AJARAN KENOSIS YANG ALKITABIAH

Pdt.Samuel T. Gunawan, M.Th..
AJARAN KENOSIS YANG ALKITABIAH
Alkitab mengajarkan bahwa Ketika mengosongkan diriNya Kristus tidak pernah melepaskan atau menanggalkan keilahianNya, dan Ia tidak pernah berhenti menjadi Allah. Tetapi melalui inkarnasiNya, Ia menerima penambahan sifat kemanusiaan secara permanen sehingga Yesus memiliki dua sifat (natur) yang tidak saling menghilangkan, yaitu sifat manusia dan sifat ilahi yang menyatu di dalam Pribadi Kristus. Karena ajaran kenosis ini penting maka berikut ini penjelasan singkat kenosis yang Alkitabiah.

Hakikat inkarnasi diberikan kepada kita oleh Paulus di dalam surat Filipi Pasal 2, dimana nas utama ini dimulai dengan nasihat rasul Paulus kepada jemaat di Filipi agar merendahkan diri meniru teladan Kristus yang telah meninggalkan kemuliaan untuk menderita di kayu salib sampai mati dalam ketaatanNya. Pasal ini dikenali sebagai pasal pembahasan istilah “kenosis” atau “pengosongan diri Kristus”. 

Charles C. Ryrie, Teologi Dasar jilid 1, 353). Ada tujuh langkah pengosongan diri Kristus seperti yang dicatat dari Filipi 2:6-8 yang saya ringkas dalam tujuh frase berikut ini. (1) Yang walaupun dalam rupa Allah (morphê theou); (2) Tidak menganggap kesetaraan dengan Allah (to einai isa theô; harfiah: setara dengan Allah) sebagai milik yang harus dipertahankan (harpagmos); (3) Melainkan telah mengosongkan diriNya (heauton ekenôsen; harfiah: mengosongkan diriNya sendiri); (4) Dan mengambil rupa seorang hamba (morphên doulou); (5) Dan menjadi sama (homoiomati) dengan manusia; (6) Dan dalam keadaan (skhêmati) sebagai manusia, Ia telah merendahkan diriNya (etapeinôsen heauton); (7) Dan taat sampai mati (hupêkoos thanatou mekhri), bahkan sampai mati di kayu salib.

Ketujuh frase pengosongan diri Kristus tersebut secara teologis dapat diringkas dalam tiga pokok pikiran utama, yaitu: (1) Keilahiannya (lihat frase 1 dan 2); (2) KemanusiaanNya (lihat frase 3,4, dan 5); (3) PenyalibanNya (lihat frase 6 dan 7). 

Ketika Paulus menyatakan bahwa Kristus “mengosongkan diriNya sendiri”, maka yang Paulus maksudkan bukanlah bahwa mengosongkan diriNya dari “morphê theou” tetapi mengosongkan diriNya dari “einai isa theô” atau dari kesetaraanNya dengan Allah saat inkarnasiNya. 

Jadi Kristus tetap berada dalam “rupa Allah (morphê theou)” saat inkarnasiNya namun rela mengambil bagi diriNya “rupa seorang hamba (morphên doulou)” sehingga “berkeadaan (skhêmati) sebagai manusia”. Inilah benang merah dari proses pengosongan diri sendiri Kristus yang harus dimengerti untuk dapat memahami kenosis dengan benar. 

Kata “morphê” yang diterjemahkan dengan “rupa” dalam ayat 6-7 berarti “rupa” atau “bentuk” yang menunjuk kepada dua pengertian, yaitu penampilan luar (lahiriah) dan keadaan dalam (hakikat). Secara teologis, klausa “morphê theou” yang diterjemahkan dengan “rupa Allah” menujuk pada bentuk ilahi untuk menyatakan keilahian Kristus sejak kekekalan bersama dengan Bapa. 

Disini Paulus hendak menekankan hakikat Kristus yang adalah Allah, dimana esensial keilahian Kristus dalam kekekalan adalah Allah atau Pribadi supranatural yang setara dengan Bapa. Melalui inkarnasi, Kristus mengambil “morphên doulou” atau “rupa seorang hamba”, dimana frase ini merupakan keterangan dari frase “heauton ekenôsen” atau “mengosongkan diriNya sendiri”. 

