I YOHANES 2:7-11 (PERINTAH UNTUK MENGASIHI)

Pdt.Budi Asali, M.Div.
1Yohanes 2:7-11 - “(7) Saudara-saudara yang kekasih, bukan perintah baru yang kutuliskan kepada kamu, melainkan perintah lama yang telah ada padamu dari mulanya. Perintah lama itu ialah firman yang telah kamu dengar. (8) Namun perintah baru juga yang kutuliskan kepada kamu, telah ternyata benar di dalam Dia dan di dalam kamu; sebab kegelapan sedang lenyap dan terang yang benar telah bercahaya. (9) Barangsiapa berkata, bahwa ia berada di dalam terang, tetapi ia membenci saudaranya, ia berada di dalam kegelapan sampai sekarang. (10) Barangsiapa mengasihi saudaranya, ia tetap berada di dalam terang, dan di dalam dia tidak ada penyesatan. (11) Tetapi barangsiapa membenci saudaranya, ia berada di dalam kegelapan dan hidup di dalam kegelapan. Ia tidak tahu ke mana ia pergi, karena kegelapan itu telah membutakan matanya”.
I YOHANES 2:7-11 (PERINTAH UNTUK MENGASIHI)
bisnis, gadget
Dalam 1 Yohanes 2:1,3-6 rasul Yohanes sudah menekankan keharusan mentaati Firman Tuhan. Sekarang dalam bagian ini ia menyoroti satu perintah tertentu, yaitu perintah untuk mengasihi.

I) Perintah untuk mengasihi.

1) Ia memulai dengan menyebut pembacanya sebagai ‘saudara-saudara yang kekasih’.

KJV: ‘Brethren’ (= Saudara-saudara).

RSV/NASB: ‘Beloved’ (= Yang kekasih).

NIV: ‘Dear friends’ (= Teman-teman yang kekasih).

Lit: ‘beloved’ (= Yang kekasih).

Adam Clarke berkata bahwa ada manuscripts yang menggunakan kata ADELPHOI [= brethren (= saudara-saudara)], dan ada manuscripts yang menggunakan AGAPETOI [= beloved (= yang kekasih)]. Ia berpendapat yang benar adalah AGAPETOI.

Herschel H. Hobbs mengutip kata-kata David Smith yang berkata: “About to enjoin love, he begins by loving” (= Mau memerintahkan kasih, ia mulai dengan mengasihi) - hal 47.

William Barclay: “There is something very lovely here. So much of this letter is a warning; and parts of it are rebuke. When we are warning people or rebuking them, it is so easy to become coldly critical; it is so easy to scold; it is even possible to take a cruel pleasure in seeing people wince under our verbal lash. But, even when he has to say hard things, the accent of John’s voice is love. He had learned the lesson which every parent, every teacher, every leader must learn; he had learned to speak the truth in love” (= Ada sesuatu yang sangat bagus di sini. Banyak bagian dari surat ini merupakan peringatan; dan bagian-bagian tertentu merupakan teguran. Pada saat kita memperingatkan atau menegur / memarahi seseorang, adalah begitu mudah untuk mempunyai sikap kritis yang dingin; adalah begitu mudah untuk menghardik / mencaci; bahkan adalah sesuatu yang memungkinkan untuk mempunyai perasaan senang yang kejam pada saat melihat orang-orang mengkeret di bawah cambukan kata-kata kita. Tetapi, bahkan pada saat ia harus mengatakan hal-hal yang keras, nada dari suara Yohanes adalah kasih. Ia telah mempelajari pelajaran yang harus dipelajari oleh setiap orang tua, guru, dan pemimpin; ia telah belajar untuk mengatakan kebenaran dalam kasih) - hal 44.

