TUHAN, AJARLAH KAMI BERDOA - MATIUS 6:9a-13c
Denny Teguh Sutandio
PENDAHULUAN:
Sejak beberapa puluh tahun lalu, Kekristenan sedang diterpa oleh arus pengajaran doa Yabes yang dipopulerkan oleh Dr. Bruce H. Wilkinson. Doa ini diambil dari 1 Tawarikh 4:10. Meskipun doa yang dinaikkan Yabes itu tidak salah (perhatikan konteks), namun mengekstremkan doa Yabes lah yang dapat dikatakan salah. Mengapa? Karena Alkitab hanya mencatat doa Yabes saja yang berisikan hal-hal yang kelihatannya “egois.” Alangkah bijaksananya, jika kita ingin berdoa, kita belajar berdoa seperti yang Kristus ajarkan kepada para murid-Nya.
Di dalam Perjanjian Baru, Tuhan Yesus mengajarkan satu doa yang begitu indah dan agung, yaitu: Doa Bapa Kami, namun sayang doa yang begitu agung, indah, dan sarat dengan theologi yang ketat TIDAK laris di dalam Kekristenan zaman sekarang, karena doa ini bukan doa yang memuaskan keinginan manusia, tetapi memuliakan Allah. Dari sini, kita belajar bahwa di zaman sekarang, manusia semakin hidup di luar Allah dan memuaskan keinginan duniawi, bahkan hal-hal rohani pun “dibaptis” dalam nama “yesus” menjadi sesuatu yang memuaskan keinginan diri. Sungguh tragis!
Meskipun dunia kita anti dengan doa Bapa Kami, adalah bijaksana dan rendah hati ketika kita meneladani doa yang diajarkan oleh Tuhan kita Yesus Kristus.
Bagi Prof. J. I. Packer, D.Phil., ada 7 aktivitas rohani yang berbeda di dalam Doa Bapa Kami ini, yaitu:
“menghampiri Allah dalam penyembahan dan percaya; menyadaripekerjaan dan kemuliaan-Nya, dalam pujian dan ibadah; mengakuidosa dan memohon pengampunan; memohon dicukupkannya kebutuhan-kebutuhan kita dan orang lain; bergumul dengan Allah untuk berkat, seperti Yakub yang bergumul dalam Kejadian 32 (Allah senang diajak bergumul); menerima dari Allah setiap situasi sebagai alat pembentukan bagi seseorang; dan mentaati Allah dengan setia dalam kelebihan dan kekurangan.”[1]
Bahkan Prof. J. I. Packer, D.Phil. berkata bahwa Doa Bapa Kami merupakan pengarah doa-doa kita selanjutnya yang paling aman untuk menjaga agar doa kita tetap di dalam kehendak Allah.[2]
Berikut isi doa Bapa Kami yang diajarkan Tuhan Yesus di dalam Matius 6:9-13:
“Bapa kami yang di sorga, Dikuduskanlah nama-Mu, datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga. Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami; dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat. (Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya. Amin.)”[3]
Mari kita belajar satu per satu isinya. Pada bagian 1 ini, kita hanya akan membahas frasa “Bapa kami yang di Sorga”.
BAPA (Matius 6:9)
Dalam bahasa Yunani, kata “Bapa” adalah Pater dan dalam strukturnya, kata ini menandakan sebuah panggilan (vocative). Di sini berarti, di awal doa, Kristus mengajar kita untuk memanggil Allah sebagai Bapa, di mana kata “Bapa” ini menunjukkan ada ikatan kekeluargaan intim antara Allah dengan umat-Nya (bdk. Mzm. 103:13). Kita sebagai umat-Nya diperkenankan memanggil Allah sebagai Bapa, karena kita telah dilahirbarukan Roh Kudus (Roma 8:15). Inilah wujud imanensi Allah[4] yang hendak Kristus ajarkan kepada para murid-Nya. Roh Kudus melayakkan kita memanggil Bapa, sedangkan mereka yang tidak dibaptis Roh Kudus (=mereka yang belum percaya kepada Kristus) TIDAK layak menyebut Allah sebagai Bapa.
Dengan memanggil Allah sebagai Bapa, maka secara langsung, kita menyadari bahwa kita adalah anak-anak-Nya. Anak-anak Allah adalah mereka yang telah dipilih oleh Allah sebelum dijadikan, lalu dipanggil, dibenarkan, dan dimuliakan-Nya kelak di dalam Kristus (Roma 8:29-30). Atau menggunakan bahasa Petrus, anak-anak Allah adalah “orang-orang yang dipilih, sesuai dengan rencana Allah, Bapa kita, dan yang dikuduskan oleh Roh, supaya taat kepada Yesus Kristus dan menerima percikan darah-Nya.” (1Petrus 1:2)
Di sini, kita belajar yang disebut anak-anak Allah adalah HANYA mereka yang telah dipilih Allah untuk percaya kepada Kristus. Orang-orang yang belum atau bahkan menolak untuk percaya kepada Kristus TIDAK layak disebut anak-anak Allah. Dari konsep ini, marilah kita hari ini dengan bijak TIDAK sembarangan menyebut orang yang tidak percaya kepada Kristus sebagai anak Tuhan, karena penyebutan itu jelas melawan Alkitab dan berdosa, karena menyamakan yang bukan milik Allah sebagai milik Allah!
KAMI (Matius 6:9)
Dalam bahasa Yunani, kata “kami” adalah hēmon yang merupakan kata ganti kepemilikan (genitive) orang pertama jamak. Menurut tata bahasa Yunani, kata hēmon ini diterjemahkan sebagai milik kami (our).[5] “Kami” di sini menunjuk kepada siapa? Menurut konteks di dalam Injil Matius, kata “kami” menunjuk kepada para murid-Nya yang kepadanya Kristus berkhotbah di atas bukit (Matius 5:1; bdk. Lukas 11:1).
Meskipun di Lukas 11:2, tidak ada kata “kami” di dalam teks Yunaninya, sedangkan di Matius 6:9 memuat kata “kami”, perbedaan itu bukanlah hal yang patut dirisaukan, karena artinya sama saja. Apa artinya? Ketika Kristus mengucapkan kata “kami” di Matius 6:9 dan tidak mengucapkan kata “kami” di Lukas 11:2 (“Jawab Yesus kepada mereka: "Apabila kamu berdoa, katakanlah: Bapa,”), Ia hendak mengajar para murid-Nya bahwa mereka yang berada di dalam satu tubuh Kristus bersama-sama bersehati berdoa kepada Allah yang sama, yaitu Allah Bapa.
Di sini, kita belajar bahwa satu Allah Bapa yang diajarkan Kristus adalah satu Allah yang diimani oleh semua umat pilihan-Nya yang telah ditebus oleh darah Kristus! Dengan kata lain, orang-orang yang tidak percaya kepada Kristus TIDAK sedang menyembah Allah Bapa seperti yang disembah oleh orang percaya. Mengapa saya perlu menegaskan konsep ini? Karena saya telah menjumpai ada 2 orang Kristen (satu dari Kristen Katolik, yang satunya dari Kristen Karismatik) yang berkata bahwa orang-orang Islam menyembah “Allah” yang sama dengan orang Kristen yaitu menyembah Allah Bapa. Konsep ini jelas tidak sesuai dengan ajaran Alkitab, karena Allah orang Kristen adalah Allah Tritunggal dan secara khusus, Allah Bapa yang disembah orang Kristen adalah Allah yang berpribadi yang TIDAK dapat dipersamakan dengan “Allah” dari agama mana pun!
DI SORGA (Matius 6:9)
“Di Sorga” yang dalam bahasa Yunaninya en tois ouranois (baca: en toisuranois; dalam bahasa Inggris: in the heaven; artinya: di dalam Sorga) menunjuk kepada “tempat” di mana Allah bertakhta/tinggal. Di dalam Perjanjian Lama, Yakub menyebut rumah Allah sebagai sorga (Kejadian 28:17). Musa mengidentikkan Sorga sebagai tempat kediaman Allah yang kudus (Ulangan 26:15; bdk. 1Raja-raja 8:30). Raja Daud menyebut Sorga sebagai takhta Allah (Mazmur 11:4). Di dalam Septuaginta, kata “Sorga” di dalam Mazmur 11:4 adalah ouranōi yang juga dipakai di dalam Matius 6:9.
Di sini, kita mendapatkan penjelasan bahwa ketika kita berdoa: Bapa kami yang ada di (dalam) Sorga, ini berarti kita yang ada di bumi sedang berdoa kepada Bapa di Sorga. Dengan kata lain, ada suatu ketransendenan Allah[6]yang hendak diajarkan Kristus. Di sini, Kristus hendak mengajar kita bahwa doa yang tepat adalah doa yang dipenuhi dengan rasa hormat dan takut kepada Allah yang berdaulat.
