6 DESKRIPSI KEKUDUSAN MENURUT 1 PETRUS 1:13-25

Lorensia Fransiska1.
PENDAHULUAN

Kekudusan adalah suatu keadaan atau sifat kudus. Kekudusan merupakan tanda kehidupan rohani orang percaya yang harus terus menerus diupayakan, termasuk dalam etika berperilaku. 
6 DESKRIPSI KEKUDUSAN  MENURUT 1 PETRUS 1:13-25
otomotif, gadget, bisnis
Billy Graham dalam bukunya Billy Graham in Qoutes menyatakan bahwa “Living the Christian life means striving for holliness.”1 (Terjemahan bebas: menjalani kehidupan Kristen berarti berupaya keras untuk mengejar kekudusan). 

Melalui satu kalimat singkat tersebut, Graham menyimpulkan bahwa; kehidupan kekristenan dan kekudusan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam diri orang percaya. Hal tersebut senada dengan pernyataan Rasul Petrus di dalam suratnya 1 Petrus 1:15-16 (TB), “Tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu, sebab ada tertulis: Kuduslah kamu, sebab Aku Kudus.” Ayat ini menunjukkan bahwa setiap orang percaya memiliki kewajiban untuk hidup kudus di hadapan Tuhan.

Jerry Bridges di dalam bukunya Mengejar Kekudusan mengatakan bahwa “Hidup kudus adalah panggilan bagi setiap orang Kristen, tanpa pengecualian.” Hal ini didasarkan pada pribadi Tuhan yang kudus dan membenci dosa. Melihat karakteristik Tuhan yang kudus ini, maka tidak heran jika kekudusan menjadi aspek yang penting dalam kehidupan kekristenan. 

Namun kebanyakan orang Kristen justru menganggap kekudusan sebagai ukuran etis seperti catatan peringkat di akhir semester. Orang yang tidak kudus berada di peringkat bawah. Orang yang biasa-biasa saja diperingkat tengah. Orang yang sangat baik berada diperingkat paling atas di dekat puncak.

Untuk itu pemahaman tentang kekudusan menjadi sangat penting untuk dipahami secara benar. Kata ‘kekudusan’ berakar dari kata ‘kudus’, di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diterjemahkan suci dan murni. Kata ini dalam Bahasa Yunani menggunakan kata αγιος (hagios) dari yang berarti ‘suci’ atau ‘milik Tuhan sendiri’, dapat menjadi ciri suatu makhluk (orang atau benda).

Konsep dasar Kekudusan terdapat dalam kata “pemisahan”. Dalam kata Ibrani disebut שׁשׁ ק qadosh yang berarti ‘terpisah’ ‘ditentukan garis-garis batas’ atau ‘ditarik dari pemakaian umum yang biasa.’ Kata ini berasal dari kata kerja qadash yang artinya ‘memutuskan’ atau ‘memisahkan.’ Kekudusan berarti hidup yang dipisahkan, dikhususkan, terpotong dari dunia dan dikhususkan bagi Tuhan agar Tuhan dapat menggunakannya.

Bruce H, Wilkinson menjabarkan.

Pertama, kekudusan dapat berlangsung dalam pikiran orang percaya (kekudusan mental).

Kedua, kekudusan harus sekaligus “dari” dan “untuk”, maksudnya kekudusan menuntut pemisahan dari suatu hal dan pemisahan untuk suatu hal lain yang berbeda. Kekudusan Alkitabiah harus memiliki “perhentian” yang dilanjutkan dengan “permulaan”.

Kekudusan memiliki standar, Bruce H, Wilkinson menuliskan ada 4 standar kekudusan. 1) kekudusan menuntut pemisahan dari yang “sekuler” kepada yang “sakral”; 2) kekudusan Ilahi ditentukan oleh Tuhan dan Pewahyuan-Nya; 3) Kekudusan buatan manusia adalah kekudusan yang tidak berharga; 4) kekudusan lahiriah tanpa kekudusan batiniah bukan kekudusan yang Alkitabiah. Bruce H, Wilkinson juga menemukan ada empat kala waktu (tense) kekudusan; Kekudusan diuraikan dalam kala waktu lampau, sekarang, kelak, dan kala waktu kekekalan.

Kekudusan merupakan sifat yang paling utama dari antara sifat-sifat Tuhan. Jika kekudusan adalah suatu sifat, maka hal ini tentunya akan tampak dalam perilaku sehari-hari, maka orang percaya yang hidup dalam kekudusan etika perilakunya akan selaras dengan kekudusan yang ia hidupi. Etika berperilaku orang percaya termasuk dalam Etika Kristen.

Etika Kristen berkaitan dengan apa yang seharusnya dilakukan, bukan dengan apa yang sebenarnya terjadi. Etika Kristen itu deontologis karena adanya kewajiban dan keharusan atau prinsip-prinsip berdasarkan Firman Tuhan untuk mengambil tindakan tertentu.

Etika berperilaku kudus disinggung di dalam surat 1 Petrus 1:13-25 yang mana patokan orang percaya untuk berperilaku adalah atas dasar standar kekudusan Tuhan. 

Dalam perikop 1 Petrus 1:13-25, ditemukan empat dimensi kekudusan antara lain: 

1) Alasan kekudusan, orang percaya kudus karena, kekudusan Tuhan; karya penebusan Kristus; bentuk ketaatan pada kebenaran; telah dilahirkan kembali. 

2) Ruang kekudusan terjadi di akal budi; pengharapan, dan seluruh hidup. 

3) Cara mencapai kekudusan adalah dengan hidup dalam ketaatan; hidup tidak menuruti hawa nafsu; hidup takut akan Tuhan; taat pada kebenaran; sungguh-sungguh saling mengasihi. 
4) Manfaat kekudusan, menikmati kasih karunia Tuhan; menjadi serupa dengan Kristus; mampu mengamalkan kasih persaudaraan, dan jaminan hidup kekal.

Pengertian Kekudusan Dan Pemakaiannya Dalam Alkitab

I.Kekudusan Dalam Perjanjian Lama

Kekudusan adalah keadaan atau sifat kudus, atau berada dalam keadaan murni. Kekudusan adalah salah satu sifat Tuhan. Kekudusan adalah suatu perilaku moral yang dituntut Tuhan atas bangsa Israel. Karena bangsa Israel telah dipanggil dan dipilih oleh Tuhan yang kudus itu sendiri. Sehingga kata “kudus” mendapat penekanan di dalam Alkitab dan digunakan oleh Bangsa Israel.

