4 CIRI UTAMA GEMBALA SEJATI (1 PETRUS 5:1-4)
1. Sukarela .
Pada 1 Petrus 5:2 bagian awal kalimat menyatakan, “Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah.” Ayat ini menjelaskan bahwa gembala sidang harus melayani secara sukarela dan bukan karena paksaan. Yesus melarang murid-Nya untuk melaksanakan tugas pelayanan seperti yang dilaksanakan oleh para pemimpin yang ada pada saat itu. Yesus memberikan suatu perbandingan yang kontras kepada murid-murid-Nya untuk menolong mereka mengerti sikap yang tidak boleh dan yang harus mereka miliki.
otomotif, gadget, bisnis |
Dia mengatakan, “Pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barang siapa ingin menjadi yang terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barang siapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu; sama seperti anak manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (1 Petrus 5:1-3).
Tugas penggembalaan adalah tugas yang berat jika tidak dilaksanakan secara sukarela sehingga jika seorang gembala melayani tidak dengan sukarela, maka mereka tidak akan bertahan menunaikan tugas yang berat itu. Ellen G. White menjelaskan, “Sejak Kristus naik ke Surga, Kristus yang menjadi Kepala jemaat itu, memajukan pekerjaan-Nya di dunia ini melalui utusan yang telah dipilih-Nya, melalui mereka inilah Ia berbicara kepada anak-anak manusia serta melayani keperluan mereka. Tanggung jawab orang yang dipanggil untuk melakukan pemberitaan dan pengajaran doktrin untuk memajukan jemaat-Nya merupakan suatu tanggung jawab yang sangat berat.”
Beratnya pelayanan penggembalaan menjadi penyebab seseorang tidak ingin menjadi gembala jemaat sehingga hanya orang yang merasakan panggilan pelayanannya yang rela melakukan tugas yang berat tersebut. Sukarela bukan karena keinginan sendiri tetapi harus didasarkan pada kehendak Allah. Dalam ayat tersebut dituliskan, “... tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah.”
M. Bons-Storm mengatakan, “Gembala harus sadar, bahwa ia tidak bertindak atau berbicara atas kuasanya sendiri, tetapi hanya atas kuasa Gembala yang Baik. Hal itu memberi keberanian dan kasih yang tulen dari sang gembala.” Seorang gembala mampu melaksanakan pelayanan secara sukarela karena ada kesadaran bahwa Allah yang empunya pelayanan itu akan memberikan kemampuan dalam setiap situasi dan kondisi yang diperhadapkan dalam pelayanan penggembalaannya.
2. Pengabdian Diri .
Dalam 1 Petrus 5:2-3 dijelaskan bahwa salah satu ciri gembala yang baik adalah menggembalakan kawanan domba Allah atau jemaat bukan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri. Bekerja tanpa imbalan atau dengan kata lain bekerja karena pengabdian diri sepenuhnya adalah sesuatu yang sangat sulit untuk dilakukan, apalagi dengan keadaan sekarang di mana setiap orang diperhadapkan dengan bermacam-macam kebutuhan hidup tetapi Rasul Petrus menekankan agar tugas penggembalaan dilakukan bukan karena mau mencari keuntungan, tetapi karena pengabdian diri.
Seorang gembala sidang tidak selalu nyaman dan menyenangkan dalam melaksanakan tugas pelayan. Status sebagai seorang pelayan tidaklah menyenangkan karena senantiasa tertuju kepada kepentingan orang lain yang perlu dilayani, yaitu tuannya. Manusia pada dasarnya menginginkan untuk dilayani dan bukan melayani.
Pelayanan seorang gembala sidang mengajak melakukan hal yang sebaliknya. Belajar tertuju kepada kepentingan Tuhan dan juga orang lain, mencari dan melakukan hal-hal yang dianggap berfaedah bagi orang lain dan bukan semata bagi diri sendiri. Gereja Kristen Perjanjian Baru lahir dari semangat dan filosofi pengabdian ini. Setiap anggota jemaat didorong untuk hidup melayani sesama, sebab diri sendiri ini sudah dimiliki oleh Allah dan dituntut untuk mengabdi kepada Allah. Filosofi pengabdian ini menuntut:
Pertama, meyakini bahwa orang percaya adalah milik Allah melalui penebusan. Konsekuensinya dituntut melayani dan mengabdi kepada Allah melalui hidupnya. Dalam 1 Korintus 6:19-20 mengungkapkannya demikian, “Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu per oleh dari Allah, dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri? Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!”
Kedua, pengabdian kepada Allah yang telah menebus tersebut dijabarkan dan diwujudkan dengan melayani kepada sesama. Setiap orang yang telah percaya, dituntut untuk saling melayani dan bukan untuk berbuat dosa. Paulus mengatakan, “Saudara-saudara, memang kamu telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa, melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih”. Bagaimana menjabarkan pengabdian dan melayani sesama ini secara praktis? Selaku jemaat, maka setiap orang didorong untuk mempraktikkannya di dalam lingkungan jemaat lokal.