Namun, hari-hari ini, kita melihat beberapa (atau banyak?) orang Kristen dan pemimpin gereja diindoktrinasi bahwa kita harus mengklaim janji Allah di dalam doa (semboyannya: name it and claim it/sebut dan tuntutlah!). Hal ini jelas tidak sesuai dengan Alkitab dan menghina Allah, mengapa? Karena Alkitab mengajar bahwa Allah itu adalah Allah yang setia yang pasti selalu menepati janji-Nya. Dengan mengklaim janji Allah itu membuktikan bahwa Allah itu tidak setia dan pelupa yang perlu diingatkan setiap hari. Bukankah itu tindakan yang melecehkan Allah?
Dari ketiga poin yang telah kita pelajari (Bapa, kami, di Sorga), maka kita mendapatkan pengajaran Kristus yang komprehensif tentang natur Allah di dalam doa, yaitu kita sebagai umat-Nya di dalam Kristus menyembah Allah yang nun jauh di sana (transenden) sekaligus yang dekat dengan kita (imanen) dan konsep iman ini mempengaruhi kita dalam berdoa. Doa Kristen adalah doa yang didasari oleh kerinduan umat-Nya untuk berkomunikasi intim dengan Allah sebagai Bapa, sekaligus menyadari bahwa Bapa itu tetap adalah Allah yang Mahakudus, sedangkan manusia adalah makhluk berdosa.
Biarlah dengan berdoa “Bapa kami yang di Sorga”, kita diajar pertama-tama untuk menyembah Allah kita sebagai Bapa (yang dekat dengan kita, umat-Nya), namun Bapa itu tetap sebagai Allah yang harus kita sembah dan permuliakan selama-lamanya. Amin. Soli Deo Gloria.
(Matius 6:9b)
Setelah kita mengerti bahwa kita berdoa kepada Bapa di Sorga, maka kita diajar oleh Kristus untuk langsung mengingat akan hal-hal berkaitan dengan Allah. Hal pertama yang berkaitan dengan Allah yang diajarkan Kristus adalah nama Allah yang kudus. “Dikuduskanlah” di dalam ayat 9 ini di dalam bahasa Yunani hagiasthētō menggunakan bentuk perintah (imperative), aorist, pasif, dan orang ketiga tunggal. Berarti, di dalam doa, Kristus memerintahkan kita untuk terus mengingat akan nama Allah yang kudus.
Apa arti “dikuduskan”? Apakah ini berarti sebelum doa ini dipanjatkan, nama Allah tidak kudus, lalu Ia meminta kita untuk menguduskan-Nya? TIDAK! Allah adalah Allah yang Kudus yang tidak perlu dikuduskan oleh siapa pun termasuk oleh manusia yang sendirinya tidak kudus! Lalu, apa artinya? Dikuduskan berarti dibuat kudus (bukan dijadikan kudus).
Kemudian, yang harus dikuduskan adalah nama Allah. Di dalam bahasa Yunani, kata “nama” ini adalah onoma (berbentuk: kata benda, nominatif, neuter, dan tunggal) yang berarti nama. Di dalam Alkitab, nama Allah identik dengan Pribadi Allah. Ketika Allah menyatakan diri-Nya kepada Musa sebagai “Aku adalah Aku” (Keluaran 3:14), Ia hendak mengajar Musa bahwa Dia adalah Allah yang berada pada diri-Nya sendiri yang melampaui ruang dan waktu yang berdaulat mutlak. Di dalam ayat berikutnya, Allah menyatakan diri-Nya kepada Musa untuk nantinya dikatakan kepada bangsa Israel yang akan dibebaskannya, “TUHAN, Allah nenek moyangmu, Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub, telah mengutus aku kepadamu: itulah nama-Ku untuk selama-lamanya dan itulah sebutan-Ku turun-temurun.” (Keluaran 3:15) Dalam bahasa Ibrani, kata “nama” di Keluaran 3:15 ini adalah shêm dan di dalam Septuaginta diterjemahkan onoma. Dari Keluaran 3:15 ini, kita belajar bahwa nama Allah langsung dikaitkan dengan Pribadi Allah yang mengikat perjanjian dengan umat-Nya dan setia dengan perjanjian-Nya itu.
Perintah untuk menguduskan nama Allah ini identik dengan perintah dari Allah yang sama agar jangan menyebut nama-Nya dengan sembarangan di Keluaran 20:7, “Jangan menyebut nama TUHAN, Allahmu, dengan sembarangan, sebab TUHAN akan memandang bersalah orang yang menyebut nama-Nya dengan sembarangan.”
Di dalam Perjanjian Baru, kata “nama” bisa merujuk pada nama secara umum (misalnya: Mat. 10:2; Mrk. 14:32; Lukas 8:30, 41; 10:20; Ibrani 1:4; Wahyu 9:11) atau khusus digabungkan dengan Allah atau Yesus (Mat. 6:9; Lukas 1:49; Rm. 2:24; 2Tesalonika 1:12; Ibrani 2:12; 13:15; Why. 2:13; 11:18). Dan uniknya ketika kata nama digabungkan dengan Allah/Yesus, “nama” itu selalu diikuti dengan kata sifat dan kata kerja khusus: kudus (Lukas 1:49), dihujat (Roma 2:24), dimuliakan (2Tesalonika 1:12), diberitakan (Ibrani 2:12), berpegang akan (Wahyu 2:12), dan takut akan (Wahyu 11:18).
Dengan kata lain, dengan mengucapkan “dikuduskanlah nama-Mu”, Kristus mengajar kita:
1. Melihat Allah sebagai Pribadi yang Kudus
Kata “kudus” di Matius 6:9 ini dalam bahasa Yunani hagiasthētō yang berasal dari akar kata hagiazō yang bisa berarti to dedicate to the service of and to loyalty to deity (=untuk mempersembahkan bagi pelayanan dan kesetiaan kepada Allah). Di sini, kita belajar bahwa kudus langsung dikaitkan dengan pribadi Allah.
Di atas telah dijelaskan bahwa nama Allah pasti berkaitan dengan pribadi-Nya, sehingga dengan menguduskan nama-Nya, kita menguduskan Allah sendiri yang memang Mahakudus itu. Melihat Allah sebagai Mahakudus berarti menempatkan Allah di tempat yang seharusnya. Dia adalah Allah yang Mahakudus yang harus disembah dan dipermuliakan oleh semua manusia di bumi ini dan semua malaikat, sehingga para Serafim berkata, “Kudus, kudus, kuduslah TUHAN semesta alam, seluruh bumi penuh kemuliaan-Nya!” (Yesaya 6:3)
2. Menyadari Status Kita Sebagai Manusia Berdosa
Mengenal Allah yang Mahakudus di saat yang sama juga menyadarkan kita bahwa kita adalah manusia berdosa. Di dalam Alkitab, kita mendapatkan gambaran ini. Ketika para Serafim memuji Allah di Yesaya 6:3 dan terjadi fenomena yang menggetarkan (ay. 4), maka Alkitab mencatat respons Yesaya, “Celakalah aku! aku binasa! Sebab aku ini seorang yang najis bibir, dan aku tinggal di tengah-tengah bangsa yang najis bibir, namun mataku telah melihat Sang Raja, yakni TUHAN semesta alam.” (ay. 5)
Fakta bahwa Allah itu Mahakudus mengakibatkan Yesaya langsung menyadari bahwa dirinya adalah orang berdosa yang tinggal di tengah-tengah bangsa yang berdosa. Kita pun sebagai umat-Nya yang telah ditebus Kristus pun harus menyadari bahwa meskipun kita telah ditebus Kristus, kita tetap dapat berdosa (posse peccare), namun dosa tidak mengikat kita lagi.
3. Menyadari Bahwa Allah yang Mahakudus Mengampuni Dosa-dosa Umat-Nya
Menyadari bahwa kita adalah manusia berdosa harus disusul oleh fakta bahwa Allah mengampuni dosa-dosa kita. Perhatikan kembali kasus Yesaya di Yesaya 6. Setelah Yesaya menyadari dosanya, Alkitab mencatat tindakan seorang Serafim itu di ayat 6-7, “Tetapi seorang dari pada Serafim itu terbang mendapatkan aku; di tangannya ada bara, yang diambilnya dengan sepit dari atas mezbah. Ia menyentuhkannya kepada mulutku serta berkata: "Lihat, ini telah menyentuh bibirmu, maka kesalahanmu telah dihapus dan dosamu telah diampuni."” Meskipun konteksnya adalah Allah memanggil Yesaya, namun cerita di atas dapat menjadi teladan kepada kita bahwa Allah yang Mahakudus mengampuni dosa umat-Nya.
