PEMAHAMAN AJARAN PEMBENARAN IMAN ANTARA PROTESTAN DAN KATOLIK

PEMAHAMAN AJARAN PEMBENARAN IMAN ANTARA PROTESTAN DAN KATOLIK
Makalah ini akan membahas dan menguraikan sejarah pertemuan Gereja Katolik Roma  (GKR) dan Protestan dalam sebuah dokumen yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak pada tanggal 31 Oktober 1999 di Augsburg yakni “Dokumen Deklarasi Bersama tentang Pembenaran oleh Iman“ (Joint Declaration on the Doctrine of Justification by Faith). 

1. PEMAHAMAN TENTANG AJARAN PEMBENARAN OLEH IMAN 

1.1 DEFINISI PEMBENARAN

Menurut KUBI, kata “membenarkan” adalah membuat supaya benar; meluruskan; membetulkan, memperbaiki, mengatakan benar, menganggap benar. Pembenaran itu sendiri berarti proses, perbuatan, cara membenarkan. 

Menurut Kamus Teologi, justification adalah anugerah penyelamatan berupa pembenaran membuat manusia berkenan dan diterima oleh Allah. Pembenaran datang karena iman akan Yesus Kristus (Roma 1:17; 9:30-31), bukan dari pekerjaan hukum (Roma 3:28; Galatia 2:16).Sementara dalam Kamus Alkitab, kata kerja ‘membenarkan’ lebih berkenaan dengan pemulihan hubungan, daripada menjadikan, atau seolah-olah menjadikan sifat yang baru.

Istilah “pembenaran” dan kata kerja “membenarkan” mempunyai arti “masuk ke dalam suatu hubungan yang benar dengan Allah”, atau juga “dijadikan benar di hadapan pandangan Allah”. Ajaran pembenaran dilihat sebagai berhubungan dengan pertanyaan tentang apa yang harus dilakukan oleh seorang individu supaya diselamatkan. Pertanyaan ini di sepanjang sejarah gereja masih terus diperdebatkan bahkan mengalami kekacauan.

Mengapa? Menurut McGrath ada beberapa faktor yang menyebabkannya.

Pertama, tidak adanya pengumuman resmi dari gereja mengenai masalah ini selama lebih dari seribu tahun.

Kedua, ajaran mengenai pembenaran tampaknya telah menjadi topik perdebatan yang disukai di antara teolog-teolog periode akhir Abad Pertengahan dengan hasil bahwa sejumlah pendapat yang tidak proporsional atas persoalan itu masuk ke dalam peredaran.

Menurut Thiessen, dari pembawaannya, setiap orang bukan saja merupakan anak si jahat, tetapi juga seorang yang melakukan pelanggaran dan kejahatan (Roma 3:23; 5:6-10; Efesus 2:1-3; Kolose 1:21; Titus 3:3). Ketika dilahirkan kembali maka seseorang menerima hidup dan perangai yang baru; ketika mengalami pembenaran, ia menerima kedudukan yang baru. Pembenaran dapat dijelaskan sebagai tindakan Allah yang menyatakan sebagai benar orang yang percaya kepada Kristus. 

Menurut Ladd, “Pokok gagasan pembenaran ialah penyataan Allah, hakim yang adil, bahwa orang yang percaya kepada Kristus, sekalipun penuh dengan dosa, dinyatakan benar – dipandang sebagai benar, karena di dalam Kristus orang tersebut telah memasuki suatu hubungan yang benar dengan Allah”.

Pembenaran merupakan suatu tindakan deklaratif, bukanlah sesuatu yang dikerjakan di dalam manusia, tetapi sesuatu yang dinyatakan tentang manusia. Pembenaran tidak menjadikan seseorang benar, tetapi hanya menyatakan dia benar. 

Menurut Thiessen, ada beberapa hal yang tecakup dalam pembenaran: 

(1) pembenaran adalah penghapusan hukuman. Artinya, hukuman yang seyogianya dikenakan kepada manusia telah ditiadakan oleh dan di dalam kematian Kristus, yang menanggung hukuman dosa-dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib (Yesaya 53:5-6; 1 Petrus 2:24). 

(2) Pembenaran adalah pemulihan hubungan baik. Artinya orang yang telah dibenarkan kini menjadi sahabat Allah (2 Tawarikh 20:7; Yakobus 2:23). 

(3) Pembenaran adalah penghitungan kebenaran. Dihitung artinya dianggap sebagai atau dimasukkan dalam bilangan. Yang dimasukkan bukanlah kebenaran sebagai sifat Allah, tetapi yang diperhitungkan ialah kebenaran yang disediakan Allah bagi mereka yang percaya kepada Kristus. Oleh karena itu, orang yang telah dibenarkan itu telah diampuni dosanya dan telah dihapus hukumannya; ia juga telah memperoleh kembali hubungan baik dengan Allah melalui penghitungan kebenaran Kristus.

1.2 DASAR ALKITABIAH AJARAN PEMBENARAN OLEH IMAN

Pembenaran bukan hanya merupakan salah satu manfaat yang besar dari kematian Kristus, tetapi juga merupakan ajaran yang pokok dalam kekristenan, karena hal itu membedakan kekristenan sebagai agama anugerah dan iman. Dan anugerah dan iman merupakan dasar dalam ajaran tentang pembenaran.

Kata yang dipergunakan untuk “membenarkan” di dalam Perjanjian Lama (PL) adalah hitsdik (Ibrani), yang dalam sebagian besar pemakaiannya berarti “secara yuridis mengumumkan bahwa keadaan seseorang selaras dengan tuntutan hukum” (Keluaran 23:7; Ulangan 25:1; Amsal 17:15; Yesaya 5:23). Artinya, kata pembenaran itu lebih bersifat hukum. Kata kerja lainnya adalah qdx (tsadaq). Istilah ini lebih bersifat religius daripada etis. Kata kerja ini artinya “sesuai dengan tolok-ukur yang diberikan”; dalam bentuk hiphil kata kerja ini artinya “menyatakan sebagai benar atau membenarkan”.

Kata yang digunakan dalam Perjanjian Baru (PB) lebih variatif seperti: 

(1) ‘dikaio-o’yang berarti “menyatakan bahwa seseorang benar” dan kadang-kadang juga dipakai untuk menunjuk suatu pernyataan pribadi sesuai menurut hukum (Matius 12:37; Lukas 7:29; Roma 3:4). 

