MENJADI GEREJA YANG MEMBERKATI KOTA
Pdt.Samuel T. Gunawan, M.Th.
otomotif, bisnis |
“Tetapi beberapa waktu kemudian berkatalah Paulus kepada Barnabas: “Baiklah kita kembali kepada saudara-saudara kita di setiap kota, di mana kita telah memberitakan firman Tuhan, untuk melihat, bagaimana keadaan mereka” (Kisah Para Rasul 15:36)
MENGAPA GEREJA YANG MEMBERKATI KOTA?
Kota digambarkan sebagai pusat kemurtadan, ketidakadilan, pemegahan diri, dan tempat kejahatan merajalela. Di sisi lain, kota yang sejati digambarkan sebagai Yerusalem, tempat kediaman, pusat pemerintahan, perlindungan, dan penggenapan janji masa depan yang penuh dengan pengharapan serta kesembuhan dari Allah. Nampaknya, visi tentang kota yang Alkitabiah menggabungkan kedua ciri tersebut di atas. Kota adalah tempat tinggal orang berdosa dan orang kudus; tempat kejahatan merajalela sekaligus tempat kasih karunia melimpah.
Di atas semuanya, kota adalah tempat utama berlangsungnya drama Alkitab. Kisah Alkitab di mulai di taman, pindah ke kota, menyebar dari kota ke kota, dan mencapai puncaknya dalam visi tentang sebuah taman yang diubah menjadi sebuah kota.
Sekarang ini ada kesadaran yang semakin besar bahwa kota memegang kunci penting untuk kemajuan Kerajaan Allah.
Kota merupakan wilayah strategis dalam pertempuran antara kegelapan dan terang. Di kota-kota nilai dan gaya hidup ditentukan dan paling banyak ditiru. Kondisi suatu kota akan menentukan masa depan bangsa. Seluruh sejarah berpusat di sekitar kota-kota. Kota memainkan pengaruh yang penting dalam menentukan keadaan manusia secara individual dan keseluruhan. Sejarah mencatat banyak contoh tentang hal ini.
Beberapa kota besar seperti London, Roma, Berlin dan New York, semuanya mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap sejarah dunia. Sejarah gereja juga banyak berkisar pada kota-kota. Yerusalem, Antiokhia, Roma, dan Genewa adalah contoh. Penyebutan nama dari setiap kota membawa pada pikiran suatu kesan tersendiri, kesan yang terkadang positif, dan terkadang negatif. Setiap kota memiliki karakteristik tersendiri yang memberi pengaruh baik ataupun buruk pada masalah nasional dan dunia.
Karena itulah, di era postmodern ini, dalam semua perencanaan strategis, maka kota-kota perlu menjadi sasaran (target) utama gereja dalam penjangkauan dan pemberitaan Injil. Hal ini bukan berarti mengabaikan pelayanan di wilayah pedesaan. Mendirikan jemaat yang kuat di kota-kota tentu saja memiliki nilai strategis.
Sebab jika gereja mampu menjangkau dan memenangkan kota bagi Kristus, maka dari kota itulah gereja mengatur strategi untuk menyebar dan menjangkau desa-desa sekitarnya dengan Injil sekaligus membantu mereka yang secara ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan posisi tertinggal. Tetapi perlu diingatkan, bahwa aktivitas misi gereja yang terkonsentrasi di pusat strategis (kota) bisa memancar ke wilayah (desa-desa) lainnya hanya jika pusat, yaitu gereja di kota bersifat Injili (misioner) dan terlibat aktif dalam merintis dan mendirikan gereja-gereja lokal baru.
MEMAHAMI KOTA
Kota (city) merupakan kawasan pemukiman dan pusat pemerintahan, serta tempat dilaksanakan berbagai aktivitas tingkat tinggi seperti ekonomi (produksi dan perdagangan), perkantoran, pusat studi, kebudayaan dan lain sebagainya. Sebagai daerah pemukiman, kota terdiri atas kumpulan rumah-rumah yang merupakan kesatuan tempat tinggal dari berbagai lapisan masyarakat yang mendominasi tata ruangnya dan memiliki berbagai fasilitas untuk mendukung kehidupan warganya secara mandiri.
Kota dibedakan dari desa dilihat berdasarkan luasnya, kepadatan penduduknya, status hukum, dan kepentingannya. Pada umumnya desa didominasi oleh luasnya lahan terbuka kontras dengan kota yang didominasi oleh pemukiman penduduk. Selain itu, kota memiliki ciri-ciri antara lain: tersedianya pasar (bersifat menetap) dan pertokoan, tersedianya tempat parkir, adanya taman kota, adanya sarana rekreasi dan sarana olah raga, adanya transportasi umum, pusat kesehatan atau rumah sakit, dan lain sebagainya. Setiap kota memiliki pilar-pilar penopang yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakatnya untuk lebih baik atau lebih buruk terhadap Allah dan kebenaran hidup atau terhadap setan dan ketidakbenaran.