Di sini, kita belajar bahwa Allah yang Mahakudus memang membenci dosa, tetapi Ia tidak pernah membenci manusia yang berdosa, sehingga Ia rela menebus dosa manusia dengan mengutus Putra Tunggal-Nya, Tuhan Yesus Kristus untuk menebus dosa umat-Nya. Allah yang Mahakudus juga adalah Mahakasih.
4. Menyadari Bahwa Sebagai Umat Tebusan-Nya, Kita Harus Hidup Kudus Sebagaimana Allah itu Kudus.
Setelah kita diampuni dosanya dan ditebus oleh Kristus, maka adalah kewajiban kita untuk meresponi cinta kasih Allah yang Mahakudus itu dengan hidup kudus. Bagaimana cara hidup kudus?
Di dalam Perjanjian Lama, Allah mengajar kita bahwa hidup kudus dilakukan dengan menjalani hidup yang kudus sebagai umat-Nya yang tidak melakukan apa yang dilarang-Nya, dll. Di Imamat 11:44-45 (diulang kembali di 19:2 dan 20:26), Allah berfirman, “Sebab Akulah TUHAN, Allahmu, maka haruslah kamu menguduskan dirimu dan haruslah kamu kudus, sebab Aku ini kudus, dan janganlah kamu menajiskan dirimu dengan setiap binatang yang mengeriap dan merayap di atas bumi. Sebab Akulah TUHAN yang telah menuntun kamu keluar dari tanah Mesir, supaya menjadi Allahmu; jadilah kudus, sebab Aku ini kudus.” Dan ketika kita meneliti tiga kali Allah berfirman kepada umat Israel agar umat-Nya hidup kudus sebagaimana Dia itu kudus di dalam kitab Imamat, hal itu langsung dikaitkan dengan perintah-Nya dan status-Nya sebagai umat Allah (Im. 11:44; 19:3-37; 20:1-25). Ini berarti Allah ingin hidup umat-Nya yang telah dikuduskan-Nya benar-benar merefleksikan kekudusan-Nya dengan hidup kudus yang berbeda dari hidup orang dunia (bdk. Im. 20:26).
Bagaimana dengan pengajaran Perjanjian Baru? Di dalam Perjanjian Baru, pertama-tama, Alkitab mengajar kita bahwa kita sebagai umat-Nya telah dikuduskan oleh Allah sendiri, sebagaimana doa Tuhan Yesus kepada Allah Bapa, “Kuduskanlah mereka dalam kebenaran; firman-Mu adalah kebenaran.” (Yohanes 17:17; konteks “mereka” di sini jelas adalah para murid-Nya) Secara status, kita telah dikuduskan oleh Kebenaran (Yun.: alētheia) yaitu firman Allah. Status dikuduskan ini mengakibatkan kita dapat hidup kudus, sebagaimana yang diajarkan oleh Petrus di dalam 1 Petrus 1:15-16, “hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu, sebab ada tertulis: Kuduslah kamu, sebab Aku kudus.”
Lalu, Petrus mengajar bagaimana umat-Nya dapat hidup kudus, “Hiduplah sebagai anak-anak yang taat dan jangan turuti hawa nafsu yang menguasai kamu pada waktu kebodohanmu” (1Petrus 1:14) Dengan kata lain, ketika umat-Nya mau hidup kudus, Petrus mengajar kita bahwa:
a) Kita harus menjadi anak-anak (Yun.: tekna) yang taat
Kekudusan Allah yang menguduskan umat-Nya memungkinkan umat-Nya hidup kudus dengan menaati firman-Nya seperti seorang anak yang taat. Bagaimana cara umat-Nya taat pada firman-Nya? Caranya adalah dengan mengubah seluruh aspek kehidupan mereka (hati, pikiran, perkataan, dan tindakan) seturut firman-Nya (bdk. Efesus 5:1-6:20; Kolose 3:5-4:6).
b) Kita jangan dituntun[1] oleh nafsu-nafsu pada masa ketidaktahuan.
Karena kita adalah anak-anak Allah yang taat pada firman-Nya (yang bisa diterjemahkan: dituntun oleh firman-Nya), maka kita dituntut untuk jangan mau dituntun oleh nafsu-nafsu duniawi pada masa ketidaktahuan. Frasa “jangan turuti” di dalam 1 Petrus 1:14 menurut struktur bahasa Yunani lebih tepat diterjemahkan, “jangan disesuaikan/dijadikan serupa/dituntun” karena kata Yunani yang dipakai adalah suschēmatizomenoi yang akar katanya adalah schēma yang berarti pola/mode/lingkungan/dll.[2] Kata Yunani ini juga dipakai di Roma 12:2 yang bisa diterjemahkan: dijadikan serupa dengan dunia.
Melalui penggunaan kata kerja pasif di dalam ayat ini, Petrus mengajar kita agar kita jangan dituntun oleh nafsu-nafsu (kata ini bahasa Yunaninya berbentuk jamak)[3] atau jangan sampai nafsu-nafsu menuntun hidup kita, sehingga kita nantinya jatuh ke dalam nafsu-nafsu tersebut.
Bagaimana dengan kita? Biarlah kekudusan Allah menguasai iman, doa, dan seluruh aspek kehidupan kita, agar kita makin memuliakan Allah selama-lamanya. Amin.
"DATANGLAH KERAJAAN-MU"(Matius 6:10a)
Setelah kita menguduskan nama-Nya, maka Kristus mengajar kita untuk mengharapkan kerajaan Allah datang. Apa itu Kerajaan Allah? Kapankah itu datang?
Di dalam Perjanjian Lama, Kerajaan Allah dimengerti secara fenomena yaitu Allah yang menjadi Raja yang berdiam di bumi. Kerajaan-Nya itu ditegaskan-Nya di dalam 1 Tawarikh 17:14, “Dan Aku akan menegakkan dia dalam rumah-Ku dan dalam kerajaan-Ku untuk selama-lamanya dan takhtanya akan kokoh untuk selama-lamanya.” Kata “dia” menunjuk kepada salah satu anak Daud (ay. 11). Lalu, kata “kerajaan-Ku” di ayat 14 jelas menunjuk kepada kerajaan Allah melalui umat Israel yang dimulai dari dibangunnya Bait Suci.
Di dalam Perjanjian Baru, kerajaan Allah/Sorga diperkenalkan pertama kalinya Di dalam Matius 3:2, Yohanes Pembaptis berseru, “Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!” Berita ini juga diulang oleh Tuhan Yesus sendiri di Matius 4:17. Apa itu Kerajaan Allah? Kerajaan Allah adalah kerajaan di mana Allah berdaulat memerintah. Di dalam terang Perjanjian Baru, kita belajar bahwa Kerajaan Allah tidak lagi berbentuk tempat yang jelas/nyata di bumi seperti di dalam Perjanjian Lama, tetapi dimengerti sebagai sebuah kondisi di mana Allah memerintah sebagai Raja baik di Sorga maupun di bumi di mana hal itu direalisasikan oleh Kristus sendiri (Mat. 12:28).
Karena bukan berbentuk tempat di bumi, maka Kerajaan Allah di dalam Perjanjian Baru juga dikaitkan dengan hal-hal kekekalan (Roma 14:17) dan Injil Kristus sendiri (Kolose 4:11). Di bagian lain, Kerajaan-Nya langsung dikaitkan dengan Sorga (2Timotius 4:18).[1]
Dengan berdoa “Datanglah Kerajaan-Mu”, kita diajar Kristus langsung untuk mengharapkan kedaulatan Allah sebagai Raja itu datang kepada kita tatkala kita berdoa. Dengan kata lain, kita diajar Kristus untuk mengharapkan Kerajaan Allah itu memerintah atas doa dan hidup kita sehari-hari, sehingga doa dan hidup kita berpusat kepada Allah saja. Dengan mendoakan hal ini, kita dituntut untuk menyerahkan kepemilikan hidup kita kepada Allah sebagai Raja, sehingga hidup kita total dikuasai oleh-Nya. Biarlah hidup kita benar-benar mencerminkan hidup sebagai anak-anak Raja yang merajakan Kristus di dalam hidup kita sehari-hari.
(Matius 6:10b)
Setelah mengharapkan kerajaan-Nya datang, maka Kristus mengajar kita agar di dalam doa, kita mengharapkan kehendak Allah itu terjadi di Sorga dan di bumi.