(2) ‘Dikaios’ . Kata ini dipakai dalam kaitan dengan manusia jika manusia dalam penilaian Tuhan mempunyai hubungan yang sesuai dengan hukum. 

(3) ‘Dikaiosis’ , pembenaran yang dijumpai di dua tempat, yaitu Roma 4:25, 5:18 yang menunjukkan tindakan Tuhan yang menyatakan bahwa manusia bebas dari kesalahan dan dapat diterima oleh-Nya. Berdasarkan data tersebut, maka pembenaran dalam PB merupakan tindakan Allah yang bersifat hukum atau menyatakan kita benar seperti halnya keputusan hakim yang membebaskan seorang terdakwa.

Membenarkan berarti menyatakan benar. Baik kata Ibrani (tsadaq) maupun kata Yunani (dikaio-o) berarti mengumumkan putusan yang menyenangkan, menyatakan benar. Konsep ini tidak berarti menjadikan benar, tetapi menyatakan kebenaran. Hal itu merupakan konsep dalam persidangan, sehingga membenarkan berarti memberikan putusan benar. Perhatikan perbedaan antara membenarkan dan menyatakan salah dalam Ulangan 25:1; 1Raja-raja 8:32; dan Amsal 17:15. 

Sama halnya seperti menyatakan salah tidak membuat seseorang jahat, demikian pula menyatakan benar tidak menjadikan seseorang benar. Namun demikian, mempersalahkan atau membenarkan itu berarti mengumumkan keadaan yang benar dan sesungguhnya dari orang itu. Akan tetapi, orang yang jahat memang sudah jahat pada waktu putusan hukuman diumumkan. Demikian juga, orang yang benar memang sudah benar pada waktu putusan pembenaran diumumkan.

Dalam Perjanjian Baru (PB), pembenaran oleh iman ini kita temukan dalam perumpamaan Tuhan Yesus tentang orang Farisi dan pemungut cukai (Lukas 18:9-14). Orang Farisi dan pemungut cukai pergi ke Bait Allah untuk berdoa. Orang Farisi bangga dan sombong terhadap apa yang telah diperolehnya, mengucap syukur kepada Allah atas kekudusan dan moralitasnya yang baik. Hal yang kontras, pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini. 

Yesus menyimpulkan bahwa tindakan pemungut cukai ini disebut sebagai dedikaiomenos (perfek pasif dari dikaio-o). Kata Yunani dedikaiomenos dalam Lukas 18:14 diterjemahkan bervariasi: “justified” (KJV/AV; RV; RSV), “justified before God” (NIV), “acquitted of sins” (NEB), “at rights with God” (JB), “in the right with God” (TEV) dan “orang yang dibenarkan Allah” (LAI).

Dalam Perjanjian Lama (PL), kata yang digunakan untuk menerjemahan sdq (bahasa Ibrani) adalah kata Yunani dikaioo. Para ahli menyetujui kata ini dikaitkan dengan keadilan di dalam perjanjian yang Allah buat dalam pemilihan umat Israel. Dikaioomerujuk pada hukum tanah dan tradisi dalam penafsiran mereka. Dalam kenyataan,tidak ada kata di dalam PL Ibrani yang secara harfiah berarti “sebuah pengadilan” (a court). Kata yang biasa digunakan adalah “pintu kota” (the gate of the city). Kata Ibrani sdq berarti “menjadi benar” atau “menyatakan menjadi benar”.

Dalam tulisan-tulisan Paulus, pembenaran oleh iman ditemukan dalam surat Galatia dan Roma, namun masih ditemukan juga dalam tulisan-tulisan lainnya seperti dalam Filipi 3:9-11 dan Titus 3:3-7. Ajaran pembenaran oleh iman bukanlah berita yang aktual yang harus dikhotbahkan kepada orang kafir oleh Paulus. Namun, pembenaran oleh iman ini merupakan penjelasan bagaimana Injil didasarkan pada tema-tema PL mengenai kebenaran Allah dan iman manusia. Ajaran pembenaran oleh iman ini ditujukan Paulus kepada orang kafir di Galatia. 

Menurut Paulus, pembenaran manusia di dalam Allah tidak tergantung pada banyaknya atau sedikitnya ia mematuhi hukum Taurat; manusia dibenarkan oleh anugerah semata-mata. Manusia tidak dapat mengusahakan sendiri anugerah itu, tetapi harus menerimanya dari kasih Allah di dalam Yesus Kristus. Bagi Paulus, iman bukanlah suatu perbuatan, melainkan sebaliknya penerimaan anugerah Allah dalam Yesus Kristus (bnd. Roma 1:6-7) dan dengan demikian justru iman itulah merupakan inti dan sumber dari kehidupan rohani, termasuk perbuatan-perbuatan (bnd. Roma 9:31-10:3). 

Maksud Allah membenarkan manusia oleh karena iman (Roma 3:30; Galatia 3:8) adalah bahwa Ia menerima manusia, bukan karena manusia itu beriman (karena manusia itu benar), melainkan karena kebaikan-Nya sendiri. Kebenaran manusia bukanlah dasar bagi kebenaran Allah. Sebaliknya kebenaran Allah adalah kesempatan bagi manusia untuk menerima (= percaya kepada) kebenaran Allah itu. 

Dengan membenarkan manusia yang berdosa, Allah tidak berarti membenarkan dosa manusia itu sendiri. Kebenaran oleh iman bukanlah asuransi hidup kekal, melainkan kesempatan baru yang diberikan Allah kepada manusia yang dilumpuhkan dosa, untuk hidup sebagai anak-anak-Nya.

Dalam surat Roma, secara ringkas dapat dikatakan, ajaran Paulus tentang pembenaran didasarkan pada kenyataan bahwa semua manusia telah berdosa dan kehilangan kemuliaan Allah (Roma 3:23), entah dia adalah orang Yahudi atau bukan, dan oleh anugerah-Nya telah dibenarkan dengan cuma-cuma melalui penebusan dalam Yesus Kristus (3:24). 

Karena itulah dalam ayat 21 dikatakan bahwa tanpa hukum Taurat pembenaran Allah telah dinyatakan, seperti yang disaksikan dalam Kitab Taurat dan Kitab-kitab Para Nabi. Dasar untuk memperolehnya bukanlah perbuatan tetapi berdasarkan iman (3:27), karena manusia dibenarkan karena iman, bukan karena melakukan hukum Taurat (3:28). 

