BUKU MENDIDIK ANAK DALAM TUHAN

Pdt. Kalis Stevanus, M.Th. 
BUKU MENDIDIK ANAK KRISTEN DALAM TUHAN

1.1 FAKTA DUNIA HARI INI DAN YANG AKAN DATANG

Kita harus menerima kenyataan bahwa dunia hari ini tidak akan semakin baik justru semakin bobrok, merosot moralnya seperti ada tertulis di 2 Timotius 3:1-4). Apa yang dikatakan Alkitab tidak dapat dibantah, bahwa dunia hari ini akan semakin sekuler, duniawi di mana kebanyakan orang hanya sibuk mempersoalkan masalah duniawi daripada kekekalan.

Alkitab sudah memperingatkan bahwa pergaulan buruk merusakkan kebiasaan baik yang dibangun sekian tahun lamannya (1 Korintus 15:33). Segalanya yang telah diberikan orangtua kepada anak baik ajaran, pendidikan, biaya dan sebagainya, semuanya bisa menjadi rusak oleh pengaruh pergaulan buruk.

Pergaulan buruk bukan hanya dengan sesama, tetapi juga bisa terjadi lewat bacaan, tontonan, musik, dan lain sebagainya. Biarlah kegentingan dunia hari ini menyadarkan para orangtua untuk lebih bersungguh-sungguh mendidik dan melindungi buah hatinya di tengah-tengah lingkungan yang semakin duniawi dan menyimpang dari jalan kebenaran.

1.2 PENDIDIKAN SENTRAL : DI KELUARGA

Keluarga terus memainkan peran kunci dalam membentuk kepribadian seorang anak. Keluarga sampai kapan pun tetap menjadi pusat/sentral di mana nilai-nilai dan pola kehidupan seseorang terbentuk (Ulangan 6:4-9). Keluarga adalah tempat seseorang belajar, dengan cara yang paling praktis dan konkrit.

Keluarga adalah tempat yang paling baik untuk pendidikan anak. Tidak ada tempat pendidikan yang lain, baik yang didirikan oleh pemerintah atau gereja, yang dapat menggantikan keluarga. Pendidikan di sekolah maupun gereja hanya membantu atau menambah apa yang kurang, yang dilakukan oleh orangtua, tetapi bukan untuk menggantikannya. Pendidikan di luar rumah hanyalah pelengkap pendidikan yang telah didasarkan di keluarga.

Orangtua diberi tugas oleh Tuhan untuk mendidik anak-anaknya seperti tertulis dalam amanat agung,”Dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu” (Matius 28:20). Paulus pun menegaskan tentang pentingnya pendidikan bagi anak di dalam keluarga,”Dan kamu, bapa- bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan” (Efesus 6:4).

Setiap keluarga yang telah menerima Tuhan Yesus wajib mewujudkan amanat agung tersebut di keluarga, yaitu dengan menjadikan keluarga sebagai tempat mendidik anak untuk takut kepada Tuhan ; hidup seperti cara hidup yang diteladankan oleh Tuhan dengan menjalankan segala sesuatu yang diperintah- Nya. Tuhan mau agar orangtua mengasuh anak-anaknya dengan pola asuh yang benar guna membawa anak mereka ke tingkat kedewasaan melalui pendidikan di keluarga sehari-hari (Ulangan 6:7). Bila orangtua bertobat dan takut akan Tuhan akan menjadi sumber kebahagiaan bagi seluruh keluarganya (Mazmur 128)

Marilah kita mendidik anak-anak kita takut akan Tuhan. Kalau orangtua tidak pernah memberikan teladan hidup yang takut Tuhan setiap hari yang dapat dilihat anak, anak akan rapuh bahkan bisa hancur hidupnya setelah dewasa. Anak akan sakit hati karena melihat orangtuanya hanya pandai memerintah, tetapi tidak melakukannya. Karena tidak mendapatkan keteladanan yang baik, kelak anak tidak punya pendirian kuat di tengah-tengah dunia yang makin buruk dan duniawi (2 Timotius 3:1-5).

1.3 KEKUATAN KELUARGA

Seorang teolog dan pemerhati keluarga, Dr. Dick Iverson mengatakan bahwa keluarga adalah batu penjuru, atas mana segala sesuatu dibangun. Sekali masyarakat membiarkan keluarga berantakan, maka masyarakat itu sendiri akan ikut runtuh. Kenyataan ini terbukti sepanjang sejarah.

Kita bisa amati hari-hari ini, merebaknya kejahatan sudah sampai tingkat yang memprihatinkan dunia. Bahkan kini narkoba mungkin sudah tidak dapat diberantas secara tuntas lagi di seluruh dunia. Pertanyaannya, adakah lembaga yang masih bisa dipercaya untuk menanggulanginya? Ada! Yaitu keluarga.

Pada zaman modern sekarang ini, semakin banyak manusia tidak menyadari bahwa lembaga keluarga adalah lembaga tertua yang dibangun oleh Allah sendiri sejak dunia dijadikan. Berbagai terpaan pencobaan datang silih berganti dari zaman ke zaman menimpa lembaga ini, namun faktanya telah teruji dan tetap tegar tak tergoyahkan dari masa ke masa. Namun pertanyaan, keluarga siapakah yang dapat dijadikan contoh hidup dalam berkeluarga di zaman modern sekarang ini? Ya, seharusnya keluarga Kristen. Marilah kita kembali pada prinsip Alkitab tentang bagaimana membangun keluarga sesuai rencana-Nya semula. Tuhan akan menolong kita.

Berdasarkan penelitian di Amerika Serikat, lembaga keluarga dinilai mempunyai kekuatan untuk mencegah anak-anak agar tidak terjerumus narkoba yang tengah mengancam dunia ini. Hasil penelitian itu menyebutkan bahwa lembaga keluarga adalah kunci yang tepat dan dapat dipercaya dibandingkan dengan lembaga-lembaga lainnya.

Bab 2 TANGGUNG JAWAB ORANGTUA

Membesarkan anak bukan hanya menyangkut masalah makanan saja (hal jasmani), namu juga menyangkut jiwani dan rohani. Setiap orangtua tentu ingin agar anaknya bertumbuh sehat dari segala segi. 

Secara jasmani, anak bertumbuh sehat dan tidak sakit-sakitan. Secara jiwani, yakni emosi dan pikirannya bertumbuh normal, memiliki rasa percaya diri, dan hidup saling mengasihi. Secara kerohanian, anak bertumbuh dewasa dalam pengenalan akan Tuhan dan hidup berkenan kepada-Nya (2 Petrus 3:18). 

Ada tiga tanggung jawab utama orangtua kepada anak, adalah menerima kehadiran anak, mencukupi kebutuhan anak, dan mendidik anak. 

2.1 MENERIMA DAN MENGASIHI ANAK 

a. Menerima diri anak seutuhnya 

Firman Tuhan mengatakan,” ... dan buah kandungan adalah suatu upah” (Mazmur 127:3). Anak adalah suatu upah, berkat Tuhan bagi orangtua, sehingga orangtua memiliki tanggung jawab untuk menerima kehadiran anak. 

Tuhan Yesus menyatakan,”Barangsiapa menyambut seorang anak dalam namaKu, ia menyambut Aku” (Matius 18:5). Betapa pentingnya orangtua menyadari kebenaran ini. Itu artinya orangtua harus memandang, menyambut, menerima anak bukan berdasarkan penilaian idealnya sendiri, melainkan dari sudut pandang dan penilaian Tuhan. 

Orangtua harus menempatkan penilaian Tuhan di atas penialian manusia. Terkadang orangtua menilai anak laki-laki lebih daripada anak perempuan, anak yang tampak/cantik maupun pintar lebih dihargai daripada anak yang biasa- biasa saja. Padahal Tuhan tidak pernah memandang dan menilai demikian. 

Menerima kehadiran anak adalah wujud nyata kasih orangtua terhadap anak. Kasih adalah berkat besar yang dinikmati anak dalam sebuah keluarga. Keluarga seharusnya menjadi tempat kasih bertumbuh dan menghasilkan tindakan kasih. Orangtua harus mengasihi anak-anaknya dengan kasih Kristus,yaitu kasih tanpa syarat apapun.Kasih tanpa syarat merupakan ungkapan kasih Allah. Cara mengasihi yang sesuai dengan cara Allah diungkapkan dalam kesediaan untuk saling menerima tanpa syarat orang lain sebagai pribadi yang seutuhnya. 

Menerima kehadiran anak yang seutuhnya berarti menerima segala kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh anak karena faktor pembawaan sejak lahir. Misal, anak pemalu, cacat fisik, kurang pintar, kurang tampan atau cantik, dan sebagainya. Menerima kehadiran anak bukan saja mau menerima kekurangan anak tetapi juga membantu mencari dan mengembangkan kelebihan yang ada pada anak. Sikap penerimaan orangtua yang tanpa syarat adalah dasar yang sejati bagi perkembangan emosi dan kerohanian anak. Anak merasa kehadirannya sangat diterima dan diharapkan serta diperhatikan oleh orangtua. 

Dr.Volkhard Scheunemann mengatakan sebagai berikut: 

“Pentingnya orangtua menerima keberadaan anak dan salah satu bentuknya adalah kesediaan untuk mendengarkan. Orangtua yang baik mengusahakan waktu untuk mendengar dengan penuh perhatian, terlebih untuk mengerti hal-hal yang tersembunyi di belakang kata-kata anak-anaknya. Memelihara hubungan terbuka sangat penting bagi masa depan anak Anak yang merasa dirinya diterima dalam keluarga, dihargai, dan dihormati akan juga menghargai dan menghormat orangtua”. 

