APAKAH ELOHIM ITU SEBUAH LEMBAGA YANG BERHIRARKI?

Pdt.Samuel Teresia Gunawan, M.Th.
APAKAH ELOHIM ITU SEBUAH LEMBAGA YANG BERHIRARKI?
otomotif, bisnis
SEBUAH TANGGAPAN TERHADAP AJARAN TRITUNGGAL SUBORDINASIONISME ERASTUS SABDONO.

Setelah mempelajari dengan teliti buku-bukuTritunggal (369 halaman), Kristologi (265 halaman) dan Corpus Delicti (164 halaman) yang ditulis Erastus Sabdono dan diterbitkan Rehobot Literatur maka saya menarik benang merah dan menyimpulkan 3 (tiga) hal berikut tentang ajaran-ajarannya, yaitu: 

(1) Ajaran Tritunggal Erastus Sabdono dapat diasosiasikan pada teori Subordinasionisme; 

(2) Ajaran Kristologi Erastus Sabdono, khususnya tentang Pribadi Kristus dapat diasosiasikan pada teori Kenotisisme; dan 

(3) Ajaran Corpus Delicti Erastus Sabdono merupakan teori baru dalam teologi Kristen meskipun isi ajarannya merupakan campuran dari berbagai pikiran, pandangan dan ajaran yang sudah ada di masa lalu. 

Ajaran Corpus Delicti ini saya sebut dengan teori Erastusianismesesuai dengan nama pencetusnya. Hampir semua buku yang ditulis Erastus Sabdono (termasuk Tritunggal, Kristologi, Soteriologi, dan Demonologinya) memasukkan ajaran Corpus Delicti ini. Karena itu bisa dikatakan bahwa Corpus Delicti adalah inti (core) sekaligus pusat (central) dalam teologi Erastus Sabdono. Ketiga teori (Subordinasionisme, Kenotisisme, dan Erastusianisme) tersebut akan saya tanggapi secara bertahap. Pada bagian ini saya secara khusus membahas ajaran Tritunggal Subordinasionisme Erastus Sabdono.

Perlu diketahui bahwa Erastus Sabdono memang mengakui Tritunggal tetapi dari pernyataannya sendiri sebenarnya ia lebih cenderung kepada ajaran Dwitunggal. Menurut Erastus Sabdono bahwa Roh Kudus bukanlah Pribadi mutlak karena Ia merupakan representasi dari Pribadi Bapa sendiri. Berikut kutipan pernyataannya: “Selain pengertian Tritunggal di atas, ada juga penjelasan mengenai Tritunggal yang tidak sama dengan penjelasan di atas.

Tritunggal diyakini memuat tiga Pribadi, yaitu Pribadi Bapa dan Pribadi Anak TunggalNya serta Roh Kudus. Dalam penjelasan kedua ini Roh Kudus tidak dipandang sebagai Roh dari ‘Pribadi lain’, tetapi Roh dari Pribadi Bapa. Jadi Bapa dan Anak adalah Pribadi yang mutlak, sedangkan Roh Kudus adalah milik atau representasi dari Pribadi Bapa. Definisi dari penjelasan yang kedua ini sebenarnya lebih benar dan bisa dipertanggungjawabkan .. tetapi sepatutnya istilah Dwitunggal tidak digunakan, sebab istilah ini akan membangkitkan berbagai asumsi yang salah dan liar” (Erastus Sabdono, Tritunggal, 382-383).

APAKAH SUBORDINASIONISME ITU?

Ajaran Tritunggal Erastus Sabdono dapat diasosiasikan pada teori Subordinasionisme. Pertanyaannya, apakah Subordinasionisme itu? Menurut Welly Pandensolang, teori Subordinasionisme merumuskan konsep Tritunggal dengan cara menempatkan ketiga Pribadi Tritunggal ke dalam sebuah hirarki atau strata tertentu. Teori ini mengajarkan bahwa Pribadi tertinggi dalam Tritunggal adalah Bapa dan bahwa Anak menduduki posisi lebih rendah dari Bapa. Dan Roh Kudus lebih rendah dari Bapa dan Anak. Teori ini berkembang pada era patristik dan berakar pada tokoh-tokoh seperti : Yustin Mantir (100-165 M), Tertullianus (160-225 M), dan Origenes (185-254 M). (Welly Pandensolang, Kristologi Kristen, 18). 

Menurut Louis Berkhof, Tertullianus merupakan orang pertama yang memakai istilah Tritunggal dan memformulasikan doktrin tersebut. Tetapi formulasinya masih memiliki banyak cacat karena meletakkan posisi Allah Anak di bawah Allah Bapa. (Louis Berkhof, Teologi Sistematika: Doktrin Allah, 141). Kelemahan dalam ajaran Tritunggal Tertullianus ini juga disebutkan oleh Muriwali Yanto Matalu yang menyatakan bahwa Tertullianus menekankan subordinasi Anak terhadap Bapa dalam pengertian bahwa tingkatan Bapa lebih tinggi dari Anak. (Muriwali Yanto Matalu, Dogmatika Kristen, 240). 

Namun dikemudian hari melalui penyelidikan yang mendalam atas kebenaran Alkitab Tertullianus akhirnya percaya kepada Tritunggal Alkitabiah yaitu satu Allah terdiri dari tiga pribadi yang setara dan masing-masing pribadi berbeda satu sama lain. Karena itulah kita patut berterima kasih kepada Tertullianus yang paling awal menyingkapkan pengertian tentang Tritunggal, yang kemudian dirumuskan dengan tepat pada konsili Nicea tahun 325 Masehi.

Origenes lebih jauh lagi melampaui Tertullianus. Menurut Louis Berkhof, Origenes mengajarkan secara eksplisit bahwa Allah Putra berada dalam posisi dibawah Allah Bapa dalam esensiNya, dan bahkan Roh Kudus berada di bawah Allah Putra. (Berkhof, Teologi Sistematika, 141). 

Hal yang sama tentang kesalahan ajaran Origen ini dijelaskan oleh Wayne Grudem sebagai berikut, “The early Church Father Origen advocated a from of subordinasionisme by holding that the Son was inferior to the Father in being, and the Son eternally derives his being from the Father. Origen was attempting to protect the distinction of person and writing. The rest of the Church did not follow him but clearly rejected his teaching at the Council of Nicea”. (Wayne Grudem, Systematic Theology, 245).