Mengenai iman, Paulus tidak memberikan rumusan pengertian yang eksplisit. Van den End mengatakan bahwa makna dari kata “iman” dalam pengajaran Paulus ini baru dapat dilihat sepenuhnya jika dipertentangkan dengan “perbuatan hukum Taurat”. Keselamatan melalui hukum Taurat akan berpasangan dengan sikap manusia yang berusaha memenuhi tuntutan Taurat itu. 

Sedangkan keselamatan tanpa hukum Taurat berpasangan dengan sikap yang sama sekali lain, yaitu sikap manusia yang mengharapkan keselamatan sepenuhnya dari rahmat Allah saja. Itulah iman. Mengenai perbuatan, Rasul Paulus sangat pesimis terhadap setiap upaya manusia untuk melakukan setiap tuntutan 

Hukum Taurat. Dalam ayat 20, dengan tegas Rasul Paulus menyatakan bahwa tidak seorang pun yang dapat dibenarkan di hadapan Allah karena melakukan hukum Taurat. Justru oleh hukum Taurat orang mengenal dosa. Ajaran Rasul Paulus ini sebenarnya merupakan refleksi dari perjalanan kehidupannya, sekaligus menjadi keyakinannya. Bagaimanapun juga, dalam keadaan yang sangat jauh dari iman kepada Kristus bahkan menjadi penganiaya jemaat, dia diterima oleh Allah untuk perkerjaan Pemberitaan Injil. 

Perbuatan-perbuatan yang dulu dianggapnya baik karena didasarkannya pada ketaatan kepada Taurat, justru menjadi suatu hal yang dianggapnya sebagai suatu hal yang tidak berguna. Manusia dibenarkan oleh iman, artinya kita boleh memiliki damai dengan Allah karena kita percaya dengan segenap hati, bahwa apa yang Yesus katakan kepada kita tentang Allah adalah benar. 

Roma 1:16-17 berbunyi: “Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya. Sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada tertulis, orang benar akan hidup oleh iman”. Kebenaran Allah adalah tindakan Allah yang mendirikan dan memelihara hubungan yang ‘benar’ antara diri-Nya dengan manusia dan antara manusia dengan sesama. Maka, kalau manusia mau memiliki kebenaran, datangnya harus dari Allah.

Di bagian lain, Yakobus memberikan kontribusi pengajaran teologis yang cukup kontroversial mengenai hubungan iman (faith), perbuatan-perbuatan baik (works) dan pembenaran (justification). Yakobus menekankan kepercayaan yang benar harus diikuti dengan perbuatan yang benar (Yakobus 2:17, 20, 26). 

Dia mengkhawatirkan tentang orang-orang yang membatasi iman hanya dengan pengakuan verbal saja (2:19) atau berpura-pura, tidak bersungguh-sungguh mengharapkan yang baik (15-16). Iman seperti ini adalah iman yang mati (17, 26) dan bebal (20) serta tidak akan bermanfaat pada hari penghakiman (14). Iman seperti ini, diakui oleh banyak orang yang tidak sama dengan iman yang diajarkan oleh Yakobus. Yakobus melihat iman sebagai sebuah keyakinan, ketetapan hati yang tidak terselubung bagi Allah dan Kristus (2:1) yang diuji dan disaring dengan pencobaan-pencobaan (1:2,4) dan yang mengandung berkat Allah dalam doa (1:5-8; 5:14-18).

Adalah salah jika menganggap konsep iman milik Yakobus sebagai bagian lain atau berbeda dengan ajaran Paulus atau Kristen. Sebaliknya, ajaran Paulus dan Yakobus sepakat dan saling melengkapi. Sebagaimana Paulus sendiri mengatakan di Galatia 5:6, “hanya iman yang bekerja oleh kasih” yang berkenan kepada Allah, dan Yakobus mencatat, “iman tanpa perbuatan adalah mati”. 

Di sisi lain, Yakobus dan Paulus dianggap tidak sepakat: mengajarkan iman sebagai syarat pembenaran. Paulus menekankan bahwa, iman saja cukup untuk membenarkan: “karena kami yakin, bahwa manusia dibenarkan karena iman, dan bukan karena ia melakukan hukum Taurat” (Roma 3:28). Sedangkan, Yakobus mengklaim bahwa, “manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman” (Yakobus 2:24). 

Beberapa orang telah melihat dua perspektif ini sebagai kontradiksi, dan menganggapnya sebagai dua reprensentasi permasalahan doktrin keselamatan dalam gereja perdana. Padahal dalam pengertian yang sebenarnya tidaklah seradikal itu. Berdasarkan konteks masing-masing, dan dengan berhati-hati memperhatikan penggunaan istilah-istilah kunci yang mereka gunakan, maka kita dapat dengan mudah mengharmoniskan kedua pandangan ini.

Pertama, Paulus dan Yakobus mengkombinasikan dua permasalahan yang berbeda. Paulus mempertentangkan suatu kecenderungan orang Yahudi yang mengandalkan Hukum Taurat untuk keselamatan. Sedangkan, Yakobus berjuang melawan sikap yang membelokkan doktrin ortodoks; oleh iman saja. Secara wajar, apa yang mereka katakan dalam kasus ini merupakan dua perspektif yang berbeda.

Kedua, Paulus mengklaim bahwa seseorang tidak dapat dibenarkan atas dasar perbuatan hukum yang menyebutkan bahwa pekerjaan baik yang mendahulu pertobatan. Sedangkan Yakobus berbicara tentang pekerjaan baik yang berasal dan dihasilkan oleh iman: pekerjaan baik didahului oleh pertobatan. Pekerjaan baik yang dilakukan sebagai akibat dari iman di dalam Kristus.

Ketiga, yang paling penting di sini adalah masalah pembenaran (justification). Dalam membicarakan tentang pembenaran ini, Paulus dan Yakobus sedang berbicara tentang dua hal yang berbeda. Paulus menggunakan kata kerja bahasa Yunani, dikaioo, justify, untuk menggambarkan dinamika aktivitas rahmat Allah yang memberikan kepada orang berdosa sebuah status baru. Status baru bagi orang berdosa ini didasarkan pada kesatuan orang berdosa dengan Kristus melalui iman. 

