BENARKAH TUJUAN KEMATIAN KRISTUS UNTUK MEMBUKTIKAN KESALAHAN IBLIS?

Pdt.Samuel T. Gunawan,M.Th.
BENARKAH TUJUAN KEMATIAN KRISTUS UNTUK MEMBUKTIKAN KESALAHAN IBLIS?
otomotif, bisnis

(Menyingkap Kesalahan Teologis Teori Corpus Delicti Dalam Buku Kristologi Erastus Sabdono)


Mengulang yang telah saya jelaskan dalam artikel sebelumnya bahwa Erastus Sabdono mempercayai teori Konotisisme dan mengajarkan bahwa Kristus kehilangan KeallahanNya dan atau sifat-sifat KeallahanNya saat inkarnasi. 

Menurut Erastus Sabdono, kenosis adalah pengosongan diri Allah anak secara total atau mutlak dalam tugas penyelamatan umat Manusia. Artinya, Kristus benar-benar mengosongkan diriNya sendiri dari KeilahianNya dengan menyerahkan sifat-sifat KeilahianNya ketika Ia mengambil bagi diriNya kemanusiaan.

Dengan demikian mujizat-mujizat yang dilakukan oleh Yesus, bahkan kebangkitanNya terjadi bukan karena keilahianNya melainkan karena hal itu merupakan karunia dari Allah Bapa kepadaNya. Alasan pengosongan keilahianNya yang total ini menurut Erastus Sabdono adalah : (1) Sebab jika Yesus tidak mengosongkan diri secata total maka Ia tidak sah untuk tampil sebagai Juruselamat. (2) Ia harus sama seperti Adam dan tidak memiliki kelebihan dari Adam sebelum kejatuhan Adam ke dalam dosa.

Pandangan ini disajikan di bab V buku Kristologinya (halaman 45-61). Selanjutnya, berdasarkan teori Trikotomi tentang struktur permanen manusia yang dianutnya, Erastus Sabdono berpendapat bahwa Kristus sama seperti manusia memiliki tubuh, jiwa dan roh. TubuhNya adalah benar-benar seperti tubuh manusia, tetapi roh yang ada di dalam diriNya adalah Roh Anak Allah. Sedangkan jiwaNya ada atau berkembang karena pertemuan antara roh dan tubuh. Dengan demikian selain menganut trikotomi tentang struktur permanen manusia maka Erastus Sabdono juga menganut pandangan bahwa Kristus terdiri dari satu Pribadi dengan satu natur, yaitu natur kemanusiaan. Kenotisisme Erastus Sabdono ini terindikasi merupakan pencampuran dari ajaran sesat Apollinariansme abad ke 3 dan Eutikhesme abad ke 4.

Karena berpegang pada teori Kenotisisme tersebut di atas, maka Erastus Sabdono pada akhirnya juga mengakui dan mengajarkan teori Pekabilitas, yaitu bahwa Kristus dapat berdosa, dapat tidak taat dan dapat gagal. Artinya, Erastus Sabdono menyakini bahwa Kristus bukan hanya memiliki potensi untuk berdosa tetapi benar-benar dapat berdosa dan dapat gagal. Teori Pekabilitas Kristus muncul dan dibahas secara khusus oleh Erastus Sabdono dalam bab VII halaman 75-86 buku Kristologinya.

Pandangan Erastus Sabdono ini jelas salah dan bertentangan dengan ajaran Alkitab karena dalam ajarannya tersebut Kristus harus dapat berdosa dan mati dalam ketaatanNya kepada Allah hanya untuk menjadi Corpus Delicti. Perlu diketahui bahwa istilah Corpus Delicti menurut pengakuan Erastus Sabdono merupakan istilah yang terinspirasi dari buku Etika Kristen karya J. Vercuyl.[1] Tetapi istilah Corpus Delicti Erastus Sabdono secara teologis berbeda penggunaannya dengan Vercuyl. Vercuyl menggunakan istilah tersebut untuk menjelaskan bahwa hukum Taurat dapat dikatakan sebagai Corpus Delicti untuk membuktikan kesalahan manusia.[2]

Sedangkan Erastus Sabdono menggunakan istilah tersebut untuk menjelaskan bahwa manusia diciptakan sebagai Corpus Delicti untuk membuktikan kesalahan Lucifer (Iblis), tetapi karena manusia gagal menjadi Corpus Delicti maka tugas tersebut menjadi tugas Anak Allah (Yesus Kristus). Kesesatan teori Corpus Delicti Erastus Sabdono ini mencapai puncaknya pada pernyataan Erastus Sabdono yang mengejutkan bahwa Lucifer (Iblis) adalah putra Allah, dimana Allah memiliki dua putra, yaitu Lucifer dan Yesus, Putra TunggalNya.[3]

Sebagai tambahan, dari sekitar 15 buku yang ditulis Erastus Sabdono yang telah saya baca, hampir semua (termasuk Tritunggal, Kristologi, Soteriologi, Demonologi,dan Eskatologinya) memasukkan ajaran Corpus Delicti ini. Karena itulah saya menyimpulkan bahwa kelihatannya Erastus Sabdono membangun seluruh pandangan teologinya di atas pondasi teori Corpus Delicti. Atau dengan kata lain, bisa dikatakan bahwa Corpus Delicti adalah inti (core) sekaligus pusat (central) dalam teologi Erastus Sabdono. 

Salah satu penyataan teologis Erastus Sabdono yang menegaskan sentralitas corpus delicti dalam teologinya tertuang dalam buku yang berjudul Corpus Delicti: Hukum Kehidupan. Menurutnya, bahwa orang yang mengerti Corpus Delicti saja yang memiliki pandangan soteriologis (tentang keselamatan) yang utuh dan lengkap. Dengan kata lain, semua orang yang tidak memiliki pandangan corpus delicti seperti pandangannya pastilah memiliki pandangan soteriologis yang tidak utuh.[4]

Dengan demikian, menurut Erastus Sabdono, bahwa Kristus saat inkarnasiNya melepaskan KeillahianNya secara total (teori Kenotisisme) dan mengenakan kemanusiaan yang berpotensi untuk berdosa dan dapat berdosa (teori Pekabilitas) agar Dia dapat menjadi Corpus Delicti untuk membuktikan kesalahan Iblis (teori Corpus Delicti). Dengan demikian benang merah kesalahan teologis dalam Kristologi Erastus Sabdono tersebut berkembang dan bergerak dari teori Kenotisisme ke teori Pekabilitas dan bermuara pada teori Corpus Delicti.

TEORI CORPUS DELICTI DALAM BUKU KRISTOLOGI ERASTUS SABDONO

Ajaran Corpus Delicti Erastus Sabdono ini pernah saya tanggapi dalam artikel saya yang berjudul “Tanggapan Samuel T. Gunawan Terhadap Silogisme Corpus Delicti Pdt. Dr. Erastus Sabdono, M.Th”.[5] Karena luasnya sebaran ajaran Corpus Delicti Erastus Sabdono tersebut maka pada kesempatan ini saya hanya membahas yang tertuang dalam buku Kristologinya. Di dalam buku Kristologi yang ditulis Erastus Sabdono, ia menjelaskan bahwa tujuan kematian Kristus adalah menjadi Corpus Delicti untuk membuktikan kesalahan Iblis. Berikut saya kutip beberapa pernyataannya :

1. Di dalam Bab VII Erastus Sabdono mengatakan demikian, “Yesus harus menempatkan diri sebagai atau seperti mahluk ciptaan yang bersikap secara pantas sebagaimana seharusnya dihadapan Allah, penciptaNya. Itulah sebabnya Yesus harus mengosongkan diri dan menjadi sama dengan manusia (mahluk ciptaan). Yesus harus sempurna sebagai mahluk ciptaan guna menyelesaikan tugas tersebut sebagai Corpus Delicti. Yesus bukan hanya tidak boleh melanggar hukum, tetapi juga dalam segala tindakan harus selalu menyukakan hati Bapa; melakukan segala sesuatu sesuai dengan pikiran dan perasaan Bapa. Kualitas hidup seperti ini sebenranya yang seharusnya dikenakan oleh Lucifer sebelum jatuh. Lucifer diciptakan untuk itu. 

