PROSES BERTEOLOGI KRISTEN DAN CONTOH PENERAPANNYA

Pdt.Samuel T. Gunawan, M.Th.

Dimasa lalu, hingga abad pertengahan teologi dikenal sebagai “the queen of the sciences” atau “ratunya ilmu pengetahuan”. Namun saat ini, teologi justru sering kali dicela sebagai sesuatu yang tidak relevan, tidak diperlukan, kuno (ketinggalan zaman), dan dianggap terpisah dari kehidupan sehari-hari. Ini merupakan tantangan bagi kita (khususnya bagi para teolog) untuk membuktikan bahwa teologi itu sebenarnya sangat bersentuhan dengan isu-isu kehidupan sehari hari.
PROSES BERTEOLOGI KRISTEN DAN CONTOH PENERAPANNYA
otomotif, bisnis
Teologi adalah hal yang menarik walau terkadang rumit, apalagi jika dihubungkan dengan isu-isu dalam kehidupan sehari-hari. Namun yang harus diketahui, bahkan dengan pertolongan Roh Kudus (2 Petrus 1:20-21) yang membimbing kita, kita tetap memerlukan sebuah proses dalam mengambil suatu kesimpulan teologis untuk diterapkan bagi kehidupan kita. Peran Roh Kudus bukan bertujuan untuk menggantikan peran rasionalitas kita.

Karena itu di dalam berteologi, metode apa pun yang kita gunakan seharusnyalah menuntun kita pada : (1) Kesimpulan yang didasarkan pada bukti-bukti kuat. Bukti-bukti yang tidak kuat tidak pernah bisa diterima; (2) Kesimpulan yang tidak kontradiktif atau tidak bertentangan satu-sama lain; sebuah kesimpulan yang kontradiktif atau bertentangan dengan logika tidak pernah bisa diterima akal sehat; dan (3) Kesimpulan yang dapat dipercayai kejujurannya.

Lukas di dalam pengantar Injil yang ditulisnya menyebutkan ”Teofilus yang mulia, banyak orang telah berusaha menyusun suatu berita tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di antara kita, seperti yang disampaikan kepada kita oleh mereka, yang dari semula adalah saksi mata dan pelayan Firman. 

Karena itu, setelah aku menyelidiki segala peristiwa itu dengan seksama dari asal mulanya, aku mengambil keputusan untuk membukukannya dengan teratur bagimu, supaya engkau dapat mengetahui, bahwa segala sesuatu yang diajarkan kepadamu sungguh benar” (Lukas 1:1-4). Ini adalah ayat-ayat yang terkait dengan proses pembelajaran dan penyusunan teologi Kristen.

Perhatikan kata-kata dalam ayat-ayat tersebut sebagai berikut :
(1) Kata Yunani ”epicheireo” yang diterjemahkan ”berusaha” menunjuk pada suatu upaya yang telah dilakukan;

(2) Kata Yunani ”anatassomai” yang diterjemahkan dengan ”menyusun” menunjuk pada sesuatu yang diatur secara berurutan seperti halnya menyusun sebuah cerita karangan yang dilakukan dengan alur yang sistematis.

(3) Kata Yunani ”diegesis” yang diterjemahkan dengan “berita” menunjuk pada cerita naratif yang lengkap, yang penuh dan menyeluruh;

(4) Kata Yunani ”pragma” yang diterjemahkan dengan peristiwa-peristiwa (yang telah terjadi di antara kita)”, menunjuk kepada kisah nyata yang benar-benar terjadi, berkaitan dengan kehidupan Yesus Kristus;

(5) Kata Yunani ”parakoloutheo akribos” yang diterjemahkan dengan “menyelidiki dengan seksama” menunjuk kepada sesuatu yang benar-benar telah diikuti dan diselidiki dengan sangat teliti”.

