KEBERATAN DAN KESULITAN TERHADAP DOKTRIN PREDESTINASI


KEBERATAN DAN KESULITAN TERHADAP DOKTRIN PREDESTINASI

Dianggap bertentangan dengan Kehendak Bebas Manusia

Masalah yang sering diperdebatkan adalah, bagaimana seseorang dapat bertindak bebas serta bertanggungjawab atas segala perbuatannya apabila semua tindakannya sudah ditentukan dari kekekalan? Yang dimaksud dengan tindakan bebas (free will) disini adalah tindakan seseorang yang didasarkan pada rasio dan keputusannya sendiri. Tindakan tersebut tidak akan dapat disebut bebas apabila tidak sesuai dengan sifat atau kecondongan orang tersebut. Benarkah segala tindakan seseorang dapat benar-benar bebas secara mutlak?

Apakah Kehendak manusia benar-benar Bebas secara Mutlak ?

Sebagai orang normal, di dalam melakukan segala sesuatu, kita pasti mempunyai alasan, dan karena tindakan tersebut didasarkan pada keinginan kita semata maka kita menganggap bahwa tindakan itu adalah perwujudan kehendak bebas kita. Benarkah bahwa kita sungguh-sungguh bebas di dalam bertindak? Bukankah seringkali sehabis melakukan sesuatu, kita terkadang berpikir bahwa di dalam situasi dan kondisi yang lain kita akan mengambil keputusan yang berbeda pula. Dari sini dapat kita lihat bahwa kehendak setiap orang sebenarnya tidak benar-benar free, melainkan kehendak tersebut dibatasi oleh alam/lingkungan disekitarnya, kebiasaan-kebiasaan hidupnya, adat istiadat setempat, masa lalunya. Selain itu, adanya rasa takut akan hukuman atau penolakan dari masyarakat juga tanpa disadari telah membatasi kehendak kita. Batasan yang lain yang sangat mempengaruhi kehendak seseorang adalah cita-cita dan ambisinya, seseorang yang normal tidak akan mempunyai kehendak diluar ambisi pribadinya. Hal ini berarti bahwa seseorang tidak bisa bertindak atau berkehendak di luar semua faktor di atas.

Jadi, kehendak manusia tidaklah benar-benar bebas (dalam arti mutlak) dan tidak tergantung apapun, melainkan selalu ditentukan oleh jalan pikirannya; dan seseorang dapat disebut bebas apabila perbuatannya adalah buah pikirannya, sesuai dengan keinginan-keinginan, kecondongan dan perasaannya.

Di dalam Matius 7:16-20, Tuhan Yesus berkata bahwa dari buahnya kita tahu akan pohonnya. Pohon yang baik tidak akan menghasilkan buah yang busuk, dan sebaliknya, pohon yang busuk tidak dapat membuahkan sesuatu yang baik. Dari sini terlihat bahwa pohon tersebut memang bebas di dalam berbuah, tetapi tidak bebas di dalam menentukan kualitas buahnya, apa yang dikeluarkannya selalu tergantung dan diatur oleh sifat-sifatnya, Yesus dengan jelas berkata "tidak mungkin pohon yang tidak baik itu menghasilkan buah yang baik".

Matius 7:16-20

Dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka. Dapatkah orang memetik buah anggur dari semak duri atau buah ara dari rumput duri? (17) Demikianlah setiap pohon yang baik menghasilkan buah yang baik, sedang pohon yang tidak baik menghasilkan buah yang tidak baik. (18) Tidak mungkin pohon yangbaik itu menghasilkan buah yang tidak baik, ataupun pohon yang tidak baik itu menghasilkan buah yang baik. (19) Dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, pasti ditebang dan dibuang ke dalam api. (20) Jadi dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka.

Seseorang yang melakukan sesuatu tanpa mempedulikan sifat-sifat, pengertian, prinsip-prinsip, perasaan dan keinginannya bukanlah seorang yang bebas, melainkan adalah seorang yang patut dikasihani karena ia tidak pernah melakukan sesuatu demi kebaikan dirinya. Dia tidak akan dipercaya sedikitpun oleh orang lain karena tindakannya yang selalu tak terduga. Apakah orang ini bisa disebut bebas? Mungkin, tetapi yang jelas dia adalah orang gila. Apakah orang yang demikian ini mengerti tentang baik dan jahat? Tidak! Apakah orang itu dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya? Jelas tidak!

Jika kehendak setiap orang tergantung dari sifat-sifat dan kecondongannya, padahal menurut doktrin Total Depravity (Bab 9) segala sifat dan kecondongan manusia adalah kepada dosa, mungkinkah seseorang yang mempunyai kecondongan jahat dapat mempunyai kehendak yang didasarkan pada motivasi yang benar? Tidak mungkin! Tidak ada seorang manusiapun yang dapat merubah sifat-sifat dasarnya. Sifat keberdosaan yang ada di dalam diri manusia sebagai akibat kejatuhan Adam ke dalam dosa, adalah sifat yang universal (dimiliki oleh semua orang, kecuali Yesus).

Yeremia 13:23

Dapatkah orang Etiopia mengganti kulitnya atau macan tutul mengubah belangnya. Masakan kamu dapat berbuat baik, hai orang-orang yang membiasakan diri berbuat jahat?

Allah tidak pernah melanggar kebebasan manusia

Sekarang mari kita lihat tindakan manusia dari pandangan Allah. Allah punya rencana, dan segala sesuatu termasuk di dalam rencana itu. Kita tahu bahwa rencana Allah tidak mungkin gagal; jadi, apa yang telah ditentukan pasti akan terjadi. Dengan kata lain, apabila si A sudah ditentukan untuk melakukan hal tertentu, dia pasti akan melakukannya. Lalu, bagaimana mungkin kita menganggap bahwa tindakan si A adalah suatu tindakan bebas? Selain itu bagaimana mungkin si A harus mempertanggung jawabkan perbuatannya itu? Akan kita lihat bahwa suatu kepastian di dalam segala tindakan manusia, tidak membuktikan bahwa hal tersebut melanggar kebebasan manusia.

Tuhan memang mempunyai rencanaNya yang kekal, dan Dia pasti akan melaksanakan rencana itu sampai ke detailnya. Tetapi, Dia juga mengerti akan segala sifat mahluk ciptaanNya, dan Dia berkuasa dalam memberikan berbagai pengaruh luar karena hal itu adalah hakNya. Tetapi pada saat yang sama, Dia tidak pernah memaksa kita untuk berbuat apapun. Di dalam ilustrasi berikut ini akan kita lihat bahwa dengan adanya suatu kepastian di dalam Rencana Allah tidaklah merampok kita dari kebebasan di dalam mengambil keputusan.

Ada seorang investor yang merencanakan akan membangun sebuah gedung. Dia sudah menggambar semua detail denah gedung tersebut. Tujuannya adalah terbangunnya gedung tersebut sesuai dengan denah yang telah dibuatnya. Untuk melaksanakan rencana tersebut dia memerlukan tukang-tukang bangunan. Tetapi, dia mengerti akan sifat dan keinginan tukang-tukang tersebut; dengan memberikan gaji yang cukup, kondisi kerja yang menyenangkan, dll. tukang-tukang tersebut pasti akan dengan rela bekerja bagi dia. Mereka akan mengerjakan apa yang dia rencanakan dengan bebas dan tanpa paksaan apapun karena apa yang mereka kehendaki terpenuhi (gaji dll.). Dan memang karena segala kondisi yang ada memuaskan para tukang tersebut maka mereka mau bekerja, dan berdirilah gedung tersebut sesuai dengan rencana investor itu.

Apakah investor tersebut memaksa tukang-tukang itu bekerja? Apakah tukang-tukang tersebut tertipu di dalam memenuhi kehendak sang investor? Jelas tidak! Apakah tukang-tukang itu tidak mempunyai kebebasan untuk menolak? Jelas mereka bisa menolak, tetapi dengan adanya segala kondisi yang sesuai dengan keinginan dan sifat mereka, investor tersebut telah memastikan kesediaan mereka dan dengan demikian memastikan terlaksananya rencananya, tanpa melanggar kebebasan mereka. Dari ilustrasi ini kita melihat adanya dua kehendak yang sama-sama bebas. Tetapi, kehendak investor itulah yang terutama dan menentukan, sedangkan kehendak para tukang tersebut adalah sekunder.

Di dalam banyak hal-hal kecil sehari-hari kita sendiri juga sering mengarahkan / mempengaruhi tindakan teman-teman kita tanpa menyalahi atau memaksa mereka. Hal seperti ini dimungkinkan karena kita sudah mengenal sifat mereka dan kita sudah mengetahui apa yang akan mereka perbuat di dalam suatu kondisi tertentu. Tetapi, apakah hal ini membuat kita melanggar kebebasan mereka di dalam mengambil keputusan? Tidak! Meskipun kita sudah mengetahui keputusan yang akan mereka ambil, tetapi dengan diambilnya keputusan itu, merekalah yang memutuskan dan secara otomatis bertanggungjawab atas segala akibatnya. Kita sama sekali tidak memaksakan kehendak kita atas mereka, keputusan terakhir tetap berada di tangan mereka.

Demikian juga dengan Allah, hanya karena Dia sudah mengetahui terlebih dahulu apa yang akan terjadi, tidak berarti bahwa Dia telah memaksa kita untuk berbuat. Sebagai contoh, Yesus sudah mengetahui terlebih dahulu apa yang akan dilakukan Yudas maupun Petrus, tetapi hal ini tidak melanggar kebebasan mereka, bahkan mereka sendiri (baik Yudas maupun Petrus) tidak menganggapnya sebagai pemaksaan. Sebagai bukti, Alkitab menceritakan bahwa Yudas, disaat dia selesai menyerahkan Yesus, sangat menyesali perbuatannya. Dan Petrus, setelah mendengar ayam berkokok untuk ketiga kalinya, dia pergi dan menangis dengan sedih, menyesali perbuatannya. Mereka adalah rasul, dan meskipun mereka tahu bahwa Allah berdaulat di dalam menentukan segala sesuatu, mereka tidak pernah menyalahkan Allah atas dosa yang mereka lakukan.

Sebagai contoh, masakan karena kita tahu bahwa seorang polisi brengsek pasti akan menerima sogokan, kita sudah membatasi kebebasannya? Jelas tidak! Apabila kita, dengan segala keterbatasan kita saja, mampu mempengaruhi tindak-tanduk dan perbuatan sesama kita tanpa melanggar kebebasan mereka, apalagi Tuhan yang tidak terbatas di dalam keMahakuasaan, keMahatahuan, dan keMahabijaksanaan.