Oleh sebab itu, menurut Paulus, dikaioo adalah sebuah tema yang merujuk kepada pemindahan seseorang dari kuasa dosa dan kematian ke dalam kuasa kekudusan dan kehidupan. Sedangkan Yakobus menggunakan istilah dikaioo, dengan arti yang didukung dalam Perjanjian Lama, dalam sumber-sumber Yahudi, dan di dalam Injil Matius (misalnya, di 12:37). 

Yakobus merujuk kepada sebuah keputusan yang didasarkan pada fakta-fakta dan kasus-kasus aktual: Allah membenarkan seseorang berdasarkan perbuatan yang berdasarkan iman. Paulus melihat pada permulaan kehidupan Kristen. Sedangkan, Yakobus melihat akhir kehidupan Kristen. 

Paulus membuat menjelaskan bahwa oleh iman saja kita masuk ke dalam sebuah persekutuan dengan Allah. Sedangkan Yakobus mengajarkan bahwa persekutuan atau hubungan dengan Allah itu diteguhkan dan ditunjukkan dengan perbuatan yang keluar dari iman inilah yang akan digunakan oleh Allah pada saat penghakiman terakhir sebagai bukti dari kemurnian kesatuan kita dengan Kristus.

1.3 PANDANGAN AUGUSTINUS DAN THOMAS AQUINAS TENTANG AJARAN PEMBENARAN OLEH IMAN

Ajaran Protestan khususnya Luther tentang pembenaran oleh iman pada dasarnya tidak terlepas dari pengaruh ajaran Augustinus dari Hippo atau para teolog-teolog lain pada Abad Pertengahan. Hal ini dibuktikan oleh G.S.Faber dalam karyanya The Primitive Doctrine of Justification (1837) yang mengklaim bahwa pengajaran Protestanisme memiliki substansi yang sama dengan pengajaran Yunani mula-mula dan Bapa-bapa Gereja Latin.

Misalnya saja Augustinus, dia mengerti bahwa kata ‘membenarkan’ (‘to justify’) berarti ‘memegang’ (‘to hold just’) atau ‘menghitung’ (‘to account just’).Dalam bukunya Confessiones, Augustinus membahas banyak hal tentang keterbatasan kebebasan manusia dan perlunya rahmat ilahi.Pandangan Augustinus tentang keselamatan (rahmat) hanya dapat dipahami kalau mengingat pandangannya mengenai dosa, yakni sebagai suatu kuasa yang mengurung, membelenggu dan memperbudak manusia. Kuasa dosalah yang disebut “dosa asal”. 

Karena dosa Adam, manusia sudah masuk ke dalam lingkaran setan yang mengurungnya. Artinya, apa saja yang secara konkret diperbuat oleh manusia, hanya mengukuhkan saja perbudakannya terhadap dosa, biarpun perbuatan konkret itu dilakukannya secara bebas dan atas tanggung jawab sendiri. Dari dirinya sendiri manusia tidak dapat keluar dari lingkaran ini. Secara harfiah manusia berada dalam kuasa setan. Yang dapat menyelamatkan manusia dari kuasa dosa itu hanyalah Allah. 

Dan, Allah memang membebaskan manusia dari “lingkaran setan” itu. Tindakan Allah itulah yang oleh Augustinus disebut “rahmat”. Istilah rahmat dipakainya karena tindakan Allah itu bukan karena jasa atau hak manusia, melainkan semata-mata karena anugerah bebas dari Allah yang diberikan-Nya dengan cuma-cuma. Dari dalam kebebasan cinta kasih-Nya Allah masuk ke dalam hati manusia dan mengubahnya secara radikal.

Secara ringkas pengajaran Agustinus tentang pembenaran dapat diringkas sebagai berikut: 

(1) Kebenaran Allah di dalam pengajaran Paulus bukan sebuah atribut Allah, tetapi dengan demikian Allah membenarkan dan memberikan keselamatan pada orang berdosa. Augustinus menggunakan surat Roma sebagai dasar pembenarannya (Roma 1:17; 3:21). 

(2) Membenarkan artinya membuat benar. Augustinus memutuskan bahwa justificare berarti “membuat benar”. Augustinus menyakini orang berdosa dijadikan benar di dalam pembenaran. 

(3) Pembenaran terlihat dalam keseluruhan hidup orang Kristen. Pembenaran terlihat melalui baptisan, di mana saat itu Allah mengampuni dosa. Sejak baptisan itu maka orang berdosa telah dibenarkan sepanjang perjalanan kehidupannya. 

(4) Pembenaran oleh iman dan kasih. Bagi Augustinus, untuk menerima Injil dan otoritas Gereja perlu iman, dan iman membutuhkan kasih. 

(5) Anugerah Allah mempersiapkan kehendak bebas manusia bagi pembenaran dan menguatkan kehendak bebas dalam pembenaran. Augustinus membuat pembedaan anugerah operatif dan anugerah kooperatif di dalam pembenaran orang percaya. Augustinus beranggapan setiap manusia memiliki kehendak bebas tetapi kebebasan yang sepantasnya. Manusia berdosa membutuhkan bantuan anugerah ilahi di dalam hidupnya.

Berbeda dengan Thomas Aquinas. Thomas mengajarkan Allah sebagai “ada yang tak terbatas” (ipsum esse subsistens). Allah adalah “ada yang tertinggi”, yang mempunyai keadaan yang paling tinggi. Allah adalah penggerak yang tidak bergerak. Tampak sekali pengaruh filsafat Aristoteles dalam pandangannya. 

Dunia ini dan hidup manusia terbagi atas dua tingkat, yaitu tingkat adikodrati dan kodrati, tingkat atas dan bawah. Tingkat bawah (kodrati) hanya dapat dipahami dengan mempergunakan akal. Hidup kodrati ini kurang sempurna dan ia bisa menjadi sempurna kalau disempurnakan oleh hidup rahmat (adikodrati). “Tabiat kodrati bukan ditiadakan, melainkan disempurnakan oleh rahmat,” demikian kata Thomas Aquinas.