Setidaknya ada tujuh pilar utama yang menopang masyarakat perkotaan, yaitu : (1) Pilar spiritual, agama, dan sosial; (2) Pilar ekonomi dan bisnis; (3) Pilar politik, hukum dan pemerintahan; (4) Pilar pendidikan dan olah raga; (5) Pilar seni dan budaya; (6) Pilar media dan teknologi; dan (7) Pilar keluarga dan rumah tangga.[1]
Kota adalah suatu fakta yang menakjubkan, kompleks dan mendominasi kehidupan masa kini. Kota juga telah memicu munculnya serentetan sikap dan komentar.
Di satu sisi, kota dianggap sebagai takhta peradaban dan tempat meleburnya kebudayaan tingkat tinggi. Kota diasosiakan dengan pikiran yang penuh pencerahan, penemuan-penemuan baru, dan kemajuan sosial. Namun di sisi lain, kota digambarkan sebagai tempat penyebaran penyakit sosial dan penyimpangan moral. Kota merupakan tempat di mana komunitas, ikatan kekeluargaan, dan nilai-nilai keluarganya mulai ditinggalkan.
Saat ini semakin banyak penduduk dunia yang memilih tinggal di kota ketimbang di desa. Banyak orang memilih untuk tinggal di kota karena berbagai alasan, terutama untuk mendapatkan taraf hidup yang lebih baik. Sudah merupakan hal yang umum bahwa kota merupakan pusat perekonomian (pasar, perdagangan, industri) yang membutuhkan banyak tenaga kerja.
Dengan demikian akan lebih banyak peluang untuk mendapatkan pekerjaan di kota ketimbang di desa. Kota juga merupakan pusat pendidikan tinggi, sehingga banyak pelajar dan siswa dari daerah pedesaan pergi ke kota untuk melanjutkan studi ke perguruan-perguruan tinggi di kota. Sehingga pada saat ini penduduk kota dapat berjumlah puluhan ribu sampai dengan jutaan, bahkan puluhan juta orang. Semakin banyak penduduk suatu kota, semakin tinggi juga tuntutan hidup modern, yang membuat semakin kompleksnya tatanan kehidupan dalam kota itu. Karena itu, masalah-salah perkotaan (urban) meliputi banyak bidang seperti: pekerjaan, transportasi, sanitasi, jalan, pasar, perdagangan, perumahan, dan lain-lain.
Namun yang perlu diketahui adalah bahwa kota-kota berperan dalam rencana Allah. Seluruh sejarah berpusat disekitar kota-kota. Kota memainkan pengaruh yang penting dalam menentukan keadaan manusia secara individual dan keseluruhan. Sejarah mencatat banyak contoh tentang hal ini. Beberapa kota besar seperti London, Roma, Berlin dan New York, semuanya mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap sejarah dunia.
Sejarah gereja juga banyak berkisar pada kota-kota. Yerusalem, Antiokhia, Roma, dan Genewa adalah contoh. Penyebutan nama dari setiap kota membawa pada pikiran suatu kesan tersendiri, kesan yang terkadang positif, dan terkadang negatif. Setiap kota memiliki karakteristik tersendiri yang memberi pengaruh baik ataupun buruk pada masalah nasional dan dunia.
KOTA DALAM PERSPEKTIF ALKITAB
Kota dalam Alkitab sangat kompleks. Menarik untuk memperhatikan bahwa kota sudah ada sejak zaman Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Kota di dalam Alkitab disebutkan dengan menggunakan kata Ibrani “ir” dan kata Yunani “polis”. Kata “ir” begitu sering muncul, bahkan dipakai sekitar 1.090 kali dalam Perjanjian Lama. Kota dalam Alkitab menceritakan kumpulan rumah-rumah dan bangunan-bangunan yang seringkali mempunyai tembok yang mengelilingi.
Dalam Alkitab, keamanan kota amat diperkuat dengan didirikannya kubu atau tembok kota (Bilangan 13:28). Kalau tembok kota hancur (Yosua 6:20), maka hancurlah juga pertahanan utama karena serangan musuh. Untuk kehidupan bersama di kota, Alkitab melukiskan bahwa kota harus mempunyai suplai air, tembok, gerbang (Ulangan 3:5), jalan, pasar (Matius 11:16), dan sebagainya. Sering kota dibangun di atas bukit atau gunung (Matius 5:14). Kita dapat dibandingkan dengan kota-kota di Indonesia yang dibangun di dataran tinggi dan pegunungan seperti Bandung, Salatiga, Baru, dan lainnya.