Dengan demikian pengabdian kepada Allah yang tidak tampak, bisa dijabarkan dalam komunitas yang tampak yaitu jemaat lokal, di mana semangat melayani terhadap sesama adalah sebagai penjabaran pengabdian diri kepada Kristus. Konsekuensinya, siapa pun yang menjadi bagian dalam jemaat, tidak bisa mengabaikan sikap dan nilai filosofi ini.
Hidup bukan hanya bagi diri sendiri, tetapi bagi Tuhan dan juga sesama, dan diimplementasikan dengan jelas di jemaat lokal. Berarti tertanam dan menjadi berkat dalam suatu jemaat lokal bukanlah pilihan, tetapi keharusan. Ketiga, Gereja digambarkan sebagai tubuh. Tubuh merupakan organisme yang hidup dari kepelbagaian yang tidak terpisahkan. Menariknya semua anggota tubuh terikat, tidak bisa berdiri sendiri dan saling membutuhkan.
Tidak ada bagian tubuh yang tidak membutuhkan bagian tubuh yang lainnya. Demikian juga dengan orang percaya yang digambarkan dengan tubuh. Artinya, mata tidak dapat berkata kepada tangan: “Aku tidak membutuhkan engkau,” Dan kepala tidak dapat berkata kepada kaki: "Aku tidak membutuhkan engkau" (1 Korintus 12:14-21).
Seharusnya tidak ada satu bagian pun, yang menuntut harus menjadi pusat perhatian untuk diperhatikan dan dilayani, sebaliknya justru seharusnya cenderung untuk memperhatikan dan melayani sesama. Sering kali yang menjadi kendala yang dihadapi dalam pengabdian ini adalah perbedaan. Menyikapi hal ini, tampaknya dituntut untuk saling menghargai, menghormati dan juga menerima perbedaan.
Dalam suatu jemaat, tindakan praktis yang dilakukan untuk menjabarkan pengabdian ini adalah dan wadah pelayanan yang telah tersedia. Sebagai contoh, bagi mereka yang memiliki karunia atau talenta tertentu seperti: musik, multimedia, bernyanyi, mengajar, konseling dan lainnya, bisa terlibat dalam pelayanan dalam berbagai pelayanan yang sesuai. Melaluinya, mereka yang terlibat diajar untuk melayani sesama melalui kemampuan yang dianugerahkan Allah kepada mereka. Dengan demikian, melalui keterikatan dan keterlibatan untuk menjadi bagian dalam gereja lokal, dan melayani, bisa dikatakan sebagai implementasi praktis pelayanan dan pengabdian (servanthood).
Pengabdian identik dengan tanggung jawab dan kesetiaan, dua sifat ini identik dengan karakteristik seorang hamba. Itu sebabnya penting untuk mulai melakukan sesuatu, dengan terorientasi kepada Tuhan dan sesama. Mulailah dengan perkara kecil dan lakukanlah hal tersebut dengan sebaik-baiknya, setia dan bertanggung jawab, maka perkara yang lebih besar akan dipercayakan Tuhan kepada kita. Tidak perlu berpikir jauh ke depan dalam pengabdian, mulailah dari konteks yang dekat dalam menjabarkannya. Mulailah dengan melayani di antara sesama warga jemaat yang dikenal. Tampaknya memang kecil, tetapi dampaknya besar.
Bukankah Alkitab mengajarkan untuk setia pada hal yang mungkin dipandang manusia kecil. Sikap ini membawa seseorang pada hal-hal yang lebih besar. Dalam Matius 25:21 dikatakan sebagai berikut: “Maka kata tuannya itu kepadanya: Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu.” Dapatlah disimpulkan bahwa kecil bukanlah tidak berarti, sebaliknya justru memberi arti bahkan memberi dampak. Pengabdian diri bukanlah berarti menolak uang atau materi dalam pelayanan, tetapi penekanannya bukan pada tujuan uang atau materi, tetapi tujuannya adalah untuk kemuliaan Tuhan.
Tidball mengatakan, “Dan bila keadaan menjadi sulit dan tugas itu agaknya tidak mendatangkan imbalan apa pun, mereka harus ingat bahwa mereka tidak bekerja untuk mendapatkan keuntungan duniawi, tetapi untuk “Gembala Agung” yang kelak akan membalas mereka dengan imbalan yang lebih berharga daripada apa pun yang ditawarkan dalam kehidupan ini.” Konsumerisme dan hedonisme adalah salah satu ciri dari zaman modern di mana orang-orang yang menganut paham ini mencapai kepuasan secara pribadi jika kebutuhan mereka sudah terpenuhi dan kepuasan atau kenikmatan merupakan tujuan utama mereka. Banyaknya kebutuhan hidup menggiurkan yang ditawarkan oleh dunia ini membuat seseorang untuk tertarik dengan hal-hal tersebut.