Mengenai manusia, Thomas mengajarkan bahwa pada mulanya manusia memunyai hidup kodrati yang sempurna dan diberi rahmat Allah. Ketika manusia jatuh ke dalam dosa, rahmat Allah (rahmat adikodrati) itu hilang dan tabiat kodrati manusia menjadi kurang sempurna. Manusia tidak dapat lagi memenuhi hukum kasih tanpa bantuan rahmat adikodrati. Rahmat adikodrati itu ditawarkan kepada manusia lewat gereja. Dengan bantuan rahmat adikodrati itu manusia dikuatkan untuk mengerjakan keselamatannya dan memungkinkan manusia dimenangkan oleh Kristus.

Mengenai pembenaran, Thomas menguraikannya dalam tiga hal dalam tulisannya.

Pertama, Thomas mendiskusikannya dalam hubungannya dengan sakramen tobat dalam karyanya Commentary on the Sentences of Peter Lombard (1252 dan 1256). Permulaan pembenaran sebagai proses membuat benar dapat dilihat dalam baptisan. Restorasi pembenaran dilihat sebagai efek anugerah Allah melalui sakramen tobat.

Kedua, dalam tulisannya Quaestiones Disputate de Veritate (1256-1259). Baptisan adalah sakramen yang melaluinya pembenaran dimulai, dengan sakramen tobat dan perjamuan kudus memberikan proses pembenaran.

Dan ketiga, diskusi yang matang tentang topik ini diulasnya dalam Summa Theologiae (Blackfriars edition, vol. 30).Dalam buku ini, Thomas secara ringkas menjelaskan: 

(1) anugerah diberikan kepada manusia dari luar manusia sebagai hasil pekerjaan Roh Kudus yang bekerja di dalam nama Yesus Kristus. 

(2) Anugerah dimasukkan ke dalam esensi jiwa dan tinggal di dalamnya. 

(3) Anugerah tidak perlu bagi manusia untuk memenuhi tujuannya di dalam kodratnya sebagai manusia, tetapi penting bagi manusia untuk memperoleh hidup yang kekal. Mengenai pembenaran, Thomas berkeyakinan bahwa Anugerah sekaligus membenarkan dan menguduskan orang berdosa. Pembenaran orang yang tidak benar adalah akibat operatif anugerah. Allah sendiri yang membuat proses pembenaran itu. Allah adalah Pemindah supernatural, dan orang yang tidak benar dipindahkan-Nya menjadi baik. 

Dikatakan pembenaran sebab pembenaran adalah proses orang berdosa menjadi memliki kebenaran supernatural. Dengan memperhatikan pembenaran sebagai proses atau perpindahan, pembenaran boleh dikatakan memiliki empat unsur logika yang membedakan yakni: “pembangkitan anugerah” (the infusion of grace), perpindahan pemilihan bebas langsung kepada Allah oleh iman, perpindahan pilihan bebas langsung kepada dosa, dan pengampunan dosa. Lebih dalam Thomas beranggapan, di dalam proses pembenaran baptisan Kristen memperoleh keuntungan akibat operatif anugerah (gratia cooperans).

1.4 PANDANGAN PROTESTAN TENTANG AJARAN PEMBENARAN OLEH IMAN

Pandangan Protestan tentang pembenaran oleh iman ini lahir dari hasil pergumulan dari para reformator atas doktrin yang dipahami GKR dan para Bapa-bapa Gereja. Tema besar pertama dari pemikiran Reformasi adalah ajaran tentang pembenaran oleh iman. Rumusan doktrin pembenaran ini banyak ditemukan dalam dokumen-dokumen Reformasi seperti dalam Buku Konkord, Luther’s Work, Rumus Konkord, Konfesi Augusburg, Institutio, Katekismus Heidelberg, Pengakuan Iman Reformasi (1561), dan lain sebagainya.

Dokumen-dokumen tersebut membahas doktrin pembenaran oleh iman. Misalnya, dalam Konfesi Augsburg disebutkan, kita tidak dapat memperoleh pengampunan dosa dan kebenaran di hadapan Allah dengan kebaikan, perbuatan baik atau kekudusan kita, melainkan kita menerima pengampunan dosa dan menjadi benar di hadapan Allah hanya oleh anugerah, demi Kristus melalui iman, ketika kita percaya bahwa Kristus menderita bagi kita dan demi dosa kita agar kita memperoleh kehidupan yang kekal. 

Buku Konkord (The Book of Concord) mengatakan, manusia yang berdosa dibenarkan di hadapan Allah dan diselamatkan semata-mata hanya oleh iman dalam Yesus Kristus sendiri sehingga hanya Kristus sajalah kebenaran kita. Ia adalah Allah dan manusia yang sesungguhnya karena di dalam Dia hakikat ilahi dan manusia dipadukan yang satu dengan yang lain (Yeremia 23:6; 1 Korintus 1:30; 2 Korintus 5:21). 

Lebih lanjut dikatakan, kebenaran manusia semata-mata hanya oleh anugerah Allah, tanpa pekerjaan, jasa, atau kebajikan kita yang mendahuluinya sehingga kita diterima oleh Allah ke dalam anugerah-Nya dan kita dianggap benar. Iman adalah satu-satunya alat dan jalan untuk menerima Kristus dan di dalam Yesus Kristus kita mendapatkan “kebenaran yang menolong di hadapan Allah” dan bahwa demi Yesus Kristus iman seperti itu diperhitungkan menjadi kebenaran (Roma 4:5).

Pada awal kehidupan Luther sebagai seorang biarawan, ia dikungkungi oleh perasaan bersalah yang muncul dari dirinya sendiri dan ketidakmampuannya untuk menemukan perdamaian dengan Allah. Selama periode kehidupannya ini, ia merasa sangat terganggu dengan persoalan tentang dirinya sendiri dan tentang arti dari kalimat dalam Surat Paulus, “Orang benar akan hidup oleh iman” (Rm. 1:17). Tidak mengherankan jika Luther menyimpulkan bagian surat yang di dalamnya ia mencatat pencerahannya yang luar biasa itu dengan ungkapan:

Kalau kamu mempunyai iman yang benar bahwa Kristus adalah Juruselamatmu, maka saat itu juga kamu menggapai Allah yang rahmani karena iman menuntun kamu masuk dan membukakan hati dan kehendak Allah sehingga kamu akan melihat anugerah yang murni dan kasih yang meluap. Hal ini adalah untuk melihat Allah dalam iman sehingga kamu akan memandang hati-Nya yang ramah, kebapaan, yang di dalamnya tidak ada kemurkaan maupun ketidakramahan. Ia yang melihat Allah sebagai yang murka tidak melihat Dia secara benar, tetapi melihat hanya melalui tirai, seolah-olah awan gelap telah turun melintasi wajah-Nya.

