ARGUMENTASI DAN SERANGAN PERFECTIONISME

Pdt.Budi Asali, M.Div.
Tulisan Louis Berkhof berkenaan dengan Perfectionisme.

1) Mula-mula Louis Berkhof menjelaskan apa Perfectionisme itu, dan siapa saja yang memegang pandangan itu.
ARGUMENTASI DAN SERANGAN PERFECTIONISME
gadget, education
Juga ia menjelaskan persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan pandangan di antara orang-orang dalam kalangan yang menganut ajaran Perfectionisme itu.

Louis Berkhof: “2. Denial of this imperfection by the Perfectionists. a. The doctrine of perfectionism. Speaking generally, this doctrine is to the effect that religious perfection is attainable in the present life. It is taught in various forms by Pelagians, Roman Catholics or Semi-Pelagians, Arminians, Wesleyans, such mystical sects as the Labadists, the Quietists, the Quakers, and others, some of the Oberlin theologians, such as Mahan and Finney, and Ritschl. These all agree in maintaining that it is possible for believers in this life to attain to a state in which they comply with the requirements of the law ‘under which they now live,’ or under that law ‘as it was adjusted to their present ability and needs,’ and, consequently, to be free from sin. They differ, however: (1) In their view of sin, the Pelagians, in distinction from all the rest, denying the inherent corruption of man. They all agree, however, in externalizing sin. (2) In their conception of the law which believers are now obliged to fulfill, the Arminians, including the Wesleyans, differing from all the rest in holding that this is not the original moral law, but the gospel requirements or the new law of faith and evangelical obedience. The Roman Catholics and the Oberlin theologians maintain that it is the original law, but admit that the demands of this law are adjusted to man’s deteriorated powers and to his present ability. And Ritschl discards the whole idea that man is subject to an externally imposed law. He defends the autonomy of moral conduct, and holds that we are under no law but such as is evolved out of our own moral disposition in the course of activities for the fulfilment of our vocation. (3) In their idea of the sinner’s dependence on the renewing grace of God for the ability to fulfill the law. All, except the Pelagians, admit that he is in some sense dependent on divine grace, in order to the attainment of perfection. It is very significant that all the leading perfectionist theories (with the sole exception of the Pelagian, which denies the inherent corruption of man) deem it necessary to lower the standard of perfection and do not hold man responsible for a great deal that is undoubtedly demanded by the original moral law. And it is equally significant that they feel the necessity of externalizing the idea of sin, when they claim that only conscious wrong-doing can be so considered, and refuse to recognize as sin a great deal that is represented as such in Scripture.” [= 2. Penyangkalan tentang ketidak-sempurnaan ini oleh orang-orang yang menganut ajaran Perfectionisme. a. Doktrin / ajaran dari Perfectionisme. Berbicara secara umum, doktrin / ajaran ini secara umum berarti bahwa kesempurnaan agamawi bisa dicapai dalam hidup sekarang ini. Itu diajarkan dalam bermacam-macam bentuk oleh orang-orang yang menganut Pelagianisme, Roma Katolik atau Semi-Pelagianisme, Arminianisme, Wesleyanisme, sekte-sekte mistik seperti Labadists, Quietists, Quakers, dan yang lain, sebagian dari ahli-ahli theologia Oberlin, seperti Mahan dan Finney, dan Ritschl. Orang-orang ini semua setuju / sepakat dalam mempertahankan bahwa adalah mungkin bagi orang-orang percaya dalam hidup ini untuk mencapai suatu keadaaan dalam mana mereka menyesuaikan dengan / mentaati tuntutan-tuntutan hukum ‘di bawah mana mereka sekarang hidup’, atau di bawah hukum itu ‘sebagaimana itu disesuaikan pada kemampuan dan kebutuhan mereka pada saat ini’, dan karena itu / sebagai hasilnya, bebas dari dosa. Tetapi mereka berbeda: (1) Dalam pandangan mereka tentang dosa, pengikut-pengikut Pelagianisme, dalam perbedaan dengan semua sisanya, menyangkal keadaan jahat sebagai pembawaan dari manusia (dosa asal). Tetapi mereka semua setuju / sepakat, dalam melahiriahkan dosa. (2) Dalam pengertian mereka tentang hukum yang orang-orang percaya sekarang wajib penuhi, orang-orang Arminian, termasuk Wesleyans, berbeda dari semua sisanya dalam memegang / mempercayai bahwa ini bukanlah hukum Taurat moral yang asli / orisinil, tetapi tuntutan-tuntutan injil atau hukum yang baru dari iman dan ketaatan injili. Orang-orang Roma Katolik dan ahli-ahli theologia Oberlin mempertahankan bahwa itu adalah hukum Taurat yang orisinil, tetapi mengakui bahwa tuntutan-tuntutan dari hukum Taurat ini disesuaikan dengan kekuatan-kekuatan manusia yang memburuk / berkurang dan dengan kemampuannya pada saat ini. Dan Ritschl membuang seluruh gagasan bahwa manusia berada di bawah suatu hukum yang dipaksakan secara lahiriah. Ia mempertahankan otonomi dari tingkah laku moral, dan memegang / mempercayai bahwa kita tidak berada di bawah hukum apapun kecuali seperti yang berkembang keluar dari kecondongan moral kita sendiri dalam jalan dari aktivitas-aktivitas untuk pemenuhan / penggenapan dari panggilan agamawi kita. (3) Dalam gagasan mereka tentang ketergantungan orang berdosa pada kasih karunia yang memperbaharui dari Allah untuk kemampuan untuk menggenapi hukum. Semua, kecuali penganut-penganut Pelagianisme, mengakui bahwa ia dalam arti tertentu tergantung pada kasih karunia ilahi, untuk bisa mencapai kesempurnaan. Merupakan sesuatu yang sangat menyolok bahwa semua teori-teori Perfectionisme yang utama (dengan satu-satunya perkecualian dari orang-orang yang menganut Pelagianisme, yang menyangkal kejahatan bawaan dari manusia) menganggap perlu untuk menurunkan standard kesempurnaan dan tidak menganggap manusia bertanggung jawab sampai suatu tingkat yang sangat besar yang tak diragukan dituntut oleh hukum Taurat moral yang orisinil. Dan adalah menyolok secara sama bahwa mereka merasa keharusan untuk melahiriahkan gagasan dari dosa, pada waktu mereka mengclaim bahwa hanya tindakan salah yang disadari yang bisa dipertimbangkan, dan menolak untuk mengakui sebagai dosa suatu tingkat yang sangat besar yang digambarkan seperti itu dalam Kitab Suci.] - ‘Systematic Theology’, hal537-538 (Libronix).