Kebutuhan-kebutuhan tersebut juga tidak terlepas dari kehidupan para pelayan atau gembala jemaat sehingga gembala yang tidak benar atau gembala upahan akan melaksanakan tugas penggembalaannya karena motivasi atau tujuan untuk memenuhi kebutuhannya. Ada banyak orang yang ingin melayani seperti hamba Tuhan hanya karena ingin memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka beranggapan bahwa dengan menjadi pengkhotbah atau hamba Tuhan, maka kebutuhannya terpenuhi. Hamba Tuhan tidak terlepas dari kebutuhan hidupnya. Stephen Tong mengatakan,
Saya bertemu dengan seorang pendeta di Singapura, yang sedang giat memberitakan Injil di Malaysia. Dia mengatakan bahwa di Malaysia banyak orang yang begitu responsif terhadap Firman Tuhan dan mereka mau percaya. Tetapi orang ini harus menjadi pendeta di Singapura, walaupun tidak sukses, karena kalau tidak jadi pendeta, tidak ada nafkah yang bisa didapatkan.
Melalui interaksinya dengan Petrus, Kristus mengajarkan bahwa pelayan atau gembala adalah alat Tuhan untuk menolong orang yang digembalakan mendapatkan kebebasan dari kotoran dosa dalam hidup mereka. Seorang gembala tidak boleh menggunakan jemaat atau orang lain untuk mendapatkan keuntungan, tetapi gembala harus melayani dengan membersihkan mereka melalui firman Allah dan Roh Allah agar mereka melakukan apa yang Dia kehendaki dan inilah yang dimaksud dengan kepemimpinan hamba.
Ada orang yang menyebut dirinya sebagai gembala yang menjadikan pelayanan sebagai ladang bisnis, sehingga pelayanan yang dilakukannya semata-mata bertujuan untuk memperoleh uang atau materi sebanyak-banyaknya.
Mereka tidak melayani seperti yang dilakukan oleh Tuhan Yesus yaitu rela memberikan nyawa-Nya sendiri bagi domba-domba-Nya. Arthur H. Graves mengatakan, Yesus mengatakan bahwa gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-domba. Tetapi gembala palsu menemukan cara-cara agar domba-domba itu memberikan semua miliknya kepada gembala. Betapa banyaknya uang dan pelayanan yang giat diberikan oleh para penganut ajaran sesat. Dalam 2 Petrus 2:14 Petrus berbicara tentang orang-orang yang tertipu oleh guru-guru palsu sebagai orang-orang yang lemah yang terpikat.
Gembala-gembala yang bukan gembala yang baik memakai berbagai macam metode atau cara dalam melayani dengan tujuan untuk memperoleh materi atau uang dari jemaat yang dipimpinnya. Mereka tidak mempertimbangkan apakah cara tersebut sesuai dengan firman Tuhan atau tidak, yang penting tujuan untuk mendapatkan materi tercapai.
Dalam 2 Petrus 2:15 menjelaskan bahwa gembala yang tidak benar atau guru-guru palsu meninggalkan jalan yang benar dan menempuh jalan yang sesat seperti yang dilakukan oleh Bileam, anak Beor yang suka menerima upah untuk perbuatan-perbuatan yang jahat. Gembala-gembala upahan selalu khawatir dalam kehidupannya mengenai apa yang hendak mereka makan dan pakai. Mereka tidak mempercayai firman Allah yang mengatakan, “Demikian pula Tuhan telah menetapkan, bahwa mereka yang memberitakan Injil, harus hidup dari pemberitaan Injil itu” (1 Korintus 9:14).
Jika orang percaya secara khusus para gembala menginginkan hidup yang lebih baik, maka harus bersandar sepenuhnya kepada Allah. Peter Wongso mengatakan bahwa manusia yang mau hidup dengan baik harus bersandar kepada Allah, menerima hidup yang berkelimpahan dan berkekuatan dari pencipta hidup yaitu Yesus Kristus.
Dan memiliki hidup yang kuat di dalam kekekalan, Yesus Kristus hidup adanya, manusia hanya percaya dan menerimanya sebagai Juru selamat baru dapat hidup kekal. Gembala-gembala upahan melaksanakan tugas pelayanan hanya karena menginginkan harta yang banyak. Mereka sepertinya melaksanakan tugas pelayanan dengan benar, tetapi dengan motivasi yang salah yaitu melayani untuk perut mereka.
Rasul Paulus menasihati jemaat di Filipi dengan mengatakan, “Karena, seperti yang telah kerap kali kukatakan kepadamu, dan yang kunyatakan pula sekarang sambil menangis, banyak orang yang hidup sebagai seteru salib Kristus. Kesudahan mereka ialah kebinasaan, Tuhan mereka ialah perut mereka, kemuliaan mereka ialah aib mereka, pikiran mereka semata-mata tertuju kepada perkara duniawi” (Filipi 3:18-19). Gembala yang melayani dengan pengabdian diri akan melaksanakan tugas penggembalaan dengan membekali para anggota jemaat untuk aktif mengambil bagian dalam tugas penggembalaan.
Para anggota jemaat akan dilihat sebagai mitra kerja sehingga mereka akan diperlengkapi sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing untuk terlibat secara aktif dalam pelayanan. Salah satu bukti bahwa gembala jemaat memiliki pengabdian diri ialah jika mereka melaksanakan tugas mereka dengan sepenuh hati dan mengupayakan agar jemaat yang dipimpinnya juga dapat melaksanakan tugas pelayanan. Pengaderan atau pembekalan atau pelatihan untuk melayani sangat perlu karena ada banyak anggota jemaat yang mau melayani, tetapi karena tidak dibekali dengan cara-cara melayani sehingga mereka tidak bisa terlibat secara aktif dalam pelayanan.