Sebagai ilustrasi yang lain tentang hubungan rencana Allah dan kehendak manusia, ada seorang ayah yang menginginkan anaknya menjadi dokter. Didorong oleh keinginannya tersebut si ayah akan menganjurkan agar anak tersebut membaca buku-buku tertentu, sekolah di sekolah tertentu serta berjanji akan membiayai seluruh studinya. Dan karena kondisi-kondisi yang ditawarkan tersebut, si anak itu mau (dengan rela dan sesuai keinginan dan cita-citanya) untuk belajar dan akhirnya berhasil menjadi dokter; dan dengan demikian rencana sang ayah terlaksana.

Adakah kita melihat terjadinya suatu pemaksaan disini? Tidak, si ayah memang sudah mengenal sifat-sifat si anak dan dia tahu bahwa si anak ingin menjadi dokter. Jadi apa yang dilakukan si ayah adalah menyediakan berbagai pengaruh luar yang akan dinilai dan diputuskan oleh si anak itu sendiri. Apakah dengan demikian si ayah melanggar kebebasan si anak di dalam mengambil keputusannya? Tidak! Sang anak tetap mempunyai kebebasan menolak. Tetapi, karena memang hal itu (menjadi dokter) adalah sesuai dengan sifat dan keinginannya sendiri, dia tidak mungkin menolak. Anak itu sendirilah yang mengambil keputusan berdasarkan apa yang dia dengar, ketahui dan inginkan. Dengan demikian, anak itu sendirilah yang bertanggungjawab atas keputusannya.

Demikian juga dengan diri kita, di dalam situasi sehari-hari Tuhan menyediakan berbagai pengaruh luar yang dapat mempengaruhi berbagai tindakan kita. Misalnya, pada saat kita ditanya tentang suatu masalah pribadi yang tidak ingin kita ceritakan, maka hal yang lazim kita lakukan adalah berdusta akan hal itu. Tetapi kalau kita pikirkan lagi, benarkah kita tidak mempunyai jalan lain untuk tidak berdusta? Jelas punya, kita sebenarnya dapat menyatakan bahwa kita tidak bersedia menjawab pertanyaan tersebut. Padahal, pada umumnya jarang sekali kita mau dan menyadari kesalahan sendiri dan selalu mencari kambing hitam atas segala perbuatan kita. Lalu, apakah kita akan menyalahkan Tuhan karena Dia telah menyuruh seseorang untuk menanyakan hal pribadi tersebut kepada kita? Atau dengan kata lain, apakah kita akan menuduh Tuhan sebagai penyebab dusta tersebut (karena tanpa adanya orang tersebut bertanya kita tidak akan berdusta)? Tidakkah kita menyadari bahwa dosa tersebut adalah akibat kecondongan kita sendiri di dalam berbuat dosa?

Adanya pemilihan dianggap membuktikan bahwa manusia tidak bebas

Salah satu doktrin kunci di dalam Calvinisme adalah doktrin mengenai pemilihan. Di dalam doktrin ini (Bab 10) Allah dikatakan telah menentukan orang-orang mana yang akan selamat dan mana yang akan binasa. Hampir semua orang Arminian menganggap bahwa pemilihan ini merupakan pelanggaran terhadap kehendak bebas manusia. Karena dengan adanya pemilihan ini, manusia tidak bisa memutuskan sesuai apa yang mereka inginkan.

Kita sudah melihat bahwa terjadinya dosa, meskipun sudah ditentukan untuk terjadi, sama sekali tidak melanggar kebebasan manusia di dalam mengambil keputusan-keputusannya. Tetapi, bagaimana dengan pemilihan atau election? Bukankah dengan adanya pemilihan, tindakan baik orang-orang pilihan maupun non-pilihan sudah tidak bebas lagi? Mari kita lihat sebuah ilustrasi lain yang akan mencoba menggambarkan bahwa pemilihan/election sama sekali tidak melanggar kebebasan manusia.

Ada 200 orang penipu kelas berat di dalam suatu penjara. Si kepala penjara (dengan mendapat kuasa penuh dari presiden untuk memberikan grasi), ingin membebaskan semua narapidana tersebut. Didasarkan kepada kehendak tersebut, dia lalu membuka semua pintu penjara dan mengumumkan bahwa apabila ada diantara para tahanan tersebut yang bersedia melangkah keluar dari selnya, maka tahanan tersebut akan dibebaskan. Tetapi apa yang terjadi? Seperti apa yang sudah diduga oleh si kepala penjara sebelumnya, tidak ada seorangpun yang mau keluar. Sifat para penipu itu sendirilah penyebabnya. Mereka menilai orang lain seperti diri mereka, mereka menganggap bahwa undangan tersebut adalah suatu jebakan / tipuan. Melihat hal itu, si kepala penjara tersebut, dengan kerelaannya sendiri, mendatangi secara pribadi, 50 tahanan diantara mereka. Inilah yang disebut pemilihan atau election. Dan ia lalu meyakinkan diri ke 50 penipu tersebut agar mereka mau keluar (apabila undangan diulangi) dan dengan demikian mereka dapat dibebaskan. Pemilihan ini bersifat unconditional (tak bersyarat) karena sama sekali tidak didasarkan atas perbuatan baik ke 50 tahanan tsb. Pemilihan ini juga tidak didasarkan atas dugaan bahwa mereka nantinya akan bersedia keluar, melainkan semata-mata karena kerelaan kehendaknya. Setelah semua selesai, kepala penjara tersebut mengulangi undangannya, dan kali ini ke 50 orang penipu yang dia "pilih" mau melangkah keluar dari sel mereka.

Apakah dia memaksa ke 50 orang tersebut untuk mau keluar? Tidak, jelas mereka keluar karena kehendak mereka sendiri. Lalu sebaliknya, apakah si kepala penjara menyalahi kehendak bebas dari ke 150 orang yang tersisa? Jelas tidak! Mereka juga mendengar undangan yang sama tetapi dikarenakan oleh sifat mereka sendiri, mereka "memutuskan" untuk tidak keluar. Apakah dengan memilih ke 50 orang tersebut si kepala penjara bertindak tidak adil? Juga tidak! Karena mereka semua pantas dipenjara, dan hak membebaskan secara mutlak berada ditangan si kepala penjara, para penipu itu tidak berhak menuntut kebebasan mereka dari hukuman yang mereka jalani, karena hukuman tersebut sesuai dengan kesalahan mereka. Bagi yang 50 orang, pembebasan ini adalah suatu anugrah yang sebenarnya tidak layak mereka terima. Jadi, siapa yang dipilih adalah semata-mata terserah kepada si kepala penjara dan hal tersebut tidak melanggar kebebasan mereka yang tidak dipilih. Bagi ke 150 orang yang tersisa, mereka memang tidak mampu untuk bersedia keluar, karena kemauan mereka dibatasi oleh sifat-sifat jahat mereka sendiri.

Dari berbagai ilustrasi di atas, kita bisa melihat bahwa dengan segala keMahakuasaan dan KemahatahuanNya, Allah dapat menentukan terjadinya segala sesuatu tanpa melanggar kebebasan manusia. Allah berdaulat menentukan dan pada saat yang sama Allah mampu menjaga kelestarian man's free agency.

Sebaliknya, di dalam pengertian Arminianisme, manusialah yang berdaulat menentukan segala tindakannya. Tanpa mereka sadari, hal ini sama dengan menyebut si manusia sebagai first cause, karena tergantung dialah apa yang akan terjadi kemudian. Akibatnya, hal ini membuat Tuhan hanyalah sebagai second cause, karena Dia baru bisa bertindak setelah melihat apa yang manusia lakukan. Bukankah hal ini, secara tidak langsung, berarti bahwa manusia adalah semi-Tuhan (demi-God)? Bukankah mereka mempunyai kehendak bebas yang menentukan, kehendak bebas yang dapat memporak-pondakan rencana Allah?. Dan bukankah hal ini berarti di dunia ini banyak allah-allah kecil yang berdaulat? Tidak hanya di dunia saja, apabila manusia memang berdaulat penuh atas kehendaknya, bukankah di surgapun ada kemungkinan terjadinya dosa? Bukankah Allah tidak mampu mengontrol kehendak mereka? Bukankah pemberontakan setan dapat terulang? Mungkinkah ini? Jelas, pengertian ini bertentangan dengan Kitab Suci!

Dengan mempercayai doktrin Arminian, segala ajaran sesat memang dapat dengan mudah disusupkan ke dalam kekristenan. Ajaran Arminian jelas membuang kedaulatan Allah demi kebebasan manusia. Sebaliknya Calvinisme, menjunjung tinggi kedaulatan Allah dengan tetap menjaga kebebasan manusia.

Doktrin ini dapat membuat seseorang menjadi Fatalis

Orang-orang yang menyamakan doktrin Predestinasi dengan Fatalisme adalah mereka yang tidak mengerti baik Predestinasi ataupun Fatalisme. Kedua doktrin ini memang percaya bahwa segala sesuatu sudah ditentukan sebelumnya. Tetapi, siapa yang menentukan dan sikap terhadap penentuan itu sangat berbeda, seorang Calvinist percaya bahwa segala sesuatu ditentukan oleh suatu Pribadi yang Maha Kasih, Adil, Suci dan Bijaksana; sedangkan seorang Fatalis menyerahkan segala sesuatu kepada takdir buta.

Di dalam Calvinisme, tanggung jawab manusia tetap ditekankan, sedangkan di dalam Fatalisme apapun yang diperbuat seseorang tidak akan merubah takdirnya. Seorang Fatalis murni akan berkata : "Jikalau aku memang ditentukan untuk mati hari ini, apa gunanya bagiku untuk makan? Toh aku akan mati juga. Tetapi jikalau aku ditentukan untuk hidup, meskipun aku tidak makan toh pasti akan tetap hidup. Dan karena itu aku tidak perlu makan." Hal seperti ini tidak pernah diajarkan di dalam Calvinisme, orang-orang Reformed percaya bahwa seseorang tidak boleh hidup berdasarkan apa yang tidak dia ketahui, melainkan berdasarkan Firman Tuhan yang dinyatakan.

Ulangan 29:29

"Hal-hal yang tersembunyi ialah bagi TUHAN, Allah kita, tetapi hal-hal yang dinyatakan ialah bagi kita dan anak-anak kita sampai selama-lamanya, supaya kita melakukan segala perkataan hukum Taurat ini."

