ROMA 13:8 (3 PRINSIP HUTANG KASIH)

Roma 13: 8, “Janganlah kamu berhutang apa-apa kepada siapapun juga, tetapi hendaklah kamu saling mengasihi. Sebab barangsiapa mengasihi sesamanya manusia, ia sudah memenuhi hukum Taurat.” 
ROMA 13:8 (3 PRINSIP HUTANG KASIH)
gadget, bisnis, otomotif
Di dalam menghormati, Paulus mengatakan bahwa itu bukan utang kita. Kita tidak berutang apa-apa kepada siapa pun juga. Kata “berutang” di ayat ini menggunakan bentuk jamak, sekarang (present), aktif, dan imperatif. Dengan kata lain, artinya kita tidak boleh secara aktif berutang kepada siapa pun.

Orang Kristen yang masih berutang uang kepada orang lain, berhati-hatilah. Belajarlah untuk tidak berutang kepada siapa pun. Belajarlah untuk menghemat dan memangkas pengeluaran-pengeluaran yang tidak perlu. Kita memang tidak berutang apa pun kepada siapa pun, tetapi Paulus mengatakan bahwa kita hanya boleh berutang satu hal, apa itu? Paulus mengatakan bahwa kita hanya boleh berutang kasih. 

Di dalam terjemahan Indonesia dan beberapa terjemahan Inggris, ayat ini kurang jelas. Tetapi di dalam terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) dan New International Version (NIV), ayat ini begitu jelas. Mari kita perhatikan. BIS menerjemahkan, “Janganlah berutang apa pun kepada siapa juga, kecuali berutang kasih terhadap satu sama lain.” NIV menerjemahkan, “Let no debt remain outstanding, except the continuing debt to love one another, ...” (=..., kecuali utang yang terus-menerus untuk mengasihi satu sama lain) NIV lebih jelas lagi menerjemahkan yaitu utang kasih itu berlangsung terus-menerus (continuing debt to love). 

Di sini, Paulus menekankan bahwa utang yang paling penting yang harus kita genapkan adalah utang kasih dan utang ini berlaku terus-menerus. Dari kalimat pertama di ayat ini, kita bisa belajar 3 (tiga) prinsip mengenai hutang kasih:

1.Pertama, kasih itu utang. Luar biasa pengajaran Paulus ini. Kita sering kali merasa orang lain berutang kalau orang lain tidak berbuat baik kepada kita. Untuk itu, kita biasanya suka mengingatkan jasa baik kita kepada orang lain yang tidak tahu berterima kasih kepada kita (atau bahkan acuh tak acuh). Atau kita merasa berutang budi jika kita tidak membalas kebaikan orang lain. Alhasil, anak kita yang dikorbankan (dijadikan “tumbal”) untuk dinikahkan dengan anak orang lain yang kepadanya kita berutang. 

Di sini, Paulus membalik semua konsep dunia dengan mengajar bahwa untuk hal tersebut, kita tidak perlu merasa berutang atau orang lain merasa berutang kepada kita. Yang dipentingkan adalah bagaimana kita berutang kasih. Utang kasih berarti kita memiliki suatu perasaan berutang jika kita tidak memberikan kasih kita kepada orang lain. Apakah balas budi termasuk cara memberikan kasih kepada orang lain? Tidak. Balas budi hanya tindakan/reaksi kasih, bukan kasih itu sendiri, karena balas budi tidak dimotivasi dan didorong oleh kasih yang murni. 

Tidak jarang, tindakan balas budi mengorbankan anak sendiri untuk dinikahkan dengan orang yang kepadanya kita berutang. Itu bukan kasih! Kasih TIDAK pernah mengorbankan orang lain, tetapi kasih justru mengorbankan diri sendiri bagi orang lain! Ini kegagalan paradigma dunia berdosa yang merasa diri “pintar.” Jika balas budi tidak termasuk kasih, bagaimana kita bisa memberikan kasih kepada orang lain? Alkitab mengajar bahwa kasih itu berasal dari Allah yang adalah Kasih. Salah satu bukti Allah adalah Kasih adalah Tuhan Yesus Kristus diutus untuk menebus dosa manusia. 