Wolfgang Simson mengatakan, “Biarkan diri Anda dilatih selama beberapa hari, bulan, atau tahun dalam hubungan dengan dan di bawah pengawasan seorang yang lebih berpengalaman daripada Anda, sebaiknya seseorang dengan bidang yang sama dengan panggilan pelayanan Anda sendiri. Dengan cara ini nabi-nabi akan melatih nabi junior, rasul melatih rasul junior, penginjil yang telah dewasa melatih penginjil junior dan seterusnya.”
Ron Jenson dan Jim Stevens mengatakan, “Prinsip latihan adalah penting bagi pertumbuhan dan kesehatan gereja karena hal ini mempengaruhi perkembangan kualitatif dalam gereja. Perubahan karakter terjadi dan ini adalah tujuan gereja.
Orang-orang diperlengkapi dan di mampu kan untuk melayani yang lain.” Selanjutnya mereka mengatakan, “Kami yakin bahwa setiap orang percaya perlu mengetahui bagaimana untuk membawa orang lain kepada keputusan dan komitmen kepada Kristus. Kita harus menindaklanjuti hubungan-hubungan dengan para pengunjung dan penduduk baru di sekitar lingkungan kita. Untuk hubungan-hubungan dan pelayanan-pelayanan ini, latihan dan prosedur diperlukan.” Mencari domba yang terhilang atau tersesat sangat menguras tenaga dan pikiran seorang gembala, sehingga hal tersebut bisa dikerjakan jika gembala memiliki pengabdian diri sepenuhnya kepada Sang Gembala Agung.
Ellen G. White mengatakan, Domba yang tersesat dari kandang adalah yang paling tidak berdaya dari antara semua makhluk. Ia harus dicari; karen ia tidak dapat menemukan jalannya untuk pulang. Begitu pula dengan jiwa yang tersesat jauh dari Allah; ia sama tidak berdaya seperti domba yang hilang itu; dan kecuali kasih Ilahi datang untuk menyelamatkannya, ia tidak akan pernah menemukan jalannya untuk datang kepada Allah. Jadi dengan kasih sayang yang bagaimana, kesusahan yang bagaimana, ketekunan yang bagaimana, gembala yang bertugas itu harus mencari akan jiwa-jiwa yang hilang? Betapa relanya ia harus menanggung penyangkalan diri, kesukaran dan kemelaratan.
3. Rendah Hati .
Dalam surat 1 Petrus 5:3 mengatakan, “Janganlah kamu berbuat seolah-olah kamu mau memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu.” Dalam bagian awal ayat tersebut terdapat perintah bagi seorang gembala untuk tidak memerintah jemaat yang digembalakan. Memerintah di sini mengandung makna otoriter atau dengan kekerasan. Hal tersebut hanya bisa dilakukan jika seorang gembala memiliki kerendahan hati. Gembala seharusnya menunjukkan sikap lemah lembut dan kooperatif.
Walaupun kapasitas seorang gembala adalah sebagai pemimpin, tetapi gembala tidak boleh memimpin secara diktator. Para gembala selain sebagai pemimpin, mereka juga adalah pelayan sehingga gembala adalah pemimpin yang melayani. Berbeda dengan pemimpin dalam dunia sekuler yang pada umumnya adalah sebagai penguasa tunggal yang relatif tidak menunjukkan sifat kerendahan hati yang ditunjukkan dalam kehidupan yang mau melayani.
Wiersbe mengatakan, Ada perbedaan antara kediktatoran dan kepemimpinan. Anda tidak dapat mengemudikan domba-domba; Anda harus berjalan di muka mereka dan memimpin mereka. Dalam uraian tadi telah dikatakan bahwa jemaat memerlukan para pemimpin yang melayani dan para pelayan yang memimpin. Seorang pemimpin Kristen berkata kepada saya bahwa persoalan masa kini ialah bahwa kita terlalu banyak mempunyai orang-orang yang terkemuka dan tidak mempunyai cukup pelayan-pelayan.
Jika memerhatikan kenyataan berdasarkan pengalaman setiap hari, maka ada banyak posisi atau jabatan yang disalahgunakan dan sering juga terjadi bagi para gembala atau pemimpin gerejawi. Pejabat gerejawi dapat mempertahankan atau membela diri dengan mengatakan bahwa saya adalah gembala atau pendeta. Jika pejabat gerejawi dibiarkan mengatakan atau melakukan apa saja yang mereka kehendaki, maka yang akan berlaku dalam gereja adalah pendetakrasi bukan Kristokrasi. Jabatan gerejawi tidak memberikan hak kepada seseorang untuk memerintah, memerintah jemaat atau saling memerintah.
Tugas dari pejabat gerejawi (di antaranya gembala) ialah melayani. Melayani adalah hal yang bertolak belakang dengan memerintah. Orang-orang Farisi melaksanakan tugas pelayanan dengan cara memerintah, tetapi Yesus menghendaki agar para murid-Nya melakukan yang berbeda dari yang dilakukan oleh orang Farisi. Yesus melarang para murid untuk menyebut diri mereka sebagai “guru” karena mereka hanya mempunyai satu Rabi dan mereka semua adalah saudara (Bdg. Matius 23:8).