Kualitas kehidupan di suatu kota bukan hanya ditentukan oleh pemerintah kota, melainkan juga oleh kualitas seluruh penduduk kota. Kota di mana kejahatan meluas dapat mengakibatkan kota itu menjadi amat jahat dan mengalami akhir yang menyedihkan. Dalam Alkitab disebutkan bahwa kota Sodom, Gomora, dan Babel mengalami tragedi yang mengenaskan karena kejahatan penduduknya.
Kejadian 13:13 menyebutkan bahwa orang Sodom sangat jahat dan berdosa. Tragedi yang kemudian menimpa Sodom dan Gomora adalah belerang dan api (Kejadian 19:24). Dalam Wahyu 17:5 disebutkan bahwa Babel besar adalah ibu dari wanita-wanita pelacur dan kekejian bumi, dan dalam wahyu 18 dilukiskan tentang kejatuhan Babel, yang bahkan tidak akan bangkit lagi.
Namun Alkitab juga mengungkapkan bahwa Allah mengasihi kota-kota. Banyak kota tidak sampai mengalami akhir seperti Sodom dan Gomora karena kasih dan anugerah Allah. Lukas 19:41 mengatakan bahwa Yesus mengasihi kota Yerusalem. Yesus yang mengasihi orang banyak (Matius 9:36) tidak lalai melayani kota. Bahkan Lukas 8:1 mengatakan bahwa Yesus memberitakan Injil keselamatan dari kota ke kota. Mengikuti jejak Kristus, Rasul Paulus nampaknya juga mempunyai strategi pelayanan dari kota ke kota (Kisah Para Rasul 15:36).
Ini makin jelas karena hasil pekabaran Injilnya adalah jemaat di kota-kota. Akibatnya, kebanyakan suratnya dalam Perjanjian Baru ditujukan kepada jemaat di kota-kota seperti di Korintus, Efesus, Filipi, Kolose, dan lain sebagainya. Namun yang tidak kalah menariknya tentang kota adalah bahwa pengharapan bagi akhir kehidupan umat percaya ada di dalam kota, kota Allah, kota yang kudus, Yerusalem yang baru (Ibrani 11:10,16; 12:22; 13:14; Wahyu 21:2). Suatu hari nanti, sementara kota-kota dari bangsa-bangsa tempat pengharapan kejayaan manusia akan tidak ada lagi (bandingkan Wahyu 21:11), maka kota Allah, Yerusalem Baru disediakan Allah bagi kehidupan akhir umat percaya.
Berdasarkan penjelasan di atas, kita dapat melihat gambaran Alkitab tentang kota. Di satu sisi kota digambarkan sebagai pusat kemurtadan, ketidakadilan dan pemegahan diri, sebagaimana yang dapat kita lihat pada gambaran tentang kota Babel, tempat kejahatan merajalela. Di sisi lain, kota yang sejati digambarkan sebagai Yerusalem, tempat kediaman, pusat pemerintahan, perlindungan, dan penggenapan janji masa depan yang penuh dengan pengharapan serta kesembuhan dari Allah. Nampaknya, visi tentang kota yang Alkitabiah menggabungkan kedua ciri tersebut di atas.
BACA JUGA: DOKTRIN GEREJA ALKITABIAH
Kota adalah tempat tinggal orang berdosa dan orang kudus; tempat kejahatan merajalela sekaligus tempat kasih karunia melimpah. Di atas semuanya, kota adalah tempat utama berlangsungnya drama Alkitab. Kisah Alkitab di mulai di taman, pindah ke kota, menyebar dari kota ke kota, dan mencapai puncaknya dalam visi tentang sebuah taman yang diubah menjadi sebuah kota.
Karena itulah, di era postmodern ini, dalam semua perencanaan strategis, maka kota-kota perlu menjadi sasaran (target) utama penjangkauan dan pemberitaan Injil yang dilakukan oleh gereja. Hal ini bukan berarti mengabaikan pelayanan di wilayah pedesaan.