Setiap anak adalah unik di mata Tuhan, menurut kehendak Tuhan di dalam menciptakan mereka. Dan Tuhan punya rencana terhadap anak itu untuk kemudian hari menjadi apa. Jadi, orangtua harus memperlakukan semua anak- anaknya sama penting dan berharga! Siapa menolak anak, meremehkan atau tidak menganggap anaknya, berbuat itu kepada Tuhan. Itu adalah orangtua celaka (Matius 18:5). 

b. Mengasihi anak dengan kasih murni 

Setiap orangtua tentu mengasihi anak-anaknya. Tetapi kadangkala anak itu tidak merasakan kasih tersebut. Malah mungkin ia merasa dibenci oleh orangtuanya. Pertanyaannya mengapa kasih tersebut tidak sampai ke diri anaknya? Dr. Setiawani menguraikan mengenai kasih dengan bagus sekali sebagai berikut : 

Kasih yang kurang tepat 

1) Kasih yang bersifat memiliki 

Keinginan untuk memiliki menjadikan orangtua mendorong anak untuk bersandar kepada orangtua secara berlebihan. Ketika masa kanank- kanak, adalah kecenderungan yang wajar jika anak bergantung pada orangtuanya. Anak itu sangat bergantung dan membutuhkan orangtuanya. Tetapi semakin bertambahnya usia anak itu, tingkat ketergantungan itu seharusnya semakin berkurang. 

Ada orang yang menginginkan anak itu terus menerus bergantung kepada mereka. Anak-anak mereka dianggap sebagai milik mereka. Orangtua yang demikian pada akhirnya akan menghalangi mereka menjadi anak-anak yang mandiri. 

2) Kasih yang bersifat menggantikan 

Kasih yang bersifat menggantikan ini adalah kasih yang menghendaki agar anak-anak itu dapat menggenapi cita-cita yang diidamkan oleh orangtuanya, dimana pada masa lalu, orangtua itu gagal mencapai ciota- cita tersebut.Misalnya, pada masa lalu seorang ibu gagal menjadi seorang dokter, dan akhirnya akan perempuannya diarahkan sedemikian rupa agar dapat berhasil menjadi dokter, padahal anak perempuannya tidak berbakat di bidang medis. 

Hubungan kasih seperti ini adalah hubungan kasih yang berbahaya, dimana anak dituntut melakukan sesuatu yang sesuai dengan cita-cita orangtuanya. Kasih seperti ini berbahaya karena membatasi bakat anak dan hanya memuaskan orangtuanya. 

3) Kasih yang bersifat memutarbalikkan peranan 

Kadangkala orangtua berperan seperti anak, yang membutuhkan pendamping di dalam hidupnya demi kepuasaan dirinya sendiri. Pada umumnya, orangtua yang demikian adalah orangtua yang kekurangan kasih atau kesepian sehingga menuntut agar anak menyertainya dan mengerti dirirnya. Kasih seperti ini adalah kasih yang memutarbalikkan peranan. Sebenarnya, anaklah yang membutuhkan perhatian, kasih dan pendamping di dalam hidupnya. 

4) Kasih yang bersifat pilih kasih 

Kecenderungan orangtua lebih mengasihi anak yang pandai, cantik atau tampan, menarik dan sebagainya. Kasih ini banyak menimbulkan masalah. Contoh yang nyata dalah kasus Ishak lebih mengasihi Esau daripada Yakub, yang akhirnya menimbulkan masalah yang berlarut-larut dalam keluarga. Bahkan hampir terjadi pembunuhan. 

Anak membutuhkan kasih dan juga keadilan. Kasih yang bersifat pilih kasih adalah kasih yang tidak adil (merata). Mengapa banyak anak menghjina dan tidak menghormati orangtuanya, salah sebabnya adalah karena orangtua yang tidak mampu berlaku adil terhadap anak-anaknya. Kasih yang tidak adil banyak menimbulkan kesulitan dalam pendidikan dan pembentukan karakter anak. 

Kasih yang tepat : kasih Kristus 

Orangtua harus menanamkan kasih yang tanpa syarat, yaitu kasih Kristus. Kasih Kristus adalah kasih yang walaupun dan bukan jikalau. Kasih tanpa syarat itu telah dinyatakan Kristus di kayu salib mati untuk kita, bahkan ketika kita masih berdosa (Roma 5:8), bukan karena syarat-syarat tertentu di dalam diri kita yang menjadikan Dia mengasihi kita. Bukan kita yang lebih dulu mengasihi Allah, tetapi Dia yang lebih dahulu mengasihi kita (1 Yohanes 4:10). 

Orangtua yang belum mengalami kasih Kristus, tidak mungkin mengerti apa itu kasih yang sejati. Cara mengasihi yang sesuai dengan dengan cara Kristus memerlukan kesediaan, penerimaan tanpa syarat. Mengasihi tanpa syarat bukan berarti orangtua menerima perilaku anak yang salah. Bukan berarti juga akan mengabulkan permintaan anak. Mengasihi anak tanpa syarat adalah menerima anak sebagai pribadi yang utuh. Dengan demikian, orangtua perlu mengasihi anaknya dengan kasih tanpa syarat dan secara adil/merata. 

2.2 MENCUKUPI KEBUTUHAN ANAK 

Kebutuhan anak meliputi kebutuhan jasmani, emosi, intelektual, sosial, dan religius serta karakter. 

a. Kebutuhan jasmani 

Kebutuhan jasmani bisa mencakup sandang, pangan, dan kesehatan. Pertumbuhan jasmani dan kesehatan merupakan kebutuhan vital bagi pertumbuhan dan perkembangan kepribadian anak. Orangtua perlu memperhatikan makanan bergizi dan sehat bagi pertumbuhan dan kesehatan anak. 

Tanpa kesehatan tubuh akan menghambat segala aktifitas anak. Selain itu, orangtua perlu mengajarkan anaknya memiliki pola hidup, pola makan yang baik untuk kepentingan anak sendiri dan juga kepentingan pelayanan bagi Tuhan,”Muliakanlah Allah dengan tubuhmu” (1 Korintus 6:20). 

b. Kebutuhan emosi 

Perkembangan jasmani yang dialami oleh anak juga mempengaruhi keadaan emosinya dalam usaha menemukan identitas dirinya ketika memasuki masa remaja. Penerimaan dan penilaian orangtua terhadap anak akan menjadi dasar penerimaan dan penilaian anak terhadap dirinya sendiri. Sikap, tindakan dan kata-kata orangtua sangat memengaruhi perkembangan emosi anak. 

Hal utama yang perlu orangtua ketahui untuk memenuhi kebutuhan emosi anaknya adalah suasana tenang dan aman dalam rumah tangga orangtuanya. Itulah yang paling dibutuhkan oleh anak. Banyak kenakalan anak remaja dan pemuda bersumber pada orangtua dan bukan terutama pada anak itu sendiri. Dan perasaan aman pada anak tergantung pada kerukunan hidup orangtuanya. 

Menurut Dr. Scheunemann, ada dua faktor yang paling kuat memengaruhi alam perasaan atau psikologis anak. Pertama adalah hubungan erat antara ibu dan anak sejak dari permulaan hidupnya. Alkitab berkata,”Engkau, ya Tuhan, membuat aku aman pada dada ibuku” (Mazmur 22:10). Betapa pentingnya per- awatan seorang bayi dan anak kecil oleh ibunya. Dekatnya ibu pada waktu menyusui anak tidak hanya memberikan makanan yang paling baik (ASI) karena mengandung imunisasi tetapi sekaligus membuka kontak yang hangat dan in- tim serta meletakkan rasa aman pada jiwa anak. Kedua, hubungan orangtua dan anak. 

Perasaan aman pada anak tergantung pada kerukunan hidup orangtua. Itulah yang menjamin suasana keluarga yang kondusif dan sejahtera. Karena itu, orangtua jangan sekali-kali ribut atau bertengkar di depan anak. Keributan atau percekcokan yang disaksikan oleh anak dapat membuat anak-anak tidak betah tinggal di rumah dan suka mengembara. Jadi, pertengkaran orangtua merugikan alam perasaan anak. 

Sebaliknya, tunjukkan rasa hormat di antara suami istri agar anak-anak Saudara juga belajar untuk dapat menunjukkan rasa hormat kepada Saudara sebagai orangtua serta saudaranya. Dan juga kelak kepada suami atau istrinya. Karakter baik ini dimulai dari dalam keluarga, terutama dari dalam diri orangtua sendiri. 

Berikut adalah cara praktis bagaimana orangtua bisa memenuhi kebutuhan emosi anaknya secara sehat : 

# Libatkan diri Saudara dalam kehidupan anak 

Orangtua perlu melibatkan diri dalam kehidupan anaknya sehingga akan tercipta suatu hubungan yang akrab, harmonis, hangat dan terbuka antara orangtua dan anak. Dengan melibatkan diri dalam kehidupan anak, orangtua dapat mengerti kesulitan yang sedang dihadapi oleh anaknya sehingga orangtua bisa membantu memberikan solusi. 

Saya hampir setiap minggu meninggalkan rumah beberapa hari karena panggilan pelayanan maupun mengajar ke luar kota. Setiap saya pulang dari luar kota, saya cari anak-anak dan mengobrol dengan mereka untuk menanyakan keadaannya, menanyakan kegiatan di sekolah dan terkadang saya meminta anak-anak kami menceritakan pengalaman mereka selama saya tidak ada di rumah. 

Sikap yang penuh perhatian itu melatih anak kami menjadi jujur dan terbuka untuk berani mengutarakan perasaan atau masalah yang sedang dihadapinya. Terkadang anak-anak kami menceritakan kekesalannya terhadap istri saya (karena istri saya tidak menuruti permintaan mereka). 

Kondisi seperti ini makin mengakrabkan antara orangtua dan anak. Orangtua menjadi bagian dari kehidupan pribadi anak, sehingga ketika anak memiliki pergumulan atau masalah, ia akan menyelesaikannya melalui orangtua. Anak tidak mencari solusi di luar rumah. 