Tetapi Ia memilih jalannya sendiri, yaitu memberontak kepada Allah Bapa. Untuk membuktikaan kesalahan Lucifer maka harus ada Pribadi agung seperti maksud tujuan Allah menciptakan Lucifer. Yesus dapat mencapai kesempurnaan manusia yang diinginkan oleh Allah (Ibrani 5:9). …Mahluk ciptaan haraus menempatkan diri secara benar dihadapan Penciptanya. Semua itu telah dilakukan oleh Yesus dengan sempurna dalam inkarnasiNya sebagai manusia. KeberhasilanNya menaati Bapa tana syarat dapat membuktikan kesalahan Lucifer. 

Ia berhasil sebagai Corpus Delicti. Itulah kemenanganNya. Tugas untuk membuktikan kesalahan Lucifer yang jatuh ini sebenarnya adalah tugas Adam, tetapi ia gagal. Yesuslah yang menggantikan tempatnya atau tugas tersebut. Oleh sebab itu jelaslah Yesus tidak boleh kebal terhadap dosa, Ia harus berkeadaan seperti Adam yang bisa jatuh dalam dosa. Dalam segala hal Ia harus disamakan dengan manusia agar dapat menggantikan tempat manusia. Ini adalah prinsip keadailan”.[6]

2. Selanjutnya, di dalam bab XIII buku Kristologinya tersebut Erastu Sabdono mengatakan, “Kematian Tuhan Yesus di kayu salib dalam ketaatan kepada Bapa di surge adalah kematian yang mengerikan bagi Lucifer. Karena dengan hal itu terbukti bersalah dan hukumannya dapat ditentukan. Ada semacam rule of the game dalam pergulatan antara Kerajaan terang dan kerajaan kegelapan. Kalau ada yang bisa melakukan kehendak Bapa dengan sempurna, berarti Lucifer kalah dan harus dihukum, tetapi kalau tidak ada, maka Lucifer beroleh kemenangan. 

Ia akan menguasai jagad raya atau sebagiannya, manusia dan Tuhan Yesus Kristus sendiri. Manusia, yang juga disebut sebagai Adam yang terakhir yang menjadi jagonya Allah Bapa, adalah Tuhan Yesus. Seandainya Tuhan Yesus gagal, maka tidak bisa dibayangkan betapa rusaknya jagad raya ini. Bisa jadi surga dan bumi dalam kekuasaan Lucifer. Ia akan menjadi Bintang Timur yang gilang gemilang, artinya menerima kekuasaan baik di surga dan di bumi (Wahyu 22:16). … Kalau Tuhan Yesus bisa dicegah atau dihindarkan dari kematian salib dalam ketaatanNya kepada Bapa di surga, maka itu berarti kemenangan bagi Lucifer, sehingga apa yang didam-idamkan oleh Iblis, yaitu tahta Tuhan dapat dicapainya. 

Dalam hal ini dapat disaksikan dua putra Allah yang berjuang untuk merebut kemenangan. Lucifer adalah putra Allah yang memberontak dan Tuhan Yesus Kristus Putra Tunggal yang berdiri di pihak Bapa untuk melakukan kehendakNya. Kalau Tuhan Yesus tidak taat kepada Bapa atau berarti kalah atau gagal, maka cita-cita Lucifer verkuasa menayamai Allah bisa tercapai. 

Inilah yang memang diingininya dan terus dan terus diupayakan oleh oknum jahat tersebut… Kalau Tuhan Yesus kalah, maka Iblis menjadi tuhan untuk kemuliaan dirinya sendiri. Untuk ini Tuhan Yesus harus menang untuk merebut Bintang Timur (Wahyu 22:16) dan menjadi Tuhan bagi kemuliaan Allah (Filipi 2:10-11). Dengan kesediaanNya sebagai korban dan tampil sebagai pemenang maka ia bisa menjadi Corpus Delicti guna merebut segala kuasa di surga dan di bumi (Matius 28:18-20).” [7]

3. Secara khusus dalam bab XVII Erastus Sabdono menjelaskan bahwa tujuan kematian Kristus adalah untuk membuktikan kesalahan Iblis. Ia mengatakan demikian, “Mengapa Yesus mati? Adalah pertanyaan penting yang tidak boleh dianggap sederhana ada beberapa jawaban yang akan dipelajari dalam bab ini. Salah satunya adalah, bahwa ketaatan dan kesetiaan Tuhan Yesus kepada Bapa harus dibuktikan sampai pada kematian hal ini juga sekaligus untuk membuktikan kesempurnaan hidupnya sebagai Anak Allah guna pantas menjadi corpus delicti. 

Kalau belum sampai kematian, ketaatanNya belum berkualitas tinggi seperti yang dikehendaki oleh Allah Bapa. … untuk menunjukkan dan membuktikan kesalahan Lucifer yang jatuh, harus ada Corpus Delicti, yaitu fakta yang membuktikan bahwa suatu pelanggaran telah dilakukan. … Kematian Tuhan Yesus di kayu salib dalam ketaatan kepada Bapa di surga adalah kematian yang sangat mengerikan bagi Lucifer. 

Karena dengan ketaatanNya sampai kematian dapat membuktikan Iblis bersalah dan hukuman atas Iblis dapat dijatuhkan. Ada semacam rule of the game dalam pergulatan antara Kerajaan Terang dan kerajaan kegelapan. Kalau ada yang bisa melakukan kehendak Bapa dengan sempurna berarti kesalahan Lucifer dapat dibuktikan. Hal ini berarti kekalahan bagi Iblis dan ia bisa dihukum. 

Tetapi kalau tidak ada yang bisa membuktikan, maka Lucifer tidak terbukti berbuat kesalahan. Ini berarti kemenangannya. Dengan demikian Iblis bisa menguasai sebagian atau seluruh jagat raya, manusia dan Tuhan Yesus Kristus sendiri. Manusia yang juga disebut sebagai Adam yang terakhir yang menjadi jagoan Allah Bapa yang sesungguh adalah Tuhan Yesus. Ia menjadi pertaruhan untuk bertarung melawan Lucifer yang jatuh. Kalau Tuhan Yesus gagal, maka tidak bisa dibayangkan betapa rusaknya jagat raya ini. 

Bisa-bisa surga dan bumi dalam kekuasaan Lucifer. Ini berarti Iblis bisa menjadi bintang Timur, artinya memiliki kekuasaan baik di surga maupun di bumi. …Kalau seandainya Tuhan Yesus kalah, berarti tidak ada keselamatan atas umat ciptaanNya. Kalah disini maksudnya bahwa Tuhan Yesus gagal hidup dalam ketaatan yang sempurna kepada Bapa di surga (Ibrani 2:9). Kalau Tuhan Yesus tidak taat kepada Bapa sampai mati, berarti Ia kalah atau gagal. Sebagai akibatnya cita-cita Lucifer untuk bisa menyamai Allah dapat tercapai”.[8]

Ringkasnya, menurut Erastus Sabdono, putra Allah yang bernama Lucifer diciptakan segambar dengan Allah dilengkapi dengan kehendak bebas untuk melayani Allah, tetapi memilih tidak taat dan memberontak melawan Allah. Namun Allah tidak memiliki bukti untuk menghukum Lucifer (Iblis) atas pemberontakan dan ketidaktaatannya itu. Karena itulah Allah menciptakan manusia (Adam) yang segambar denganNya yang juga dilengkapi dengan kehendak bebas untuk bisa menaati Allah dan tidak memberontak. Adam diciptakan dengan tujuan menjadi Corpus Delicti untuk membuktikan kesalahan Lucifer dengan cara menaati Allah. Adam harus membuktikan bahwa ia dengan kehendak bebas mampu menaati Allah. Tetapi karena Adam jatuh dalam ketidaktaatan kepada Allah dan gagal menjadi Corpus Delicti maka tugas tersebut menjadi tugas Putra Tunggal Allah (Yesus Kristus). 