Catatan: saya berpendapat bahwa sekalipun kita bisa belajar sesuatu dari kata-kata Barclay ini, tetapi kata-kata ini tidak sepenuhnya benar. Bagaimana ia bisa tahu tentang nada suara Yohanes, padahal ia tidak mendengar suara Yohanes, tetapi membaca surat / tulisannya? Juga kalau di suatu bagian ia mengatakan ‘saudara-saudara yang kekasih’ dengan lembut, tidak berarti bahwa di bagian lain ia tidak bisa memberikan teguran dengan nada yang keras, kalau itu memang dibutuhkan. Saya tidak bisa membayangkan bahwa Yesus mengucapkan Mat 23:13-36, atau bahwa Yohanes Pembaptis mengucapkan Matius 3:7-12, dengan nada lembut. Sekalipun sukar, tetapi adalah mungkin untuk mengatakan sesuatu dengan nada keras, tetapi dengan hati yang kasih!

2) Perintah lama (1Yohanes 2: 7).

a) ‘Dari mulanya’ (1Yohanes 2: 7).

KJV: ‘Brethren, I write no new commandment unto you, but an old commandment which ye had from the beginning. The old commandment is the word which ye have heard from the beginning’ (= Saudara-saudara, aku tidak menuliskan perintah baru kepadamu, tetapi perintah lama yang engkau miliki dari semula. Perintah lama itu adalah firman yang telah engkau dengar dari semula).

Jadi, dalam KJV ada 2 x kata-kata ‘from the beginning’ (= dari semula). Pada ay 7a kata-kata ini orisinil, tetapi pada ay 7b dianggap sebagai penambahan, sehingga versi-versi lain membuang bagian ini.

Dalam kontex ini mungkin kata-kata ‘dari semula / mulanya’ ini artinya adalah: sejak kamu menjadi Kristen, dan lalu menerima ajaran bagaimana kamu harus hidup (Hobbs, hal 49).

b) Ia menyebutnya sebagai ‘perintah lama’ (1Yohanes 2: 7).

Calvin (hal 178) mengatakan bahwa bagian ini menunjukkan bahwa sekalipun perintah itu lama / kuno, tetapi karena itu adalah Firman Allah yang kekal, maka itu tetap berlaku sampai sekarang dan sampai selama-lamanya. Karena itu, janganlah mengabaikan Kitab Suci dengan alasan Kitab Suci sudah ketinggalan jaman!

Saya berpendapat bahwa ini juga berlaku untuk buku-buku kuno / yang ditulis oleh penafsir-penafsir kuno. Memang harus diakui bahwa kadang-kadang buku-buku kuno itu salah / mempunyai kekurangan, karena adanya hal-hal yang pada saat itu belum diketahui, tetapi hal-hal yang seperti ini hanya sangat sedikit. Menurut saya, secara umum, buku-buku kuno justru jauh lebih bagus dari buku-buku yang baru. Yang jelas, meremehkan buku-buku kuno, merupakan suatu sikap yang bodoh. Ini saya tekankan karena Ev. Yakub Tri Handoko, Th. M. dari GKRI EXODUS berulangkali mengatakan bahwa buku-buku kuno itu jelek, ketinggalan jaman dan sebagainya. Rupanya dia tidak menyadari kekalnya Firman Tuhan.

Calvin juga beranggapan bahwa tetap berlakunya Firman Allah yang kekal itu menyebabkan itu juga disebut perintah yang baru.

Calvin: “It was, however, necessary that this should be added, for as men are more curious than what they ought to be, there are many who always seek something new. Hence there is a weariness as to simple doctrine, which produces innumerable prodigies of errors, when every one gapes continually for new mysteries” (= Tetapi adalah perlu bahwa hal ini ditambahkan, karena manusia lebih ingin tahu dari yang seharusnya, sehingga ada banyak orang yang selalu mencari sesuatu yang baru. Karena itu ada kebosanan berkenaan dengan doktrin / ajaran yang sederhana, yang menghasilkan banyak kesalahan yang tak terhitung, pada waktu setiap orang terus menerus terbuka terhadap misteri-misteri yang baru) - hal 178.