Istilah “kudus” berasal dari kata benda Bahasa Ibrani Qodes atau kata sifat qadosh, selanjutnya diterjemahkan ke dalam Bahasa Yunani hagios artinya: dipisahkan, disendirikan, atau dikhususkan. Dalam Perjanjian Lama, kata qadosh (kudus) digunakan kurang lebih sekitar 600 kali. Kata ini paling sering dijumpai dalam kitab Imamat, Bilangan, Yesaya dan Yehezkiel.

Istilah qadosh mempunyai akar kata qds yang dikaitkan dengan masalah kepercayaan (roh). Dalam Perjanjian Lama (PL), Istilah qadosh juga sering digunakan bagi tempat tertentu seperti semak duri yang terbakar saat Tuhan memanggil Musa (Keluaran 3:5). Saat pertemuan Yosua dengan Panglima Balatentara Tuhan di dekat Yerikho (Yosua 5:15). 

Nabi Yesaya juga menggunakan istilah qadosh bagi bait suci yang dijadikan umpan api (Yesaya 64:10). Istilah qadosh juga dipakai untuk hari Sabat sebagai hari yang kudus (Yesaya 58:13) roti sajian di dalam bait Tuhan (1 Samuel 21:5-7), serta bagi persembahan (Ulangan 26:13,14). Kata qadosh dalam bentuk kata kerja dipakai untuk pengudusan satu bangsa (Yesaya 36:23) serta pengudusan seseorang (Keluaran 19:10; Yosua 3:5).

Kata ini juga dikaitkan dengan nama Tuhan, yang merefleksikan sifat-Nya sehingga mempunyai arti yang bersifat etis (Amsal 4:2), maka menajiskan nama Tuhan merupakan dosa (bnd. Imamat 20:3; Amsal 2:7).

Kekudusan Tuhan secara Khusus dikaitkan dengan kemahakuasaan kemuliaan, serta kedahsyatan-Nya (Keluaran 15:11-12; 19:10-25; Yesaya 6:1-4; Wahyu 2:8-11), yang melampaui semua hal dan di atas segala sesuatu.

Tuhan Israel berbeda dari semua yang telah Dia ciptakan. Tuhan Israel juga tidak boleh disejajarkan dengan ilah-ilah lain dari bangsa mana pun di bumi ini. Karena Tuhan Israel adalah satu-satunya Tuhan yang kudus. Sehingga, dasar kekudusan bangsa Israel hubungan dengan Tuhan yang Kudus.

Israel disebut kudus sebab Tuhan yang kudus itu telah memisahkan bangsa Israel bagi diri-Nya. Bangsa Israel dibedakan dari bangsa lain, dan dikhususkan untuk menjadi suatu bangsa yang kudus. Oleh sebab itu bangsa Israel harus menunjukkan arti kekudusan tersebut dalam kehidupan berperilaku serta dalam ketaatan kepada hukum-hukum Tuhan. Itulah mengapa bangsa Israel tidak boleh menyembah Tuhan lain, dan hanya boleh menyembah kepada Tuhan Israel (Ulangan 6:4).

Istilah “kudus” juga dipakai pula untuk menyebut nama Tuhan, Firman Tuhan, Roh Tuhan karena semua itu adalah kepunyaan-Nya (bnd. Amsal 2:7; Yesaya 52:10; Mazmur 105:42; Yesaya 63:10). Begitu pula tabut perjanjian adalah kudus karena tabut perjanjian merupakan tempat penyataan diri Tuhan yang kudus itu. (1 Samuel  6:20).

Dalam Teologi Nabi Hosea, Hosea mengembangkan suatu perbedaan yang nyata antara Tuhan yang kudus dengan orang berdosa (Hosea 11:9). Nabi Hosea berpendapat bangsa Israel yang sudah mengikuti ritual penyembahan kepada Baal, akan menerima konsekuensi berupa ganjaran dari Tuhan yang kudus (Hosea 14:1), hal ini bisa dibatalkan hanya jika bangsa Israel bertobat sehingga Tuhan yang kudus itu akan menguduskan kembali bangsa itu dan menganugerahi hidup yang baru (Hosea 14:8) atas dasar Kasih-Nya. 

Dengan kata lain, bangsa Israel secara pribadi tidak memiliki kekudusan itu. Mereka menjadi bangsa yang kudus, karena Tuhan yang kudus telah menyatukan diri-Nya sendiri dengan bangsa Israel. Itulah mengapa, Tuhan disebut sebagai “Yang Kudus dari Israel.”

Sedangkan dalam Teologi Nabi Yesaya, Yesaya menganggap bangsa Israel sudah tidak memiliki harapan lagi untuk datang menghadap Tuhan yang kudus itu (Yesaya 6:1-5) sebab bangsa Israel telah melakukan pemberontakan kepada Tuhan. 

Namun, Tuhan justru menyatakan kasih-Nya bagi Bangsa Israel melalui penglihatan Nabi Yesaya mengenai Serafim, di mana Yesaya melihat bara api yang sedang menyala diambil Tuhan dari altar kemudian diletakkan pada mulut Yesaya agar dosanya diampuni. maksud dari penglihatan (tindakan simbolik) ini adalah bahwa Tuhan pasti akan melakukan sesuatu untuk mengadili semua orang yang najis. Namun ia masih menunjukkan cara untuk memperoleh pengampunan dan pengudusan bagi orang berdosa.

Setelah masa pembuangan, tulisan-tulisan apokaliptik masih menggunakan tradisi ritual penyembahan serta tetap menggunakan istilah “kudus” bagi kota Yerusalem, altar, sabat, pakaian imam, kaki dian, minyak, kitab, umat dan perjanjian.

II.Kekudusan Dalam Perjanjian Baru

Berdasarkan Injil Yohanes, Tuhan disebut sebagai ‘Bapa Yang Kudus’ (Yohanes17:11) sedangkan Petrus menyebut Yesus sebagai o` a[gioj tou/ qeou/ (ho hagios tou theo) ‘Yang Kudus dari Tuhan’ (Yohanes 6:69).

Menurut Injil Markus, Yesus diakui oleh para roh jahat sebagai o` a[gioj tou/ qeou/ (ho hagios tou theo) ‘Yang Kudus dari Tuhan’ (Markus 1:24). Sedangkan berdasarkan Injil Lukas, kekudusan dihubungkan dengan perawan Maria. Maria disebut “Kudus Anak Tuhan” (Lukas 1:35). Selanjutnya, di dalam Kisah Para Rasul, Petrus memanggil Yesus yang telah dibangkitkan sebagai “Yang benar” dan “kudus” yang tidak diakui oleh para pemimpin Yahudi (Kisah Para Rasul 3:14).