Ketaatan dan kesetiaan Tuhan Yesus kepada Bapa harus dibuktikan sampai pada kematianNya sekaligus membuktikan bahwa Ia layak menjadi Corpus Delicti untuk membuktikan kesalahan Iblis. Hanya melalui ketaatanNya sampai mati di kayu salib Kristus dapat membuktikan bahwa Iblis bersalah dan dengan demikian hukuman atas Iblis dapat dijatuhkan oleh Allah Bapa. Tetapi kalau Yesus gagal menjadi Corpus Delicti karena ketidaktaatannya maka Lucifer tidak terbukti berbuat salah dan ia bisa bebas. 

Jika itu yang terjadi, maka artinya kemenangan bagi Lucifer dan kekalahan bagi Allah, bahkan lebih lagi, Lucifer bisa menjadi penguasa atas sebagian atau seluruh jagat raya, manusia dan Tuhan Yesus Kristus sendiri. Karena itulah, Yesus benar-benar harus taat sampai mati di kayu salib karena hanya dengan cara demikianlah kesalahan Iblis bisa dibuktikan. Dengan demikian tujuan kematian Kristus adalah untuk membuktikan kesalahan Iblis.

EVALUASI ATAS TEORI CORPUS DELICTI ERASTUS SABDONO

Pertanyaan-pertanyaan yang muncul secara konstan sebagai respon sekaligus atas teori Corpus Delicti Erastus Sabdono tersebut di atas adalah sebagai berikut : (1) Benarkah Lucifer diciptakan segambar dengan Allah dan karena itu ia disebut putra Allah? (2) Benarkah hukuman atas kesalahan Lucifer belum dijatuhkan atasnya? (3) Benarkah bahwa tujuan Allah menciptakan manusia agar menjadi Corpus Delicti untuk membuktikan kesalahan Iblis? (4) Benarkah tujuan kematian Kristus di kayu salib untuk menunjukkan ketaatanNya agar dapat membuktikan kesalahan Iblis? Berikut jawaban atas keempat pertanyaan tersebut sekaligus sebagai evaluasi dari saya.

1. Benarkah Lucifer diciptakan segambar dengan Allah dan karena itu disebut putra Allah?
Jawabanya atas pertanyaan tersebut dengan tegas “tidak!” Menurut Alkitab satu-satunya mahluk ciptaan yang segambar dengan Allah adalah manusia. Hal ini secara gamblang dijelaskan dalam Alkitab di Kejadian 1:26a, “Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita”. Tidak ada di bagian manapun dalam Alkitab yang menyatakan bahwa Lucifer diciptakan segambar dengan Allah. 

Kelihatannya pendapat Erastus Sabdono yang menyatakan bahwa Lucifer (Iblis) diciptakan segambar dengan Allah adalah sebuah kesalahan tafsir atas frase “gambar dari kesempurnaan engkau” dalam Yehezkiel 28:12 yang mengacu pada Lucifer. Berdasarkan frase dalam ayat itu Erastus Sabdono menyimpulkan karena Lucifer diciptakan segambar dengan Allah, maka ia bukanlah malaikat melainkan makluk roh yang khusus.[9] 

Tafsiran Erastus Sabdono atas teks tersebut tentu saja salah, karena kata gambar yang ditujukan kepada manusia dalam Kejadian 1:26 berbeda dengan kata gambar yang disebutkan dalam Yehezkiel 28:12. Kata “gambar” dalam frase “gambar dari kesempurnaan” yang disebutkan dalam Yehezkiel 28:12 (AITB, RSV), yang ditafsir sebagai merujuk kepada Iblis atau Setan oleh Erastus Sabdono berasal dari frase Ibrani “khôtém tokhníth”. Dimana kata “khôtém” tersebut berbeda artinya dari kata “tsélém” seperti yang dikenakan kepada manusia dalam kejadian 1:26. Kata “tsélém” atau “gambar” berarti gambar yang dihias, suatu bentuk dan figur yang representatif yaitu suatu gambar dalam pengertian yang konkret atau nyata. 

Artinya manusia bukanlah hanya diciptakan dalam gambar Allah, tetapi manusia itu adalah gambar Allah. Sedangkan kata gambar (“khôtém”) yang dipakai dalam Yehezkiel 28:12 menujuk kepada “penutup atau meterai” dan bukan gambar dalam pengertian “segambar”. Anton T. Peterson mengatakan bahwa dalam Teks Masoret frase “gambar dari kesempurnaan engkau” adalah “engkau yang memeteraikan, atau pemeterai (khôtém) jumlah, ukuran, simetri, yaitu “kesempurnaan” (tokhníth). 

Pemakaian ini tidak muncul ditempat lain dalam Perjanjian Lama, dan terjemahan versi-versi lainnya sangat beragam. Sebuah naskah, LXX, Siria, dan Vulgata berbunyi, “Engkaulah pemeterai (hôtam) jumlah, dan seterusnya, seperti dalam teks Masoret. Versi Siria dan Vulgata berbunyi, cincin meterai dari yang serupa (tabnít) dengan Allah. Terjemahan lain yang diajukan adalah “engkau bijak hingga sempurna (‘at hãkãm letaklít)”.[10] 

Dengan demikian, berdasarkan penjelasan tersebut di atas jelaslah bahwa Erastus Sabdono telah melakukan eisegeis (kesalahan eksegesis) ketika menyimpulkan bahwa frase “gambar dari kesempurnaan” dalam Yehezkiel 28:12 tersebut menunjukkan bahwa Lucifer segambar dengan Allah.
Lalu bagaimana dengan pendapat Erastus bahwa Lucifer adalah putra Allah? Pendapat tersebut jelas salah dan tidak dapat dipertahankan dari dari kajian teologi biblika. Pendapat tersebut tidak lebih dari sekedar tafsiran yang bersifat spekulasi dalam upayan mendukung teori Corpus Delictinya. Lucifer bukanlah putra Allah, melainkan malaikat kerub yang diciptakan untuk melayani Allah tetapi jatuh dalam pemberontakannya melawan Allah. Saya ingin menjelaskan bahwa ayat-ayat seperti Yehezkiel 28:12-18 dan Yesaya 14:12-14 ditafsirkan berdasarkan hukum double reference,[11] 

yaitu satu teks nubuat yang membicarakan dua peristiwa yang berbeda dan terpisah jauh, dimana penggenapan yang satu terjadi dalam kala kini dan lampau. Secara normal dan literal, ketika disampaiakan, teks dalam Yehezkiel tersebut berisi nubuatan tentang kejatuhan raja Tirus sedangkan teks dalam Yesaya menubuatkan tentang kejatuhan raja Babel. Namun gambaran yang dinarasikan dalam kedua teks tersebut jauh melampaui gambaran seorang manusia. 

Karena itu ayat ini juga dianggap menyingkapkan figur lain di masa lalu. Atau dengan kata lain, di dalam kedua ayat nubuatan ini Lucifer (Iblis) dipersonifikasikan di bawah figur raja Tirus dan raja Babel. Charles C. Ryrie menyatakan bahwa Lucifer termasuk dalam golongan malaikat-malaikat kerubim (Yehezkiel 28:14) dan rupanya dia adalah ciptaan yang tertinggi (Yehezkiel 28:12).[12] 

Sebagai tambahan, bahwa Iblis atau Setan termasuk malaikat golongan kerubim didukung oleh teks Masoret. Terjemahan AITB “Kuberikan tempatmu dekat kerub yang berjaga” dalam teks Masoret adalah “engkau (‘at) adalah kerub”.[13] Kata “Lucifer” ini berasal dari kata Ibrani “héylél” berarti “yang bersinar, pembawa terang, atau bintang timur” (Lihat, Yesaya 14:12).[14]Dalam Septuaguinta kata “héylél” diterjemahkan dengan kata Yunani “heôsphoros”.[15] Paul Enns menjelaskan bahwa setelah kejatuhannya, malaikat kerub ini tidak pernah lagi disebut dengan sebutan yang terhormat itu.[16] 

Selanjutnya, jika Lucifer adalah putra Allah, maka bagaimana mungkin Yesus Kristus disebut sebagai Anak Tunggal Allah (Yohanes 1:14, 18; 3:18)? Secara logis, jika Lucifer adalah putra Allah maka Yesus jelas bukan Putra Tunggal Allah. Dan ini tidak mungkin karena Alkitab dengan tegas mengatakan bahwa Yesus adalah Putra Tunggal Allah. Perlu dimengerti bahwa istilah “Putra Tunggal” atau “Anak Tunggal” dalam Yohanes 1:14, 18; 3:16; 1 Yohanes 4:9 berasal dari kata Yunani “monogenes” yang menunjuk pada Yesus sebagai Anak Tunggal Allah yang “unik” atau “hanya satu-satunya dan tidak ada yang lain sejenis Dia”, atau “satu-satunya contoh dari kategorinya”. 