Mendirikan jemaat yang kuat di kota-kota tentu saja memiliki nilai strategis.[2] Sebab jika gereja mampu menjangkau dan dan memenang kota bagi Kristus, maka dari kota itulah gereja mengatur strategi untuk menyebar dan menjangkau desa-desa sekitarnya dengan Injil sekaligus membantu mereka yang secara ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan posisi tertinggal.[3]Tetapi perlu diingatkan, bahwa aktivitas misi gereja yang terkonsentrasi di pusat strategis (kota) bisa memancar ke wilayah (desa-desa) lainnya hanya jika pusat, yaitu gereja di kota bersifat Injili (misioner) dan terlibar aktif dalam merintis dan mendirikan gereja-gereja lokal baru.[4]
PRADIGMA GEREJA YANG MEMBERKATI KOTA
Sekarang ini ada kesadaran yang semakin besar bahwa kota memegang kunci penting untuk kemajuan Kerajaan Allah. Kota merupakan wilayah strategis dalam pertempuran antara kegelapan dan terang. Di kota-kota nilai dan gaya hidup ditentukan dan paling banyak ditiru. Kondisi suatu kota akan menentukan masa depan bangsa. Perlu dimengerti bahwa setiap orang bertindak atas dasar anggapan-anggapan atau asumsi-asumsi. Kita menyebutnya sebagai paradigma atau kerangka berpikir.[5] Paradigma adalah cara pandang seseorang terhadap diri dan lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam berpikir, bersikap dan bertingkah laku.
Sebagai contoh, orang ateis yang mengatakan tidak ada Allah pasti mempercayai anggapan dasar tersebut. Karena mempercayai hal itu, maka pandangannya terhadap dunia, umat manusia, dan masa depan sama sekali berbeda dengan orang yang percaya bahwa Allah itu ada. Sebaliknya, orang teis percaya akan adanya Allah, karena itu mereka mempunyai banyak sekali bukti yang kuat untuk mendukung kepercayaan itu, tetapi sebagai dasarnya adalah bahwa dia yakin akan anggapannya bahwa Allah ada. Demikian juga paradigma seseorang tentang gereja akan memberikan pengaruh terhadap tindakan-tindakkannya di dalam dunia ini.
Orang Kristen dengan paradigma lama sudah terbiasa memisahkan kehidupan rohani dengan kehidupan sekuler. Artinya, yang sakral (gereja) dan yang sekuler (dunia) dipisahkan. Paling jauh gereja hanya mempengaruhi ”dunia sekuler” dalam beberapa bidang pelayanan, dan bukan di semua pilar. Paradigma lama jelas membedakan antara pelayanan dan pekerjaan. Akibatnya, sebagian merasa cukup menjadi rohani (melayani) hanya pada hari minggu sedangkan di hari-hari lainnya tetap duniawi dalam pekerjaan dan aktivitas lainnya.
Dualisme seperti ini seharusnya tidak terjadi dalam kehidupan orang percaya! Semua pekerjaan adalah pelayanan bagi Allah! Tetapi kini, banyak orang Kristen telah meninggalkan paradigma lama dan beralih kepada paradigma yang baru. Kita menyebutnya sebagai “Gereja dengan paradigma baru”, yang di dalamnya orang-orang Kristen mewarnai bumi dan memberikan pengaruh kuat pada pilar-pilar masyarakat.
Orang Kristen dengan paradigma baru berani mendemontrasikan kerajaan Allah di pilar-pilar masyarakat di mana mereka berada. Mereka menganggap bahwa politik, pemerintahan, seni, budaya, olah raga, ilmu pengetahuan, teknologi, bisnis dan lainnya adalah alat yang dapat digunakan untuk mengekspresikan bakat, talenta, dan kemampuan dari kecerdasan yang dianugerahkan Tuhan, serta dipakai untuk memuliakan Tuhan.
Perbedaan praktis antara gereja paradigma lama dan gereja paradigma baru dapat dilihat seperti berikut ini:
(1) Gereja paradigma lama berpikir, “Pekerjaan dan profesi itu adalah dunia sekuler, gereja adalah dunia rohani, biarlah hal-hal yang rohani ditangani oleh pendeta atau kaum rohaniawan saja”. Sedangkan gereja paradigma baru berpikir, “semua segi kehidupan saya : pekerjaan, profesi, keluarga, memiliki arti rohani”;
(2) Gereja paradigma lama berpikir, “Tugas utama para pengusaha dan profesional adalah mencari uang untuk mendukung pelayanan”. Sedangkan gereja paradigma baru berpikir, “Tugas utama para pengusaha dan profesional adalah menggembalakan bawahan mereka, di tempat kerja”;
(3) Gereja paradigma lama berpikir, “Hamba Tuhan adalah mereka yang memiliki gelar Pdt, Pdm, Pdp, Ev, dll, yang berbicara di mimbar atau yang bekerja penuh waktu (fulltime) di gereja”. Sedangkan gereja paradigma baru berpikir, “Hamba Tuhan adalah setiap umat Tuhan dalam segala profesi yang menyadari perannya untuk ’menggarami’ dunia”;
(4) Gereja paradigma lama berpikir, “Bisnis, politik, dunia profesi lainnya adalah dunia yang kotor. Karena itu, seorang yang melayani di gereja tidak boleh terlibat dalam bisnis, politik maupun usaha yang lain”. Sedangkan gereja paradigma baru berpikir, “”Bisnis, politik, sama dengan lapangan pekerjaan lain, adalah tempat kita mengekspresikan karya Allah dan memberikan pengaruh positif pada dunia. Mereka yang terlibat di bisnis dan berbagai profesi lain dapat melayani Tuhan di gereja sesuai panggilan mereka. Sebaliknya, mereka yang melayani, bisa juga membuka usaha sendiri, seperti Paulus yang menjual tenda”;
(5) Gereja paradigma lama berpikir, “Gereja dipanggil untuk melayani jemaat di dalam gedung gereja”. Sedangkan gereja paradigma baru berpikir, “Gereja dipanggil untuk melayani orang-orang di komunitas mereka, di kota-kota dan bangsa-bangsa”.