2) Selanjutnya, Louis Berkhof memberikan argumentasi-argumentasi dari orang-orang  yang menganut ajaran Perfectionisme ini, sekaligus dengan jawaban Louis Berkhof berkenaan dengan argumentasi-argumentasi ini.

a) Argumentasi pertama.
Louis Berkhof: “b. Scriptural proofs adduced for the doctrine of perfectionism. (1) The Bible commands believers to be holy and even to be perfect, 1 Pet. 1:16; Matt. 5:48; Jas. 1:4, and urges them to follow the example of Christ who did no sin, 1 Pet. 2:21 f. Such commands would be unreasonable, if it were not possible to reach sinless perfection.” [= b. Bukti-bukti Kitab Suci yang diajukan untuk doktrin perfectionisme. (1) Alkitab memerintahkan orang-orang percaya untuk menjadi kudus / suci dan bahkan untuk menjadi sempurna, 1Petrus 1:16; Matius 5:48; Yak 1:4, dan mendesak mereka untuk mengikuti teladan Kristus yang tidak berbuat dosa, 1Pet 2:21-dst. Perintah-perintah seperti itu akan menjadi tidak masuk akal, seandainya tidak mungkin untuk mencapai kesempurnaan tanpa dosa.] - ‘Systematic Theology’, hal 538 (Libronix).
1Petrus 1:16 - “sebab ada tertulis: Kuduslah kamu, sebab Aku kudus.”.

Matius 5:48 - “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.’”.
KJV/RSV/NIV/NASB: ‘perfect’ [= sempurna].
Yunani: TELEIOI.

Yakobus 1:4 - “Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apapun.”.
KJV/NASB: ‘perfect ... perfect’ [= sempurna ... sempurna].
Yunani: TELEION ... TELEIOI.

1Petrus 2:21-23 - “(21) Sebab untuk itulah kamu dipanggil, karena Kristuspun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejakNya. (22) Ia tidak berbuat dosa, dan tipu tidak ada dalam mulutNya. (23) Ketika Ia dicaci maki, Ia tidak membalas dengan mencaci maki; ketika Ia menderita, Ia tidak mengancam, tetapi Ia menyerahkannya kepada Dia, yang menghakimi dengan adil.”.

Jawaban Louis Berkhof terhadap argumentasi pertama ini.
Louis Berkhof: “But the Scriptural demand to be holy and perfect holds for the unregenerate as well as for the regenerate, since the law of God demands holiness from the start and has never been revoked. If the command implies that they to whom it comes can live up to the requirement, this must be true of every man. However, only those who teach perfectionism in the Pelagian sense can hold that view. The measure of our ability cannot be inferred from the Scriptural commandments.” [= Tetapi tuntutan Kitab Suci untuk menjadi kudus / suci dan sempurna mengikat / berlaku bagi orang-orang yang belum lahir baru maupun untuk orang-orang yang sudah lahir baru, karena hukum Allah menuntut kekudusan dari awal dan tidak pernah dibatalkan. Jika perintah itu menunjukkan secara implicit bahwa mereka kepada siapa perintah itu diberikan bisa menggenapi tuntutan itu, ini harus benar untuk setiap orang. Tetapi, hanya mereka yang mengajarkan perfectionisme dalam arti Pelagianisme yang bisa memegang / mempercayai pandangan seperti itu. Ukuran dari kemampuan kita tidak bisa disimpulkan dari perintah-perintah Kitab Suci.] - ‘Systematic Theology’, hal538-539 (Libronix).

