ALLAH YANG TIDAK BERUBAH

Pdt.Samuel Teresia Gunawan,M.Th.
ALLAH YANG TIDAK BERUBAH
(Jawaban Atas Pertanyaan Apakah Allah Mengubah Pikiran-Nya dan Menyesali Keputusan-Nya) .

“Bahwasannya Aku, TUHAN, tidak berubah, dan kamu, bani Yakub, tidak akan lenyap” (Maleakhi 3:6).

“Setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna, datangnya dari atas, diturunkan dari Bapa segala terang; pada-Nya tidak ada perubahan atau bayangan karena pertukaran” (Yakobus 1:17).

PROLOG:

Ada pernyataan-pernyataan di dalam Alkitab yang menegaskan bahwa Allah itu tidak berubah. (Ayub 42:1-2; Mazmur 33:10-11; 102:27-28; Yesaya 14:24,26-27; 25:1; 37:26; 43:13; 46:10-11; Yeremia 4:28; Maleakhi 3:6; Yakobus 1:17). Setiap ayat di atas berbicara tentang imutabilas atau ketidakberubahan Allah dalam keberadaan-Nya yang esensial. Artinya, karena Ia sempurna, Ia tidak pernah berbeda dari diriNya sendiri.[1] Namun ada juga ayat-ayat Alkitab yang menyatakan bahwa Allah mengubah pikiranNya dan menyesali keputusan-Nya (Kejadian 6:6-7; Keluaran 32:10-14; 1 Samuel 15:10-11,35; Mazmur 106:45; Yeremia 18:8; 26:3, 13; 26:19; 42:10; Yoel 2:13-14; 7:3,6; Yunus 3:9; 4:2). 

Benarkah Allah mengubah pikiran-Nya dan menyesali keputusan-Nya? Tentu saja tidak! Ini terlihat dari ayat-ayat yang menyatakan bahwa Allah tidak mengubah pikiran-Nya dan tidak menyesali keputusan-Nya (Bilangan 23:19; 1 Samuel 15:,29,35; Mazmur 110:4; Yehezkiel 24:14; Zakharia 8:14; Ibrani 7:21).

Bagaimanakah kita mengharmoniskan ayat-ayat yang seakan-akan berkontradiksi tersebut? Terlebih dahulu perlu bagi kita untuk memahami apa yang dimaksud dengan ketidakberubahan Allah dan dalam hal apa saja Allah itu tidak berubah. Kemudian kita akan melihat pentingnya ajaran ketidakberubahan Allah bagi iman kita dan memberi jawaban atas problem dari ajaran ketidakberubahan Allah ini dengan menunjukkan bahwa sebenarnya tidak ada ayat-ayat Alkitab yang kontradiktif. 

Ingatlah, jika kita tidak dapat memberi jawaban yang jelas dan tegas untuk mengharmoniskan ayat-ayat yang seakan-akan saling bertentangan tersebut maka ada dua isu krusial yang dipertaruhkan di sini. Pertama, Allah itu berubah-ubah karena itu Ia tidak dapat dipercayai; atau yang kedua, Alkitab yang kita miliki itu keliru karena menampilkan Allah yang berubah-ubah.

KEYAKINAN DASAR

Disini saya perlu menegaskan pendirian saya bahwa Allah itu benar dan Alkitab yang diberikanNya kepada kita juga benar adanya. Karena Allah yang mengatakan bahwa Ia tidak berubah maka saya percaya bahwa Allah berkata benar dan Ia tidak berdusta (Maleakhi 3:6; Yakobus 1:17; Bandingkan Bilangan 23:19). 

Dan bagi saya ketidakberubahan Allah itu bersifat absolut (mutlak) sebagaimana yang dikatakan oleh Kevin J. Conner seorang teolog Injili Kharismatik. Ia menjelaskan demikian, “Ketika kami berbicara tentang keabsolutan Allah, yang kami maksudkan adalah bahwa Allah tidak diubahkan, dan tidak dapat berubah dalam karakter dan keberadaan-Nya. 

Hukum-hukum tentang keberadaan Allah adalah kekal dan tidak berubah. … dalam sifat-sifat dasarnya dan moralnya, Allah tidak dapat berubah. Dalam semua kesempurnaan karakter-Nya Allah tidak pernah berubah. Ini adalah keabsolutanNya.”[2] 

Henry C. Thiessen Teolog Injili Dispensasional mengatakan, “Allah itu esa, Ia tidak berubah. Sifat tidak berubah ini juga disebabkan karena Ia wajib ada dan Ia itu ada dengan sendiriNya. … Sifat tidak mungkin berubah ini juga disebabkan oleh kesempurnaanNya yang mutlak.” [3] 

Lebih tegas lagi Cornelius Van Til seorang teolog Reformed dan ahli filsafat mengatakan, “Imutabilitas Allah tercakup di dalam aseitas-Nya. Allah tidak berubah di dalam eksistensiNya dan esensiNya; seperti juga Dia di dalam pikiran dan kehendakNya, di dalam segala tujuan dan dekritNya. Dia disebut Tuhan yang tidak berubah (maleakhi 3:6) dan pada-Nya tidak ada bayangan yang disebabkan oleh pertukaran.”[4]

Selanjutnya, saya juga menegaskan bahwa saya percaya pada kredibilitas Alkitab. Saya percaya bahwa Alkitab benar secara keseluruhan tanpa kesalahan dan tanpa kekeliruan (ineransi). Karena Alkitab diwahyukan dan diispirasikan oleh Allah, maka Alkitab tidak dapat salah atau tidak memiliki kekeliruan. Ketidakkeliruan Alkitab berarti bahwa Alkitab hanya mengatakan yang benar. Apa yang dianggap kesalahan karena mengundung kontradiksi atas Alkitab sebenarnya adalah paradoksi.[5] Paradoksi bukanlah kontradiksi! Kontradiksi tidak dapat dijelaskan, sedangkan paradoksi dapat dijelaskan. 

