MENGGEMBALAKAN HATI ANAK

MENGGEMBALAKAN HATI ANAK

Seorang hamba Tuhan, yang juga profesor Teologi, suatu waktu harus menghadapi pemberontakan anak gadisnya. Anak itu tidak mau lagi jadi orang Kristen, dia mau mengatur hidupnya sendiri. Selama hampir 19 tahun ia hidup free-sex, tidak pernah lepas dari minuman keras dan narkoba, mengejar hidup mewah dengan tubuhnya. Profesor ini bersama istrinya tetap mendampingi, mereka tidak pernah menolak atau mengusir anak gadisnya itu.

Mereka tetap mengasihi, dan terus-menerus  bertelut mencucurkan ribuan tetes air mata, karena tahu bahwa hanya belas kasihan Tuhan yang dapat membawa anak itu kembali. Sampai suatu hari Tuhan mencelikkan hati  anak gadis ini ketika ia berumur 30 tahun, dan Tuhan memanggilnya untuk sebuah pelayanan bagi orang-orang yang sama seperti dirinya --pelayanan bagi ‘anak yang hilang’. Cerita ini tertuang dalam “Barbara Comeback”, sebuah kesaksian tentang  sebuah perjalanan hidup gadis yang hilang dan dipanggil kembali bagi pekerjaan Tuhan.

Menggembalakan Hati Anak

patuh, ikut ke Sekolah Minggu, ikut retreat remaja, tiba-tiba berubah memberontak terhadap segala macam arahan mereka.

Bagaimana sebenarnya cara menyelaraskan antara mendidik anak sebagai orangtua dengan menghadapi pemberontakan anak yang memakai kehendaknya sendiri?

Menjadi Orangtua adalah  Mandat dari Tuhan

Banyak orangtua hanya ingin punya anak, tetapi tidak menjadi orangtua yang baik bagi anak-anaknya. Mereka kadang menganggap anak adalah beban, sehingga banyak orangtua menyerahkan hak istimewa, yaitu ‘mendidik anak’ ini, kepada orang lain, mulai dari baby sitter di rumah, guru di sekolah, atau guru Sekolah Minggu di gereja. (ini aku tambahkan supaya jelas siapa yg dimaksud orang lain secara umum). Padahal tugas menjadi orangtua sesungguhnya adalah mandat dari Tuhan. Orangtua diberi wewenang sebagai wakil Allah, dalam mendidik anakanak untuk taat kepada Allah, dengan terlebih dahulu taat kepada orangtuanya.

Ulangan 6 menggaris-bawahi tanggung jawab orangtua ini. Dalam ayat 2, Allah berfirman, bahwa tujuan-Nya ialah supaya bangsa Israel dan keturunannya, beserta anak cucu mereka, takut kepada Tuhan dengan melakukan ketetapan-ketetapan-Nya. Ketetapan-ketetapan tersebut telah disampaikan kepada para orangtua, dan orangtua dituntut Allah untuk mengajarkannya kepada anak-anak mereka, ketika mereka duduk-duduk di rumah, sedang dalam perjalanan, sedang berbaring, ataupun bangun; maksudnya dalam setiap keadaan.

Jika kita sebagai orangtua, tidak jelas akan tugas dan kuasa yang Tuhan berikan untuk mendidik, maka anak-anak kita akan sangat menderita. Kalau kita mengeluarkan  peraturan yang berubah-ubah sesuai kebutuhan zaman, anak-anak tidak akan pernah mengerti kemutlakan prinsip-prinsip Firman Allah, yang merupakan satu-satunya mengajarkan hikmat. Sebagai ayah dan ibu, kita harus mengajar anak-anak, memelihara mereka, menegur dan mendisiplinkan mereka, karena Allah menuntut kita berbuat itu.