Istilah Anak Tunggal digunakan untuk menandai keunikan Yesus di atas semua keberadaan di dunia dan di surga, tetapi ini tidak menunjuk pada titik awal dalam waktu. Artinya jelas bahwa Anak Tunggal tidak berarti menjadi berada, tetapi mengekspresikan keunikan dari Pribadi itu. Kristus adalah unik sebagai satu-satunya Putra Allah, yang diutus oleh Bapa dari Surga.[17]

(2) Benarkah hukuman atas kesalahan Lucifer belum dijatuhkan atasnya?
Jawabanya atas pertanyaan tersebut dengan tegas “tidak!” Alkitab menyingkapkan bahwa kesalahan Lucifer, yang disebut juga Iblis atau Satan[18]itu telah terbukti dengan pemberontakan yang dilakukannya. Paul Enns menjelaskan bahwa kejatuhan Lucifer dijabarkan di Yehezkiel 28 dan Yesaya 14. Karena dosanya Lucifer dilemparkan dari hadirat Allah (Yehezkiel 28:16). 

Alasan bagi kejatuhan Lucifer adalah kesombongannya; hatinya ditinggikan oleh karena keindahannya, dan hikmatnya menjadi korup (Yehezkiel 28:16). Yesaya 14:12-14 kemudian menjabarkan dosaLucifer yang memimpin pada kejatuhan.[19] Kemudian Paul Enns juga menjelaskan bahwa sebagai kerub yang diurapi, Lucifer memimpin suatu pasukan malaikat, kemungkinan besar sepertiga dari semua malaikat dalam kejatuhannya (Yehezkiel 28:16-17; Wahyu 12:4).[20] Serupa itu, Tony Evans menjelaskan bahwa Wahyu 12:4 menunjukkan pada sepertiga malaikat di surga membelot bersama Lucifer.[21] 

Lalu pertanyaannya, bukti apa lagi yang diperlukan untuk menunjukkan kesalahan Lucifer? Kesalahannya sudah dibuktikan dengan tindakan pemberontakannya dan dengan demikian tidak diperlukan lagi bukti-bukti (corpus delicti) lainnya. Tuhan dalam kedaulatanNya telah menetapkan hukuman neraka kepada Lucifer (Iblis, Setan) yang memberontak itu. Bukankah Alkitab menyatakan bahwa neraka telah disediakan untuk Iblis dan pengikut-pengikutnya? Yesus sendiri mengatakan, “Dan Ia akan berkata juga kepada mereka yang di sebelah kiri-Nya: Enyahlah dari hadapan-Ku, hai kamu orang-orang terkutuk, enyahlah ke dalam api yang kekal yang telah sedia untuk Iblis dan malaikat-malaikatnya” (Matius 25:41). 

Jadi putusan hukum telah dijatuhkan atas Lucifer saat pemberontakannya yaitu hukuman neraka. Dan ekseskusi atas Lucifer berdasarkan putusan hukum tersebut telah ditetapkan untuk dilaksnakan di akhir zaman nanti. Wahyu 20:10 mengatakan, “dan Iblis, yang menyesatkan mereka, dilemparkan ke dalam lautan api dan belerang, yaitu tempat binatang dan nabi palsu itu, dan mereka disiksa siang malam sampai selama-lamanya”. Allah berdaulat dan Ia akan melaksanakan apa yang sudah menjadi penentuan keputusanNya.

(3) Benarkah bahwa tujuan Allah menciptakan manusia agar menjadi Corpus Delicti untuk membuktikan kesalahan Iblis?
Jawabanya atas pertanyaan tersebut dengan tegas “tidak!” Pendapatnya Erastus Sabdono bahwa tujuan Allah menciptakan manusia agar menjadi corpus delicti untuk membuktikan kesalahan Iblis sekali lagi adalah spekulasi teologis yang tidak didukung oleh kajian Alkitab yang memadai. Menurut Alkitab manusia yang diciptakan segambar dan rupa dengan Allah menunjukkan bahwa manusia dalam hal tertentu merupakan refleksi yang nyata dari Allah yang hidup, yang cerdas dan bermoral. Dengan kata lain, manusia memiliki “citra” Allah di dalam dirinya. 

Namun menurut Eugene H. Merrill bahwa sejalan dengan disiplin keilmuan yang muncul belakangan, diyakini di sini bahwa terjemahan dari “betsaléménú (dalam gambar Kita)” dan “kiemuthénú (menurut rupa Kita)” seharusnya berbunyi “seperti gambar Kita” dan “menurut rupa Kita”. Artinya manusia bukanlah hanya diciptakan dalam gambar Allah, tetapi dia adalah gambar Allah. Sebagaimana pada masyarakat Timur Dekat Kuno, gambar-gambar atau patung-patung mewakili dewa-dewa dan raja-raja, sehingga mereka pada akhirnya dapat saling dipertukarkan, demikian juga manusia sebagai gambar Allah diciptakan untuk mewakili Allah sendiri sebagai penguasa tertinggi atas semua ciptaan.[22] 

Kata Ibrani “tsélém” dan “demúth” tersebut dalam bahasa Latin diterjemahkan dengan “imago” dan “similitudo”. Pada waktu dosa masuk ke dalam manusia, gambar Allah pada manusia itu rusak tetapi tidak dihapus atau gambar itu tidak hilang begitu saja. Sebab kalau gambar Allah itu hilang maka manusia bukan lagi mahluk hidup yang rasional. Bukti lebih lanjut bahwa gambar itu tidak hilang diketahui dari pemakaian Alkitab akan hal tersebut setelah kejatuhan.[23]

Rujukan yang jelas mengenai tidak lenyapnya gambar Allah (imago dei) setelah kejatuhan adalah Mazmur 8:6. Penebusan manusia, kelahiran kembali, dan penyucian berfungsi untuk memperbaharui kembali manusia yang percaya menurut gambar Kristus yang pada gambar tersebut, pada suatu hari nanti kita akan secara sempurna disesuaikan (Roma 8:29; 2 Korintus 3:18; Efesus 2:8-10.[24] Penebusan itu perlu untuk menunjukkan gambar Allah yang tidak hilang pada manusia. [25]

Dalam menampilkan citra Allah tersebut, manusia yang cerdas dan bermoral itu diberi mandat oleh Tuhan untuk menguasai, memelihara dan melestarikan seluruh ciptaanNya yang ada di bumi ini. Tuhan berfirman kepada mereka, “Beranakcuculah dan bertambah banyak; Penuhilah bumi dan taklukanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi”. (Kejadian 1:28). Sebelumnya dalam keputusan ilahi Tuhan telah berfirman, “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi” (Kejadian 1:26). 

Di sini jelas bahwa Tuhan berbagi kekuasaan kepada manusia. Manusia mendapat mandat atau otoritas dari Allah untuk, menguasai, mengelola dan melestarikan ciptaanNya, serta menjalankan hidup mereka. Menurut Kejadian 1:26,28, kata Ibrani yang dipakai untuk kata “berkuasalah” adalah “rãdãh” dan kata “taklukkanlah” adalah “kãbaš” merupakan dua kata kerja bentuk imperatif mengandung arti kekuasaan, yang mengindikasikan bahwa manusia harus menguasai seluruh ciptaan Tuhan sebagaimana para raja Ibrani dikemudian hari menguasai rakyatnya. 