Bambang Mulyono mengungkapkan sebagai berikut: 

“Keluarga yang tanpa dialog dan komunikasi akan menimbulkan akibat buruk bagi anak. Bila orangtua tidak memberi kesempatan dialog dan komunikasi, maka anak-anak tidak mungkin membuka diri dan menceritakan masalah atau persoalannya. Anak tidak dapat berkembang dengan baik. Justru anak akan banyak menemui masalah yang sulit dalam perkembangannya”.  

Dengan demikian, penting sekali orangtua membangun hubungan yang akrab sehingga tercipta komunikasi terbuka antara orangtua dan anak. Melalui dialog dan komunikasi terbuka tersebut, orangtua dapat menyatakan rasa kasih sayang sebagai wujud nyata perhatiannya kepada anak. 

# Berikanlah waktu yang berkualitas untuk anak Saudara 

Saya amati anak-anak yang terjerumus dalam pelbagai perilaku yang tidak wajar sering disebabkan karena kurangnya komunikasi dengan orangtua dalam masa kanak-kanak hingga masa perkembangan selanjutnya. Bisa disebabkan karena orangtua sibuk dengan pekerjaan atau pelayanan sehingga kebutuhan anak yang paling mendasar yaitu kasih sayang, perhatian dan pelukan dari orangtua terabaikan. 

Saya yakin semua orangtua mengasihi anak-anak mereka. Dan kebanyakan orangtua beranggapan bahwa anak-anak mereka mengetahui betapa orangtua mereka sangat mengasihinya. Kita telah memperlengkapi segala kebutuhan jasmani mereka.Jadi,tentunya saja anak-anak mengetahui betapa kita mengasihi mereka. Tetapi sayang keadaannya tidaklah selalu demikian. Seringkali ada “gap” yang lebar antara kasih kita kepada anak-anak kita dan kesanggupan kita untuk mengungkapkannya menurut cara-cara yang dapat dimengerti oleh anak-anak kita. Mengasihi anak merupakan satu hal, tetapi dapat merasakan kasih kita setiap harinya, itu merupakan soal lain lagi. 

Seringkali banyak orangtua berdalih “kami bekerja siang malam kan demi kesejahteraan taraf hidup keluarga—anak-anak!” Itulah sebabnya banyak orangtua menggantikan “waktu bersama” anak dengan materi, maupun hadiah- hadiah. Memang anak butuh semua itu tetapi kebersamaan dengan anak tidak dapat digantikan oleh apa pun juga kecuali kehadiran orangtua. 

Dr. Narramore menjelaskan bahwa anak yang merasa tidak dikasihi bukan berarti anak yang menyendiri, menyesali diri dan merenungkan betapa kesepian dan tidak dikasihi mereka. Namun, anak yang merasa tidak dikasihi dapat mewujudkan diri dalam bentuk kesepian, merasa tidak dihargai di rumah, merasa kehadirannya mengganggu orang lain, atau sekedar dikesampingkan. 

Kesibukan orangtua yang terlalu banyak menyita waktu dan hampir- hampir tidak ada waktu bagi anak dapat mengakibatkan hal-hal buruk bagi anak. Kebutuhan anak bukan saja materi, tetapi juga kasih sayang, perhatian dan penerimaan yang tulus dari orangtua. Akibatnya anak tidak betah tinggal di rumah, cenderung untuk meninggalkan rumah dan ingin bersama teman- temannya. 

Memang cara anak mengeskpresikan perasaannya tidaklah sama. Ada anak hanya menyerah begitu saja dan mengalami depresi. Ada lagi yang suka bermusuhan, membuat keributan, perkelahian karena merasa sok jagoan. Ada juga anak yang berpaling kepada narkoba, alkohol, seks bebas, dan perbuatan buruk lainnya sebagai usaha untuk mendapatkan penerimaan, pengakuan, perhatian dan kasih sayang yang mereka tidak peroleh di rumah. 

Itu sebabnya orangtua perlu membagi waktu yang efektif bagi anak. Memberikan waktu-waktu khusus untuk disisihkan bagi anak-anaknya di tengah-tengah pelbagai kesibukan. Untuk itu perlu ada komunikasi yang baik antara orangtua dengan anak. Orangtua perlu menyediakan waktu yang berkualitas untuk dekat dengan anak mereka. 

Jika Saudara ingin anak-anak Saudara menangkap atau merasakan kasih Saudara, tidak ada jalan lain kecuali Saudara harus benar-benar mempunyai “waktu tenang” bersama mereka. Saudara harus menyediakan waktu untuk mendengarkan pemikiran-pemikiran, perasaan-perasan maupun pengalaman- pengalaman mereka. Saya tahu, tidak ada cara lain yang lebih efektif untuk mengungkapkan kasih kita kepada anak-anak kita selain memprioritaskan mereka. Praktekkanlah! 

Memberikan waktu ber-”kualitas” pada dasarnya berisikan kemampuan kita untuk mendengarkan anak-anak kita dengan penuh simpati, menghargai pemikiran-pemikiran dan perasaan-perasaan mereka, dan menikmati waktu kita bersama-sama. 

Kami sekeluarga menjadwalkan agenda waktu-waktu khusus bagi anak- anak kami. Kami menyediakan waktu untuk bisa beraktivitas bersama mereka. Agenda bersama anak itu tidak selalu harus mengeluarkan banyak biaya. Kami berjalan-jalan bersama, bermain, mengajaknya ke luar membeli es krim, nonton TV atau film, menemani anak lomba, mengantar anak les, mengantar pergi ke toko mainan, atau makan malam di luar. Hal-hal itu kami lakukan sebenarnya kami sedang mengajarkan tentang pentingnya hubungan pribadi. Kami dapat melihat betapa senang anak-anak kami berada di dekat kami. Dan kami pun sangat menikmati kebersamaan itu. 

Sesekali saya mengajak keluarga ikut pelayanan ke luar. Kebersamaan itu kami manfaatkan untuk sharing tentang harapan, cita-cita, saling tukar menukar informasi, menceritakan pengalaman kami berdua, menceritakan pelayanan bahkan bisa berbagi pergumulan keluarga untuk didoakan bersama. Berbagi pergumulan bukan bermaksud memberi beban mental bagi anak, tetapi kami ingin mengajarkan hidup bertanggungjawab kepada anak-anak kami. Memang tidak semua pergumulan kami ceritakan. Ada hal-hal tertentu hanya untuk kami pribadi sebagai orangtua, dan anak tidak perlu tahu. 

Ingat, anak itu selalu ingin dekat dengan orangtuanya. Segala kegiatan- kegiatan orangtua itu baik, tidak ada salahnya. Tetapi kenyataan kegiatan- kegiatan itu akhirnya tak terkuasai lagi dan mulai merenggut hal yang paling dibutuhkan anak dalam keluarga yaitu suatu perasaan diterima, dikasihi, dimiliki, diperhatikan dan dimengerti. Jadi, sangatlah penting bagi orangtua untuk meluangkan waktunya semata-mata hanya untuk menikmati kebersamaan dengan anak-anaknya. 

Terkadang saya ditegur oleh istri saya. Saya hobi membaca. Setiap ada waktu luang sedikit, hampir bisa dipastikan saya memegang buku untuk dibaca. Bahkan nonton TV pun saya sambil membaca buku. Saking asyiknya membaca, saya tidak sadar bahwa saya tadi sedang bermain dengan anak saya. Saya hanyut dalam pusaran kesibukan saya sendiri. Ketika saya sedang membaca buku sambil mengajak anak untuk bermain, itu tidak bisa disebut “waktu bersam-sama”! Karena itu jangan menghitung waktu duduk bersama-sama di satu ruangan sambil membaca sebagai “waktu bersama-sama” dengan anak. Itu bukan waktu tenang. 

Sejak ditegur oleh istri saya, dan saya mulai menyadari bahwa anak- anak memerlukan waktu untuk bersama-sama dengan saya. Saya berusaha keras untuk menyediakan waktu. Saya memutuskan mencari suatu cara untuk bersantai dan melepaskan segala kesibukan dan ketegangan maupun kegiatan membaca agar dapat melakukan hal-hal yang menyenangkan bersama dengan anak-anak kami. 

Saudara perlu membina hubungan baik dengan cara meluangkan sedikit waktu setiap hari atau setiap minggu bersamaanak-anak Saudara, hanya sekedar untuk bersenang-senang bersama. Tentu saja, apa hendak Saudara lakukan berbeda-beda sesuai dengan umur dan tingkat perkembangan anak Saudara dan juga tergantung pada selera anak Saudara. Pasti itu sangat menyenangkan hati mereka. 

Tonci Salawaney mengatakan : “Banyak orangtua yang tidak mengerti sifat anak-anaknya, sehingga timbullah garus pemisah di antara mereka. Antara orangtua dan anak hendaknya terjalin persahabatan yang erat. Orangtua dengan kesibukan apapun harus mengambil cukup waktu bergaul dengan anak-anak mereka. Agar ibu bapak dapat menyelami perasaan anak-anak, haruslah mereka bersahabat dan bekerjasama serta penuh perhatian terhadap perkembangan mereka. Orangtua patut menjadi kawan yang akrab bagi anak- anak itu. Ibu bapak wajib mempelajari cara-cara terbaik untuk menawan hati anak-anak, dan memancing kasih sayang mereka agar berhasil menuntun mereka ke jalan yang benar. Usaha melupakan kesibukan sepanjang hari demi kepentingan anak-anak, sekaligus upaya memenangkan hati mereka agar mau menaruh kepercayaan kepada orangtua dalam memecahkan persoalan yang mereka hadapi dan bukan kepada teman sebaya” 

Keluarga harus bisa menjadi tempat komunikasi antara orangtua dengan anak. Keluarga menjadi tempat yang berfungsi untuk mencari perlindungan atau rasa aman dan dukungan baik moral, emosional maupun spiritual serta tempat memecahkan masalah bagi anak. Dengan demikian, anak tidak akan mencari solusi di luar rumah atau mencari kompensasi (pengganti) dengan hal-hal negatif (misal, tawuran, balapan motor, seks bebas, alkohol, dll) dalam menyelesaikan masalahnya atau mencari-cari pengganti kasih yang tidak mereka alami di rumah. 