Pandangan Luther tentang pembenaran ini dimulai dalam kuliah-kuliah yang disampaikannya kepada mahasiswanya. Pada mulanya Luther adalah seorang pengikut yang setia dari pandangan via moderna. Allah telah mendirikan suatu perjanjian (pactum) dengan manusia. Melalui perjanjian itu Allah wajib membenarkan siapa saja yang mencapai persyaratan minimum tertentu (quod in se est). Akibatnya, Luther mengajarkan bahwa Allah memberikan anugerah-Nya kepada orang yang rendah hati sehingga semua orang yang merendahkan hatinya di hadapan Allah dapat mengharapkan untuk dibenarkan seperti yang sudah selayaknya. 

Oleh karena orang-orang berdosa melihat kebutuhan mereka akan anugerah dan datang kepada Allah agar Ia mengaruniakannya, maka ini berarti menempatkan Allah di bawah kewajiban untuk melakukan hal itu, dengan demikian membenarkan orang berdosa. Dengan kata lain, orang-orang berdosa memegang inisiatif, dengan datang kepada Allah: orang berdosa dapat melakukan sesuatu yang memberikan keyakinan bahwa Allah menjawab dengan membenarkan dia.

Menurut Luther, iman yang benar membenarkan kita tanpa hukum Taurat dan perbuatan baik melalui anugerah Allah yang nyata di dalam diri Yesus Kristus (LW.25). Perbuatan baik sama seperti buah pohon. Buah pohon yang baik tidak membuat pohon yang baik, maka perbuatan baik tidak bisa membenarkan seseorang. Tetapi perbuatan baik datang dari orang yang telah dibenarkan oleh iman sama seperti buah pohon yang baik berasal dari pohon yang telah tumbuh dengan baik (LW. 35-36). Luther mengajarkan bahwa perbuatan baik tidak berbagian dalam keselamatan. 

Perbuatan baik merupakan hasil atau buah dari keselamatan, tetapi tidak pernah bagian keselamatan. Bagi Lutheran, Hukum Taurat tidak dapat membebaskan kita dari dosa atau kebenaran kita, tetapi janji pengampunan dosa dan pembenaran telah diberikan oleh sebab Kristus. Dia telah diberikan kepada kita untuk mengadakan penebusan dosa duni ini dan telah dipilih sebagai perantara dan juru damai. Janji ini tidak bersyaratkan jasa kita, melainkan pengampunan dosa dan pembenaran diberikan dengan cuma-cuma. 

Seperti Paulus berkata, “Tetapi jika hal itu terjadi karena kasih karunia, maka bukan lagi karena perbuatan, sebab jika tidak demikian, maka kasih karunia itu bukan lagi kasih karunia” (Rm.11:6). Pendamaian tidak terletak pada jasa kita karena jika hal itu terletak pada jasa kita, maka hal itu menjadi tak berguna (Apol.IV.40-42). Pembenaran itu bukan persetujuan terhadap satu lakon (perbuatan) yang tertentu melainkan terhadap pribadi itu keseleluruhan… Kita dibenarkan bila kita berpegang kepada Kristus, Juru-damai, dan percaya bahwa demi Dia, Allah bermurah hati kepada kita. Jangan diharapkan pembenaran tanpa Kristus, Juru-damai itu (Apol.IV. 222).

Lebih dalam Luther mengatakan bahwa dalam pembenaran, Allah adalah aktif, dan manusia adalah pasif. Ungkapan “pembenaran oleh anugerah melalui iman” (sola fide) memberikan arti dari ajaran itu dengan lebih jelas; pembenaran orang berdosa didasarkan atas anugerah dan diterima melalui iman. Luther berkata, “Anugerah Allah yang membenarkan kita demi Kristus hanya melalui iman, tanpa perbuatan-perbuatan baik, sedangkan iman dalam pada itu berlimpah dalam perbuatan-perbuatan baik”. 

Artinya ajaran tentang pembenaran hanya oleh iman merupakan suatu penegasan bahwa Allah melakukan segala sesuatu yang perlu untuk keselamatan. Bahkan iman itu sendiri adalah pemberian Allah, bukan perbuatan manusia. Keyakinan Luther bahwa keselamatan hanya diperoleh berdasar kasih karunia melalui iman (sola gratia dan sola fide), diungkapkan dengan jelas di dalam penafsiran dan pengandalan gereja-gereja Lutheran atas Alkitab, dan dalam cara mereka merayakan Perjamuan Kudus. Di dalam pemberitaan Firman dan pelayanan Perjamuan Kudus selalu ditekankan pengakuan dosa dan pengampunan yang disediakan Allah lewat pengorbanan Kristus.

Menurut Luther, hakikat pembenaran mengubah status sebelah luar dari orang berdosa dalam pandangan Allah (coram Deo), sedangkan kelahiran kembali mengubah sifat dasar bagian dalam dari orang berdosa itu. Bagi Luther, orang-orang berdosa mempunyai kebenaran di dalam diri mereka sendiri. Mereka tidak mempunyai apa pun di dalam diri mereka yang dapat dianggap sebagai dasar bagi keputusan yang mahamurah dari Allah untuk membenarkan mereka. “Kebenaran yang asing dari Kristus” (iustitia Christi aliena) membuat jelas bahwa kebenaran yang membenarkan orang-orang berdosa adalah di luar mereka. 

Bagi Luther, iman yang membenarkan tidak lain dari keyakinan akan kemurahan Allah yang mengampuni dosa demi Kristus. Trente sendiri sepenuhnya mengakui bahwa kehidupan Kristen dimulai melalui iman, jadi sebenarnya sangat dekat dengan pandangan Luther. Bagi Luther, seseorang dapat benar-benar yakin akan keselamatannya. Keselamatan didasarkan pada kesetiaan Allah pada janji-janji kemurahan-Nya.

Menurut Ernst Ziegler, istilah “pembenaran oleh iman” secara mencolok tidak terdapat di dalam tulisan-tulisan para reformator Swiss. Zwingli melihat Reformasi sebagai sesuatu yang mempengaruhi gereja dan masyarakat yang bersifat moral dan spiritual. Tekanan pembenaran iman tidak ditemukan dalam ajaran Zwingli. 

