, bukan untuk menina-bobokannya. Allah meminta kita untuk mendekati Kitab Suci sebagai Firman-Nya – pesan yang ditujukan kepada ciptaan-Nya yang berakal budi dan bernalar, sehingga jangan harap dapat dipahami tanpa memikirkannya. “Marilah, baiklah kita berperkara [reason together, KJV]!” kata Allah kepada bangsa Yehuda melalui Yesaya (Yesaya 1:18), dan Dia mengucapkan hal yang sama setiap kali kita membuka kitab-Nya. 

Dia mengajar kita berdoa memohon pencerahan ilahi ketika kita membaca. “Singkapkanlah mataku, supaya aku memandang keajaiban-keajaiban dari Taurat-Mu” (Mazmur 119:18). Doa ini meminta Allah memberikan pemahaman saat kita merenungkan Firman-Nya. Namun kita menghalangi Allah menjawab doa ini jika sesudah berdoa, kita tidak berpikir saat membaca. 

Allah ingin kita membaca Alkitab sebagai buku – sebuah kisah dengan sebuah tema. Saya tidak lupa bahwa Alkitab terdiri dari banyak bagian yang terpisah (tepatnya enam puluh enam bagian) dan sebagian bahkan merupakan gubahan (seperti Mazmur yang terdiri dari 150 doa dan himne). Sekalipun demikian, Alkitab dihasilkan oleh satu pikiran, yakni pikiran Allah. 

Alkitab berulang kali membuktikan kesatuan ini melalui keterkaitan yang mengagumkan antarbagiannya, bagian satu memperjelas bagian lain. Jadi kita harus membacanya sebagai satu kesatuan. Dan ketika membaca, kita harus bertanya: Apakah plot kitab ini? Apakah topiknya? Apakah isinya? Kecuali kita menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, kita takkan pernah melihat apa yang sedang ia katakan mengenai hidup kita. 

Ketika telah mencapai titik ini, kita akan menemukan bahwa pesan Allah kepada kita lebih radikal dan lebih memberi semangat, ketimbang apa pun yang bisa diberikan oleh religiositas manusia. 

TEMA UTAMA 

Apakah yang akan kita temukan jika kita membaca Alkitab sebagai satu kesatuan yang utuh dan dengan menyelidiki fokusnya? Inilah yang akan kita temukan: Alkitab tidak terutama berbicara tentang manusia. Tokoh utamanya adalah Allah. Dia-lah tokoh utama dalam drama ini, Sang Pahlawan dalam kisah Alkitab. Alkitab mensurvei karya-Nya di dunia ini, dulu, kini, dan kelak, berikut penjelasan dari para nabi, pemazmur, orang bijak, dan rasul. 

Tema utamanya bukan keselamatan manusia, melainkan karya Allah yang mempertahankan tujuan-Nya dan memuliakan diri-Nya dalam alam semesta yang berdosa dan kacau. Dia melakukannya dengan mendirikan kerajaan-Nya dan meninggikan Putra-Nya, dengan menciptakan suatu umat untuk menyembah dan melayani Dia, dan dengan membongkar dan menata ulang segala yang ada, yang berarti mencabut dosa dari dunia-Nya. 

Dalam perspektif yang lebih besar inilah Alkitab berbicara tentang karya Allah yang menyelamatkan manusia. Allah Alkitab lebih dari sekadar arsitek kosmos yang jauh, atau paman sorgawi yang mahaada, atau kuasa pemberi hidup yang impersonal. Allah melampaui semua allah pengganti yang mendiami pikiran abad kedua puluh. la hidup, hadir dan aktif di mana saja, “Mulia karena kepudusan-Mu, menakutkan karena perbuatan-Mu yang mahsyur” (Keluaran 15:11). 

Ia menamai diri-Nya – Yahweh (Jehovah: lih. Keluaran 3:14-15; 6:2-3). Baik diterjemahkan menjadi “Akulah Aku” atau “Akulah Aku yang akan datang” (bahasa Ibrani mencakup kedua makna ini), nama ini memproklamasikan eksistensi-Nya dan kecukupan-Nya, kemahakuasaan-Nya dan kebebasan-Nya yang tak terikat apa pun. 

Dunia ini miliknya, Ia menjadikannya dan mengendalikannya. Ia “di dalam segala sesuatu bekerja menurut keputusan kehendak-Nya (Efesus 1:11). Pengetahuan dan kuasanya-Nya menjangkau hal terkecil: “Dan kamu, rambut kepalamu pun terhitung semuanya” (Matius 10:30). “Tuhan bertakhta” – pemazmur menjadikan kebenaran yang tak tergoyahkan ini sebagai titik awal bagi puji-pujian mereka (lih. Mzm. 93:1; 96:10; 97:1; 99:1). Sekalipun kekuatan jahat menerjang dan kekacauan mengancam, Allah adalah Raja. Karena itu umat-Nya aman. 

Itulah Allah Alkitab. Dan Alkitab, dari Kejadian hingga Wahyu, mengumandangkan keyakinan bahwa ada rencana Allah di balik semua kebingungan yang tampak di dunia ini. Rencana tersebut berkenaan dengan penyempurnaan suatu umat dan pemulihan suatu dunia melalui perantaraan Yesus Kristus. Allah mengatur berbagai urusan manusia dengan mengingat tujuan ini. Sejarah manusia merupakan catatan dari penggenapan maksud Allah ini. 