# Berikanlah pujian yang tulus 

Anak mengharapkan pujian dari orangtua adalah suatu hal yang wajar. Orangtua perlu memuji anak atas hal-hal yang orangtua anggap penting. Misalnya, anak menunjukkan tingkah lakunya yang baik, nilai baik atau prestasi yang diperolehnya, maupun atas tanggungjawabnya yang dikerjakan dengan baik, dan lainnya. 

Pujian yang tulus akan berdampak positif bagi perkembangan kepribadian dan rasa percaya diri anak. Sebagai orangtua yang bijak, Saudara jangan mengatakan sesuatu jika Saudara tidak benar-benar serius dengan ucapan Saudara. 

Pujian dapat membangun rasa percaya diri dan juga sebaliknya dapat meruntuhkannya. Jan Dargatz mengatakan demikian: 

“Pujian yang tulus dan ramah atas sesuatu hal yang layak dihargai sangat berperan dalam membangun harga diri dan keyakinan seorang anak. Pujian adalah salah satu tiang penyangga untuk membangun harga diri seorang anak, dan berperan sebagai perangsang untuk berusaha sebaik mungkin mencapai keberhasilan dalam kegiatan yang baru dan yang lebih sulit”. 

Orangtua jangan suka mengkritik, lebih baik mengucapkan kata-kata positif untuk membangun, mendorong anak lebih maju dalam segala aspek hidupnya. Jika Saudara ingin menanamkan harga diri dan rasa percaya diri yang sehat, dan positif pada anak Saudara, maka Saudara harus belajar berbicara kepada mereka dengan perasaan hormat yang mendalam bukan omelan, cemoohan atau perkataan-perkataan yang secara tidak langsung meruntuhkan rasa harga diri dan percaya diri anak. Tanpa sadar, itu secara halus membunuh perkembangan karakter baik di dalam diri anak Saudara. Saudara perlu bertobat untuk tidak lagi mengucapkan kata-kata yang negatif, yang merendahkan harga diri anak, kurang menghargai anak-anak, yang membangkitkan kemarahan dan kebencian di hati mereka. 

# Manfaatkan waktu di meja makan 

Kamimemanfaatkanwaktubersamadimejamakanuntuksalingmelayani, tempat berkomunikasi dan bercerita tentang pengalaman kehidupan kami maupun kehidupan anak. Waktu makan bersama “sekeliling meja” disitulah kami belajar untuk saling mendengarkan dan memperhatikan (Mazmur 128:3). 

Selain itu, percakapan pada waktu makan bersama dapat menjadi tempat “seminar harian” untuk mengajarkan banyak hal. Misal tentang nilai-nilai hidup Kristen atau membahas hal-hal yang relevan dengan berita-berita hari itu. Terkadang kami sengaja mengajukan pertanyaan atau hal-hal sehubungan dengan apa yang mereka saksikan di TV, atau apa yang terjadi di sekolah atau di mana saja. Tapi perlu Saudara pahami, jangan mengajukan masalah-masalah yang berat. Sebaiknya sesuai dengan kemampuan anak, dan disajikan dengan bahasa sederhana dan ringan sehingga pembahasan mudah dicerna oleh anak. Ingat, mereka sedang belajar dan mencari pengertian. 

Bukankah Tuhan Yesus beberapa kali memakai kesempatan makan bersama untuk berkomunikasi dengan para murid-Nya? Bahkan setelah kebangkitan-Nya, Ia meminta makan pada murid-Nya. Kejadian itu mencelikan mata mereka sehingga mereka mengerti bahwa itu adalah Tuhan. Juga di kitab Wahyu, Tuhan Yesus meminta agar kita mengundang Dia makan di rumah kita,”Lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetok; jikalau ada orang yang mendengar suara-Ku dan membukakan pintu, Aku akan masuk mendapatkannya dan Aku makan bersama-sama dengan dia, dan ia bersama-sama dengan Aku.” (Wahyu 3:20). 

c. Kebutuhan intelektual 

Setiap manusia diciptakan Tuhan dengan kemampuan untuk berpikir. Firman Tuhan mengatakan,”Aku hendak mengajar dan menunjukkan kepadamu jalan yang harus kautempuh ... Janganlah seperti kuda atau bagal yang tidak berakal...”(Mazmur  32:8-9). Pikiran itu penting bagi manusia sendiri dan juga bagi Tuhan. Kemampuan berpikir adalah pemberian Tuhan bagi kita dan kita bertanggungjawab memakainya untuk memuliakan nama-Nya,”Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu” (Mrk 12:30). 

Dengan demikian, anak pun membutuhkan perkembangan intelektualnya. Orangtua dapat memenuhi kebutuhan intelektual ini dengan memberi kesempatan anak untuk menilai, memecahkan masalah, mengutarakan pendapat atau ide maupun argumentasi. Banyaknya pengalaman dan latihan dalam menilai, memecahkan masalah, mengutarakan pendapat atau alasan sangat membantu anak berpikir seimbang dan sehat. Jadi, penting sekali orangtua memberi kebebasan berpikir bagi anak. 

Selain di atas, orangtua dapat menyediakan buku-buku bermutu yang dapat memperdalam pengertian dan memajukan daya berpikir anak. Bacaan atau berita di surat kabar maupun TV dapat menjadi bahan diskusi terbuka dengan anak untuk mengajar anak menilai dengan akal sehat dan juga berdasarkan iman Kristen. Memenuhi kebutuhan intelektual anak adalah tanggung jawab orangtua. 

d. Kebutuhan sosial: Lindungi Pergaulan Anak Saudara 

i) Jangan mengekang pergaulan anak Saudara 

Setiap anak membutuhkan pergaulan sebagai kebutuhan untuk mengembangkan sosialnya. Bukankah Tuhan menciptakan manusia dengan sifat sebagai makhluk individu sekaligus makhluk sosial? Itulah sebabnya, manusia mempunyai naluri untuk hidup berkumpul dengan orang lain. 

Sosial anak terus berkembang sesuai perkembangan usianya. Waktu masa kanak-kanak, pergaulannya hanya terbatas di lingkungan keluarga saja, kemudian berkembang mulai dari lingkungan keluarga, tetangga dan juga teman-teman sebaya baik di masyarakat, sekolah maupun di gereja. 

Sikap orangtua dalam perkembangan sosial anak adalah tidak mengekang pergaulan anaknya. Akan tetapi orangtua bisa mengajarkan pedoman dan penjelasan tentang pentingnya pergaulan dan pengaruh buruk dari pergaulan atas dasar Firman Tuhan. 

ii) Berikan pedoman pergaulan 

Pengaruh pergaulan tidak boleh dianggap remeh oleh orangtua sebab Firman Tuhan sudah memberi peringatan tegas,”Janganlah kamu sesat: pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik” (1 Korintus 15:33). Tidak jarang terjadi, bahwa seorang anak “terpaksa” melakukan tindakan- tindakan yang kurang baik karena adanya “paksaan” tertentu dari teman- teman sebayanya. Bisa juga karena rasa solider sehingga ia terpaksa mengikutinya agar tidak dianggap anak mama, banci dan tidak dimusuhi oleh kelompok tersebut. 

Di dalam kehidupan sehari-hari kita dapat menjumpai contoh-contoh lainnya dan itu membuat para orangtua merasa kuatir dan cemas terhadap anak mereka. Apalagi kalau teman-teman sepermainannya tadi rata-rata berasal dari lingkungan sosial yang kurang baik. 

Di sini betapa pentingnya orangtua mengajarkan Alkitab sebagai pedoman hidup bagi anak sehingga anak bisa menyeleksi teman pergaulannya. Anak dapat mengambil keputusan tentang apa yang baik dan yang buruk bagi dirinya sendiri sesuai pedoman Firman Tuhan yang telah diajarkan kepada mereka. Amsal 13:20 memberi peringatan,”Siapa bergaul dengan orang bijak menjadi bijak, tetapi siapa berteman dengan orang bebal menjadi malang”. 

Pedoman atau patokan pergaulan yang benar bagi orang Kristen adalah Alkitab dan bukan atas dasar kekayaan atau kemampuan materiil belaka. Sebab itu hanya akan menjerumuskan anak ke dalam kesukaran- kesukaran dalam bergaul. Anak tidak bisa bersikap luwes terhadap teman- temannya yang mungkin sifatnya kurang baik. 

Selain upaya di atas, selanjutnya yang dapat dilakukan orangtua adalah menanamkan sikap untuk tidak memusuhi anak-anak lain, yang kira-kira tidak cocok dengannya. Kalau ada anak yang kurang baik sifatnya, jangan terlalu didekati tetapi juga jangan terlalu menjauhinya. Yang wajar saja, yaitu kenal dengannya. Kalau mereka dimusuhi, maka mungkin anak Saudara akan diasingkan. Kalau sudah diasingkan, maka akan bertambahlah kesukaran-kesukaran yang dihadapi oleh anak Saudara.9 

Orangtua tidak bisa mengawasi anak-anaknya selama 24 jam sehari. Untuk itu, orangtua harus memiliki patokan atau standar tentang apa yang benar dan yang buruk sebagai pedoman untuk dapat membimbing dan mengarahkan sikap serta perilaku anak. Pedoman yang mutlak benar adalah Alkitab yang adalah Firman Tuhan. Orangtua harus senantiasa mengajarkan Alkitab sebagai pedoman hidup dan pergaulan bagi anak. 