Panggilan yang serupa ditemukan pula dalam Wahyu 3:7, Yohanes menyatakan bahwa Firman yang ia beritakan itu bersumber dari “yang Kudus”, “Yang Benar” sebagai pemegang kunci Daud. Selanjutnya, Wahyu 4:8 para malaikat siang dan malam tanpa henti berseru memuji Tuhan sebagai “Yang Kudus” dan “Yang Mahakuasa”. Kemahakudusan Tuhan yang dimaksud dalam ayat ini meliputi kemahakuasaan, kemuliaan dan kekekalan-Nya.

Lebih lanjut berdasarkan kitab Ibrani, Yesus disebut satu-satunya Imam sekaligus korban sekali untuk selama-lamanya masuk ke “tempat kudus” untuk mengorbankan diri-Nya sebagai persembahan untuk menebus manusia dari dosa (Ibrani 9:24-27).

Alkitab memberi gelar kepada orang percaya sebagai orang kudus, bukan sebagai orang percaya yang diharuskan menjadi orang kudus. Alkitab menuliskan bahwa orang percaya lahir baru disebut sebagai orang kudus sebanyak 62 kali.

Kata dasar yang berarti kudus dalam Bahasa Yunani adalah hagios. Di dalam Perjanjian Baru kata hagios, diterjemahkan “orang kudus”, yang secara harafiah berarti “orang yang dipisahkan” atau “orang yang dipanggil keluar”. Kata “orang kudus” tidak menunjukkan kesalehan melainkan pemisahan kepada Tuhan.

Perjanjian Baru menggunakan “orang kudus” untuk mendeskripsikan setiap orang Kristen yang lahir baru di dalam Yesus Kristus. Istilah “orang kudus” menunjukkan tahap pertama kekudusan, yaitu kekudusan pada masa lampau. Alkitab mencatat “Pemisahan” ini terjadi sehingga orang Kristen disebut sebagai orang yang dipisahkan di dalam:

Dan beberapa orang di antara kamu demikianlah dahulu. Tetapi kamu telah memberi dirimu disucikan, kamu telah dikuduskan, kamu telah dibenarkan dalam nama Tuhan Yesus Kristus dan dalam Roh Tuhan kita (I Korintus 6:11)

Dan karena kehendak-Nya inilah kita telah dikuduskan satu kali untuk selama-lamanya oleh persembahan tubuh Yesus Kristus. (Ibrani 10:10)

“Kamu telah dikuduskan” dan “kita telah dikuduskan” dengan jelas menyatakan suatu jenis kekudusan tertentu yang terjadi pada masa lampau. Alkitab tidak mengajarkan bahwa hanya beberapa orang saja yang “telah dikuduskan” atau yang disebut sebagai “orang-orang kudus”, namun setiap orang.

Latar Belakang Surat 1 Petrus

Latar belakang mengapa Petrus menganjurkan jemaatnya untuk memelihara kekudusan hidup dapat dilihat dalam 1 Petrus 5:12, dikatakan, “Aku menulis dengan singkat kepada kamu untuk menasihati dan meyakinkan kamu, bahwa ini adalah kasih karunia yang benar-benar dari Tuhan.” Nasihat ini ditujukan kepada jemaat yang saat itu sedang dalam penderitaan karena masalah-masalah penganiayaan yang semakin meningkat , jemaat hidup di tengah kekafiran bangsa lain. Dalam situasi demikian kepercayaan jemaat akan sangat mudah digoyangkan.

Maka melalui surat ini, penulis surat 1 Petrus ingin menguatkan iman jemaat (orang Kristen) agar meletakan kepercayaan sepenuhnya hanya kepada Kristus dan tidak terpengaruh oleh keadaan dunia sekitar, sesuai dengan kasih karunia yang telah diperoleh. Sehingga, jemaat memiliki ketabahan hati serta tetap tekun untuk berjuang masa itu hingga mencapai tujuan imannya, yaitu kemuliaan.29 Dan tujuan tersebut hanya dapat diwujudkan dengan menjaga kekudusan.

Penulis 1 Petrus sangat menekankan kekudusan karena memperhatikan bahwa orang Kristen yang ia layani hidup di tengah-tengah lingkungan kekafiran (1 Petrus 2:11-4:11). Bayer mengatakan, lingkungan di mana seseorang tinggal dapat mempengaruhi sikap dan kelakuannya. Apalagi kondisi jemaat sedang mengalami penganiayaan yang berat dikarenakan iman kepada Tuhan.

Bahkan nama atau sebutan sebagai “orang Kristen” membuat jemaat menghadapi berbagai tuduhan dan fitnah (1 Petrus 2;12; 3:9,16). Keadaan ini jemaat menjadi rawan untuk menyimpang dari imannya kepada Tuhan.

Sementara itu, status sosial pembaca surat 1 Petrus juga sangat rawan terhadap penindasan. Karena berasal dari kalangan bawah (hamba-hamba dan kaum perempuan). Hakh mencatat jemaat pembaca surat ini disebut: “Pendatang” dan “perantau” (5:13). Para penafsir Alkitab berusaha memahami istilah  Pendatang dan perantau sebagai suatu gaya bahasa perbandingan langsung yang menjelaskan posisi dan status orang-orang Kristen saat di dunia ini yaitu orang Kristen memiliki rumah yang kekal, kewargaan mereka ada di surga.

Ada pendapat lain mengenai istilah ini, yang mengatakan bahwa istilah pendatang dan perantau dipakai untuk membedakan antara orang Kristen yang telah menerima surat ini dengan budaya masyarakat pada umumnya di sekeliling mereka.

Penulis 1 Petrus mengatakan: “Hendaklah kamu hidup dalam ketakutan selama kamu menumpang di dunia ini. Sebab kamu tahu bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu” (1 Petrus 1:17-18). Hidup dalam ketakutan dalam kalimat ini maksudnya bukanlah ketakutan kepada orang-orang yang menganiaya jemaat melainkan ketakutan dan kesetiaan kepada Tuhan.

Ketakutan dan kesetiaan kepada Tuhan memampukan orang Kristen untuk hidup dengan tegar di tengah-tengah dunia atau lingkungan di mana orang Kristen menumpang sebagai ‘orang asing’. Selain itu penulis juga menasihati jemaat agar konsisten melakukan kebaikan, agar ketika orang-orang sekitar yang memfitnah jemaat sebagai orang yang jahat menjadi malu karena para pemfitnah itu justru melihat perbuatan-perbuatan baik yang ditunjukkan jemaat. Perbuatan baik tersebut akan menjadi satu kesaksian bahwa orang Kristen tidak seperti yang dituduhkan itu.