Alkitab merincikan tahap-tahap rencana Allah. Allah mengunjungi Abraham, memimpinnya ke Kanaan, dan mengikut kovenan dengannya dan dengan keturunannya – “perjanjian antara Aku dan engkau serta keturunanmu turun-temurun menjadi perjanjian yang kekal…. Aku akan menjadi Allah mereka” (Kejadian 17:7 dst.). 

Dia mengaruniai Abraham seorang putra, mengubah keluarganya menjadi suatu bangsa dan membawa mereka keluar dari Mesir menuju tanah milik mereka. Selama berabad-abad Ia mempersiapkan mereka dan dunia kafir untuk menyambut kedatangan Sang Juruselamat dan Raja, “Ia telah dipilih sebelum dunia dijadikan, tetapi karena kamu baru menyatakan diri-Nya pada akhir zaman. Oleh Dialah kamu percaya kepada Allah” (1Petrus 1:20 dst.). 

Akhirnya, “Setelah genap waktunya, maka Allah mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan dan takluk kepada hukum Taurat. Ia diutus untuk menebus mereka, yang takluk kepada hukum Taurat, supaya kita diterima menjadi anak” (Galatia 4:4 dst.). Perjanjian kepada keturunan Abraham kini digenapkan pada semua orang yang percaya kepada Kristus: “Dan jikalau kamu adalah milik Kristus, maka kamu juga adalah keturunan Abraham dan berhak menerima janji Allah” (Galatia 3:29). 

Rencana Allah atas zaman ini adalah supaya Injil ini tersebar di seluruh dunia, dan “suatu kumpulan besar … dari segala bangsa dan suku dan kaum dan bahasa” (Wahyu 7:9) dibawa untuk percaya kepada Kristus. Saat Kristus kembali, langit dan bumi akan dibangun ulang dengan luar biasa. Maka, tempat “Takhta Allah dan takhta Anak Domba itu,” akan menjadi tempat “hamba-hamba-Nya akan beribadah kepada-Nya, dan mereka akan melihat wajah-Nya … dan mereka akan memerintah sebagai raja sampai selama¬lamanya” (Why. 22:3-5). 

Inilah rencana Allah menurut Alkitab. Rencana ini tidak dapat digagalkan oleh dosa manusia, sebab Allah membuat suatu jalan sehingga dosa manusia dapat menjadi bagian dari rencana tersebut, dan perlawanan terhadap rencana Allah dipakai untuk memajukan kehendak-Nya. Kepada saudara-saudara yang menjualnya ke Mesir, Yusuf berkata, “Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar” (Kejadian 50:20); “Jadi bukanlah kamu yang menyuruh aku ke sini, tetapi Allah” (Kejadian 45:8). 

Salib Kristus adalah gambaran yang paling tepat dari prinsip ini. Dalam khotbahnya pada hari Pentakosta, Petrus berkata “Ia yang diserahkan Allah menurut maksud dan rencana-Nya, telah kamu salibkan dan kamu bunuh” (Kis. 2:23). Di bukit Golgota, Allah memakai dosa Israel sebagai sarana keselamatan dunia. Jadi, kefasikan manusia tak bisa menghalangi rencana Allah menebus umat-Nya. Melalui hikmat kemahakuasaan-Nya, hal ini justru menjadi sarana untuk menggenapi rencana itu. 

MENERIMA RENCANA ALLAH

Jadi, inilah Allah Alkitab: Allah yang memerintah, Penguasa atas peristiwa, yang melalui pelayanan umat-Nya yang tersendat-sendat dan kejahatan musuh-musuh-Nya, mengerjakan maksud kekal-Nya bagi dunia-Nya. Sekarang kita mulai melihat apa yang akan Alkitab katakan kepada angkatan kita yang merasa begitu tersesat dalam berbagai peristiwa yang sulit dimengerti. Ada rencana, demikian kata Alkitab. Ada makna dalam berbagai keadaan, tetapi semua ini luput dari perhatian Anda. 

Berpalinglah kepada Kristus. Carilah Allah. Serahkan diri Anda pada penggenapan rencana-Nya, maka Anda akan menemukan kunci kehidupan. Kristus berjanji, “Barangsiapa mengikut Aku, is tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang hidup” (Yohanes 8:12). Anda akan memiliki motivasi: kemuliaan Allah. Anda akan memiliki aturan: hukum Allah. Anda akan memiliki sahabat baik, hidup atau mati: Putra Allah. 

Anda akan menemukan jawaban atas keraguan akibat keadaan yang tanpa makna, bahkan jahat. Anda akan tahu bahwa “Tuhan bertakhta,” dan “Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah” (Roma 8:28). Dan Anda akan memiliki damai sejahtera. 

Altematifnya, kita bisa menentang dan menolak rencana-Nya, tetapi kita tidak akan luput darinya. Salah satu unsur rencana-Nya adalah penghukuman atas dosa. Mereka yang menolak Injil yang menawarkan kehidupan dalam Kristus, membawa diri ke dalam kekekalan yang gelap. Mereka yang memilih hidup tanpa Allah, akan hidup tanpa allah: Allah menghormati pilihan kita. Ini juga bagian dari rencana tersebut. Kehendak Allah digenapi dalam penghukuman mereka yang tidak percaya, seperti ia digenapi dalam keselamatan mereka yang beriman kepada Tuhan Yesus. 