Saya merasa di banyak gereja / persekutuan ada orang-orang yang bosan dengan Firman Tuhan, dan entah apa yang diinginkan! Sebaiknya setiap orang seperti itu bertanya kepada diri sendiri: ‘Apa yang aku cari?’.

3) Perintah baru (1Yohanes 2: 8).

a) Bandingkan ini dengan kata-kata Yesus dalam Yohanes 13:34-35 - “(34) Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. (35) Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-muridKu, yaitu jikalau kamu saling mengasihi”.

b) Lama tetapi baru?

1Yohanes 2: 7-8 bisa diartikan sebagai berikut: dalam arti tertentu itu bukan perintah baru, tetapi dalam arti yang lain (atau pada saat yang sama) itu adalah perintah baru [John Stott (Tyndale), hal 92].

Dan sekalipun 1Yohanes 2: 7-8 ini tidak mengatakan secara explicit apa perintah itu, tetapi dari ay 9-11 terlihat dengan jelas bahwa perintah yang dimaksudkan adalah perintah untuk mengasihi sesama.

Bdk. 2Yoh 5 - “Dan sekarang aku minta kepadamu, Ibu - bukan seolah-olah aku menuliskan perintah baru bagimu, tetapi menurut perintah yang sudah ada pada kita dari mulanya - supaya kita saling mengasihi”.

Stott juga mengatakan (hal 93) bahwa secara umum kasih kepada sesama merupakan perintah lama (karena sudah ada dalam Im 19:18), tetapi Yesus Kristus memberikan arti yang lebih kaya dan lebih dalam. Itu baru dalam:

1. Hal penekanan, karena Ia menggabungkan Ul 6:5 dan Im 19:18 dan menyatakan bahwa seluruh pengajaran hukum Taurat dan kitab para nabi tergantung pada kedua hukum ini (Matius 22:37-40).

2. Hal kwalitet, karena kita bukan hanya harus mengasihi sesama seperti diri sendiri (Matius 22:37) tetapi juga seperti Kristus telah mengasihi kita (Efesus 4:32).

3. Jangkauannya.

William Barclay: “It became new in the extent to which it reached. In Jesus love reached out to the sinner. To the orthodox Jewish Rabbi the sinner was a person whom God wished to destroy. ‘There is joy in heaven,’ they said, ‘when one sinner is obliterated from the earth.’ But Jesus was the friend of outcast men and women and of sinners, and he was sure that there was joy in heaven when one sinner came home. In Jesus love reached out to the Gentile. As the Rabbi saw it: ‘The Gentiles were created by God to be fuel for the fires of Hell.’ But in Jesus God so loved the world that he gave his Son. Love became new in Jesus because he widened its boundaries until there were none outside its embrace” (= Itu menjadi baru dalam jangkauannya. Dalam Yesus kasih menjangkau orang berdosa. Bagi seorang Rabi Yahudi yang orthodox, orang berdosa adalah orang yang Allah ingin hancurkan. ‘Ada sukacita di surga’, kata mereka, ‘pada saat seorang berdosa dihapuskan / dilenyapkan dari bumi’. Tetapi Yesus adalah sahabat dari orang-orang buangan dan orang-orang berdosa, dan Ia yakin bahwa ada sukacita di surga pada saat seorang berdosa pulang / bertobat. Dalam Yesus kasih menjangkau orang-orang non Yahudi. Sebagaimana seorang Rabi melihatnya ‘Orang-orang non Yahudi diciptakan oleh Allah untuk menjadi bahan bakar bagi api neraka’. Tetapi dalam Yesus Allah begitu mengasihi dunia ini sehingga Ia memberikan AnakNya. Kasih menjadi baru dalam Yesus karena Ia memperlebar batasannya sampai tidak seorangpun yang berada di luar jangkauannya) - hal 45.

Saya sendiri tidak terlalu setuju dengan point yang terakhir ini, karena Perjanjian Lama juga mengajarkan untuk:

· menyadarkan orang berdosa (Yehezkiel 3:18).