Secara sosiologis situasi ini bisa saja mempengaruhi jemaat untuk kembali kepada kehidupan yang lama. Karena itu, penulis 1 Petrus menasihati jemaat agar tetap menjaga kekudusan, dikarenakan Tuhan yang telah memilih mereka adalah Tuhan yang kudus.

6 Deskripsi Kekudusan Menurut 1 Petrus 1:13-25

1. Kekudusan Berarti Pemisahan

Langkah pertama dalam mengejar kekudusan dimulai dengan adanya pemahaman yang jelas mengenai konsep “Kekudusan”.

Konsep dasar kekudusan terdapat dalam kata “Pemisahan.” Tanah itu menjadi kudus tidak lain karena Tuhan memisahkannya sebagai tempat yang unik yang akan digunakan-Nya untuk menyatakan diri-Nya kepada Musa. Dalam pengertian tertentu, seluruh sisa bagian gurun itu tetap tidak kudus karena Tuhan tidak memilihnya sebagai tempat percakapan-Nya.

2. Kekudusan Dapat Berlangsung Dalam Pikiran Orang Percaya

Kekudusan dapat menggambarkan “pemisahan” yang berlangsung dalam pikiran orang sehubungan dengan pisau, tanah, kota dan banyak hal lainnya. Bruce menyebutnya sebagai “Kekudusan Mental” karena pemisahan ini hanya terjadi dalam pemikiran seseorang. Seseorang dapat memilih mempersembahkan hati, jiwa dan kekuatan kepada Tuhan, dengan demikian memisahkan diri bagi Tuhan di dalam hati dan pikiran orang Kristen.

Menurut Petrus, semua orang yang telah memperoleh keselamatan harus berjaga-jaga atau waspada dalam menilai zaman masa kini dengan terang masa depan.

Langkah awal untuk mencapai harapan masa depan itu adalah dengan mempersiapkan akal budi dan berwaspada (1 Petrus 1:13).

Kalimat “Sebab Itu Siapkanlah Akal Budimu” (1 Petrus 1:13) frasa “sebab itu” menunjukkan desakan yang dihasilkan dari pembahasan sebelumnya. Dalam New American Standar Bible (NASB) diterjemahkan “siapkanlah akal budimu”. New King James Version (NKJV) “Ikatlah Pinggang dari pikiranmu”. Versi NRSV, “persiapkan pikiranmu untuk tindakan”. Gramatikal dari frasa ini adalah Aorist Middle Participle dalam bentuk imperative (kalimat perintah). Maksud frasa ini adalah untuk menyatakan sebuah aksi ketika seseorang memutuskan sesuatu atas dasar keinginannya sendiri dalam arti tindakan yang ia pilih untuk lakukan adalah karena inisiatifnya sendiri, muncul dari dirinya sendiri.

Frasa “siapkanlah akal budimu” adalah suatu gaya bahasa perbandingan langsung yang sering digunakan di daerah Timur Tengah Purba, untuk menjelaskan kesiapan mengenai seseorang atau sekelompok orang yang hendak melakukan suatu tindakan (bnd. Amsal 31:17; Yeremia 1:17; Lukas 12:35; Efesus 6:14, dsbnya).

Berdasarkan tradisi di daerah Timur Tengah Purba, orang memakai jubah yang tidak berlengan panjangnya sampai ke lutut atau pergelangan kaki, dan memakai mantel di bagian luar, menggambarkan orang yang bersiap untuk melakukan suatu aktivitas secara fisik, entah dalam perkelahian atau pun pertandingan. Orang yang bertanding harus menarik dan melipat jubahnya yang panjang ke atas dan mengikatnya pada ikat pinggangnya sehingga kelihatan lututnya. Dengan cara ini orang tersebut dapat melakukan aktivitasnya dengan lebih bebas.

Ungkapan yang sama dipakai ketika bangsa Israel keluar dari Mesir yakni waktu perjamuan makan saat paskah dengan ikat pinggang terikat pada pinggang, kasut pada kaki dan tongkat pada tangan serta memakannya dengan terburu-buru (Keluaran 12:11; bnd. 2 raja-raja 4:29; 9:1). Tuhan Yesus juga memakai gaya bahasa perbandingan langsung ini saat ia memberi peringatan kepada murid-murid-Nya untuk selalu waspada dalam menantikan kedatangan Tuhan. Yesus berkata: “Hendaklah pinggangmu tetap dan pelitamu tetap menyala” (Lukas 12:35).

Gaya bahasa yang sama, dipakai pula dalam surat 1 Petrus ini untuk memperingatkan pembaca suratnya, yakni orang-orang pendatang yang berdiaspora di Provinsi Asia Kecil agar senantiasa mempersiapkan diri dalam menunggu kedatangan Tuhan. Persiapan itu harus diikuti dengan kewaspadaan. Kewaspadaan yang dimaksudkan penulis berhubungan dengan kedisiplinan karakter atau perilaku orang Kristen guna menghindari tindakan atau perbuatan yang tercela dalam hidupnya.

Penulis 1 Petrus mengaitkan antara kewaspadaan dengan mempersiapkan akal budi hanya untuk memperjelas bahwa keteguhan atau ketetapan hati jemaat sangat diperlukan untuk menghadapi berbagai gagasan, dan godaan yang datang. Melihat reaksi penulis tersebut, memberi gambaran mengenai lingkungan pembaca yang disebut dalam 1 Petrus, di mana terdapat ajaran-ajaran sesat dari sekte-sekte kepercayaan di sana yang dapat mengakibatkan orang Kristen tidak berdiri teguh dalam iman, sehingga mereka akan dapat digoyahkan dengan mudah.

Selanjutnya penulis 1 Petrus memberi nasihat dengan mengatakan “letakkanlah pengharapanmu seluruhnya atas kasih karunia yang dianugerahkan padamu…” pengharapan Jemaat adalah di dalam Kebangkitan Kristus. Pengharapan itu akan digenapi pada hari kedatangan Tuhan yang kedua kalinya. Pengharapan itu harus didasarkan atas kasih karunia. Kasih karunia telah “diberikan dengan cuma-cuma” atau dikaruniakan sebagai bentuk tindakan ilahi dari Tuhan dalam diri Yesus Kristus. Keselamatan adalah kasih karunia itu

Michaels yang di kutip oleh Hakh menjelaskan lebih lanjut Kasih karunia atau keselamatan yang digambarkan dalam 1 Petrus 3:4 berpengaruh terhadap kehidupan orang Kristen pada masa penantian kedatangan Kristus kedua kali. Kepercayaan kepada Tuhan menjadi dasar pengharapan orang Kristen/jemaat.