Hal yang sama yang dilakukan oleh Rasul Paulus, di mana ia tidak mau memerintah jemaat yang ia layani, tetapi ia melaksanakan demi sukacita jemaat tersebut. Rasul Petrus juga melakukan hal yang sama. Ia mengajar dan berpesan kepada para penatua agar mereka jangan memerintah atas apa yang dipercayakan kepada mereka (1 Petrus 5:3). Pejabat gerejawi harus rendah hati, tetapi sebagai pejabat mereka juga mempunyai hak untuk bertindak dengan jelas dan dengan berani.
Mereka melakukan hal tersebut atas nama Kristus yang mengutus mereka. Dalam hal ini, jika terjadi pelanggaran terhadap firman yang dilakukan oleh jemaat, maka sebagai seorang gembala diperlukan keberanian untuk menegur, tetapi harus dengan lemah lembut dan bukan dengan memakai kekerasan. Jika seseorang menegur dengan lemah-lembut, maka orang-orang yang melakukan pelanggaran atau dosa tersebut akan tersentuh dan kembali berbalik ke jalan yang benar, dan sebaliknya jika memakai cara kekerasan, maka besar kemungkinan bahwa orang tidak akan berbalik dari jalannya karena mereka merasa tidak dihargai.
Pelayan Allah yang sebenarnya memiliki ciri khas yaitu kerendahan hati karena mereka menyadari bahwa mereka melaksanakan tugas pekerjaan mulia tersebut bukan karena keinginan mereka sendiri, tetapi karena Allah sendiri yang telah memilih mereka.
White mengatakan bahwa pelayan Allah dalam suatu taraf yang luhur harus memiliki kerendahan hati karena mereka mempunyai pengalaman terdalam dalam hal hubungan dengan Allah sehingga mereka dipisahkan dari kesombongan atau tinggi hati.
Mereka merasa bahwa tempat paling rendah dalam pelayanan-Nya adalah terlampau terhormat bagi mereka karena telah memiliki wawasan yang tinggi tentang kemuliaan Allah seperti yang dialami oleh Musa setelah empat puluh hari lamanya berhubungan dengan Allah sehingga wajahnya bercahaya karena sinar kemuliaan Allah.
Kerendahan hati bukanlah sebuah sikap merendahkan tubuh (misalnya membungkuk sebagai tanda hormat). Di dalam banyak budaya, sikap merendahkan tubuh dianggap sebagai kerendahan hati. Sesungguhnya kerendahan hati bukanlah sikap tubuh melainkan sikap hati, yang tidak mementingkan diri, malah mengedepankan kepentingan orang lain.
Filipi 2:3 menjelaskan tentang kerendahan hati dengan cara mengontraskannya dengan sikap orang yang tinggi hati, “Dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia... menganggap yang lain lebih utama daripada dirinya sendiri.” Orang yang tinggi hati akan mencari kepentingan diri sendiri, sedangkan orang yang rendah hati akan mencari kepentingan orang lain. Orang yang tinggi hati akan selalu berpikir, “Apa untungnya buat saya?” Dengan kata lain, orang yang tinggi hati sukar melakukan sesuatu murni untuk kepentingan orang lain. Sebaliknya, orang yang rendah hati bersedia berkorban melakukan sesuatu yang tidak berkaitan atau tidak memberi keuntungan bagi dirinya.
Orang yang tinggi hati akan mencari puji-pujian orang terhadap dirinya, sedangkan orang yang rendah hati tidak memikirkan hal ini. Sewaktu orang yang tinggi hati melakukan sesuatu, ia akan memikirkan efeknya-apakah hasil perbuatannya akan dihargai orang atau tidak. Dengan kata lain, jika ia beranggapan bahwa efek karyanya tidak akan mengundang pujian orang, ia tidak mau melakukannya. Rendah hati adalah suatu sikap pribadi yang bersandar pada Allah dan menghormati orang lain. Dengan kata lain, rendah hati berarti menaruh keyakinan pada Allah, bukan pada diri sendiri.
Rendah hati bertolak belakang dengan nilai-nilai duniawi yang mengedepankan harga diri dan kesombongan. Orang yang miskin di hadapan Allah menyadari kebutuhan mereka akan Allah, dan mengetahui bahwa mereka tidak perlu membeli kasih-Nya dengan kekayaan, status atau kesempurnaan rohani. Mereka menerima diri mereka dengan segala kekurangannya. Mereka bersandar pada Allah. Kerendahan hati seorang gembala sidang dikenal dengan istilah kepemimpinan hamba. Para pemimpin hamba membasuh kaki para pengikut mereka sebab perhatian pertama mereka dalam pengembangan kepemimpinan adalah mempersiapkan mereka untuk mengetahui kehendak Kristus bagi mereka.