MENJADI GEREJA YANG BERFUNGSI DI SEMUA PILAR
Karena kasih, kemurahan, dan anugerah Tuhan saja kita berharap dapat menyaksikan bahwa kota-kota tidak hanya dapat menjadi tempat berkembangnya dosa, tetapi juga dapat menjadi tempat (arena) pekerjaan Allah yang memuliakan-Nya. Suatu contoh yang jelas dari kasih karunia Allah atas suatu kota adalah kelepasan kota Niniwe dari penghukuman dan murka Allah. Gerakan pertobatan dan pembaharuan kota terjadi sebagai akibat dari pemberitaan dan peringatan Allah melalui nabi Yunus (Lihat Yunus 3).
Dalam Perjanjian Baru kita menyaksikan gerakan kebangunan umat melalui pencurahan Roh Kudus (Kisah Para Rasul 2). Kita melihat bahwa gereja dalam Perjanjian Baru lahir di suatu kota, yaitu kota Yerusalem. Demikian juga gerakan misi dalam Perjanjian Baru dimulai di suatu kota, yaitu kota Antiokhia (Kisah Para Rasul 13). Melalui pengutusan Rasul Paulus dan Barnabas dari jemaat Antiokhia, dimulailah gerakan misi ke seluruh dunia.
Kita semua menyadari betapa kota-kota kita telah bergelimang dengan dosa yang tertanam kuat dalam budaya bersama dan mengancam kesejahteraan individu, keluarga, serta komunitas. Fenomena itu masih terus berlangsung dan tidak banyak berubah. Namun, berita Injil, yaitu kabar baik harus terus bergema di kota, ditujukan pada kota, dan merasuk ke dalam kota, juga merupakan berita yang tidak berubah: di tempat yang bergelimang dosa, di situ kasih karunia Allah melimpah (lihat Roma 5). Tantangan bagi kita saat ini adalah memulihkan spiritualitas yang memadai untuk memenuhi berbagai kebutuhan dan menghadapi berbagai kesempatan yang ada pada masa kini.
Howard Gardner, penemu teori kecerdasan ganda, mempublikasikan teorinya melalui buku Frames of Mind yang terbit di tahun 1983 dan menunjukkan bahwa setiap orang itu unik dan dilahirkan dengan kecerdasan. Jauh sebelum Howard Gardner, penemu teori kecerdasan ganda, Alkitab telah mengungkapkan bahwa Allah merancang kita masing-masing supaya tidak akan ada yang benar-benar serupa di dunia (Mazmur 139:13; bandingkan 1 Korintus 12:5,6).
Tidak seorang pun memiliki secara persis sama gabungan faktor-faktor yang membuat setiap orang menjadi unik. Ini berarti tidak ada-orang lain di dunia yang akan pernah mampu memainkan peranan yang Allah rencanakan bagi kita. Jika kita tidak memberikan peran dan sumbangsih kita yang unik sebagai anggota gereja bagi dunia ini, maka peran dan sumbangsih tersebut tidak akan ada. Kecerdasan kita merupakan bakat-bakat, talenta-talenta, dan kemampuan-kemampuan yang dengannya kita dilahirkan.
Kecerdasan kita merupakan bakat-bakat, talenta-talenta, dan kemampuan-kemampuan yang dengannya kita dilahirkan untuk menjalani kehidupan yang lebih baik dan dapat membawa pada tujuan kemuliaan Allah. Beberapa dari bakat, kemampuan dan kapasitas itu antara lain: artistik, arsitektur, orasi dan komunikasi, mendesain, menjahit, memahat, melukis, bertani, nelayan, berkebun, kepemimpinan, politikus, birokrat, teknokrat, jurnalis, musisi, berfilsafat, mengajar, mekanika, mencipta (penemu), tukang kayu, pandai besi, nahkoda, marketing, menjadi tentara, mengajar, menulis sastra dan puisi, dan lain sebagainya.