Semua itu adalah garis besar rencana Allah, pesan inti tentang Allah yang Alkitab sampaikan kepada kita. Nasihat yang diberikan kepada kita adalah nasihat yang Elifas berikan kepada Ayub: “Berlakulah ramah terhadap Dia, supaya engkau tenteram, dengan demikian engkau memperoleh keuntungan” (Ayub. 22:21). Karena tahu bahwa “Tuhan bertakhta” dan mengerjakan rencana-Nya bagi dunia tanpa rintangan, kita bisa mulai menghargai baik hikmat dari nasihat ini, maupun kemuliaan yang tersembunyi di balik janji ini. 

“SEGALA SESUATU MENDATANGKAN KEBAIKAN”? 

“Tuhan bertakhta.” Inilah kebenaran dasar pertama yang harus kita sadari. Sang Pencipta adalah Raja dalam alam semesta-Nya. Allah “di dalam segala sesuatu bekerja menurut keputusan kehendak-Nya” (Efesus 1:11). Faktor penentu dalam sejarah dunia, tujuan yang mengendalikannya, dan kunci untuk menafsirkannya, adalah rencana kekal Allah. 

Ketuhanan Allah yang berdaulat merupakan dasar dari pesan Alkitab dan fakta mendasar iman Kristen, dan kita telah melihat bahwa di atasnya dibangun jaminan besar bahwa “Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Allah.” Jika benar, ini adalah kabar yang teramat baik. 

Tetapi benarkah keyakinan ini? Klaim ini cukup menyulitkan jiwa-jiwa yang peka dan perenung. Klaim ini tidak mengizinkan demonstrasi rasional, dan ada banyak situasi yang membuat sulit menerimanya. Sebagian yang dialami oleh orang Kristen sangat menyakitkan dan membingungkan kita. Bagaimana mungkin segala kemalangan, keputusasaan, dan hambatan ini merupakan kehendak-Nya? 

Dalam menanggapi hal ini, kita cenderung menyangkali fakta bahwa Allah memerintah, atau menyangkali kebaikan sempurna dari Allah yang memerintah. Memang mudah untuk menarik kedua kesimpulan ini, tetapi mudah pula untuk keliru. Ketika kita tergoda untuk berbuat demikian, kita harus berhenti dan mengajukan beberapa pertanyaan kepada diri kita. 

BEBERAPA RAHASIA 

Anehkah jika kita dibingungkan oleh apa yang sedang Allah kerjakan? Tidak! Jangan lupa siapa kita! Kita bukan allah; kita adalah ciptaan dan tidak lebih dari itu. Sebagai ciptaan, kita tidak-memiliki hak atau alasan untuk memahami segala hikmat Pencipta kita. Ia sendiri pemah mengingatkan kita: “Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu … Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah … rancangan-Ku dari rancanganmu” (Yesaya 55:8-9). 

Sang Raja juga menjelaskan bahwa Ia tidak berkehendak menyingkapkan semua rincian kebijakan-Nya kepada umat-Nya. Seperti yang Musa nyatakan seusai menjelaskan kehendak Allah yang disingkapkan kepada Israel: “Hal-hal yang tersembunyi ialah bagi TUHAN, Allah kita, tetapi hal-hal yang dinyatakan ialah bagi kita … supaya kita melakukan segala perkataan hukum Taurat ini” (Ulangan 29:29). 

Prinsipnya adalah, Allah menyingkapkan pikiran dan kehendak-Nya sejauh yang kita perlu ketahui demi tujuan-tujuan praktis, dan kita harus menerima apa yang Ia singkapkan sebagai aturan yang lengkap dan cukup bagi iman dan kehidupan kita. Tetapi ada “rahasia” yang tidak Ia beritahukan. Dan setidaknya dalam kehidupan sekarang ini, Ia tidak berkenan kita menemukannya. Alasan di balik pemeliharaan Allah kadang masuk ke dalam kategori ini. 

Ayub contohnya. Ia tidak pernah diberi tahu tentang tantangan Iblis yang membuat Allah mengizinkan Ayub ditulahi. Ayub hanya tahu bahwa Allah yang mahahadir itu sempurna secara moral, dan menyangkali kebaikan-Nya dalam kondisi apa pun merupakan penghujatan. Ia menolak “mengutuki Allah” bahkan saat hidupnya, anak-anaknya, dan kesehatannya direnggut (Ayb. 2:9-10). 

Pada hakikatnya ia tetap menolak tindakan tersebut sampai akhir, sekalipun ucapan keliru dari teman-teman sombongnya yang bermaksud baik, membuatnya hampir gila dan terkadang memaksanya mengeluarkan kata-kata kasar tentang Allah (yang kemudian ia sesali). Walau bukan tanpa pergumulan, Ayub memegang teguh integritasnya selama masa ujian dan mempertahankan keyakinannya pada kebaikan Allah. 

Keyakinan Ayub terbukti. Ketika masa ujian berakhir, sesudah Allah mendatangi Ayub dengan penuh kemurahan untuk memperbarui kerendahan hatinya (40:1-5; 42:1-6) dan Ayub dengan taat berdoa bagi ketiga teman yang membuatnya hampir gila, “TUHAN memberikan kepada Ayub dua kali lipat dari segala kepunyaaannya dahulu” (Ayub. 42:10). 