Rencana Allah yang kekal adalah merupakan hal-hal yang tersembunyi, sedangkan hukum/peraturan dan FirmanNya adalah merupakan hal-hal yang dinyatakan. Jadi, misalnya, pada waktu seorang Reformed akan menginjili seseorang, dia tidak boleh menduga-duga apakah orang tersebut sudah ditentukan selamat atau tidak dan mencari-cari alasan untuk tidak menginjili dia dengan pikiran: "buat apa bersusah-susah mengabarkan Injil kalau ternyata orang itu ditentukan binasa?" Hal seperti ini tidak pernah disetujui oleh Calvinisme. Pada saat kita akan menginjili seseorang, kita harus melakukannya berdasarkan amanat agung Tuhan kita Yesus Kristus di dalam Matius 28:19 dan tidak berdasarkan dugaan kita.

Oleh karena kita harus melakukan segala sesuatu berdasarkan perintah/firman yang dinyatakan dan bukannya rencana yang tidak dinyatakan, maka apabila kita melanggar suatu larangan, kita tetap bertanggung jawab karena pada saat kita melakukan suatu dosa, kita tidak mengetahui apakah kita ditentukan akan berbuat dosa tersebut atau tidak. Yang kita ketahui adalah bahwa Firman Tuhan melarang hal itu, tetapi toh kita tetap melanggarnya, dan karena itu kita harus mempertanggung jawabkan perbuatan itu.

Doktrin ini dianggap meniadakan tanggung jawab manusia

Meskipun sepintas lalu Predestinasi dan tanggung jawab manusia terlihat bertentangan, Alkitab jelas memberikan contoh-contoh yang sangat jelas sehingga kita tidak bisa berdalih lagi bahwa karena Allah sudah menentukan segala sesuatu, maka kita tidak bertanggung-jawab atas segala perbuatan kita. Banyak sekali ayat Alkitab yang menyatakan Predestinasi (baik itu dipandang dari sudut kemahaatahuan Allah maupun kemahakuasaanNya dll.) yang juga menekankan tanggung jawab manusia.

Di dalam Matius 6:8 Tuhan Yesus mengatakan bahwa BapaNya mengetahui apa yang kita perlukan, lalu apakah dengan demikian kita tidak perlu berdoa? Jelas tidak, kita tetap mempunyai tanggung jawab untuk meminta apa yang kita butuhkan, dan karena itulah pada ayat 9 Tuhan Yesus mengajarkan cara berdoa.

Matius 6:8-9

Jadi janganlah kamu seperti mereka, karena Bapamu mengetahui apa yang kamu perlukan, sebelum kamu minta kepadaNya. Karena itu berdoalah demikian: ... (Doa Bapa kami)

Di dalam 2Tim 2:19, sekali lagi Tuhan memberikan satu ayat dimana predestinasi dan tanggung jawab ditekankan. Pada ayat ini, Tuhan menyatakan bahwa Ia mengenal siapa kepunyaanNya, tetapi pada saat yang sama Ia memerintahkan kepada semua yang percaya kepadaNya suatu tanggung jawab, yaitu agar mereka meninggalkan kejahatan.

2Timotius 2:9

Tetapi dasar yang diletakkan Allah itu teguh dan meterainya ialah: "Tuhan mengenal siapa kepunyaanNya" dan "Setiap orang menyebut nama Tuhan hendaklah meninggalkan kejahatan."

Contoh Alkitab Tentang Hubungan Ketentuan Allah dan tanggung jawab manusia

Mungkin contoh yang paling jelas tentang tidak adanya pertentangan di dalam penentuan Allah akan nasib manusia dan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya, adalah panggilan Allah terhadap Yeremia (yang saat itu belum menjadi nabi) serta tanggung jawab yang dibebankan Allah kepadanya.

Yeremia 1:4-8

Firman TUHAN datang kepadaku bunyinya: (5) "Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau. Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa." (6) Maka aku menjawab: "Ah, Tuhan ALLAH! Sesungguhnya aku tidak pandai berbicaradan masih muda." (7) Tetapi TUHAN berfirman kepadaku: "Janganlah katakan aku ini masih muda, tetapi kepada siapapun engkau Kuutus, haruslah engkau pergi, dan apapun yang Kuperintahkan kepadaMu haruslah kau sampaikan. (8) Janganlah takut kepada mereka, sebab Aku menyertai engkau, untuk melepaskan engkau, demikianlah firman TUHAN."

Dari ayat 5 kita melihat bahwa Allah sudah menentukan Yeremia untuk menjadi nabiNya jauh sebelum Yeremia dilahirkan. Hal ini serupa dengan pengakuan nabi Yesaya sendiri di dalam Yes 49:5.

Yesaya 49:5

Maka sekarang firman TUHAN, yang membentuk aku sejak dari kandungan untuk menjadi hambanya, untuk mengembalikan Yakub kepadaNya, dan supaya...

Meskipun Yeremia sudah mendengar langsung akan penentuan Tuhan itu, ia tetap adalah manusia biasa, ia berdalih dan menolak ketentuan Tuhan itu (ayat 6). Perlu diingat bahwa pada saat Yeremia bertanya-jawab dengan Tuhan ia belum menjadi nabi, tetapi, lihat pada ayat 7 dimana Tuhan sudah memberikan tanggung jawab kepada Yeremia dengan keras (ada kata "harus"). Tanggung jawab itu diberikan karena Tuhan tidak mau memaksa Yeremia melakukan sesuatu yang tidak ia kehendaki, Dia tidak menganggap Yeremia sebagai robot, Dia tahu bahwa Yeremia mempunyai kemauan/kehendak sendiri dan Dia menghargai kebebasan kehendak itu Yeremia bebas untuk menolak atau menerima panggilan tersebut.

Selain itu, hal yang layak kita tiru dari Yeremia adalah bahwa pada saat pembebanan tanggung jawab itu diberikan oleh Tuhan, ia tidak membantah sedikitpun (bandingkan dengan penolakannya di dalam ayat 6). Dari sini bisa kita lihat bahwa Yeremia tidak menganggap aneh adanya beban tanggung jawab itu, meskipun segala sesuatu mengenai nasibnya sudah ditentukan oleh Allah. Yeremia menganggap bahwa tanggung jawab itu adalah sesuatu yang wajar, sesuatu yang biasa diucapkan oleh Pencipta terhadap ciptaanNya.

Boleh jadi Yeremia pada mulanya menolak panggilan itu (mungkin karena kurangnya rasa percaya diri), tetapi pada saat ia diperintahkan oleh Tuhannya ia tidak mau menghindar lagi, ia tahu bahwa tanggung jawab itu memang kewajibannya. Jadi, apabila kita memang menganggap Allah sebagai Tuhan kita, kita pasti tahu bahwa apapun yang Ia perintahkan adalah tanggung jawab kita, kita tidak berhak mempertanyakan firmanNya.

Roma 9:20

Siapakah kamu, hai manusia, maka kamu membantah Allah? Dapatkah yang dibentuk berkata kepada yang membentuknya: "Mengapakah engkau membentuk aku demikian?"

Yesaya 45:9

Celakalah orang yang berbantah dengan PembentukNya; dia tidak lain dari bekling periuk saja! Adakah tanah liat berkata kepada Pembentuknya: "Apa yang Kau buat?" atau yang telah dibutanya: "Engkau tidak punya tangan!"

Contoh Alkitab Tentang Hubungan Kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusia

Meskipun orang Calvinist percaya bahwa Allah berdaulat menentukan dan mengatur segala sesuatu (karena segala sesuatu memang adalah milikNya), Ia tidak menghendaki kita untuk hidup secara tidak bertanggung jawab. Karena itulah Ia banyak memberikan perintah dan hukum-hukumNya kepada kita untuk kita laksanakan.

Sebagai contoh tentang kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusia, terlihat di dalam Yeh 18:1-32. Pada bagian itu, pertama-tama Allah membetulkan pandangan mereka yang keliru (bangsa Israel pada masa itu menganggap Allah tidak adil karena menghukum anak karena dosa ayahnya, ayat 1-3). Kemudian, pada ayat 4, Ia menekankan kedaulatanNya yang tak terbantah ("Sungguh, semua jiwa Aku punya! Baik jiwa ayah maupun jiwa anak Aku punya!"). Dengan adanya pernyataan kedaulatanNya ini Ia kemudian membeberkan keadilanNya, dimana di dalamnya tercakup banyak sekali tanggung-jawab yang harus dipikul oleh manusia, baik hal-hal yang harus dilakukan maupun hal-hal yang tidak boleh dilakukan.

Dari Yeh 18 ini, terlihat bahwa antara kedaulatan mutlak dan tanggung-jawab manusia tidak terdapat jurang pemisah. Allah berdaulat menentukan segala sesuatu karena Dialah pemilik alam semesta termasuk jiwa/roh manusia. Tetapi dilain pihak, manusia tidak mengetahui apa yang telah ditentukan Allah bagi diriNya, dan karena itu manusia wajib melakukan apa-apa yang Allah nyatakan baginya. Manusia mempunyai tanggung jawab untuk dapat berkenan kepada Allah.

Doktrin tentang Predestinasi ini memang lebih menekankan kedaulatan Allah dibandingkan tanggung jawab manusia, tetapi adalah salah apabila ada orang yang menganggap bahwa karena Allah telah menentukan segala sesuatu maka Calvinisme mengesampingkan tanggung jawab manusia. Apa yang diajarkan Calvinisme adalah ajaran Alkitab, baik kedaulatan Allah yang mutlak maupun tanggung jawab manusia terhadap Penciptanya. Sebaliknya, Arminianisme lebih menekankan tanggung jawab manusia dan mengesampingkan sama sekali kedaulatan Allah yang mutlak.

Contoh Alkitab Tentang Hubungan Kepastian Keselamatan dan tanggung jawab manusia

Adanya kepastian keselamatan yang dijanjikan Allah kepada kita (untuk lebih jelasnya baca tentang doktrin Perseverance of The Saints) sama sekali tidak menghilangkan tanggung-jawab yang harus kita pikul.. Sebagai contoh mari kita lihat Kisah Rasul 27, bagian ini mengisahkan tentang Paulus dan para awak dari kapal yang ditumpanginya, kapal itu berada di dalam keadaan terapung-apung setelah terserang badai yang sangat hebat.