Memahami Inti Perilaku Anak-anak

 “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.” (Amsal 4: 23)

Alkitab mengajarkan tentang ‘hati’, yang adalah pusat yang mengendalikan hidup kita. Perilaku seseorang adalah ekspresi yang meluap dari hatinya, sebagaimana yang dikatakan Amsal. Para orangtua sering fokus hanya kepada perilaku anak. Memang perilaku anak-anak sering menimbulkan masalah, sehingga akhirnya orangtua lebih cenderung mendidik  dengan mengendalikan perilakunya yang menyimpang, daripada memperhatikan hasrat hatinya yang menjadi dasar tingkah laku mereka.

Contohnya, ketika menghadapi dua anak yang sedang berebut mainan, respons yang lazim dilakukan orangtua adalah bertanya “siapa yang pertama mendapatkan/ memegang mainan itu?” atau mengatakan “kamu harus mengalah kepada adikmu/ kakakmu”. Respons ini mengabaikan hati anak, karena hanya mempersoalkan keadilan.  Sedangkan jika kita melihat situasi ini dari sudut ‘hati’, sebenarnya dua anak ini sama-sama memperlihatkan kekerasan hati dan mementingkan dirinya sendiri; itu berarti mereka sedang melanggar perintah untuk saling mengasihi. Tugas kita adalah membuka kedok kesalahan mereka, dan membantunya memahami bagaimana dosa mencerminkan hati yang salah, hati yang tidak mengasihi.

Kita harus belajar melibatkan mereka, bukan hanya memarahi mereka. Bantulah mereka untuk menyadari, bahwa mereka sedang memuaskan keinginan diri dengan mainan yang hanya memberi kepuasan sementara, bahkan sampai membawa kepada pertengkaran. Sadarkan mereka, bahwa Kristus yang mengasihi anak-anak, rela mengalah, rendah hati, Dia tidak fokus pada sesuatu benda tetapi fokus untuk menyenangkan hati Allah Bapa-Nya.

Aspek-aspek yang Mempengaruhi  Kehidupan Anak

Anak-anak menghadapi berbagai macam situasi dalam tahun-tahun perkembangannya. Semua itu akan membentuk kepribadian mereka, menentukan cara mereka berinteraksi dan berespons terhadap situasi yang mereka hadapi, baik dalam pergaulan di luar maupun di dalam rumah.

Pengaruh-pengaruh itu antara lain:
• Struktur keluarga; keluarga hanya memiliki satu anak, atau lebih dari satu?
• Nilai-nilai keluarga; manusia yang lebih        penting, atau materi?
• Peran ayah dan ibu dalam keluarga;         masing-masing sibuk dengan   pekerjaannya, atau saling   memperhatikan anak-anaknya?
• Hikmat dalam menyelesaikan   konflik keluarga; anggota-anggota   keluarga menyelesaikan masalah dalam     keluarga, atau hanya membiarkannya         berlalu?
• Tanggapan keluarga terhadap kegagalan;    ketika menghadapi kegagalan anak-anak   nya, orangtua mencemooh, atau   membangkitkan semangat mereka?
• Sejarah keluarga; keluarga yang utuh,       atau pernah terjadi perceraian, dsb.?
Ada dua kesalahan yang bisa terjadi ketika berinteraksi dengan pengaruh-pengaruh ini.

1.Kesalahan pertama, pembentukan.

Para orangtua biasanya membayangkan, jika mereka dapat melindungi dan memberikan pengalaman-pengalaman yang baik di masa kanak-kanak, maka anak mereka akan menjadi baik. Mereka yakin, bahwa lingkungan yang tepat akan menghasilkan anak yang baik, seolah-olah anak itu bersifat statis. Mereka menganggap anak sebagai korban yang tidak berdaya dari berbagai keadaan tempat dia dibesarkan.

2.Kesalahan kedua, penyangkalan.

Adalah suatu kekeliruan, kalau mengatakan bahwa anak tidak dipengaruhi oleh pengalamannya pada permulaan masa kanak-kanaknya. Amsal 29:21 menggambarkan arti pentingnya pengalaman masa kanak-kanak; hamba yang dimanjakan dari mudanya akan membawa kesedihan pada akhirnya.
Anak-anak bukanlah penerima yang pasif dari proses pembentukan, tetapi secara aktif merespons berdasarkan fokus kehidupan mereka. 

