UMAT BERIMAN PILIHAN ALLAH - JOHN CALVIN
PENEBUSAN YANG TERBATAS: UMAT BERIMAN PILIHAN ALLAH (PREDESTINASI). Pokok penting ajaran John Calvin yang berkaitan erat dengan konsep Umat Beriman Pilihan Allah (predestinasi)-nya adalah pandangannya mengenai manusia, terutama mengenai dosa yang mengakibatkan kejatuhan manusia dan usaha manusia.
John Calvin memahami bahwa dosa manusia tidak dapat dilepaskan dari dosa turunan/warisan. Dalam Institutio II.i.8., ia menegaskan bahwa dosa warisan merupakan suatu kerusakan dan kebejatan kodrat manusia yang turun temurun, yang sudah tersebar ke semua bagian jiwa dan membuat manusia pertama-tama layak ditimpa kemurkaan Allah, kemudian menimbulkan dalam diri manusia perbuatan-perbuatan yang oleh Alkitab dinamakan perbuatan-perbuatan daging.[1]
Itulah ajaran dosa menurut Calvin. Keturunan yang dilahirkan sesudah Adam (manusia pertama) dihasilkan dari benih yang cemar dan tertular dosa Adam.[2] Merujuk pada Kitab Suci, Calvin menegaskan bahwa Kitab Suci melukiskan manusia yang telah jatuh sebagai manusia yang tidak mempunyai kebaikan dan kekuatan. Tidak ada perbuatan manusia yang tak ternodai oleh kerusakan yang diakibatkan oleh kejatuhan itu. Meskipun gambar ilahi tidak sama sekali rusak, tetapi gambar ini telah mengalami distorsi yang luar biasa.
Dihukum karena dosanya dengan diambil hikmat dan kebenarannya, Adam menunjukkan kebodohan, kesia-siaan, dan kefasikan. Adam yang telah jatuh ini menurunkan pembawaan-pembawaan ini kepada keturunannya dalam kesalahan dan kerusakan yang disebut sebagai "dosa asal".[3]
Dosa asal bukan hanya kerusakan yang diwariskan, tetapi juga, menurut Calvin, merupakan kesalahan yang diimputasikan, suatu putusan hukum yang dikenakan oleh Allah seperti dalam sidang pengadilan. Mengulangi pengajaran Paulus dalam Roma 5, Calvin mengajarkan bahwa Adam berdosa bukan sekadar bagi dirinya, tetapi sebagai seorang wakil federal bagi seluruh umat manusia, sama seperti Kristus, "Adam Kedua", yang mati sebagai wakil bagi dosa manusia.[4] Bahkan oleh Calvin dikatakan bahwa sebelum melihat cahaya, hidup kita sudah najis di hadapan Tuhan.[5] Pokok persoalan dosa menurut Calvin terjadi sejak kekuasaan dosa membelenggu manusia pertama dan akhirnya meliputi seluruh umat manusia.[6]
Mengenai kodrat manusia yang telah rusak, Calvin menjelaskan bahwa kerusakan yang kita warisi menghasilkan konsekuensi setiap kehendak individual manusia telah diperbudak oleh dosa. Sebagai budak dosa, manusia sama sekali tidak dapat melakukan yang baik. Manusia yang jatuh tidak mempunyai kehendak bebas moral.