Kedua hal ini terjadi secara bersamaan, dimana Ia menyatakan diriNya sebagai hamba dan menjadi sama dengan manusia, artinya dalam segala hal, kecuali dosa, Ia memiliki hakikat kemanusiaan sama seperti manusia-manusia lainnya. Sehingga meskipun Kristus adalah Allah, orang-orang pada zamanNya tidak mengenalNya karena keadaanNya sebagai manusia. 

Hal ini diperkuat oleh frase “homoiômati anthrôpôn genomenos (menjadi sama dengan manusia”) dan kata “skhema” dalam frase “skhêmati euretheis hôs anthrôpos (dalam wujud atau penampilan sebagai manusia)” yang memiliki keterbatasan, bahkan dapat mengalami kematian. 

Dengan demikian, Ketika Kristus mengambil rupa manusia, Ia tetap memiliki keadaan IlahiNya atau tetap sebagai Allah, artinya Kristus belum pernah dan tidak pernah meninggalkan keilahianNya. Namun pengosongan diriNya berarti penambahan sifat kemanusiaan melalui inkarnasiNya. Penambahan sifat kemanusiaan ini tidak menyebabkan menghilangnya atau pun berkurangnya hakikat keilahianNya.

Secara teologis dapat dijelaskan bahwa melalui peristiwa inkarnasi, Pribadi kedua dalam Tritunggal mengambil bentuk atau rupa manusia bagi diriNya sendiri. Dengan kata lain, inkarnasi adalah tindakan dimana Putra Allah yang kekal mengambil bagi diriNya natur tambahan yaitu natur manusia melalui kelahiran dari seorang perawan. Kristus tidak memiliki kemanusiaan sampai saat kelahiranNya melalui perawan Maria. 

Untuk inkarnasi diperlukan pribadi yang mula-mula berada dalam wujud tanpa tubuh, lalu pribadi itu kemudian mengenakan tubuh kedagingan. Tepat seperti itulah yang dilakukan Anak Allah. Dalam KeilahaianNya, Kristus sudah ada bersama Bapa sebelum dunia dijadikan dan Ia ada dalam kekekalan bersama Bapa. Dalam kemanusiaanNya, Kristus ada dan dilahirkan dari rahim perawan Maria. 

AJARAN KENOSIS YANG ALKITABIAH
Melalui inkarnasi, Kristus menyatukan sifat KeallahanNya dengan sifat manusia. Perbedaan kedua sifat tersebut tidak berkurang ketika dipersatukan, dan keistimewaan kedua sifat itu tetap terpelihara sekalipun disatukan di dalam diri Yesus Kristus. Yesus tidak terbagi menjadi dua pribadi; Ia adalah satu pribadi yaitu Anak Allah. Karena itu sejak inkarnasi Kristus adalah Allah sejati dan manusia sejati, sebab Ia telah memiliki dua sifat yang berbeda yaitu sifat ilahi dan sifat manusia, yang menyatu di dalam pribadiNya yang tunggal secara abadi. 

Kristus ketika menjadi manusia tidak berhenti menjadi Allah, juga tidak menyerahkan kepemilikan atau penggunaan sifat-sifat Ilahi, baik dasar maupun moral. Perlu diperhatikan bahwa Allah tidak diubah menjadi seorang manusia, tetapi Ia mengambil hakikat manusia tanpa berhenti menjadi Allah. 

Pengosongan diri Kristus itu berarti bahwa Kristus menyerahkan penggunaan bebas sifat-sifat Ilahi. Dia mengesampingkan hak istimewaNya sebagai Allah untuk bertindak sebagai Allah, dan menjadi bergantung pada kehendak Bapa untuk pemakaianNya, bekerjanya atau perwujudan sifat-sifat ini. “Pengosongan diriNya” berada dalam penyerahan terus menerus, pada sisi Allah-manusia sejauh hakikat kemanusiaanNya menjadi pusat perhatian, penggunaan kuasa-kuasa llahi yang diberikan berdasarkan kesatuannya dengan hakikat yang Ilahi, akan menerima dengan rela, segala pencobaan, penderitaan, dan kematian, sebagai akibat dari kesatuan ini.