Jika anak mengasihi Allah, dan percaya bahwa mengenal Allah dapat memampukan dia mendapat damai sejahtera dalam keadaan apapun, maka dia akan merespons secara konstruktif terhadap usaha-usaha orang tuanya membentuk dia. Jika anak-anak tidak mengenal serta mengasihi Allah, maka dia bisa saja melawan terhadap usaha-usaha terbaik yang dilakukan orangtuanya.

Orientasi kepada Allah atau Berhala

Setiap orang pada dasarnya bersifat religius. Anak-anak lahir untuk menyembah Allah, atau menyembah ilah lain, atau menjadikan dirinya allah. Mereka tidak pernah bersikap netral. Berhala bukanlah sekedar patung-patung kecil, tapi sesuatu yang tidak terlihat, yang ada di dalam hati, seperti rasa takut kepada orang, keinginan-keinginan jahat, berbagai nafsu dan kesombongan. Berhala juga mencakup kecenderungan untuk menyerupai dunia ini, kecenderungan untuk berpikiran duniawi, mencintai perkara-perkara rendah. Sebagian dari tugas orangtua di sini adalah menggembalakan anak sebagai satu ciptaan yang beribadah, menunjukkan dia kepada Satu Pribadi, satu-satunya yang layak dia sembah.

Membawa anak untuk berpusat kepada Allah, akan membuat respons yang berbeda dalam dia melihat pengalaman hidupnya. Kejadian-kejadian dalam Alkitab menunjukkan, bahwa lingkungan yang baik bukanlah segalanya dalam membentuk anak-anak kita. Perhatikan kisah tentang Yusuf (Kejadian 37-50). 

Di tengah-tengah pengaruh yang tidak baik dari kakak-kakaknya, keadaan yang sulit sebagai budak Potifar, ataupun ketika dipenjara atas tuduhan yang tidak beralasan, semuanya justru membuat Yusuf belajar sepenuhnya mempercayakan diri kepada Allah. Itu membentuk dia menjadi seorang yang menjalani  kehidupan dalam sebuah relasi  dengan Allah. Dia mengasihi Allah, kecenderungannya tidak ditentukan oleh pengaruh lingkungan, melainkan oleh kasih Allah dan belas kasihan-Nya yang tidak pernah gagal.

Anak-anak akan belajar menjadi pengambil keputusan yang baik, ketika mereka mengamati orangtua yang beriman memberi teladan dan mengajarkan nasihat yang bijaksana untuk kepentingan mereka.
Satu contoh, ketika seorang anak yang beranjak dewasa berontak terhadap orangtuanya, ikut-ikutan teman minum-minum sampai mabuk dan membuat orangtuanya malu, bagaimana orangtua seharusnya mengatasi hal ini?

Kita harus melihat,bahwa anak ini tidak sekedar berontak, tapi ia sesungguhnya tidak mempunyai pengetahuan yang benar tentang siapa dirinya, ia merusak dirinya yang adalah gambar Allah. Maka di sini orangtua selain menegur,  juga harus menunjukkan kasihnya dan berdoa, memberitakan Injil supaya dia mengenal Allah-Nya, mengenal Kristus, dan meminta belas kasihan Tuhan.

Anak-anak yang sudah dewasa, biasanya di atas 17 tahun, seringkali merasa dirinya adalah miliknya. Mereka mau memakai kebebasannya untuk bereksplorasi, bahkan sampai merusak dirinya. Maka penting sekali orangtua mendoakan mereka, agar mereka ingat bahwa sejak kecil mereka sudah diajarkan Firman Tuhan, sudah dibimbing untuk mengenal Kristus dan mengenal diri mereka di hadapan Tuhan.