Kisah Para  Rasul 27:22-26

Tetapi sekarang, juga dalam kesukaran ini, aku menasehatkan kamu, supaya kamu tetap bertabah hati, sebab tidak seorangpun di antara kamu yang akan binasa, kecuali kapal ini. (23) Karena tadi malam seorang malaikat dari Allah, yaitu dari Allah yang aku sembah sebagai milikNya, berdiri disitu, (24) dan ia berkata: Jangan takut, Paulus! Engkau harus menghadap Kaisar; dan sesungguhnya oleh karunia Allah, maka semua orang yang ada bersama-sama dengan engkau di kapal ini akan selamat karena engkau. (25) Sebab itu tabahkanlah hatimu, saudara-saudara! Karena aku percaya kepada Allah, bahwa semuanya pasti terjadi sama seperti yang dinyatakan kepadaku. (26) Namun kita harus mendamparkan kapal ini di salah satu pulau."

Dari bagian ini kita bisa melihat bahwa keselamatan semua orang yang ada di atas kapal sudah terjamin. Di dalam ayat 23-24 dikatakan bahwa malaikat Tuhan sendiri yang menjanjikan keselamatan mereka, dan apabila dilihat dari ayat 22 dan 25, Paulus sendiri juga mempercayai jaminan itu. Tetapi, apa yang terjadi? Ada beberapa awak kapal yang tidak mempercayai janji itu, mereka tetap ketakutan dan mencoba melarikan diri. Mari kita lihat begaimana tanggapan Paulus di dalam ayat 31.

Kisah Para Rasul 27:29-32

Dan karena takut, bahwa kami akan terkandas di salah satu batu karang, mereka membuang empat sauh di buritan, dan kami sangat berharap mudah-mudahan lekas siang. (30) Akan tetapi anak-anak kapal berusaha untuk melarikan diri dari kapal. Mereka menurunkan sekoci, dan berbuat seolah-olah mereka hendak melabuhkan beberapa sauh di haluan. (31) Karena itu Paulus berkata kepada perwira dan prajurit-prajuritnya:"Jika mereka tidak tinggal di kapal, kamu tidak mungkin selamat." (32) Lalu prajurit-prajurit itu memotong tali sekoci dan membiarkannya hanyut. (33) Ketika hari menjelang siang, Paulus mengajak semua orang untuk makan, katanya:"Sudah empat belas hari lamanya kamu menanti-nanti saja, menahan lapar dan tidak makan apa-apa. (34) Karena itu aku menasehati kamu, supaya kamu makan dahulu. Hal itu perlu untuk keselamatanmu. Tidak ada seorangpun di antara kamu akan kehilangan sehelaipun dari rambut kepalanya."

Di dalam ayat yang ke 31 Paulus mengatakan bahwa apabila mereka tidak tinggal di kapal, mereka "tidak akan selamat". Apakah Paulus bertentangan dengan dirinya sendiri? Tadi di dalam ayat 22-24 dan 34 ia menjamin keselamatan mereka, tetapi di dalam ayat 31 ia malah menyatakan sebaliknya, apa maksudnya? Jelas meskipun mereka (termasuk Paulus) sudah terjamin keselamatannya (tidak bakal mati karena musibah itu), hal itu tidak menghilangkan tanggung jawab yang harus mereka pikul. Dengan terjaminnya keselamatan mereka bukan berarti mereka bisa menganggur saja tanpa berbuat apa-apa. Di dalam ayat 28 Paulus mengatakan "namun kita harus mendamparkan...", juga di dalam ayat 34, Paulus menyuruh mereka makan. Dari sini jelas terlihat bahwa Paulus bukanlah seorang fatalis, ia tahu bahwa Tuhan telah menjamin keselamatan mereka semua tetapi ia juga tahu bahwa dengan jaminan itu terdapat beban tanggung jawab untuk berusaha selamat. Dari bagian ini kita bisa melihat bahwa dengan adanya tanggung-jawab yang dibebankan Allah kepada manusia, tidak membuktikan bahwa keselamatan seseorang tergantung dari bagaimana dia memenuhi tanggung jawab itu.

Banyak ayat Kitab Suci yang dengan jelas mengajarkan bahwa orang Kristen yang sungguh-sungguh pasti terjamin keselamatannya (lihat doktrin Perseverance of The Saints), tetapi dilain pihak Kitab Suci juga memerintahkan agar kita memikul tanggung jawab menjaga keselamatan kita. Banyak ayat yang menyuruh kita untuk bertekun, berdoa, bersandar kepada Allah dll., ayat-ayat semacam ini mungkin sama banyaknya dengan ayat-ayat yang menjadi dasar doktrin Predestinasi.

Ibrani 3:14

Karena kita telah beroleh bagian di dalam Kristus, asal saja kita teguh berpegang sampai kepada akhirnya pada keyakinan iman kita yang semula.

Matius 24:13

Tetapi orang yang bertahan sampai pada kesudahannya akan selamat.

Kolose 1:23

Sebab itu kamu harus bertekun dalam iman, tetap teguh dan tidak bergoncang, dan jangan mau digeser dari pengharapan Injil, yang telah kamu dengar dan yang telah dikabarkan di seluruh alam.

Ibrani 10:23,26

Marilah kita teguh berpegang pada pengakuan tentang pengharapan kita, sebab Ia yang menjadikannya, setia. (26) Sebab jika kita sengaja berbuat dosa, sesudah memperoleh pengetahuan tentang kebenaran, maka tidak ada lagi korban untuk menghapus dosa itu.

2Petrus 1:10

Karena itu, saudara-saudaraku berusahalah seungguh-sungguh, supaya panggilan dan pilihanmu makin teguh. Sebab, jikalau kamu melakukannya, kamu tidak akan pernah tersandung.

Orang-orang Arminian banyak yang menggunakan ayat-ayat ini untuk menyerang Calvinisme, atau dengan kata lain mereka hanya menekankan satu sisi Kitab Suci (ayat tentang tanggung jawab manusia) dan mengabaikan sisi yang lain (ayat-ayat tentang kedaulatan Allah dll.). Dengan melakukan hal itu, mereka sudah tidak menghargai otoritas Kitab Suci. Calvinisme, dilain pihak menekankan keduanya, baik kedaulatan Allah maupun tanggung jawab manusia. Kita, sebagai manusia, dapat melihat apakah seseorang yang "mengaku diri sebagai orang percaya atau beriman" adalah seorang Kristen yang sungguh-sungguh, apabila memang terlihat "buah perbuatannya" sebagai bukti imannya.

1Yohanes 2:4

Barangsiapa berkata: Aku mengenal Dia, tetapi ia tidak menuruti perintahNya, ia adalah seorang pendusta dan di dalamnya tidak ada kebenaran.

Yohanes 15:16

Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam namaKu, diberikanNya kepadamu.

Contoh Alkitab Tentang Hubungan Kasih Karunia Allah dan tanggung jawab manusia

Kitab Suci kita juga tidak lupa menekankan tanggung jawab yang harus dipikul oleh manusia percaya (seperti tekun, bersabar, kasih dll.) meskipun ia (Alkitab) dengan jelas mengatakan bahwa iman dan perbuatan baik kita adalah hasil pekerjaan Allah di dalam diri kita.

Mari kita lihat dari beberapa ayat kitab suci yang dengan jelas mengajarkan bahwa tidak ada pertentangan sama sekali antara kasih karunia dan tanggung jawab manusia. Iman kita adalah karunia Allah (Rom 12:3b, Ef 2:8, 1Tesalonika 1:4), pekerjaan baik yang ada di dalam diri kita juga dari Allah ( (Ef 2:10a, Filipi 2:13), tetapi hal ini bukan berarti bahwa kita tidak mempunyai tanggung jawab untuk terus berusaha hidup di dalamNya, kita harus berusaha, karena itulah kehendakNya (Rom 12:3a, Ef 2:10b, Filipi 2:12, 1Tesalonika 1:3).

Roma 12:3,6

Berdasarkan kasih karunia yang dianugerahkan kepadaku, aku berkata kepada setiap orang di antara kamu: Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi dari pada yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu berpikir begitu rupa, sehinggakamu menguasai diri menurut ukuran iman yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing.

Efesus 2:8-10

Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, (9) itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri. (10) Karena kita ini buatan Allah, diciptakan untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamNya.

Filipi 2:12-13

Hai saudara-saudaraku yang kekasih, kamu senantiasa taat; karena itu tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar, bukan saja seperti waktu aku masih hadir, tetapi terlebih pula sekarang waktu aku tidak hadir, (13) karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaanNya.

1Tesalonika 1:3-4

Sebab kami selalu mengingat pekerjaan imanmu; usaha kasihmu dan ketekunan pengharapanmu kepada Tuhan kita Yesus Kristus di hadapan Allah dan Bapa kita. (4) Dan kami tahu, hai saudara-saudara yang dikasihi Allah, bahwa Ia telah memilih kamu,

Doktrin ini menjadikan Allah Pencipta dosa

Mungkin ada yang bertanya: "Bukankah dengan adanya dosa di dalam Rencana Allah berarti Dia adalah pencipta dosa?" Harus diakui bahwa pertanyaan ini adalah pertanyaan yang sukar sekali dijelaskan. Untuk dijawab memang tidak sukar karena Allah memang bukan pencipta dosa. Tetapi bagaimana penjelasannya itulah yang sulit, bukankah sebelum malaikat dan alam semesta ini diciptakan, yaitu pada saat Allah masih belum menciptakan apapun, dosa tidak ada? Bukankah sekarang dosa ada? Darimana datangnya dosa? Bukankah pencipta segala sesuatu adalah Allah yang maha suci? Siapakah pencipta dosa apabila bukan Allah?

1Yohanes 2:16

Sebab semua yang ada di dalam dunia, yaitu keinginan daging dan keinginan mata serta keangkuhan hidup, bukanlah berasal dari Bapa, melainkan dari dunia.

Perlu diingat bahwa sebenarnya pertanyaan ini tidak bisa diajukan hanya kepada pihak Calvinisme, aliran lainpun harus menjawab pertanyaan yang sama, bahkan agama lainpun juga dihadapkan pada masalah pelik ini.