Sehingga orang Kristen sejati bisa memberikan kasih kepada orang lain setelah ia mengalami penebusan Kristus di dalam hati dan hidupnya. Orang yang tidak mengalami penebusan Kristus mustahil bisa mewujudnyatakan kasih sejati kepada orang lain. Di sini, berarti kita baru bisa memberikan kasih kepada orang lain ketika hal itu keluar dari hati kita yang terdalam. Memberikan kasih bukan sekadar tindakan luar (fenomena), tetapi lebih ke arah hati dan motivasi (esensi). 

Ketika kita mengasihi dengan kasih yang keluar dari hati kita yang takut akan Tuhan dan mengalami kuasa penebusan Kristus, maka kasih itu akan menjadi kasih yang mengubah orang lain. Kasih yang mengubahkan itulah kasih yang sulit dijumpai di dunia ini. Dunia menawarkan konsep kasih yang kompromi, bebas, dll, tetapi tanpa kebenaran yang mengubah. Hanya Kekristenan yang berdasarkan Alkitab mengajarkan kasih yang disertai kebenaran, keadilan, dan kesucian Allah yang mampu mentransformasi orang lain bahkan dunia. Itulah utang kasih sesungguhnya. Kita berutang mengasihi orang lain dengan mengubah orang lain ke arah yang benar. 

Paulus sudah mempraktikkan hal tersebut. Ia rela pergi dari satu tempat ke tempat lain untuk memberitakan Injil sebagai penggenapan utang kasihnya kepada orang-orang yang terhilang. Para rasul Kristus lainnya juga melakukan hal yang sama. Bagaimana dengan kita? Rindukah kita melihat orang lain yang dahulu hidup berdosa, lalu bertobat dan menerima Kristus. 

Rindukah kita melihat orang lain yang dulu beriman sembarangan, tetapi sekarang menjadi beriman sungguh-sungguh kepada dan di dalam Kristus. Rindukah kita melihat perubahan motivasi/hati, pola pikir, sikap, dll dari seseorang ke arah yang benar? Kerinduan kita itulah yang sebenarnya utang yang harus kita jalankan. Biarlah kita bukan hanya rindu, tetapi memiliki semangat untuk menggenapkan utang kita dan ingatlah, kasih itu utang.

2.Kedua, utang kasih itu bersifat melengkapi (saling mengasihi). Poin kedua yang kita pelajari adalah utang kasih itu bukan bersifat searah, tetapi dua arah. Artinya, utang kasih itu bersifat melengkapi. Kita berutang mengasihi orang lain dengan memberitakan Injil kepadanya. Begitu juga orang yang kita injili yang sudah bertobat pun memiliki utang kasih, misalnya menegur kita yang melakukan kesalahan/dosa (padahal kita dulunya menginjili dia). Di dalam persekutuan tubuh Kristus, kasih ini juga bisa diwujudnyatakan. 

Bagaimana seorang jemaat mengasihi jemaat lain dengan memerhatikan mereka. Begitu juga jemaat lain memerhatikan seorang jemaat ini. Sehingga di antara jemaat Tuhan terjadi persekutuan yang intim dan hangat. Apa ini berarti kita berutang budi kepada orang lain? Tidak. Bedanya, utang budi versi dunia sering kali bisa mengorbankan orang lain (anak sendiri) untuk melunasi kebaikan orang lain. Tetapi Kekristenan tidak pernah mengajar hal itu. Kekristenan mengajar bahwa kita bisa “membalas” kebaikan orang lain dengan memberikan kasih yang keluar dari kita. 