Pengarahan kepada Tujuan Utama

Kebanyakan orangtua tidak bisa segera menunjukkan kekuatan dan kelemahan anak-anaknya, karena orangtua tidak mengenal anak-anak mereka dengan baik. Banyak ayah dan ibu yang tidak pernah duduk bersama-sama membicarakan tujuan utama hidup anak-anaknya. Mereka tidak mengembangkan sarana iman Kristiani untuk membesarkan dan mendidik anak. Mereka bahkan tidak mengetahui apa yang dikatakan Allah mengenai anak-anak dan tuntutantuntutan-Nya terhadap mereka. Pemikiran mereka tentang membesarkan anak tidak mencakup penggembalaan.

Sebagaimana budaya hari ini, seringkali orangtua hanya memikirkan anak-anak yang nantinya bisa sukses; asal anaknya tidak membuatnya pusing, selalu naik kelas dan lulus sekolah, mendapat gelar di universitas, punya pekerjaan yang baik, ... dan ditambah lagi, mereka sayang kepada orangtua, selesailah sudah. Pemikiran itu akhirnya tercermin dalam cara orangtua menggunakan waktu bersama anak-anaknya. 

Bagi mereka, waktu yang berkualitas semata-mata adalah waktu untuk bersenang-senang bersama-sama, rekreasi, liburan, dsb. Ini memang bukan hal yang jelek, tetapi tanpa hati yang ‘menggembalakan’ anak-anaknya kepada Tuhan, waktu-waktu tersebut berlalu sia-sia, tidak membawa atau memimpin anak-anak mencintai Firman Tuhan dan mengalami relasi dengan Kristus.

Tujuan-tujuan yang Tidak Alkitabiah

Para orangtua menginginkan anak-anaknya berhasil, hidup bahagia dengan kehidupan yang menyenangkan. Untuk itu, mereka melibatkan anak-anaknya dalam berbagai macam kegiatan, seperti sepakbola, senam, renang, kursus piano, tari, matematika, pelajaran bahasa asing, dsb. Mereka berharap itu semua akan membuat anak-anaknya percaya diri dan mempunyai nilai akademik yang baik, dengan harapan mereka akan berhasil, dan keberhasilan membuat mereka bahagia dalam hidup.  Apakah konsep ini sesuai dengan Firman Tuhan?

Psikologi modern mengembangkan pendekatan yang mengajar anak-anak untuk yakin pada dirinya sendiri, dan mendorong orangtua untuk menghargai anak-anaknya dengan selalu memberi pujian daripada teguran. Sebaliknya, Alkitab mengatakan bahwa orang-orang yang mengandalkan diri mereka sendiri adalah orang-orang bodoh yang hatinya berpaling dari Allah.

Sesungguhnya, cinta diri dan percaya diri yang ditawarkan oleh dunia selalu membuat hati kita menjauh dari Allah. Yang paling penting harus diajarkan adalah agar anak-anak melakukan pekerjaannya dengan sungguh-sungguh bagi Allah, dan menetapkan satu satunya tujuan utama untuk kehidupan ini adalah memuliakan dan memiliki Dia selama-lamanya. 

Dalam hal ini, ada orangtua yang sangat mengutamakan aspek kerohanian sebagai tujuannya, lalu mereka mengusahakan anakanaknya ikut berbagai kegiatan rohani di gereja, Sekolah Injil Liburan, klub Pemahaman Alkitab bagi anak-anak, dsb., tanpa mengajarkan dengan hati akan tujuan utama mereka dilahirkan dan hidup.  Akhirnya yang terjadi anak-anak malah merasa bosan dan terindoktrinasi, bahkan bisa jadi justru memberontak.

Orangtua harus bijaksana dalam mengikut-sertakan anak-anak berbagai kegiatan rohani, karena ada proses spiritual yang harus diajarkan dengan setia di dalam keseharian hidup. Justru di sinilah pentingnya orangtua berperan menjadi teladan bagi iman mereka, bukan hanya mengikut-sertakan kegiatan-kegiatan gerejawi seminggu sekali. 