Para pemimpin hamba juga harus membiarkan rekan-rekan sesama hamba untuk membasuh kaki para pemimpin hamba lainnya sehingga mereka tetap dapat melayani dan memimpin seperti yang Kristus inginkan. Gembala dalam suatu jemaat adalah pemimpin yang sekaligus sebagai hamba atau yang dikenal dengan kepemimpinan hamba. Apabila orang mendengar kata kepemimpinan, pada umumnya mereka berpikir tentang hal-hal seperti kekuasaan, kedudukan, pengaruh, pendapat, dasar pemikiran, dan lain-lain yang semuanya ini sangat penting bagi seorang pemimpin agar bisa efektif dalam kepemimpinannya.
Namun, kepemimpinan sejati yaitu kepemimpinan hamba memiliki sisi lain seperti sisi relasional, akrab, kerendahan hati, dan lain-lain yang sering bertentangan dengan kepemimpinan yang dipahami secara umum.35 Kerendahan hati para pelayan Tuhan, membuat mereka sangat dihormati dan disegani oleh orang-orang yang dipimpinnya dan sebaliknya karena kesombongan membuat mereka ditolak oleh jemaat yang dilayani. Paulus memiliki kerendahan hati dalam pelayanannya dan hal ini bisa dilihat dalam tulisan-tulisannya.
Ia mengatakan tentang dirinya sendiri sebagai orang yang paling berdosa dan kemudian ia mengatakan, “Bukan seolah-olah aku telah memperoleh hal ini atau telah sempurna.” Namun Paulus sangat dihormati oleh jemaat Tuhan. Yesus menyatakan bahwa Yohanes Pembaptis sebagai yang terbesar di antara para nabi; namun ketika Yohanes ditanya apakah ia adalah mesias yang dijanjikan itu, Yohanes berkata bahwa ia tidak layak bahkan untuk membuka kasut Tuhan ia tidak layak. Ketika murid-murid-Nya datang dengan pengaduan bahwa semua orang telah beralih kepada Guru yang baru, Yohanes mengingatkan mereka bahwa ia hanyalah perintis jalan kepada Mesias yang dijanjikan itu. Jemaat sangat membutuhkan sosok seorang gembala yang rendah hati sehingga orang-orang yang mementingkan diri sendiri dan tinggi hati tidak bisa menjadi gembala jemaat.
Salah satu syarat gembala adalah kerendahan hati karena dengan kerendahan hati tersebut akan membuat mereka melaksanakan pelayanan sebagai bentuk rasa syukur atas keselamatan yang Allah telah anugerahkan kepadanya dan bukan karena keinginan mereka sendiri. Jika pelayan atau gembala melaksanakan pelayanan karena keinginan sendiri dan bukan karena keyakinan bahwa Allah yang memilih mereka, maka mereka bukanlah gembala yang sebenarnya.
Gembala yang benar melayani bukan dengan kesombongan atau mementingkan diri sendiri, melainkan dengan kepastian iman yang penuh sambil menyadari bahwa mereka akan selalu memerlukan pertolongan Kristus sehingga mereka akan mengetahui bagaimana melaksanakan pelayanan dan bagaimana menghadapi setiap tantangan dalam pelayanan.
Ungkapan, “Janganlah kamu seolah-olah mau memerintah atas mereka,” dalam 1 Petrus 5:3 bisa disejajarkan dengan pelajaran Yesus Kristus tentang siapa yang lebih besar, seperti juga pada saat-saat lain ketika ia mengajar para murid-Nya tentang kerendahan hati dan pelayanan. Yesus memberikan penjelasan tentang gaya kepemimpinan pelayan yang berbeda dengan gaya kepemimpinan sekuler. Dia berkata, “Tetapi Yesus memanggil mereka lalu berkata, “Kamu tahu, bahwa pemerintahpemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka.
Tidaklah demikian di antara kamu. Barang siapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu.” Dia juga menarik garis kontras dengan gaya kepemimpinan agama Yahudi dengan mengatakan, “Tetapi kamu, janganlah disebut “Rabi”; karena hanya satu Rabimu dan kamu semua adalah saudara.”
Petrus mengambil salah satu kata-kata yang tidak mengenakkan ini untuk menggambarkan kepemimpinan non-Yahudi, mengingatkan kata-kata Tuhan Yesus, ketika dia menulis kepada para penatua: “Janganlah kamu berbuat seolah-olah kamu memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu” (1 Petrus 5:3).39 Para gembala akan melaksanakan tugas pelayanan tidak secara otoriter jika mereka membuka diri untuk dipimpin oleh Roh Kudus dan hidup sesuai dengan firman Tuhan.
Abineno mengatakan bahwa sesuai dengan nasihat Rasul Paulus kepada para penatua di Efesus, para penatua diwajibkan menjaga diri sendiri dan menjaga kawanan domba Allah, yang dipercayakan kepada mereka. Tetapi hal itu harus mereka lakukan secara rohani. Mereka dalam pekerjaan mereka harus memberi diri mereka dipimpin oleh Firman dan Roh Allah. Kalau tidak demikian, maka “penjagaan” atau “pengawasan” mereka akan melulu terdiri dari peraturan-peraturan manusia yang hanya bersifat legalistis. Lawrence mengatakan, Kepemimpinan hamba menuntut karakter seiring dengan kompetensi dan kedewasaan misi kita.