· menolong orang non Yahudi (Keluaran 22:21 Im 19:10 Im 23:22 Ul 10:19).

· mengasihi musuh (Kel 23:4,5 Amsal 24:17 Amsal 25:21).

Yang mengajar seperti yang dikatakan oleh Barclay di atas bukanlah Perjanjian Lama, tetapi ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi.

II) Kasih dan terang, benci dan kegelapan.

Stott (Tyndale): “Light and love, darkness and hatred belong together” (= Terang cocok dengan kasih, kegelapan cocok dengan kebencian) - hal 94.

1) Kegelapan yang digantikan terang.

1Yohanes 2: 8b: ‘sebab kegelapan sedang lenyap dan terang yang benar telah bercahaya’.

Hobbs mengatakan bahwa tenses yang digunakan untuk kata kerja di sini adalah present. Hobbs juga mengatakan bahwa sekalipun kegelapan merupakan simbol dari kejahatan, tetapi juga bisa menunjuk pada masa sebelum ada kekristenan. Jadi, dengan kata-kata ini Yohanes memaksudkan suatu proses. Jaman kegelapan belum sepenuhnya disingkirkan, tetapi jaman Terang telah muncul, dan secara perlahan-lahan menghapuskan kegelapan. Tetapi ini baru akan tercapai sepenuhnya pada kedatangan Yesus yang keduakalinya.

Clarke mengatakan bahwa dunia kafir itu gelap total, dan jaman Taurat (Perjanjian Lama) juga gelap dibandingkan dengan jaman Kristen (Perjanjian Baru).

Calvin: “the knowledge of Christ alone is sufficient to dissipate darkness. Hence, daily progress is necessary and the faith of every one has its dawn before it reaches the noon-day” (= pengenalan terhadap Kristus saja yang cukup untuk menghapuskan kegelapan. Karena itu, kemajuan setiap hari merupakan sesuatu yang perlu dan iman dari setiap orang mempunyai ‘saat terbit’ sebelum itu mencapai ‘tengah hari’) - hal 179.

Pertanyaan: apakah ayat ini benar? Mengingat bahwa makin dekat akhir jaman dikatakan kejahatan makin merajalela, orang makin tidak mau mendengar kebenaran, ajaran sesat semakin banyak, dsb? Atau, apakah ayat ini hanya ditujukan kepada gereja? Kelihatannya John Stott mengambil pandangan ini.

John Stott (Tyndale): “Christians have been delivered out of this present evil age (Gal. 1:4) and have already begun to taste the powers of the age to come (Heb. 6:5; cf. 1Cor. 10:11)” [= Orang-orang Kristen telah dibebaskan dari jaman yang jahat sekarang ini (Gal 1:4) dan telah mulai merasakan kuasa dari jaman yang akan datang (Ibrani 6:5; bdk. 1Korintus 10:11)] - hal 93.

2) Pengakuan dan kenyataan / fakta.

1Yohanes 2: 9-10: “(9) Barangsiapa berkata, bahwa ia berada di dalam terang, tetapi ia membenci saudaranya, ia berada di dalam kegelapan sampai sekarang. (10) Barangsiapa mengasihi saudaranya, ia tetap berada di dalam terang, dan di dalam dia tidak ada penyesatan”.

a) Kata ‘membenci’ dalam 1Yohanes 2: 9 ada dalam bentuk present, dan menunjukkan keadaan terus menerus (hidup dalam kebencian).

Jadi, kalau seseorang kristen jatuh dalam kebencian untuk sementara waktu saja, maka itu tidak menunjukkan bahwa ia bukan orang kristen yang sejati, tetapi bagaimanapun itu adalah dosa.

Herschel H. Hobbs: “It is a sin to hate or despise any person. Even if you do not like his ways, you should love him as a person” (= Merupakan suatu dosa untuk membenci atau meremehkan siapapun. Bahkan jika engkau tidak menyenangi caranya, engkau harus mengasihinya sebagai pribadi) - hal 51.