Anak-anak perlu diajarkan mengenai karakter Allah, jalan-jalan Allah, dan hidup yang takut akan Allah, sehingga mereka mengerti bahwa seluruh hidup ini mempunyai arah yang menuju kepada satu saat, ketika mereka harus berdiri di hadapan Allah memberi pertanggung-jawaban. Dan jangan lupa, setiap anak mempunyai proses pertumbuhan rohani dan kesalehan yang berbeda. Menjadi saleh itu proses yang panjang. Anak yang lahir dalam dosa harus dibimbing dengan pertolongan Roh Kudus, untuk mereka bertobat dan mempunyai hidup baru di dalam Kristus karena anugerah-Nya. Peran orangtua adalah membimbing mereka dengan Firman Tuhan, dan contoh teladan dalam hidup keseharian.

Metode-metode yang Tidak Alkitabiah

Secara Alkitabiah, metode juga penting untuk mencapai tujuan utama. Allah bukan hanya peduli dengan apa yang kita lakukan tetapi juga peduli dengan bagaimana kita melakukannya. Budaya kita menawarkan banyak pendekatan, yang memiliki satu kesamaan, yaitu pikiran manusialah yang menjadi ukuran. Tetapi, hanya metode secara rohani / spiritual sajalah yang akan membawa kemuliaan bagi Allah, yaitu metode dengan memakai Alkitab sebagai dasar untuk mendidik anak-anak kita.

Banyak orangtua menggunakan metode yang sama seperti yang dilakukan oleh orangtuanya dulu. Mereka marah-marah, berteriak-teriak, mengancam, mengurung anak, mengucilkan anak, dll. Mereka tidak menilai apakah itu Alkitabiah atau tidak, apakah itu berdampak baik terhadap dirinya atau tidak. Mereka hanya menarik implikasi dari keberadaannya sekarang bahwa ‘buktinya saya toh tidak terlalu jahat, saya oke-oke saja, tidak sejelek yang dikuatirkan’. 

Cara menggunakan emosi dan hukuman untuk mengendalikan anak-anak, itu bukan hanya tidak menggembalakan hati anak tapi juga merusaknya, karena semuanya dilakukan sebagai respons impulsif dari kemarahan orangtua yang frustasi menghadapi perilaku anak-anaknya. Hal ini akan menimbulkan jarak antara orangtua dan anak. Akhirnya ketika anak-anak beranjak lebih dewasa, mereka akan berupaya melepaskan diri dari orangtua, bahkan menjadi anak pemberontak.

Banyak juga metode-metode psikologi yang diadopsi orangtua untuk mendidik anak-anaknya. Mereka menawarkan ide yang sederhana untuk mengubah perilaku: berilah upah/reward (biasanya berupa barang) untuk perilaku yang baik, dan berilah hukuman untuk perilaku yang buruk. Kendatipun tindakan memberi pujian kepada anak-anak itu tidak salah, namun memberi upah kepada anak yang memenuhi tanggung jawab dan kewajibannya perlu dikaji ulang, karena kalau begitu,
bisa jadi anak berperilaku baik sematamata karena upah bukan sebagai tanggung jawab. 

Jikalau hati anak diajar dan dilatih untuk tamak dan mementingkan diri sendiri seperti ini, maka hasilnya dia akan jadi orang yang tamak. Mereka tanpa disadari belajar jadi manipulator; mereka berperilaku baik jika orangtuanya ada, sebaliknya jika orangtua tidak ada, mereka tidak perlu berperilaku baik, sebab tidak ada yang memberi nilai. Sadarkah kita bahwa metode ini mengajar anak-anak untuk menujukan hatinya bukan kepada Allah tapi kepada upah/materi?

Pendisiplinan yang tidak Alkitabiah hanya mengusahakan perubahan perilaku yang kelihatan, pendisiplinan yang Alkitabiah memperbaiki perilaku dengan cara memperbaiki ‘hati’.