Kita dapat menggunakan bakat-bakat dan kemampuan tersebut secara profesional sebagai bentuk pelayanan kepada Allah melalui tujuh pilar utama yang menopang masyarakat di suatu kota, yaitu: (1) Pilar spiritual, agama dan sosial; (2) Pilar ekonomi dan bisnis; (3) Pilar politik, hukum dan pemerintahan; (4) Pilar pendidikan dan olah raga; (5) Pilar seni dan budaya; (6) Pilar media dan teknologi; dan (7) Pilar keluarga dan rumah tangga. Gereja harus menjadi agen transformasi dalam pilar-pilar masyarakatnya dan mengembalikannya bagi kemuliaan Allah.
Jadi, betapa pun kompleks dan beratnya tantangan untuk menjadi GEREJA YANG MEMBERKATI KOTA, tetapi kita dapat mengharapkan dengan penuh keyakinan bahwa Tuhan dapat melawat kota-kota kita. Tanpa ingin menyatakan harapan akan utopia (keadaan yang sudah sempurna) sebelum Yesus Kristus datang kembali, kita dapat yakin, seperti halnya yang diyakini oleh banyak orang percaya lainnya di sepanjang sejarah gereja, bahwa gereja akan bangkit untuk membesarkan nama Tuhan di kota-kota dan menjadi berkat bagi kota-kota.
Tuhan telah mengubah Niniwe pada zaman Yunus, melawat Yerusalem, dan memakai kota Antiokhia bagi pekerjaan-Nya yang besar; Ia juga telah bekerja dalam sejarah gereja selama kurun waktu lebih dari 2000 tahun; maka kita yakin Ia dapat melakukannya kembali bagi kota-kota kita di tanah air tempat kita dilahirkan secara jasmani dan tempat kita dilahirkan sebagai anggota tubuh Kristus, yaitu gereja-Nya.
PENUTUP:
Gereja yang tinggal di kota-kota harus hidup sebagai murid-murid Kristus yang dipanggil untuk suatu misi dengan tugas utamanya “menjadikan semua bangsa murid Kristus”. Dibutuhkan suatu spiritualitas yang memadai untuk melaksanakan pemuritan di kota. Ketika bertobat, rasul Paulus mendapatkan perintah “bangunlah dan pergilah ke dalam kota, di sana akan dikatakan kepadamu, apa yang harus kau perbuat” (Kisah Para Rasul 9:6).
Hari ini panggilan yang sama disampaikan kepada kita agar bangkit, bergerak, dan melangkah menuju kota. Yang dimaksud di sini bukanlah hijrah dari luar kota menuju ke dalam kota, melainkan hijrah dari kepasifan menuju keaktifan dalam kota, yang sesuai dengan panggilan Allah bagi kita. Panggilan apakah itu? Panggilan untuk menjangkau orang-orang di kota dengan Injil dan memenangkan mereka hingga menjadi murid Kristus.
Memperhatikan undangan Allah ini akan memampukan kita untuk memasuki kota dengan kata lain, kita masuk ke dalam kesadaran yang dalam akan kehadiran Allah yang misterius ketika kasih karunia-Nya bekerja secara aktif dalam setiap relasi dan apa pun yang kita kerjakan di kota. Masuk ke dalam kota berarti menjadi semakin sadar serta lebih peka terhadap gerakan Allah di dalam dan di segenap penjuru kota.
Bukankah Tuhan menginginkan orang-orang percaya melakukan pekerjaan-pekerjaan yang baik di semua aspek kehidupan mereka dan di semua pilar masyarakat. Pernyataan klasik rasul Paulus tentang keselamatan “karena kasih karunia oleh iman” adalah frase Yunani “tê gar khariti este sesôsmenoi dia tês pisteôs” yang diterjemahkan “Sebab adalah karena kasih karunia kamu telah diselamatkan melalui iman” dalam Efesus 2:8, langsung diikuti oleh pernyataan ini “Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya” (Efesus 2:10).
Frase Yunani “pekerjaan baik” dalam ayat ini adalah “ergois agathois” diterjemahkan “perbuatan-perbuatan yang baik”. Kata “agathois” berasal dari kata “agathos” yaitu kata Yunani yang biasa digunakan untuk menerangkan gagasan yang “baik” sebagai kualitas jasmani atau moral. Kata ini dapat berarti “baik, mulia, patut, yang terhormat, dan mengagumkan”.Orang Kristen dengan paradigma baru adalah mereka mendemontrasikan kerajaan Allah di muka bumi ini.
Mereka dipanggil untuk mengabarkan Injil keselamatan dan memenangkan jiwa bagi kerajaan Allah yang disertai dengan kuasa, mukjizat dan tanda-tanda heran (Markus 16:15-18). Tetapi mereka juga dipanggil untuk menolong orang-orang yang miskin, menegakkan keadilan bagi orang-orang yang tertindas dan lemah, memberi tumpangan kepada orang-orang asing, memperjuangkan kesetaraan bagi orang-orang yang direndahkan, memulihkan martabat kaum yang ter hinakan, serta memberdayakan manusia yang secitra dan segambar dengan Allah.