Raja-raja ini tidak boleh memerintah demi keuntungannya sendiri, melainkan demi kesejahteraan rakyat. Jadi dalam kejadian pasal 1 ini Allah sendiri memberikan mandat atau otoritas kepada manusia untuk, menguasai, mengelola dan melestarikan ciptaanNya, tetapi di dalam mandate tersebut tidak ada perintah (bahkan indikasipun tidak ada) bahwa manusia diciptakan agar menjadi Corpus Delicti untuk membuktikan kesalahan Iblis seperti yang diajarkan oleh Erastus Sabdobo. Lagi pula menurut Alkitab, tujuan manusia manusia adalah untuk kemuliaan Allah (Roma 11:33-36). 

Arah tujuan manusia di dunia ini adalah Allah, Sang Pencipta. Apapun yang manusia lakukan haruslah untuk memuliakan Allah. Rasul Paulus mengatakan, “Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah” (1 Korintus 10:31). Ini berarti memuliakan Tuhan merupakan tujuan tertinggi manusia.
(4) Benarkah tujuan kematian Kristus di kayu salib untuk menunjukkan ketaatanNya agar dapat membuktikan kesalahan Iblis?

Jawaban atas pertanyaan ini adalah dengan tegas adalah “tidak!” Alkitab mengajarkan bahwa ketaatan Kristus sampai mati di kayu salib bukanlah bertujuan untuk membuktikan kesalahan Iblis. Perlu ditegaskan bahwa seluruh kehidupan Kristus tentu saja merupakan kehidupan dalam ketaatan. Diawali dengan kesediaanNya untuk menerima inkarnasi (Ibrani 10:5-10), dan diteruskan dalam sepanjang kehidupanNya di dunia (Lukas 2:52; Yohanes 8:29), bahkan di dalam penderitaan-penderitaanNya Ia tetap taat (Ibrani 5:8).[26]Rasul Paulus mengajarkan bahwa Yesus Kristus hidup dalam ketaatan, bahkan Ia taat sampai mati di kayu salib (Filipi 2:8). 

Penderitaan-penderitaan yang dialami Kristus dalam kematianNya disebut ketaatan yang pasif. Sedangkan ketaatan yang ditunjukkanNya selama hidupNya disebut ketaatan aktif.[27]Mengapa Kristus perlu taat sepanjang hidupNya, bahkan sampai mati? Menurut Alkitab alasannya adalah karena Adam telah tidak taat kepada Allah dank arena ketidaktaatan Adam maka semua orang telah menjadi berdosa (Roma 3:23; Roma 5:19). 

Karena itu diperlukan ketaatan dari Kristus (Adam yang kedua) agar melalui ketaatanNya manusia dibenarkan (Roma 5:19). Melalui ketaatan yang aktif dari Kristus, yaitu ketaatanNya di bawah hukum Taurat dari sejak lahir hingga kematianNya, Kristus berhasil mengklaim hidup kekal bagi orang percaya dan sebagai akibatnya di dalam Dia orang percaya itu mendapat hidup yang kekal. 

Sedangkan melalui ketaatanNya yang pasif Kristus mengalami penderitaan dan menanggung murka Allah dari Getsemani sampai kepada kematianNya di kayu salib. Murka Allah harus ditimpakan kepada Kristus karena Kristus harus menderita dan mati di kayu salib untuk menanggung hukuman dosa dan pemberontakan manusia (Yesaya53:4-5; 1 Petrus 2:24). Dengan kata lain, Yesus menggantikan manusia untuk menderita dan menerima murka Allah dalam rangka menanggung penghukuman karena dosa manusia.[28]

Sepanjang sejarah gereja ada berbagai teori yang salah mengenai tujuan kematian Kristus di kayu salib, antara lain: teori Ransom, teori Rekapitulasi, teori Komersial, teori Moral, teologi Teladan, teori Kecelakaan, dan teori Pemerintahan.[29]Teori apapun yang tidak mengakui bahwa kematian Kristus di atas kayu salib terkait dengan penebusan dosa dan korban penggantian, maka teori tersebut sudah dapat dipastikan salah atau bahkan sesat.[30] Teori Corpus Delicti dari Erastus Sabdono nampaknya tidak dapat diasosiasikan ke dalam salah satu dari berbagai teori penebusan tersebut di atas. 

Tetapi bila dicermati teori pembuktian Corpus Delicti ini mengarah kepada ajaran Saksi-Saksi Yehowa modern. Berikut ini saya kutip artikel Saksi-Saksi Yehowa yang berjudul “Mengapa Yesus Harus Mati” dari website resmi mereka : “Yesus taat sampai mati. Hal itu membuktikan bahwa manusia bisa tetap setia kepada Allah meski menghadapi kesulitan apa pun.​—Filipi 2:8. Meski punya tubuh dan pikiran yang sempurna, Adam tidak menaati Allah karena dia egois. Dia menginginkan sesuatu yang bukan miliknya. (Kejadian 2:​16, 17; 3:6) 

Pada zaman Ayub, musuh Allah, Setan, berkata bahwa tidak ada manusia yang benar-benar tulus menaati Allah, apalagi jika nyawa mereka terancam. (Ayub 2:4) Tapi sebagai manusia sempurna, Yesus membuktikan bahwa dia bisa taat dan tetap setia kepada Allah meski dia dihukum mati dengan cara yang hina dan menyakitkan. (Ibrani 7:​26) Ini menjawab tuduhan Setan! Manusia bisa tetap setia kepada Allah meski menghadapi kesulitan atau tantangan apa pun”.

Meskipun elemen-elemen tertentu dalam teori Corpus Delicti terlihat mirip dengan beberapa teori di atas, bahkan mirip dengan ajaran Saksi-Saksi Yehowa, tetapi lebih baik menempatkan teori Corpus Delicti ini sebagai teori baru dalam sejarah Kristologis. Teori Corpus Delicti ini salah karena telah gagal melihat tujuan kematian Kristus di atas kayu salib terkait dengan penebusan dosa dan korban penggantian. Selain itu, teori Corpus Delicti telah meninggikan Iblis dengan menempatkannya diposisi yang setara dengan Anak Allah (Kristus). 

Padahal menurut Alkitab, Lucifer ketika diciptakan (sebelum kejatuhannya) posisinya tidak lebih tinggi dari Penghulu malaikat Mikhael ataupun malaikat Gabriel. Selanjutnya, dengan mengajarkan bahwa tujuan kematian Kristus untuk membuktikan kesalahan Iblis, teori Corpus Delicti telah menjadikan Iblis sebagai sasaran utama drama penebusan. Teori Corpus Delicti mengajarkan bahwa ketaatan dan kesetiaan Tuhan Yesus kepada Bapa harus dibuktikan sampai pada kematianNya sekaligus membuktikan bahwa Ia layak menjadi Corpus Delicti untuk membuktikan kesalahan Iblis. Hanya melalui ketaatanNya sampai mati di kayu salib Kristus dapat membuktikan bahwa Iblis bersalah dan dengan demikian hukuman atas Iblis dapat dijatuhkan oleh Allah Bapa.

Apabila tujuan kematian Kristus bukanlah untuk membuktikan kesalahan Iblis seperti yang diajarkan dalam teori Corpus Delicti, lalu apakah sebenarnya tujuan dari kematianNya itu? Kevin J. Conner dalam menanggapi berbagai teori keliru tentang kematian Kristus tersebut mengatakan demikian, “Semua teori-teori ini tidak tepat dan memiliki elemen-elemen yang keliru di dalamnya. Teori-teori tersebut merupakan pikiran alami yang berupaya menjelaskan kematian Kristus yang unik sehingga menyimpangkan kebenaran. 

