PRINSIP MENAFSIRKAN NUBUATAN ALKITAB

Pdt.Samuel T. Gunawan, M.Th.

Ada baiknya di sini saya mengingatkan kembali tentang prinsip penafsiran Alkitab yang sehat, khususnya yang menyangkut nubuatan. Namun pertama-tama saya ingin menegaskan kepada kita bahwa semua pengertian teologis yang telah kita miliki sebelumnya agar tunduk pada otoritas Alkitab. Artinya, pengertian-pengertian teologis dan doktrinal yang telah dimiliki sebelumnya tidak boleh mempengaruhi penafsiran kita atas Alkitab. 
PRINSIP MENAFSIRKAN NUBUATAN ALKITAB
otomotif, bisnis
Kita seharusnya menafsirkan Alkitab secara induktif dan bukan deduktif. Tentu saja, semua penafsir dalam taraf tertentu dipengaruhi oleh pandangan pribadi, aliran teologis dan denominasi, bahkan pandangan politik tertentu. Tidak satu pun dari kita yang menafsirkan isi Alkitab dalam keadaan yang benar-benar murni. Karena itu, tidak jarang terjadi seorang penafsir Alkitab membawa atau memasukkan idenya sendiri ke dalam teks, yaitu ide yang tidak dimaksudkan oleh teks tersebut. Hal ini bisa terjadi karena penafsir seperti ini di dalam memahami teks dipengaruhi oleh asumsi atau pandangan teologinya sendiri, sehingga memaksanya untuk menafsirkan teks tertentu sesuai dengan apa yang diinginkannya.

Sekali lagi, memang harus diakui, setiap penafsir Alkitab pasti memiliki asumsi atau anggapan dasar sebelum ia menafsirkan Alkitab. Karena itulah tidak ada seorang penafsir Alkitab yang bebas sama sekali dari pengaruh subjektivitas. Tetapi yang dapat dilakukan untuk meminimalisir subjektivitas tersebut adalah dengan bersikap seobjektif mungkin. Jadi penafsir memang perlu memiliki asumsi yang wajar tetapi bukan prasangka yang subjektif. Sebab penafsir dengan prasangka yang subjektif pasti akan memasukkan idenya ke dalam bagian Alkitab yang ditafsirnya. 

Biasanya penafsir seperti ini tidak memperhatikan maksud penulis kitab, dan juga tidak memperdulikan jalan pikiran yang sehat (logis) dan bukti yang ada. Penafsir seperti ini lebih memilih memegang pandangan teologisnya sendiri ketimbang menyelaraskannya dengan yang penulis Kitab Suci maksudkan. Untuk alasan inilah, seharusnya pengertian yang telah kita dimiliki sebelumnya harus disesuaikan dengan Alkitab dan bersedia dikoreksi Alkitab. Hanya pengertian, tafsiran dan pandangan teologis yang sesuai dengan Alkitab dan telah menerapkan prinsip hermeneutika yang sehatlah yang patut dianggap benar.

Selain prinsip tersebut di atas, ada beberapa prinsip penafsiran yang baik yang perlu diingat ketika kita mempelajari Alkitab, khususnya yang berhubungan dengan nubuatan, yaitu prinsip-prinsip yang dikembangkan dalam metode penafsiran harafiah atau dikenal juga dengan istilah Latin “sensus literalis”. Metode penafsiran ini juga dikenali dengan berbagai istilah seperti gramatikal-historis, sintaksis-teologis, gramatikal-historis-kontekstual, historis-kultural dan leksikal-sintaksis. Meski begitu, istilah “gramatikal historis” ini lebih luas digunakan dalam kalangan Injili ketimbang beberapa istilah alternatif lainnya tersebut di atas karena metode penafsiran ini merupakan metode penafsiran yang normal dan wajar. 

Artinya, ketika arti harafiah merupakan hal yang masuk akal maka jangan mencari arti lain karena hal itu dapat menyesatkan. Namun perlu ditegaskan bahwa metode penafsiran literal ini tetaplah mengakui bahwa kata-kata atau frase Alkitabiah dapat digunakan secara denotatif (umum dan lazim) ataupun konotatif (kiasan atau figuratif), sama halnya dalam bahasa kita sehari-hari. Sebagai contoh, di sebuah lapangan sepak bola, jika seseorang berkata “Elang pasti mengalahkan para Singa”, maka kita mengerti bahwa orang itu secara konotatif sedang berbicara tentang dua tim sepak bola yang sedang bertanding, dan bukannya dalam pengertian secara denotatif bahwa burung-burung elang sedang menyerang singa-singa. Ringkasnya, metode penafsiran literal atau gramatikal historis ini menjadikan unsur-unsur gramatikal, kontekstual, historis dan budaya sebagai unsur-unsur penting dalam menafsirkan Alkitab.