Yakobus menulis, “Kamu telah mendengar tentang Ayub dan kamu telah tahu apa yang pada akhirnya disediakan Tuhan baginya, karena Tuhan mahapenyayang dan penuh belas kasihan” (Yakobus 5:11). Apakah rangkaian mala petaka yang menimpa Ayub berarti Allah telah turun takhta atau telah meninggalkan hamba-Nya? Tidak! Pengalaman Ayub membuktikan hal ini. Namun alasan mengapa Allah membuangnya ke dalam kegelapan tak pernah disingkapkan kepadanya. Jadi bolehkah Allah, demi maksud-Nya yang bijaksana, memperlakukan para pengikut-Nya yang lain seperti Ayub? 

Tetapi ada hal lain yang harus disampaikan. Ada pertanyaan kedua yang harus diajukan. 

Apakah Allah membiarkan kita sama sekali tidak mengetahui apa yang sedang Ia kerjakan dalam memelihara dunia ini? Tidak! Ia memberi kita informasi lengkap tentang tujuan utama yang sedang Ia kerjakan, dan alasan positif utama dalam ujian yang dialami oleh orang Kristen. 

Apakah yang sedang Allah kerjakan? Ia sedang “membawa banyak orang kepada kemuliaan” (Ibrani 2:10). Ia akan menyelamatkan sekumpulan besar orang berdosa. Ia mengerjakan tugas ini sejak dimulainya sejarah. Ia menghabiskan waktu berabad-abad untuk mempersiapkan suatu umat dan suatu tempat dalam sejarah bagi kedatangan Putra-Nya. 

Kemudian Ia mengutus Putra-Nya ke dalam dunia agar Injil dapat ada, dan kini Ia mengirimkan Injil¬Nya ke dalam dunia agar Gereja dapat ada. Ia telah meninggikan Putra-Nya di atas takhta alam semesta, dan Kristus yang bertakhta kini mengundang orang berdosa datang kepada-Nya, memelihara mereka, membimbing mereka, dan pada akhirnya membawa mereka masuk ke dalam kemuliaan-Nya, bersama dengan Dia. 

Allah menyelamatkan manusia melalui Putra-Nya. Pertama-tama karena Kristus, Ia membenarkan dan mengadopsi mereka ke dalam keluarga-Nya begitu mereka percaya, dan dengan demikian memulihkan hubungan mereka dengan diri-Nya yang pernah putus karena dosa. Setelah hubungan ini pulih, Allah terus berkarya di dalam diri mereka untuk memperbarui mereka dalam citra Kristus, sehingga keserupaan keluarga bisa semakin tampak di dalam diri mereka. Pembaruan ini terus bertumbuh pada masa kini dan akan disempurnakan kelak, dan inilah yang Paulus sebut sebagai “kebaikan” yang untuknya segala sesuatu bekerja “bagi mereka yang mengasihi Dia … yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah” (Roma 8:28). 

Seperti yang Paulus jelaskan, Allah ingin agar mereka yang Ia pilih dan panggil “menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara” (Roma 8:28-29). Menurutnya semua pengaturan keadaan yang Allah lakukan, dirancang untuk menggenapi tujuan ini. “Kebaikan” yang untuknya segala sesuatu bekerja bukan berupa kemudahan atau penghiburan yang langsung dinikmati oleh anak-anak Allah (seperti yang terlalu sering dikatakan), melainkan kekudusan dan keserupaan mereka dengan Kristus. 

Apakah semua ini menolong kita memahami bahwa keadaan buruk bisa menjadi bagian dari rencana Allah? Tentu! Seperti ditunjukkan oleh penulis Surat Ibrani, hal ini memberikan secercah cahaya pada masalah yang ada. Kepada orang Kristen yang berkecil hati dan apatis karena tekanan kesulitan yang tak henti-hentinya, ia menulis: “Dan sudah lupakah kamu akan nasihat yang berbicara kepada kamu seperti kepada anak-anak: ‘Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkan-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak’ Jika kamu harus menanggung ganjaran; Allah memperlakukan kamu seperti anak. 

Di manakah terdapat anak yang tidak dihajar oleh ayahnya? … Dari ayah kita yang sebenarnya kita beroleh ganj aran, dan mereka kita hormati; kalau demikian bukankah kita harus lebih taat kepada Bapa segala roh, supaya kita boleh hidup? … Dia menghajar kita untuk kebaikan kita, supaya kita beroleh bagian dalam kekudusan-Nya. Memang tiap-tiap ganjaran pada waktu ia diberikan tidak mendatangkan sukacita, tetapi dukacita. Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang membenkan damai kepada mereka yang dilatih olehnya” (Ibrani 12:5-11, mengutip Ams. 3:11-12, penekanan ditambahkan). 

Jelas terlihat bahwa seperti Paulus, penulis Ibrani juga menyamakan “kebaikan” bagi orang Kristen, bukan dengan kemudahan dan ketenangan, melainkan dengan pengudusan. Bagian ini begitu gamblang sehingga tak perlu dikomentari, hanya perlu dibaca berulang kali setiap kali kita sulit untuk percaya bahwa kesukaran yang sedang menimpa kita (atau sesama orang Kristen), bisa merupakan kehendak Allah. 