Pandangan Origenes ini menurut Louis Berkhof merupakan celah atau jalan masuk bagi ajaran Arianisme. Berkhof mengatakan “Origen mengambil keilahian esensial dari kedua pribadi dalam Allah Tritunggal ini dan menyiapkan jalan bagi orang-orang Arian yang menyangkal keilahian dari Allah Putra dan Allah Roh Kudus dengan cara mengatakan bahwa Allah Putra adalah mahluk ciptaan pertama dari Allah Bapa, dan Roh Kudus adalah makluk ciptaan pertama dari Allah Putra. Karena itu konsubstansialitas dari Allah Putra dan Roh Kudus dari Allah Bapa dihancurkan, dalam upaya untuk mempertahankan kesatuan dari Allah; dan ketiga Pribadi dari Allah Tritungggal dijadikan berbeda tingkatannya”. 

Dikemudian hari diakhir abad ke 18, Saksi-Saksi Yehowa muncul dengan ajarannya yang mirip dengan ajaran Arianisme. Namun sebenarnya ajaran Saksi-Saksi Yehova tidak mempercayai Tritunggal melainkan mengajarkan konsep ajaran Ekatunggal, yang artinya mereka hanya mempercayai satu Allah dengan satu Pribadi. Sebab menurut mereka hanya Bapa sendiri sebagai Pribadi Allah pencipta, sedangkan Yesus adalah manusia biasa yang diciptakan. Demikian juga Roh Kudus bukan sebagai pribadi nyata melainkan hanya kukuatan ilahi dan energi aktif. (Welly Pendansolang, Tritunggal Biblika 45-46).

Sementara itu, Socinianisme dan Unitarianisme adalah bentuk-bentuk modern dari Arianisme. Socinus, pada abad keenam belas mengajarkan pandangan yang mirip dengan Arianisme. Socinianisme mengajarkan bahwa adalah keliru untuk mempercayai Pribadi-Pribadi dari Tritunggal memiliki satu hakikat yang esa. Paham ini mengajarkan bahwa hanya ada satu zat ilahi yang terdiri hanya satu Pribadi. 

Walau mengikuti Arius, tetapi Socinus melampaui Arianisme dalam penyangkalannya tentang pra eksistensi Anak dan menganggap Anak hanya seorang manusia. Socinus mendefinisikan Roh Kudus sebagai kebajikan atau tenaga (energi) yang mengalir (keluar) dari Allah kepada Manusia. Pandangan Socianisme ini mempengaruhi Unitarianisme Inggris dan Deisme Inggris. Kebanyakan penganut Unitarianisme bukan penganut Deisme, tetapi semua penganut Deisme mempunyai konsep Unitarian tentang Allah. Garis bidat adalah Arianisme ke Socianisme ke Unitarianisme ke Deisme. Unitarianisme Amerika adalah turunan langsung dari Unitarianisme Inggris. (Charles C. Ryrie, Teologi Dasar, 78).

TRITUNGGAL ORTODOKSI DAN INJILI KONSERVATIF

Sebuah definisi yang baik tentang Tritunggal yang merepresentasikan formulasi Ortodoksi dan Injili Konservatif menyatakan, “Ada satu Allah yang benar dan satu-satunya, tetapi di dalam keesaan dari Keallahan ini ada tiga Pribadi yang sama kekal dan setara, sama di dalam hakekat tetapi beda di dalam Pribadi”.(Charles C. Ryrie, Teologi Dasar. Jilid 1, halaman 72). Jadi sebagaimana yang dikatakan Wayne Grudem, “We can understand something of its truth by summarizing the teaching of Scripture in three statements: 1. God is three persons. 2. Each person fully God. 3. There is one God.” (Wayne Grudem, Systematic Theology, 231). 

Karena itu, secara ringkas kita menggambarkan Allah Tritunggal sebagai berikut, bahwa “Allah adalah satu dalam esensi dan tiga dalam substansi”. R.C. Sproul menjelaskan bahwa Keesaan dari Allah dinyatakan sebagai esensiNya atau keberadaanNya, sedangkan keragamanNya diekspresikan dalam tiga Substansi atau Pribadi. (RC. Sproul, Essential Truths of the Christian Faith, 43-44). 

Rumusan Tritunggal ini sama dengan formulasi ortodoksi yang menyatakan “satu ousia dalam tiga hypostatis”. Kata “ousia” menunjuk kepada esensinya, sedangkankata “hypostatis” menunjuk kepada substansinya. Untuk menjelaskan perbedaan-perbedaan dalam diri Allah para Penulis Yunani biasanya menggunakan istilah “hypostatis” sedangkan para penulis Latin memakai istilah “persona” atau “substantia (substansi). Tetapi ada juga yang memakai kata lainnya yaitu subsistentia (subsistensi) sebagai pengganti istilah hypostatis dan persona. (Berkhof, Systematic Theology, 152). 

Dalam tulisan ini saya memakai kata subtansi sebagai padanan dari kata persona (pribadi). Mengapa? Karena kata “Pribadi” dalam Tritunggal tidak boleh dipahami sebagaimana dalam penggunaan modern yang menunjuk kepada arti “manusia sebagai makluk individu”. Jelas ini bukan arti Pribadi yang dipakai untuk menjelaskan ajaran tentang Tritunggal. Pribadi adalah suatu keberadaan yang memiliki pikiran, perasaan dan kehendak, yang menjadikannya bertanggung jawab secara moral atas diri dan tindakannya. 

Ketika istilah Pribadi digunakan untuk menjelaskan Tritunggal maka kata itu mengacu pada dua arti yaitu : (1) Pribadi sebagai suatu aspek cara berada dari Keallahan; dan (2) Pribadi sebagai pusat kesadaran dan kesadaran diri. Rick Cornish menjelaskan, “Allah adalah tiga pusat kesadaran Pribadi yang sepenuhnya Ilahi, dimana setiap pribadi setara dan sekekal pribadi lainnya, yang bersama-sama membentuk satu keberadaan Allah”. (Rick Cornish. Five Minute Theologian, 104).

Meskipun istilah “Pribadi” cenderung menimbulkan pemahaman keliru tentang kesatuan dalam Tritunggal, tetapi kata ini terus dipertahankan karena tidak ada kata lain yang lebih mendekati kebenaran yang disingkapkan Alkitab tentang Allah Tritunggal ini. Istilah “Pribadi” banyak menolong dalam menjelaskan Tritunggal, karena kata itu menekankan bukan hanya suatu manifestasi tetapi juga Pribadi yang memiliki pusat kesadaran diri. 

Dengan menyatakan bahwa Allah adalah tiga dalam kaitan dengan Pribadi hal ini menekankan bahwa : (1) adanya distingsi Persona dalam Keallahan; (2) setiap Pribadi memiliki esensi yang sama dengan Allah; dan (3) setiap Pribadi memiliki kepenuhan Allah. Jadi, dalam Allah tidak ada tiga Pribadi bersama dan terpisah satu sama lain, tetapi hanya perbedaan Pribadi di antara esensi Ilahi. Pernyataan tersebut merupakan suatu perbedaan yang penting dari Modalisme atau Sabellianisme, yang mengajarkan bahwa satu Allah hanya memanifestasikan diriNya dalam tiga cara yang berbeda.