Karena itu kita harus berusaha untuk saling mengasihi.

Herschel H. Hobbs: “Christians may cease to agree, but they should never cease to love” (= Orang-orang Kristen boleh berhenti untuk setuju, tetapi mereka tidak pernah boleh berhenti untuk mengasihi) - hal 51.

Sebetulnya bukan hanya ‘membenci’ yang merupakan dosa, tetapi juga ‘egoisme’, ‘tidak kasih’ atau ‘tidak peduli perasaan orang lain’.

Ada cerita tentang 3 orang yang perahunya terkena badai sehingga hancur, dan mereka terdampar di suatu pulau yang kosong. Setelah sekitar 1 minggu di sana, orang pertama, seorang pemilik peternakan merasa sedih karena ia kangen dengan peternakannya. Demikian juga orang kedua, yang adalah seorang sopir taxi, ingin sekali pulang. Tetapi orang ketiga, yang adalah seorang yang santai, menikmati keberadaan mereka di pulau itu, dan ia merasa tenang di sana. Suatu hari pada saat mereka sedang berjalan-jalan di pulau itu, mereka menemukan sebuah lampu kuno, dan ketika seorang dari mereka menggosok lampu itu, seorang jin keluar dari lampu itu, dan berkata: ‘Karena kalian telah melepaskan aku dari penjaraku, aku akan mengabulkan masing-masing kalian satu permintaan’. Orang pertama dan kedua senang sekali, dan orang pertama lalu berkata: ‘Aku kangen dengan peternakanku, aku ingin engkau mengembalikan aku ke sana’. Jin menjawab: ‘OK’, dan ‘puff’, orang pertama hilang dan kembali ke peternakannya. Orang kedua lalu berkata: ‘Aku juga kangen dengan taxiku, dan aku minta engkau mengembalikan aku ke taxiku’. Jin menjawab: ‘OK’, dan ‘puff’, orang kedua juga hilang dan kembali ke taxinya. Jin lalu bertanya kepada orang ketiga: ‘Dan apa yang engkau inginkan?’. Orang ketiga menjawab: ‘Ah, aku merasa agak kesepian dengan perginya teman-temanku. Aku ingin mereka kembali ke sini bersama aku’. ‘Puff, puff’.

Ini contoh orang yang egois, dan sama sekali tidak peduli perasaan orang lain.

b) Pengakuan yang bertentangan dengan kenyataan / fakta.

Pulpit Commentary: “Let a man talk as largely and as loudly as he may, if he loves not, he is in the dark” (= Biarlah seseorang berbicara sebanyak dan sekeras yang ia bisa lakukan, jika ia tidak mengasihi, ia ada dalam kegelapan) - hal 34.

Pulpit Commentary: “The only possible proof that we can give that we love Jesus is by loving those for whom he died and in whom he lives, for his sake - by loving them as he loved us” (= Satu-satunya bukti yang memungkinkan yang bisa kita berikan bahwa kita mengasihi Yesus adalah dengan mengasihi mereka, untuk siapa Ia mati dan dalam siapa Ia tinggal, demi Dia - dengan mengasihi mereka seperti Ia mengasihi kita) - hal 34.

Herschel H. Hobbs: “Outward attitudes reveal inner conditions in our lives, and love for others or love’s opposite, hate, reveals whether we live in light or darkness. To put it another way, whether or not one is a Christian” (= Sikap lahiriah menyatakan kondisi di dalam dalam kehidupan kita, dan kasih kepada orang-orang lain atau lawan dari kasih, benci, menyatakan apakah kita hidup dalam terang atau kegelapan. Dengan kata lain, apakah seseorang Kristen atau bukan) - hal 50.