3. Kekudusan Harus Sekaligus “dari” dan “untuk”

Kekudusan menuntut ‘pemisahan dari’ suatu hal dan ‘pemisahan untuk’ suatu hal yang berbeda. Kekudusan menuntut pemisahan. Kekudusan menuntut penarikan diri. Kekudusan menuntut pemutusan hubungan. Jika seseorang ingin kudus menurut pengertian ini, ia harus meninggalkan sesuatu atau ia tidak mungkin kudus.

Kekudusan menuntut pembentukan hubungan kembali. Kekudusan menuntut penambahan. Orang baru, perilaku baru atau hasrat baru harus ditambahkan ke dalam kehidupan orang Kristen untuk menggantikan pola-pola lama dan tidak kudus. Orang Kristen harus meninggalkan cara-cara hidup yang lama dan tidak kudus serta mengikuti cara-Nya yang kudus. Memisahkan “dari” tanpa memisahkan “untuk” bukanlah kekudusan yang Alkitabiah. Kekudusan yang Alkitabiah harus memiliki “perhentian” yang dilanjutkan dengan “Permulaan”.

Kalimat “hendaklah kamu menjadi kudus” memiliki gramatikal Aorist Passive (deponent) Imperative. Orang-orang percaya diperintahkan untuk hidup kudus. Tuhan ingin kehidupan anak-anak-Nya menggambarkan karakter-Nya (Titus 2:14). Tujuan dari kekristenan tidak hanya masuk surga saat meninggal dunia, melainkan keserupaan dengan Kristus sekarang. Orang Kristen dipanggil untuk hidup dalam kekudusan.

Kalimat “di dalam seluruh hidupmu”. Fokus pada kata “seluruh”. Kekudusan harus dalam seluruh aspek kehidupan orang percaya.

Kekudusan berarti keadaan di mana orang percaya dipisahkan dari agar dapat bersatu dengan Tuhan sebab Tuhan dan dosa tidak dapat disatukan. Dalam 1 Petrus 2:9, Petrus menyebut jemaat di Asia Kecil sebagai “bangsa yang kudus.” Mereka merupakan jemaat Tuhan yang baru dipilih agar dapat merefleksikan sifat Tuhan dalam perilaku mereka.

Kekudusan yang dimaksudkan di sini meliputi “seluruh tingkah laku” orang Kristen. Dengan kata lain Best menyimpulkan, kekudusan itu tidak hanya meliputi ide mengenai suatu kesalehan hidup, melainkan lebih kepada kualitas hidup dalam perilaku dan tindakan yang meliputi seluruh kehidupan orang Kristen. Artinya bukan tindakan yang dilakukan di dalam gereja itu kudus dan tindakan atau perilaku di luar gereja tidak kudus, melainkan seluruh tindakan (perilaku) atau perbuatan dan keputusan yang dilakukan oleh seseorang di mana pun berada harus kudus.

Clemens, seorang bapa gereja dari Roma, yang dikutip oleh Hakh, mengatakan: “karena kita adalah bagian dari kekudusan itu maka sudah sepatutnya semua perilaku kita mencerminkan kekudusan. Semua hal yang menghalangi kekudusan harus dibuang. Jauhilah persekutuan dengan kenajisan, fitnah, kemabukan, kekerasan, dan sebagainya”.

4. Kekudusan Memiliki Standar

Yang pertama, pemisahan yang kudus harus merupakan pemisahan dari apa yang “sekuler” menuju apa yang “sakral”. Tuhan harus diikutsertakan di dalam kekudusan, atau orang Kristen tidak akan pernah menemukan kekudusan yang sesungguhnya. Sewaktu orang Kristen memikirkan kekudusan, dari apa pun orang Kristen memisahkan diri, orang Kristen harus memilih untuk memisahkan diri kepada Tuhan.

a. Firman Tuhan

Perintah Kuduslah kamu, Sebab Aku Kudus (ay. 16). Perintah tersebut dikutip dari Imamat 19:2 yang berbunyi: “Kuduslah kamu sebab Aku Tuhan Tuhanmu kudus.” Kalimat perintah ini menjadi pengingat bagi bangsa Israel mengenai panggilan bangsa Israel untuk menjadi “Bangsa yang kudus” (Keluaran 19:6). Tuhan menjadi standar bagi bangsa Israel dalam membangun kekudusan.

Demi memelihara kekudusan bangsa Israel sebagai bangsa yang dikuduskan Tuhan. Tuhan menetapkan larangan-larangan kepada bangsa Israel sebab sebagai bangsa pilihan yang telah dikuduskan atau dikhususkan oleh Tuhan untuk diri-Nya, kekudusan adalah kewajiban bagi bangsa Israel.

Segala peraturan tersebut dibuat guna mengingatkan Bangsa Israel akan kasih karunia Tuhan atas mereka. Sebagai peraturan untuk membedakan antara yang kudus dan yang tidak kudus, begitu pula bangsa Israel diingatkan bahwa Tuhan telah membuat perbedaan antara Bangsa Israel dengan bangsa-bangsa lain sebagai umat milik-Nya. Perintah ini dalam kitab Imamat diulangi sebanyak tiga kali yaitu dalam Imamat 19:2; 20:7, dan 26.

Secara etis, kekudusan Tuhan berarti pemisahan antara dia dan segala sesuatu yang menentang dan melawan-Nya. Ini adalah dasar semua perbedaan moral. Yang baik adalah yang dikehendaki Tuhan; orang yang menentang dan melawan kehendak-Nya adalah jahat, begitu pula esensinya.

Kekudusan Tuhan berarti bahwa Ia sungguh-sungguh tanpa cela (murni) dan sempurna, tanpa dosa atau kejahatan; keberadaan-Nya adalah dasar kesempurnaan dan luapan kemurnian, kebenaran, kebaikan keadilan, kebajikan serta kesempurnaan moral apa pun.

Orang yang gagal memahami bahwa dasar kekudusan adalah Tuhan yang adalah kasih itu sendiri akan menyebabkan kesalahpahaman dalam memaknai kekudusan. Jika kekudusan adalah kehendak Tuhan, maka perbuatan kasih dan pengampunan-Nya harus juga merupakan perbuatan kudus. Sehingga alasan utama mengapa orang Kristen harus menjaga Kekudusan hidup dalam etika berperilaku sehari-hari adalah karena Tuhan adalah Kudus.

b. Karya Penebusan Kristus

Selain Firman Tuhan atau Tuhan sendiri standar orang Kristen dalam menjaga kekudusan hidup dalam etika berperilaku sehari-hari adalah karena karya penebusan Kristus di atas kayu salib. 1 Petrus 1:18-19:

“ 18Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak dan emas,19 melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat.”