Calvin bersikeras bahwa kehendak dan rasio manusia begitu dilumpuhkan oleh dosa sehingga ia tidak dapat berfungsi seperti yang dimaksudkan sejak asalnya, sehingga manusia tidak dapat berbuat baik dan menyembah Allah. Dosa begitu merusak kodrat manusia sehingga manusia dalam keberadaan totalnya (akal, kehendak, afeksi, dsb.) tidak dapat melakukan yang baik yang diwajibkan Allah baginya[7]
Dosa telah membelenggu dan mencengkeram umat manusia sehingga kodrat manusia yang pada awalnya ilahi kini menjadi rusak. Hal inilah sekiranya yang membuat perbedaan pandangan Calvin dengan Agustinus dan Gereja Katolik. Kodrat manusia menurut Agustinus dan Gereja Katolik “terluka” akibat dosa pertama, sedangkan menurut Calvin kodrat manusia itu telah “rusak.” Bagi Agustinus, kemanusiaan setelah kejatuhan ke dalam dosa adalah korup dan tidak berdaya, membutuhkan anugerah Allah untuk menebusnya.[8]
Dengan kodrat yang telah rusak, manusia tidak mampu untuk mendekati Allah. Manusia terbuang di hadapan Allah, sehingga pada akhirnya tidak dapat berkomunikasi dengan Allah. Hubungan Allah dengan manusia terputus. Sekalipun terputus, namun manusia masih dapat menemukan pengetahuan tentang Allah. Bagaimana hal itu dapat terjadi? Calvin menegaskan bahwa pengetahuan itu timbul karena dua hal yakni :
Pertama, pengetahuan itu muncul karena manusia tergerak hatinya karena kesengsaraan mereka sehingga mengingat kebaikan Allah. Dan manusia baru dapat mendambakan Dia dengan sungguh-sungguh, kalau manusia sudah merasa benar-benar tidak senang terhadap dirinya sendiri.[9]
Kedua, Hal itu dikaruniakan oleh Allah sendiri. Artinya bahwa penebusan itu terjadi bukan karena jasa manusia, tetapi karena kebaikan hati Allah. Bagi Calvin, kemahamurahan Allah diperlihatkan di dalam keputusannya untuk menebus individu-individu terlepas dari jasa-jasa mereka; keputusan untuk menebus seorang individu dibuat tanpa rujukan pada berapa berjasanya kira-kira individu tersebut.[10] Kedaulatan mutlak dan bebas dari pihak Allah ini tidak dikondisikan oleh apa dan siapa pun juga.[11]
Bagaimana manusia dapat mencapai keselamatan? Dalam doktrin tentang pembenaran dan pengudusan, Calvin menjadikan Yesus Kristus sebagai titik tolak ajarannya. “Dengan cara apa kita dapat berpartisipasi dalam rahmat Kristus? Bagaimana kita memperoleh harta yang diberikan Bapa kepada anak-Nya yang tunggal?”[12] Calvin menjawabnya hanya dengan iman. Kristus telah membayar hukuman bagi dosa di Kalvari untuk menyelamatkan orang-orang yang telah dipilih Allah untuk diselamatkan.
Dalam penebusan, anugerah Allah diimputasikan kepada (dianggap sebagai milik) orang-orang percaya, bukan diinfusikan (dicurahkan) ke dalam diri orang-orang percaya. Calvin menerangkan doktrin keselamatan dalam pembicaraannya tentang karya Roh Kudus, yang menerapkan karya Kristus kepada orang percaya.
Roh menciptakan pertobatan dan iman dalam hati serta memperbarui gambar Allah dalam orang-orang yang telah dipilih untuk ditebus itu. Mengikuti Paulus dalam Efesus 2:8-9, Calvin menyatakan bahwa iman adalah sarana yang melaluinya orang-orang percaya dipersatukan dengan Allah, tetapi iman itu sendiri adalah suatu pemberian dari Allah.
Perbuatan baik mengikuti iman, tetapi tidak dapat menjadi dasar bagi keselamatan. Dalam keselamatan, seperti dalam penciptaan dan penataan dunia, tema Calvin yang berulang adalah kebergantungan manusia pada kedaulatan Allah.[13] Dengan demikian bagi Calvin pengudusan diri adalah hasil dari pembenaran. Pembenaran ini terjadi karena iman. Iman pertama-tama adalah rahmat bukan usaha manusia.[14]
Dengan demikian, pandangan Calvin dapat diringkas sebagai berikut: manusia pertama jatuh ke dalam dosa. Hal ini menyebabkan kodrat manusia rusak. Manusia tidak dapat berhubungan dengan Allah. Manusia membutuhkan rahmat dari Allah. Oleh sebab itu pertama-tama Allah-lah yang berinisiatif memberikan rahmat-Nya kepada manusia. Allah memilih secara bebas manusia yang hendak diselamatkan.
Rahmat Allah yang diberikan ini ditanggapi manusia dengan iman. Maka melalui iman-lah manusia diselamatkan (Bdk. Institutio III, XI-XVIII). Usaha manusia dalam hal ini tidak diperhitungkan oleh Calvin sebab manusia memiliki kecenderungan kepada yang jahat akibat kodrat manusia yang telah rusak tersebut.
Dalam karya keselamatan, pemilihan pertama-tama dan terutama beradasarkan dari diri Allah, bukan karena sebab lain, seperti halnya perbuatan atau kehendak manusia. Meskipun demikian, Calvin dengan tegas menolak gagasan bahwa Allah seolah-olah tidak adil dan bertentangan dengan diri-Nya sendiri (karena memilih sebagian dan yang lain binasa), atau tuduhan bahwa Allah menetapkan kebinasaan bagi orang-orang tertentu.[15] Lebih lanjut, Calvin mengatakan:
Kehendak Tuhan menjadi aturan tertinggi dari keadilan, sedemikian rupa hingga barang apa yang dikehendaki-Nya harus dianggap adil, justru karena dikehendaki-Nya-lah. Jadi, jika ditanyakan mengapa Tuhan telah berbuat begitu, harus dijawab: karena demikianlah kehendakNya. Tetapi kalau saudara mau maju lewat itu dan bertanya, mengapa Ia menghendakinya, maka saudara mencari sesuatu yang lebih tinggi daripada kehendak Allah, dan itu tak akan ditemukan (III.xxiii.2).