1. Menafsirkan dengan mempertimbangkan aspek gramatikalnya. Arti dari sesuatu bagian atau paragraf harus ditentukan oleh penyelidikan kata-kata yang ada di dalamnya dan hubungannya dalam kalimat. Kita menyebutnya sebagai gramatika (tata bahasa). Perlu diketahui, bahwa tata bahasa diperlukan untuk menyampaikan suatu berita dengan jelas dan akurat. Tata bahasa sendiri berkaitan dengan kaidah dari struktur yang terdiri dari unsur penting, seperti: subjek, objek, predikat, kata kerja, kata sifat, kata keterangan, kata ganti, kata sambung, dan lainnya. 

Kaidah dari struktur tersebut digunakan oleh penulis kitab untuk menyusun kalimat sebagai kesatuan yang bermakna dan dapat dipahami oleh pembaca pada saat kitab itu ditulis. Secara metodologi, penelitian gramatikal paling sedikit meliputi 2 hal, yaitu penyelidikan kata (lexiologi) dan penyelidikan tata bahasa dan relasi sintaksis. 


Karena kata memiliki artinya masing-masing dan maksud penggunaanya sangat bertalian erat dengan kata-kata lain yang membentuk sebuah kalimat maka penyelidikan antar kata atau antar frase (kalimat) menjadi sangat penting. Inilah yang disebut relasi sintaksis, yaitu menyelidiki hubungan antar kata dalam sebuah kalimat atau anak kalimat (frase). Jadi sebenarnya yang terutama ialah bagaimana agar penafsiran gramatikal tidak melenceng dari maksud keseluruhan teks dan sinkron dengan keseluruhan konteks.

2. Menafsirkan menurut konteksnya. Sangat penting untuk menafsirkan kata, frase, kalimat dan ayat dalam suatu teks dengan terlebih dahulu mempertimbangkan konteksnya. Karena tanpa mempelajari konteksnya maka pengertian kita terhadap kata, frase, kalimat dan ayat tersebut menjadi tidak lengkap, khususnya jika ada kaitan pengertian yang tidak dapat dilepaskan satu dengan yang lain. Kata “konteks” berasal dari dua kata Latin, yaitu kata “con” yang berarti “bersama-sama atau menjadi satu” dan kata “textus” yang berarti “tersusun”. Jadi yang dimaksud dengan konteks disini menujuk pada kalimat atau bagian yang berada disekitar teks (ayat yang ditafsir). 

Konteks sendiri terdiri dari konteks dekat (ayat-ayat paling dekat yang berada sebelum dan sesudah teks yang ditafsirkan) dan konteks jauh (mulai dari seluruh bagian pada kitab dimana teks yang hendak ditafsirkan berada hingga seluruh Alkitab). Atau, jika digambarkan dalam sebuah diagram lingkaran, maka konteks dalam sebuah bentuk lingkaran dimulai dari lingkaran terdekat (konteks langsung) hingga yang terjauh yaitu konteks keseluruhan kitab, konteks dari kumpulan kitab-kitab dari penulis yang sama, konteks seluruh Perjanjian Lama atau Perjanjian Baru, dan konteks keseluruhan Alkitab. 

Jadi intinya jelas bahwa dalam menafsirkan Alkitab, teks (text) yang tidak dibaca dan dipelajari dengan memperhatikan konteks (context) akan menjadi “dalil” (pretext). Ini merupakan bahaya yang perlu diwaspadai oleh para penafsir Alkitab. Dan dalam prakteknya kesalahan yang seringkali dilakukan oleh para penafsir Alkitab adalah melakukan proof-texting, yaitu mengambil bagian-bagian tertentu dari Kitab Suci dan menafsirkannya secara tidak bertanggung jawab hanya untuk mempertahankan asumsi pribadi dan pandangan teologinya. Ingatlah ini, satu kalimat yang diambil dari Alkitab bukanlah firman Allah apabila kalimat itu ditempatkan pada konteks yang mengubah makna dari maksud Allah dalam konteks yang sesungguhnya.


3. Menafsirkan dengan mempelajari sejarah dan budaya Alkitab. Panafsir Alkitab yang benar haruslah memperhatikan latar belakang sejarah dan budaya teks yang dibaca. Alkitab telah ditulis oleh penulis Alkitab di zaman sejarah yang berbeda dengan kita saat ini, maka Alkitab hanya bisa dimengerti sepenuhnya dalam terang sejarah terkait. Jadi kita perlu tahu juga latar belakang geografis, historis, kultural, dan politis dari proses pengalihan yang ditulis Alkitab. 

Karena itu seorang penafsir harus melangkah keluar dari pola pikir modern khususnya pola pikir dunia barat yang ada padanya dan masuk dalam pola pikir bangsa Yahudi dan Yunani kuno saat Alkitab di tulis. Sebelum kita bisa mengerti cara memberlakukan berita Alkitab pada zaman sekarang, kita harus terlebih dahulu memastikan bagaimana hal itu diaplikasikan pada waktu pertama kalinya ditulis. 

Penafsir Alkitab yang mempelajari dan memahami latar belakang sejarah dan budaya Alkitab dengan baik dapat dipastikan akan menafsirkan Alkitab dengan lebih baik dibandingkan dengan panafsir yang tidak mempelajari sejarah dan budaya Alkitab. PRINSIP MENAFSIRKAN NUBUATAN ALKITAB. https://teologiareformed.blogspot.com/
Next Post Previous Post