b) Argumentasi kedua.
Louis Berkhof: “(2) Holiness and perfection are often ascribed to believers in Scripture, Song of Sol. 4:7; 1 Cor. 2:6; 2 Cor. 5:17; Eph. 5:27; Heb. 5:14; Phil. 4:13; Col. 2:10.” [= (2) Kekudusan dan kesempurnaan sering dianggap sebagai milik orang-orang percaya dalam Kitab Suci, Kid 4:7; 1Kor 2:6; 2Kor 5:17; Ef 5:27; Ibr 5:14; Fil 4:13; Kol 2:10.] - ‘Systematic Theology’, hal 538 (Libronix).
Kid 4:7 - “Engkau cantik sekali, manisku, tak ada cacat cela padamu.”.

1Korintus 2:6 - “Sungguhpun demikian kami memberitakan hikmat di kalangan mereka yang telah matang, yaitu hikmat yang bukan dari dunia ini, dan yang bukan dari penguasa-penguasa dunia ini, yaitu penguasa-penguasa yang akan ditiadakan.”.
KJV: ‘perfect’[= sempurna].
Yunani: TELEIOS.

2Korintus 5:17 - “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang.”.

Efesus 5:27 - “supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diriNya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela.”.

Ibrani 5:14 - “Tetapi makanan keras adalah untuk orang-orang dewasa, yang karena mempunyai pancaindera yang terlatih untuk membedakan yang baik dari pada yang jahat.”.
Yunani: TELEION.

Filipi 4:13 - “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku.”.
Kolose 2:10 - “dan kamu telah dipenuhi di dalam Dia. Dialah kepala semua pemerintah dan penguasa.”.
KJV: ‘ye are complete in him’ [= kamu lengkap / sempurna dalam Dia].

Jawaban Louis Berkhof terhadap argumentasi kedua ini.
Louis Berkhof: “When the Bible speaks of believers as holy and perfect, however, this does not necessarily mean that they are without sin, since both words are often used in a different sense, not only in common parlance, but also in the Bible. Persons set aside for the special service of God are called holy in the Bible, irrespective of their moral condition and life. Believers can be and are called holy, because they are objectively holy in Christ, or because they are in principle subjectively sanctified by the Spirit of God. Paul in his Epistles invariably addresses his readers as saints, that is ‘holy ones,’ and then proceeds in several cases to take them to task for their sins. And when believers are described as perfect, this means in some cases merely that they are full-grown, 1 Cor. 2:6; Heb. 5:14, and in others that they are fully equipped for their task, 2 Tim. 3:17. All this certainly does not give countenance to the theory of sinless perfection.” [= Tetapi, pada waktu Alkitab berbicara tentang orang-orang percaya sebagai kudus dan sempurna, ini tidak berarti bahwa mereka tanpa dosa, karena kedua kata itu sering digunakan dalam suatu arti yang berbeda, bukan hanya dalam percakapan umum, tetapi juga dalam Alkitab. Orang-orang yang dipisahkan untuk pelayanan khusus bagi Allah disebut kudus dalam Alkitab, tak peduli bagaimana kondisi dan kehidupan moral mereka. Orang-orang percaya bisa menjadi, dan disebut, kudus, karena mereka kudus secara obyektif di dalam Kristus, atau karena mereka dalam prinsipnya dikuduskan secara subyektif oleh Roh Allah. Paulus dalam surat-suratnya menyebut secara tetap para pembacanya sebagai orang-orang kudus, dan lalu melanjutkan dalam beberapa kasus mengecam / mengkritik mereka untuk dosa-dosa mereka. Dan pada waktu orang-orang percaya digambarkan sebagai sempurna, dalam beberapa kasus ini semata-mata berarti bahwa mereka telah dewasa, 1Kor 2:6; Ibr 5:14, dan dalam kasus-kasus lain bahwa mereka diperlengkapi secara penuh untuk tugas mereka, 2Tim 3:17. Semua ini pasti tidak mendukung / menyetujui teori tentang kesempurnaan tanpa dosa.] - ‘Systematic Theology’, hal 538-539 (Libronix).

1Korintus 2:6 - “Sungguhpun demikian kami memberitakan hikmat di kalangan mereka yang telah matang, yaitu hikmat yang bukan dari dunia ini, dan yang bukan dari penguasa-penguasa dunia ini, yaitu penguasa-penguasa yang akan ditiadakan.”.
KJV: ‘perfect’[= sempurna].
RSV/NIV/NASB: ‘mature’[= matang].

Ibrani 5:14 - “Tetapi makanan keras adalah untuk orang-orang dewasa, yang karena mempunyai pancaindera yang terlatih untuk membedakan yang baik dari pada yang jahat.”.
Yunani: TELEION.