Kita sudah melihat bahwa manusia tidak dipaksa untuk melakukan dosa, mereka melakukannya dengan kehendak bebasnya sendiri. Meskipun Kitab Suci dengan jelas melarang dosa, tetapi Allah mengijinkan terjadinya dosa jika memang manusia tersebut memilih untuk melakukannya. Motivasi Allah di dalam mengijinkan terjadinya dosa dan motivasi manusia di dalam melakukan dosa adalah dua hal yang sangat berbeda. Allah mengijinkan dosa terjadi untuk menghargai kebebasan manusia, dan karena hal itu sesuai dengan rencana kekalNya. Di lain pihak setiap manusia yang melakukan dosa, ia melakukannya karena ia memang ingin melakukannya. Orang itu sadar sepenuhnya bahwa tidak ada yang memaksa dia untuk berbuat dosa, dan dia menyadari bahwa sebenarnya dirinya tidak perlu melakukan dosa itu jika dia sendiri tidak menghendakinya.

Kita boleh yakin bahwa Allah tidak akan mengijinkan terjadinya dosa seandainya Ia tidak bisa mengatasi dosa itu dan mengubahnya menjadi kebaikan. Dengan providenceNya Ia dapat mempengaruhi (bukan memaksa) jalan pikiran orang-orang fasik sehingga kebaikan bisa ditimbulkan dari rencana jahat mereka. Contoh yang paling klasik adalah peristiwa pengiriman/penjualan Yusuf oleh saudara-saudaranya ke Mesir (Kej 45:8). Saudara-saudara Yusuf melakukan pengiriman itu karena mereka benci dan iri hati kepada Yusuf, tetapi Tuhan telah mengubah tragedi itu menjadi kebaikan (Yusufpun mengakui hal itu di dalam 50:2). Jika bukan karena campur tangan Tuhan maka pada saat bala kelaparan terjadi, bisa saja Yakub dan anak-anaknya mati semua. Tanpa Yakub tidak akan ada Israel, tanpa Israel tidak akan ada Daud, tanpa Daud tidak akan ada Kristus, dan tanpa Kristus semua orang akan masuk neraka. Tetapi puji Tuhan, Yusuf yang dijual ke Mesir itu akhirnya malah dapat menolong keluarganya dari bala kelaparan.

Di dalam Perjanjian Barupun terlihat adanya kejadian-kejadian yang apabila dipandang dari sudut manusia tidak menyenangkan, tetapi Allah membiarkan terjadi agar Dia dapat lebih dipermuliakan. Misalnya kesengajaan Yesus yang menyebabkan Lazarus mati. Dia bisa mencegah hal itu agar tidak terjadi, tetapi apakah iman Maria dan Martha dapat dikuatkan dengan pencegahan itu? Bukankah lebih baik Yesus membiarkan Lazarus mati dan kemudian membangkitkannya? Allah memutuskan apa yang terbaik bagi manusia, meskipun manusia merasa sebaliknya.

Yohanes 11:5-6,14-15,36,40-44

Yesus memang mengasihi Marta dan kakaknya dan Lazarus. (6) Namun setelah didengarNya, bahwa Lazarus sakit, Ia sengaja tinggal dua hari lagi di tempat, dimana Ia berada; .... (14) Karena itu Yesus berkata dengan terus terang: "Lazarus sudah mati; (15) tetapi syukurlah Aku tidak hadir pada waktu itu, sebab demikian lebih baik bagimu, supaya kamu dapat belajar percaya. Marilah kita pergi sekarang kepadanya." (36) Kata orang-orang Yahudi: "Lihatlah, betapa kasihNya kepadanya!" (37) Tetapi beberapa orang di antaranya berkata: "Ia yang memelekkan mata orang buta, tidak sanggupkah Ia bertindak sehingga orang ini tidak mati?" (40) Jawab Yesus: "Bukankah sudah Kukatakan kepadamu: Jikalau engkau percaya engkau akan melihat kemuliaan Allah?" (41) Maka mereka mengangkat batu itu. Lalu Yesus menengadah ke atas dan berkata: "Bapa, Aku mengucap syukur kepadaMu, karena Engkau telah mendengarkan Aku. (42) Aku tahu, bahwa Engkau selalu mendengarkan Aku, tetapi oleh karena orang banyak yang berdiri di sini mengelilingi Aku, Aku mengatakannya, supaya mereka percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku." (43) Dan sesudah berkata demikian, berserulah Ia dengan suara keras: "Lazarus, marilah keluar!" (44) Orang yang telah meti itu datang ke luar, kaki dan tangannya masih terikat dengan kain kapan dan mukanya tertutup dengan kain peluh. Kata Yesus kepada mereka: "Bukalah kain-kain itu dan biarkan ia pergi." (45) Banyak di antara orang-orang Yahudi yang datang melawat Maria dan yang menyaksikan sendiri apa yang telah dibuat Yesus, percaya kepadaNya.

Sama seperti peristiwa di atas, Yesus sebenarnya bisa mencegah terjadinya badai pada saat ia berada di perahu bersama murid-muridNya. Mengapa Ia membiarkan murid-muridNya ketakutan? Jelas agar iman mereka dapat lebih dikuatkan apabila mereka melihat Yesus menghentikan badai. Kita sebagai manusia, seperti juga murid-murid Yesus pada waktu itu, tidak bisa membayangkan apa tujuan Tuhan mengijinkan hal-hal tidak enak terjadi pada diri kita. Tetapi percayalah bahwa penderitaan apapun yang Tuhan ijinkan untuk menimpa kita pasti mempunyai tujuan akhir yang baik dan memuliakan Dia.

Seseorang memberikan komentar demikian: "Seorang penguasa mungkin melarang adanya pengkhianatan; tetapi perintah-perintahnya tidak mengharuskan dia untuk mencegah, dengan maksimal, seadanya pelanggaran yang dilakukan oleh rakyatnya. Adanya pengkhianatan dapat membawa kebaikan bagi kerajaannya, dan apabila ia menghukum pengkhianat negara itu sesuai dengan hukum yang ia tetapkan, maka keadilan hukumnya terlihat". Hanya karena penguasa itu memilih untuk tidak mencegah kejahatan yang terjadi, dengan alasan demi kebaikan yang dihasilkan, sama sekali tidak berarti bahwa tindakan dan perintahnya bertentangan.


Harus diakui bahwa Allah sebenarnya bisa / berkuasa mencegah terjadinya dosa. Dia sebenarnya bisa menjaga agar dosa tidak terjadi di dunia ini. Tetapi pertanyaannya adalah, apakah Dia bisa menghilangkan dosa dari suatu sistem moral yang paling sempurna? Tanpa adanya baik dan jahat, adakah yang disebut moral? Tanpa adanya dosa adakah yang disebut suci? Tidak mungkin. Kebebasan kehendak untuk memilih antara baik dan jahat adalah syarat mutlak suatu sistem moral.

Baik malaikat maupun manusia adalah mahluk yang bisa berdosa. Kejatuhan setan dan Adam membuktikan hal itu. Tetapi apa gunanya kemampuan untuk berdosa itu ada di dalam diri suatu mahluk? Jawabnya adalh bahwa tanpa adanya kemungkinan untuk berbuat jahat, mahluk itu tidak akan mempunyai kemungkinan untuk taat. Suatu mahluk yang mampu untuk berbuat baik berarti juga mampu untuk berbuat jahat. Sebuah mesin tidak bisa disebut taat atau tidak taat karena ia tidak mempunyai kehendak untuk memilih. Tanpa adanya kemampuan ganda ini, suatu mahluk tidak ada bedanya dengan sebuah mesin yang tidak mempunyai moral.

Adam diciptakan sebagai mahluk yang bermoral, dan karena itu ia bisa berkehendak untuk memilih dosa. Kita tahu bahwa Allah membiarkan Adam jatuh ke dalam dosa dan kemudian mengubah akibat dosa itu (maut) menjadi sesuatu yang baik (hidup oleh karena penebusan Kristus). Pemberian ijin dan perubahan akibat dosa itu tidak menjadikan dia sebagai Pencipta dosa. Kelihatannya, Allah ingin menunjukkan kepada kita apa yang dapat dihasilkan oleh kehendak bebas kita; kemudian dengan mengatasi dosa itu Ia menunjukkan kepada kita kasih dan keadilanNya. Jadi, dosa bukanlah sesuatu yang diciptakan Allah, melainkan hanya merupakan akibat dari kehendak bebas yang disalahgunakan oleh manusia. Dan karena itulah manusia yang bertanggung jawab atas dosa-dosa yang diperbuatnya.

Ada beberapa ilustrasi yang mungkin memudahkan kita untuk lebih mengerti tentang hal ini. Ilustrasi-ilustrasi ini memang bukanlah ilustrasi yang sempurna, tetapi rasanya cukup untuk membantu kita.

1. Seorang hakim yang adil dan benar, di dalam memberikan keputusan hukuman kepada seorang terdakwa, tahu bahwa keputusannya akan mengakibatkan dendam di dalam diri terdakwa dan kemarahan di hati teman-teman dan keluarga terdakwa. Meskipun demikian, hakim itu toh tetap melakukan hal yang benar.

Seorang ayah yang mengusir anaknya yang durhaka, tahu bahwa dengan pengusiran itu si anak bisa bertambah buruk tingkah lakunya, tetapi toh si ayah bisa dianggap melakukan hal yang benar dengan tujuan mendidik anak itu.

Dengan dibiarkanNya setan terus merajalela, Allah tahu bahwa dosa akan semakin banyak, dan penderitaan dan penganiayaan akan terjadi dimana-mana. Tetapi, karena Allah mempunyai tujuan yang baik, maka Allah melakukan tindakan yang benar. Kesucian Allah tidak ternodai sedikitpun.

2. Bayangkan diri saya mempunyai tetangga yang membuka toko minuman keras, kenyataan yang tidak mengenakkan. Setiap hari minggu, banyak pemabuk-pemabuk yang berkelahi di depan tokonya. Hal ini mengakibatkan penderitaan di dalam keluarga saya.

Sekarang bayangkan saya mempunyai kemampuan untuk dapat melihat ke masa depan dengan kepastian yang mutlak. Saya mempunyai rencana yang baik, yaitu mempertobatkan tetangga saya itu. Saya dapat melihat bahwa dengan menginjili orang itu, ia akan bertobat. Dengan tujuan yang mulia inilah saya memutuskan untuk bertindak.

Tetapi, pada waktu saya melihat lebih jauh ke depan, maka saya tahu bahwa langganan-langganan toko tersebut akan menjadi marah sehingga mereka melakukan banyak dosa. Misalnya, untuk melampiaskan dendam mereka kepada saya dan tetangga saya, mereka akan menghina kekristenan dan menghujat Allah, mereka bahkan membakar rumah tetangga saya itu dan mencoba membakar rumah saya.