KONSEP TRITUNGGAL ERASTUS SABDONO

Meskipun mengakui Tritunggal, tetapi ajaran Tritunggal Erastus Sabdono berbeda dari ajaran Tritunggal Ortodoks dan Kaum Injili Konservatif hasil konsili-konsili Bapa-bapa Gereja di Abad ke 3 dan ke 4. Berdasarkan bukunya tentang Tritunggal, secara ringkas saya sajikan konsep-konsep ajaran Tritunggal Erastus Sabdono sebagai berikut :

1. Menurut Erastus Sabdono, Elohim (Allah) adalah Lembaga atau Institusi Ilahi yang bernama Yahweh (TUHAN). Keesaaan atau kesatuan Allah ada pada Lembaga Ilahi (Elohim Yahweh)ini. Di dalam Lembaga Ilahi ini ada hirarki yang membuat Pribadi yang satu tidak sederajat atau lebih rendah (subordinasi) dari Pribadi-Pribadi lainnya. Sebagai contoh, kemuliaan yang dimiliki Pribadi Anak berasal dari Pribadi Bapa sehingga Anak lebih rendah dari Bapa. Sedangkan Roh Kudus adalah kuasa Bapa yang diutus Bapa mengatur segala sesuatu dan jagat raya ini. (Erastus Sabdono, Tritunggal, 72, 89, 91, 188-190, 193).

2. Meskipun Bapa dan Anak ini sehakikat dalam Lembaga Elohim, tetapi menurut Erastus Sabdono, Bapa dan Anak ini tidak setara dan atau tidak sejajar dalam hirarki dan atau derajatNya, dimana Bapa lebih besar dari Anak. Bapa tidak sederajat atau tidak sejajar dengan Anak menurut Erastus Sabdono karena Anak tidak eksis dengan sendirinya. Anak ada karena Bapa yang memperanakkannya. Bapa adalah Allah (ho Theos) tetapi bukan Tuhan (Kurios). 

Bapa adalah Allah bagi Yesus Kristus dan bagi semua orang, dan bahwa Bapalah yang menjadikan Yesus sebagai Tuhan. Bapalah yang mempunyai segala kuasa, kemuliaan dan kerjaaan. Artinya Yesus itu dikatakan Tuhan karena Bapa yang menjadikanNya Tuhan. Kuasa dan kemuliaan yang dimiliki Yesus berasal dari Bapa. (Erastus Sabdono, Tritunggal, 76, 91, 178-179).

3. Karena Anak tidak sederajat dengan Bapa maka Erastus Sabdono menggunakan istilah Tuan Besar atau Major God kepada Bapa dan istilah Tuan Kecil atau Minor God kepada Anak. Pribadi Anak bisa terpisah dari Bapa. Artinya, memang benar-benar ada Pribadi Bapa dan Pribadi Anak yang bisa dipisahkan secara mandiri. Roh Kudus menurut Erastus Sabdono adalah Roh Bapa Sendiri yang melingkupi jagat raya dan mewakili Bapa dan Anak. Meskipun Erastus Sabdono mengakui Roh Kudus sebagai Pribadi, tetapi bukan sebagai Pribadi yang mutlak seperti halnya Bapa dan Anak sebagai Pribadi yang mutlak. Menurut Erastus bahwa Roh Kudus bukanlah Pribadi mutlak karena Ia merupakan representasi dari Pribadi Bapa sendiri. (Erastus Sabdono, Tritunggal, 77, 118, 128-129, 170-171, 382-383).

Ringkasnya, menurut Erastus Sabdono yang dimaksud dengan Tritunggal adalah bahwa Allah yang Esa terdiri dari Pribadi-Pribadi. Keesaan Allah itu ada pada Lembaga (Institusi) Ilahi yaitu Elohim yang bernama Yahweh (Elohim Yahweh). Kesatuan Tritunggal adalah kesatuan hakikat, yaitu kesamaannya dalam Lembaga Elohim. MeskipunPribadi-Pribadi dalam Tritunggal itu sehakikat, namun kesamaan hakikat tidak berarti bahwa Pribadi-Pribadi Tritunggal sederajat. Karena itu ada semacam hirarki atau strata atau subordinasi dalam Tritunggal.

TANGGAPAN DAN EVALUASI

Berdasarkan sajian ringkas atas konsep-konsep ajaran Tritunggal Erastus Sabdono di atas, timbul pertanyaan-pertanyaan berikut: (1) Apakah dapat dibenarkan menyebut Elohim sebagai Lembaga (Institusi) Ilahi? (2) Apakah istilah hakikat dalam Tritunggal dapat diganti dengan istilah Lembaga (Institusi)? (3) Apakah kesamaan hakikat tidak berarti bahwa Pribadi-Pribadi Tritunggal sederajat sehingga harus ada hirarki dalam Tritunggal? Berikut ini tanggapan dan evaluasi dari saya :

1. APAKAH ELOHIM ITU SEBUAH LEMBAGA ?

Apakah Elohim itu merupakansebuah lembaga? Jawaban dari pertanyaan ini adalah tidak! Erastus Sabdono memang mengakui adanya keesaan dan perbedaan Pribadi-Pribadi dalam Keallahan. Namun pengertian dan penjelasannnya tentang keesaan dan distingsiPribadi-Pribadi dalam Keallahan tersebut berbeda dari pemahaman ortodoks dan terlihat sumbang (sesat). Untuk menjelaskan keesaan Allah ia memakai istilah Lembaga atau Institusi. 

Dimana sejauh yang saya ketahui, istilah Lembaga atau Institusi Ilahi tersebut merupakan terminologi asing yang tidak ada atau tidak dikenali dalam pembahasan tentang Tritungggal. Istilah tersebut hanyalah pendapat dan tafsiran dari Erastus Sabdono sendiri yang tidak dijumpai dalam buku-buku teologi manapun. Menyatakan bahwa Elohim adalah sebuah Lembaga atau Institusi Ilahi adalah sebuah kesalahan teologis yang dilakukan oleh Erastus Sabdono. 

Mengapa? Karena menurut Alkitab Elohim adalah sebutan dan atau juga nama untuk Allah dalam pengertian jamak dan tidak pernah merujuk pada suatu lembaga atau institusi. Kata Elohim ini benar berbentuk jamak karena akhiran “im” merupakan akhiran bentuk jamak dari kata benda atau kata sifat dalam genus masculinum. Ketika bermaksud menggambarkan sesuatu yang besar atau mulia, bahasa Ibrani sering menggunakan kata jamak tetapi pengertian tunggal misalnya kata mayim (air) dan samayim (langit). 