Saya percaya tidak ada perlindungan yang benar-benar mampu menjagai anak-anak kita selain mengajarkan Firman Tuhan kepada mereka. Dengan menanamkan nilai-nilai kekristenan sejak dini berarti orangtua telah melindungi anak dari pengaruh-pengaruh buruk pergaulannya. 

iii) Berikan pedoman perihal berpacaran

 Bersikaplah realistis 

Berpacaran merupakan pengalaman yang menggembirakan bukan hanya untuk remaja tetapi juga untuk ayah dan ibunya. Ketika anak menginjak remaja, ia mulai tertarik dengan lawan jenis merupakan sesuatu yang wajar. Bersikaplah realistis. 

 Bersikaplah fleksibel 

Bagaimana tindakan orangtua menghadapi anak yang mulai pacaran? Saudara harus bijak dalam menangani hal ini. Satu sisi, Saudara tidak boleh bersikap permisif (membiarkan begitu saja), tetapi di sisi lain, Saudara tidak boleh bersikap otoriter ( terlalu kaku dan ketat) seperti zaman Siti Nurbaya. Saudara harus bisa bersikap fleksibel yaitu dengan cara Saudara memberikan pedoman/batasan berpacaran yang sehat dan benar sesuai firman Tuhan. 

Di sini perlu keseimbangan antara pengawasan dengan kebebasan. Sebab ketika anak menginjak remaja, ia tidak boleh diperlakukan seperti kanak-kanak lagi. Ketika anak masih kanak-kanak semakin ketat pengawasan, namun makin anak dewasa, seharusnya semakin banyak kebebasan (kepercayaan) dilimpahkan. 

Orangtua sangat bertanggungjawab mengarahkan anak dalam memilih pasangan hidup meskipun tidak dapat memastikan jalan hidup anak. Memang baik atau buruk pasangan hidup mereka adalah resiko yang harus mereka rasakan sendiri. Tetapi orangtua tidak boleh lari dari tanggung jawab untuk mengarahkan anak-anak mereka dalam memilih pasangan hidup. 

Memang dalam mengarahkan anak memilih pasangan hidup, bukanlah hal mudah. Ada cukup banyak hal yang sepatutnya menjadi pertimbangan. 

 Memberikan batasan yang jelas dan tegas 

Ketika anak menginjak remaja, tekanan dari teman-teman sebayanya itu sangatlah besar. Pengaruh teman-teman sebaya mereka lebih besar daripada pengaruh orangtuanya terhadap diri mereka. Sebaliknya, jika teman-temannya adalah para remaja Kristen yang aktif, maka mereka akan memperteguh petunjuk-petunjuk atau standar yang diajarkan oleh keluarga. 

Selama anak tinggal di rumah Saudara, Saudara berhak untuk menentukan siapa yang boleh menjadi teman mereka. Anak tidak boleh sembarang bergaul dengan teman-teman pilihan mereka sendiri. Para remaja di luar Kristen mungkin tampak jauh lebih menarik daripada remaja Kristen. Persoalannya anak sendiri secara rohani memang belum benar atau kuat sehingga anak-anak di luar Kristen yang duniawi itu lebih menarik dia. Jika Saudara membiarkan anak Saudara keluar dari kelompok remaja Kristen dan pergi bergaul dengan orang-orang duniawi, maka orang duniawi itu akan merusakkan dia. Jika Saudara memberikan pedoman berpacaran diharapkan anak Saudara tidak akan mengikuti keinginannya sendiri yang masih belum matang. 

Jangan beranggapan “ah tak mungkin anak saya yang saya didik baik-baik akan berbuat begitu”. Mengapa tidak mungkin? Ingat, remaja jaman sekarang sering nekad. 

Jauh lebih baik bagi anak Saudara untuk mempunyai seorang teman kencan Kristen yang mempunyai keyakinan yang sama dan berasal dari keluarga yang mempunyai standar yang sama, yaitu firman Tuhan. Orangtua harus tegas menentukan batasan yaitu berpacaran hanya dengan orang Kristen! 

Soal berpacaran seringkali menimbulkan ketakutan di hati banyak orangtua. Biasanya orangtua tidak menemani anak yang sedang berpacaran, akibatnya orangtua tidak lagi dapat mengawasi anak mereka ketika keluar beberapa jam dengan teman kencannya. Bila orangtua sudah memberikan nasihat dan pedoman soal berpacaran/ berkencan seharusnya orangtua belajar mempercayai anak mereka. 

Yang tidak kalah pentingnya adalah tingkatkan kehidupan iman anak Saudara. Untuk anak gadis jangan diijinkan “tergesa-gesa” berpacaran atau bergaul secara mengkhusus. Sebaiknya pergaulan bersifat umum dulu (bersahabat), jangan tergesa-gesa berpacaran. Biasanya bila terus mengkhusus sulit mengadakan pemilihan yang tepat sebab kehilangan kesempatan membandingkan. 

Bila Saudara telah mengijinkan anak Saudara berpacaran,tanamkan kepada gadis sebaiknya bermain di tempat-tempat yang ramai, ada orang lain. Pokoknya jangan di tempat yang sepi-sepi, apalagi sepi-sepi malam hari sehingga anak Saudara tidak mudah tergelincir ke lembah kehinaan. 

Kalau Saudara telah memberikan patokan yang jelas dan tegas perihal berkencan kepada anak Saudara, maka rasa kuatir setidak- tidaknya tidak mempunyai alasan untuk berkembang ketika anak Saudara pertama kali berpacaran. Jadi, perihal berkencan ini harus Saudara tanggapi secara serius. 

 Berikan pendidikan seks sejak dini 

Selain tindakan di atas, sebaiknya orangtua menjelaskan perihal pendidikan seks kepada anak mereka. Ayah untuk anak laki-laki dan ibu untuk anak perempuan. Berikanlah penjelasan tentang pendidikan seks secara masuk akal, terbuka, jelas, tegas dan jujur. Jangan menakut- nakuti anak. Bicarakan dan diskusikan dengan anak Saudara. 

Sangat diharapkan agar pendidikan seks itu diajarkan oleh orangtua. Sebab sebenarnya, hanya orangtua yang dapat mengajarkan pendidikan seks seumur hidup ini. Namun kebanyakan orangtua sendiri merasa malu membicarakan pendidikan seks kepada anak- anak mereka. Lalu, orangtua berharap anak belajar pengetahuan soal pendidikan seks dari mana? Bacaan? Buku-buku tentang seks umumnya itu tidak mendidik. Film? Adegan di film biasanya justru mengedepankan seks komersial. Hanya mengeksploitasi bentuk tubuh. Lalu, media apa yang Saudara percayai? 

Ketika anak kami mulai menginjak remaja, kami sudah mulai mengajarkan pendidikan seks kepada mereka. Bila kami belum “sampai hati” memberi penjelasan, kami menyediakan buku-buku tentang seks supaya anak dapat disuruh membaca sendiri. Terkadang muncul pertanyaan yang tak terduga dari anak kami, dan kami kebingungan menjawab. Kami pun tidak menjawab saat itu. Saya dan istri saya berdiskusi terlebih dahulu agar jawaban kami dapat memenuhi rasa ingin tahu secara cukup dan proporsional sesuai usia dan kebutuhan anak. 

Bila Saudara merasa malu dan sukar untuk melakukan hal ini, tidak usah kuatir. Sebab sudah banyak buku-buku tentang seks oleh pakar Kristen di toko-toko buku Kristen. 

Jangan lupa, buku-buku tentang seks itu harus disesuaikan dengan usia anak Saudara agar dapat mengarahkan anak dengan tepat dan benar. Dan bukan sebaliknya justru membangkitkan nafsu seksnya. Di sini Saudara harus berhati-hati. 

e. Kebutuhan Rohani dan moral 

Kebutuhan rohani dan moral (etika) saling keterkaitan atau tak terpisahkan. Kedewasaan rohani dan karakter yang menyerupai Kristus adalah kehendak Tuhan. Kedewasaan rohani dan karakter yang baik tidak terjadi dengan sendirinya , melainkan suatu proses melalui kehidupan sehari-hari yang didasarkan pada nilai-nilai Alkitab. Di sinilah peran besar orangtua dibutuhkan untuk mengajarkan kebenaran kepada anak mereka. 

Kebutuhan pengenalan akan Tuhan itu harus dimulai dari dalam keluarga terlebih dahulu. Kegiatan-kegiatan rohani yang dimulai di dalam keluarga memiliki dampak besar terhadap perkembangan kerohanian dan karakter anak. 

Bagaimana orangtua memenuhi kebutuhan kerohanian anak-anak mereka, akan saya uraikan pada bab selanjutnya. 

2.3 MENDIDIK ANAK 

Perintah Tuhan untuk mendidik anak seperti tertulis dalam Efesus 6:4 dikatakan,”...tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan”. Orangtua telah mendapat mandat dari Tuhan untuk mendidik anak-anak mereka kepada ajaran dan nasihat Tuhan. 

a. Perlunya mendidik anak 

Ada beberapa alasan pokok pentingnya orangtua mendidik anakya: 

Pertama : karena anak sudah terlahir dalam dosa, mewarisi sifat-sifat dosa dari Adam dan secara alami memiliki kecenderungan berbuat dosa. Anak-anak dilahirkan dengan sifat dasar yang tidak baik. Walaupun mereka diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, mereka dilahirkan dengan kecenderungan untuk berdosa dan memberontak. Itulah sebabnya, anak-anak sangat membutuhkan didikan dan disiplin dari orangtua mereka (Efesus 6:1). 

Memang anak yang baru lahir belum berdosa dalam arti melakukan kejahatan dan dosa secara moral, namun ia disebut orang berdosa karena mewarisi kodrat dosa,”Sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut,demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa”(Roma 5:12). 