Herschel H. Hobbs: “Mere outward profession is not enough, but the attitude of one’s heart and the outward deeds of his life must confirm such a profession. Sadly the condition John describes in churches of the first century still exists, which is evidenced by strife within churches today. John’s words should cause us to examine our hearts with respect to those of the church fellowship. At times even Christians permit darkness to reign in their relationship with their brethren. We should both believe in Christ and permit him to be Lord in our lives” (= Semata-mata pengakuan lahiriah tidaklah cukup, tetapi sikap dari hati seseorang dan tindakan lahiriah dari kehidupannya harus meneguhkan pengakuan tersebut. Sungguh menyedihkan bahwa keadaan yang digambarkan oleh Yohanes dalam gereja-gereja abad pertama tetap ada, yang dibuktikan oleh percekcokan dalam gereja-gereja jaman ini. Kadang-kadang bahkan orang-orang Kristen mengijinkan kegelapan berkuasa dalam hubungan mereka dengan saudara-saudara mereka. Kita harus percaya kepada Kristus, dan juga mengijinkan Ia untuk menjadi Tuhan dalam kehidupan kita) - hal 51.

3) Akibat adanya kebencian / tidak adanya kasih.

1Yohanes 2: 10: “Barangsiapa mengasihi saudaranya, ia tetap berada di dalam terang, dan di dalam dia tidak ada penyesatan”.

NASB: ‘and there is no cause for stumbling in him’ (= dan di sana tidak ada penyebab untuk tersandung dalam dia).

Ada beberapa penafsiran tentang bagian ini:

a) Kalau seorang kristen hidup dalam kasih maka ia tidak akan membuat orang lain tersandung.

b) Kalau seorang kristen hidup dalam kasih maka tidak ada apapun yang menyebabkan ia tersandung (Barclay, Calvin).

Editor dari Calvin’s Commentary mengatakan bahwa:

· terjemahan hurufiahnya adalah: ‘and to him there is not a stumblingblock’ (= dan baginya tidak ada batu sandungan). Ia tidak akan seperti orang yang dibicarakan dalam ay 11.

Catatan: kata Yunani yang diterjemahkan ‘to’ (= bagi) adalah EN, yang bisa berarti ‘in’ (= dalam), tetapi kadang-kadang juga bisa berarti ‘to’ (= bagi), seperti dalam Kolose 1:23 dan 1Tesalonika 4:7 (lihat KJV untuk kedua ayat ini).

· ini mungkin diambil dari Mazmur 119:165 - “Besarlah ketenteraman pada orang-orang yang mencintai TauratMu, tidak ada batu sandungan bagi mereka”.

c) Hobbs dan Clarke menggabungkan kedua pandangan ini.

Yang mana yang benar? Kita harus menafsirkannya berdasarkan kontextnya. Karena itu, perhatikan ay 11nya yang berbunyi: “Tetapi barangsiapa membenci saudaranya, ia berada di dalam kegelapan dan hidup di dalam kegelapan. Ia tidak tahu ke mana ia pergi, karena kegelapan itu telah membutakan matanya”.

Karena 1Yohanes 2:11 berbicara tentang kebutaan orang yang mempunyai kebencian, maka kelihatannya pandangan kedualah yang benar.

Pulpit Commentary: “No love, no light. ... Such a walk in the darkness will issue in his losing the power of seeing” (= Tidak ada kasih, tidak ada terang. ... Berjalan dalam kegelapan seperti itu akan menyebabkan ia kehilangan kemampuan untuk melihat) - hal 34.

Stott (Tyndale): “Hatred distorts our perspective. We do not first misjudge people and then hate them as a result; our view of them is already jaundiced by our hatred. It is love which sees straight, thinks clearly and makes us balanced in our outlook, judgments and conduct” (= Kebencian merusak pemandangan kita. Kita bukannya mula-mula salah menilai orang dan sebagai akibatnya lalu membencinya; pandangan kita tentang mereka sudah berprasangka oleh kebencian kita. Adalah kasih yang melihat dengan lurus, berpikir dengan bersih dan membuat kita seimbang dalam pandangan, penghakiman / penilaian dan tingkah laku kita) - hal 95.