Metode yang Alkitabiah

“Pergilah tidur anakku sayang, jadikan kesalehan selalu menjadi mimpimu. Aku tidak memberikan engkau uang, anakku, tetapi aku ingin memberikan Allah yang kaya bagimu.” (Martin Luther)
Kasih, komunikasi, dan penggunaan rotan untuk pendisiplinan anak adalah cara yang dipakai Tuhan untuk menegur anakanak yang dikasihi-Nya. Pendekatan Alkitabiah terhadap anak-anak mengandung dua unsur: komunikasi yang kaya dan teguran (termasuk penggunaan rotan). Di dalam Kitab Amsal kita menemukan dua metode ini berdampingan:

“Jangan menolak didikan dari anakmu, ia tidak akan mati kalau engkau memukulnya dengan rotan. Engkau memukulnya dengan rotan, tetapi engkau menyelamatkan nyawanya dari dunia orang mati.” (Amsal 23:13-14)

“Dengarkanlah ayahmu yang memperanakkan engkau, dan janganlah menghina ibumu kalau ia sudah tua. Hai anakku, berikanlah hatimu kepadaku, biarkanlah matamu senang dengan jalan-jalanku.” (Amsal 23:22,26) Ayat-ayat ini mengaitkan hukuman atau teguran dan permintaan yang serius. Teguran dan komunikasi harus selalu berjalan bersama dalam menggembalakan anak-anak.
Komunikasi berarti terjadi dialog, terjadi pembicaraan dua arah dengan anak kita. 

Seringkali kita menganggap komunikasi sebagai kemampuan untuk mengekspresikan diri kita sendiri saja, sehingga yang terjadi kita berkomunikasi kepada anak-anak, padahal seharusnya kita berbicara dengan mereka.

Seni berkomunikasi berarti mendorong orang lain mengeluarkan pikiran-pikirannya. Tujuan kita berkomunikasi dengan anak adalah untuk kita memahami apa yang sedang terjadi di dalam hati mereka, bukan hanya supaya mereka memahami kita. Dan yang juga penting, anak-anak diajar untuk memahami apa yang sedang terjadi di dalam hati mereka sendiri.  Untuk itu, kita harus mengembangkan kecakapan yang memudahkan terjadinya kontak dalam percakapan dan melihat secara tajam persoalan-persoalan yang timbul dari hati.

Ketika anak memukul adiknya, percakapan yang lazim ditanyakan kepadanya: “Mengapa kamu memukul adikmu?” dan jawabannya: “Aku tidak tahu.” Pertanyaan “mengapa kamu...?” adalah pertanyaan yang tidak disukai oleh anak-anak, karena mereka kurang mengerti apa yang dipertanyakan secara lebih mendalam, dan perasaan apa yang saling terkait. 

Orangtua dapat mengajukan beberapa pertanyaan yang lebih produktif, misalnya: “Apa yang sedang kamu rasakan ketika kamu memukul adikmu?” atau “Apa yang dilakukan adikmu sehingga kamu marah?”, “Coba ceritakan, apakah dengan memukul adikmu keadaan akan lebih baik?”, “Apa masalahnya sampai adikmu berbuat itu kepadamu?” Ada banyak pertanyaan yang berbeda yang membicarakan dosanya dan bisa membantu dia memahami pergumulan rohani dalam hatinya yang berorientasi pada Allah, dan dari situ bisa menyadarkan kebutuhannya akan anugerah dan penebusan Kristus.

Komunikasi harus berdimensi banyak dan kaya akan struktur. Hal itu mencakup dorongan, teguran, kecaman, permohonan, desakan, pemberian petunjuk, peringatan, pengajaran dan doa. Situasi yang berbeda menuntut bentuk-bentuk ucapan atau sapaan yang berbeda. Ketika anak-anak mengetahui betapa pedihnya menghadapi kegagalan, atau kecewa ketika tidak mendapatkan sesuatu yang diharapkan, orangtua dapat membantu mereka menilai alasan-alasan mengapa mereka kecewa. Orangtua perlu mendorong mereka untuk menemukan keberanian, harapan, dan semangat dari Allah yang setia menghampiri orang-orang yang patah hati serta penuh penyesalan.