Jadi, karena Elohim adalah sebutan atau nama untuk Allah maka kita tidak bisa dengan seenaknya mengganti sebutan atau nama Elohim ini menjadi sebuah Lembaga atau Institusi seperti yang dilakukan oleh Erastus Sabdono. Berikut ini saya kutip tiga pernyataan dari pakar teologi (Despensasional, Calvinis dan Pentakostal yang diakui secara Internasional kepakarannya dalam bidang teologi, dimana mereka menyatakan bahwa Elohim adalah salah satu sebutan dan atau nama Allah dan bukan menujuk pada suatu lembaga (institusi).

1. Charles C. Ryrie, seorang teolog Dispensasional menjelaskan bahwa Elohim adalah nama utama yang pertama untuk Allah. Istilah “Elohim” dalam pengertian umum Keallahan terdapat sekitar 2.570 kali dalam Perjanjian Lama. Kira-kira 2310 istilah ini digunakan bagi Allah yang benar. Pertama kali disebutkan dalam ayat pertama Alkitab (Kejadian 1:1). Namun kata ini juga dipakai untuk menunjuk kepada keallahan palsu dalam Kejadian 35:2,4; Keluaran 12:12; 18:11; 23:24. 

Elohim adalah sebuah bentuk jamak, adalah khas Perjanjian Lama dan tidak muncul dalam bahasa Semitik yang lain. Dalam penggunaannya untuk Allah yang benar nama ini berarti Dia Yang Kuat, Pemimpin yang perkasa dan Keallahan yang tertingggi. (Charles C. Ryrie, Teologi Dasar, 60-62). 

Perlu diketahui, Charles C. Ryrie pernah mengajar di Nestont College, dan menjabat sebagai presiden dan profesor pada Philadelphia College of Bible, serta profesor untuk bidang teologi sistematis di Dallas Theological Seminary. Beliau adalah lulusan dari Haverford College dan memegang gelar Th.M dan Th.D dari Dallas Theological Seminary. Ia juga memperoleh Ph.D dari University of Endinburgh dan gelar Litt.D dari Baptist Theological Seminary.

2. French L. Arrington, seorang teolog Pentakostal menjelaskan bahwa Elohim adalah nama yang berbentuk jamak yang menyatakan kemajemukan keagungan atau kebesaran Allah. Bentuk jamak digunakan sebab bentuk tunggal tidak tepat untuk mengungkapkan kepenuhan Allah. Bentuk jamak menandakan kepenuhan Keallahan. Nama Elohim yang dikenakan pada Allah melukiskan Allah sebagai Dia yang mempunyai kuasa dan kekuatan besar.Dia adalah Allah yang sangat berkuasa (Ulangan 10:17). 

Sebutan Allah sebagai Elohim menunjuk pada kuasa atau wibawa (otoritas) Allah. (French L. Arrington, Doktrin Kristen Perspektif Pentakosta, 70-71). Perlu diketahui, French L. Arrington adalah professor bahasa Yunani dan Tafsiran Perjanjian Baru di Church of God of Theology. Beliau kuliah di Lee College dan lulus dari The University of Tennessee di Chattanooga. Memperoleh gelar M.Div dan M.Th dari Colombia Theological Seminary, serta gelar Ph.D di bidang Bahasa-bahasa Alkitab dan Studi tentang Paulus di St. Louis University.

3. Louis Berkhof, seorang teolog Calvinis Reformed menjelaskan bahwa nama yang paling sederhana yang dengannya Allah disebut dalam Perjanjian Lama adalah nama “El”, yang mungkin berasal dari kata “ul”, yang berarti menjadi yang pertama, menjadi tuan, dan juga berarti kuat dan berkuasa. Nama Elohim (bentuk tunggalnya Eloah) mungkin berasal dari akar kata yang sama, atau berasal dari kata “alah” yang berarti “dilingkupi ketakutan”, dan dengan demikian menunjuk kepada Allah sebagai Dia yang kuat dan berkuasa, atau merupakan objek yang ditakuti. Nama Elohim ini jarang sekali muncul dalam bentuk tunggal, kecuali dalam puisi. Bentuk jamak seperti ini dianggap sebagai bentuk intensif dan dengan demikian dapat memberikan petunjuk akan adanya kuasa yang penuh. (Louis Berkhof, Teologi Sistematika: Doktrin Allah, 70). 

Perlu diketahui, bahwa Louis Berkhof pada tahun 1906-1926 mengajar teologi dan Perjanjian Baru di Calvin Seminary, ditetapkan menjadi professor teologi sistematika pada tahun 1926-1944, dan dari tahun 1931, ia menjadi President di seminary tersebut. Ia masuk sekolah teologi di Theological School of the Christian Reformed Church, yang akhirnya berubah nama menjadi Calvin Theological Seminary. Ia menerima gelar diploma tingkat collegenya pada tahun 1897 dan tingkat seminary-nya tahun 1900. Selain itu, Berkhof juga pernah studi di Princeton Theological Seminary di bawah bimbingan professor B.B. Warfield dan Gerhardus Vos (1904).

Sebagai tambahan, kata Elohim ini sepadan dengan kata bahasa Ugarit “El” atau kata bahasa Akadia “Ilu”. Kata Elohim ialah kata yang dipergunakan diseluruh Kejadian pasal 1 yang menekankan karya Allah sebagai Pencipta. Kata Elohim ini sebenarnya berbentuk jamak, tetapi secara terus menerus dipakai bersama-sama dengan sebuah kata kerja tunggal. 

Para sarjana sudah menjelaskan bahwa ini adalah bentuk jamak yang menunjukkan keagungan atau rasa hormat. Paul Enns mengatakan bahwa nama Elohim berasal dari nama singkatan “El” yang kemungkinan besar memiliki akar kata yang berarti “menjadi kuat” (Kejadian 17:1; 28:3; 35:11 Yosua 3:10) atau “menjadi yang utama”. Elohim merupakan variasi bentuk jamak dari kata EL. (Paul Enns, The Moody Handbook of Theology, jilid 1.halaman 213). 