William Barclay: “hatred makes a man blind and this, too, is perfectly obvious. When a man has hatred in his heart, his powers of judgment are obscured; he cannot see an issue clearly. It is no uncommon sight to see a man opposing a good proposal simply because he dislikes, or has quarrelled with, the man who made it. Again and again progress in some scheme of a church or an association is held up because of personal animosities. No man is fit to give a verdict on anything while he has hatred in his heart; and no man can rightly direct his own life when hatred dominates him” (= kebencian membuat seseorang buta, dan hal ini juga sangat jelas. Pada saat seseorang mempunyai kebencian dalam hatinya, kemampuannya untuk menilai menjadi kabur; ia tidak bisa melihat suatu persoalan dengan jelas. Tidak jarang kita melihat seseorang menentang suatu usul yang baik hanya karena ia tidak menyenangi, atau telah bertengkar dengan, orang yang mengusulkan hal itu. Berulang-ulang kemajuan dalam maksud / rencana yang baik dari suatu gereja atau suatu perkumpulan, terhalang karena kebencian / permusuhan pribadi. Tidak seorangpun yang layak untuk memberikan suatu keputusan tentang apapun sementara ia mempunyai kebencian dalam hatinya; dan tidak seorangpun bisa mengarahkan hidupnya sendiri dengan benar pada saat kebencian menguasainya) - hal 49.

William Barclay: “it is much more likely that John is saying that, if we love our brother, there is nothing in us which causes ourselves to stumble. That is to say, love enables us to make progress in the spiritual life and hatred makes progress impossible. ... If God is love and if the new commandment of Christ is love, then love brings us nearer to men and to God and hatred separates us from men and from God. We ought always to remember that he who has in his heart hatred, resentment and the unforgiving spirit, can never grow up in the spiritual life” (= adalah lebih mungkin bahwa Yohanes berkata bahwa jika kita mengasihi saudara kita, tidak ada apapun di dalam kita yang menyebabkan diri kita sendiri tersandung. Artinya, kasih memungkinkan kita untuk membuat kemajuan dalam kehidupan rohani dan kebencian membuat kemajuan itu mustahil. ... Jika Allah itu kasih dan jika perintah yang baru dari Kristus adalah mengasihi, maka kasih membawa kita lebih dekat kepada sesama dan kepada Allah, dan kebencian memisahkan kita dari sesama dan dari Allah. Kita harus selalu mengingat bahwa ia yang dalam hatinya mempunyai kebencian, kemarahan / dendam dan roh yang tidak mengampuni, tidak pernah bisa bertumbuh dalam kehidupan rohani) - hal 48-49.

Jadi, dengan kita mengasihi kita menguntungkan diri kita sendiri, dan sebaliknya, dengan membenci kita merugikan diri kita sendiri (catatan: tetapi tentu saja ini tidak boleh menjadi motivasi kita dalam mengasihi!).

E. Stanley Jones: “A rattle snake, if cornered, will sometimes become so angry it will bite itself. That is exactly what the harboring hate and resentment against others is - a biting of oneself. We think that we are harming others in holding these spites and hates, but the deeper harm is to ourselves” (= Seekor ular derik, jika terpojok, kadang-kadang akan menjadi begitu marah sehingga ia menggigit dirinya sendiri. Itulah persisnya kebencian dan kemarahan / dendam yang kita miliki terhadap orang-orang lain - suatu gigitan dari / terhadap diri sendiri. Kita mengira bahwa kita merugikan orang-orang lain pada waktu kita mempertahankan dendam dan kebencian, tetapi kerugian yang lebih dalam adalah bagi diri kita sendiri) - Reader’s Digest.

Kesimpulan / penutup.