Berdasarkan penjelasan di atas maka ajaran kenosis yang alkitabiah dapat diformulasikan sebagai berikut: Ketika mengosongkan diriNya Kristus tidak pernah melepaskan atau menanggalkan keilahianNya, tetapi melalui inkarnasiNya Ia menerima penambahan sifat kemanusiaan secara permanen sehingga Yesus memiliki dua sifat (natur) yang tidak saling menghilangkan, yaitu sifat manusia dan sifat ilahi yang menyatu di dalam Pribadi Kristus. 

Kesatuan kedua sifat (natur) dalam satu pribadi ini dikenali dengan kesatuan hipostatik. Ini sesuai dengan hasil konsili patristik (bapa-bapa) gereja, antara lain : (1) Konsili Nicea (325 M) menegaskan bahwa pribadi Yesus Kristus adalah Allah yang total (utuh) dan manusia yang total (utuh); (2) Konsili Konstantinopel (381 M) mengulangi penegasan Konsili Nicea yang meyakinkan bahwa pribadi Yesus Kristus adalah 100% Allah dan 100% manusia; (3) Konsili Chalcedon (451 M) selanjutnya merumuskan hubungan antara keilahian Kristus dan kemanusiaan Kristus ini sebagai berikut : Bahwa Yesus memiliki dua natur dalam satu pribadiNya. Hubungan antara kedua natur ini adalah : Tidak bercampur, tidak berubah, tidak berbagi, dan tidak terpisah.

Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa dalam inkarnasi dan pengosongan diriNya: (1) Kristus selalu menjadi Allah. Sebelum InkarnasiNya, Kristus ada dalam rupa Allah (Filipi 2:6-8). Ketika menjadi manusia, Kristus tidak berhenti menjadi Allah; (2) Kristus selalu memiliki sifat-sifat Ilahi. Ketika menjadi manusia, Kristus tidak mengosongkan diriNya dari segala sifat-sifat dasar dan moralNya sebagai Allah. Sifat-sifat dasarNya antara lain: Mahahadir, Mahakuasa, Mahatahu, Tidak Berubah, Ada dengan Sendirinya, dan Kekal. Sifat-sifat moralNya seperti: Kekudusan, Kebenaran, Kasih, dan Kesetiaan. Yesus adalah Allah dulu dan sekarang, yang memiliki baik sifat-sifat Allah, dasar maupun moral. Dia memiliki sifat-sifat Allah karena Ia adalah Allah. Sebagai Allah-manusia Dia tidak pernah berhenti memiliki semua sifat Allah. Yesus sadar akan keilahianNya dan kemanusiaanNya; (3) Kristus sebagai Allah menjadi manusia yang bergantung. 


Pengosongan diri Yesus Kristus sebagai Allah ada dalam fakta bahwa Ia merendahkan diriNya, dan dari rupa Allah, Ia mengambil rupa hamba bagi diriNya. Sekalipun Dia Allah dan tidak pernah berhenti menjadi Allah dalam inkarnasi, Dia menjadi manusia yang tunduk, taat dan bergantung kepada Bapa untuk mengerjakan sifat-sifat dasarNya. Dari kehendak bebasNya sendiri Dia menundukkan diriNya sebagai Allah-Manusia kepada kehendak Bapa di dalam kebergantungan penuh kepada Roh Kudus. Kristus mengambil bagi diriNya keterbatasan-keterbatasan kemanusiaan yang sempurna dan melakukan penyerahan diri terus menerus dari kehendakNya. 

Hakikat keilahianNya tidak perlu mengalami kelaparan, kehausan, kelelahan, penderitaan, atau kematianNya, namun hakikat kemanusiaNya mengalami hal-hal itu. Dan Dia tidak pernah menggunakan hak ilahiNya untuk mengurangi kelemahan-kelemahan hakikat manusia. 

Tindakan merendahkan diri ini tidak dipaksakan kepadaNya atau bertentangan dengan kehendakNya, tetapi kasih dari Keallahan yang kekal mendesakNya untuk membawa penebusan bagi manusia yang berdosa. Dia tidak pernah bertindak berlawanan dengan kehendak Bapa dan semua pemakaian atau pernyataan sifat-sifat dasar atau moral ada dalam persetujuan dengan kehendak Bapa karena Dia dan Bapa adalah satu (Yohanes 10:30). (Silahkan baca artikel saya yang berjudul Ajaran tentang Inkarnasi Kristus dalam link ini: https://teologiareformed.blogspot.com/2018/09/ajaran-tentang-inkarnasi-yesus-kristus.html).
Next Post Previous Post