Paradoksi sepertinya bertentangan tetapi bila dicermati maka akan ditemukan penjelasannya. Karena itu Augustinus memberikan pernyataan yang tegas mengenai situasi ini, “Jika kita bingung karena adanya hal-hal yang kelihatannya bertolak belakang di dalam Alkitab, kita tidak boleh berkata, pengarang kitab ini salah, tetapi bisa jadi (1) manuskrip atau salinan naskah kunonya yang cacat, atau (2) penerjemahannya keliru, atau (3) kita memang belum mengerti”.[6]

PENGERTIAN KETIDAKBERUBAHAN ALLAH

Allah tidak bisa berubah dan tidak akan pernah berubah. Allah akan selalu tetap sama, konsisten, dan stabil secara kekal. Berikut ini beberapa pengertian dari ketidakberubahan Allah menurut para teolog dan ahli Alkitab.

1. Ketidakberubahan Allah berarti bahwa Ia tetap sama. 

Wayne Grudem, seorang teolog Baptis dan Calvinis Kharismatik mengatakan, “Allah tetap sama dalam keberadaan dan atributNya, dan hal itu sama sekali bertentangan dengan kita. Keberadaan kita akan berubah dan atribut kita juga akan berubah. Allah sebaliknya, akan tetap selama-lamanya.” [7]James M. Boice, seorang teolog Calvinis mengatakan, “Ketidakberubahan Allah (immutabilitas) berarti bahwa Allah selalu sama dalam keberadaanNya yang kekal.” [8] 

Michael S. Horton seorang teolog Calvinis mengatakan, “Allah juga tidak dapat berubah, atau jika memakai istilah teknisnya, Dia immutable (tetap kekal abadi).” [9]Sifat tetap Allah ini juga dijelaskan oleh Charles C. Ryrie seorang teolog Dispensasional demikian, “tetap artinya Allah tidak dapat berubah dan dan karena itu tidak berubah. Ini tidak berarti bahwa Ia tidak bergerak atau tidak aktif, tetapi sungguh-sungguh berarti bahwa Ia tidak pernah tidak tetap atau bertumbuh atau berkembang.” [10]

2. Ketidakberubahan Allah berarti bahwa Ia konsisten. 

Millard J. Erickson, teolog Baptis Calvinis Moderat mengatakan, “sesungguhnya di dalam Bilangan 23:19 ditegaskan bahwa karena Allah bukanlah manusia, tindakan-tindakananya tidak tidak akan berubah. Lagi pula, maksud-maksud Allah itu dan semua rencanaNya senantiasa bersifat konsisten karena kehendakNya tidak berubah. Karena itu Allah senantiasa setia pada janji-Nya, sebagai contoh janji Allah terhadap Abraham. Allah memilih Abraham dan memberikan janjiNya, maka Dia tidak akan mengubah pikiranNya atau mengingkari janjiNya.” [11] 

French L. Arrington, seorang teolog Pentakostal menjelaskan demikian, “Allah Alkitab adalah Dia yang tidak berubah. Ini berarti bahwa Allah sangat konsisten, selalu setia terhadap janji dan mutlak dapat diandal. Allah tidak akan pernah menjadi lebih baik dari sekarang karena Dia adalah kebaikan yang sempurna. Dia tidak akan pernah lebih kudus dari Dia sekarang karena Dia adalah inti kekudusan.” [12]

3. Ketidakberubahan Allah berarti bahwa Ia stabil. 

Henry C. Thiessen mengatakan, “Semua perubahan merupakan perubahan kepada keadaan yang lebih baik atau yang lebih buruk. Akan tetapi, Allah tidak mungkin berubah menjadi makin baik karena Ia benar-benar sempurna; demikian juga Allah tidak mungkin berubah menjadi makin buruk karena alasan yang sama. Allah berada di atas segala sebab yang ada dan Ia bahkan juga berada di atas kemungkinan perubahan. Allah tidak mungkin menjadi lebih bijaksana, lebih kudus, lebih adil, lebih murah, lebih setia, dan Allah juga tidak mungkin menjadi kurang bijaksana dan seterusnya. 

Juga rencana dan segala tujuanNya tidak pernah berubah.” [13]Stabilitas Allah ini dijelaskan oleh French L. Arrington demikian, “Namun, Allah tidak berubah. Tidak ada perubahan dalam sifat, maksud, dan motif-motif untuk bertindak. Hal ini berlawaan dengan dunia ini yang selalu berubah. Allah mutlak setia dan dapat diandalkan. Allah adalah Batu Karang keselamatan kita, kekuatan dan stabilitas kita.” [14] 

Stabilitas Allah ini juga dijelaskan oleh Millard J. Erickson demikian, “Pandangan Alkitab bukanlah bahwa Allah itu statis (tidak bergerak), melainkan stabil atau kokoh. Allah adalah aktif dan dinamis, tetapi secara stabil dan sesuai dengan sifat-Nya.”[15]

ALASAN KETIDAKBERUBAHAN ALLAH

Allah adalah Roh kekal yang tidak terbatas.[16]Ini artinya Allah tidak bersifat material dan tidak memiliki tubuh jasmaniah. Roh tidak memiliki daging dan tulang (Lukas 24:39). Itu sebabnya Allah dikatakan tidak dapat dilihat (Ulangan 4:15-19; Keluaran 33:20; Yohanes 1:18; Kolose 1:15; 1 Timotius 1:17; 6:16). Tubuh jasmaniah dibatasi oleh ruang dan waktu tetapi Allah yang adalah Roh itu tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. 

Menurut hukum Termodinamisme, “setiap perubahan energi selalu disertai kehilangan energi yang ada, sehingga pada penggunaan berikutnya energi itu tidak akan sama besarnya lagi.” [17]Dengan kata lain, manusia berubah, musim berubah, zaman berubah, bahkan semua ciptaan akan berubah, kecuali satu, hanya Allah yang tidak berubah. Hal ini benar karena Allah adalah Pencipta segala benda material yang selalu berubah yang berada di dalam ruang dan waktu.[18]Yakub B. Susabda mengatakan, “Ketidakberubahan Allah adalah hakikat Allah di luar ikatan ciptaan, ruang, dan waktu”.[19]

Hennry C, Thiessen memberikan alasan dari ketidakberubahan Allah itu terkaitkan dengan hakikat, kemandirian dan kesempurnaan Allah demikian, “Sifat tidak berubah yang ada pada Allah disebabkan oleh kesederhaan hakikat-Nya. Manusia memiliki jiwa dan tubuh, dua hakikat, yaitu yang rohani dan jasmani. Allah itu esa, Ia tidak berubah. Sifat tidak berubah ini juga disebabkan karena Ia wajib ada dan Ia itu ada dengan sendiriNya. Apa yang ada tanpa penyebab, sebagai akibat sifat-sifat-Nya sendiri, haruslah ada sebagaimana Ia adanya. 