Jemaat mengukur karakter dan kedewasaan kita dengan bagaimana cara kita menjalin hubungan daripada apa yang kita raih. Hubungan mengungkapkan siapa kita. Sebagai pendeta, kita harus memiliki perangai yang unik dari hubungan yang tepat yang dikombinasikan dengan otoritas. Hubungan kita harus lahir dari komitmen ala Kristus yang memimpin pengikut kita dengan cara melayani mereka. Untuk mencapai keakraban dan otoritas kita harus masuk ke “Ordo Pelayan”, yang Yesus tetapkan dalam Yohanes 13.
Gembala sidang harus selalu berusaha untuk melayani orang lain dan bukan supaya ia dilayani oleh orang lain. Hal ini sepertinya berbeda dengan kecenderungan hati seseorang yang selalu ingin mendapatkan pelayanan dan keuntungan tetapi inilah yang diperintahkan oleh Yesus dan dilakukan sendiri oleh Yesus. Yesus yang adalah Allah tetapi rela mengosongkan diri-Nya dan mengambil rupa seorang hamba.
Paulus menggunakan teladan Yesus untuk menggambarkan pengajarannya bahwa “Hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri” (Filipi 2:3).42 Orang yang memiliki kerendahan hati selalu berkata-kata dengan sopan, senantiasa memberikan motivasi kepada orang lain, siap menerima saran, kritikan serta pendapat orang lain, dan tidak pernah mengutamakan harga dirinya.
4. Memberikan Teladan yang Baik.
Kalimat terakhir dalam 1 Petrus 5:3 mengatakan, “Tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu.” Ungkapan ini ditujukan kepada orang-orang yang akan menggembalakan jemaat agar mereka menjadi teladan yang baik bagi kawanan domba yang dipercayakan kepada mereka. Tuhan Yesus mengajarkan kepada orang percaya, betapa pentingnya menjadi teladan itu. Ketika Tuhan Yesus mencuci kaki murid-muridNya, Ia berkata, “Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamu pun wajib saling membasuh kakimu; sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu” (Yohanes 13:14-15).
Tuhan Yesus menjadi teladan dalam seluruh kehidupan-Nya, bukan sebagian, sebab seluruh hidup-Nya tidak bercela. Menjadi kemutlakkan bagi seorang gembala sidang atau pelayan jemaat untuk menjadi teladan. Gereja harus membuktikan hasil pelayanannya secara konkret. Gereja adalah tempat bagi jemaat untuk digembalakan menjadi manusia Allah yang layak masuk Kerajaan Surga sebagai anggota keluarga Allah.
Anggota jemaat akan selalu mengamati kehidupan gembalanya sehingga jika mereka menemukan sesuatu yang tidak sesuai dengan firman Tuhan, maka mereka akan memberikan komentar atau kritikan. Riggs mengatakan bahwa Allah menghendaki agar pendeta dan anggota keluarganya memberikan keteladanan yang baik sehingga jemaat bisa mengikuti keteladanan tersebut (Titus 2:7).
Orang akan lebih mengikuti keteladanan yang ditunjukkan oleh gembala jemaat daripada ajarannya. Anggota jemaat akan mengamati kehidupan gembalanya bahkan mengkritiknya sehingga satu-satunya cara yang harus dilakukan oleh para gembala adalah harus hidup sesuai dengan firman Tuhan sehingga hal tersebut juga yang dilakukan oleh anggota jemaat.
Salah satu hal yang membuat para gembala gagal dalam melaksanakan tugasnya adalah karena mereka sendiri belum memiliki kehidupan yang sepadan dengan Injil, sehingga ditolak oleh anggota jemaat karena tidak mampu memberikan teladan yang baik. Ia sendiri yang melanggar ketetapan-ketetapan Tuhan sehingga mustahil bagi mereka untuk menyampaikan kabar baik atau Injil itu. Banyak orang yang menganggap dirinya sebagai pengikut Kristus, tetapi sebenarnya kehidupannya sangat bertentangan dengan teladan yang telah diberikan oleh Yesus. Dalam pelayanan-Nya di muka bumi, Yesus banyak kali bertemu dengan orang-orang yang munafik seperti ini.
Mereka kelihatan rohani, tetapi sebenarnya mereka adalah musuh Allah karena kejahatankejahatan yang mereka lakukan. Mereka melakukan kebaikan oleh karena ada maksud yang hendak mereka capai, misalnya hanya untuk mencari popularitas, mereka ingin dipuji, dihormati, disegani. Yesus berkata kepada orang-orang Farisi: “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu sama seperti kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan berbagai jenis kotoran.
Demikianlah juga kamu, di sebelah luar kamu tampaknya benar di mata orang, tetapi sebelah dalam kamu penuh kemunafikan dan kedurjanaan” (Matius 23:27-28). Para pelayan atau gembala tidak mampu memberikan keteladanan karena mereka dikuasai oleh hawa nafsu misalnya ketamakan terhadap uang atau harta benda dan ada juga yang dikuasai oleh nafsu seksual sehingga menghambat mereka dalam menyampaikan Injil sebagai berita gembira bagi orang-orang yang masih berada dalam kuasa dosa.