Kehendak Allah tentu pertama-tama ada di Sorga, kemudian baru di bumi. Hal ini penting. Mengapa? Karena:
1. Allah bertakhta di Sorga dan kehendak-Nya adalah kehendak yang kekal yang tidak terikat oleh waktu dan tempat. Kehendak-Nya inilah menjadi dasar bagi kehendak-Nya di bumi ini (bdk. Rm. 12:2)
2. Ketika kita membalikkan urutan ini, lalu menekankan kehendak Allah di bumi, kita merendahkan Allah dan kehendak-Nya yang seolah-olahnya hanya berlaku di bumi dan tidak di Sorga.
Dengan mendoakan “Jadilah kehendak-Mu di Sorga dan di bumi”, maka kita diajar Kristus untuk mengaitkan kekekalan dengan kesementaraan. Dunia ini adalah dunia yang sementara yang dibatasi oleh ruang dan waktu. Kita yang hidup di dunia yang sementara harus memandang hidup ini bukan dari perspektif kesementaraan, tetapi dari perspektif kekekalan. Mengapa? Karena:
1. Ketika kita memandang hidup kita dari perspektif kekekalan, kita memiliki visi dan panggilan Allah yang jelas.
Ketika kita memandang dan mengaitkan hidup kita yang sementara ini dengan Allah yang kekal, maka kita sedang berpaut pada Allah yang kekal dan saat itu, kita dimampukannya untuk menangkap visi dan panggilan Allah yang jelas dan khusus bagi kita di mana dunia tidak dapat melihat apa yang kita lihat. Bagi saya, visi adalah cara penglihatan dari perspektif Allah.
Orang dunia tidak mampu melihat dunia dengan baik, karena mereka tidak memiliki penglihatan yang jauh ke depan (mereka hanya melihat apa yang di depan mata/fenomena), tetapi umat pilihan-Nya diberikan suatu visi dari Allah untuk melihat dunia yang berdosa ini dengan kacamata Allah (melihat esensi) dan menanggapi visi itu dengan panggilan-Nya di dalam diri umat-Nya yang menggarami dan menerangi dunia ini.
2. Ketika kita memandang hidup kita dari perspektif kesementaraan, orientasi hidup kita bersifat kedagingan dan temporer.
Sebaliknya, ketika kita memandang hidup kita dari perspektif kesementaraan, maka kita memfokuskan hidup kita hanya pada kedagingan dan hal-hal kesementaraan, sehingga pandangan kita tidak bisa jauh ke depan. Jangan heran, banyak orang dunia dan orang Kristen yang tidak memusatkan iman dan hidupnya pada Allah tidak mampu melihat penyakit dunia ini dengan tepat dan mengobatinya, karena mereka sendiri yang perlu diobati TIDAK mungkin dapat mengobati penyakit dunia yang rusak.
Biarlah kehendak Allah menjadi fokus utama hidup kita sebagai umat-Nya, sehingga melaluinya, nama Allah dipermuliakan. Amin.
Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya”(Matius 6:11)
Setelah memuliakan dan mengharapkan kerajaan dan kehendak-Nya dinyatakan kepada kita, maka kita baru “diizinkan” untuk meminta hal-hal jasmani kepada-Nya: makanan, kesalahan, dan pencobaan.
Permintaan tentang hal-hal jasmani pertama adalah tentang makanan. Kata “makanan” di dalam ayat 11 ini di dalam bahasa Yunani adalah arton yang berarti roti (bread). Kata ini dipakai di: Matius 26:26; Markus 6:38, 44, 52; Lukas 9:3; dan Ibrani 9:2. Hampir semua terjemahan Alkitab bahasa Inggris menerjemahkan ayat 11 ini sebagai bread. Arti lainnya adalah makanan secara umum dan kata arton dalam arti ini dipakai di: Markus 3:20 (makan); Lukas 15:17 (makanan); dan 2 Tesalonika 3:12 (makanan). Dengan kata lain, kata “makanan” dalam ayat 11 ini tentu tidak terbatas pada roti saja, karena makanan pokok di negara lain tidak hanya roti, sehingga terjemahan Alkitab LAI ini cukup tepat.
Lalu, kita meminta Allah untuk memberikan makanan itu “pada hari ini”. “Pada hari ini” di dalam teks Yunaninya epiousion[1] yang bisa diterjemahkan “pada hari ini” (today) atau setiap hari (daily). Di dalam Matius 6:11, LAI memilih terjemahan “pada hari ini”, sedangkan di Lukas 11:3, LAI memilih terjemahan “setiap hari”, padahal kedua kata itu di dalam teks Yunaninya sama. Kedua arti kata itu tidak menjadi masalah, karena pada intinya, kita meminta Allah memberikan makanan kepada kita sebagai wujud kita berharap pada belas kasihan-Nya.
Kata “secukupnya” di dalam terjemahan Indonesia TIDAK ditemukan di dalam teks Yunaninya, sehingga penambahan kata ini hanya sekadar mempertegas.
Dengan berdoa “berikanlah kami pada hari ini makanan kami”, kita diajar Kristus bahwa:
1. Hal-hal Jasmani (seperti makanan) Tetap Perlu Bagi Manusia
Beberapa orang Kristen yang dipengaruhi oleh asketisisme percaya bahwa sebagai orang Kristen, kita harus menyangkal diri dalam arti menyangkal dari kebutuhan jasmani, seperti: tidak makan, tidak minum, dll, karena mereka percaya bahwa tubuh ini jahat, sedangkan jiwa ini baik (dualisme Platonistik). Sebenarnya, dalam satu sisi, hal itu baik dari segi aplikasi karena mengajar kita untuk mendisiplin diri, tetapi di sisi lain, hal itu juga tidak benar secara fondasi doktrin dan aplikasi, karena Alkitab TIDAK melarang kita untuk makan, minum, berekreasi, dll apalagi mengajar kita bahwa tubuh ini jahat dan jiwa ini baik. Bahkan Tuhan sendiri memperbolehkan kita untuk meminta hal jasmani, salah satunya makanan. Hal ini membuktikan bahwa Allah mengerti bahwa makanan tetap merupakan hal perlu bagi manusia.
2. Kita Harus Bergantung Pada Allah yang Memberikan Berkat Setiap Hari.
Karena hal-hal jasmani tetap diperlukan oleh manusia, maka melalui doa ini, kita diajar bahwa kita diperbolehkan meminta hal jasmani kepada Allah dengan iman karena kita bergantung sepenuhnya pada Allah yang memelihara sekaligus memberi berkat kepada kita setiap hari. Di sini, kita diajar Kristus bahwa Allah bukan Allah yang meninggalkan dunia setelah menciptakannya (paham Deisme), tetapi Ia adalah Allah yang memelihara ciptaan-Nya khususnya umat pilihan-Nya baik dalam hal keselamatan (sehingga mereka tidak akan binasa) maupun dalam kehidupan sehari-hari. Pemeliharaan Allah di dalam kehidupan umat-Nya sehari-hari mengakibatkan kita tidak perlu kuatir akan hidup kita (bdk. Matius 6:25-33).
Di sisi lain, pemeliharaan Allah menunjukkan bahwa Allah yang dipercaya oleh orang Kristen adalah Allah yang hidup dan berdaulat mutlak atas hidup manusia. Hal ini sangat berbeda dengan konsep “Allah” atau “Tuhan” yang dipercaya oleh orang-orang non-Kristen yang tentunya tak berpribadi. Bandingkan Allah dalam iman Kristen dengan konsep “Tuhan” dalam agama Budha yang tak berpribadi (meskipun mengaku berpribadi) yang katanya ada, tetapi karena di luar nalar manusia, maka anggaplah itu tidak ada (menurut pengakuan teman saya yang beragama Budha). Jika “Tuhan” ada, tetapi karena di luar nalar manusia, lalu “Tuhan” dianggap tidak ada, bukankah ini suatu ketidakkonsistenan logika? Kedua, di dalam agama ini juga dipercaya bahwa “nasib” manusia ditentukan oleh hukum karma. Pertanyaannya adalah jika mereka percaya adanya Tuhan, lalu apa gunanya “Tuhan” itu jika pada akhirnya tujuan akhir hidup manusia ditentukan oleh hukum karma yang merupakan sesuatu yang mati?
Meskipun kita tetap bergantung kepada Allah, kita tidak diperintahkan oleh Allah untuk malas bekerja, karena “jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan.” (2 Tesalonika 3:10) Lalu, bagaimana menyeimbangkannya? Bergantung dan beriman kepada Allah seharusnya menjadi dasar kita bekerja keras bagi kemuliaan-Nya sambil menyadari bahwa segala berkat jasmani yang dikaruniakan-Nya kepada kita itu adalah anugerah-Nya yang memampukan kita untuk bekerja keras.