Namun bagi Zwingli, pembenaran iman itu cenderung untuk memperlakukan Kristus sebagai suatu teladan moral yang dari luar daripada suatu kehadiran yang pribadi sifatnya di dalam diri orang percaya. Tidak benar mengatakan bahwa Zwingli mengajarkan pembenaran oleh perbuatan dalam periode awal dari pembaruannya. Ide-ide Zwingli mengenai pembenaran iman ini lebih dekat dengan Luther. Bagi Luther, Kitab Suci menyatakan janji-janji Allah, yang memulihkan kembali dan menghiburkan orang percaya. Bagi Zwingli, Kitab Suci menyatakan tuntutan-tuntutan moral yang dibuat Allah untuk orang-orang percaya.

Bagi Bucer, pembenaran itu ada dua tahap yang dikenal dengan “pembenaran ganda” . Tahap pertama, “pembenaran orang yang tidak beriman” (iustificatio impii)yang terdiri atas pengampunan yang penuh kemurahan dari Allah atas dosa manusia (bagi Protestan: = “pembenaran”). Tahap kedua, “pembenaran orang salah” (iustificatio pii) yang terdiri atas suatu tanggapan ketaatan manusia akan tuntutan-tuntutan moral dari Injil (bagi Protestan: = kelahiran kembali). Dengan demikian, suatu hubungan kausal didirikan antara pembenaran dan kelahiran kembali. Orang berdosa tidak dapat disebut telah dibenarkan kecuali jika keduanya terjadi. 

Sedangkan menurut Calvin, iman mempersatukan orang pecaya dengan Kristus di dalam suatu “kesatuan mistis”. Persatuan dengan Kristus ini mempunyai dampak rangkap dua yang disebut sebagai anugerah ganda yakni: pertama, persatuan antara orang percaya dengan Kristus membawa secara langsung para pembenaran dirinya. Melalui Kristus orang percaya dinyatakan menjadi benar dalam pandangan Allah. Kedua, oleh karena persatuan orang percaya dengan Kristus, orang percaya itu mulai melakukan proses menjadi seperti Kristus melalui kelahiran kembali.

Pada umumnya Calvin sepakat dengan Luther dalam hal pembenaran oleh iman. Calvin juga menekankan pembenaran sebagai tindakan forensik (legal), di mana Allah mendeklarasikan orang berdosa yang percaya sebagai orang benar, suatu tindakan yang dimungkinkan berdasarkan anugerah Allah. Kontras dengan Luther, Calvin memulai doktrin keselamatan dengan pemilihan Allah atas orang berdosa. 

Calvin memahami pemilihan untuk keselamatan sebagai tanpa syarat, karena “apabila pemilihan bergantung pada iman dan perbuatan baik manusia, maka anugerah itu tidak cuma-cuma, dan pada faktanya akan berhenti menjadi anugerah“. Menurut Calvin, manusia dikatakan dibenarkan di hadapan Allah, bila ia menurut penilaian Allah dianggap benar, dan karena kebenarannya itu berkenan pada Allah. Dan dibenarkanlah barangsiapa yang tidak dianggap sebagai orang yang berdosa, tetapi sebagai orang yang benar, dan karena itu dapat bertahan di hadapan peradilan Allah, tempat semua orang yang berdosa tersungkur. 

Jadi, barangsiapa dalam kehidupannya menunjukkan kemurnian dan kesucian yang begitu besar di hadapan Allah, dialah yang dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya.Bagi Calvin, hanya dengan perantaraaan kebenaran Kristuslah kita dapat dibenarkan di hadirat Allah. Sama artinya bila dikatakan bahwa manusia tidak benar dalam dirinya sendiri, tetapi karena kebenaran Kristus diperhitungkan kepadanya sehingga ia mendapat bagian di dalamnya.

Doktrin keselamatan Calvin menghasilkan tonggak peringatan, di mana ia menghubungkan pembenaran dengan pengudusan. Kristus tidak membenarkan seseorang yang Ia tidak juga kuduskan. Pembenaran, menurut Calvin, menjadi motivasi seseorang untuk pengudusan. Meskipun pembenaran cuma-cuma, pengudusan menjadi respons ucapan syukur dari orang percaya.

Pembenaran dapat dijabarkan sebagai tindakan di mana orang berdosa yang tidak benar dibenarkan di hadapan Allah yang kudus dan adil. Kebutuhan utama dari orang yang tidak benar adalah kebenaran. Kebenaran yang tidak dimiliki inilah yang disediakan oleh Kristus kepada orang berdosa yang percaya. Pembenaran berdasarkan iman saja berarti pembenaran yang terjadi oleh karena usaha Kristus semata-mata, bukan karena kebaikan kita atau perbuatan-perbuatan baik kita.

Fokus dari perihal pembenaran terletak pada pertanyaan usaha dan anugerah atau kasih karunia. Pembenaran berdasarkan iman berarti usaha yang kita lakukan tidak cukup baik untuk menghasilkan pembenaran. Paulus menyatakan sebagai berikut: “Sebab tidak seorangpun yang dapat dibenarkan di hadapan Allah oleh karena melakukan hukum Taurat, karena justru oleh hukum Taurat orang mengenal dosa” (Roma 3:20). Pembenaran adalah forensik, yaitu kita dinyatakan, diperhitungkan atau dianggap benar pada waktu Allah mengaruniakan kebenaran Kristus pada diri kita. Kondisi yang dibutuhkan untuk ini adalah iman.

Teologi Protestan mengakui bahwa iman merupakan alat yang menyebabkan pembenaran, dengan demikian iman merupakan alat di mana karya Kristus teraplikasi di dalam diri kita. Teologi Katolik Roma mengajarkan bahwa baptisan merupakan penyebab utama untuk pembenaran dan bahwa sakramen pengakuan dosa merupakan penyebab kedua, dalam kaitan dengan pemulihan. (Teologi Katolik Roma melihat pengakuan dosa sebagai tingkat kedua dari pembenaran bagi mereka yang telah menghancurkan jiwa mereka, yaitu mereka yang telah kehilangan anugerah pembenaran karena melakukan dosa yang fatal, seperti membunuh). 