Kristus benar-benar mati sebagai hasil kesetiaan kepada kebenaran yang Dia ajarkan dan yakini. Dia benar-benar mati sebagai ekspresi kasih Allah. Dia benar-benar mati untuk menegakkan kebenaran dari pemerintahan Allah. Dia mati untuk membayar harga pembebasan dosa. Tetapi semuanya ini hanyalah sebagian aspek dari kematianNya. Teori-teori tersebut menghilangkan tujuan utama dari kematianNya yakni pendamaian. Menghilangkan kematian Kristus yang mendamaikan berarti menghilangkan kebenaran mendasar dari karya Kristus”.[31] 

Dan saya menambahkan bahwa teori Corpus Delicti menambahkan satu kesalahan lagi dalam daftar kesalahan teori penebusan tersebut di atas. Disini Kevin J. Conner mengakui bahwa tujuan utama kematian Kristus adalah pendamaian. Dan apa yang dinyatakan oleh Kevin J. Conner tersebut di atas selaras dengan seluruh kebenaran Alkitab. Ajaran-ajaran Alkitab yang dirangkum dalam istilah-istilah soteriologis seperti penebusan, korban pengganti (substitusi), peredaan murka (propisiasi), penghapusan kesalahan (ekspiasi), pengampunan (amnesti), dan pembenaran(Jastifikasi) merupakan bagian-bagian penting dari pendamaian yang besar (the great atonement) yang dikerjakan Kristus melalui kematianNya di kayu salib. Mengenai ajaran pendamaian yang besar ini dapat dibaca dalam artikel saya di link ini :

TUJUAN KEMATIAN KRISTUS MENURUT PANDANGAN ALKITAB

Pendamaian merupakan doktrin yang paling penting dan menentukan dalam soteriologi. Millard J. Millard J.Erickson mengatakan, “doktrin pendamaian ini merupakan doktrin yang paling menentukan bagi kita karena di dalamnya kita berhadapan dengan titik balik dari, katakanlah, unsur obyektif kepada unsur subyektif dari teologi Kristen. 

Di dalam doktrin ini kita menggeser fokus kita dari sifat Kristus kepada karyaNya yang aktif demi kita; di dalam doktrin ini teologi sistematika diterapkan langsung pada kehidupan kita. Pendamaian telah memungkinkan keselamatan kita”.[32]Leon Morris, walau terkesan ekstrem, mengatakan demikian “Pendamaian merupakan doktrin yang paling penting dari iman Kristen. Kecuali pemahaman kita benar mengenai pendamaian ini, setidak-tidaknya bagi saya, maka tidak terlalu penting lagi pemahaman kita tentang doktrin yang lain”.[33] 

Morris Juga menyatakan, “Yang sangat penting dalam beberapa diskusi belakangan ini adalah konsep Paulus tentang pendamaian. Istilah ini dipakai dalam sejumlah kecil bagian (Roma 5:10-11; 2 Korintus 5:18-20; Efesus 2:16; Kolose 1:20-22), tetapi tersirat dalam banyak ayat lainnya, misalnya bagian-bagian yang berbicara tentang perdamaian yang terjadi antara Allah dengan manusia. Pendamaian ini dapat dipastikan merupakan suatu konsep yang penting dan adalah sangat berarti bahwa Paulus melihat kematian Kristus telah menyelesaikan permusuhan yang diakibatkan oleh dosa, dan membawa khasiat pendamaian yang berjangkauan jauh”.[34]

Secara khusus rasul Paulus dalam ayat bacaan kita di atas menyatakan bahwa “Allah, yang dengan perantaraan Kristus telah mendamaikan kita dengan diriNya (2 Korintus 5:18)” dan “Allah telah mendamaikan dunia dengan diriNya oleh Kristus (2 Korintus 5:19)”. Kata “mendamaikan” dalam ayat tersebut merupakan terjemahan dari kata Yunani “katallasso” yang berarti “mengubah permusuhan menjadi persahabatan”.[35]Kata “katallasso” ini digunakan pada pendamaian antara manusia dengan Allah dan antara seorang wanita yang kembali kepada suaminya (Roma 5:10,11; 11:15; dan 1 Korintus 7:11).[36] George W. Peters mengatakan, “Paulus telah menanamkan banyak kebenaran, yang tak terhapuskan, kepada dunia. 

Yang paling menonjol diantaranya ialah kenyataan bahwa ‘Allah mendamaikan dunia dengan diriNya oleh Kristus’. Dengan kata lain, Allah telah menyediakan di dalam Kristus keselamatan yang cukup untuk menyelamatkan manusia dari kebinasaannya yang mutlak dan kekal serta menawarkan kemuliaan yang tak terkatakan serta tak terlukis. Paulus menekankan bahwa Allah telah memberikan seorang Juruselamat dan keselamatan yang cukup untuk semua manusia”.[37]

Ketika Kristus mengatakan kepada murid-muridNya , “sama seperti Bapa telah mengutus Aku,..” (Yohanes 2O:21), kita langsung teringat pada kata “misi”. Istilah “misi” atau “mission (Inggris)” berasal dari kataLatin “missio” yang berarti “mengutus”, hampir sama dengan kata dalam bahasa Yunani “apostello”, yang artinya “mengutus”.[38] Kata “apostello” muncul sebanyak 135 kali dalam seluruh Perjanjian Baru, di mana sebanyak 123 kali digunakan dalam Kitab Injil dan Kisah Para rasul.[39] George W. Peter, seorang pakar misiologi mengatakan, “kata kerja ‘apostello’ mengandung arti pengutusan seorang duta dengan satu tugas khusus. Karenanya kata itu dipakai untuk misi dari anak Allah, dan untuk rasul-rasulNya.”[40]

Sebagai Anak, Kristus telah diutus oleh Bapa ke dalam dunia dengan satu tugas khusus, karena itu Ia disebut dengan sebutan “Rasul” (Apostle). Penulis Kitab Ibrani dengan jelas mengatakan demikian, “Sebab itu, hai saudara-saudara yang kudus, yang mendapat bagian dalam panggilan sorgawi, pandanglah kepada Rasul dan Imam Besar yang kita akui, yaitu Yesus” (Ibrani 3:1). Jadi, Allah telah mengutus Kristus ke dalam dunia melalui inkarnasiNya untuk melaksanakan tugas khusus, yaitu misi pendamaian. Injil Yohanes menyebut Yesus dengan gelar “Anak Domba Allah” (Yohanes 1:29,36). Pada sebutan pertama, gelar ini diperjelas dengan keterangan tambahan “yang menghapus dosa dunia” (Yohanes 1:29). Gelar itu memberitahukan kita betapa pentingnya misi Yesus itu. 

W. Hall Harris mengatakan, “Bahwa misi itu berkaitan dengan pendamaian sangat sejalan dengan penghapusan dosa dan juga dengan pernyataan-pernyataan lain di bagian selanjutnya dalam Injil Yohanes : ‘Sebab Allah mengutus AnakNya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkanNya oleh Dia’ (Yohanes 3:17); dan ‘kami percaya, tetapi bukan lagi karena apa yang kau katakan, tetapi sebab kami sendiri telah mendengar Dia dan kami tahu, bahwa Dialah benar-benar Juruselamat dunia’ (Yohanes 4:42)”.[41]

Millard J. Erickson menjelaskan tentang maksud pengutusan Yesus ke dalam dunia ini demikian, “Yesus cukup menyadari bahwa Ia diutus oleh Bapa, dan bahwa Ia harus melakukan pekerjaan Sang Bapa. Dia menyatakan dalam Yohanes 10:36 bahwa Bapa telah mengutusNya ke dalam dunia ini. Dalam Yohanes 3:38 Yesus mengatakan, ‘Sebab Aku telah turun dari surga bukan untuk melakukan kehendakKu, tetapi untuk melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku’. 