Allah kita adalah Allah yang memelihara hidup umat-Nya dengan menyediakan berkat yang cukup bagi mereka. Biarlah pemeliharaan-Nya ini menjadi dasar dan pendorong bagi kita untuk bekerja keras untuk memuliakan-Nya. Amin.
dan ampunilah kami akan kesalahan kami” (Matius 6:12a)
Setelah meminta hal jasmani yang berupa makanan, Kristus mengajar kita untuk meminta “kesalahan” dalam ayat ini dalam teks Yunaninya ophelēmatayang seharusnya diterjemahkan sebagai utang (debt). Kata ini dipakai di Roma 4:4 (ophelēma) dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai hak.[1]Konteks Roma 4:4-5 adalah mengenai Abraham yang dibenarkan melalui iman. Di ayat 2 dijelaskan bahwa jika Abraham dibenarkan melalui perbuatan, maka ia akan bermegah, tetapi ia tidak dibenarkan di hadapan Allah. Lalu, Abraham dibenarkan melalui apa? Di ayat 3, Paulus menjelaskan bahwa Abraham dibenarkan karena ia percaya kepada Allah. Lalu, ia memberi ilustrasi di ayat 4, ketika ada orang yang bekerja dan mendapatkan upah, maka upah itu sebenarnya bukan hadiah bagi orang itu, tetapi sebagai utang, namun di ayat 5, Paulus menjelaskan bahwa kalau ada orang yang tidak bekerja, namun percaya kepada Allah yang membenarkan orang durhaka, maka imannya itu diperhitungkan menjadi kebenaran (Yun.: dikaiosunēn).
Dari Roma 4:1-5, kita diajar Paulus bahwa kita dibenarkan di hadapan Allah melalui iman kita kepada-Nya yang tentunya merupakan anugerah dari Allah (bdk. Ef. 2:8-9), namun setelah dibenarkan oleh Allah, kita pun dituntut-Nya untuk berbuat baik bagi kemuliaan-Nya, namun perbuatan baik itu dilakukan sebagai respons terhadap anugerah Allah yang membenarkan kita melalui iman kepada Kristus. Setelah kita berbuat baik, maka Allah akan memberikan upah kepada kita, tetapi waspadalah, upah itu bukan hadiah bagi kita, tetapi sebagaiutang perbuatan baik yang telah kita bayar secara angsuran.
Kata “utang” inilah yang dipakai Tuhan Yesus ketika mengajar umat-Nya untuk memohon agar Allah mengampuni (utang) kesalahannya. Dosa diidentikkan dengan utang karena memang dosa adalah utang kebaikan dan kebenaran yang seharusnya dikerjakan oleh manusia yang telah diciptakan Allah.
Karena itulah, Kristus mengajar kita agar kita memohon agar Allah mengampuni (utang) dosa kita. Mengapa? Karena kalau kita sendiri yang menebus (utang) dosa kita, kita tak akan sanggup. Ketidaksanggupan kita disebabkan karena ketika kita mau menebus (utang) dosa kita dengan berbuat baik, perbuatan baik kita pun jelas mengandung bibit dosa. Oleh karena itu, kita memohon agar Allah mengampuni (utang) dosa kita.
Biarlah di dalam doa kita, kita tidak lupa untuk terus memohon ampun kepada Allah atas segala dosa yang telah kita perbuat dan perbuatan baik yang seharusnya kita lakukan namun tidak kita lakukan. Amin.
“seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami”(Matius 6:12b)
Kita memohon agar Allah mengampuni (utang) dosa kita, lalu apa respons kita setelah itu? Kristus mengatakan, “seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami;”
Dari sini, kita belajar bahwa permohonan kita kepada Allah agar Allah mengampuni (utang) dosa kita mengakibatkan kita dapat mengampuni orang lain yang ber(utang) dosa kepada kita.[1]
Hal ini mengingatkan saya tentang pengajaran Tuhan Yesus melalui perumpamaan tentang pengampunan di dalam Matius 18:21-35. Di dalam konteks ini, Petrus bertanya tentang berapa kalikah ia harus mengampuni orang yang berdosa kepadanya? Apakah cukup 7 kali? (bdk. Lukas 17:3-4) Di dalam Lukas 17:3-4, Tuhan Yesus memang mengajar bahwa ketika ada orang yang berdosa 7x dalam sehari dan selama 7x, ia datang kepada kita, lalu berkata menyesal (Yun.: metanoō; artinya: bertobat), maka kita harus mengampuninya. Namun, apakah itu berarti kita hanya mengampuninya sebanyak 7x?
Di dalam Matius 18:22, Tuhan Yesus menjawab: TIDAK! Bukan hanya 7x, tetapi “sampai tujuh puluh kali tujuh kali.” Apa artinya 70 kali 7 kali? Dr. John Gill di dalam John Gill’s Exposition of the Entire Bible menafsirkannya sebagai angka yang tidak pasti, lalu beliau merujuk pada Kejadian 4:24, “sebab jika Kain harus dibalaskan tujuh kali lipat, maka Lamekh tujuh puluh tujuh kali lipat.” Saya lebih menafsirkannya bukan sebagai angka yang tak pasti, tetapi tak terbatas. Di sini, berarti Kristus hendak mengajar kita untuk mengampuni sesama kita yang berdosa dengan pengampunan yang tak terbatas sebagaimana Allah pun telah mengampuni kita seberapa besar dosa-dosa kita kepada-Nya.
Untuk memperjelas pengajaran-Nya, di ayat 23-34, Ia memberikan perumpamaan tentang seorang hamba yang berutang 10.000 talenta (Yun.:myriōn merupakan bilangan terbesar dalam perhitungan aritmatik Yunani)[2]yang telah diampuni oleh sang raja, namun tidak mengampuni rekannya yang hanya berutang 100 dinar[3] kepadanya, bahkan menangkap, mencekik, dan memenjarakan rekannya ini. Tindakan ini dilaporkan oleh seorang kawannya yang lain kepada sang raja/tuan, lalu sang raja marah dan menyerahkannya kepada algojo-algojo sampai si pengutang besar ini melunasi utang-utangnya.
Dari pengajaran ini, Kristus hendak menjelaskan bahwa kita yang telah diampuni dosa-dosanya oleh Allah melalui Kristus hendaklah menunjukkan pengampunan serupa kepada saudara-saudara yang berbuat salah kepada kita, karena:
1. Kita Harus Menjadi Saluran Penyalur Kasih Allah yang Mengampuni KepadaSaudara-saudara Kita
Karena kita telah diampuni dosa-dosanya oleh Allah, maka sebagai responsnya, kita harus bersyukur atasnya dengan menyalurkan kasih Allah yang mengampuni dosa-dosa itu kepada orang-orang yang bersalah kepada kita. Mengampuni kesalahan orang lain TIDAK berarti bersikap cuek terhadap kesalahan orang lain, tetapi mengampuni berarti tidak lagi mengingat-ingat lagi kesalahan orang lain sebagaimana Allah yang mengampuni dosa-dosa kita pun TIDAK mengingat-ingat lagi dosa-dosa kita (bdk. Mazmur 130:3; Yesaya 43:25; Ibrani 8:12; 10:17).
2. Dosa-dosa yang Telah Kita Perbuat Kepada Allah Jauh Lebih Besar dan Berat daripada Kesalahan Orang Lain Kepada Kita.
Selain karena kita harus menjadi penyalur kasih pengampunan Allah, kita pun harus menyadari bahwa kita harus mengampuni orang lain karena sejujurnya dosa-dosa kita kepada Allah jauh lebih besar daripada dosa-dosa orang lain kepada kita (10.000 talenta Vs 100 dinar). Misalnya, kesalahan orang lain kepada kita dalam bentuk menghina kita, namun tahukah kita bahwa ketika kita berdosa kepada-Nya, kita menghina Allah yang telah mencipta kita? Menghina Allah yang telah mencipta kita jauh lebih berat pelanggarannya ketimbang hanya sekadar menghina sesama manusia biasa.
Ketika kita terus merasa bahwa orang lain bersalah kepada kita tanpa menyadari lebih seriusnya dosa kita kepada Allah, kita sebenarnya lebih berdosa yaitu dengan memuliakan diri ketimbang Allah. Berhati-hatilah terhadap hal ini.
Biarlah kita masing-masing mengintrospeksi diri di dalam doa dengan melihat kelemahan diri dibandingkan orang lain dan menyerahkannya kepada Allah agar Ia sudi mengampuni kita. Amin.
“dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan”(Matius 6:13a)
Permintaan kita ketiga yang Kristus ajarkan agar Allah tidak membawa kita ke dalam pencobaan. Kata “pencobaan” dalam ayat ini dalam bahasa Yunaninya peirasmon bisa diterjemahkan sebagai ujian atau pencobaan dan terjemahan itu harus disesuaikan dengan konteksnya. Peirasmon di dalam 1 Petrus 4:12 diterjemahkan sebagai ujian dan itu sesuai dengan konteksnya yaitu penderitaan Kristus (ay. 13), sedangkan peirasmon di dalam Matius 26:41 lebih tepat diterjemahkan sebagai pencobaan karena kata itu disusul dengan perkataan Tuhan Yesus selanjutnya, “roh memang penurut, tetapi daging lemah.”
Lalu, bagaimana dengan Yakobus 1:12-13? Di Yakobus 1:12, Tuhan berfirman melalui Yakobus, “Berbahagialah orang yang bertahan dalampencobaan, sebab apabila ia sudah tahan uji, ia akan menerima mahkota kehidupan yang dijanjikan Allah kepada barangsiapa yang mengasihi Dia.” Apakah kata peirasmon di ayat ini tepat jika diterjemahkan sebagai pencobaan? TIDAK. Jika kita meneliti ayat ini, maka terjemahan kata “pencobaan” ini jelas tidak cocok, karena ayat ini didahului oleh kata “Berbahagialah” (Yun.:makarios; Ing.: blessed). Di dalam Alkitab, pencobaan merujuk kepada sesuatu yang jahat dan berpotensi menjatuhkan (misalnya: pencobaan Yesus oleh iblis di Matius 4:1-11).
Pdt. Yakub Tri Handoko, Th.M. menerjemahkan kata peirasmon di ayat 12 ini sebagai ujian, karena “Alkitab secara konsisten mengajarkan bahwa pencobaan harus dilawan, baik dengan menjauhkan diri dari pencobaan (Matius 6:13; 26:41) maupun melawan iblis (Yakobus 4:7; 1Petrus 5:8-9).”[1]
Sedangkan di Yakobus 1:13, kata dicobai (Yun.: peirazomenos) lebih tepat diterjemahkan sebagai pencobaan/dicobai dan bukan pengujian/diuji. Mengapa? Karena di ayat ini, Yakobus hendak mengajar penerima suratnya agar jangan menyalahkan Allah sebagai sumber pencobaan (jangan mengatakan bahwa kita sedang dicobai Allah) “Sebab Allah tidak dapat dicobai oleh yang jahat, dan Ia sendiri tidak mencobai siapapun.” Jika ayat ini diterjemahkan sebagai ujian, maka tentu tidak mungkin Yakobus mengajar para pembaca suratnya agar tidak mengatakan Allah sedang menguji mereka, karena memang pengujian berasal dari Allah.
Selain itu, ayat 13 dilanjutkan oleh ayat 14, “Tetapi tiap-tiap orang dicobai (Yun.: peirazetai) oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya.” Lebih tidak masuk akal lagi, jika kata peirazetaiditerjemahkan sebagai ujian, karena tidak ada ujian yang berasal dari diri sendiri (yang ada hanyalah pencobaan) dan juga ujian tidak mungkin menyeret dan memikat kita (konotasi negatif). Yang biasa menyeret dan memikat manusia adalah pencobaan (bdk. ketika iblis mencobai Tuhan Yesus di Mat. 4:1-11).
Lalu, apa maksud Kristus mengajar kita memohon kepada Allah agar Allah tidak membawa kita kepada pencobaan, padahal Roh sendiri membawa Yesus untuk dicobai iblis (Matius 4:1)?
1. Pencobaan itu Sesuatu yang Sangat Berbahaya
Dengan permohonan agar Allah tidak membawa kita ke dalam pencobaan, Kristus hendak mengajar kita bahwa realitas pencobaan bukanlah realitas yang mudah, tetapi sangat sulit dan berbahaya. Terkadang, kita cenderung meremehkan pencobaan bahkan menghina mereka yang tersandung ke dalam pencobaan dunia, sehingga seolah-olah kita merasa lebih baik dan benar daripada mereka yang terjatuh ke dalam pencobaan. Sikap demikian merupakan suatu bentuk kesombongan terselubung.
Fakta membuktikan bahwa banyak orang Kristen yang dicobai dan beberapa terjatuh ke dalam pencobaan menunjukkan bahwa pencobaan itu benar-benar berbahaya, namun dibalut dengan “kulit luar” yang manis. Rev. Kris Lundgaard, M.Div. menyebutnya sebagai seni menipu dan mendefinisikannya sebagai “untuk membuat orang mempercayai hal yang bertolak belakang dari kenyataan, sehingga ia akan melakukan sesuatu yang jika bukan dengan cara demikian tidak akan ia lakukan. Inilah cara kedagingan membuatmu menjadi hamba dosa yang sukarela.”[2]
Dari definisi Rev. Kris Lundgaard, penipuan ini membuat orang:
a) mempercayai hal palsu/salah yang dianggapnya asli/benar
Sesuatu yang salah dan berdosa biasanya ditampilkan seolah-olah “benar”, sehingga hal itu mengakibatkan banyak orang mempercayainya sebagai kebenaran. Contoh, banyak orang dunia dengan etika situasi yang diimaninya percaya bahwa free-sex itu tidak salah, karena tindakan itu dipercaya muncul dari motivasi “kasih.”
b) Melakukan apa yang dipercayainya meskipun itu salah.
Karena mempercayai hal yang seolah-olah “benar” dan sah itulah, banyak orang dunia melakukan apa yang dipercayainya, meskipun terbukti (nantinya) bahwa kepercayaan dan tindakan mereka itu salah. Contoh, karena percaya bahwa free-sex itu “benar” karena dilakukan dengan motivasi “kasih”, maka banyak anak muda mempraktikkan free-sex, sehingga beberapa gadis hamil di luar nikah dan tidak sedikit yang menggugurkan kandungannya karena belum siap merawat anak. Meskipun tindakan itu dapat dicegah dengan memakai kondom, tetapi tindakan itu didasarkan pada motivasi yang tidak beres yaitu demi seks. Akibatnya, pernikahan pun diidentikkan dengan kepuasan seks di mana hal ini tidak ada bedanya dengan pernikahan binatang yang demi nafsu birahi saja.
Makin seseorang melakukan hal-hal demikian, ia makin mirip binatang ketimbang manusia. Sungguh mengenaskan!
2. Kita Tidak Akan Sanggup Mengalahkan Pencobaan Dengan Kekuatan Sendiri.
Karena pencobaan itu sangat berbahaya, maka dengan berdoa agar Allah tidak membawa kita ke dalamnya, Kristus mengajar kita bahwa kita sendiri tidak akan sanggup mengalahkan pencobaan. Kita harus mengakui kelemahan kita sendiri dalam mengalahkan pencobaan. Sekali lagi, jangan pernah menyombongkan diri ketika kita menghadapi pencobaan, karena di saat kita sombong, kita sudah diperangkap oleh pencobaan itu sendiri dan itu mengakibatkan kita makin tidak bisa lepas dari pencobaan.
Kelemahan kita di dalam mengatasi pencobaan ditunjukkan dengan lemahnya kita mengikuti apa yang disodorkan oleh pencobaan. Mari kita berbicara jujur. Banyak cowok lemah dalam menghadapi pencobaan ketika di hadapan mereka, banyak cewek cantik dan seksi lewat atau mereka melihat cewek-cewek cantik dan seksi. Kelemahan itu berakibat mereka sering berfantasi hal-hal yang jorok.
Belajar mengaku kelemahan kita menolong kita mengintrospeksi bahwa kita tak mungkin bisa mengalahkan pencobaan dengan kekuatan sendiri. Lalu, siapakah yang dapat melepaskan kita dari pencobaan? Jelas, Allah! Di dalam 1 Korintus 10:13, Allah berjanji, “Pencobaan-pencobaan[3] yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.” Dari ayat ini, kita dihiburkan dan dikuatkan Allah melalui janji-Nya:
a) Allah menyebut pencobaan yang kita alami itu adalah pencobaan biasa yang tidak akan melebihi kekuatan/kemampuan kita
Puji Tuhan, Ia menguatkan kita dengan menyebut pencobaan kita adalah pencobaan yang biasa sesuai standar dan urutan-Nya. Tetapi bukankah kita sering menganggap bahwa pencobaan kita adalah pencobaan yang amat berat kita tanggung? TIDAK! Allah yang sangat mengetahui kemampuan kita pasti mengetahui porsi pencobaan yang Ia izinkan agar kita tanggung. Melihat cara Allah menyebut pencobaan kita itu sebagai pencobaan yang biasa memerlukan mata iman yang tajam dan itu memerlukan proses yang lama menuju kedewasaan iman di dalam Kristus.