(6) Kata Yunani ”katecheo asphaleia” yang diterjemahkan dengan “diajarkan sungguh benar” berarti berarti sesuatu yang diinstruksikan secara lisan dan dijamin kebenarannya.

Inilah tujuan dan maksud dari pembelajaran teologi yaitu proses menyusun secara sistematis peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di antara orang-orang percaya yang sejati (di dalam Alkitab), melalui penelitian yang seksama dan terjamin kebenaran yang kemudian diajarkan kepada orang percaya supaya mereka dapat mengetahui bahwa apa yang diajarkan sungguh benar serta memberikan dorongan pada mereka untuk mempertahankan kebenaran itu.

Charles C. Ryrie mendefinisikan teologi sebagai suatu interpretasi yang rasional mengenai iman Kristen. Di mana ada tiga unsur di dalam konsep umum teologi yaitu :
(1) Teologi dapat dimengerti, artinya teologi dapat dipahami oleh pikiran manusia dengan cara yang teratur dan rasional; (2) Teologi menuntut adanya penjelasan, di mana selanjutnya melibatkan eksegesis dan sistematisasi; dan (3) Iman Kristen bersumber pada Alkitab. 

Berpikir secara teologis melibatkan pemikiran secara : (1) eksegetik, untuk memahami arti yang tepat; (2) Sistematis, untuk dapat menghubungkan fakta-fakta secara seksama; (3) Kritis, untuk mengevaluasi prioritas dari bukti yang bersangkutan; dan (4) Sintetik, untuk menyatukan dan menyampaikan pengajaran sebagai suatu keseluruhan.

Untuk itu berikut ini enam langkah prosedural dalam proses berteologi dari Bruce Demarest dan Gordon R. Lewis dalam buku Integrative Theology, halaman 25-26, dengan penyesuaian dan penyederhanaan dari saya. Sebagai contoh, sekali lagi, ini hanya sebagai CONTOH. Misalnya kita sedang tertarik untuk meneliti sebuah isu dengan topik LGBT, yaitu akronim dari Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender, maka terkait dengan isu LGBT ini kita dapat melakukan penelitian teologis dengan prosedur sederhana berikut ini :

Langkah pertama, kita perlu mendefinisikan terlebih dahulu apa itu LGBT, yaitu topik dari isu yang sedang kita teliti atau pelajari tersebut. Kita harus terlebih dahulu jelas dengan pengertian atau definisi LGBT yang sedang viral atau berkembang saat ini, sebelum kita lebih jauh melakukan investigasi teologis tentang topik ini. Kita tidak akan dapat melakukan investigasi yang serius jika kita tidak mengetahui atau tidak jelas dengan apa yang sedang kit acari.

Langkah kedua, kita harus meneliti seluruh pengajaran Alkitab mengenai topik LGBT ini secara komprehensip. Artinya, kita harus meninjau seluruh bagian-bagian Alkitab yang relevan membicarakan isu LGBT ini baik dari Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. (di sini kita bisa dibantu dengan sebuah konkordansi). Kemudian bagian-bagian Alkitab itu dipelajari dengan interpretasi yang tepat dan akurat. (Di sini kita bisa dibantu dengan buku-buku tafsiran atau buku-buku komentari Alkitab dari para pakar dibidang teologi dan biblika). Bagian-bagian atau ayat-ayat Alkitab itu tidak boleh ditafsirkan secara terpisah karena penafsiran yang terpisah akan menyebabkan pengertian yang kabur bahkan akan mendistorsi ajaran Alkitab. Di sini juga kita harus dengan seksama mengharmoniskan ayat-ayat yang tampaknya membicarakan hal-hal yang bertolak belakang.