Herschel H. Hobbs: “Because the Jews heard it so much, the summary of the Decalogue had become mere written words. This is seen in the Jewish lawyer’s question, ‘And who is my neighbour?’ (Luke 10:29). To him the command to love his neighbor as himself had become a subject to be debated, not a principle to be practiced” [= Karena orang-orang Yahudi mendengarnya begitu banyak, ringkasan dari 10 hukum Tuhan telah menjadi semata-mata kata-kata tertulis. Ini terlihat dalam pertanyaan dari ahli Taurat Yahudi: ‘Dan siapakah sesamaku manusia?’ (Luk 10:29). Baginya perintah untuk mengasihi sesama seperti diri sendiri telah menjadi suatu pokok untuk diperdebatkan, bukan suatu prinsip untuk dipraktekkan] - hal 48-49.

Jangan menjadi seperti ahli Taurat itu! Marilah kita mempraktekkan kasih, misalnya dengan mengampuni orang yang bersalah kepada kita, dan dengan menolong orang yang membutuhkan pertolongan kita.

Saya ingin menutup khotbah ini dengan suatu cerita. Dalam satu majalah Reader’s Digest diceritakan tentang seorang polisi berusia 60 tahun yang tertembak mati. Cerita itu masuk siaran TV, dan besoknya janda dari polisi itu, yang juga sudah tua, menerima sebuah amplop berisi ucapan turut berdukacita, yang ditanda-tangani oleh seorang yang tidak pernah ia kenal, disertai selembar check senilai $ 20.000, disertai dengan catatan bahwa ia akan menerima check seperti itu setiap tahun, selama sisa hidupnya.

Pemberi yang dermawan itu bernama Milton Petrie, seorang jutawan Amerika. Mengapa ia bisa bersikap seperti itu? Karena ia ingat bahwa dulu, sebagai anak dari seorang imigran Rusia yang menetap di Amerika, ia sangat miskin. Ia ingat bahwa ia harus memakai sepatu yang berlubang pada bagian telapaknya sehingga harus selipi semacam karton di dalam sepatu itu. Tetapi setelah bekerja, ia lalu menjadi kaya. Ia pernah bangkrut, tetapi ia bangkit kembali. Itu menyebabkan ia beranggapan bahwa sukses / kekayaan merupakan sesuatu yang sangat rapuh, dan karena itu selama 30 tahun terakhir ia secara diam-diam membagikan kekayaannya kepada orang-orang yang membutuhkan. Setiap kali ia mendengar suatu tragedi yang menyedihkan, melalui TV atau koran atau teman, ia memberikan bantuannya. Dan dalam artikel tersebut diceritakan banyak orang yang menerima bantuannya.


Bahwa namanya bisa diketahui orang dan masuk majalah, bukan terjadi karena ia sengaja memamerkan kedermawanannya, tetapi karena pekerjaan wartawan yang menyelidikinya. Ia sendiri sebetulnya ingin melakukan semua itu secara rahasia.

Ia sudah berusia 88 tahun, tetapi ia tetap rajin bekerja di kantornya. Pada waktu ditanya mengapa ia tetap bekerja dengan begitu keras, ia menjawab: ‘Makin banyak saya bekerja, makin banyak uang yang saya hasilkan, dan makin banyak uang yang saya hasilkan, makin banyak saya bisa memberi’.

Demikianlah ia terus membaca koran dan mendengar pada berita tentang orang-orang yang perlu dibantu. Ia berkata: ‘Bagaimana aku bisa tidak melakukannya? Bagaimanapun juga, saya sedang membayar kembali kepada Tuhan untuk apa yang telah Ia lakukan bagi saya’.

Saudara mungkin bukan jutawan seperti dia, tetapi kita tidak perlu menjadi jutawan untuk bisa menolong orang lain. Lukas 16:10 - “Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar”.

Catatan: Pdt. Budi Asali, M.Div:  meraih gelar Master of Divinity (M.Div) dari Reformed Theological Seminary (RTS), Jackson, Mississippi, United States of America
I YOHANES 2:7-11 (PERINTAH UNTUK MENGASIHI)
-AMIN-
Next Post Previous Post