Ketika kita “membalas” kasih orang lain tetapi tidak dengan kasih yang tulus, hendaklah kita tidak melakukan hal tersebut. Sebelum kita “membalas” kasih orang lain, ujilah motivasi hati kita, benarkah kita mengasihi kembali orang itu dengan kasih yang tulus atau dengan motivasi dan tujuan hanya ingin balas budi? Tuhan tidak menginginkan kita balas budi, tetapi Tuhan menginginkan kita mengasihi dengan kasih yang tulus, seperti yang Kristus lakukan bagi umat-Nya ketika Ia menebus dosa umat-Nya tanpa minta balas jasa. 

Kalau pun kita bisa berbuat baik dan mengasihi Kristus saat ini, itu pun kita lakukan sebagai ucapan syukur kita yang telah diselamatkan, bukan balas budi. Perbuatan baik kita kepada Allah tidak cukup syarat bagi kita untuk ditebus (tidak bisa dipersamakan dengan penebusan Kristus yang termulia). Oleh karena itu, perbuatan baik kita bisa dikatakan “utang kasih” umat-Nya kepada Allah. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita saling mengasihi antar umat Tuhan? Dengan motivasi apa kita mengasihi mereka? Utang budi kah? Atau sungguh-sungguh keluar dari hati kita yang terdalam yang mengasihi-Nya?

3.Ketiga, utang kasih itu terus-menerus. Poin terakhir yang bisa kita pelajari adalah utang kasih itu bersifat terus-menerus. Berarti ada proses di dalam utang kasih. Kita tidak mungkin bisa memiliki utang kasih hanya pada saat-saat tertentu dan setelah itu, kita tidak lagi berutang kasih. Tidak. Alkitab mengatakan bahwa kita terus-menerus berutang kasih. Ketika kita memiliki kerinduan kita mengabarkan Injil sebagai penggenapan utang kasih kita, biarlah itu bukan menjadi kerinduan yang dibakar oleh semangat subjektivitas pribadi, tetapi murni karena desakan dan dorongan Roh Kudus. 

Inilah yang membedakan (penggenapan) utang kasih sejati dengan utang kasih palsu. Mungkin ada orang Kristen yang juga memiliki utang kasih, tetapi jika utang kasih itu dilakukan pada saat tertentu, maka dapat disimpulkan bahwa utang kasih itu palsu, karena utang kasih itu tidak terus-menerus atau hanya sesaat (mungkin sekali hanya subjektivitas yang emosional). 

Utang kasih sejati adalah utang kasih yang terus-menerus. Di dalam proses terus-menerus itu, Roh Kudus tetap membakar umat-Nya untuk memiliki utang kasih yang harus dijalankan. Jadi, di sini, saya mengaitkan karya Roh Kudus di dalam proses menggenapkan utang kasih. Bagaimana dengan kita? Sudah siapkah kita dibakar oleh api Roh Kudus untuk menggenapkan utang kasih kita?

Pada kalimat kedua di ayat ini, Paulus mengatakan bahwa ketika kita mengasihi, kita sudah memenuhi hukum (Taurat). Mengapa? Karena kasih adalah kegenapan atau inti hukum Taurat (bdk. Matius 22:37-40; Galatia 5:14). Allah memberikan hukum Taurat kepada umat-Nya, Israel (dan tentu juga tetap berlaku bagi kita) bukan untuk memberatkan, tetapi justru sebagai wujud kasih-Nya agar umat-Nya tidak berbuat dosa. 

Allah menginginkan agar hukum-Nya ini menjadi pedoman bagi umat-Nya untuk mengasihi sesama manusia. Begitu juga dengan kita di saat ini. Allah mewahyukan Alkitab PL dan PB sebagai bahan penuntun iman dan perilaku kita di dalam dunia. Ia ingin agar kita yang telah dikasihi-Nya mewujudnyatakan kasih itu dengan mengasihi orang lain baik itu memberitakan Injil Kristus atau pun memberikan bantuan yang secukupnya kepada mereka yang berkekurangan. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita mengasihi orang lain?.ROMA 13:8 (3 PRINSIP HUTANG KASIH)
Next Post Previous Post