Langkah ketiga, kita perlu membuat sebuah rangkuman yang kohesif (terpadu) hasil penelitian Alkitab terkait isu LGBT tersebut, dengan menyusunnya secara sistematis dan logis. Disini yang perlu diperhatikan adalah bahwa kesimpulan yang kita ambil seharusnya tidak kontradiktif (bertentangan) dengan doktrin-doktrin Alkitab lainnya, khususnya doktrin-doktrin utama Alkitab, ataupun ilmu pengetahuan lainnya yang sudah diuji kebenaran keabsahannya. Jika kesimpulan kita bertentangan, maka kita harus melakukan penggalian yang lebih seksama dan lebih mendalam lagi.

Catatan: Kaum Injili sepakat tentang doktrin-doktrin esensial dan utama seperti: inspirasi, ineransi dan otoritas Alkitab; Allah Tritunggal (satu hakikat yang menyatakan diri-Nya dalam tiga Pribadi berbeda Bapa, Anak, dan Roh Kudus), Pribadian Kristus yang hipostatik (satu Pribadi dengan dua natur, yaitu Natur Allah dan Natur Manusia); Keberdosaan manusia akibat kejatuhan dalam dosa; keselamatan hanya karena anugerah yang diterima melalui iman kepada Kristus saja; kebangkitan tubuh, kedatangan Kristus kembali, adanya surga dan neraka. 

Sementara itu, perbedaan di wilayah isu-isu yang kurang esensial seperti pemerintahan gereja, baptisan air, predestinasi, karunia rohani dan eskatologi yang berkaitan dengan milenialisme (masa seribu tahun) kita dapat saja berbeda pendapat karena hal itu bukan hal yang esensial sehingga kita bisa lebih fleksibel dan memberi ruang untuk sebuah toleransi dan kekayaan dalam teologi Kekristenan.

Langkah keempat, setelah merangkum hasil penelitian kita dan menemukan kesimpulan dari pengajaran Alkitab tentang isu LGBT ini, maka kita perlu membandingkan kesimpulan kita dengan pandangan-pandangan lainnya dari para pakar teologi dan Alkitab, serta pakar-pakar lain terkait isu LGBT ini. Kita harus memahami ini, bahwa Roh Kudus yang mengajar kita juga mengajar mereka. Kita mungkin tidak selalu harus setuju dengan pendapat orang lain, tetapi jangan pernah menjadi orang yang arogan dengan sikap tidak mau belajar atau tidak mempertimbangkan hasil penelitian orang lain. Karena Tuhan juga memakai orang lain untuk kita belajar sesuatu hal.

Langkah kelima, pertahankan dan uji pengajaran Alkitab hasil penelitian kita tentang topik LGBT ini dengan melihat ketahanannya terhadap keberatan dari ilmu-ilmu pengetahuan, filsafat, dan dari ajaran atau teologi yang berlawanan. Jika hasil penelitian kita tidak dapat bertahan, maka sebaiknya hasil penelitian ini dilanjutkan lagi dan jadikan ini sebuah tantangan untuk penelitian yang lebih mendalam lagi.

Langkah terakhir, hasil penelitian kita tidak boleh berhenti hanya sampai pada pengetahuan dan teori saja tetapi harus sampai pada penerapannya. Artinya, lakukanlah apa yang kita percayai berdasarkan hasil dari penelitian kita yang seksama. Merupakan fakta yang sudah terbukti bahwa doktrin mempengaruhi karakter. Apa yang kita percayai sangat besar mempengaruhi perbuatan kita. 

Jika kita menerima dan mengikuti doktrin yang sehat maka doktrin itu akan mempengaruhi karakter dan perbuatan kita. Paulus memberikan nasihat kepada Timotius agar “awasilah dirimu sendiri dan awasilah ajaranmu” (1 Timotius 4:6,13,16). Selanjutnya Paulus berbicara tentang “ajaran yang sesuai dengan ibadah kita” (1 Timotius 6:1-3), yakni serupa dengan Allah dalam hal karakter dan kehidupan yang kudus. PROSES BERTEOLOGI KRISTEN DAN CONTOH PENERAPANNYA
https://teologiareformed.blogspot.com/
Next Post Previous Post