Teguran memperbaiki sesuatu yang salah, berarti memberikan wawasan mengenai apa yang salah dan apa yang bisa dilakukan untuk memperbaiki masalah tersebut. Teguran adalah salah satu fungsi dari Firman Allah yang membantu anak-anak memahami ketetapan Allah, dan mengajar mereka menilai perilaku diri dengan ketetapan itu. Bentuk komunikasi yang lebih kuat daripada teguran, yaitu kecaman. Kecaman menghardik perilaku dan bukan pelakunya. Dengan kecaman, anak-anak mengalami perasaan akan adanya bahaya, dan menyadari akan kepedihan yang mereka timbulkan atas perkataan dan perbuatannya.

Ketika orangtua menyadari bahwa anak sedang menghadapi godaan yang perlu dihindari, pola komunikasi permohonan adalah komunikasi yang efektif dan mendalam sehingga anak-anak dapat bertindak dengan bijaksana. Contohnya dalam hal  menghindari dosa-dosa seks seperti pornografi. Percakapan ini memadukan permohonan dan dorongan/ motivasi yang dilakukan dengan serius.
Orangtua juga harus memberi petunjuk mengenai kerangka kerja dan kerangka pikir yang akan membantu anak-anak memahami kehidupan ini, karena orang muda mempunyai kesenjangan besar dalam hal mengaplikasikan pengetahuannya di dalam kehidupan. Amsal-amsal dari Raja Salomo merupakan sumber yang kaya akan informasi tentang kehidupan ini.

Orangtua perlu memberi peringatan, sehingga anak-anak dapat selalu berjagajaga terhadap bahaya yang mungkin terjadi. Peringatan bersifat melindungi. Salah satu cara yang paling berpengaruh untuk memperingatkan anak-anak adalah dengan peringatan-peringatan dari Alkitab.

Pola komunikasi untuk mendidik harus terus dilakukan, dengan menanamkan pengetahuan sebelum segala sesuatu yang tidak diharapkan terjadi. Dengan Firman Tuhan dan cerita-cerita dari Alkitab, orangtua mengajar anak untuk memahami dirinya sendiri, memahami orang lain, memahami kehidupan, memahami penyataan Allah dalam menghadapi dunia yang dipenuhi dengan dosa ini.
Bentuk komunikasi yang terakhir adalah doa, terutama doa bersama. 

Kendatipun doa bukan komunikasi dengan anak melainkan dengan Allah, namun waktu seorang anak  mendengar dan memahami apa yang orangtuanya doakan, dan bagaimana sikap mereka berdoa, itu seringkali merupakan sebuah jendela ke dalam jiwa mereka. Maka dengan berdoa bersama, orangtua dapat mengkomunikasikan imannya kepada Allah dan kepada anak-anaknya.

Orangtua yang ingin melakukan komunikasi yang jujur, mendalam, serta benar-benar Alkitabiah, mereka sendiri harus berani berkorban. Mereka perlu melatih diri untuk menjadi pendengar yang aktif, dengan meluangkan waktu yang terbaik untuk mendengarkan anak-anak dengan penuh perhatian. Semua itu menuntut tenaga fisik maupun rohani, dan juga daya tahan. 

Orangtua juga dituntut untuk jujur sehingga memiliki integritas dengan membiarkan anak-anak melihat diri mereka, termasuk pertobatan dan permohonan maaf kepada anak-anak ketika bersalah. Anak-anak akan memiliki komunikasi yang baik dengan orangtua yang bijaksana, jujur, rendah hati, mengenal jalan-jalan Allah, dan mengaplikasikannya di dalam kehidupannya.

Orangtua yang bijaksana memakai otoritasnya untuk mendidik anak-anaknya yang masih kecil. Setelah anak bertumbuh semakin besar, orangtua yang memiliki integritas dapat menggunakan pengaruh dan wibawa untuk mengarahkan anak-anaknya. Jika anak-anak tahu bahwa orangtuanya telah berusaha mengerti kehidupan mereka lewat sudut pandang mereka, maka mereka akan mempercayai orangtuanya.