Perbuatan dosa secara moral itu merupakan ekspresi dari sifat berdosanya. Sebab semua manusia telah berdosa, termasuk anak-anak kecil sehingga mereka membutuhkan pengampunan dosa dan keselamatan. Orangtualah yang harus mendidik dan menuntun anak kepada jalan keselamatan,”Ingatlah juga bahwa dari kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus” (2 Timotius 3:15). 

Kedua : anak tidak tahu apa yang baik dan benar. Tidak ada manusia yang lahir tahu membedakan atau mengetahui antara yang baik dan yang jahat tanpa diajar atau meniru. Di dunia ini tidak ada manusia yang bisa mendidik dirinya sendiri. Itu berarti anak memerlukan orang lain untuk mendidiknya, terutama dan pertama adalah orangtuanya. Karena anak itu memiliki kodrat dosa sejak dalam kandungan, sehingga tidak perlu diajari melakukan hal-hal yang burukpun, ia sudah punya kecenderungan melakukannya. Itulah alasan mengapa Saudara harus mendidik anak. Perilaku anak diarahkan ke jalan Tuhan. 

Ketiga : faktanya anak yang dibiarkan semaunya sendiri tidak akan pernah bisa melakukan maksud Tuhan dalam hidupnya, sebaliknya akan mempermalukan dan mendukacitakan hati orangtuanya. Salamo berkata,”Tongkat dan teguran mendatangkan hikmat, tetapi anak yang dibiarkan mempermalukan ibunya” (Amsal 29:15) dan selanjutnya juga dikatakan,”Anak yang bebal menyakiti hati ayahnya, dan memedihkan hati ibunya” (Amsal 17:25). 

b. Target dalam mendidik anak 

Ada tiga target utama orangtua dalam mendidik anak, yaitu menjadikan anak takut akan Tuhan, anak taat dan menghormati orangtua serta hidup saling mengasihi. Ketiga target tersebut saya bahas di bab 3. 

Bab 3 TARGET UTAMA ORANGTUA DALAM MENDIDIK ANAK 

3.1 ANAK TAKUT AKAN TUHAN 

Orangtua memiliki tanggung jawab terhadap perkembangan kerohanian anak-anaknya. Saudara sebagai orangtua mempunyai hak istimewa memimpin anak Saudara untuk mengenal Tuhan Yesus secara pribadi. 

Jangan membiarkan anak-anak Saudara begitu saja dengan harapan bahwa mereka kelak akan mengenal Tuhan Yesus sebagai Juruselamat karena mereka tinggal di keluarga Kristen. 

Kapan waktu yang tepat bagi orangtua untuk mulai mengajar anaknya tentang Tuhan? Sesuai kesaksian Alkitab adalah sejak kecil. Bagaimana caranya? 

a. Jadikan diri Saudara menjadi teladan baik 

Salah satu cara terbaik yang dapat dilakukan orangtua untuk membantu anaknya bertumbuh dalam kedewasaan iman adalah dengan memperlihatkan kehidupan yang beriman dan takut Tuhan setiap hari. Firman Tuhan yang dipraktekkan adalah lebih meyakinkan daripada Firman yang dijelaskan. Sebab anak tidak hanya menerima apa yang diajarkan oleh orangtua tetapi membutuhkan teladan yang nyata/riil dari orangtuanya. Teladan yang baik adalah hadiah terbesar yang dapat diberikan orangtua kepada anak mereka. Jadilah saksi yang hidup dalam keluarga. 

Meniru adalah pola umum bagaimana cara anak belajar. Itulah yang dilakukan oleh anak kecil yaitu menyerap dan meniru apa saja yang ia lihat dan dengar dari orang lain, khususnya adalah orangtua. Orangtua adalah orang yang pertama kali dilihat anak setiap harinya. Segala sesuatu yang dilakukan orangtua dijadikan sebagai contoh dan tolok ukur bagi anak untuk menilai mengenai apa yang baik dan buruk, antara yang boleh dilakukan dan tidak. Jelas sekali, di sini pengaruh orangtua luar biasa besarnya. 

Untuk itu orang tua harus menjadi teladan baik, yaitu dengan memperlihatkan (memperagakan) apa yang telah diajarkan kepada anak dalam kehidupan sehari-hari. Sebab jika pengajaran orang tua bertentangan atau berbeda dengan tindakan sehari-hari, maka anak akan kehilangan pengaruh terbesar, yang dibutuhkan untuk mendorong anak hidup dalam kebenaran firman Tuhan. 

Sebagai orangtua, Saudara harus mempunyai kehidupan yang konsisten di depan anak-anak Saudara. Saudara perlu memeriksa diri setiap hari apakah Saudara sendiri hidup sesuai kebenaran atau tidak. Teladan baik orangtua kepada anaknya berfungsi sebagai peta jalan bagi mereka di masa depan. 

Larry Keefauver mengatakan demikian: “Teladan yang paling utama yang harus ditiru oleh anak-anak adalah hubungan orangtua dengan Allah”. 

Banyak orangtua beranggapan sudah memenuhi tanggungjawabnya mencukupi kebutuhan pendidikan rohani dengan menyuruh anak ke gereja, sedangkan teladan pribadi kurang bahkan sering tidak dipedulikan. Mereka juga beranggapan bahwa yang kompeten mengajarkan bidang kerohanian itu adalah tugas pendeta, guru Sekolah Minggu di gereja dan guru agama di sekolah. 

Firman Tuhan mengatakan,”Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatmui, jiwamu, akal budimu dan kekuatanmu” (Matius 22:37). Tuhan meminta para orangtua lebih dahulu menikmati persekutuan yang erat dengan diri-Nya sehingga dapat mengajarkan kepada anak mereka. 

Manusia berbeda dengan binatang. Maaf dan jangan tersinggung bila saya harus membandingkan keduanya. Saya tidak bermaksud untuk merendahkan diri kita sebagai manusia. Maksud saya, manusia itu makhluk peniru, sedangkan binatang tidak. Bila seorang anak manusia berada di antara binatang-binatang, maka tidak mungkin binatang akan meniru perbuatan manusia. 

Sebaliknya, manusialah yang akan meniru perilaku binatang. Mengapa? Karena manusia dilahirkan dengan karakter sedangkan binatang tidak. Binatang tidak akan saling mempengaruhi. Anak ayam tetap akan berperilaku seperti ayam walaupun tanpa diajar induknya bagaimana menjadi seekor ayam. Ayam tidak akan mengikuti perilaku binatang lain meskipun dicampur bertahun-tahun lamanya. 

Lain dengan manusia. Seorang anak manusia bila tidak dididik dan diberi contoh/teladan bagaimana hidup yang benar di hadapan Tuhan oleh orangtuanya, niscaya tidak akan pernah menjadi “manusia”. Memang tubuhnya manusia, tetapi apakah perilakunya sudah mencerminkan keserupaan dengan Tuhan? Jadilah orangtua bijak untuk membawa anak Saudara kepada kepenuhan Kristus yang adalah rupa dan gambar Allah yang tidak kelihatan. Menjadi serupa Kristus sama artinya segambar dengan Allah. 

Manusia itu secara tidak sadar tertular perilaku “kebinatangan” karena Adam dan Hawa relatif cukup lama bergaul dengan binatang di Taman Eden. Sebelum Adam dan Hawa berdosa, gambar Allah masih utuh sehingga segala perilaku dari luar tidak dapat menulari perilaku mereka. Setelah mereka berdosa, gambar Allah dalam diri mereka menjadi rusak (Roma 3:23). Sehingga gambar-gambar lain yang dijumpainya turut membentuk gambar dirinya. Bukankah kita pernah mendengar ungkapan kalau ada orang yang jahat, sadis terhadap sesamanya, lantas masyarakat berkata : ah... orang itu kejam seperti binatang. Mengapa tidak pernah dikatakan binatang itu kejam seperti manusia? Ingat, manusia adalah makhluk peniru, dan binatang tidak! Betapa pentingnya teladan hidup yang benar bagi anak-anak Saudara. 

Dan hanya melalui didikan firman Tuhan sajalah, seorang pendidik yakni orangtua dapat mengusir segala karakter buruk di dalam diri anak-anak mereka untuk kembali menjadi manusia “ideal” yang segambar dengan Allah di dalam Kristus (Kolose 1:15). 

Firman Tuhan (Alkitab) adalah cermin yang sempurna dan obyektif serta tidak dapat berubah. Hanya melalui firman Tuhan saja, manusia mengerti akan nilai/harga dirinya di hadapan sang Pencipta. Manusia yang tidak dididik ke arah Kristus maka tidak akan pernah menjadi manusia yang berharga alias tidak punya nilai. Mengapa? Karena Kristus adalah ideal yang sempurna. Dia menghendaki setiap orang yang menerima-Nya mewarisi karakter dan perilaku-Nya. 

Salah satu bahagia paling besar bagi keluarga yaitu mempunyai keturunan yang beribadah, mencintai Tuhan, dan yang beriman sungguh-sungguh. Harta Saudara yang paling besar bukan aset Saudara, bukan segala fasilitas hidup yang Saudara miliki dan bukan pula angka yang panjang di bank, tetapi anak-anak yang beribadah dan takut akan Tuhan dan memiliki kerohanian yang suci serta limpah yang akan berguna bagi sesama dan terlebih bagi Tuhan dan pekerjaan- Nya. 