Akhirnya, kita pun siap untuk mendengarkan suara Allah yang memerintahkan kita untuk benar-benar memperhatikan Allah dan kota kita. Ketika kita bergerak dalam keharmnonisan dengan Allah, kita pun diberitahu apa yang harus kita lakukan di kota. Ketika kita melakukan apa yang diperintahkan kepada kita, kita berulang-ulang mendapati kasih karunia Allah yang mengubah kota serta kuasa kehidupan ilahi yang terus memelihara kehidupan dan komunitas kita.
Dari spritualitas yang mengedepankan keaktifan perseorangan dan kepekaan akan lingkungan kota, kita diajak untuk merayakan sukacita Kerajaan Allah di dalam kota. Kita bersukacita karena Allah sedang bekerja mengubah budaya perkotaan dan bersukacita karena gambaran “Yerusalem Kudus” terwujud di kota kita.
DAFTAR PUSTAKA
Artanto, Widi., 1997. Menjadi Gereja Misioner. Penerbit Kanasius: Yokyakarta & BPK Gunung Mulia: Jakarta.
Banks, Robert & R. Paul Stevens., 2012. The Complete Book of Everyday Christianity. Terjemahan Penerbit Kalam Hidup : Bandung.
Conner, Kevin J., 2004. Jemaat Dalam Perjanjian Baru, terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang.
Criswell, W.A & Eddy P. Purwanto., 2007. Aku Akan Membangun JemaatKu (Ekklesiologi). Ditebitkan Oleh STT Injili Philadelphia: Tangerang.
Darrel W. Robinson., 2004. Total Church Life. Terjemahan, diterbitkan oleh Lembaga Literatur Baptis: Bandung.
Douglas, J.D., ed, 1993. Ensiklopedia Alkitab Masa Kini. Jilid 1 & 2. Terjemahkan Yayasan Komunikasi Bina Kasih : Jakarta.
Enns, Paul., 2004. The Moody Handbook of Theology. Jilid 1. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT: Malang.
Evans, Tony., 2001. Cara Hidup Yang Luar Biasa, jilid 1. Terjemahan, Penerbit Interaksara : Batam.
Erickson J. Millard., 2003. Teologi Kristen, Jilid 3. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang.
Ferguson, B. Sinclair, David F. Wright, J.I. Packer., 2008. New Dictionary Of Theology. Jilid 1 & 2, terjemahaan, Penerbit Literatur SAAT : Malang.
Grudem, Wayne., 1994. Systematic Theology: A Introduction to a Biblical Doctrine. Zodervan Publising House: Grand Rapids, Michigan.
Guthrie, Donald, dkk., 1982. Tafsiran Alkitab Masa Kini. Jilid 1, 2 & 3. Terjemahan. Penerbit Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF : Jakarta.
Iverson, Dick., 1994. Kebenaran Masa Kini. Terjemahan, Penerbit Harvest Publication House: Jakarta.
Harianto GP., 2012. Pengantar Misiologi: Misiologi Sebagai Jalan Menuju Pertumbuhan. Penerbit ANDI: Yogyakarta.
Howard Clark, ed. 2010. The Learning Bible Contemporary English Version. Dicetak dan diterbitkan Lembaga Alkitab Indonesia : Jakarta.
Oentoro, Jimmy B., 2004. Gereja Impian: Membangun Gereja Di Lanskap Yang Baru. Diterbitkan oleh PT. Harvest Citra Sejahtera: Jakarta
Pfeiffer F. Charles & Everett F. Harrison., ed. 1962. The Wycliffe Bible Commentary. Volume 1, 2 & 3. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas Malang.
Peter, George W., 2006. A Biblical Theology of Missions. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang.
Peter, George W., 2013. Teologi Pertumbuhan Gereja. Terjemahan, Penerbit Yayasan Komunikasi Bina Kasih: Jakarta.
Prince, Derek., 2005. Fondations Rightouness Living. Jilid 1. Terjemahan, Penerbit Derek Prince Ministries Indonesia: Jakarta.
Ryrie, Charles C., 1991. Teologi Dasar. Jilid 2, Terjemahan, Penerbit ANDI Offset: Yogyakarta.
Scahnabal, Echhard J., 2010. Rasul Paulus Sang Misionaris: Perjalanan, Stategi dan Metode Misi Rasul Paulus. Terj, Penerbit ANDI: Yogyakarta.
Schwarz, Christian A., 1999. Ringkasan Mengenai Pertumbuhan Gereja Yang Alamiah. Terjemahan, Penerbit Metanoia : Jakarta.