Sejauh ini, kita melihat bahwa meskipun dosa dan kejahatan masuk ke dalam rencana saya, dosa-dosa tersebut tidak bisa ditanggungkan kepada saya. Memang saya adalah pembuat rencana itu, dan apabila rencana saya itu saya laksanakan maka dosa-dosa itu pasti akan terjadi. Tetapi, karena saya melihat bahwa jika tetangga saya itu akhirnya bertobat, ia akan menjadi berkat di lingkungan kami, maka saya memutuskan untuk tetap melaksanakan rencana itu.

Jadi, apakah saya ikut melakukan dosa-dosa itu? Jelas tidak. Apakah saya memaksa langganan-langganan itu untuk membakar rumah? Tidak. Lalu siapakah yang bertanggung jawab atas semua dosa-dosa itu? Jelas para pelakunya sendiri.

Dari ilustrasi-ilustrasi di atas, kita bisa melihat bahwa meskipun Allah yang membuat rencana, dan di dalam pelaksanaan rencana itu dosa-dosa bermunculan, Ia bukanlah pencipta dosa, Ia juga tidak bertanggung jawab atas setiap tindakan dosa yang dilakukan.

Mungkin ada yang bertanya, bukankah sifat dosa itu juga dari Tuhan? Memang tidak ada sesuatupun yang terjadi di luar Tuhan, tetapi Tuhan kita yang maha suci bukanlah pencipta dosa. Pada saat Adam diciptakan, Allah tidak menciptakannya dengan kemungkinan untuk jatuh, ataupun memberikan suatu kelemahan di dalam diri Adam yang dapat menyebabkan ia jatuh. Yang Allah berikan adalah kehendak yang bebas, kehendak yang bisa berubah, dan kehendak bebasnya itulah yang menjatuhkan Adam. Allah memang sudah tahu bahwa Adam pasti jatuh, Allah memang sudah menentukan Adam untuk jatuh, tetapi bukan Allah yang menjatuhkan Adam melainkan kehendak Adam sendiri. Di dalam hal kejatuhan ini Allah hanya mengijinkan Iblis untuk menggoda Adam (Iblispun punya kehendak bebas) karena hal itu memang sesuai dengan rencanaNya. Jadi, kita tidak bisa bilang bahwa Ia yang menjatuhkan Adam.

Sekali lagi, perlu diingat bahwa kesulitan atau keberatan yang kita hadapi ini adalah keberatan yang seharusnya dihadapi oleh semua aliran dan agama yang mempercayai akan adanya Allah, hanya saja, tidak semua aliran akan dapat mengharmoniskan kenyataan ini dengan doktrin-doktrin mereka.

Kesimpulan

Faktor utama yang menyebabkan sulitnya menerima/mengerti doktrin Predestinasi ini adalah karena keterbatasan alam pikiran kita, baik terbatas secara waktu maupun secara tempat. Kita melihat segala sesuatu menurut masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang. Sedangkan Allah tidak terbatas waktu dan tempat. Semuanya bagi Dia adalah sekarang, selain itu Dia juga Maha Ada.

Yesaya 57:15

Sebab beginilah firman Yang Mahatinggi dan Yang Mahamulia, yang bersemayam untuk selamanya dan Yang Mahakudus namaNya: "Aku bersemayam di tempat tinggi dan di tempat kudus tetapi juga bersama-sama orang yang remuk dan rendah hati, untuk menghidupkan semangat orang-orang yang rendah hati dan untuk menghidupkan hati orang-orang yang remuk.

Mazmur 90:4

Sebab di mataMu seribu tahun sama seperti hari kemarin, apabila berlalu, atau seperti suatu giliran jaga di waktu malam.

Penentuan segala sesuatu (foreordination) jangan dicampuradukkan dengan kemahatahuan (foreknowledge). Tindakan dari manusia bebas tidak terjadi karena sudah diketahui terlebih dahulu, melainkan diketahui karena sudah ditentukan terlebih dahulu. Secara logika, apabila kita berkata "Saya tahu apa yang akan saya lakukan" maka sebelum kita tahu (apa yang akan kita lakukan), kita pasti sudah memutuskannya (menentukan) terlebih dahulu, dan tanpa keputusan tersebut kita tidak akan tahu apa yang akan kita perbuat.

Alkitab kita dengan jelas telah menunjukkan, berulang-ulang kali, bahwa kontrol providence Allah ini bersifat universal, penuh kuasa, bijaksana, dan suci, tetapi pada saat yang sama Alkitab kita tidak pernah memberitahukan tentang bagaimana cara mengharmoniskan providence ini dengan kebebasan manusia (man's free agency). Bahwa manusia adalah mahluk yang bebas (tetapi diperhamba oleh sifat alaminya yang berdosa) juga diajarkan oleh Alkitab. Tetapi doktrin Predestinasi ini telah menunjukkan bahwa kedaulatan Allah ada diatas segala-galanya, termasuk di atas segala kehendak dan rencana manusia. Ketidakmengertian kita tentang Allah dan segala kehendakNya tidak boleh kita jadikan dasar untuk menolak apa yang diajarkan oleh Kitab Suci. Kitab Suci sendiri mengatakan bahwa ada hal-hal yang sukar di dalam dirinya, dan pikiran manusia yang terbatas tidak mungkin bisa meyelami kedalaman Allah.

Roma 11:33-36

O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusanNya dan sungguh tak terselami jalan-jalanNya! (34) Sebab siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan? Atau siapakah yang pernah menjadi penasihatNya? (35) Atau siapakah yang pernah memberikan sesuatu kepadaNya, sehingga Ia harus menggantikannya? (36) Sebsb segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia; Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!

Jadi, hal yang perlu kita ketahui hanyalah apa yang dinyatakan oleh Allah kepada kita melalui firmanNya. Kita tahu bahwa Allah telah mengatur segala mahluk ciptaanNya serta kontrolNya terhadap mereka tidak akan melanggar sifat-sifat alami mereka.

Mungkin kalimat yang paling tepat untuk menyatakan hubungan antara kedaulatan Allah dan kebebasan manusia adalah bahwa Allah memberikan berbagai insentif / dorongan dari luar sedemikian rupa sehingga manusia tersebut bertindak sesuai dengan sifat-sifat dan kehendak mereka sendiri terhadap faktor-faktor luar itu; dan pada saat yang sama, dengan bertindak bebas tersebut manusia telah memenuhi apa yang Tuhan rencanakan bagi mereka dan karena mereka bertindak sesuai kehendak mereka sendiri maka mereka harus bertanggung jawab atas perbuatan tersebut. Di dalam kejadian sehari-hari kita semua sering mengalami bahwa setiap kali kita akan berbuat dosa kita masih merasakan adanya dorongan/faktor lain yang seharusnya dapat menghindarkan kita dari dosa, tetapi karena sifat kita sendiri yang condong terhadap dosa maka apa yang kita pilih (dengan bebas, tanpa paksaan) biasanya adalah dosa.

Catatan:   Jethro Rachmadi tentang Problem / KESULITAN dan keberatan predestinasi

Problem yang pertama : Doktrin pilihan/ predestinasi mengatakan bahwa sebelum dunia dijadikan Allah menciptakan manusia, dan Allah tahu mereka akan jatuh, jadi Allah menetapkan sebelum dunia dijadikan --katakanlah seperempat jumlah manusia-- diselamatkan; ini problematik karena membuat orang berpikir: “Koq Allah ini sadis sekali, sudah menetapkan nasib orang bakal selamat atau binasa sebelum dunia dijadikan, tidak kasih kesempatan, dsb.” Pertama-tama, Saudara coba lihat bahwa ada problem dari problem ini. Anggaplah kita mengatakan tidak ada predestinasi; sebelum dunia dijadikan Allah menciptakan manusia dan memberinya kehendak bebas terserah mau percaya atau tidak, tapi karena Dia adalah Allah, Dia tentu punya foreknowledge, Dia mahatahu, Dia tahu sampai ke belakang nanti siapa yang akan menerima dan yang tidak menerima --dan Dia juga tidak melakukan apa-apa terhadap orang-orang yang bakal tidak menerima. Di sini Saudara lihat, baik model predestinasi maupun non-predestinasi, dua-duanya sebenarnya punya problem yang sama yaitu: Allah tahu ada yang akan binasa, dan Allah berkehendak menyelamatkan semua, tapi nyatanya Dia tidak menyelamatkan semua. Kalau Saudara menolak predestinasi, tidak berarti lalu problem ini hilang, bukan? Tidak ada yang punya jawaban, ini memang misteri. Tidak ada yang punya jawaban mengapa Allah di satu sisi berkehendak menyelamatkan semua orang, tapi di sisi lain Dia tidak melakukan itu. Kita tidak tahu jawabannya; semua orang juga tidak tahu, bukan cuma orang-orang yang percaya predestinasi yang tidak tahu.

Problem yang kedua terhadap predestinasi, orang biasa mengatakan: “Saya kurang bisa terima kalau Allah menyelamatkan saya dengan melanggar kehendak bebas saya; saya diselamatkan bukan karena saya mau tapi karena Tuhan angkut saya secara paksa”. Saudara perlu melihat problem dari problem tersebut, yaitu begini: di sini taruhannya neraka atau selamat; saya sendiri terus terang akan mengatakan “kalau saya akan masuk neraka, silakan Tuhan langgar kehendak bebas saya, saya tidak peduli, saya lebih memilih tidak masuk neraka daripada kehendak bebas saya dilanggar”. Kalau Saudara sedang hampir mau mati --taruhannya nyawa-- lalu Saudara tetap mengatakan “pokoknya saya harus penya kehendak bebas, tidak peduli binasa atau tidak”, itu tidak masuk akal. Ini yang pertama, bahwa di satu sisi kita bisa mengerti kehendak bebas tidak sedemikian berbobotnya, jadi kalau Allah melanggar kehendak bebas kita harusnya tidak masalah. Tapi di sisi lain, sebenarnya juga bukan demikian yang Alkitab katakan; Alkitab tidak pernah mengatakan bahwa Allah memilih kita dengan cara melanggar kehendak bebas kita --yang kita bicarakan di atas tadi hanya sekedar permainan logika supaya kita bisa menjelaskan kepada orang lain.