2Timotius 3:17 - “Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik”.
KJV: ‘That the man of God may be perfect, throughly furnished unto all good works.’ [= Supaya manusia milik Allah itu bisa sempurna, diperlengkapi sepenuhnya untuk semua perbuatan-perbuatan baik.].

c) Argumentasi ketiga.
Louis Berkhof: “(3) There are, it is said, Biblical examples of saints who led perfect lives, such as Noah, Job, and Asa, Gen. 6:9; Job 1:1; 1 Kings 15:14.” [= (3) Dikatakan bahwa disana ada, teladan-teladan Alkitabiah tentang orang-orang kudus yang hidup secara sempurna, seperti Nuh, Ayub, dan Asa, 

Kej 6:9; Ayub 1:1; 1Raja 15:14.] - ‘Systematic Theology’, hal 539 (Libronix).
Kejadian 6:9 - “Inilah riwayat Nuh: Nuh adalah seorang yang benar dan tidak bercela di antara orang-orang sezamannya; dan Nuh itu hidup bergaul dengan Allah.”.

Ayub 1:1 - “Ada seorang laki-laki di tanah Us bernama Ayub; orang itu saleh dan jujur; ia takut akan Allah dan menjauhi kejahatan.”.
KJV: ‘that man was perfect and upright, and one that feared God, and eschewed evil.’ [= orang itu sempurnadan lurus, dan orang yang takut Allah, dan menghindari kejahatan.].

1Raja-Raja 15:14 - “Sekalipun bukit-bukit pengorbanan tidak dijauhkan, namun Asa berpaut kepada TUHAN dengan segenap hatinya sepanjang umurnya.”.
KJV: ‘Asa’s heart was perfect with the LORD all his days.’ [= hati Asa adalah sempurnabersama TUHAN sepanjang hidupnya.].

Jawaban Louis Berkhof terhadap argumentasi ketiga ini.
Louis Berkhof: “But, surely, such examples as these do not prove the point for the simple reason that they are no examples of sinless perfection. Even the most notable saints of the Bible are pictured as men who had their failings and who sinned, in some cases very grievously. This is true of Noah, Moses, Job, Abraham, and all the others. It is true that this does not necessarily prove that their lives remained sinful as long as they lived on earth, but it is a striking fact that we are not introduced to a single one who was without sin. The question of Solomon is still pertinent: ‘Who can say, I have made my heart clean, I am pure from my sin?’ Prov. 20:9. Moreover, John says: ‘If we say that we have no sin, we deceive ourselves, and the truth is not in us,’ 1 John 1:8.” [= Tetapi pasti, teladan-teladan seperti orang-orang ini tidak membuktikan pointnya karena alasan yang sederhana bahwa mereka bukanlah contoh-contoh dari kesempurnaan tanpa dosa. Bahkan orang-orang kudus yang paling menyolok dari Alkitab digambarkan sebagai orang-orang yang mempunyai kegagalan-kegagalan / titik lemah mereka, dan yang berbuat dosa, dalam beberapa kasus secara sangat menyedihkan. Ini benar tentang Nuh, Musa, Ayub, Abraham, dan semua orang-orang lain. Adalah benar bahwa ini tidak harus membuktikan bahwa kehidupan-kehidupan mereka tetap penuh dosa selama mereka hidup di bumi, tetapi itu merupakan suatu fakta yang menyolok bahwa kita tidak diperkenalkan dengan satu orangpun yang tanpa dosa. Pertanyaan Salomo tetap relevan: ‘Siapa bisa berkata: Aku telah membuat hatiku bersih, aku murni dari dosaku?’ Amsal 20:9. Selanjutnya / lebih lagi, Yohanes berkata: ‘Jika kita berkata, bahwa kita tidak mempunyai dosa, kita menipu diri kita sendiri, dan kebenaran tidak ada di dalam kita’, 1Yoh 1:8.] - ‘Systematic Theology’, hal 539 (Libronix).

Amsal 20:9 - “Siapakah dapat berkata: ‘Aku telah membersihkan hatiku, aku tahir dari pada dosaku?’”.
1Yohanes 1:8 - “Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita.”.

d) Argumentasi keempat.
Louis Berkhof: “(4) The apostle John declares explicitly that they who are born of God do not sin, 1 John 3:6, 8, 9; 5:18.” [= (4) Rasul Yohanes menyatakan secara explicit bahwa mereka yang lahir dari Allah tidak berbuat dosa, 1Yoh 3:6,8,9; 5:18.] - ‘Systematic Theology’, hal 539 (Libronix).

1Yohanes 3:6,8,9 - “(6) Karena itu setiap orang yang tetap berada di dalam Dia, tidak berbuat dosa lagi; setiap orang yang tetap berbuat dosa, tidak melihat dan tidak mengenal Dia. ... (8) barangsiapa yang tetap berbuat dosa, berasal dari Iblis, sebab Iblis berbuat dosa dari mulanya. Untuk inilah Anak Allah menyatakan diriNya, yaitu supaya Ia membinasakan perbuatan-perbuatan Iblis itu. (9) Setiap orang yang lahir dari Allah, tidak berbuat dosa lagi; sebab benih ilahi tetap ada di dalam dia dan ia tidak dapat berbuat dosa, karena ia lahir dari Allah.”.