EL ini dipakai sebagai nama generik dan nama diri. Dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan “Allah” atau “Allah Yang Mahatinggi”, misalnya “Akulah Allah (El) yang dibetel itu (Kejadian 31:13), atau “Allah (Elohim) Israel ialah Allah (El)” (Kejadian 33:20). Kata El ini digunakan sebagai nama diri yang spesifik ketika digabungkan dengan istilah lain misalnya: El Shaddai (Allah Yang Mahakuasa - Kejadian 17:1); El Kana (Allah Yang Cemburu - Keluaran 20:5); El Elyon (Allah Yang Mahatinggi - Kejadian 14:18,22); El Olam (Allah Yang Kekal, Yang Misterius, Yang Menyatakan DiriNya – Kejadian 21:33); El Roi (Allah Yang Mahamemelihara - Kejadian 16:13; Mazmur 23:1); dan El De’ot (Allah yang Mahatahu - 1 Samuel 2:3). Selain Elohim, nama Eloah juga merupakan variasi dari kata El. Panggilan ini diterjemahkan juga dengan Allah, dipakai untuk menunjuk kepada Allah yang berbentuk tunggal (Misalnya, Ulangan 32:15; Mazmur 18:32).

2. APAKAH ADA HIRARKI DALAM TRITUNGGAL ?

Apakah ada hirarki dalam Tritunggal? Jawaban untuk pertanyaan ini adalah tidak! Erastus Sabdono mengakui adanya kesatuan hakikat dalam Keallahan. Tetapi ada masalah dalam pengertiannya tentang hakikat. Menurutnya hakikat itu identik atau sama dengan lembaga (institusi). Dengan lain kata, hakikat ilahi sama pengertiannya dengan lembaga ilahi. Tentu saja pengertian tersebut salah karena hakikat Allah bukanlah lembaga (institusi). 

Istilah “hakikat” sinonim dengan “esensi” atau “keberadaan”. Istilah Yunani untuk kata “hakikat” adalah “ousia”. Kata ini digunakan untuk menjelaskan “satu keberadaan Allah”. (Robert Letham, The Holy Trinity: In Scripture, History, Theology, and Worship. 527). 

Hakikat (esensi) adalah atribut dasar dan absolut yang ada pada Allah sebagaimana Ia adanya. Pertanyaan pentingnya adalah : Apakah esensi Allah itu? Esensi atau hakikat Allah dijelaskan dengan baik oleh Tony Evans demikian, “Kata roh (dalam Yohanes 4:24) itu tanpa kata penunjuk penentu. Allah bukanlah Roh tertentu (Inggris “the” Spirit). Allah itu roh, artinya roh adalah hakikatNya, jati diriNya. Dalam bahasa Yunani frase ini ada di awal kalimat untuk menekankannya.” (Tony Evans, Teologi Allah, 50). 

Menurut John Calvin, Roh adalah hakikat dari seluruh esensi. Allah adalah Roh yang tidak terbatas. Itulah esensi dasar dan absolutNya! Louis Berkhof menjelaskan bahwa “dengan mengajarkan tentang Allah yang adalah Roh maka teologi menekankan fakta bahwa Allah memiliki keberadaan substansial milikNya sendiri dan berbeda dengan dunia, dan bahwa jati diri substansial ini tidak bersifat materi, tidak terlihat, dan tanpa penyusunan atau perluasan. 

Hal ini juga mencakup pemikiran bahwa semua kualitas esensial yang dimiliki oleh pemahaman sempurna dari Roh dapat ditemukan dalam diri Allah; bahwa Ia adalah Jatidiri yang sadar akan diriNya sendiri dan menentukan diriNya sendiri. Oleh sebab itu Ia adalah Roh yang paling mutlak, dan dalam arti kata yang paling murni, dalam diriNya tidak ada susunan atau bagian-bagian.” (Berkhof, Louis., Teologi Sistematika, 107). 

Karena itu, Westmister Shorter Cathechisme (Pertanyaan 4) mendeskrispsikan Allah sebagai berikut, “Allah adalah Roh, tidak terbatas, kekal, dan tidak berubah, dalam keberadaan, hikmat, kuasa, kekudusan, keadilan, kebaikan dan kebenaranNya.” Karenahakikat Allah adalah Roh yang tidak terbatas maka bagaimana mungkin hakikat itu dapat disama-artikan dengan lembaga (institusi) sebagaimana yang diajarkan Erastus Sabdono? Jadi saat kita membicarakan tentang keesaan Allah maka harus dimengerti bahwa keesaanNya selalu berada dalam area hakikat atau esensiNya. 

Esensial kesatuan dari Allah didasarkan pada Ulangan 6:4, “dengarlah, hai orang Isreal: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!” Kata “esa” adalah kata Ibrani “ekhad” yang berarti “gabungan kesatuan; satu kesatuan”. Pernyataan ini menekankan bukan hanya keunikan dari Allah tetapi juga kesatuan dari Allah (Bandingkan Yakobus 2:19). Ini berarti bahwa ketiga Pribadi secara esensial tidak terbagi. Kesatuan dari esensi ini juga menekankan bahwa ketiga Pribadi dari Tritunggal tidak berarti bertindak secara terpisah dan mandiri. Dengan lain kata, ketiga Pribadi Tritunggal berbagian di dalam satu hakikat secara sama dan identik. Pernyataan ini penting dalam menangkal ajaran sesat Arianisme dan Socianisme yang menolak kesatuan esensi Anak dan Roh Kudus dengan Bapa.

Dengan menyatakan bahwa Elohim adalah sebuah lembaga maka dapat dipastikan bahwa Erastus Sabdono hendak menggiring orang pada opini adanya hirarki dalam Tritunggal. Erastus Sabdono memang mengakui sendiri bahwa di dalam Lembaga atau Institusi Ilahi tersebut ada hirarki yang menyebabkan Pribadi yang satu tidak sejajar atau tidak sederajat dengan Pribadi lainnya, dan hal itu adalah pernyataan yang salah. Alkitab mengajarkan tidak ada hirarki dalam Keallahan. Menurut Alkitab setiap Pribadi dari Tritunggal sejajar dan sederajat dalam kekekalan, otoritas dan kemuliaan. 

Apa yang dianggap oleh Erastus Sabdono sebagai hirarki sebenarnya adalah relasi ilahi dalam Tritunggal yang diekspresikan dalam peran dan fungsi yang berbeda oleh ketiga Pribadi Tritunggal, yaitu relasi ilahi yang bersifat horisontal dan relasi ilahi yang bersifat vertikal. Atau bisa juga disebut relasi ilahi yang bersifat internal (opera at intra) maupun relasi ilahi bersifat eksternal (opera ad extra). 

Harus diakui bahwa di dalam Tritunggal ada suatu relasi yang diekspresikan dalam arti substansi (atau disebut juga subsistensi). Pembedaan ini menurut para teolog dapat dilihat berdasarkan perbedaan ontologis dan ekonomi. Istilah ontologis bermaksud menjelaskan bahwa Allah melakukan dua tindakan dalam kekekalan, yang mana tindakan tersebut oleh para teolog dideskripsikan dengan istilahistilah, “generation” and “procession” atau lebih tepatnya “diperanakan” dan “dikeluarkan dari”. 