Saudara jangan sampai kehilangan wibawa di hadapan anak-anak Saudara. Wibawa Saudara akan runtuh jika Saudara tidak sanggup memberi teladan baik bagi anak Saudara. Dr. Narramore mengatakan sebagai berikut: 

“Jika anak-anak melihat orangtu mereka hidup saleh, mereka akan belajar untuk melakukan hal yang sama.Kalau seseorang percaya kepada Kristus sebagaiJuruselamat,makaiamenjadijujur.Kalauanak-anakmemperhatikan ayah dan ibu mereka selalu jujur, maka mereka akan jujur juga. Kalau mereka melihat orangtua mereka tidak jujur, maka mereka cenderung untuk tidak jujur terhadap diri mereka sendiri atau paling tidak hanya menaruh sedikit perhatian untuk apa yang dikatakan oleh orangtua mereka tentang Allah”. 

Jelas bagi kita bahwa karakter anak itu ditentukan oleh bagaimana karakter orangtuanya. Penting sekali, Saudara senantiasa bercermin dan belajar pada Firman Tuhan sehingga anak-anak Saudara mengikuti jejak iman Saudara. Saya ulangi lagi, salah satu cara terbaik untuk menolong anak Saudara bertumbuh dalam iman kepada Allah adalah dengan memperlihatkan kehidupan yang saleh di depan anak setiap hari. Gordon mengatakan demikian: 

“Orangtua juga harus menjadi contoh yang benar bagi anak-anaknya. Kalau anak memandang orangtua sebagai tokoh yang berotoritas dan menjadi teladan bagi anak-anaknya, anak akan menghormati dan menaati orangtuanya dan mendengarkan didikannya”. 

Orangtua yang tidak bisa menjadikan dirinya sendirinya sebagai model atau contoh yang baik bagi anaknya adalah orangtua bodoh. Jadilah orangtua yang bijak seperti Paulus berkata,”Jadilah pengikutku, sama seperti aku juga menjadi pengikut Kristus” (1 Korintus 11:1). 

Berupayalah menjadi contoh baik, bukan sempurna bagi anak Saudara. Sebab kenyataan tidak ada orangtua yang sempurna. Saya sendiri pun menyadari memiliki kelemahan dan kekurangan baik sebagai suami bagi istri saya, sebagai ayah bagi anak-anak kami dan juga sebagai hamba Tuhan bagi jemaat yang saya gembalakan. Tanpa disadari, saya telah bertindak bodoh. Sewaktu saya menyadarinya, saya memakai pengalaman “kebodohan” itu untuk mengajarkan sikap terbuka, rendah hati, mau dikoreksi dan saya mengakui kesalahan tersebut dan meminta maaf baik kepada istri, anak-anak maupun jemaat. Jadi kebodohan pun bisa menjadi pelajaran yang berharga. Baik sebagai pelajaran saja tetapi tidak baik untuk diulang kembali! 

b. Buatlah ibadah di keluarga 

Keluarga adalah sekolah pertama bagi anak-anak. Bapak-ibu adalah guru-gurunya. Bukan sebagai guru bahasa, matematika, atau ilmu pengetahuan lainnya, melainkan sebagai guru agama dan etika. Orangtua adalah pendeta bagi anak. Pendidikan inilah yang sering diabaikan oleh banyak keluarga Kristen. Sering orangtua beranggapan bahwa mereka sudah memenuhi kebutuhan rohani anak dengan menyuruh mereka ke Sekolah Minggu, dan ibadah lainnya di gereja. Jadi, tanggung jawab memenuhi kebutuhan rohani anak anak terutama ada pada pundak orangtua, bukan pendeta, guru Sekolah Minggu atau guru agama di sekolah. Itu semuanya belum maksimal. 

Gereja hanya mengajar anak selama 1 jam. Jika anak ikut kebaktian, ditambah 1 jam. Di sekolah anak diajar 1 jam. Jadi dalam seminggu anak hanya belajar tentang kebenaran sekitar 3 jam. Berapa lama pengaruh lain hidup anak kita selama seminggu? Coba kita hitung: 24 jam X 7 hari = 168 jam, lalu dikurangi 3 jam anak mendengar firman, berarti sisa 155 jam. Apa yang kita isikan kepada anak selama 155 jam itu? Dengan demikian, betapa pentingnya ibadah di keluarga. 

Kegiatan-kegiatan rohani yang dimulai di dalam keluarga pengaruh terhadap sikap dan perilaku anak. Ingat, anak itu peniru! Kegiatan-kegiatan kerohanian yang dapat diberikan orangtua untuk membina kerohanian anak adalah mezbah keluarga. 

i) Mezbah keluarga adalah tempat mencukupi kebutuhan rohani anak. 

Kebutuhan anak perlu diperhatikan seimbang, baik jasmani, mental emosioal, sosial, intelektual dan spiritual. Mezbah keluarga berdampak baik sekali bagi perkembangan anak dari sisi spiritual dan juga perkembangan lain seperti mental emosional, intelektual dan sosialisasi anak. 

Buatlah mezbah doa di keluarga Saudara. Bawalah seluruh keluarga Saudara pada Tuhan. Tuhan sendiri meminta agar seluruh keluarga kita dilibatkan dalam doa seperti terjadi pada Yoel 2:16,”Kumpulkanlah bangsa ini, kuduskanlah jemaah, himpunkanlah orang-orang yang tua, kumpulkanlah anak-anak, bahkan anak-anak yang menyusu; baiklah penganten laki-laki keluar dari kamarnya, dan penganten perempuan dari kamar tidurnya”. Jangan remehkan anak-anak Saudara! Berdoalah sekeluarga. Di mana ada kesehatian, di situ ada otoritas Tuhan. 

Latihlah anak Saudara berdoa! Kami menjalankan ibadah di keluarga sejak kami menikah. Inilah cara kami memperkenalkan anak sejak masih dalam kandungan. Ingat, anak belum lahir pun sudah mampu “merekam” semua kejadian yang dialaminya sejak dalam kandungan ibunya sampai hari ini. 

Mulai sekarang, libatkan anak-anak Saudara berdoa— bermezbah keluarga. Ini yang diminta Tuhan kepada Saudara. Selain Yoel, raja Yosafatpun diperintahkan Tuhan untuk melibatkan anak-anak,”Sementara itu seluruh Yehuda berdiri di hadapan TUHAN, juga segenap keluarga mereka dengan isteri dan anak-anak mereka.” (2 Taw 20:13). 

Sebenarnya, dalam mezbah keluarga bukan hanya mengajarkan Firman Tuhan kepada anak. Ada banyak topik yang dapat dibicarakan dalam mezbah keluarga antara lain : bagaimana memilih teman bergaul, teman hidup, pekerjaan, prestasi, pelayanan, pendidikan, etika dan moral, dan sebagainya. 

ii) Tanamkan iman dari sejak kecil (Ulangan 6:4-9) 

Orangtua adalah ibarat penabur. Setiap hari ia harus menabur rupa-rupa benih : benih iman, ilmu, pelayanan, keuletan, kejujuran, tanggung jawab, integritas dan lain sebagainya. Benih itu pun tidak langsung bertumbuh, melainkan menunggu waktu. Pendidikan dan kerohanian selalui melalui proses waktu yang relatif panjang. 

Kualitas pribadi dan moral adalah produk taburan dari masa kecil. Masa kecil adalah masa peletakkan fondasi iman, kepribadian dan watak Kristus. Dampak menanamkan iman dari sejak masa kecil kita bisa lihat contohnya pada Obaja. Obaja adalah kepala istana yang bekerja untuk Raja Ahab dan Ratu Izebel yang terkenal kejam. Kitab 1 Raja-raja 18:1-15 mencatat,”Obaja itu seorang yang bersungguh-sungguh takut akan Tuhan” (ayat 3). 

Kualitas keimanan Obaja telah teruji ketika ia menentang rencana jahat Ratu Izebel yang waktu hendak memerintahkan untuk membunuh semua nabi. Apa yang diperbuat oleh Obaja? Ia menyembunyikan seratus orang nabi dan melindungi mereka. Ia mempertaruhkan nyawanya demi melindungi para nabi Tuhan. Obaja adalah pahlawan iman pada zamannya. Dari mana Obaja mendapat kualitas itu? Obaja membuka rahasianya,”… hambamu ini dari sejak kecil takut akan Tuhan” (ayat 12). 

Contoh lain adalah Timotius. Paulus memberi kesaksian tentang Timotius,”Ingatlah juga bahwa sejak kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus” (2 Timotius 3:15). Siapa yang meletakkan fondasi iman kepada Timotius dari sejak kecil? Orangtuanya bahkan neneknya,”Sebab aku teringat akan imanmu yang tulus, yaitu iman yang pertama-tama hidup di dalam nenekmu Louis dan di dalam ibumu Eunike dan aku yakin hidup juga di dalam dirimu” (2 Timotius 1:5). 

Jadi, tabiat baik dan buruk seorang anak adalah produk taburan sejak kecil. Itulah sebabnya orangtua harus menabur benih iman, ilmu, rasa tanggung jawab, rasa peduli, takut akan Tuhan, pelayanan dan lainnya dari sejak kecil. Semua tabiat baik itu bukan warisan alamiah melainkan hasil taburan orangtua kepada anak sejak kecil. Kalau benih yang ditabur baik, niscaya buahnya pun baik. 

iii) Setiap kesempatan bisa dimanfaatkan sebagai moment mengajar 

Salah satu cara untuk mengajarkan firman Tuhan kepada anak adalah bercerita. Hal ini sesuai petunjuk dari firman Tuhan sendiri seperti tertulis di kitab Ulangan 6:7, “Haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakan apabila engkau duduk di rumah, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun”. Selanjutnya dikatakan juga dalam Mazmur 78:3-4, “Yang telah kami dengar dan kami ketahui, dan yang diceritakan kepada kami oleh nenek moyang kami, kami tidak hendak menyembunyikan kepada anak-anak mereka, tetapi kami akan ceritakan kepada angkatan yang kemudian puji-pujian kepada Tuhan dan kekuatan-Nya dan perbuatan- perbuatan ajaib yang telah dilakukan-Nya”. 