TUJUAN DARI SEMUA INI 

Namun masih ada yang perlu dikatakan. Pertanyaan ketiga yang harus kita ajukan kepada diri kita adalah: Apakah tujuan akhir Allah saat berurusan dengan anak-anak-Nya? Apakah sekadar kebahagiaan mereka ataukah ada yang lebih daripada itu? Alkitab menunjukkan bahwa tujuan akhir itu adalah kemuliaan Allah sendiri. 

Tujuan akhir dari seluruh tindakan Allah adalah diri-Nya sendiri. Hal ini mutlak benar setara moral. Jika kita berkata bahwa tujuan tertinggi manusia adalah memuliakan Allah, bagaimana kita bisa berkata bahwa Allah memiliki tujuan yang berbeda? Sanggahan bahwa kita tak selayaknya menyebut Allah bertujuan memuliakan diri-Nya sendiri, lupa bahwa Allah dan manusia tidak setara. Sanggahan ini tidak menyadari bahwa jika manusia memuliakan diri dengan mengorbankan ciptaan lain, Allah yang mahapemurah memuliakan diri dengan memberkati umat-Nya. 

Tujuan-Nya menebus manusia adalah “puji-pujian bagi kemuliaan-Nya” (Efesus 1:6, 12, 14). Ia ingin menunjukkan kemudahan-Nya (“kekayaan” kemurahan dan kemuliaan-Nya – “Kemuliaan” adalah keseluruhan sifat dan kuasa yang Ia singkapkan: Efesus 2:17; 3:16) dalam membawa orang-orang kudus-Nya kepada kebahagiaan terbesar mereka, yaitu kebahagiaan di dalam kebahagiaan-Nya. 

Tetapi bagaimanakah kebenaran ini, kebenaran bahwa Allah memuliakan diri-Nya ketika berurusan dengan kita, dapat menjelaskan masalah pemeliharaan? Kebenaran ini menolong kita melihat cara Allah menyelamatkan kita, dengan memberi tahu kita mengapa Ia tidak membawa kita ke sorga begitu kita percaya. 

Kita sekarang tahu bahwa Ia meninggalkan kita dalam dunia yang berdosa ini untuk diuji, dicobai, diterjang oleh masalah yang mengancam akan melumatkan kita – agar kita dapat memuliakan-Nya melalui ketabahan kita menanggung penderitaan, dan agar Ia dapat menunjukkan kekayaan kemurahan-Nya dan membangkitkan pujian kita saat Ia menopang kita dan membebaskan kita terns-menerus. Mazmur 107 merupakan deklarasi agung akan kebenaran ini. 

Apakah hal ini sulit dimengerti? Tidak bagi mereka yang telah belajar bahwa tujuan utama mereka di dunia ini adalah untuk “memuliakan Allah dan [dengan demikian] menikmati Dia selama-lamanya.” Inti dari agama sejati adalah untuk memuliakan Allah melalui ketabahan menderita dan memuji Dia atas pembebasan-Nya yang penuh kemurahan. Ini berarti menjalani hidup di dalam ketaatan dan ucapan syukur, baik saat berada di tempat yang empuk maupun kasar. 

Ini berarti mencari dan menemukan sukacita terdalam bukan dalam kenyamanan rohani, melainkan dalam menemukan bahwa Kristus dapat menyelamatkan kita dari setiap badai dan konflik. Ini berarti tahu pasti bahwa jalan Allah adalah yang terbaik bagi kebahagiaan kita dan bagi kemuliaan-Nya. Tak ada masalah pemeliharaan yang akan mengguncang iman orang yang telah sungguh-sungguh mempelajari semua ini. 

KEMULIAAN ALLAH 

Jadi, kita perlu memahami bahwa Allah Pencipta memerintah dunia-Nya demi kemuliaan-Nya sendiri. “Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!” (Rm. 11:36); Dia sendirilah akhir dari segala karya-Nya. Dia tidak ada demi kebaikan kita, melainkan kita ada demi kemuliaan-Nya. Adalah hal yang wajar dan merupakan hak prerogatif Allah untuk menyenangkan diri-Nya, dan rencana baik yang Ia singkapkan adalah untuk membuat diri-Nya besar di mata kita. Ia berkata “Diamlah dan ketahuilah, bahwa Akulah Allah! Aku ditinggikan di antara bangsa-bangsa, ditinggikan di bumi!” (Mazmur 46:11). Tujuan utama Allah adalah memuliakan diri-Nya. 

Karena kebenaran ini begitu penting dan sering kali sulit diterima, saya ingin mempertajam fokus akan hal ini dengan lebih memerincinya. Begitu kita mengerti konsep ini dengan jelas, segala hal lain dalam Kekristenan akan menjadi gamblang dan masuk akal. Selama kita belum yakin, iman alkitabiah lainnya akan tetap menyulitkan kita. Mari kita melihat kembali apa yang telah kita katakan tentang Pencipta kita. 

Kemasukakalannya. Kita awalnya akan sulit percaya bahwa Allah selalu bertujuan untuk memuliakan diri-Nya. Kita langsung merasa bahwa gagasan ini tidak layak dikenakan kepada Allah, bahwa kepedulian kepada diri sendiri tidak akan pemah sesuai dengan kesempurnaan moral Allah dan natur-Nya yang mahakasih. Banyak orang beradab yang peka secara moral akan terkejut oleh pemikiran bahwa tujuan utama Allah adalah memuliakan diri-Nya sendiri, dan mereka sangat menentang konsep ini. 