Dalam Alkitab terjemahan New King James Version (NKJV) disebut “…from your aimless conduct received by tradition from your fathers,(dari perilaku tanpa tujuan kamu yang diterima oleh tradisi dari leluhurmu). Lebih jelas lagi dalam NET diterjemahkan “Cara hidupmu yang kosong”. Penulis surat Petrus menegaskan kepada jemaat yang membaca surat Petrus bahwa Orang yang percaya kepada Kristus telah ditebus dari cara hidup yang sia-sia, tanpa tujuan, kosong akibat dosa keturunan (kenyataan bahwa manusia berdosa setelah kejatuhan Adam dan Hawa).

Charles C. Ryrie mengatakan akibat dari dosa warisan adalah kerusakan total. Kerusakan total berarti, 

1) kerusakan terjadi dalam diri manusia dan meluas ke semua aspek dalam karakter dan kemampuannya; 

2) tidak ada kebenaran dalam diri manusia yang membuatnya layak untuk berhadapan dengan Tuhan yang kudus. Kerusakan total akibat dosa ini hanya bisa diatasi dengan penebusan Kristus. Kristus menebus manusia dari dosa dan maut dengan korban diri-Nya sendiri. Penebusan yang dimaksudkan untuk meredakan murka Tuhan dan mendamaikan Dia dengan manusia berdosa.

Penebusan di sini melibatkan pengorbanan yang disertai dengan penumpahan darah, yaitu darah Kristus sendiri yang menjadi persembahan kepada Tuhan supaya manusia dibebaskan dari dosa dan maut. Suatu fakta antropologi yang menarik ialah bahwa kurban persembahan hampir merupakan kebiasaan universal di hadapan kebudayaan dunia.

Di dalam ayat 22 menjelaskan alasan selanjutnya mengapa orang Kristen harus hidup kudus dalam etika berperilaku: “Karena kamu telah menyucikan dirimu oleh ketaatan kepada kebenaran” dalam terjemahan Alkitab versi English Standar Version (ESV) frasa “telah menyucikan” disebut “having purified” atau “telah dimurnikan” begitu juga bentuk gramatikal dalam Bahasa aslinya menggunakan perpect participle active yang artinya kata kerja di mana objek dikenakan pekerjaan secara aktif dan sudah selesai/sempurna. Lebih sederhana terjemahan yang lebih tepat untuk frasa “telah menyucikan” menjadi “telah disucikan”, peristiwa ini telah selesai dikerjakan.

Dalam terjemahan versi Firman Tuhan Yang Hidup (FAYH), “Sekarang Saudara dapat memiliki kasih sejati terhadap setiap orang, sebab pada waktu Saudara percaya bahwa Kristus menyelamatkan Saudara, jiwa Saudara telah dibersihkan dari sifat mementingkan diri sendiri dan dari kebencian. Jadi, berusahalah supaya Saudara sungguh-sungguh saling mengasihi dengan segenap hati”.

5. Kekudusan Ditunjukkan Dalam Hubungan Dengan Sesama

Kekudusan dapat ditunjukkan dalam hubungan dengan sesama karena itu jiwa orang Kristen yang percaya kepada Kristus telah dimurnikan oleh ketaatan kepada kebenaran (Firman Tuhan), sehingga untuk menjaga kemurnian jiwa ini setiap orang Kristen harus menjaga kekudusan hidup. Kekudusan hidup membuat orang Percaya dapat mengamalkan kasih persaudaraan yang tulus ikhlas karena ada keseriusan dalam mengasihi sesama. Hal tersebut dapat terlihat dalam perilaku orang Kristen sehari-hari, di antaranya.

a.Taat (1 Petrus 1:14, 22)

Dalam terjemahan versi NASB, NRSV: “Jangan menjadi serupa”. NKJV menerjemahkan: “jangan turuti”. Versi TEV lebih detail menerjemahkan: “jangan biarkan hidupmu dibentuk”. Kalimat ini memiliki bentuk gramatikal Present Middle atau Passive Participle yang digunakan dalam bentuk kalimat perintah.

Pada masa menantikan kedatangan Kristus kali kedua orang Kristen diperintahkan untuk hidup sebagai anak-anak yang taat. Petrus mengatakan: “Hiduplah sebagai anak-anak yang taat” (1 Petrus 1: 14). Ungkapan (anak-anak yang taat) merupakan suatu ungkapan Semitis yang menitikberatkan pada kata: (tekna) “anak-anak” untuk membuat perbedaan dengan orang dewasa, suatu ungkapan yang ditunjukkan pada pembaca surat Petrus.

Di sini para pembaca disebut sebagai (tekna) atau anak-anak, untuk mengingatkan eksistensi pembaca surat sebagai jemaat yang baru bertobat, dan baru menerima baptisan, sebagai ‘anak-anak’. Sehingga, mereka memiliki pangilan untuk taat. Kata: (hupakoes) = taat, merupakan suatu sebutan yang telah digunakan oleh Petrus pada 1 Petrus 1:2 dan 3:6, Petrus menyebut para pembaca suratnya sebagai “anak-anak yang taat”, disatu sisi supaya para pembaca ingat keberadaan mereka sebagai orang Kristen baru, dan di sisi yang lain, para pembaca memiliki keyakinan kepada Tuhan sebagai Bapa mereka.

Kata “Ketaatan” dalam ayat 22 berasal dari kata Yunani hupakoe (υπακοη) yang berarti obedience dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan “mematuhi” atau “menaati”.

Kata ini merupakan kata benda kasus datif bentuk feminin tunggal. Menurut Friberg kata ini diterjemahkan sebagai ketaatan, ketundukan dan kepatuhan.

Selain itu dalam ayat ini juga terdapat kata aletheias (αληθειαs) yang berarti truth dalam terjemahan Bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai “kebenaran”. Kata ini merupakan kata benda kasus genitive bentuk feminin tunggal. 

Secara etimologis aletheia (αληθεια) berarti “non concealment” yang diterjemahkan sebagai “tanpa disembunyikan”. Dengan demikian menunjukkan apa yang dilihat, diindikasikan, dinyatakan, atau diungkapkan, yaitu hal seperti apa adanya, tidak seperti yang tersembunyi atau dipalsukan. Aletheia (αληθεια) adalah “keadaan yang sebenarnya”.