1Yohanes 5:18 - “Kita tahu, bahwa setiap orang yang lahir dari Allah, tidak berbuat dosa; tetapi Dia yang lahir dari Allah melindunginya, dan si jahat tidak dapat menjamahnya.”.
Jawaban Louis Berkhof terhadap argumentasi keempat ini.

Louis Berkhof: “But when John says that they who are born of God do not sin, he is contrasting the two states, represented by the old and the new man, as to their essential nature and principle. One of the essential characteristics of the new man is that he does not sin. In view of the fact that John invariably uses the present to express the idea that the one born of God does not sin, it is possible that he desires to express the idea that the child of God does not ‘go on sinning habitually,’ as the devil does, 1 John 3:8. He certainly does not mean to assert that the believer never commits an act of sin, cf. 1 John 1:8–10. Moreover, the Perfectionist cannot very well use these passages to prove his point, since they would prove too much for his purpose. He does not make bold to say that all believers are actually sinless, but only that they can reach a state of sinless perfection. The Johannine passages, however, would prove, on his interpretation, that all believers are without sin” [= Tetapi pada waktu Yohanes berkata bahwa mereka yang lahir dari Allah tidak berbuat dosa, ia sedang mengkontraskan dua keadaan, disimbolkan oleh manusia lama dan manusia baru, berkenaan dengan hakekat dan prinsip dasari mereka. Salah satu dari karakteristik dasari dari manusia baru adalah bahwa ia tidak berbuat dosa. Mempertimbangkan fakta bahwa Yohanes secara tetap menggunakan bentuk present (tense) untuk menyatakan gagasan bahwa orang yang lahir dari Allah tidak berbuat dosa, adalah mungkin bahwa ia ingin menyatakan gagasan bahwa anak Allah tidak ‘terus berbuat dosa sebagai kebiasaan’, seperti yang Iblis / setan lakukan, 1Yoh 3:8. Ia pasti tidak bermaksud untuk menegaskan bahwa orang percaya tidak pernah melakukan suatu tindakan dari dosa, bdk. 1Yoh 1:8-10. Selanjutnya / lebih lagi, orang-orang yang percaya Perfectionisme tidak bisa menggunakan dengan baik text-text ini untuk membuktikan pointnya, karena mereka akan membuktikan terlalu banyak untuk tujuannya. Ia tidak berani untuk berkata bahwa semuaorang-orang percaya betul-betul tanpa dosa, tetapi hanya bahwa mereka bisa mencapai suatu keadaan dari kesempurnaan tanpa dosa. Tetapi text-text Yohanes membuktikan, berdasarkan penafsirannya, bahwa semuaorang-orang percaya adalah tanpa dosa.] - ‘Systematic Theology’, hal 539 (Libronix).

1Yohanes 3:8 - “barangsiapa yang tetap berbuat dosa, berasal dari Iblis, sebab Iblis berbuat dosa dari mulanya. Untuk inilah Anak Allah menyatakan diriNya, yaitu supaya Ia membinasakan perbuatan-perbuatan Iblis itu.”.

1Yohanes 1:8-10 - “(8) Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita. (9) Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan. (10) Jika kita berkata, bahwa kita tidak ada berbuat dosa, maka kita membuat Dia menjadi pendusta dan firmanNya tidak ada di dalam kita.”.

Louis Berkhof masih menambahkan satu hal lagi yang saya anggap sangat hebat.
Louis Berkhof: “And more than that, they would also prove that believers never fall from the state of grace (for this is sinning); and yet the Perfectionists are the very people who believe that even perfect Christians may fall away.” [= Dan lebih dari itu, mereka juga membuktikan bahwa orang-orang percaya tidak pernah jatuh dari keadaan kasih karunia / murtad (karena ini adalah perbuatan dosa); tetapi orang-orang yang menganut Perfectionisme justru adalah orang-orang yang percaya bahwa bahkan orang-orang Kristen yang sempurna bisa murtad.] - ‘Systematic Theology’, hal 539 (Libronix).

Sampai di sini Louis Berkhof telah memberikan 4 argumentasi dari orang-orang yang mempercayai Perfectionisme, dan semuanya telah ia jawab / patahkan / hancurkan.