Bagi mereka, itu berarti menyamakan Allah dengan manusia yang jahat atau bahkan dengan Iblis itu sendiri! Bagi mereka, doktrin itu sesuatu yang imoral dan kasar, dan jika Alkitab mengajarkan demikian, Alkitab juga bersifat imoral dan kasar! Mereka sexing menarik kesimpulan ini saat menyoroti Perjanjian Lama. Tulisan yang menggambarkan Allah sebagai Pribadi “pencemburu” yang begitu memperhatikan “kemuliaan”-Nya, tak bisa dianggap sebagai kebenaran ilahi. Allah tidak seperti itu. Itu adalah penghujatan, bahkan sekalipun kita tidak sengaja berpikir seperti ini! Karena keyakinan ini dianut oleh banyak orang dengan sangat kuat, kita perlu mempertimbangkan keabsahannya. 

Kita mulai dengan bertanya: Mengapa keyakinan ini begitu kuat? Orang bisa membicarakan masalah-masalah teologis lain dengan tenang, tetapi terhadap doktrin ini muncullah protes yang begitu bernafsu dan kadang penuh kegeraman. Jawabannya tidak sulit dan terletak pada ketulusan moral si pembicara. Orang-orang ini peka terhadap keberdosaan dari sikap orang yang terus mementingkan diri. 

Mereka tahu bahwa hasrat menyenangkan diri merupakan akar kelemahan dan kekurangan, dan mereka berjuang keras untuk menghadapi dan melawannya. Jadi mereka menyimpulkan bahwa Allah yang berpusat pada diri pasti juga sama buruknya. Kerasnya mereka menolak gagasan bahwa Allah yang kudus meninggikan diri-Nya, mencerminkan kepekaan mereka terhadap kesalahan manusia yang melulu hanya memperhatikan diri sendiri. 

Apakah kesimpulan ini sah? Kami ulangi: kesimpulan ini mutlak salah. Jika manusia boleh bertujuan memuliakan Allah, salahkah Allah jika memiliki tujuan yang sama? Jika manusia tak mungkin memiliki tujuan yang lebih tinggi dari kemuliaan Allah, bagaimana Allah mungkin? Jika manusia salah jika tujuannya kurang dari ini, demikian pula dengan Allah. Alasan manusia tidak boleh hidup bagi diri-Nya sendiri seakan-akan dia adalah Allah, adalah karena dia bukan Allah. 

Namun Allah tidak bersalah jika bertujuan memuliakan diri-Nya, karena Dia memang adalah Allah. Mereka yang bersikeras bahwa Allah tidak boleh memuliakan diri-Nya sesungguhnya meminta Dia berhenti menjadi Allah. Dan tidak ada penghujatan yang lebih besar dari menghendaki hal seperti ini. 

Jika penalaran dari sanggahan ini jelas keliru, mengapa hal ini diterima oleh banyak orang pada masa kini? Itu karena kita terbiasa menjadikan Allah menurut citra kita dan menganggap seolah-olah Dia dan kita setara. Dengan kata lain, kewajiban-Nya kepada kita sama dengan kewajiban kita kepada-Nya – seolah-olah Dia harus melayani dan membahagiakan kita dengan menyangkal diri, seperti yang merupakan kewajiban kita dalam melayani-Nya. Ini berarti menganggap Allah seolah-olah Dia adalah manusia, sekalipun mungkin manusia yang agung. Jika pemikiran ini benar, maka Allah yang berusaha memuliakan diri-Nya bisa disamakan dengan manusia yang paling buruk clan bahkan dengan Iblis itu sendiri. 

Tetapi Pencipta kita bukan manusia, bukan pula manusia super yang mahakuasa, clan memikirkan Dia seperti ini berarti penyembahan berhala. (Anda tak perlu membuat patung Allah untuk menjadi penyembah berhala; gambaran mental yang keliru sudah bisa membuat Anda melanggar Perintah Kedua.) 

Jadi, kita jangan membayangkan bahwa kewajiban yang mengikat kita sebagai ciptaan, juga secara setara mengikat Dia sebagai Pencipta. Kebergantungan merupakan hubungan satu arah dan memiliki kewajiban satu arah. Anak harus patuh kepada orangtua, bukan sebaliknya! Kebergantungan kita kepada Sang Pencipta mengikat kita untuk mencari kemuliaan-Nya tanpa mewajibkan Dia memuliakan kita. Bagi kita, memuliakan Dia adalah kewajiban; bagi Dia, memberkati kita adalah kasih karunia. Satu-satunya hal yang mengikat Allah adalah apa yang Ia tuntut untuk kita lakukan, yaitu memuliakan diri-Nya. 

Jadi, kita menyimpulkan bahwa bukan suatu penghujatan jika kita berkata bahwa Allah berpusat pada diri-Nya sendiri; sebaliknya, tidak berkata demikian berarti fasik. Merupakan kemuliaan bagi Allah jika Ia menciptakan segala sesuatu bagi diri-Nya dan memakainya sebagai alat kemuliaan-Nya. Orang Kristen yang berpengertian akan menegaskan hal ini. 