Ketika rahmat Allah turun maka manusia tak dapat menolaknya. Ketika Allah menganugerahkan rahmat-Nya maka terjadilah keselamatan dan penebusan kepada manusia. Tujuan penebusan dari Allah adalah membangun kembali gambaran Allah dalam manusia yang dirusak oleh dosa dengan model Kristus, Gambar Sempurna Bapa.[16]
Mengenai karya penebusan Kristus, Calvin memandang bahwa Kristus mati hanya bagi orang-orang yang percaya, orang-orang yang dipilih oleh Allah. Yesus Kristus hanya menebus dosa-dosa dari orang-orang yang telah diberikan Bapa kepada-Nya (Baca Yohanes 6: 37-40). Jikalau kematian Kristus diperuntukkan bagi semua orang maka semua orang diselamatkan dan tidak ada orang yang masuk ke neraka.[17] Calvin dalam Institutio III, XIV berpandangan bahwa tidak mungkin orang tak beriman menghasilkan perbuatan yang baik. Perbuatan-perbuatan orang yang telah percaya pun masih rusak sehingga ia bersifat pesimis.
Maka dapat disimpulkan bahwa umat pilihan Allah menurut Calvin adalah pertama-tama Allah sendiri yang memilih umat ini sedangkan dari manusia dituntut dua hal yakni iman dan baptisan. Inilah konsep predestinasi.
Dalam menerangkan tentang doktrin predestinasi, Calvin tidak asal merumuskannya, namun memberikan pendasaran biblika yang kuat pula. Kitab Suci, baginya, secara gamblang telah mengajarkan tentang predestinasi. Mengutip Perjanjian Lama, ia merujuk bagaimana Allah memilih Israel untuk menerima penyataan khususnya dalam perjanjian dengan Musa.
Allah memilih Israel bukan karena ada jasa atau ada kualitas tertentu yang dimiliki oleh orang-orang Yahudi, tetapi hanya karena Ia berkehendak menunjukkan anugerah-Nya dengan menebus mereka sebagai satu umat (Baca. Ulangan. 7:7-8). Calvin juga merujuk kedaulatan Allah dalam "memilih Yakub dan menolak Esau" sebagai contoh pemilihan (Roma 9:13). Dengan demikian, pemilihan bersifat kolektif dan juga individual dalam Alkitab. Dari Abraham sampai para nabi, Allah memanggil satu bangsa untuk menjadi milik-Nya.[19]
Sedangkan dalam Perjanjian Baru, beberapa dasar biblis yang digunakannya adalah:
· “… dan semua orang yang ditentukan Allah untuk hidup yang kekal, menjadi percaya” (Kisah Para Rasul 13:48)
· “Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula unuk menjadi seupa dengan gambaran Anak-Nya,.. dan mereka yang ditentukan-Nya dari semula, mereka itu juga dipanggil-Nya. Dan mereka yang dipanggil-Nya, mereka itu juga dibenarkan-Nya. Dan mereka yang dibenarkan-Nya, mereka itu juga dimuliakan-Nya” (Roma 8:29-30).
· “Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya. Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya” (Efesus 1:4-5).
· “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu” (Yohanes 15:16).
Dengan bertitik tolak dari refleksi atas sumber-sumber biblis di atas, maka pada akhirnya dapat Calvin merumuskan konsep predestinasi. Predestinasi adalah keputusan Allah yang kekal yang dengan-Nya, Ia menetapkan untuk diri-Nya sendiri apa yang akan terjadi atas setiap orang (Institutio III, XXI, 5). Tidak semua diciptakan dalam keadaan yang sama.
Apabila Paulus mengajarkan bahwa kita dipilih dalam Kristus sebelum dunia dijadikan (Efesus 1:4), maka sudah pasti tidak diperhatikan sama sekali apakah kita layak memperolehnya … Bapa di surga tidak menemukan dalam seluruh keturunan Adam sesuatu apapun yang layak bagi pilihanNya, maka pandanganNya diarahkanNya kepada KristusNya, supaya dari tubuh Kristus dipilihNya anggota-anggota untuk diterimaNya agar mendapat bagian dalam kehidupan (III.xxii.2).