Dalam 1 Petrus 1:14-16, “ketaatan” berhubungan dengan “kesucian” dan juga dengan “pemurnian” yang merupakan tanda sebagai tindakan yang membedakan orang-orang percaya yang dahulu dan merupakan gaya pra pertobatan hidup. Istilah aletheia (αληθεια) “kebenaran” digunakan untuk menonjolkan “kasih karunia Tuhan” sebagai “kebenaran”. 

Dalam konsep kekristenan, Tuhan adalah “Bapa dari kebenaran”, yang telah berbicara “Firman kebenaran” di dalam Yesus Kristus dan Injil (Kolose 1:5; Efesus 1:13; 4:20). Dengan demikian, untuk menjadi seorang Kristen harus dibawa “oleh firman kebenaran” (Yakobus 1:18) atau “memperoleh pengetahuan tentang kebenaran” (1 Timotius 2:4; 2 Timotius 3:7; Ibrani 10:26; 1 Timotius 4:3) dan untuk diberikan tanggung jawab “menaati kebenaran” (Galatia 5:7).

Dalam ayat ini Petrus merujuk pada ketaatan akan kebenaran, unsur yang melekat dari iman yang menyelamatkan (Yohanes 3:36; Roma 10:10; Efesus 2:8-10; Ibrani 5:9; 11:1-34). Petrus menegaskan kepada para pembacanya bahwa mereka diselamatkan sesuai dengan rencana Tuhan Bapa, dengan kerja Roh Kudus, supaya taat kepada Yesus Kristus. Ketaatan bisa menjadi sinonim dari iman dalam Perjanjian baru.

Taat pada kebenaran merupakan suatu bentuk aktif dari mencintai kebenaran. Cinta akan kebenaran adalah bentuk keterarahan budi dalam mengakui kebenaran sebagai sebuah nilai, sehingga hidup dalam kebenaran selalu menjadi fokus utama.

Bersikap benar pada dasarnya adalah kemampuan untuk menerima, tunduk pada keberadaan, keterbukaan dalam menerima kenyataan. Tuntutan untuk bersikap benar dilandaskan pada kenyataan bahwa tanpa kebenaran perkembangan alamiah manusia tidak mungkin terwujud.

Perilaku seseorang haruslah jujur. Perilakunya harus sejalan dengan nilai-nilai yang dimiliki pribadi itu dan yang dianutnya. Melakukan kebenaran dalam perbuatan berarti bahwa seseorang harus bertindak sesuai dengan pikiran dan kata-katanya.

b.Tidak Menuruti Hawa Nafsu

Kata “Hawa Nafsu” dalam Bahasa Yunani disebut epithumiais (επιθυμιαis) berasal dari kata (epitumia) επιθυμια yang berarti desire dalam terjemahan Bahasa Indonesia disebut hasrat atau keinginan. Kata ini merupakan kata benda kasus datif bentuk feminism jamak. Kittel Bromiley dikutip oleh Frieska mengemukakan bahwa kata ini menunjukkan keinginan akan makanan atau seks. Dalam Perjanjian Lama kata ini digunakan lebih kepada “mengingini” sehingga tindakan ini dikutuk sebagai bentuk kejahatan. Keinginan sering kali dipandang sebagai dosa utama karena bertentangan dengan perintah Tuhan.

Di dalam Perjanjian baru istilah ‘hawa nafsu’ digunakan untuk menjelaskan rasa lapar (Lukas 15:16), kerinduan (Lukas 22:15), keinginan untuk misteri ilahi (Matius 13:17), atau untuk sesuatu yang baik (Flp. 1:23; 1 Timotius 3:1). Namun biasanya lebih mengarah pada keinginan jahat juga seperti yang ditunjukkan dengan objek (seorang wanita di Mat. :28), dengan orientasi (Galatia 5:17), dengan Instrumen (“hati” dalam Roma 1:24, “tubuh” di Roma 6:12, “daging” di Efesus 2:3, “mata” di 1 Yohanes 2:16), atau dengan cara memenuhi keinginan daging (1 Petrus 2:11), keingingan duniawi (Titus 2:12), “mencemarkan diri” (2 Petrus 2:10, dll). Keinginan jahat adalah manifestasi dari dosa.

Charles Houser dalam Alkitab edisi studi mengemukakan hawa nafsu dalam ayat ini yaitu keinginan dan perbuatan dosa di masa lampau, termasuk pesta pora dan penyembahan berhala. Hawa nafsu atau keinginan seperti “pesta pora” dan perjamuan minum” merujuk pada perjamuan-perjamuan yang banyak diselenggarakan oleh kelompok-kelompok lainnya di daerah Asia Kecil.

Cedar mengemukakan hawa nafsu yang dimaksud dalam ayat ini merupakan keinginan daging dan menentang kehidupan Roh (Galatia 5:17). Hawa nafsu adalah sistem duniawi yang bertentangan dengan rencana Tuhan bagi semua ciptaan-Nya (1 Yohanes 2:15-17), untuk tidak mematuhi Tuhan dan mengikuti hawa nafsu dan untuk membawa kembali kepada ketidaktahuan dan kebutaan rohani.

Kehidupan kekudusan didasarkan pada keaktifan gaya hidup yang taat, Petrus memerintahkan untuk menjadi anak-anak yang taat. Ketaatan adalah bagian paling dasar dari gaya hidup Kristen. Sebagai “anak-anak yang taat” jemaat diperintahkan untuk tidak menuruti hawa nafsu yang menguasai jemaat pada waktu kebodohan “…janganlah turuti hawa nafsu yang menguasai kamu…” (ay. 14).

Beyer menjelaskan bahwa kalimat “hawa nafsu yang menguasai kamu…pada waktu kebodohan” mengacu pada cara hidup jemaat pembaca surat Petrus sebelum menjadi orang Kristen atau ketika mereka belum mengenal Tuhan. Pada waktu itu, yaitu pada waktu kebodohan tersebut, pembaca masih belum mengenal Tuhan dan hukum-hukum-Nya. Lebih lanjut Michael menjelaskan, waktu itu pembaca surat masih dikuasai hawa nafsu, yakni keinginan atau kesenangan untuk mengejar, kesenangan kekuasaan, kekayaan atau kehidupan yang berfoya-foya.

Large dan Schaff mengemukakan bahwa hawa nafsu bukan hanya sensual impuls dan keinginan, tetapi keinginan yang berbeda dari apa yang Tuhan izinkan, keinginan jahat komprehensif yang dijelaskan oleh Yohanes (1 Yohanes 2:16) sebagai keinginan daging, nafsu mata dan keangkuhan hidup (Galatia 5:19), hal ini juga termasuk ambisi, keinginan kekuasaan dan keinginan pengetahuan. Hawa nafsu dijelaskan lebih sederhana sebagai “ketidaktahuanmu”. Dosa menggelapkan pemahaman dan gagasan palsu (Roma 1:21; Efesus 4:18) dan kebodohan di sisi lain merupakan penyebab dari banyak dosa.