Kita tentu tahu bahwa kita bukan diciptakan sebagai robot. Kita juga tahu bahwa ketaatan atau cinta tidak ada artinya kalau hasil paksaan. Oleh karena itu, Alkitab tidak pernah mengajarkan bahwa Allah memilih kita --menetapkan kita untuk selamat-- berarti Allah mengangkut kita secara paksa dan melanggar kehendak bebas kita sehingga ada orang-orang yang meronta-ronta waktu dibawa masuk ke gerbang surga. Tidak demikian. Penetapan/ pemilihan bukanlah angkut paksa melainkan seperti Allah membuka mata kita sehingga kita sadar akan kebenaran. Analoginya kira-kira seperti ini: ada orang lari ke arah api yang besar dengan mata tertutup, kita melihatnya lalu berteriak, “Hai!! Itu api! Sebentar lagi lu bakal mati!”; orang tadi lalu mengatakan, “Ah, enggak, gua mau ke pantai, gua bisa merasakan makin dekat pantai karena makin lama makin panas”. Apa yang akan Saudara lakukan? Saudara tentu akan mendatanginya, membuka tutup matanya sehingga dia lihat memang ternyata api, bukan pantai. Gambaran predestinasi dalam Alkitab ada unsur seperti ini; memang tentu tidak sesederhana membuka mata saja, karena analogi yang lain menggambarkan kelahiran baru bukan cuma sekedar buka mata tapi seperti kita yang sudah tenggelam, mati, dimakan hiu, tulang-tulang kita sudah habis, lalu Tuhan membangkitkan kita. Waktu Dia melahir-barukan kita, itu bukan cuma berarti Dia membawa kita kembali hidup, tapi Dia juga memperbaharui kehendak kita, Dia membuka mata kita sehingga kita bisa berfungsi dengan benar, bisa melihat apa yang sesungguhnya baik dan berkenan kepada Tuhan, serta tepat bagi diri kita juga. Itu sebabnya kita tidak mungkin membaptis atau sidi orang yang sebenarnya cuma dipaksa orangtua, dsb. bukan karena kehendak dirinya sendiri. Kehendak bebas sangat penting dalam teologi Reformed, karena kita percaya waktu Allah memilih kita, Dia bukan memilih dan mengangkut kita secara paksa, melainkan bahwa pemilihan-Nya itu memperbaharui kehendak kita.

Dari dua hal tadi kita bisa melihat bahwa kehendak bebas sebenarnya tidak segitu mutlaknya dalam urusan hidup mati; Saudara akan rela kehendak bebas dilanggar dalam hal keselamatan ini. Yang kedua, Alkitab bahkan tidak se-ekstrim itu; Allah bukan melanggar kehendak bebas kita, melainkan melalui predestinasi Dia memperbaharui kehendak bebas kita, transformasi. Jadi, problem yang biasa di-asosiasikan orang sebagai ‘problem predestinasi’, sebenarnya adalah problem semua orang. Waktu menolak predestinasi, itu tidak berarti orang akan lepas dari problem-problem ini; predestinasi bukan masalahnya.

Keberatan yang berikutnya, orang mengatakan: “Kalau saya percaya predestinasi, saya jadi tidak yakin akan status keselamatan saya karena itu atas dasar pilihan Tuhan, bukan karena saya. Bagaimana saya bisa tahu saya dipilih? Bagaimana saya tahu saya akan senantiasa di dalam pilihan ini?” Pertama-tama, ketika Saudara percaya predestinasi, itu justru akan menghasilkan keyakinan keselamatan yang jauh lebih kuat. Mengapa? Yoh 6:39 “Dan Inilah kehendak Dia yang telah mengutus Aku, yaitu supaya dari semua yang telah diberikan-Nya kepada-Ku jangan ada yang hilang, tetapi supaya Kubangkitkan pada akhir zaman” (konteks bagian ini bicara tentang Yesus adalah Gembala Sejati). Semua yang telah ditarik kepada Kristus secara sungguh-sungguh, akan dijaga sehingga tidak ada yang hilang sampai pada akhirnya. Ini justru lebih meyakinkan kita akan keselamatan, karena kalau Saudara melihatnya dalam kecamata anugerah, tidak ada satu pun yang Saudara lakukan yang membuat Saudara layak di hadapan Tuhan, semuanya purely dari Tuhan. Kalau tidak ada satu hal pun yang Saudara dapat lakukan demi membuat Saudara layak, maka berarti juga tidak ada satu hal pun yang bisa Saudara lakukan yang membuat Saudara jadi tidak layak, karena itu semuanya dari Tuhan. Apakah Saudara mau mengatakan bahwa Saudara lebih kuat atau sama kuat dengan Tuhan? Tentu jelas tidak.

Jadi, waktu kita melihat doktrin predestinasi ini, itu justru membawa kepada keyakinan keselamatan yang lebih besar. Dan menolak predestinasi tidak berarti problem ini hilang; karena kalau Saudara menolak, itu berarti Saudara mengatakan bahwa ada sesuatu dalam diri yang bisa membuat Saudara layak dan Saudara akan sangat ketakutan kehilangan hal tersebut. Contohnya seorang istri bertanya kepada suaminya: “Mengapa kamu sayang sama saya?” Apa jawaban yang tepat? Kalau “karena kamu cantik”, bagaimana kalau sudah tidak cantik? Kalau “karena kamu kaya”, bagaimana kalau sudah tidak kaya? Dst. dst. Kalau jawabannya sesuatu yang ada pada kita, itu justru membuat kita sangat tidak yakin akan keselamatan kita, karena saya bisa yakin sekarang selagi saya masih ada hal ini, tapi bagaimana ke depannya nanti? Jadi jawaban yang paling tepat atas pertanyaan si istri tadi yaitu “karena saya sayang kamu”. Tidak ada yang lebih meyakinkan daripada itu; “bukan karena kamu, tapi karena saya mencintai kamu, saya tidak peduli hari ini kamu cantik lalu nanti tidak cantik, saya mencintaimu”. Itulah predestinasi, karena predestinasi mengatakan: “Sebelum dunia dijadikan, sebelum Aku meletakkan dasar bumi, Aku telah memilihmu”. Itu satu ungkapan cinta, pengikatan cinta yang paling kokoh; Saudara tidak bisa mendapatkan yang lebih kokoh daripada itu, kalau Saudara tetap tidak puas, tidak ada lagi yang lain. Kalau Saudara tetap mau pergi kepada yang lain, problem ini tidak hilang, justru lebih parah. Keselamatan itu selama-lamanya. Justru kalau kita percaya predestinasi, itu membuat kita bisa yakin keselamatan kita sampai selama-lamanya.

Saudara lalu mungkin bertanya, “Kalau keselamatan itu selama-lamanya, mengapa Alkitab penuh sekali dengan peringatan-peringatan supaya kita tidak murtad, tidak berbalik dari Tuhan, setia, bertahan sampai akhir?” Jawabannya sederhana: karena Alkitab tidak pernah mengatakan bahwa kita tidak bisa murtad, Alkitab mengatakan bahwa Allahmu tidak akan membiarkan engkau murtad. Ini tentang Dia, bukan tentang kita. Jika dibiarkan sendiri, manusia pasti akan murtad, tapi Alkitab memberitahukan bahwa Allah Saudara tidak akan membiarkanmu murtad --“Aku Gembala yang sejati, yang sempurna”-- Gembala yang sempurna tidak akan kehilangan domba-Nya satu pun.

Satu analogi yang paling gampang: Seorang anak perempuan umur 5 tahun pergi belanja bersama Saudara, dan Saudara katakan padanya, “Nak, itu ada pintu, dan di luarnya jalan, banyak sekali mobil lewat di jalan itu. Kamu jangan keluar ke jalan, nanti kamu mati. Tetap di sini sama mama.” Lalu Saudara melihat-lihat baju di toko itu, tapi sebagai mama yang baik, mata kiri lihat baju, mata kanan lihat anak. Si anak lalu mulai curious, dia membuka pintu dan mulai melangkah ke jalanan. Apa yang Saudara akan lakukan? Bahkan sebelum dia mendekati pintu, Saudara sudah tarik tangannya! Inilah gambaran keselamatan kita. Bukan bahwa kita tidak bisa pergi ke dalam kebinasaan setelah diselamatkan --oleh sebab itu ada banyak peringatan-- tapi bahwa Allah tidak akan membiarkan kita masuk ke jalanan. Jaminannya ada pada Allah. Ini adalah satu keyakinan keselamatan yang jauh lebih meyakinkan. Kalau begitu, mengapa tetap ada peringatan soal murtad, bukankah Dia tinggal tarik kita?? Jawabannya adalah karena Dia mau kita bertumbuh. Keselamatan itu baru tahapan pertama dalam Kekristenan; keselamatan bukan tujuan akhir, ada banyak hal yang datang setelah keselamatan. Allah bukan cuma mau kita selamat, Dia mau kita bertumbuh dewasa, tahu yang baik, tahu yang benar. Itu sebabnya banyak peringatan, karena memang itulah yang Tuhan mau ajarkan kepada kita.

Keberatan berikutnya, orang mengatakan: “Doktrin predestinasi itu membuat orang tidak perlu lagi hidup kudus, tidak perlu lagi melakukan pekerjaan baik”. Bagaimana meresponi keberatan ini? Orang mengatakan, kalau kita memang bisa jatuh tapi Tuhan tidak akan membiarkan kita, jadi mengapa saya harus hidup kudus? saya tahu mama saya bakal tarik saya, jadi saya pergi ke pintu, lalu saya ditarik, nanti saya pergi ke pintu lagi, ditarik lagi, jadi ada pengalaman bersama Tuhan; Paulus ‘kan mengatakan ‘di mana ada banyak dosa, di situ kasih karunia berlimpah’, jadi kalau mau dapat kasih karunia, berbuatlah banyak dosa; apa insentifnya kalau saya hidup kudus?? Menjawab hal seperti ini sederhana; pertama, kalau Saudara bertanya seperti itu, berarti tanda tanya besar apakah Saudara orang yang sungguh-sungguh dipilih oleh Tuhan.