Allah Bapa tidak menemukan dalam diri seluruh keturunan Adam sesuatu yang layak bagi-Nya. Pandangan Allah kini diarahkan kepada Kristus supaya dari tubuh Kristus dipilih-Nya orang-orang yang akan memperoleh kehidupan kekal. Maka dengan demikian segala tingkah laku kesalehan tidak diperlukan lagi.
Dengan demikian, Calvin menegaskan bahwa janganlah orang percaya beranggapan bahwa pilihan Allah terhadap dirinya adalah karena perbuatan baiknya atau Allah telah melihat ia akan memilih Allah sebelumnya, melainkan kehendak Allah sendiri memilihnya di dalam Kristus. Karena itulah, Kristus adalah cermin melihat pemilihan Allah dan menjadi dasar serta jaminan keselamatan bagi orang percaya bahwa mereka akan (pasti) menerima warisan surgawi.
Hal ini terjadi bukan karena perbuatan manusia, sebab perbuatan manusia tidak mampu mencapai kemuliaan sedemikian.[20] Calvin, seperti Augustinus, juga sangat menekankan bahwa keselamatan adalah anugerah Allah semata dan bukan jasa karena perbuatan baik manusia. Calvin menolak bahwa kehendak manusia terlibat dalam karya keselamatan. Anugerah Allah yang menyelamatkan hanya dapat terjadi dan diselami melalui iman kepada Kristus. Sehingga di luar Kristus tidak ada keselamatan.
Pertanyaan bagi kita: Bagaimana mungkin Allah yang memanggil kita untuk datang kepada-Nya, namun sedikit memilih mereka. Calvin memberikan jawaban bahwa Allah yang menentukan kepada siapa Ia berkenan (Baca. Kisah Para Rasul 16:6). Firman Injil menyapa semua orang namun karunia iman diberikan kepada orang yang datang kepada-Nya.
Apabila kita mempertanyakan kembali maksud Allah tersebut maka kita berusaha untuk melebihi kehendak Allah dan hal itu tidak mungkin. Pertanyaan selanjutnya: apakah dengan demikian Allah itu pilih kasih? Calvin menjawab bahwa Allah tidak melihat manusianya melainkan karena belas kasihan-Nya yang bebas. Terhadap berbagai keberatan-keberatan yang muncul melawan ajaran predestinasi, pada akhirnya Calvin menjawab:
“…bersama Paulus kita gentar karena melihat kedalaman yang securam itu; dan jika ada lidah yang dengan gampangan berbantah, maka janganlah kita malu berseru bersamanya: ‘Siapakah kamu, hai manusia, maka kamu membantah Allah?’ (Roma 9:20). Sebab benarlah perkataan Agustinus, bahwa mereka yang mengukur keadilan Allah menurut ukuran keadilan manusia, membalikkan norma.”[21]
DAFTAR PUSTAKA :
[1] Institutio II.i.8., bdk. Johanes Calvin, Institutio: Pengajaran Agama Kristen, Terjemahan: Ny. Winarsih dan J.S., Aritonang dan Dr. Th. Van Den End, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), hlm. 60. Untuk selanjutnya akan dikutip dengan Instutio.
[2] Institutio, II.i.5.
[3] Bdk. http://reformed.sabda.org/arsitek_teologi_reformasi_john_calvin, diakses pada tanggal 20 Mei 2015.
[4] Ibid.
[5]Institutio, II.i.7.
[6] Institutio, II.ii.1.
[7] http://reformed.sabda.org/arsitek_teologi_reformasi_john_calvin, diakses pada tanggal 20 Mei 2015.
[8] Alister E. McGrath, Sejarah Pemikieran Reformasi, (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1997), hlm. 81.
[9] Institutio, I.i.1.
[10] Alister E. McGrath, Op.Cit., hlm. 162.
[11] Eddy Kristiyanto, OFM., Op.Cit., hlm. 81.
[12] Institutio,III.i.1. Bdk. juga Hubert Jedin, Op.Cit., hlm. 379-380.
[13] http://reformed.sabda.org/arsitek_teologi_reformasi_john_calvin, diakses pada tanggal 20 Mei 2015.
[14] Bdk. Hubert Jedin, Op.Cit.,hlm. 380.
[15] Instiitutio, III.xxii.10.
[16] Eddy Kristiyanto, OFM., Op.Cit., hlm. 80.
[17] Bdk. Edwin Palmer, Op.Cit., hlm. 61.
[18] Institutio, IV.xv.1.
[19] http://reformed.sabda.org/arsitek_teologi_reformasi_john_calvin, diakses pada tanggal 20 Mei 2015.
[20] Bdk. Institutio, III.xxii.7. hlm. 198
[21] Institutio, III.xxiv.17.