3) Sekarang Louis Berkhof memberikan serangan terhadap pandangan Perfectionisme ini.

a) Serangan pertama.
Louis Berkhof: “c. Objections to the theory of Perfectionism. (1) In the light of Scripture the doctrine of Perfectionism is absolutely untenable. The Bible gives us the explicit and very definite assurance that there is no one on earth who does not sin, 1 Kings 8:46; Prov. 20:9; Eccl. 7:20; Rom. 3:10; Jas. 3:2; 1 John 1:8. In view of these clear statements of Scripture it is hard to see how any who claim to believe the Bible as the infallible Word of God can hold that it is possible for believers to lead sinless lives, and that some actually succeed in avoiding all sin.” [= c. Keberatan-keberatan terhadap teori dari Perfectionisme. (1) Dalam terang dari Kitab Suci doktrin Perfectionisme secara mutlak tidak bisa dipertahankan. Alkitab memberi kita keyakinan / kepastian yang explicit dan sangat pasti bahwa disana tidak ada seorangpun di bumi yang tidak berbuat dosa, 1Raja 8:46; Amsal 20:9; Pkh 7:20; Ro 3:10; Yak 3:2; 1Yoh 1:8. Mempertimbangkan pernyataan-pernyataan yang jelas dari Kitab Suci adalah sukar untuk melihat bagaimana siapapun yang mengclaim untuk mempercayai Alkitab sebagai Firman Allah yang tidak bisa salah bisa mempercayai bahwa adalah mungkin bagi orang-orang percaya untuk menjalani kehidupan tanpa dosa, dan bahwa beberapa / sebagian betul-betul berhasil dalam menghindari semua dosa.] - ‘Systematic Theology’, hal 539-540 (Libronix).

1Raja 8:46 - “Apabila mereka berdosa kepadaMu - karena tidak ada manusia yang tidak berdosa - dan Engkau murka kepada mereka dan menyerahkan mereka kepada musuh, sehingga mereka diangkut tertawan ke negeri musuh yang jauh atau yang dekat,”.

Amsal 20:9 - “Siapakah dapat berkata: ‘Aku telah membersihkan hatiku, aku tahir dari pada dosaku?’”.
Pkh 7:20 - “Sesungguhnya, di bumi tidak ada orang yang saleh: yang berbuat baik dan tak pernah berbuat dosa!”.

Roma 3:10 - “seperti ada tertulis: ‘Tidak ada yang benar, seorangpun tidak.”.

Yakobus 3:2 - “Sebab kita semua bersalah dalam banyak hal; barangsiapa tidak bersalah dalam perkataannya, ia adalah orang sempurna, yang dapat juga mengendalikan seluruh tubuhnya.”.
1Yohanes 1:8 - “Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita.”.

b) Serangan kedua.
Louis Berkhof: “(2) According to Scripture there is a constant warfare between the flesh and the Spirit in the lives of God’s children, and even the best of them are still striving for perfection. Paul gives a very striking description of this struggle in Rom. 7:7–25, a passage which certainly refers to him in his regenerate state. In Gal. 5:16–24 he speaks of that very same struggle as a struggle that characterizes all the children of God. And in Phil. 3:10–14 he speaks of himself, practically at the end of his career, as one who has not yet reached perfection, but is pressing on toward the goal.” [= (2) Menurut Kitab Suci disana ada suatu peperangan konstan antara daging dan Roh dalam kehidupan dari anak-anak Allah, dan bahkan yang terbaik dari mereka tetap berjuang untuk kesempurnaan. Paulus memberikan suatu penggambaran yang sangat menyolok tentang pergumulan ini dalam Ro 7:7-25, suatu text yang pasti menunjuk kepada dia dalam keadaan (sudah) lahir baru. Dalam Gal 5:16-24 ia berbicara tentang pergumulan yang sama itu sebagai suatu pergumulan yang menjadi ciri dari semua anak-anak Allah. Dan dalam Fil 3:10-14 ia berbicara tentang dirinya sendiri, hampir pada akhir dari karirnya, sebagai seseorang yang belum mencapai kesempurnaan, tetapi sedang terus berusaha untuk menuju pada tujuan itu.] - ‘Systematic Theology’, hal 540 (Libronix).