Stamps, Donald C., ed, 1995. Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang.
Tim Penyunting., 1990. Menuju Tahun 2000: Tantangan Gereja Di Indonesia. Diterbitkan bersama oleh Pusat Literatur Euangelion GKI, Bandung & Yayasan Penerbit Kristen Injili, Surabaya.
Wagner, C. Peter., 1993. Strategi Perkembangan Gereja. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang.
Warren, Rick., 1997. Gereja Yang Digerakan Oleh Tujuan. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang.
Wiebracht, Dean., 1997. Menjawab Tantangan Amanat Agung. Terjemahan, diterbitkan oleh Yayasan Andi: Yogyakarta.
[1] Pada tahun 1975, Bill Bright pendiri Campus Crusade dan Loren Cunningham pendiri Youth With A Mission (YWAM), makan siang bersama di Colorado. Tuhan secara serentak memberi kepada masing-masing agen perubahan ini pesan untuk diberikan kepada satu sama lain. Pada kurun waktu yang sama Francis Schaeffer pendiri L'Abri fellowships diberi pesan serupa. Pesan itu adalah bahwa jika gereja ingin mempengaruhi setiap bangsa untuk Yesus Kristus, maka gereja harus mempengaruhi tujuh lingkungan, atau kelompok masyarakat yang merupakan pilar utama dari kebudayaan dunia. Ketujuh pilar kebudayaan masyarakat ini adalah bisnis, pemerintah, media, seni dan hiburan, pendidikan, keluarga dan agama. Ada banyak sub kelompok di bawah kategori utama. Sekitar sebulan kemudian Tuhan menunjukkan Francis Schaeffer hal yang sama. Pada dasarnya, Tuhan mengatakan kepada tiga agen perubahan ini di mana medan perang itu. Di sinilah di mana kebudayaan akan menang atau kalah. Tugas mereka adalah untuk membangkitkan agen-agen perubahan untuk skala internasional yang memahami serta menjadi pelaku Firman dalam menciptakan cerita-cerita serta kesaksian-kesaksian baru tentang kebenaran Kristus yang terjadi di dalam negeri maupun dunia internasional.
[2] Pelayanan misi Rasul Paulus tidak digambarkam dalam lingkup tour khotbah melalui desa-desa. Hal ini dikarenakan fokus di kota-kota mungkin sungguh-sungguh merupakan keputusan strategis rasul Paulus yang didasarkan pada pengharapan bahwa orang yang baru percaya akan membawa Injil ke desa-desa di wilayah yang dikontrol oleh kota dan ke kota lain yang lebih jauh.
[3] Jika gereja di kota ingin benar-benar bertumbuh dalam jumlah, maka gereja kota harus melakukan yang terbaik dalam pelayanan di kota untuk kemudian mendukung pelayanan di desa-desa. Perlu diketahui bahwa 60 - 70 % dari total jumlah penduduk Indonesia tinggal di daerah pedesaan. Jika pertumbuhan gereja dimaksudkan sebagai pertumbuhan kuantitas (penambahan anggota jemaat, bukan perpindahan jemaat) sebagai respon ketaatan terhadap Amanat Agung Kristus, maka pelayanan kepada orang-orang desa memberikan ruang gerak yang lebih luas bagi pertumbuhan jumlah anggota jemaat.
[4] Stategi gereja kota yang memberkati desa terlihat dalam Kisah Para Rasul 14:6-7, dimana Lukas mengaitkan kejadian setelah rasul Paulus dan Barnabas di usir dari Ikonium, dikatakan: “Setelah rasul-rasul itu mengetahuinya, menyingkirlah mereka ke kota-kota di Likaonia, yaitu Listra dan Derbe dan daerah sekitarnya. Disitu mereka memberitakan Injil”. Perhatikanlah kata “daerah sekitarnya” dalam ayat tersebut berasal kata Yunani “perichôros” yang dapat diterjemahkan “desa-desa disekitarnya” atau “orang-orang yang tinggal disekitar mereka”. Jadi ketika rasul Paulus dan Barnabas meninggalkan Ikonium, mereka memberitakan Injil bukan hanya di kota-kota Listra dan Derbe, melainkan juga kota dan desa yang dikontrol oleh dua kota itu.
[5] Kata paradigma sendiri berasal dari abad pertengahan di Inggris yang merupakan kata serapan dari bahasa Latin ditahun 1483 yaitu paradigma yang berarti suatu model atau pola; bahasa Yunani paradeigma (para+deiknunai) yang berarti untuk "membandingkan", "bersebelahan" (para) dan memperlihatkan (deik).MENJADI GEREJA YANG MEMBERKATI KOTA
https://teologiareformed.blogspot.com/