Sifat tidak mungkin berubah ini juga disebabkan oleh kesempurnaanNya yang mutlak. Tidak mungkin terjadi perbaikan atau kemerosotan. Setiap perubahan dalam sifat-sifatNya akan menjadikan Dia sedikit kurang daripada Allah; setiap perubahan rencana dan tujuanNya akan menjadikan Dia Allah yang tidak begitu bijaksana, tidak begitu baik, dan tidak begitu kudus. Alkitab mengatakan bahwa di dalam Allah tidak ada perubahan atau pertukaran (Yakobus 1:17).”[20]

ASPEK-ASPEK KETIDAKBERUBAHAN ALLAH

Henry C. Thiessen, mengatakan, “Hakikat, sifat-sifat, kesadaran, dan kehendak Allah tidak akan berubah.” [21] Hal yang sama dikatakan oleh Wayne Grudem demikian, “Allah tidak berubah dalam keberadaanNya, atribut-atributNya, tujuanNya, dan janji-Nya.”[22]Sejumlah ayat Alkitab menegaskan bahwa Allah itu tidak berubah. Pemazmur membandingkan sifat Allah dengan langit dan bumi, “Semua itu akan binasa, tetapi Engkau tetap ada; dan semuanya itu akan menjadi using … tetapi Engkau tetap sama, dan tahun-tahun-Mu tidak berkesudahan”(Mazmur 102:27-28). 

Selanjutnya pemazmur menekankan sifat permanen pikiran Allah, “Tetapi rencana Tuhan tetap selama-lamanya; Rancangan hati-Nya turun temurun” (Mazmur 33:11). Sekalipun bangsa Israel telah berpaling dari ketetapanNya, Allah sendiri berfirman, “Aku, Tuhan, tidak berubah.” (Maleakhi 3:6). Yakobus mengatakan bahwa pada Allah “tidak ada perubahan atau bayangan karena pertukaran” (Yakobus 1:17). [23]Sejumlah ayat lainnya menjelaskan bahwa kuasa Allah tidak berubah (Roma 4:20-21), rencana dan tujuanNya tidak berubah (Yesaya 46:10), janji-janji-Nya tidak berubah (1 Raja-raja 8:56); 2 Korintus 1;20), kasih dan kemurahan-Nya tidak berubah (Mazmur 103;17), dan keadilan-Nya tidak berubah (kejadian 18:25; Yesaya 28:17). [24]

Jadi ketidakberubahan Allah ini meliputi berbagai aspek antara lain hakikat-Nya, sifat-sifat-Nya, kehendakNya, rencanaNya, tujuanNya, dan janji-Nya, yang menurut Millar J. Erickson dapat diringkas ke dalam dua aspek yaitu kuantitatif dan kualitatif.[25] Pertama, pada Allah tidak ada perubahan kuantitatif. Allah tidak mungkin bertambah karena Dia sudah sempurna. Allah juga tidak berkurang karena bila dia berkurang maka Dia akan berhenti menjadi Allah. Kedua, pada Allah tidak ada perubahan kualitatif. 

Kodrat Allah tidak akan mengalami perubahan. Karena itu, Allah tidak mengubah pikiranNya, rencanaNya, atau perbuatanNya, karena semuanya itu berlandaskan kodratNya yang tetap tidak berubah apapun yang terjadi. Sesungguhnya di dalam Bilangan 23:19 ditegaskan bahwa karena Allah bukanlah manusia, tindakan-tindakanaNya tidak akan berubah. Lagi pula, maksud-maksud Allah itu dan semua rencanaNya senantiasa bersifat konsisten karena kehendakNya tidak berubah. Karena itu Allah senantiasa setia pada janjiNya, sebagai contoh janji Allah terhadap Abraham. Allah memilih Abraham dan memberikan janjiNya, maka Dia tidak akan mengubah pikiranNya atau mengingkari janjiNya.

JAWABAN ATAS PROBLEM AJARAN KETIDAKBERUBAHAN ALLAH

Telah dijelaskan di atas bahwa ketidaberubahan Allah berarti bahwa ia tetap sama, konsisten, dan stabil secara kekal. Namun ada problem yang terkait dengan ajaran ketidakberubahan Allah ini, yaitu adanya ayat-ayat Alkitab yang menyatakan bahwa Allah mengubah pikiran-Nya dan menyesali keputusan-Nya (Kejadian 6:6-7; Keluaran 32:10-14; 1 Samuel 15:10-11,35; Mazmur 106:45; Yeremia 18:8; 26:3, 13; 26:19; 42:10; Yoel 2:13-14; 7:3,6; Yunus 3:9; 4:2).[26]

Perlu diketahui, adanya ayat-ayat Alkitab yang menyatakan bahwa Allah dapat berubah dan menyesal tidak perlu dianggap sebagai kontradiktif dengan ayat-ayat yang menyatakan bahwa Allah tidak berubah dan tidak menyesal. Seluruh ayat-ayat tersebut harmonis apabila dipahami dengan benar sebagaimana penjelasan berikut ini :

1. Beberapa kasus yang memperlihatkan seakan-akan Allah mengubah pikiranNya dan menyesali keputusanNya sebenarnya tidaklah menunjukkan Allah yang berubah melainkan perubahan orientasi yang diakibatkan oleh berubahnya hubungan manusia dengan Allah.[27]

Cornelus Van til mengatakan, “Allah di dalam diri-Nya sendiri adalah tidak berubah. Terdapat perubahan disekitar Dia; terdapat perubahan di dalam hubungan dari hal-hal dengan diri-Nya; tetapi tidak ada perubahan di dalam diri Allah sendiri”. [28]Hal ini dapat dijelaskan lebih lanjut dengan pertanyaan berikut: mana yang berubah, angin atau baling-baling penunjuk arah angin? Atau mana yang berubah, temperatur atau termometer? Dalam pengertian tertentu keduanya berubah, tetapi dalam pengertian yang sebenarnya baling-baling penunjuk arah angin dan termometer tidak berubah. 