Makin seseorang beriman secara dewasa di dalam Kristus, ia makin menganggap pencobaan yang diizinkan Allah ini adalah pencobaan biasa, karena ia telah mengalami berbagai macam pencobaan. Saya menyebutnya sebagai latihan menghadapi pencobaan.
b) Allah itu setia yang akan memberikan jalan keluar kepada kita, sehingga kita mampu menanggung pencobaan itu.
Pencobaan kita bukan hanya pencobaan biasa di mata Allah, Ia mengatakan bahwa Ia adalah Allah yang setia yang akan memberikan jalan keluar kepada kita. Jalan keluar apa? Apakah jalan keluar itu membuat kita terbebas dari semua pencobaan? TIDAK! Justru jalan keluar yang Allah sediakan adalah jalan keluar berupa kekuatan yang dari Allah dalam menanggung pencobaan itu. Di sini, Ia membedakan dua macam kekuatan/kemampuan/kuasa (Yun.: dunamai): kemampuan manusia sendiri vs kemampuan manusia yang diberi kekuatan/kemampuan dari Allah. Melalui kemampuan yang Allah berikan kepada kita, maka kita dimampukan-Nya bertahan dalam pencobaan, sehingga kita tidak terjatuh ke dalam pencobaan. Puji Tuhan!
Biarlah melalui doa ini, kita diajar Kristus untuk berhati-hati terhadap pencobaan, namun tetap bergantung dan berharap terus-menerus kepada-Nya. Amin.
:“tetapi lepaskanlah kami daripada yang jahat”(Matius 6:13b)
Setelah Kristus mengajar kita untuk berdoa kepada Bapa agar Bapa tidak membawa kita ke dalam pencobaan, maka Kristus mengajar kita untuk berdoa agar Bapa melepaskan kita dari yang jahat. Di sini, Kristus menggabungkan pencobaan dengan si jahat. Kata “jahat” dalam ayat ini dalam teks Yunaninya adalah ponērou yang merupakan kata sifat yang digabungkan bentuk artikel touyang bisa diterjemahkan si/yang. Kata ini muncul sebanyak 12x di dalam Perjanjian Baru (Matius 5:37; 6:13; 12:35; 13:38; Lukas 6:45; Yohanes 17:15; Galatia 1:4; Efesus 6:16; 1Tesalonika 5:22; 2Tesalonika 3:3; 2Tim. 4:18; 1Yohanes 3:12) dan mayoritas kata ini disertai dengan bentuk artikel tou, kecuali di 1 Tesalonika 5:22 dan 2 Timotius 4:18.
Lalu, apa arti “yang jahat” di dalam ayat ini? Apakah yang jahat identik dengan iblis? Bisa ditafsirkan demikian, tetapi “yang jahat” sebenarnya merupakan perluasan dari iblis. Di Alkitab, kita diajar bahwa iblis adalah bapa penipu yang juga sebagai sumber segala kejahatan. Karena bersifat menipu dan jahat, maka iblis merusak segala sesuatu yang Allah kerjakan dengan salah satu caranya yaitu menipu dan mencobai manusia. Dengan kata lain, “yang jahat” dikaitkan dengan “pencobaan”, sehingga artinya menjadi: hal-hal yang jahat yang mencobai kita.
Dengan berdoa “lepaskanlah kami daripada yang jahat”, Kristus hendak mengajar kita bahwa:
1. Kejahatan Adalah Suatu Fakta
Kejahatan jelas merupakan suatu fakta nyata yang tidak bisa kita elakkan, meskipun beberapa orang mencoba mengindoktrinasi orang lain bahwa kejahatan itu hanya ilusi, sedangkan kebaikan itu nyata. Dengan mengatakan bahwa kejahatan itu ilusi, orang ini sedang melakukan kejahatan tersembunyi dengan mengajar orang akan sesuatu yang tidak realistis. Jika ada orang yang berkata bahwa kejahatan, sakit, dan hal-hal negatif lainnya sebagai ilusi, coba pukul orang itu, bagaimana reaksi orang itu? Jika orang itu marah, katakan kepadanya bahwa itu semua hanya ilusi, jadi tidak perlu marah. Anehnya, orang yang mengatakan bahwa kejahatan itu ilusi, ia tetap bersedih jika ada salah seorang yang dikasihinya dibunuh atau meninggal. Jika kejahatan itu ilusi, mengapa menangis/bersedih? Tidak konsisten!
Dari mana asalnya kejahatan? Jelas dari setan. Apa standarnya kita mengatakan sesuatu itu jahat? Standarnya adalah kebenaran Allah. Sesuatu yang melawan dan merintangi kebenaran Allah pasti jahat dan berasal dari setan.
Apa saja yang termasuk kejahatan? Prof. J. I. Packer, D.Phil. menjabarkan 2 jenis kejahatan: kejahatan di luar diri kita/lingkungan (seperti kesedihan, kelemahan fisik, sakit, bencana alam, dll) dan kejahatan di dalam diri kita (seperti penyelewengan moral).[1]
Meskipun ada 2 jenis kejahatan yang dipaparkan oleh Dr. Packer, lalu apakah 2 jenis kejahatan itu yang dimaksudkan Kristus di ayat ini? TIDAK. Dr. Packer sendiri menafsirkan kejahatan di ayat ini sebagai kejahatan khusus/bukan umum yang berpotensi mencobai kita.[2]
Dengan kata lain, kejahatan di ayat ini berkaitan dengan pencobaan seperti yang telah saya paparkan di atas, yaitu kejahatan di dalam diri yang berpotensi menjatuhkan kita. Kejahatan seperti apakah itu? Kejahatan di dalam diri yang berkeinginan untuk memuaskan nafsu sendiri dan tidak memuliakan Allah, seperti perbuatan kedagingan yang dipaparkan Paulus di Galatia 5:19-21, “percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya.” Hal-hal ini jelas merupakan kejahatan yang ada di dalam diri dan berpotensi menjatuhkan kita baik langsung maupun tidak langsung.
2. Kita Tidak Dapat Mengalahkan Kejahatan Dengan Kekuatan Sendiri
Karena kejahatan adalah suatu fakta, secara hati nurani, kita tentunya memiliki kecenderungan untuk mengalahkan kejahatan. Namun, bisakah kita mampu mengalahkan kejahatan dengan sendirinya? TIDAK! Melalui perkataan “lepaskanlah kami daripada yang jahat”, Kristus mengajar kita bahwa mustahil manusia dapat mengalahkan kejahatan dengan kekuatannya sendiri, karena manusia sendiri adalah makhluk ciptaan-Nya yang berdosa yang secara otomatis pasti menginginkan hal yang jahat. Dengan kata lain, makin kita berusaha mengalahkan kejahatan, kita makin terpuruk ke dalam kejahatan yang berusaha kita kalahkan.
BACA JUGA: DOA BAPA KAMI: MATIUS 6:9-13
Mau contoh? Tidak usah jauh-jauh, kita melihat kasus nyata di Indonesia, beberapa teroris meledakkan bom di salah satu tempat di Bali, apa motivasinya? Karena mereka melihat tindakan maksiat di tempat yang diledakkannya di Bali itu. Dengan kata lain, mereka ingin mengalahkan (baca: melenyapkan) kejahatan dengan menciptakan kejahatan baru yang lebih dahsyat dan mengerikan.
3. Allah Berdaulat Atas Kejahatan.
Jika manusia tidak mampu melepaskan diri dari kejahatan atau melenyapkan kejahatan, lalu bagaimana solusinya? Kristus mengajar kita agar kita berdoa memohon Allah Bapa melepaskan kita dari yang jahat. Caranya?
a) Melihat Allah yang berdaulat atas kejahatan
Kedaulatan Allah atas kejahatan tidak berarti Allah sebagai pencipta kejahatan, tetapi maksudnya adalah di dalam kejahatan yang terjadi, Allah tetap ada di situ. Pertanyaan selanjutnya, mengapa Allah yang telah mengetahui adanya kejahatan tidak memberhentikan kejahatan itu terjadi? Apakah Allah tidak Mahakuasa atau tidak Mahakasih? TIDAK! Allah yang berdaulat tentu juga adalah Allah yang Mahakuasa, Mahatahu, Mahakasih, dan Mahaadil, namun ketika Ia tidak memberhentikan kejahatan itu, pasti ada maksud tertentu yang Ia inginkan di balik kejahatan. Misalnya, Firaun yang jahat dipakai oleh Allah untuk membebaskan umat Israel dari perbudakan di Mesir (Keluaran 13:17-22).
b) Melihat Allah yang menangani kejahatan.