Ini menunjuk kepada istilah bahwa Bapa sendiri tidak diperanakkan atau Ia mendahului Pribadi-Pribadi yang lain; Anak secara kekal “diperanakan” oleh Bapa, dan Roh Kudus keluar dari Bapa dan Anak (filique) dari kekal sampai kekal. Akan tetapi perbedaan ini harus dilihat bukan dalam tingkatan hirarki untuk menyatakan bahwa Bapa lebih tinggi dari Pribadi lainnya atau lebih dahulu ada dari yang lainnya, melainkan ini merupakan tingkatan logis derivasi dan tidak sama sekali menyiratkan subordinasi ataupun hirarki seperti yang diajarkan oleh Erastus Sabdono dipandang dari kepemilikan esensi Ilahi. 

Jadi jika kita memahami bahwa Bapa, Anak dan Roh Kudus itu sehakikat, maka kita seharusnya bisa menerima kenyataan bahwa tidak perlu ada hirarki dalam Tritunggal. Bapa, Anak dan Roh Kudus tidak memerlukan hirarki untuk menata diriNya agar tertib dan teratur karena hakikat keilahianNya memang sudah tertib dan teratur. 

Hirarki hanya diperlukan oleh ciptaan seperti malaikat, manusia dan alam semesta agar tertib dan teratur. Karena itu, perbedaan ontologis dalam Tritunggal ini bermanfaat bagi kita untuk melihat (memahami) Tritunggal secara ekonomis. Atau dapat dikatakan pembedaan ontologis merupakan dasar untuk melihat secara ekonomis. Ekonomis disini bermakna bahwa setiap Pribadi dari Allah Tritunggal mempunyai fungsi masing-masing dalam satu tujuan, dimana Pribadi-Pribadi Tritunggal mempunyai peranNya masing-masing dalam penggenapan karya. 

Karya keselamatan dalam pengertian tertentu merupakan pekerjaan dari ketiga Pribadi Allah Tritunggal. Namun, di dalam pelaksanaannya ada peran yang berbeda yang dikerjakan oleh Bapa, Anak dan Roh Kudus. Bapa memprakarsai penciptaan dan penebusan; Anak menebus ciptaan; dan Roh Kudus melahirbarukan dan menguduskan, dalam rangka mengaplikasikan penebusan kepada orang-orang percaya.

Apabila kita tidak memahami bahwa Kristus adalah Pribadi Allah-Manusia (Theo-Antropik Person) dengan dwinatur (memiliki dua sifat) ini maka akan sulit bagi kita untuk memahami penyataan Yesus bahwa Bapa lebih besar dari Anak tanpa mengsubordinasikan Anak pada Bapa dalam penjelasan tentang Tritunggal (Yohanes 14:28). Atau, pernyataan Yesus sediri bahwa Ia tidak tahu tentang waktu kedatanganNya dan akhir zaman seakan-akan Ia tidak Mahatahu dan hanya Bapa saja yang Mahatahu (Matius 24:36; Markus 13). Karena itu harus diingat, kita tidak boleh menafsir ayat-ayat tersebut seperti Sabelianisme, Subordinasionisme dan Saksi Yehowa menafsirkannnya. 

Karena sebenarnya, ketidaktahuan Anak Manusia tentang kedatanganNya sendiri, dan juga termasuk pengakuanNya bahwa Bapa lebih besar dari Dia dalam ayat-ayat tersebut bukan berarti bahwa Yesus tidak benar-benar tahu tentang peristiwa kedatanganNya kembali ke bumi. tetapi sebaliknya, Yesus Kristus sangat mengetahui segala sesuatu atau bahkan semua peristiwa yang akan terjadi pada akhir zaman. Sebab Dia adalah Tokoh Utama yang mengatur dan merencanakan serta mengendalikan semua peristiwa yang akan terjadi di masa mendatang. 

Kristus juga bahkan berkuasa menghukum bumi dan manusia melalui pengadilan ilahi yang akan digelar pada akhir zaman (Yohanes 5:22; 2 Petrus 3:10). Karena itu, sikap Yesus yang memperlihatkan diriNya seolah-olah Ia memiliki keterbatasan dalam dua ayat tersebut merupakan caraNya sendiri untuk memperlihatkan sifat kemanusiaanNya dan bukan menonjolkan atau mempertahankan keallahanNya pada saat inkarnasiNya. Secara teologis sikap Yesus tersebut dikenal dengan istilah "kenosis" yaitu pengosongan diri Kristus secara sukarela (Filipi 2:6-8) seperti yang telah saya jelaskan di atas.

ERASTUS SABDONO TIDAK MEMAHAMI HAKIKAT INKARNASI KRISTUS

Telah saya sebutkan di atas bahwa Erastus Sabdono mengakui adanya hirarki dalam ajaran Tritunggalnya, dimana Anak tidak sederajat dengan Bapa. Karena itulah Erastus Sabdono menggunakan istilah Tuan Besar atau Major God kepada Bapa dan istilah Tuan Kecil atau Minor God kepada Anak. Menurut Erastus Sabdono, Pribadi Anak bisa terpisah dari Bapa. Artinya, memang benar-benar ada Pribadi Bapa dan Pribadi Anak yang bisa terpisah secara mandiri. 

Erastus Sabdono mengatakan demikian, “Tidak bisa disangkal kenyataan adanya Tuan Besar dan Tuan Kecil dalam Lembaga Elohim… Ada yang mengatakan bahwa Bapa adalah major dan Anak Tunggal Bapa adalah yang minor. Itulah sebabnya ada sebutan Major God dan Minor God. Sebenarnya sebutan itu tidak mendegradasi harkat dan statusnya dalam relasi antara Pribadi-Pribadi Elohim, maupun dihadapan umatNya. Dan tidak mengesankan Triteisme, karena memang Elohim terdiri dari Pribadi-Pribadi. Tetapi meskipun demikian sebutan Major God dan Minor God hendaknya dihindari agar tidak menimbulkan persepsi yang liar.” (Erastus Sabdono, Tritunggal, 129).

Ketika Erastus Sabdono menggunakan istilah Major God (Allah Utama) yang ditujukan kepada Allah Bapa dan Minor God (Allah Kecil) yang ditujukan kepada Allah Anak, dan menunjukan perbedaan derajat keduaNya maka jelaslah Erastus Sabdono tidak memahami hakikat inkarnasi Kristus. Hakikat inkarnasi diberikan kepada kita oleh Paulus di dalam surat Filipi Pasal 2, dimana nas utama ini dimulai dengan nasihat rasul Paulus kepada jemaat di Filipi agar merendahkan diri meniru teladan Kristus yang telah meninggalkan kemuliaan untuk menderita di kayu salib sampai mati dalam ketaatanNya. Pasal ini dikenali sebagai pasal pembahasan istilah “kenosis” atau “pengosongan diri Kristus”. Charles C. Ryrie, Teologi Dasar jilid 1, 353). 