Dia juga akan menegaskan bahwa merupakan kemuliaan jika ia diberi hak untuk menjadi alat bagi kemuliaan Allah. Tidak mungkin ada kemuliaan yang lebih besar bagi manusia selain memuliakan Allah. “Tujuan utama manusia adalah memuliakan Allah,” dan hanya dengan berbuat demikian manusia menemukan kemuliaannya sendiri. 

Kaum humanis, yang yakin manusia akan mencapai kemuliaan tertinggi dan menyerupai yang ilahi jika membuang rintangan agama, akan berkata bahwa meyakini bahwa manusia tak lebih dari sekadar alat untuk memuliakan Allah, berarti merampas nilai sejati dari hidup manusia. Namun, yang sebaliknya justru benar. Hidup tanpa Allah justru tidak berarti dan begitu ganjil. Saat kita berkata bahwa manusia tak lebih dari sekadar alat untuk kemuliaan Allah, kita juga berkata bahwa manusia tak kurang dari itu, sehingga menunjukkan betapa hidup ini berarti dan bernilai. 

Satu-satunya manusia di dunia yang menikmati kepuasan sejati adalah dia yang tahu bahwa satu-satunya kehidupan yang-bernilai dan memuaskan, adalah menjadi alat bagi kemuliaan Allah. Jalan menuju kebahagiaan sejati adalah dengan menjadi manusia sejati clan jalan menuju manusia sejati adalah dengan menjadi manusia yang sungguh-sungguh saleh. 

Maknanya. Apakah artinya ketika kita berkata bahwa tujuan utama Allah adalah kemuliaan-Nya? Bagi sebagian besar kita, frasa “kemuliaan Allah” tak berarti apa pun. Kepentingan apakah yang Kitab Suci berikan kepada frasa ini? Dalam Perjanjian Lama, kata yang diterjemahkan “kemuliaan” pada awalnya berarti bobot. Kemuliaan merujuk pada ciri-ciri yang membuat seseorang “berbobot” dalam pandangan orang lain, yang mendorong mereka menghormati dan menghargainya. Keberuntungan Yakub dan kekayaan Yusuf disebut “kemuliaan” (Kejadian 31:1; 45:13). Istilah ini kemudian diperluas menjadi kehormatan. 


Saat merujuk kepada Allah, Alkitab memakai kata ini dengan makna ganda. Di satu sisi, kata ini merujuk pada kemuliaan yang Allah miliki – keindahan dan keagungan yang melekat pada seluruh penyingkapan Allah akan diri-Nya. Di sisi lain, ia merujuk pada pemuliaan yang diberikan kepada Allah – hormat dan sujud, puji-pujian dan penyembahan yang berhak Allah terima, satu-satunya tanggapan yang sesuai akan hadirat-Nya yang kudus. Yehezkiel 43:2 dst. menggambarkan kaitan ini: “Sungguh, kemuliaan Allah Israel datang … maka aku sembah sujud.” 

Kata kemuliaan di sini mengaitkan pemikiran akan kelayakan Allah untuk dipuji – keagungan kuasa dan hadirat-Nya – dengan penyembahan, yang merupakan tanggapan yang benar ketika Allah berdiri di hadapan kita dan kita di hadapan-Nya. 

Marilah kita sejenak memisahkan kedua pemikiran ini. 

Dalam pewahyuan, Allah memperlihatkan kemuliaan-Nya. Kemuliaan berarti Allah di dalam manifestasi-Nya. Penciptaan menyatakan diri-Nya. “Langit menceritakan kemuliaan Allah” (Mazmur 19:2). “Seluruh bumi penuh kemuliaan-Nya!” (Yesaya 6:3). Pada zaman Alkitab, Allah menyingkapkan hadirat-Nya melalui teofani yang menyatakan “kemuliaan”-Nya (awan berkilauan dalam tabut dan bait suci, Keluaran 40:34, 1Raj. 8:10 dst.; penglihatan Yehezkiel tentang takhta dan roda, Yehezkiel 1:28; dll.) Orang percaya kini memandang kemuliaan Allah yang dengan sempurna “tampak pada wajah Kristus” (2Korintus 4:6). 

Di mana saja kita melihat Allah bertinclak, di sana kita melihat kemuliaan-Nya. Ia menampilkan diri-Nya sendiri di hadapan kita sebagai Pribadi yang kudus dan indah, dan kita diundang untuk tunduk dan menyembah. 

Kita memuliakan Allah. Kita melakukannya dengan menanggapi penyataan kasih karunia-Nya: 
Melalui penyembahan dan puji-pujian. “Siapa yang mempersembahkan syukur sebagai korban, ia memuliakan Aku (Mzm. 50:23); “Berilah kepada TUHAN kemuliaan nama-Nya” (Mzm. 96:8); “Memuliakan Allah karena rahmat-Nya” (Rm. 15:9). 

Dengan mempercayai firman-Nya. “Dasar firman-Mu adalah kebenaran” (Mazmur 119:160); “Segala firman-Mulah kebenaran” (2Samuel 7:28). 

Dengan mempercayai janji-janji-Nya (dengan cara ini Abraham memuliakan Allah, Roma 4:20 dst.). 
Dengan mengakui Kristus sebagai Tuhan, “Bagi kemuliaan Allah Bapa!” (Filipi 2:11). 