Penggunaan rotan adakalanya diperlukan. Banyak orangtua ketakutan menggunakan rotan dalam mendisiplinkan anak-anaknya. Mereka takut menyakiti anak, membuat anak marah dan menentang, atau bahkan dituntut di pengadilan karena dianggap menyiksa anak.

Seandainya anak-anak dilahirkan netral secara etis dan moral, maka mereka tidak perlu teguran dan pendisiplinan, mereka hanya memerlukan pengarahan, pengajaran dan nasihat saja. Masalahnya, seorang bayi dilahirkan sebagai orang berdosa (Mazmur 51:7). 

Dalam hati seorang bayi yang paling manis pun ada kebebalan dan kebodohan, yang jika dibiarkan akan berkembang dan mendatangkan kebinasaan. Di dalam Amsal 22:15 dikatakan “Kebodohan melekat pada hati orang muda, tetapi tongkat didikan akan mengusir itu daripadanya.” Pemakaian rotan mempunyai fungsi untuk menyelamatkan anak dari kebodohan dan kebebalan. Kata-kata ini dipakai untuk menggambarkan orang yang tidak takut akan Allah, yang hidupnya dikendalikan oleh hawa nafsu.

Penggunaan rotan bukanlah untuk melampiaskan kemarahan orangtua kepada anak kecil yang tidak berdaya. Orangtua yang beriman menggunakan tongkat untuk menghukum anak, karena dia tahu anaknya dalam bahaya, dan ini merupakan cara yang diberikan Allah untuk memperbaiki perilakunya. Anak tersebut perlu diselamatkan dari maut –yaitu kematian yang diakibatkan oleh pemberontakan dalam hatinya yang tidak dikendalikan.

Semua ayat yang menekankan penggunaan rotan, menempatkannya dalam konteks hubungan antara orangtua dan anak yang bersifat mengasihi, melindungi dengan tujuan untuk mendidik. Alkitab tidak memberikan izin kepada semua orang untuk terlibat dalam memberikan hukuman badani kepada semua anak. Hak itu hanya diberikan kepada orangtua. Waktu orangtua menghukum, tetap di dalamnya harus ada kasih, dan anak harus tahu bahwa hukuman yang dia terima adalah karena orangtua mengasihinya. Luther mengatakan bahwa dalam mendidik anak harus ada apel dan rotan, yaitu kasih dan hukuman.

Pendisiplinan dengan menggunakan rotan melatih anak untuk tunduk pada kekuasaan atau otoritas. Selagi anak masih belia, dia belajar bahwa Allah telah menempatkan setiap orang di bawah suatu otoritas atau kekuasaan, dan di situ Tuhan telah menjanjikan berkat.

“Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian. Hormatilah ayahmu dan ibumu – inilah suatu perintah yang penting seperti yang nyata dari janji ini: supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi.”  (Efesus 6: 1-3)

Pendisiplinan dengan rotan mengajarkan anak tentang keadilan, hukum tabur tuai, sekaligus mendemonstrasikan kasih dan komitmen dari orangtua, yang akan menghasilkan panen ketenteraman dan kebenaran.

“Memang tiap-tiap ganjaran pada waktu ia diberikan tidak mendatangkan sukacita, tetapi dukacita. Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya.” (Ibrani 12:11)

Dari semua pembahasan di atas, sasaran utama dari mengasuh anak adalah supaya anak-anak dapat melakukan penilaian yang sehat mengenai dirinya sendiri sebagai orang berdosa. Dan pokok utama dari teguran dan tindakan pendisiplinan ialah memastikan bahwa anak-anak melihat ketidakmampuan mereka melakukan hal-hal yang dituntut oleh Allah, kecuali mereka memperoleh pertolongan kekuatan dari Allah. Pada akhirnya, para orangtua harus mempercayakan kepada Allah, karena tugas pengasuhan ada akhirnya. MENGGEMBALAKAN HATI ANAK (Vik. Lina Gunawan)

Next Post Previous Post