Baling-baling penunjuk arah angin selalu menunjuk ke arah datangnya angin dan termometer selalu menunjuk temperatur yang tepat. Sebagai contoh, Allah mengatakan bahwa Ia akan menghancurkan kota Niniwe karena dosa besar mereka (Yunus 3:4). Tetapi penduduk kota Niniwe percaya kepada sang Nabi dan bertobat serta mengenakan kain kabung dan duduk di abu mulai dari raja sampai ke rakyatnya sembil berseru, “siapa tahu mungkin Allah akan berbalik dan menyesal serta berpaling dari murka-Nya yang bernyala-nyala itu, sehingga kita tidak binasa” (Yunus 3:9). 

Lalu di Yunus 3:10 kita membaca bahwa Allah menyesal. Perubahan seperti ini, sama seperti analogi baling-baling penunjuk arah angin dan termometer di atas.[29]Sebenarnya Allah tidak berubah, karena Ia sendiri yang mengatakan bahwa Ia tidak berubah. Apa yang dianggap sebagai perubahan pada Allah sebenarnya adalah pergerakan. 

Ketidakberubahan (imutabilitas) tidaklah sama artinya dengan tidak bergerak (statis). Seperti yang dikatakan Cornelius Van Til bahwa Allah bukanlah “aidis ousia akinutos(substansi kekal yang tidak bergerak).”[30]Allah itu tidak berubah tetapi aktif dan Ia terlibat dalam hubungan dengan manusia yang berubah-ubah.[31] Millard J. Erickson mengatakan, “Pandangan Alkitab bukanlah bahwa Allah itu statis (tidak bergerak), melainkan stabil atau kokoh. Allah adalah aktif dan dinamis, tetapi secara stabil dan sesuai dengan sifatNya. 

Di sini kita sedang berhubungan dengan keterandalan Allah. Dia akan tetap sama esok sebagaimana keadaan-Nya hari ini. Dia akan memenuhi janji-Nya orang percaya dapat mengandalkan hal itu ”[32]Dengan demikian, dalam hubungan dengan Allah yang tidak berubah itu, manusialah yang sebenarnya berubah, entah itu sifat, kehendak, dan tindakan-tindakannya. Dalam peristiwa di Niniwe kita perlu mengingat bahwa ancaman hukuman Allah tersebut disertai dengan klausa tentang pertobatan. Penduduk Niniwe mengerti bahwa dalam 40 hari Niniwe akan dijungkirbalikan kecuali mereka bertobat (Yunus 3:5-9). 

Berdasarkan bagaimana penduduk Niniwe merespons, yaitu dengan bertobat, Allah menarik kembali ancamanNya untuk menjatuhkan hukuman.[33]Jadi bukan Allah yang berubah tetapi respons penduduk Niniwe. Hal ini sesuai dengan firmanNya dalam kitab Yeremia, “Ada kalanya Aku berkata tentang suatu bangsa dan tentang suatu kerajaan bahwa Aku akan mencabut, merobohkan, dan membinasakannya. 

Tetapi apabila bangsa yang terhadapnya siapa Aku berkata demikian telah bertobat dari kejahatannya, maka menyesallah Aku, bahwa Aku hendak menjatuhkan malapetaka yang Kurancangkan itu terhadap mereka” (Yeremia 18:7-8). Prinsip ini sangat jelas digambarkan bagi kita dalam kasus Niniwe. Bukan hanya terhadap Niniwe, Allah sering terlihat menunjukkan belas kasihanNya ketika terdapat pertobatan yang jelas (Keluaran 32:14; 2 Samuel 24:16; Amsal 7:3,6).

2. Ayat-ayat yang menyatakan Allah berubah dan menyesal harus dipahami sebagai ungkapan antropopastisme. 

Menurut Millard J. Erickson, beberapa ayat di dalam Alkitab tentang Allah mengubah pikiranNya dan menyesali keputusanNya merupakan bahasa ungkapan antropomorfisme dan antropopastisme.[34]Antropomorfisme adalah bahasa ungkapan yang menggambarkan Allah dengan wujud manusia, sedangkan antropopastisme adalah bahasa ungkapan yang menggambarkan Allah yang memiliki perasaan-perasaan seperti manusia.[35]Alkitab mengatakan bahwa Allah adalah Roh (Yohanes 4:23). Itu berarti Allah tidak memiliki materi dan tubuh. 

Namun ketika kita mengatakan Allah adalah Roh itu tidak berarti Allah adalah kuasa atau sifat yang tidak tersentuh. Allah adalah roh yang berpribadi. Allah adalah Pribadi yang memiliki kesadaran, kehendak, tujuan, akal budi dan perasaan (Yohanes 4:20-24; Kejadian 1:2; 2 Korintus 3:17; 1 Korintus 2:11). Jadi Allah adalah Roh, bersifat rohani, tidak bertubuh (materi), tetapi berpribadi. Bila Alkitab menyebut tentang tangan, mata, telinga, mulut, nafas, dan lubang hidung Allah, maka semua sebutan itu adalah ucapan-ucapan antropomorfisme. 

Bila Alkitab menyatakan Allah tertawa, menangis, lapar, haus, menyesal, dan lain sebagainya, maka semua itu adalah ucapan-ucapan antropopastisme. Baik antropomorfisme maupun antropopastisme, menggambarkan Allah menurut bentuk dan sifat-sifat pribadi manusia dengan tujuan supaya Allah bisa dipahami manusia. 