Rasul Yohanes juga dengan jelas menghubungkan pengutusan oleh Bapa dengan karya penebusan dan pendamaian Anak, ‘Sebab Allah mengutus AnakNya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia’ (Yohanes 3:17). Jelas bahwa maksud kedatangan Kristus adalah untuk mengadakan pendamaian, dan Allah Bapa ikut terlibat dalam karya tersebut. Yang dimaksud dengan menekankan bahwa kedatangan Anak adalah karena diutus oleh Bapa ialah untuk menjelaskan bahwa karya Anak tidaklah terlepas dari, atau tidak bertentangan dengan, apa yang dilakukan Bapa.”[42]

Misi itu telah selesai dikerjakan Kristus, karena dunia telah didamaikan dengan Allah oleh Kristus melalui kematianNya (2 Korintus 5:15-20). Kapan misi itu selesai? Ketika disalib sebelum mati Yesus berkata “sudah selesai” (Yohanes 19:30). Kata “sudah selesai” adalah kata Yunani “τετελεσται – tetelestai” ini berasal dari kata kerja τελεω – teleô, artinya "mencapai tujuan akhir, menyelesaikan, menjadi sempurna”. Kata ini menyatakan keberhasilan akhir dari sebuah tindakan. Paul Enns menyatakan, “Karya Kristus sesuai dengan tujuanNya datang ke dunia, digenapkan dalam Yohanes 19:30. Setelah enam jam di atas kayu salib Yesus berseru ‘sudah selesai!’ (Yunani: Tetelestai). 


Yesus tidak mengatakan ‘saya telah selesai!’, tetapi ‘sudah selesai!’. Ia telah menyelesaikan pekerjaan yang diberikan Bapa kepadaNya; karya keselamatan telah diselesaikan. Tensa bentuk lampau dari kata kerja ‘tetelestai’ dapat diterjemahkan ‘hal itu akan tetap selesai’, artinya pekerjaan itu untuk selamanya selesai dan akibat dari selesainya pekerjaan itu terus berlaku”.[43] Ditempat lain, Paul Enns mengatakan, “bagaimana Kristus mencapai pendamaian? Melalui kematianNya (Roma 5:10). Karena Kristus adalah Allah, kematianNya tak ternilai hargaNya, menyediakan pendamaian bagi dunia. Hal ini signifikan karena kematian Kristus menjadikan dunia bisa diselamatkan”.[44]

Berita pendamaian yang sudah selesai Yesus kerjakan itu harus disampaikan kepada dunia oleh orang-orang percaya melalui pemberitaan Injil dengan panggilan “berilah dirimu didamaikan dengan Allah” (2 Korintus 5:20), dan “percayalah kepada Yesus Kristus maka engkau akan selamat” (Kisah Para Rasul 16:31). Jadi meskipun dunia telah didamaikan dengan Allah melalui kematian Kristus, tetapi setiap orang secara pribadi harus memberi dirinya sendiri untuk didamaikan dengan Allah dengan percaya kepada Kristus. 

Dan hanya dengan cara demikianlah, maka keadaannya dihadapan Allah diubah. Karena pendamaian yang terjadi di dalam kematian Kristus, maka sekarang manusia dapat diselamatkan. Tetapi hal itu sendiri tidak menyelamatkan satu manusia pun, sebab pelayanan pendamaian itu harus dilaksanakan dengan setia melalui pemberitaan Injil. Pada saat seseorang menjadi percaya, maka ia menerima pendamaian yang diberikan Allah di dalam kematian Kristus (2 Korintus 5:18-21). Dunia telah didamaikan, tetapi setiap orang secara pribadi perlu didamaikan. Pendamaian secara universal ini mengubah keadaan dunia dari tidak dapat diselamatkan menjadi dapat diselamatkan. Pendamaian secara pribadi melalui iman benar-benar membawa pendamaian itu dalam hidup orang yang bersangkutan dan mengubah keadaan orang itu dari tidak diselamatkan menjadi diselamatan.

PENUTUP

Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa teori Corpus Delicti dalam buku Kristologi Erastus Sabdono yang menjelaskan bahwa Lucifer diciptakan segambar dengan Allah dan karena itu ia disebut putra Allah jelas bertentangan dengan ajaran Alkitab yang sehat dan wajar. Demikian juga ajarannya yang menyatakan bahwa hukuman atas kesalahan Lucifer belum dijatuhkan karena belum dapat dibuktikan kesalahannya juga jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Alkitab yang menunjukkan bahwa hukuman atas Iblis telah dijatuhkan. 

Selanjutnya, ajaran yang menyatakan bahwa tujuan Allah menciptakan manusia agar menjadi Corpus Delicti untuk membuktikan kesalahan Iblis juga bertentangan dengan ajaran Alkitab yang menyatakan bahwa tujuan manusia diciptakan adalah untuk kemuliaan Allah dan tidak ada kaitannya secara langsung dengan pembuktian kesalahan Iblis. Demikian juga tujuan kematian Kristus di kayu salib dalam ketaatanNya bukanlah untuk membuktikan kesalahan Iblis, melainkan untuk tujuan pendamaian yang berhubungan dengan dosa manusia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa teori Corpus Delicti yang diajarkan Erastus Sabdono tidak dibangun di atas kajian teologi yang Alkitabiah dan sehat, tetapi tidak lebih dari sekedar spekulasi teologis belaka.