Contohnya, ada laki-laki yang begitu baik pada seorang wanita, melayani, dsb.; tapi kalau kelakuan ini cuma bertahan sampai momen dia mendapatkan wanita tersebut, berarti dari permulaan dia tidak pernah sungguh-sungguh mencintai wanita tadi, dan bahkan dia sedang menggunakan wanita ini untuk mengisi kebutuhan dirinya akan kuasa atas wanita. Jadi, kalau ada orang Kristen mengatakan “OK, saya mendengar tentang predestinasi, saya tahu bahwa saya tidak bisa lagi terhilang, tidak bisa lagi direnggut dari tangan Tuhan, Tuhan sudah pasti saya dapatkan, dan saya kehilangan insentif untuk hidup kudus dan menyenangkan Dia”, itu tandanya kita memang tidak pernah sungguh-sungguh mencintai Dia. Kalau Saudara mengatakan “saya tidak takut lagi penghukuman, saya sekarang bisa hidup seenak jidat saya”, berarti dari awal motif Saudara rasa takut akan hukuman; dan itu sesuatu yang sangat self-centered, tidak melakukan dosa karena takut kena batunya, lalu waktu bisa melakukan dosa tanpa kena batunya, Saudara tidak akan taat. Orang seperti ini, kita bisa menaruh tanda tanya besar akan keselamatannya. Orang yang sungguh-sungguh diselamatkan Tuhan, kehendaknya diperbaharui. Dia akan mencintai Tuhan, tetap menaati Tuhan, meskipun sudah diselamatkan.

Hal yang kedua, justru kalau Saudara tidak percaya predestinasi, Saudara tidak mungkin hidup kudus. Mengapa? Karena syarat untuk hidup kudus adalah kerendahan hati di hadapan Tuhan. Dan ini akarnya adalah predestinasi, anugerah Allah. Kita percaya predestinasi karena lebih sinkron dengan gambaran Injil dalam Alkitab. Injil adalah kita diselamatkan oleh karena anugerah, bukan karena sesuatu yang baik dalam diri kita

Predestinasi jelas bukan tanpa problem, tapi satu hal yang pasti bahwa problem ini tidak hilang dengan cara menolak predestinasi. Sebaliknya, justru ketika Saudara percaya predestinasi, ada satu hal yang predestinasi bisa bawakan yang tidak bisa dibawa oleh model lain. Apa? Yaitu: Saudara jadi sadar --kalau Saudara betul-betul orang Kristen-- mengapa ada banyak orang yang lebih baik daripada saya, lebih bagus daripada saya, tapi malah saya yang jadi orang Kristen; mengapa ada banyak orang yang jauh lebih bersahaja, lebih bermoral, lebih melakukan perbuatan baik, lebih suka membantu orang miskin, tapi malah saya yang diselamatkan oleh Tuhan?? Kalau Saudara bertanya seperti itu, ini akan membawa kerendahan hati ke dalam hidup Saudara. Kerendahan hati yang tidak akan Saudara dapatkan kalau menolak predestinasi. Kalau Saudara menolak predestinasi, Saudara tidak mungkin rendah hati secara habis-habisan, karena Saudara tahu satu hal ‘saya diselamatkan karena saya punya sesuatu yang lebih baik’. Sebaliknya orang yang percaya predestinasi mengatakan ‘ada banyak orang yang lebih baik dari saya, mengapa saya yang diselamatkan?’

Kita sudah melihat, bahwa jalan agama sangat mudah tergelincir ke dalam superiority complex karena agama adalah kamu melakukan ini, ini, dan ini, maka kamu akan mendapatkan berkat ini, ini, dan ini. Akibatnya, kita lalu mengatakan ‘ini adalah karena saya melakukan ini, ini, dan ini’, sedangkan orang lain yang tidak mendapatkan berkat itu adalah karena dia tidak melakukan ini, ini, dan ini. Dari sini sangat mudah untuk mengatakan “saya lebih hebat, saya lebih baik, saya bisa memandang rendah orang itu”, dan dalam kasus yang ekstrim bahkan bisa mengatakan “saya adalah umat Allah, saya lebih berhak dibandingkan orang tersebut, dia bukan umat Allah, jadi saya boleh saja menyiksa bahkan membunuh dia; saya adalah alat keadilan Tuhan”, dst. Tapi Kekristenan adalah agama yang --harusnya-- tidak mungkin jatuh ke dalam ekstrim sedemikian karena kita melihat Alkitab dan percaya predestinasi, ‘bukan karena saya’. Predestinasi justru menghasilkan kerendahan hati yang sejati. Dan itu berarti, tanpa percaya predestinasi, Saudara tidak akan sanggup hidup kudus. Kalau tidak percaya predestinasi, kekudusanmu mungkin hanya kekudusan lahiriah, kekudusan orang-orang Farisi yang Tuhan katakan “kamu seperti kuburan putih di luar, tapi di dalamnya tulang belulang”. Bukan hanya predestinasi tidak bertentangan dengan hidup kudus, predestinasi justru menjadi dasar dari kekudusan yang genuine, bukan kekudusan yang identik dengan sok suci.

Terakhir, mungkin problem yang paling berat dari predestinasi, yaitu pertanyaan “Apa yang terjadi pada mereka yang tidak dipilih?”

Ada orang-orang yang percaya single predestination, yaitu predestinasi yang hanya berkenaan dengan orang yang diselamatkan; Allah tidak menetapkan orang untuk binasa, Allah hanya menetapkan orang untuk selamat. Sedangkan double predestination adalah Allah menetapkan orang yang selamat dan yang binasa. Dalam hal ini kalau mau konsisten dengan logika, saya rasa tidak bisa lari dari double predestination, karena kalaupun Allah tidak menetapkan orang untuk binasa, Allah toh tahu siapa yang akan binasa dan Allah tidak memberikan apa-apa bagi mereka yang artinya sama saja dengan membinasakan. Di negara Barat hari ini, kalau Saudara tidak menghentikan pembunuhan ketika Saudara sanggup melakukannya, maka Saudara bisa dituntut dengan tuntutan pembunuhan. Kita percaya, tidak melakukan kebenaran sudah berarti melakukan kesalahan. Jadi saya tidak melihat ada celah --setidaknya secara logika-- untuk mengatakan single predestination. Calvin sangat kuat dalam double predestination, meskipun ada tempatnya dia hanya membahas salah satu. Saudara perlu membedakan antara doktrin dan kotbah; keduanya bisa berbeda karena doktrin membicarakan gambaran besar sedangkan kotbah biasanya mengangkat satu aspek. Misalnya waktu Calvin mau menghibur orang-orang yang kehilangan saudara seiman, mungkin dia memilih untuk membicarakan aspek predestinasi yang sisi keselamatan dan menolak membicarakan aspek pembinasaan. Oleh sebab itu dalam kotbah-kotbah Calvin, Saudara menemukan seakan dia bicara single predestination, sedangkan dalam Institutio dia bicara double predestination.


Intinya, bagaimana kita melihat hal ini, yang sepertinya ini bertabrakan dengan pengajaran Kristen mengenai anugerah, kasih, dsb.? Jawabannya bukan bahwa Allah ada sisi ini dan sisi itu, melainkan menyatukan keduanya; jikalau konsep penghakiman/ neraka/ kebinasaan adalah sesuatu yang boleh tidak ada, itu justru membuat kita tidak bisa mendapatkan pengertian akan kasih dan anugerah Allah. Dua hal ini connected, saling mendukung; kalau Saudara buang yang satu, Saudara kehilangan dua-duanya. Bagaimana bisa?

Pertama-tama kita harus menyadari bahwa kasih Allah dan murka Allah itu datang dari sumber yang sama, yaitu: kebaikan-Nya (His goodness). Saudara marah kalau melihat kerusakan? Kalau tidak marah, berarti Saudara tidak peduli. Waktu saya kuliah di Melbourne, ada dosen yang mengatakan “kalau kamu tugasnya terlambat, tidak apa-apa, it’s OK, saya tidak akan marah karena saya tidak dibayar cukup banyak untuk marah”. Menarik. Marah itu artinya peduli, cinta, tapi kita tidak melihatnya begitu. Kalau anak narkoba, Saudara tentu marah; apalagi orang berdosa, tentu saja Tuhan marah. Kalau Dia tidak marah, tidak ada penghakiman, tidak ada penghukuman atas dosa, itu berarti Dia adalah Allah yang tidak peduli. Itu sebabnya Tuhan Yesus sendiri --yang kita tahu sudah pasti Dia adalah Orang yang paling mangasihi, di atas kayu salib pun Dia masih mengampuni -- juga mengajarkan mengenai neraka paling banyak dibandingkan seluruh penulis lainnya dalam Alkitab digabung. Gambaran neraka yang kita hari ini belajar, neraka sebagai gehena, api yang tidak berhenti itu, neraka sebagai kegelapan yang paling gelap, hampir seluruhnya dari Tuhan Yesus, bukan dari para nabi. Kalau Saudara tidak mengerti neraka atau penghakiman, Saudara juga tidak akan mengerti kasih Kristus di atas kayu salib.

Bagaimana Saudara mengerti kasih Kristus? Bagaimana Saudara bisa percaya Tuhan Yesus mengasihi Saudara? Saudara mungkin mengatakan “Dia rela melepaskan segala sesuatu bagi saya”, itu bukti kasih Kristus. Tapi lain sekali kalau dikatakan “Dia telah melepaskan segala sesuatu bagi saya”. Itu dua kalimat yang berbeda. Kalau Saudara pacaran lalu ditanya “Apa kamu yakin dia suami yang tepat?”, lalu Saudara menjawab “saya yakin karena dia rela melepaskan segala sesuatu bagi saya”, itu akan lain sekali dibandingkan kalau dia telah melepaskan segala sesuatu bagi Saudara. Ada tindakannya. Apa tindakan Tuhan Yesus melepaskan segala sesuatu? Apa harga yang telah Dia bayar? Yaitu Dia masuk neraka, Dia turun ke dalam kerajaan maut, Dia terputus dari Allah Bapa. Penghakiman-lah yang Dia alami di atas kayu salib. Kalau kita mau mengecilkan realita neraka/ penghakiman/ kebinasaan, itu berarti juga mengecilkan realita dari kasih Kristus. Kalau Saudara mengatakan tidak ada neraka/ penghakiman/ kebinasaan atas orang-orang yang tidak menerima Dia, dari mana Saudara tahu bahwa Allah sungguh-sungguh mengasihimu dan bukan omong doang?

Itulah yang Dia alami bagi engkau. Ia mengalami maut. Ia mengalami ke-terputusan dari Allah. Ia mengalami terhakimi oleh seluruh dosa manusia. Ia mengalami neraka, maka neraka itu riil. Jikalau neraka itu tidak riil, maka kasih Tuhan juga tidak riil. Pertanyaannya bukan “mengapa Allah mengizinkan ada neraka”, melainkan sesungguhnya “mengapa Allah rela menerima neraka bagi aku?”KEBERATAN DAN KESULITAN TERHADAP DOKTRIN PREDESTINASI
Next Post Previous Post