Atau seperti yang dikatakan Millard J. Erickson “Ayat-ayat itu sekedar menggambarkan tindakan dan perasaan Allah yang diungkapkan menurut pengalaman manusia, dan dari sudut pandang manusia. Termasuk disini adalah ayat-ayat yang menggambarkan Allah seakan-akan menyesal.”[36]Tetapi, walaupun Allah digambarkan dengan bentuk dan sifat-sifat jasmaniah manusia, itu bukan dimaksudkan bahwa Allah bertubuh dan bersifat seperti manusia.

3. Cara pengungkapan yang bersifat antropopastisme tersebut di atas haruslah menjadi pertimbangan kita dalam mengungkapkan makna kata Ibrani “nâcham” yang diterjemahkan dengan kata “menyesal”. Sesuai dengan konteksnya kata “nâcham” memiliki berbagai pengertian antara lain[37]

Pertama, kata nâcham dalam Alkitab bisa berarti “berduka, bersedih atau prihatin”. Jadi yang dimaksud dengan Allah menyesal dalam hal ini dipahami dalam pengertian Allah berdukacita, bersedih atau prihatin dengan keadaan manusia yang telah berbuat jahat, memberontak dan melawan kehendakNya sebagaimana dalam kasus di Kejadian 6:5-7). 

Kedua, kata nâcham bisa berarti “berbelaskasihan”. Artinya Allah menyesal dalam pengertian bahwa Ia berbelaskasihan terhadap umatNya sebagaimana diungkapkan dalam ayat-ayat seperti Kejadian 32:14; 2 Samuel 24:16; 1 Tawarikh 21:15; Amsal 7:3-6. 

Ketiga, kata nâcham bisa berarti “mengasihani”, yang artinya Allah menyesal dalam pengertian bahwa Ia mengasihi umatNya yang telah menyadari dosa-dosanya sebagaimana dalam kasus Niniwe dalam Yunus 3:10. 

Keempat, kata nâcham bisa berarti “menyesal” dalam pengertian sebagaimana manusia menyesal. Ini digunakan sebagai harapan dari manusia yang berpikir Allah akan menyesal sebagaimana diungkapkan dalam Yeremia 26:13; 26:19; Yoel 2:13,14; Yunus 3:9. Namun, harus diingat Allah tidak pernah dan tidak akan menyesal sebagaimana diungkapkan dalam Bilangan 23:19; 1 Samuel 15:29; Zakharia 8:14 dan Yehezkiel 24:14. 

Sekali lagi Allah menyesal disini adalah harapan dari manusia terhadap Allah. Jadi dalam penggunaan kata “nâcham” tidak ada indikasi bahwa Allah menyesal karena harapnNnya tidak terpenuhi, atau menyesal karena kehendak dan rencanaNya tidak terlaksana, atau menyesali tindakan-tindakanNya. Ungkapan menyesal lebih menekankan pada hubungan dan perhatian Allah bagi umatNya.

PENTINGNYA AJARAN KETIDAKBERUBAHAN ALLAH DALAM MENGHADAPI BERBAGAI AJARAN SESAT

Herman Bavinck menunjukkan bahwa ketidaberubahan Allah memiliki musuh-musuhnya. Musuh-musuh ini telah ditemukan diantara orang-orang yang pemikirannya telah dimasuki filsafat kafir seperti Heraclitus Dorner misalnya, mencoba untuk menyelaraskan ketidakberubahan Allah dengan fakta perhatianNya yang aktif atas hal-hal di alam semesta dengan mengatakan bahwa Allah adalah tidak berubah hanya di dalam aspek etis keberadaanNya. Allah itu selalu kasih dan selalu kudus. Di sisi lainnya, Allah berubah ketika Dia secara aktual, di dalam Pribadi Anak, Dia menjadi daging. Bavinck bersikeras, dan dengan tepat pula, bahwa semua upaya-upaya ini telah dipastikan gagal.[38]

1. Menghadapi ajaran Pelagianisme. 

Louis Berkhof menjelaskan bahwa dengan memahami ajaran ketidakberubahan Allah akan memberikan kita pegangan yang kuat dalam menghadapi berbagai ajaran sesat, antara lain menghadapi ajaran Pelagian yang mengatakan bahwa Allah itu mungkin berubah bukan dalam keberadaan-Nya, tetapi dalam pengetahuan dan kehendak-Nya, sehingga keputusan-keputusan-Nya dalam suatu ukuran tertentu tergantung pada tindakan manusia.[39]

2. Menghadap ajaran sesat Monofosit. 

Terkait Inkarnasi Kristus, Charles F. Beker, menjelaskan petingnya berpegang pada ajaran ketidakberubahan Kristus dalam menghadapi ajaran sesat Monofosit. Inkarnasi yang seakan-akan menunjukkan telah terjadi perubahan pada diri Allah. Yesus Kristus dikatakan tetap sama baik kemaren, hari ini, dan sampai selamanya (Ibrani 13:8). Namun, Pribadi kedua dari Tritunggal ini pada suatu waktu telah telah menjadi manusia, dan sekarang sebagai Manusia duduk disebelah kanan Allah, padahal dahulunya bukan demikian. 

Karena Kristus itu Allah, apakah ini merupakan perubahan pada diri Allah? Jawabannya tentu saja tidak. Inkarnasi tidak mengubah natur ilahi Kristus. Perubahan yang terjadi hanyalah dalam hubungan dengan kemanusiaanNya, tetapi hal tersebut sama sekali tidak mempengaruhi ketidakberubahanNya yang berkenaan dengan keberadaan dan sifat keilahianNya. Namun para penganut ajaran sesat Monofisit dari kelompok Eutikhus percaya bahwa dalam inkarnasi Kristus ada percampuran natur ilahi dan natur manusia yang menjadi satu, yakni menjadi bukan manusia dan bukan ilahi. 

Pandangan ini menunjukkan terjadinya perubahan pada salah satu Pribadi dalam Keallahan.[40] Bidat ini menyatakan bahwa sebenarnya Yesus bukan memiliki dua natur tetapi hanya satu natur. Natur yang satu ini bukan hanya manusia dan juga bukan hanya ilahi, tetapi percampuran natur theanthropic (ilahi-manusiawi). 