CATATAN KAKI
[1] Sabdono, Erastus., 2016. Corpus Delicti: Hukum Kehidupan. Diterbitkan Rehobot Literatur: Jakarta, hal 41-42.
[2] Vercuyl, J., 2009. Etika Kristen: Bagian Umum. Diterbitkan BPK Gunung Mulia: Jakarta, hal. 88-89
[3] Sabdono, Erastus., 2018. Kristologi: Mengenal Pribadi Kristus. Diterbitkan Rehobot Literatur: Jakarta, hal. 148.
[4] Sabdono, Erastus., Corpus Delicti: Hukum Kehidupan, hal 3.
[5] https://web.facebook.com/notes/samuel-t-gunawan/tanggapan-samuel-t-gunawan-terhadap-silogisme-corpus-delicti-pdt-dr-erastus-sabd/1064168483632332
[6] Sabdono, Erastus., Kristologi: Mengenal Pribadi Kristus, hal. 79-81.
[7] Ibid, hal. 147-149.
[8] Ibid, hal. 179-180, 184, 186.
[9] Sabdono, Erastus, Raja Tirus dalam Taman Eden, dalam bulletin Truth Voice, hal. 27.
[10] Peterson Anton T, dalam Pfeiffer, Charles F & Eferett F. Herrison., Tafsiran Alkitab Wycliffe Perjanjian Baru. Volume 2, hal. 802-803.
[11] Pandensolang, Welly., 2004. Eskatologi Biblika. Penerbit Andi Offset: Yogyakarta, hal. 6.
[12] Ryrie, Charles C., 1991. Teologi Dasar. Jilid 1, Terjemahan, Penerbit ANDI : Yogyakarta, hal. 183. (Charles C. Ryrie adalah Profesor teologi Sistematika di Dallas Seminary).
[13] Peterson, Anton T, Yehezkiel dan Daniel, dalam Pfeiffer, Charles F & Eferett F. Herrison., ed, 2004. Tafsiran Alkitab Wycliffe Perjanjian Baru. Volume 2 terjemahkan, Penerbit Gandum Mas : Malang, hal. 803. (Anton T. Peterson adalah Profesor Bidang Literatur dan Bahasa Perjanjian Lama di Bethel College).
[14] Achenbach, Reinhard., 2008. Kamus Ibrani-Indonesia Perjanjian Lama. Terjemahan (2012), Penerbit Yayasan Komunikasi Bina Kasih: Jakarta; Douglas, J.D., ed, 1996. Ensiklopedia Alkitab Masa Kini, Jilid I dan II. Terj, Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF : Jakarta, hal 196.
[15] Archer, Gleason L., 2009. Encyclopedia of Bible Difficulties. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang, hal. 454-457.
[16] Enns, Paul., The Moody Handbook of Theology, jilid 2. hal. 362.
[17] Enns, Paul., The Moody Handbook of Theology, hal. 219-220.
[18] Charles F. Beker menyebutkan bahwa Iblis juga disebut sebagai Satan. Kata Iblis dalam bahasa Yunani adalah “Diabolos” dalam KJV diterjemahkan “Devil” sebanyak 35 kali (AITB pada umumnya menerjemahkannya Iblis). Sedangkan kata “Satan” dalam KJV ditemukan sebanyak 19 kali dalam Perjanjian Lama dan 36 kali dalam Perjanjian Baru. Kata Ibrani Satan dan kata Yunani Satanos, yang dalam KJV pada umunya diterjemahkan Satan, dalam AITB diterjemahkan dengan Iblis. Kata Satan dalam bahasa Ibrani berarti “pendakwa atau lawan”. (Beker, Charles F., 2009. A Dispensational Theology. Terjemahan, Penerbit Pustaka Alkitab Anugerah: Jakarta, hal. 289).
[19] Enns, Paul., 2004.The Moody Handbook of Theology, jilid 2. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT: Malang, hal. 362.
[20] Ibid, hal. 363.
[21] Evans, Tony., 2004. Who is The King of Glory. Terjemahan, Penerbit Gospel Press: Batam, hal. 222.
[22] Merrill, Eugene H., Pengantar Pentateukh, dalam Zuck, Roy B, editor., 2010. A Biblical of Theology The Old Testament. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang, hal. 35.
[23] Wolf, Herbert., Pengenalan Pentateukh. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas, hal. 36.
[24] Ryrie, Charles C., Teologi Dasar. Jilid 1, hal. 260.
[25] Beker, Charles. F., 1994. A Dispensasional Theology. Terjemahan, Penerbit Alkitab Anugerah: Jakarta, hal.291.
[26] Ryrie, Charles C., Teologi Dasar. Jilid 2, hal. 23.
[27] Ibid.
[28] Matalu, Muriwali Yanto, 20167. Dogmatika Kristen dari Perspektif Reformed. Diterbitkan oleh GKKR: Malang, hala501-503; Lihat juga : Berkhof, Louis., 2011. Teologi Sistematika: Doktrin Kristus. Terjemahan, Penerbit Momentum: Jakarta,hal. 176-180.
[29] Lihat: Enns, Paul., The Moody Handbook of Theology, jilid 2. hal. 361-365. (Lihat juga: Beker, Charles F., A Dispensational Theology, hal. 473-481; Berkhof, Louis., 2011. Teologi Sistematika: Doktrin Kristus. Terjemahan, Penerbit Momentum: Jakarta, hal. 188-204; Conner J. Kevin., 2004. A Practical Guide to Christian Bilief. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang, hal. 476-480; Erickson J. Millard., 2003. Teologi Kristen, Jilid 2. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang, hal. 452-475; Thiessen, Henry C., 1992. Teologi Sistematika, direvisi Vernon D. Doerksen. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang, hal. 353-358)
[30] Paul Enns menyebutkan sejumlah daftar dari teori salah tersebut : (1) Teori Ransom atau Teori Pembayaran Kepada Iblis yang dikembangkan oleh Origen (185-254 M). Teori ini menyatakan bahwa tebusan bukan dibayar kepada Allah tetapi dibayar kepada Iblis karena manusia telah ditawan olehnya; (2) Teori Rekapitulasi yang dikembangkan oleh Irenius (130-200 M). Teori ini mengajarkan bahwa Kristus telah melalui semua fase kehidupan dan pengalaman Adam, termasuk pengalaman berdosa karena hanya dengan cara ini Kristus mampu untik berhasil dimana Adam telah gagal; (3) Teori Komersial yang dicanangkan oleh Anselmus (1033-1109 M). Teori ini mengajarkan bahwa melalui dosa kemuliaan yang seharusnya diberikan kepada Allah telah dirampas. Melalui kematianNya Kristus membawa kemuliaan bagi Allah, dan menerima suatu upah yang ia berikan kepada orang berdosa, yaitu pengampunan bagi orang berdosa dan hidup kekal bagi bagi yang percaya. Meskipun teori ini merupakan perlawanan atas teori pembayaran kepada Iblis, tetapi kelemahan teori ini menekankan kemurahan Allah dengan mengorbankan atribut kekudusan dan keadilan Allah. Juga mengabaikan penderitaan yang ditanggung oleh Yesus; (4) Teori Pengaruh Moral yang dianut oleh Abelard (1079-1142). Teori ini mengajarkan bahwa kematian Kristus diperlukan senagai penebusan untuk dosa, melainkan melalui kematian Kristus, Allah mendemonstrasikan kasihNya kepada umat manusia sedemikian rupa untuk menggerakan hati orang berdosa dan menghasilkan pertobatan. Pandangan ini merupakan perlawanan atas teori komersial dari Anselmus; (5) Teori Kecelakaan yang dianut oleh Albert Schwitzer (1875-1965 M). Teori ini mengajarkan bahwa Kristus menjadi terbius kemesiasanNya dan kematian Kristus adalah suatu kesalahan; (6) Teori Keteladanan yang dianut oleh Socianianisme di abad ke 16 dan kemudian oleh Unitarianisme; Teori ini mengajarkan bahwa kematian Kristus tidak harus untuk menebus dosa dan dosa tidak perlu dihukum. Kristus adalah suatu teladan ketaatan sampai pada kematianNya untuk mendorong orang-orang mengikuti teladan hidup Kristus. Kristus dipandang hanya sebagai manusia untuk menjadi teladan; (7) Teori Pemerintahan yang dianut oleh Hugo Grotius (1583-1645 M). Teori ini mengajarkan bahwa Allah mengampuni orang berdosa tanpa menuntut pembayaran yang setara. Allah menerima tanda pembayaran Kristus dan mengesampingkan tuntutan hukum dan dimampukan untuk mengampuni orang berdosa karena prinsip dari pemerintahanNya telah dipenuhi. (Lihat: Enns, Paul., The Moody Handbook of Theology, jilid 2. hal. 361-365).
[31] Conner J. Kevin., 2004. A Practical Guide to Christian Bilief. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang, hal. 479-480.
[32] Erickson J. Millard., 2003. Teologi Kristen, Jilid 2. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang, hal. 449-450.
[33] Ibid, hal. 450.
[34] Ferguson, B. Sinclair, David F. Wright, J.I. Packer., 1988. New Dictionary Of Theology. Jilid 1, diterjemahkan (2008), Penerbit Literatur SAAT : Malang, hal 79.
[35] Beker, Charles. F., 1994. A Dispensasional Theology. Terjemahan, Penerbit Alkitab Anugerah: Jakarta, hal. 460.
[36] Ibid.
[37] Peter, George W., 2006. A Biblical Theology of Missions. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang, hal. 180.
[38] Enos, I. Nyoman,. 2012. Penuntun Praktis Misiologi Modern. Penerbit Kalam Hidup: Bandung, hal. 23.
[39] Selain kata “apostello”, kata Yunani lainnya “pempo” juga diterjemahkan dengan “mengutus” muncul sebanyak 80 kali dalam Perjanjian Baru. Kedua kata ini dipakai untuk Kristus dan juga untuk para rasul. Ada perbedaan sedikit dalam penekanan dan kedalaman. Kata “pempo” lebih menekankan tindaan mengutus dan mengekpresikan hubungan antara pengutusan dengan yang diutus. Kata “apostello” selain mengandung gagasan tentang pengutusan yang berwibawa dengan satu misi, istilah ini juga mencakup maksud yang pasti dalam pengutusan tersebut (Peter, George W., 2006. A Biblical Theology of Missions. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang, hal. 302-303).
[40] Peter, George W., A Biblical Theology of Missions, hal. 303.
[41] Zuck, Roy B, editor., 2011. A Biblical of Theology The New Testament. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang, hal. 219.
[42] Erickson J. Millard., Teologi Kristen, Jilid 2,, hal. 484.
[43] Enns, Paul., 2004. The Moody Handbook of Theology. Jilid 1, Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT: Malang, hal. 167.
[44] Enns, Paul., 2000. Approaching God. Jilid 2 Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT: Malang, hal. 124.BENARKAH TUJUAN KEMATIAN KRISTUS UNTUK MEMBUKTIKAN KESALAHAN IBLIS?.https://teologiareformed.blogspot.com/
Next Post Previous Post