Ada tujuh langkah pengosongan diri Kristus seperti yang dicatat dari Filipi 2:6-8 yang saya ringkas dalam tujuh frase berikut ini. (1) Yang walaupun dalam rupa Allah (morphê theou); (2) Tidak menganggap kesetaraan dengan Allah (to einai isa theô; harfiah: setara dengan Allah) sebagai milik yang harus dipertahankan (harpagmos); (3) Melainkan telah mengosongkan diriNya (heauton ekenôsen; harfiah: mengosongkan diriNya sendiri); (4) Dan mengambil rupa seorang hamba (morphên doulou); (5) Dan menjadi sama (homoiomati) dengan manusia; (6) Dan dalam keadaan (skhêmati) sebagai manusia, Ia telah merendahkan diriNya (etapeinôsen heauton); (7) Dan taat sampai mati (hupêkoos thanatou mekhri), bahkan sampai mati di kayu salib.

Ketujuh frase pengosongan diri Kristus tersebut secara teologis dapat diringkas dalam tiga pokok pikiran utama, yaitu: (1) Keilahiannya (lihat frase 1 dan 2); (2) KemanusiaanNya (lihat frase 3,4, dan 5); (3) PenyalibanNya (lihat frase 6 dan 7). Ketika Paulus menyatakan bahwa Kristus “mengosongkan diriNya sendiri”, maka yang Paulus maksudkan bukanlah bahwa mengosongkan diriNya dari “morphê theou” tetapi mengosongkan diriNya dari “einai isa theô” atau dari kesetaraanNya dengan Allah saat inkarnasiNya. Jadi Kristus tetap berada dalam “rupa Allah (morphê theou)” saat inkarnasiNya namun rela mengambil bagi diriNya “rupa seorang hamba (morphên doulou)” sehingga “berkeadaan (skhêmati) sebagai manusia”. 

Inilah benang merah dari proses pengosongan diri sendiri Kristus yang harus dimengerti untuk dapat memahami kenosis dengan benar. Kata “morphê” yang diterjemahkan dengan “rupa” dalam ayat 6-7 berarti “rupa” atau “bentuk” yang menunjuk kepada dua pengertian, yaitu penampilan luar (lahiriah) dan keadaan dalam (hakikat). Secara teologis, klausa “morphê theou” yang diterjemahkan dengan “rupa Allah” menujuk pada bentuk ilahi untuk menyatakan keilahian Kristus sejak kekekalan bersama dengan Bapa. 

Disini Paulus hendak menekankan hakikat Kristus yang adalah Allah, dimana esensial keilahian Kristus dalam kekekalan adalah Allah atau Pribadi supranatural yang setara dengan Bapa. Melalui inkarnasi, Kristus mengambil “morphên doulou” atau “rupa seorang hamba”, dimana frase ini merupakan keterangan dari frase “heauton ekenôsen” atau “mengosongkan diriNya sendiri”. Kedua hal ini terjadi secara bersamaan, dimana Ia menyatakan diriNya sebagai hamba dan menjadi sama dengan manusia, artinya dalam segala hal, kecuali dosa, Ia memiliki hakikat kemanusiaan sama seperti manusia-manusia lainnya. 

Sehingga meskipun Kristus adalah Allah, orang-orang pada zamanNya tidak mengenalNya karena keadaanNya sebagai manusia. Hal ini diperkuat oleh frase “homoiômati anthrôpôn genomenos(menjadi sama dengan manusia”) dan kata “skhema” dalam frase “skhêmati euretheis hôs anthrôpos (dalam wujud atau penampilan sebagai manusia)” yang memiliki keterbatasan, bahkan dapat mengalami kematian. Dengan demikian, Ketika Kristus mengambil rupa manusia, Ia tetap memiliki keadaan IlahiNya atau tetap sebagai Allah, artinya Kristus belum pernah dan tidak pernah meninggalkan keilahianNya. Namun pengosongan diriNya berarti penambahan sifat kemanusiaan melalui inkarnasiNya. Penambahan sifat kemanusiaan ini tidak menyebabkan menghilangnya atau pun berkurangnya hakikat keilahianNya.

Karena Erastus Sabdono tidak memahami bahwa Kristus adalah Pribadi Allah-Manusia (Pribadi Teantropik) dengan dwinatur (memiliki dua sifat) ini maka sulit baginya untuk memahami penyataan Yesus bahwa Bapa lebih besar dari Anak tanpa mengsubordinasikan (menempatkan lebih rendah) Anak pada Bapa dalam penjelasan tentang Tritunggal (Yohanes 14:28). Dan inilah yang dilakukanNya ketika Ia mengatakan Major God kepada Allah Bapa dan Minor God kepada Allah Anak. Bukan hanya Erastus Sabdono, tetapi siapapun yang tidak memahami bahwa Kristus adalah Pribadi Allah-Manusia (Pribadi Teantropik) dengan dwinatur (memiliki dua sifat) maka orang tersebut akan sulit memahmai pernyataan Yesus yang mengatakan bahwa Ia tidak tahu tentang waktu kedatanganNya dan akhir zaman seakan-akan Ia tidak Mahatahu dan hanya Bapa saja yang Mahatahu (Matius 24:36; Markus 13). 

Karena itu harus diingat, kita tidak boleh menafsir ayat-ayat tersebut seperti Sabelianisme, Subordinasionisme dan Saksi Yehowa menafsirkannnya. Karena sebenarnya, ketidaktahuan Anak Manusia tentang kedatanganNya sendiri, dan juga termasuk pengakuanNya bahwa Bapa lebih besar dari Dia dalam ayat-ayat tersebut bukan berarti bahwa Yesus tidak benar-benar tahu tentang peristiwa kedatanganNya kembali ke bumi. tetapi sebaliknya, Yesus Kristus sangat mengetahui segala sesuatu atau bahkan semua peristiwa yang akan terjadi pada akhir zaman.

Sebab Dia adalah Tokoh Utama yang mengatur dan merencanakan serta mengendalikan semua peristiwa yang akan terjadi di masa mendatang. Kristus juga bahkan berkuasa menghukum bumi dan manusia melalui pengadilan ilahi yang akan digelar pada akhir zaman (Yohanes 5:22; 2 Petrus 3:10). Karena itu, sikap Yesus yang memperlihatkan diriNya seolah-olah Ia memiliki keterbatasan dalam dua ayat tersebut merupakan caraNya sendiri untuk memperlihatkan sifat kemanusiaanNya dan bukan menonjolkan atau mempertahankan keallahanNya pada saat inkarnasiNya. Secara teologis sikap Yesus tersebut dikenal dengan istilah "kenosis" yaitu pengosongan diri Kristus secara sukarela (Filipi 2:6-8) seperti yang telah saya jelaskan di atas.