Dengan menaati hukum Allah. “Buah kebenaran” adalah “memuliakan dan memuji Allah” (Flp. 1:11). 
Dengan tunduk pada penghukuman-Nya yang adil atas dosa-dosa kita (maka Akhan memuliakan Allah, Yosua 7:19 dst.). 7. Dengan berusaha mengagungkan Dia (yang berarti membuat diri sendiri kecil) dalam hidup kita sehari-hari. 

Sekarang kita bisa melihat makna dari pernyataan bahwa tujuan utama Allah adalah kemuliaan-Nya. Itu berarti kepada ciptaan-Nya yang berakal budi Ia bermaksud memperlihatkan kemuliaan hikmat, kuasa, kebenaran, keadilan, dan kasih-Nya, sehingga mereka mengenal Dia dan dengan mengenal Dia, memuliakan Dia selama-lamanya melalui kasih dan kesetiaan, penyembahan dan puji-pujian, kepercayaan dan ketaatan. 

Persekutuan yang ingin Ia ciptakan dengan kita adalah suatu relasi yang di dalamnya Ia memberikan kekayaan-Nya sepenuhnya, dan kits memberikan syukur setulus hati. Ketika Ia menyatakan diri sebagai Allah yang “cemburu” dan mengumumkan: “Aku tidak akan memberikan kemuliaan-Ku kepada yang lain!” (Yesaya 42:8; 48:11), Ia ingin menjaga kemurnian dan kekayaan dari relasi ini. Seperti inilah maksud Allah. 

Seluruh karya Allah adalah sarana bagi tujuan ini. Satu-satunya jawaban yang Alkitab berikan atas pertanyaan yang dimulai dengan: “Mengapa Allah … ?” adalah: “Demi kemuliaan-Nya.” Untuk inilah Allah memutuskan mencipta dan untuk inilah Ia memilih membiarkan dosa. Ia bisa saja menghindarkan manusia dari pelanggaran. Ia bisa saja menghalangi Iblis masuk ke Taman Eden atau meneguhkan Adam sehingga tidak mampu berbuat dosa (seperti yang akan Dia lakukan terhadap kaum tebusan di sorga). 

Tetapi Dia tidak melakukannya. Mengapa? Demi kemuliaan-Nya. Sering dikatakan bahwa yang termulia dalam diri Allah adalah kasih penebusan-Nya, yaitu kemurahan yang menyelamatkan orang berdosa melalui pencurahan darah Putra Allah. Tetapi tidak akan ada penyataan kasih yang menebus jika dosa tak terlebih dulu diizinkan. 

Mengapa Allah memilih untuk menebus? Sebenarnya Ia tak perlu berbuat demikian. Ia tidak wajib menyelamatkan kita. Kasih-Nya kepada orang berdosa, keputusan-Nya menyerahkan Putra-Nya bagi mereka, merupakan pilihan bebas yang tidak harus Ia buat. Mengapa Dia memilih untuk mengasihi dan menebus yang tak layak dikasihi? Alkitab memberi tahu kita: “Supaya terpujilah kasih karunia-Nya yang mulia … menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya…” (Efesus 1:6,12,14). 


Tujuan yang sama juga menentukan berbagai tahap rencana keselamatan. Sebagian Ia pilih untuk hidup; yang lain Ia biarkan dalam penghukuman yang memang patut mereka terima. Ia “menunjukkan murka-Nya dan menyatakan kuasa-Nya … untuk menyatakan kekayaan kemuliaan-Nya atas benda-benda belas kasihan-Nya” (Rm. 9:22 dst.). Ia membentuk jemaat-Nya dari sisa-sisa dunia, yaitu mereka yang “bodoh … lemah … tidak terpandang … dan hina.” Mengapa? “Supaya jangan ada seorang manusia pun yang memegahkan diri di hadapan Allah…. Seperti ada tertulis: `barangsiapa yang bermegah, hendaklah ia bermegah di dalam Tuhan”‘ (1 Korintus 1:29-31). 

Mengapa Allah tidak mencabut dosa dari orang kudus begitu mereka menjadi Kristen, seperti yang akan Ia lakukan begitu mereka mati? Mengapa Ia menguduskan mereka secara perlahan dan menyakitkan, sehingga seumur hidup mereka diganggu oleh dosa dan tak pernah mencapai kesempurnaan seperti yang mereka inginkan? Mengapa Ia memberikan perjalanan yang sulit di dunia ini? 

Jawabnya tetap: Ia melakukan semua ini demi kemuliaan-Nya, yaitu untuk menunjukkan kelemahan dan ketidakberdayaan kita, sehingga kita belajar bersandar pada anugerah dan kuasa penyelamatan-Nya. “Harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat, supaya nyata bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami” (2Korintus 4:7). 

Sekali lagi untuk terakhir kali, marilah kita menyingkirkan gagasan bahwa Allah tak berdaya mengatasi apa yang terjadi. Allah “di dalam segala sesuatu bekerja menurut keputusan kehendak-Nya” (Efesus 1:11), dan segala sesuatu dapat teriadi karena Allah memilih untuk menjadikan mereka, dan alasan pilihan-Nya selalu demi kemuliaan-Nya.RENCANA ALLAH BAGI ANDA - J.I.PACKER.
Next Post Previous Post