BACA JUGA: ARTI ALLAH MENYESAL 

Bidat monofisit mengajarkan bahwa natur kemanusiaan Kristus ditelan oleh natur keilahianNya sehingga menghilangkan batasan dari kemanusiaan Yesus.[41] Namun Alkitab tidak mengajarkan demikian karena itu ajaran monofisit tersebut ditolak oleh bapa-bapa gereja sebagaimana tertuang dalam pengakuan iman Chalcedon yang ditetapkan dalan Konsili oikomenikal keempat di Chalcedon pada tahun 451 M. 

Rumusan pengakuan iman ini menekankan bahwa Yesus mempunyai dua sifat dalam satu pribadi. Kedua sifat tidak bercampur (asygchytoos), tidak berubah (atreptoos), tidak terbagi-bagi (adariretoos), dan tidak terpisah (achoristoos), sehingga yang ilahi tetapi ilahi dan yang manusia tetap manusia, akan tetapi keduanya memiliki satu kehidupan bersama secara terus menerus. [42]

3. Menghadapi pandangan Panteisme. 

Panteisme berarti “semua adalah Allah”. Allah dan alam semesta adalah sama. Ia tidak melebihi dan tidak lebih rendah daripada alam semesta. Panteisme juga berarti “semua berada di dalam Allah”, termasuk alam semesta berada di dalamNya, tetapi Ia melebihi alam semesta. Allah menurut Panteisme sangat berbeda dari Allah Teisme Kristen. Dalam pandangan Panteisme, ketika dunia berubah, Allah juga berubah. Dengan kata lain, Ia berubah sama seperti alam semesta Ia digambarkan memiliki dua aspek, yaitu realitaNya (siapa Dia yang sesungguh) dan potensiNya (Ia dapat menjadi apa). Menurut Panteisme, Allah tidak menciptakan alam semesta, tetapi bekerjasama dengannya untuk mengembangkannya. 

Ia tidak langsung berintervensi ke dalam peristiwa-peristiwa di dunia tetapi mengarahkannya ke maksud-maksud-maksud yang dikehendakiNya. Oleh sebab itu Ia menuntun, tetapi tidak mengontrol, evolusi dunia dan diriNya sendiri. Menurut Panteisme, nilai-nilai moral merupakan dasar dari esensi Allah, tetapi karena Ia selalu berubah, moralitas itu juga berubah. 

Sejarah adalah sebuah proses yang acak tanpa titik permulaan ataupun titik akhir, dan bahkan Allah pun tidak mengetahui masa depan. Ketika manusia mati, ia tidak akan mengetahui keberadaannya, tetapi kesadarannya berubah menjadi semacam memori di dalam pikiran Allah. [43] Berbeda dari Panteisme, maka Allah dari Teisme Kristen itu sempurna dan oleh sebab itu, Ia tidak berubah, berbeda dari dunia yang diciptakanNya. 

Baca Juga: Makna Allah Adalah Kekal

Providensia Allah memerintah ciptaan-ciptaan dan bukan berubah bersamanya. Kita menyenangkan Allah dengan menghayati hidup yang kudus, tetapi kita tidak membantuNya menjadi sesuatu yang bukan diriNya. Paulus mengingatkan para filsuf di Athena bahwa Allah “tidak dilayani oleh tangan manusia, seolah-olah Ia kekurangan apa-apa, karena Dialah yang memberikan hidup dan nafas, dan segala sesuatu kepada semua orang (Kisah Para Rasul 17:25).”[44]

PENUTUP

Saya akan mengakhir ini dengan mengutip kata-kata James M. Boice demikian, “Imutabilitas Allah juga berlaku pada atribut-atributNya. Katekismus singkat Westmister mendefinisikan Allah sebagai Roh yang tidak terbatas, kekal, dan tidak berubah, dalam keberadaanNya, hikmatNya, kuasaNya, kekudusanNya, keadilanNya, kebaikanNya dan kebenaranNya. Allah itu pemilik semua pengetahuan dan hikmat, dan Ia akan selalu memiliki semua hikmat. Ia berdaulat dan akan selalu berdaulat. Ia kudus dan akan selalu kudus. Ia adil dan akan selalu adil. 

Ia baik dan akan selalu baik. Ia benar dan akan selalu benar. Apapun yang terjadi tidak akan bisa mengurangi Allah dalam atribut-atribut ini atau atribut-atributNya yang manapun. … Bagi kita itu adalah penghiburan yang besar. Dalam dunia ini banyak orang yang melupakan kita, bahkan setelah kita bekerja keras dan melayani mereka. Mereka mengubah sikap-sikap mereka terhadap kita, mengikuti kebutuhan dan situasi mereka sendiri. 

Seringkali mereka tidak adil (sebagaimana kita juga). Tetapi Allah tidak seperti itu, sebaliknya, sikapNya terhadap kita sekarang adalah sama dengan sikapNya dalam kekekalan masa lalu dan akan tetap sama sampai kekekalan yang akan dating. Bapa mengasihi kita sampai pada akhirnya, sebagaimana dikatakan oleh Yesus, ‘Yesus telah tahu, bahwa saatNya sudah tiba untuk beralih dari dunia ini kepada Bapa. Sama seperti Ia senantiasa mengasihi murid-muridNya demikian juga sekarang Ia mengasihi mereka sampai kepada kesudahanNya’ (Yohanes 13:1). 

W.A Tozer menulis tentang penghiburan yang ditemukan dalam ketidakberubahan Allah. ‘Betapa besar damai sejahtera yang dirasakan dalam hati orang Kristen ketika menyadari bahwa Bapa surgawi kita tidak pernah berbeda dari diriNya. Ketika datang kepadaNya kapan pun, kita tidak perlu bertanya-tanya apakah kita akan menjumpai Dia dalam suatu situasi hati yang mau menerima kita. Ia selalu bersedia menerima kita yang dalam kesedihan dan kebutuhan, maupun dalam kasih dan iman. Ia tidak menetapkan jam kerja atau pun menentukan waktu di mana Ia tidak mau menemui siapa pun. Ia juga tidak berubah pikiran tentang apa pun. 