ERASTUS SABDONO TIDAK MEMAHAMI KONSEP TRITUNGGAL KRISTEN

Selanjutnya, sebutan Major God dan Minor God yang digunakan Erastus Sabdono untuk menjelaskan adanya hirarki dalam Tritunggal mengarahkan ajarannya lebih jauh kepada pandangan agama Politeisme yang disebut Henoteisme. Jadi, ketika Erastus Sabdono menggunakan istilah Major God (Allah Utama) yang ditujukan kepada Allah Bapa dan Minor God (Allah Kecil) yang ditujukan kepada Allah Anak, ini tidak hanya menunjukkan adanya distingsi (perbedaan) Pribadi dalam Keallahan tetapi benar-benar menujukkan adanya dua Allah yang berbeda. 

Dengan demikian, walau mengakui Tritungggal (tepatnya Dwitunggal), tetapi dengan ajaran seperti itu maka Erastus Sabdono telah merusak konsep keesaan (kesatuan) Keallahan dalam Kekristenan dan menggantinya dengan konsep Henoteisme dalam pemahamannya tentang Allah. Seperti yang kita ketahui, sebagian besar Hinduisme berpegang pada kepercayaan Politeisme. 

Mereka menyembah banyak dewa tetapi biasanya meninggikan satu dewa di atas semua yang lain. Misalnya Trimurti: Brahma, Wisnu dan Siwa. Brahma adalah dewa pencipta bumi ini yang digambarkan dengan empat wajah yang menunjuk arah mata angin: utara, selatan, timur dan barat yang tinggal di Satyaloka Wisnu adalah dewa yang menegakkan hukum abadi dari Sang Absolut yang tinggal di Vaikunta. Siwa adalah dewa pemberi berkat sekaligus dewa penghancur yang tinggal di Kaisila. Ketiga dewa ini (Trimurti) adalah perwujudan dari Dewa Utama yang disebut dengan Sang Absolut (Brahman) yang tidak terlihat, yaitu suatu kekuatan alam yang menciptakan dan membawa kesatuan dalam alam semesta. Konsep Politeisme seperti ini disebut Henoteisme, yaitu meninggikan satu dewa namun tetap mengakui keberadaan dewa-dewa lainnya. (Mark Tabb, ed, Pandangan Dunia, 82-85; Ophir Addanki, Is God a Trinity, 254-255).

Kekristenan sejati berbeda dari konsep Politeisme ketika mempercayai dan mengajarkan Trinitas. Pengakuan iman Athanasius menyatakan, “so the Father is God, the Son is God, and the Holy Spirit is God; And yet they are not three Gods, but one God” (maka demikianlah Bapa adalah Allah, Anak adalah Allah, dan Roh Kudus adalah Allah; dan meskipun demikian mereka bukanlah tiga Allah melainkan satu Allah yang Esa). 

John M. Frame menjelaskan, “Allah Kristen adalah tiga dalam satu. Ia adalah Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Hanya ada satu Allah (Ulangan 6:4; Yesaya 44:6). Tetapi Bapa adalah Allah (Yohanes 20:17), Anak adalah Allah (Yohanes 1:1; Roma 9:5; Kolose 2:9; Ibrani 1:10), dan Roh Kudua adalah Allah (Kejadian 1:2; Kisah Para Rasul 2; Roma 8; 1 Tesalonika 1:5). Bagaimanapun Mereka adalah tiga, dan Mereka adalah satu. Pengakuan Iman Nicea mengatakan bahwa Mereka adalah satu keberadaan tetapi tiga substansi.” (Frame, John M., 2011. Apologetika Bagi Kemuliaan Allah. Terjemahan, Penerbit Momentum, hal. 63). 

Karena itu, secara ringkas kita menggambarkan Allah Tritunggal sebagai berikut, bahwa “Allah adalah satu dalam esensi dan tiga dalam substansi”. R.C. Sproul menjelaskan bahwa Keesaan dari Allah dinyatakan sebagai esensiNya atau keberadaanNya, sedangkan keragamanNya diekspresikan dalam tiga Substansi atau Pribadi. (Sproul, R.C., 1997. Essential Truths of the Christian Faith. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang, hal. 43-44). 

Formula ini memang merupakan misteri dan paradoks tetapi tidak kontradiksi, juga bukannya tidak masuk akal sebagaimana dijelaskan oleh Michael Horton, “Bukankah suatu kontradiksi jika kita berkata kita percaya bahwa Allah itu satu dan juga tiga? Tentu ya, jika itu berarti bahwa Allah itu satu dan tiga secara hakikat, atau satu dan tiga secara pribadi. Tetapi pengakuan iman Kristen adalah Allah itu satu secara hakikat dan tiga secara pribadi. Ini tentu saja merupakan misteri. Kita tidak akan pernah dapat sepenuhnya memahami bagaimana Allah yang satu itu ada dalam tiga Pribadi. Namun ini bukanlah suatu kontradiksi”. (Horton, Michael., 2017. Core Christianity. Terjemahan, Penerbit Katalis : Yogyakarta, hal. 45). 

Suatu kontradiksi dan pelanggaran terhadap hukum logika paling mendasar (hukum non kontradiksi) akan terjadi jika kita mengatakan bahwa “Allah adalah satu dalam esensi (A) dan tiga dalam esensi (Non A) atau Allah adalah tiga substansi (B) dan satu substansi (non B) pada saat yang sama dan dalam pengertian yang sama”. Namun secara logis Kekristenan menggambarkan konstruksi Tritunggal tersebut dengan formulasi bahwa “Allah adalah satu dalam A (esensi) dan tiga dalam B (substansi)” atau dengan istilah Yunani “mia ousia treis hupostaseis (satu esensi, tiga pribadi).” 

Sekali lagi, rumusan ini bukanlah kontradiksi dan juga bukannya tidak masuk akal (irasional) tetapi masuk akal walaupun melampaui akal. Melampaui akal (suprarasional) tidaklah sama dengan tidak masuk akal (irasional). Ibarat sebuah segitiga, pada saat yang bersamaan ia memiliki tiga sudut namun tetap satu segitiga. Setiap sudut tidak sama dengan keseluruhan segitiga..APAKAH ELOHIM ITU SEBUAH LEMBAGA YANG BERHIRARKI?. AMIN. https://teologiareformed.blogspot.com/
Next Post Previous Post