Roma 7:7-26 - “(7) Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Apakah hukum Taurat itu dosa? Sekali-kali tidak! Sebaliknya, justru oleh hukum Taurat aku telah mengenal dosa. Karena aku juga tidak tahu apa itu keinginan, kalau hukum Taurat tidak mengatakan: ‘Jangan mengingini!’ (8) Tetapi dalam perintah itu dosa mendapat kesempatan untuk membangkitkan di dalam diriku rupa-rupa keinginan; sebab tanpa hukum Taurat dosa mati. (9) Dahulu aku hidup tanpa hukum Taurat. Akan tetapi sesudah datang perintah itu, dosa mulai hidup, (10) sebaliknya aku mati. Dan perintah yang seharusnya membawa kepada hidup, ternyata bagiku justru membawa kepada kematian. (11) Sebab dalam perintah itu, dosa mendapat kesempatan untuk menipu aku dan oleh perintah itu ia membunuh aku. (12) Jadi hukum Taurat adalah kudus, dan perintah itu juga adalah kudus, benar dan baik. (13) Jika demikian, adakah yang baik itu menjadi kematian bagiku? Sekali-kali tidak! Tetapi supaya nyata, bahwa ia adalah dosa, maka dosa mempergunakan yang baik untuk mendatangkan kematian bagiku, supaya oleh perintah itu dosa lebih nyata lagi keadaannya sebagai dosa. (14) Sebab kita tahu, bahwa hukum Taurat adalah rohani, tetapi aku bersifat daging, terjual di bawah kuasa dosa. (15) Sebab apa yang aku perbuat, aku tidak tahu. Karena bukan apa yang aku kehendaki yang aku perbuat, tetapi apa yang aku benci, itulah yang aku perbuat. (16) Jadi jika aku perbuat apa yang tidak aku kehendaki, aku menyetujui, bahwa hukum Taurat itu baik. (17) Kalau demikian bukan aku lagi yang memperbuatnya, tetapi dosa yang ada di dalam aku. (18) Sebab aku tahu, bahwa di dalam aku, yaitu di dalam aku sebagai manusia, tidak ada sesuatu yang baik. Sebab kehendak memang ada di dalam aku, tetapi bukan hal berbuat apa yang baik. (19) Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat. (20) Jadi jika aku berbuat apa yang tidak aku kehendaki, maka bukan lagi aku yang memperbuatnya, tetapi dosa yang diam di dalam aku. (21) Demikianlah aku dapati hukum ini: jika aku menghendaki berbuat apa yang baik, yang jahat itu ada padaku. (22) Sebab di dalam batinku aku suka akan hukum Allah, (23) tetapi di dalam anggota-anggota tubuhku aku melihat hukum lain yang berjuang melawan hukum akal budiku dan membuat aku menjadi tawanan hukum dosa yang ada di dalam anggota-anggota tubuhku. (24) Aku, manusia celaka! Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini? (25) Syukur kepada Allah! oleh Yesus Kristus, Tuhan kita. (26) Jadi dengan akal budiku aku melayani hukum Allah, tetapi dengan tubuh insaniku aku melayani hukum dosa.”.

Galatia 5:16-24 - “(16) Maksudku ialah: hiduplah oleh Roh, maka kamu tidak akan menuruti keinginan daging. (17) Sebab keinginan daging berlawanan dengan keinginan Roh dan keinginan Roh berlawanan dengan keinginan daging - karena keduanya bertentangan - sehingga kamu setiap kali tidak melakukan apa yang kamu kehendaki. (18) Akan tetapi jikalau kamu memberi dirimu dipimpin oleh Roh, maka kamu tidak hidup di bawah hukum Taurat. (19) Perbuatan daging telah nyata, yaitu: percabulan, kecemaran, hawa nafsu, (20) penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, (21) kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya. Terhadap semuanya itu kuperingatkan kamu - seperti yang telah kubuat dahulu - bahwa barangsiapa melakukan hal-hal yang demikian, ia tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah. (22) Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, (23) kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu. (24) Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya.”.

Filipi 3:10-14 - “(10) Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitanNya dan persekutuan dalam penderitaanNya, di mana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematianNya, (11) supaya aku akhirnya beroleh kebangkitan dari antara orang mati. (12) Bukan seolah-olah aku telah memperoleh hal ini atau telah sempurna, melainkan aku mengejarnya, kalau-kalau aku dapat juga menangkapnya, karena akupun telah ditangkap oleh Kristus Yesus. (13) Saudara-saudara, aku sendiri tidak menganggap, bahwa aku telah menangkapnya, tetapi ini yang kulakukan: aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku, (14) dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus.”.

c) Serangan ketiga.
Louis Berkhof: “(3) Confession of sin and prayer for forgiveness are continually required. Jesus taught all His disciples without any exception to pray for the forgiveness of sins and for deliverance from temptation and from the evil one, Matt. 6:12, 13. And John says: ‘If we confess our sins, He is faithful and righteous to forgive us our sins, and to cleanse us from all unrighteousness,’ 1 John 1:9. Moreover, Bible saints are constantly represented as confessing their sins, Job 9:3, 20; Ps. 32:5; 130:3; 143:2; Prov. 20:9; Isa. 64:6; Dan. 9:16; Rom. 7:14.” [= (3) Pengakuan dosa dan doa untuk pengampunan dituntut secara terus menerus. Yesus mengajar semua murid-muridNya tanpa kecuali untuk berdoa untuk pengampunan dosa-dosa dan untuk pembebasan dari pencobaan dan dari si jahat, 

Matius 6:12,13. Dan Yohanes berkata: ‘Jika kita mengaku dosa kita, Ia adalah setia dan benar untuk mengampuni kita dari dosa-dosa kita, dan membersihkan kita dari segala ketidak-benaran’, 1Yoh 1:9. 

Selanjutnya / lebih lagi, orang-orang kudus dalam Alkitab secara konstan digambarkan sebagai mengakui dosa-dosa mereka, Ayub 9:3,20; Maz 32:5; 130:3; 143:2; Amsal 20:9; Yes 64:6; Dan 9:16; Roma 7:14.] - ‘Systematic Theology’, hal 540 (Libronix).

Matius 6:12,13 - “(12) dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami; (13) dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat.”.

1Yohanes 1:9 - “Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.”.