Saat ini, perasaanNya terhadap ciptaan-ciptaanNya, terhadap bayi-bayi, terhadap orang sakit, yang jatuh, yang berdosa, persis sama seperti perasaanNya ketika Ia mengutus AnakNya yang Tunggal ke dalam dunia untuk mati bagi manusia. Allah tidak pernah mengubah suasana hatiNya atau mendinginkan belas kasihNya atau kehilangan antusiasme’. Maka inilah penghiburan besar. Jika Allah berubah seperti ciptaan-ciptaanNya, jika Ia menghendaki suatu hari ini dan hal lain besok, siapa yang dapat bersandar padaNya atau dikuatkan oleh kasihNya? Tidak seorang pun. Tetapi Allah itu selalu sama. Kita akan selalu mendapati Dia sebagaimana yang telah Ia singkapkan tentang diriNya dalam Kristus Yesus”.[45]Amin!

REFERENSI

Archer, Gleason, L., 2009. Encyclopedia Of Bible Difficulties. Terjemahan, Penebit Gandum Mas : Malang.
Arrington, French L., 2015. Christian Doctrine A Pentacostal Perspective. Terjemahan, Penerbit Andi : Yogyakarta.
Beker, Charles. F., 1994. A Dispensasional Theology. Terjemahan, Penerbit Alkitab Anugerah: Jakarta.
Boersema, Jan A, dkk., 2015. Berteologi Abad Ke 21: Menjadi Kristen Indonesia Di Tengah Masyarakat Majemuk. Penerbit Literatur Perkantas: Jakarta
Berkhof, Louis., 2011. Systematic Theology. Jilid 1, Terjemahan, Penerbit Momentum: Jakarta.
Boice, James M., 2011. Fondations Of The Christian Faith: A Comprehensive And Readable Theology. Terjemahan, Penerbit Momentum : Jakarta.
Brill, J. Wesley., 1993. Dasar Yang Teguh. Penerbit Yayasan Kalam Hidup : Bandung.
Conner, Kevin J., 2004. The Fondation of Christian Doctrine. Terjemahan, Pernerbit Gandum Mas: Malang.
Cornish, Rick., 2007. Five Minute Theologian. Terjemahan, Penerbit Pionir Jaya : Bandung.
Chung, Sung Wook., 2011. Systematic Theology Made Easy. Terjemahan, Penerbit Visi Press: Bandung.
Enns, Paul., 2000. Approaching God, jilid 1. Terjemahan, Penerbit Interaksara : Batam.
Enns, Paul., 2004.The Moody Handbook of Theology, jilid 1 & 2. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang.
Erickson J. Millard., 2003. Christian theology. Jilid 1, Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang.
Evans, Tony., 1999. Teologi Allah: Allah Kita Yang Maha Agung. Terjemahan, Penerbit Kalam Hidup : Bandung.
Geisler, Norman dan David Geiler., 2010. Coversational Evangelism. Terjemahan, Penerbit Yayasan Gloria: Yogyakarta.
Grudem, Wayne., 1994. Systematic Theology: A Introduction to a Biblical Doctrine. Zodervan Publising House: Grand Rapids, Michigan.
Grudem, Wayne., 2009. Christian Beliefs. Terjemahan, Penerbit Metanonia Publising: Jakarta.
Handiwijono, Harun, 1999. Iman Kristen, Penerbit BPK Gunung Mulia : Jakarta.
Horton, Michael., 2017. Core Christianity. Terjemahan, Penerbit Katalis : Yogyakarta.
Kreeft, Peter & Ronald K. Tacell., 1994. Pedoman Apologetika Kristen. Jilid 1 Terjemahan, Penerbit Yayasan Kalam Hidup: Bandung.
Menzies, William W & Stanley M. Horton., 2003. Bible Doctrines: A Pentekcostal Perspective. Terjemahan, Penebit Gandum Mas : Malang.
Milne, Bruce., 2000. Knowing The Truth : A Handbook of Christian Belief. Terjemahan, Penerbit BPK : Jakarta.
Nieftrik, G.C. van dan Boland, B.J., 1993. Dogmatika Masa Kini. Penerbit BPK Gunung Mulia: Jakarta.
Rhodes, Ron., 2018. Bible Prophecy Answer. Terjemahan, Penerbit Andi: Yogyakarta.
Ryrie, Charles C., 1991. Basic Theology. Jilid 1, Terjemahan, Penerbit Andi Offset : Yogyakarta.
Sproul, R.C., 1997. Essential Truths of the Christian Faith. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang.
Soedarmo, R.,1984. Ikhtisar Dogmatika. BPK Gunung Mulia : Jakarta.
Susabda, Yakub B., 2010. Mengenal dan Bergaul Dengan Allah. Penerbit Andi Offset : Yogyakarta.
Thiessen, Henry C., 1992. Lectures in Systematic Theology, direvisi Vernon D. Doerksen. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang.
Van Til, Cornelius., 2010. An Introduction to Systematic Theology: Prolegomena and the Doctrine of Revelation, Scripture, and God. Terjemahan, Penerbit Momentum : Jakarta.
William, J. Rodman., 1996. Renewal Theology: Systematic Theology from a Charismatic Perspective. Grand Rapids: Zondervan.
Zuck, Roy B., 2014. Hermeneutik: Basic Bible Interpretation. Terjemahan, Penerbit gandum Mas: Malang.
[1] Boice, James M., 2011. Fondations Of The Christian Faith: A Comprehensive And Readable Theology. Terjemahan, Penerbit Momentum : Jakarta, hal. 152.
[2] Conner, Kevin J., 2004. The Fondation of Christian Doctrine. Terjemahan, Pernerbit Gandum Mas: Malang, hal. 116-117.
[3] Thiessen, Henry C., 1992. Lectures in Systematic Theology, direvisi Vernon D. Doerksen. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang, hal. 126
[4] Van Til, Cornelius., 2010. An Introduction to Systematic Theolog: Prolegomena and the Doctrine of Revelation, Scripture, and God. Terjemahan, Penerbit Momentum : Jakarta, hal. 383.