Sakramen pengakuan dosa menuntut usaha pemuasan di mana umat manusia mencapai usaha yang dibutuhkan untuk mendapatkan pembenaran. Pandangan Katolik Roma menerima bahwa pembenaran berdasarkan iman, tetapi menyangkali bahwa pembenaran itu hanya berdasarkan iman. Dengan kata lain, perbuatan-perbuatan baik perlu ditambahkan untuk dapat dibenarkan.

Iman yang membenarkan adalah iman yang hidup, bukan iman pengakuan yang kosong. Iman merupakan kepercayaan yang bersifat pribadi yang bergantung kepada Kristus saja untuk keselamatan. Iman yang menyelamatkan juga merupakan iman pertobatan yang menerima Kristus sebagai Juruselamat dari Tuhan.

Alkitab mengatakan bahwa kita tidak dibenarkan oleh karena perbuatan- perbuatan baik kita, tetapi dengan apa yang diberikan kepada kita berdasarkan iman, yaitu kebenaran Kristus. Sebagai sintesis, sesuatu yang baru ditambahkan pada sesuatu yang dasar. Pembenaran kita merupakan sintesis, oleh karena kita memiliki kebenaran Kristus yang ditambahkan kepada kita. 

Pembenaran kita adalah berdasarkan imputasi (pelimpahan), yang artinya Allah memindahkan kebenaran Kristus kepada kita berdasarkan iman. Ini bukan merupakan “legal yang bersifat fiksi.” Allah telah melimpahkan kepada kita karya Kristus yang nyata, dan sekarang kita telah menerima karya-Nya. Ini merupakan pelimpahan yang nyata.

2. PANDANGAN KATOLIK TENTANG AJARAN PEMBENARAN OLEH IMAN

Ajaran pembenaran oleh iman di kalangan Katolik baru mulai dibicarakan setelah keluarnya ajaran Luther tentang pembenaran hanya oleh iman (sola fide). Mengapa Katolik menaruh perhatian atas ajaran pembenaran ini? 

Menurut Schmidt, setidaknya ada tiga alasan yakni: 

Pertama, pembenaran membutuhkan sebuah internalisasi kehidupan keagamaan, yang secara tajam berbeda dari bentuk eksistensi orang Kristen. 

Kedua, pembenaran memperbaiki aturan ilahi di dalam pembenaran, melawan kecenderungan pemusatan pada aturan manusia. 

Dan ketiga, pembenaran diperhitungkan sebagai sebuah deklarasi yang tersembunyi atas perang kepausan Roma. Sangat sedikit dokumen yang dipublikasikan Katolik yang membicarakan ajaran ini periode 1520-1545, misalnya karya Tommaso de Vio Cajetan, De fide et operibus (1532).

Menurut pemahaman GKR, rahmat Roh Kudus mempunyai kekuatan untuk membenarkan manusia, artinya Roh Kudus membersihkan dan memberikan kepada manusia “kebenaran Allah karena iman dalam Yesus Kristus“ (Roma 3:22) melalui Pembaptisan. Karya pertama rahmat Roh Kudus adalah pertobatan yang menghasilkan pembenaran. 

Manusia digerakkan oleh rahmat supaya mengarahkan diri kepada Allah dan menjauhkan diri dari dosa. Dengan demikian manusia menerima pengampunan dan pembenaran dari atas. Inilah unsur-unsur dari “pembenaran itu sendiri, yang bukan hanya pengampunan dosa, melainkan juga pengudusan dan pembaharuan manusia batin” (Konsili Trente: DS 1528). 

Pembenaran melepaskan manusia dari dosa, yang berlawanan dengan kasih kepada Allah dan memurnikan hatinya. Pembenaran terjadi karena prakarsa-prakarsa kerahiman Allah yang menawarkan pengampunan. Pembenaran mendamaikan manusia dengan Allah, membebaskannya dari kuasa dosa dan menyembuhkannya.

Pembenaran serentak berarti bahwa orang menerima kebenaran Allah melalui iman akan Yesus Kristus. “Kebenaran” menyatakan keluhuran kasih ilahi. Pembenaran diperoleh bagi kita melalui sengsara Kristus, yang menyerahkan Diri di salib sebagai persembahan yang hidup, kudus, dan berkenan kepada Allah dan yang darah-Nya telah menjadi alat pemulih bagi dosa semua manusia. Pembenaran itu diberikan kepada manusia melalui Pembaptisan dan Sakramen iman. Tujuan pembenaran itu sendiri adalah untuk kemuliaan Allah dan Kristus demikian juga kehidupan abadi (Konsili Trente: DS 1529).


Lebih jauh menurut pemahaman Katolik, pembenaran mendasari satu kerja sama antara rahmat Allah dan kebebasan manusia. Ia terungkap dalam kenyataan bahwa manusia dengan percaya menerima Sabda Allah, yang mengajaknya untuk bertobat dan bahwa ia bekerja sama dalam kasih dengan dorongan Roh Kudus, yang mendahului persetujuan kita dan menopangnya. Katolik mengakui, pembenaran adalah karya kasih Allah yang paling agung. 

Ia diwahyukan dalam Yesus Kristus dan diberikan oleh Roh Kudus. Santo Augustinus beranggapan bahwa “pembenaran seorang yang hidup tanpa Allah adalah karya yang jauh lebih besar daripada penciptaan langit dan bumi”, karena “langit dan bumi akan lenyap, sementara keselamatan dan pembenaran orang terpilih akan tetap tinggal”. Malahan Augustinus berpendapat, pembenaran orang berdosa melampaui penciptaan para malaikat dalam kebenaran, karena ia memberi kesaksian mengenai kerahiman yang lebih besar lagi.

Bagi Katolik, pembenaran “bukanlah hanya suatu pengampunan dosa tetapi juga penyucian dan pembaruan kembali dari batin seseorang melalui penerimaan yang sukarela dari anugerah dan pemberian yang menyebabkan seseorang yang tidak benar menjadi seorang yang benar”. Pembenaran sangat erat dihubungkan dengan sakramen baptisan dan penebusan dosa. Orang berdosa mula-mula dibenarkan melalui baptisan: namun, oleh karena dosa, pembenaran itu dapat hilang. Walaupun demikian, pembenaran itu dapat dibarui kembali dengan sakramen penebusan dosa.PEMAHAMAN AJARAN PEMBENARAN IMAN ANTARA PROTESTAN DAN KATOLIK
Next Post Previous Post