Ayub 9:1-3,20 - “(1) Tetapi Ayub menjawab: (2) ‘Sungguh, aku tahu, bahwa demikianlah halnya, masakan manusia benar di hadapan Allah? (3) Jikalau ia ingin beperkara dengan Allah satu dari seribu kali ia tidak dapat membantahNya. ... (20) Sekalipun aku benar, mulutku sendiri akan menyatakan aku tidak benar; sekalipun aku tidak bersalah, Ia akan menyatakan aku bersalah.”.
Untuk ay 20-nya, terjemahan Alkitab bahasa Inggris berbeda-beda.

KJV: ‘If I justify myself, mine own mouth shall condemn me: if I say, I am perfect, it shall also prove me perverse.’ [= Jika aku membenarkan diriku sendiri, mulutku sendiri akan mengecam aku: jika aku berkata, aku sempurna, itu juga akan membuktikan aku salah.].

RSV: ‘Though I am innocent, my own mouth would condemn me; though I am blameless, he would prove me perverse.’ [= Sekalipun aku tidak bersalah, mulutku sendiri akan mengecam aku; sekalipun aku tak bercacat, Ia akan membuktikan aku salah.].

NIV: ‘Even if I were innocent, my mouth would condemn me; if I were blameless, it would pronounce me guilty.’ [= Bahkan seandainya aku tidak bersalah, mulutku akan mengecam aku; seandainya aku tidak bercacat, itu akan menyatakan aku bersalah.].

NASB: ‘Though I am righteous, my mouth will condemn me; Though I am guiltless, He will declare me guilty.’ [= Sekalipun aku benar, mulutku akan mengecam aku; Sekalipun aku tidak bersalah, Ia akan menyatakan aku bersalah.].

Mazmur 32:5 - “Dosaku kuberitahukan kepadaMu dan kesalahanku tidaklah kusembunyikan; aku berkata: ‘Aku akan mengaku kepada TUHAN pelanggaran-pelanggaranku,’ dan Engkau mengampuni kesalahan karena dosaku. Sela”.

Mazmur 130:3 - “Jika Engkau, ya TUHAN, mengingat-ingat kesalahan-kesalahan, Tuhan, siapakah yang dapat tahan?”.

Mazmur 143:2 - “Janganlah beperkara dengan hambaMu ini, sebab di antara yang hidup tidak seorangpun yang benar di hadapanMu.”.

Amsal 20:9 - “Siapakah dapat berkata: ‘Aku telah membersihkan hatiku, aku tahir dari pada dosaku?’”.

Yesaya 64:6 - “Demikianlah kami sekalian seperti seorang najis dan segala kesalehan kami seperti kain kotor; kami sekalian menjadi layu seperti daun dan kami lenyap oleh kejahatan kami seperti daun dilenyapkan oleh angin.”.

Daniel 9:16 - “Ya Tuhan, sesuai dengan belas kasihanMu, biarlah kiranya murka dan amarahMu berlalu dari Yerusalem, kotaMu, gunungMu yang kudus; sebab oleh karena dosa kami dan oleh karena kesalahan nenek moyang kami maka Yerusalem dan umatMu telah menjadi cela bagi semua orang yang di sekeliling kami.”.

Roma 7:14 - “Sebab kita tahu, bahwa hukum Taurat adalah rohani, tetapi aku bersifat daging, terjual di bawah kuasa dosa.”.

d) Serangan keempat.
Louis Berkhof: “(4) The Perfectionists themselves deem it necessary to lower the standard of the law and to externalize the idea of sin, in order to maintain their theory. Moreover, some of them have repeatedly modified the ideal to which, in their estimation, believers can attain. At first the ideal was ‘freedom from all sin’; then, ‘freedom from all conscious sin,’ next, ‘entire consecration to God,’ and, finally, ‘Christian assurance.’ This is in itself a sufficient condemnation of their theory. We naturally do not deny that the Christian can attain to the assurance of faith.” [= (4) Para Perfectionist sendiri menganggap perlu untuk menurunkan standar dari hukum dan untuk melahiriahkan gagasan tentang dosa, untuk mempertahankan teori mereka. Selanjutnya / lebih lagi, sebagian dari mereka telah secara berulang-ulang memodifikasi keadaan ideal pada mana, dalam penilaian mereka, bisa dicapai oleh orang-orang percaya. Mula-mula keadaan idealnya adalah ‘bebas dari semua dosa’; lalu, ‘bebas dari semua dosa sadar / yang disadari’, dan selanjutnya, ‘pembaktian sepenuhnya kepada Allah’, dan akhirnya, ‘keyakinan Kristen’. Ini dalam dirinya sendiri merupakan suatu pengecaman yang cukup tentang teori mereka. Kita pasti tidak menyangkal bahwa orang Kristen bisa mencapai keyakinan / kepastian dari iman.] - ‘Systematic Theology’, hal 540 (Libronix).

Catatan: Pdt. Budi Asali, M.Div:  meraih gelar Master of Divinity (M.Div) dari Reformed Theological Seminary (RTS), Jackson, Mississippi, United States of America
-o0o-
Next Post Previous Post