Menurut Beyer, penulis surat 1 Petrus menceritakan kembali masa lalu para pembaca suratnya itu bukan untuk mempermasalahkan kehidupan masa lalu dan masa sekarang, namun Petrus hendak mengingatkan pembaca supaya dalam kehidupan sehari-hari, mereka tidak kembali kepada cara hidup yang lama, sebab mereka telah menjadi anak-anak yang taat sekarang. Cara hidup yang lama itu harus sudah dilepaskan. Dan Orang Kristen harus memandang dan mengarahkan hidup ke depan, yaitu hidup kudus. “…hendaklah kamu menjadi kudus, di dalam seluruh hidupmu…” Penulis surat 1 Petrus menganjurkan orang Kristen agar menjaga kekudusan.

Kekudusan yang dibicarakan Petrus dalam ayat ini adalah pemisahan diri, atau pengkhususan diri untuk Tuhan. Menurut Michaels, saat Petrus menasihati jemaatnya untuk menjaga kekudusan hidup mereka, maka yang Petrus maksud tidak seperti tradisi-tradisi agama atau sekte-sekte kerohanian tertentu yang menarik diri dari dunia ini. Istilah yang digunakan oleh Petrus dalam ayat ini adalah mengajak orang Kristen untuk menghadapi dunia, yang ditunjukkan dalam perilaku praktis dalam kehidupan sehari-hari. Artinya Petrus menasihati orang Kristen membuat perbedaan dalam cara hidup mereka yang lama dan memfokuskan diri hanya kepada Tuhan.

c.Memiliki Kasih (1 Petrus 1:22)

Kasih adalah ikatan yang mempersatukan bidang kehidupan keberagamaan dan komitmen manusia di tengah dunia. Kasih merupakan kekuatan kreatif di dunia dan pengaruhnya positif meresap segala sesuatu. Tak ada kebutuhan manusiawi yang lebih besar selain mencintai dan dicintai. Kasih memberikan makna dan karena itu menanamkan harapan akan masa depan yang baik.

BACA JUGA: KEKUDUSAN TUHAN DAN KEKRISTENAN MASA KINI

Cinta harus didasari dari kedalaman hati, artinya seorang yang mencintai harus mampu menerima secara tulus kelebihan yang ada pada diri orang lain tanpa rasa cemburu dan pembatasan. Cinta sejati menuntut kemampuan untuk mendengarkan orang lain.

Kasih persaudaraan mewajibkan untuk membantu yang lain dalam kebutuhan-kebutuhan mereka, maka orang Kristen diwajibkan untuk membagi kebenaran kepada sesama.

6. Kekudusan Adalah Tanda Kelahiran Baru (1 Petrus 1:23)

Istilah kelahiran baru dalam Bahasa Yunani, genethe anothen artinya “dilahirkan kembali” (Yohanes 3:3,5). Kata anothen berarti “kembali” dan juga “dari atas” (Yohanes 3:3;19:11). Gabungan kata genethen dan anothen memiliki pengertian lahir baru. Lahir baru melibatkan pemahaman:, hidup lagi, ciptaan baru, pembaharuan, perpindahan dari maut, pemberian sifat baru, yaitu sifat Tuhan, dan fokus hidup baru. Ini bukan hanya emosi. Kelahiran baru adalah pengalaman yang sangat diperlukan dalam iman Kristen.

Dasar kelahiran baru adalah hanya oleh “Darah Yesus Kristus” saja (1 Petrus 17:23). Kondisi universal manusia yang telah jatuh dalam dosa membuat kelahiran baru tersebut penting bagi setiap orang percaya. Kelahiran baru adalah titik awal dari sebuah perubahan. Brownlee mengatakan realitas perubahan itu akan berlangsung terus menerus setiap hari hingga seseorang serupa dengan Kristus. Di sinilah titika awal usaha untuk menginternalisasikan nilai-nilai moral dan akhlak sehingga terwujud dalam penerapan sikap dan perilaku yang baik.

Kelahiran baru menghasilkan orang percaya tinggal di dalam Kristus. Kesatuan dengan Kristus menyebabkan Kristus terhubung dengan orang-orang percaya dalam segala sesuatu.

Perubahan kepada Tuhan yang kudus adalah mutlak untuk menyenangkan hati Tuhan. Bukan kebesaran seseorang, bagaimana pun kharismanya dan apa pun karya kebesarannya, yang menyebabkan seseorang bisa diperkenankan Tuhan, melainkan Kekudusannya. Jadi pembaharuan radikal (regenerasi) dalam jiwa setiap orang, yaitu pembaharuan bagian yang memotivasi karakternya adalah suatu keharusan.

BACA JUGA: 1 PETRUS 1:13-25 (KEKUDUSAN DAN KASIH PERSAUDARAAN)

Kelahiran baru membuat seorang manusia menjadi yang ciptaan baru di dalam Kristus (1 Korintus 5:17). Ciptaan Baru ini akan terus menerus diperbaharui setiap harinya agar menjadi serupa dengan Kristus. Pada saat pembaharuan ini berlangsung perilaku yang baik akan terbentuk sejalan dengan berkembangnya karakter yang baik

Setiap orang yang telah mengalami proses kelahiran baru dapat melihat bukti-bukti kelahiran baru. Bukti-bukti tersebut tercermin dalam setiap kehidupan, yakni perilaku sehari-hari. Charles C. Ryrie mengungkapkan tentang hasil kelahiran baru, Ryrie berkata: “Kehidupan baru pasti akan menghasilkan buah-buah yang baru, seperti dalam 1 Yohanes 2:29, 3:9;4:7; 5:1, 4 dan 18, adapun hasil dari kelahiran baru yang dapat diamati ialah: kebenaran, tidak berbuat dosa, saling mengasihi, dan mengalahkan dunia, dalam konteks kekristenan menghasilkan buah-buah roh (Galatia 5:22-23).

KESIMPULAN

Dari pembahasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa menurut 1 Petrus 1:13-25 kekudusan berarti pemisahan, dapat berlangsung dalam pikiran orang percaya, harus sekaligus “dari” dan “untuk”, memiliki standar firman Tuhan dan karya penebusan Kristus, ditunjukkan dalam hubungan dengan sesama, dan menjadi tanda kelahiran baru.

Next Post Previous Post