Setelah melihat Allah yang berdaulat atas kejahatan, cara kita lepas dari yang jahat adalah dengan melihat Allah yang menangani kejahatan yang ada di dalam kedaulatan-Nya itu. Di sini, kita diajar Kristus untuk melihat cara kerja Bapa di balik kejahatan dengan mengarahkannya kepada kebenaran. Kita tahu bahwa amarah (yang berpusat pada diri) termasuk kejahatan, namun dengan berdoa “lepaskanlah kami daripada yang jahat”, Kristus hendak mengajar kita bahwa fokus hidup kita adalah Allah, sehingga kita boleh marah, asalkan amarah kita tidak berlarut-larut (Ef. 4:26) dan dimotivasi oleh kebenaran, misalnya: marah karena orang lain tidak mendengar dan menaati firman Tuhan, dll.[3]
Allah adalah Allah yang berdaulat atas segala sesuatu termasuk kejahatan, sehingga firman Tuhan menghibur kita agar kita berhati-hati terhadap kejahatan yang mencobai kita, namun kita pun harus terus-menerus melihat Allah di balik semuanya, karena pasti ada rencana-Nya yang indah di balik kejahatan tersebut. Amin.
(Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya. Amin.)” (Matius 6:13c)
Kalau kita memperhatikan Alkitab terjemahan Indonesia, kalimat ini diberikan tanda kurung, karena memang dalam teks aslinya, kalimat ini tidak ada.[1] Namun demikian, meskipun kalimat ini tidak ada di dalam teks aslinya, kalimat ini tetap memiliki signifikansi bagi kita. Kalimat ini merupakan doksologi (pemujaan kepada Allah) penting di dalam suatu doa, karena melalui pencantuman kalimat ini, kita diajar suatu prinsip menarik tentang doa, yaitu doa yang berkenan di hadapan Allah adalah doa yang dimulai dan diakhiri dengan memuliakan nama-Nya. Bagaimana kita memuliakan nama-Nya di dalam doa? Di akhir kalimat Doa Bapa Kami, dikatakan bahwa karena Allah Bapa yang memiliki Kerajaan, kuasa, dan kemuliaan sampai selama-lamanya. Di sini, kita belajar 4 prinsip memuliakan Allah di dalam doa:
1. Melihat Allah (Bapa) Sebagai Raja yang Memerintah
Memuliakan Allah di dalam doa dimulai dari pengakuan dan kepercayaan bahwa Allah kita adalah Raja yang memerintah. Di dalam Alkitab khususnya Perjanjian Baru, kita diajar prinsip bahwa Kerajaan Allah bukan lagi mengenai tempat tertentu, tetapi suatu kondisi di mana Allah memerintah di sana.[2] Dan Kerajaan Allah dimulai di dalam Pribadi dan karya Kristus. Perhatikan apa yang Kristus firmankan sendiri, “Tetapi jika Aku mengusir setan dengan kuasa Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu.” (Lukas 11:20; bdk. Matius 12:28) Diberitakannya Kerajaan Allah identik dengan diberitakannya Pribadi dan karya Kristus.
Allah yang memerintah berarti Allah yang menetapkan standar hukum dan perintah untuk kita taati di dalam kasih. Namun, bagaimana dengan kita yang katanya mengaku percaya bahwa Allah itu memerintah? Benarkah Allah yang memerintah itu benar-benar memerintah hidup kita melalui firman-Nya yang menjadi standar/pedoman kita dalam berpikir, berkata, dan bertindak? Bukankah kita sering kali menjadikan diri kita yang menjadi pedoman kebenaran bagi diri kita sendiri? Biarlah ini menjadi introspeksi bagi kita.
2. Melihat Allah (Bapa) Sebagai Raja yang Berkuasa
Selain memerintah, Allah juga adalah Raja yang berkuasa atas segala sesuatu, termasuk hidup umat-Nya. Apa bedanya Allah yang memerintah dengan Allah yang berkuasa? Allah yang memerintah adalah Allah yang menetapkan standar hukum dan perintah untuk kita taati di dalam kasih; Allah yang berkuasa adalah Allah yang memiliki kuasa untuk menuntun dan mengubah hidup kita agar taat kepada Allah dan firman-Nya.[3] Di sini, kita belajar poin menarik tentang Allah kita yang Mahadahsyat itu. Allah kita bukan Allah yang menetapkan perintah baku yang membelenggu, tetapi Allah menetapkan perintah itu untuk kita taati di dalam kasih dan Ia juga yang menuntun kita untuk menaati firman-Nya itu melalui karya Roh Kudus yang melahirbarukan kita di dalam proses pengudusan. Allah yang sama juga berkuasa untuk menghukum mereka yang tidak taat.
Bandingkan Allah yang kita percayai dengan “Allah” yang dipercaya dalam agama-agama lain yang digambarkan sebagai sosok “Allah” yang memberi perintah melalui “nabi”-Nya dan membiarkan para pengikutnya menjalankan perintah-perintah-“Nya” itu dengan sendirinya (tanpa ada bantuan) ditambah hukuman bagi mereka yang tidak menjalankan. Dengan kata lain, di dalam agama ini, hanya ada tuntutan, perintah, dan hukuman yang membelenggu, sedangkan di dalam Kekristenan, kita menemukan keindahan yang tak tertandingi, ada perintah, tuntutan, namun juga ada kasih dan pertolongan Roh Kudus yang menuntun kita untuk menaati firman-Nya, namun tetap ada hukuman bagi kita yang tidak taat.
3. Melihat Allah (Bapa) Sebagai Raja yang Mulia
Karena Dia adalah Raja yang memerintah dan berkuasa, maka Dia juga disebut sebagai Raja yang mulia. Dia disebut mulia karena Dia pantas dimuliakan dan dipuji. Mengapa? Karena apa yang telah dikerjakan-Nya atas alam semesta dan manusia khususnya umat pilihan-Nya itu adalah tindakan yang super dahsyat yang hanya bisa dikerjakan oleh Allah yang berpribadi dan berdaulat. Jika Allah tidak berpribadi, mana mungkin Ia dapat mencipta manusia yang berpribadi? Jika Allah tidak berdaulat, mungkinkah Ia dapat mencipta alam semesta ini tanpa bertabrakan satu sama lain? Justru karena Dia berpribadi dan berdaulat, segala hal di alam semesta dan kehidupan umat-Nya dapat dijelaskan dengan tepat, meskipun tidak dapat dijelaskan dengan sempurna. Di sini, saya mengaitkan kemuliaan Allah dengan keagungan dan kedahsyatan karya Allah di dalam penciptaan, penebusan, dan penyempurnaan kelak.
4. Melihat Allah (Bapa) Sebagai Raja Selama-lamanya.
Seorang raja/presiden/kepala negara merupakan sosok yang memerintah, berkuasa, dan mulia, namun apakah yang membedakan Allah kita yang Mahadahsyat itu dengan para raja/presiden/dll? Perbedaan yang paling penting: Allah kita adalah Raja yang memerintah, berkuasa, mulia SAMPAI SELAMA-LAMANYA! Ada unsur kekekalan di dalam diri Allah sebagai Raja yang tak akan dapat disaingi oleh raja/presiden/kepala negara siapa pun di dunia ini! (bdk. Lukas 1:33; Roma 9:5; 1Timotius 1:17)
Unsur kekekalan Allah sebagai Raja ini mengajar kita bahwa meskipun sosok raja dunia meninggal, percayalah Allah kita tidak akan pernah meninggal. Saya teringat akan apa yang dikatakan Yesaya di dalam Yesaya 6:1, “Dalam tahun matinya raja Uzia aku melihat Tuhan duduk di atas takhta yang tinggi dan menjulang, dan ujung jubah-Nya memenuhi Bait Suci.” Di sini, Yesaya langsung mengontraskan dua kekuasaan raja: raja Uzia yang telah mati vs Allah sebagai Raja yang tetap duduk di atas takhta yang tinggi dan menjulang (tidak mungkin bisa mati).
Melalui hal ini, kita mendapat penghiburan bahwa hanya Allah saja yang patut kita percayai, karena Ia tidak akan pernah bisa mati, digagalkan manusia, dll. Biarlah Allah itulah yang menjadi pusat hidup kita. Amin.
[1] English Standard Version (ESV), International Standard Version (ISV), New International Version (NIV), dan Revised Standard Version (RSV) tidakmencantumkan kalimat ini.
[2] Bdk. uraian “datanglah Kerajaan-Mu” di Matius 6:10.
[3] Allah bukan hanya mampu memerintah dengan berfirman, “Jadilah terang.” (Kejadian 1:3), tetapi Ia sendiri mampu berkuasa menciptakan segala sesuatu dari yang tidak ada (misalnya terang itu sendiri). Dengan kata lain, Allah yang berkuasa meskipun dapat diidentikkan dengan Allah yang memerintah, namun Allah yang berkuasa sebenarnya lebih “tinggi” dan “luas” daripada Allah yang memerintah.