1 Petrus 1:14-15 mengatakan, “Hiduplah sebagai anak-anak yang taat dan jangan turuti hawa nafsu yang menguasai kamu pada waktu kebodohanmu. Tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu.” Menuruti hawa nafsu dan hidup dalam kekudusan adalah dua hal yang saling bertolak belakang. Jika seseorang selalu dikuasai oleh hawa nafsunya, maka ia tidak layak memberitakan Injil yang adalah bagian dari tugas penggembalaan.
Pemimpin dalam jemaat yang dikenal dengan istilah gembala sidang harus menjadi teladan atau contoh yang baik. Keharusan untuk menjadi teladan ini dituliskan dalam 1 Petrus 5:3 yang sedang penulis bahas saat ini. Anggota jemaat menginginkan gembala yang pintar, fasih berbicara, mempunyai kemampuan berkomunikasi dan semuanya ini sangat penting tetapi yang terpenting adalah mampu menjadi teladan dan kehidupannya sesuai dengan perkataannya atau apa yang ia ajarkan. Jika seorang gembala melanggar ketetapan Tuhan atau apa yang diajarkan oleh Alkitab yang ia sendiri khotbahkan atau ajarkan, maka ia tergolong gembala yang tidak mampu menjadi teladan yang baik.
BACA JUGA: 1 PETRUS 5:1-4 (NASIHAT UNTUK PARA GEMBALA)
Gembala jemaat melaksanakan tugasnya sebagai motivator atau mengarahkan dari belakang, tetapi juga berada di depan sebagai panutan atau teladan bagi jemaat yang ia gembalakan. Jika gembala menuntun dengan baik ke arah yang baik, maka domba-domba yang dalam hal ini adalah jemaat akan mengikuti gembala yang baik itu. Para gembala harus menjadi teladan dalam segala aspek kehidupannya bahkan dalam rumah tangga pun, mereka menjadi sorotan para anggota jemaat.
M. D. Wakarry mengatakan bahwa ingatlah di samping harus menjadi teladan dalam unsur-unsur Ilahi seperti iman dan kasih, dalam soal moral: kekudusan pernikahan.
Tidak kalah pentingnya soal karakter: tingkah laku, sopan-santun, tidak angkuh, dan lain sebagainya. Dalam hal integritas yakni moral kejujuran, pengabdian. Dan kredibilitas: dapat dipercaya, teguh dalam prinsip. Di samping semua itu, pemimpin juga disorot kehidupan pribadinya, perkawinannya, rumah tangganya, anak-anaknya, dan lain-lain. Sebagai pemimpin teladan, gembala menjadi panutan yang transparan. Anggota melihatnya, memperhatikannya dan mencontohinya. Seorang gembala ialah pengatur (proistemi), yang berarti berdiri di hadapan memimpin, mengatur, mengarahkan dengan praktik.
Hal senada diungkapkan oleh Sabdono bahwa keteladanan itu tercermin dari cara-cara seperti berpakaian, makan, minum, pengaturan waktu, duduk, penggunaan uang, menjaga kesehatan, pola makan, bekerja, mengatur dan memenuhi janji, kehidupan iman, memperlakukan orang lain, dan lain-lain. Gembala harus bisa memberikan contoh yang positif bagi keluarganya dan kondisi ini akan mempengaruhi jiwa jemaatnya. Artinya, keteladanan ini akan menjadi sarana pendidikan yang efektif bagi kehidupan kerohanian jemaat. Selain itu, keteladanan akan membentuk citra gereja yang positif di mata masyarakat (1 Korintus 4:6; Filipi 3:17; 2 Tesalonika 3:7, 9; 1 Timotius 4:12).
Sebelum membangun kerohanian jemaat agar menjadi dewasa, seorang gembala harus mampu membangun dirinya sendiri terlebih dahulu. Jika hal ini dilakukannya, maka ia akan bisa membangun hubungan yang erat dengan para jemaatnya. Bahkan, ia juga bisa mendorong jemaat untuk belajar kebenaran firman Tuhan, mengenal kebenaran dan melakukannya dengan baik. Dorongan dan pendampingan gembala untuk jemaatnya harus dilakukan dalam kondisi konsistensi yang kuat dan berkelanjutan.46 Yesus sebagai Gembala Agung menunjukkan dan mengajarkan keteladanan bagi para gembala yang akan melanjutkan tugas pelayanan di dunia ini. Sejak kelahiran-Nya di dunia, Tuhan Yesus sudah memberi teladan kepada umat-Nya dalam kesederhanaan hidup.
Kesimpulan
Tugas penggembalaan adalah tugas yang dipercayakan oleh Allah untuk dilaksanakan sesuai dengan petunjuk dan ketetapan dari Allah sendiri. Dalam 1 Petrus 5:1-4, dijelaskan tentang ciri khas dari gembala sidang yang membedakannya dengan pemimpin pada umumnya. Ciri khas tersebut harus menjiwai pelayanan seorang gembala sidang dalam melaksanakan tugas penggembalaan. Seorang gembala sidang harus melayani dengan sukarela, pengabdian diri, rendah hati dan mampu menjadi teladan yang baik..
Ikuti saya di google news untuk membaca artikel lainnya :