[5]Apa yang dianggap kesalahan dan kontradiksi oleh para kritikus sebenarnya adalah kesulitan, misteri dan paradoksi. Kontradiksi tidak dapat dijelaskan dan melanggar hukum logika, tetapi kesulitan, misteri dan paradoksi tidak melanggar hukum logika. Kesulitan bisa dicari solusinya. Misteri adalah hal-hal yang belum ditemukan jawabannya tetapi suatu saat pada masa yang akan datang akan disingkapkan dan ditemukan jawabannya. Paradoksi bukanlah kontradiksi! Kontradiksi tidak dapat dijelaskan, sedangkan paradoksi dapat dijelaskan. Paradoksi sepertinya bertentangan tetapi bila dicermati maka akan ditemukan penjelasannya.
[6] Geisler, Norman dan David Geiler., 2010. Coversational Evangelism. Terjemahan, Penerbit Yayasan Gloria: Yogyakarta, hal. 255
[7] Grudem, Wayne., 2009. Christian Beliefs. Terjemahan, Penerbit Metanonia Publising: Jakarta, hal. 19.
[8] Boice, James M., Fondations Of The Christian Faith: A Comprehensive And Readable Theology, hal. 151.
[9] Horton, Michael., 2017. Core Christianity. Terjemahan, Penerbit Katalis : Yogyakarta, hal. 64.
[10] Ryrie, Charles C., 1991. Basic Theology. Jilid 1, Terjemahan, Penerbit Andi Offset : Yoyakarta, hal. 50.
[11] Erickson J. Millard., 2003. Christian theology. Jilid 1, Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang, hal. 446.
[12] Arrington, French L., 2015. Christian Doctrine A Pentacostal Perspective. Terjemahan, Penerbit Andi : Yogyakarta, hal. 89.
[13] Thiessen, Henry C., 1992. Lectures in Systematic Theology, direvisi Vernon D. Doerksen. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang, hal. 125-126.
[14] Arrington, French L., 2015. Christian Doctrine A Pentacostal Perspective. Terjemahan, Penerbit Andi : Yogyakarta, hal. 89.
[15] Erickson J. Millard., 2003. Christian theology. Jilid 1, Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang, hal. 448.
[16] Tuhan kita Yesus Kristus menyingkapkan hakikat atau esensi Allah ketika mengatakan “God is a Spirit” atau “Allah adalah Roh” (Yohanes 4:24). Kata “Roh (Pneuma)” itu ditulis tanpa kata penunjuk penentu.
[17] Evans, Tony., 1999. Teologi Allah: Allah Kita Yang Maha Agung. Terjemahan, Penerbit Kalam Hidup : Bandung, hal. 57.
18] Kreeft, Peter & Ronald K. Tacell., 1994. Pedoman Apologetika Kristen. Jilid 1 Terjemahan, Penerbit Yayasan Kalam Hidup: Bandung, hal. 121.
[19] Susabda, Yakub B., 2010. Mengenal dan Bergaul Dengan Allah. Penerbit Andi Offset : Yogyakarta., hal. 143.
[20] Thiessen, Henry C., Lectures in Systematic Theology, direvisi Vernon D. Doerksen. hal. 126.
[21] Ibid, hal. 125.
[22] Grudem, Wayne., Christian Beliefs., hal. 19.
[23] Erickson J. Millard., Christian theology, hal. 446.
[24] Thiessen, Henry C., hal. 125.
[25] Erickson J. Millard., hal. 446-477..
[26] Beker, Charles. F., 1994. A Dispensasional Theology. Terjemahan, Penerbit Alkitab Anugerah: Jakarta, hal. 175.
[27] Ibid.
[28] Van Til, Cornelius., hal. 385.
[29] Beker, Charles. F., A Dispensasional Theology. hal. 176.
[30] Van Til, Cornelius., An Introduction to Systematic Theology: Prolegomena and the Doctrine of Revelation, Scripture, and God. hal. 384.
[31] Thiessen, Henry C., hal. 126.
[32] Erickson J. Millard., hal. 448.
[33] Rhodes, Ron., 2018. Bible Prophecy Answer. Terjemahan, Penerbit Andi: Yogyakarta, hal. 7.
[34] Erickson J. Millard., hal. 477.
[35] Selain antropomorfisme dan antropopastisme ada lagi ungkapan zoomorfisme yang menggambarkan Allah dengan ciri-ciri hewan, suatu cara yang ekspresif untuk memperlihatkan tindakan atau sifat tertentu dari Allah dengan cara yang indah. Misalnya, di dalam Mazmur 91:4 Allah digambarkan bagaikan seekor induk rajawali yang melindungi anak-anaknya ketika Pemazmur mengatakan, “Dengan kepakNya Ia akan akan menudungi engkau, dibawah sayapNya engkau akan berlindung.” (Zuck, Roy B., 2014.Hermeneutik: Basic Bible Interpretation. Terjemahan, Penerbit gandum Mas: Malang, hal. 165).
[36] Ibid.
[37] Kata “menyesal” bahasa Ibraninya “nâcham”, secara leksikal tidak harus berarti “menyesal”. Menurut Strong kata “nâcham” bias berarti “to be sorry, console oneself, repent, regret, comfort, be comforted. Dan kata “menyesal ini tidak harus berarti negatif yang menunjukkan Allah berubah. Dari konteksnya kita bisa menemukan makna sebenarnya.
(http://www.blueletterbible.org/lang/lexicon/lexicon.cfm?Strongs=H5162&t=KJV)
[38] Van Til, Cornelius., hal. 384.
[39] Berkhof, Louis., 2011. Systematic Theology. Jilid 1, Terjemahan, Penerbit Momentum: Jakarta, hal. 94.
[40] Beker, Charles. F., hal. 176.
[41] Sproul, R.C., 1997. Essential Truths of the Christian Faith. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang, hal. 111.
[42] Van Til, Cornelius., hal. .
[43] Cornish, Rick., 2007. Five Minute Theologian. Terjemahan, Penerbit Pionir Jaya : Bandung, hal. 93-94.
[44] Ibid, hal. 95.
[45] Boice, James M., Fondations Of The Christian Faith: A Comprehensive And Readable Theology, hal. 151. ALLAH YANG TIDAK BERUBAH.
https://teologiareformed.blogspot.com/
Next Post Previous Post