Orangtua dapat bercerita tentang Firman Tuhan melalui tokoh- tokoh iman dalam Alkitab, seperti Abraham, Daud, dan lainnya, atau bisa juga melalui peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar Saudara maupun dengan memberi contoh-contoh kehidupan sehari-hari yang dapat dilihat, diamat-amati oleh anak. 

Bicara soal tempat di mana orang tua dapat bercerita Firman Tuhan kepada anak? Alkitab mengatakan setiap tempat dan waktu (Ulangan 6:4-9) dapat dipergunakan untuk mengajarkan firman Tuhan. Waktu berbaring, waktu dalam perjalanan, waktu makan, waktu bangun, waktu istirahat. Setiap kesempatan dapat dimanfaatkan sebagai moment mengajar anak. 

iv) Manfaat lain dari ibadah di keluarga adalah keharmonisan. 

Tuhan menghendaki agar orangtua dan anak adalah harmonis. Suatu hubungan yang harmonis antara orangtua dan anak hanya dapat terjadi jika di dalam keluarga tersebut ada komunikasi yang baik dan hangat. 

Mezbah keluarga bisa menjadi jalan keharmonisan antara orangtua dan anak. Di mezbah keluarga itulah menjadi tempat komunikasi untuk kami sharing Firman Tuhan dan berbagai pergumulan maupun kebutuhan keluarga. 

Kami telah merasakan manfaat mezbah keluarga. Mezbah keluarga dapat mempererat hubungan antara pribadi orangtua dan anak dan juga antara anak yang satu dengan yang lain. Melalui mezbah keluarga juga dapat menjadi tempat membina kesehatian dalam keluarga sehingga tercipta suasana yang indah. 

Anne Poonen dan Margaret Ringrose mengatakan tentang pentingnya keharmonisan orangtua: “Mungkin kita tidak pernah menyadari bahwa rumah bagi seorang anak sebenarnya adalah orangtuanya, perasaan aman dalam diri seorang anak tidak berasal dari keadaan rumahnya, tetapi berasal dari hubungan antara kedua orangtuanya”.  

c. Mendorong anak untuk membaca firman Tuhan setiap hari 

Bila anak sudah dapat membaca maka Sudara dapat mendorong anak untuk membiasakan diri membaca Alkitab setiap hari (Mazmur 1:1-3). Tentunya Saudara sendiri telah membiasakan diri (menjadi teladan) membaca Alkitab setiap hari (Lukas 6:31). Firman Allah yang dipraktekkan adalah lebih meyakinkan ketimbang Firman Allah yang dijelaskan. 

Sejak kecil, anak kami sudah kami biasakan agar mereka membaca Alkitab setiap hari, dan hingga hari ini tanpa disuruh sudah melakukannya sendiri. Kami menanamkan pentingnya membaca Alkitab untuk pertumbuhan kerohanian mereka. Anak rajin membaca Alkitab setiap hari karena mereka diberitahu alasannya. Jangan memberi iming-iming akan membeli sesuatu kepada anak agar membaca Alkitab setiap hari. Misal, kalau kamu membaca Alkitab nanti saya belikan jajan, atau saya ajak pergi, dan sebagainya. Sekali lagi, beri alasan yang masuk akal yaitu pertumbuhan rohani. 

Melalui pembacaan firman Tuhan setiap hari anak akan mengalami pertumbuhan kerohanian dan sekaligus akan memberikan pengetahuan tentang apa yang benar dan yang salah, sehingga dalam masa perkembangan menuju masa dewasa, anak dapat mengambil sikap atau keputusan yang benar sesuai dengan firman Tuhan. 

d. Sediakan buku renungan harian untuk anak 

Sebelum anak-anak kami dapat membaca, mereka sudah dapat menikmati cerita Alkitab yang dibacakan oleh istri saya dari buku anak-anak. Istri saya selalu memulai cerita Alkitab setiap hari entah sebelum mereka tidur maupun saat santai. 

Setelah anak-anak kami bisa membaca, maka untuk membantu mereka bertumbuh dalam kerohanian, selain Alkitab sebagai bacaan utama, kami menyediakan buku renungan harian atau buku bacaan Kristen yang bermutu sebagai bahan pendukung pertumbuhan kerohanian mereka. Bacaan renungan harian anak itulah yang kami pakai untuk membawa mereka mengenal Tuhan Yesus. 

Melalui bacaan tersebut anak dibimbing untuk semakin mengenal Kristus. Selanjutnya kami memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai bacaan tersebut atau bisa juga melalui apa yang mereka tanyakan. Yang penting Saudara jangan lari, tetapi hadapi dan beri keterangan secukupnya (sesuai usia anak) dan dengan demikian anak merasa puas. 

Ingat, anak Saudara memerlukan penjelasan dari Saudara! Suatu bahaya besar jika anak mencari jawaban di luar orangtua, melalui bacaan, teman, tontonan yang tidak bermanfaat, yang dapat merusakkan dan menyesatkan anak. Mintalah hikmat Tuhan untuk menjelaskan firman Tuhan atau sejumlah pertanyaan anak Saudara, atau bisa juga Saudara bertanya pada saudara seiman lainnya. 

Keuntungan-keuntungan apa saja yang diperoleh anak-anak dari buku- buku yang mereka baca? Bacaan memberikan pelajaran mengenai bermacam- macam hal yang tak terhitung banyaknya. Bukankah anak-anak mudah dipengaruhi oleh apa yang dilihat dan dibaca? Dengan orangtua menyediakan bacaan Kristen dalam berbagai golongan usia akan menuntun mereka kepada ajaran dan nasihat Tuhan. Melalui bacaan tersebut, orangtua dapat memberikan hal-hal yang dapat memengaruhi anak-anak seumur hidup mereka. Mereka bisa diilhami untuk melakukan hal-hal besar bagi Allah. 

e. Doronglah anak untuk menjalin hubungan pribadi dengan Tuhan 

Tanggung jawab terbesar orangtua adalah membawa anak kepada Tuhan Yesus. Orangtua tidak boleh membiarkan anaknya begitu saja dengan harapan bahwa kelak ia besar akan mengenal Tuhan Yesus dengan sendirinya sebab ia sudah tinggal di keluarga Kristen. Di sinilah peran orangtua untuk terus menerus membimbing anaknya untuk mengenal Tuhan Yesus dan selanjutnya menjalin hubungan pribadi dengan Dia melalui saat teduh secara teratur setiap hari. 

Kedewasaan iman itu akan mempengaruhi tingkah laku anak dalam kehidupan setiap hari. Bila seorang anak telah memiliki dasar-dasar kebenaran Firman Tuhan yang diterima sejaka kecil, ketika memasuki masa remaja, ia bisa selektif dalam memilih teman bergaul serta menjauhkan diri dari pergaulan yang tidak sehat. 

f. Libatkan anak dalam kegiatan gereja 

Selain kegiatan rohani yang sudah dimulai dalam keluarga, kami perlu mendorong anak-anak kami untuk terlibat aktif dalam kegiatan gerejawi seperti ibadah Sekolah Minggu, ibadah remaja dan pemuda, Sekolah Injil Liburan, dan kegiatan gereja lainnya sesuai golongan usia anak. 

Dengan melibatkan anak dalam kegiatan rohani di gereja berarti Saudara sudah memberikan “ruang” pada anak Saudara untuk mengembangkan kehidupan sosialnya dan juga spiritualnya. Berarti Saudara juga turut membekali anak-anak Saudara dengan pergaulan yang baik dengan teman-temannya di gereja. 

3.2 ANAK TAAT DAN HORMAT KEPADA ORANGTUA 

Ada perintah Tuhan kepada orangtua untuk mengajar anak taat dan menghormati orangtua mereka,”Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian. Hormatilah ayahmu dan ibumu — ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini: supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi” (Efesus 6:1-3). Ketaatan adalah jalan kehidupan bagi orang percaya. 

Tuhan Yesus pun sebagai Anak, Ia pun juga belajar taat kepada Bapa- Nya,”Dan sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya” (Ibrani 5:8). Ketaatan Tuhan Yesus kepada Bapa-Nya digumuli dan dilalui dengan air mata dan penderitaan dan Ia menang (Ibrani 5:7). 

Anak harus taat dan hormat terhadap orangtua. Namun hal itu tidak akan terjadi dengan sendirinya. Orangtua harus mengajarkan kepada anak mereka. Mendidik anak untuk taat dan hormat kepada orangtua merupakan tantangan yang dihadapi oleh setiap orangtua, apalagi dengan perkembangan zaman saat ini, sudah bukan zamannya lagi pakai metode otoriter. 

Saya mengajak Saudara memperhatikan Kolose 3:20 yang berkata,”Hai anak-anak, taatilah orangtua dalam segala hal, karena itulah yang indah dalam Tuhan”. Perhatikan kata “itulah yang indah”. Berarti ketaatan anak kepada orangtua seharusnya timbul bukan karena sikap otoriter orangtua mereka, melainkan karena kasih seorang anak kepada orangtua. Itulah ketaatan yang indah. Kasih yang diberikan anak kepada orangtua sama dengan kasih yang diberikan orangtua kepada anak, yakni kasih tanpa syarat. 

Memang, kita akui tidak ada orangtua sempurna. Tetapi Ia telah memberikan petunjuk untuk mendidik anak-anak kita. Allah benar-benar mengharapkan agar kita mendidik mereka untuk taat dan hormat kepada orangtua. Tujuan didikan yang utama adalah mengajar agar suatu hari kelak anak itu dapat sepenuhnya bertanggungjawab untuk kehidupannnya sendiri. Anak menjadi dewasa dalam aspek kehidupannya. 

Untuk mengajar anak taat kepada orangtua hendaklah didahului oleh contoh bapak ibunya. Firman Allah yang dipraktekkan lebih meyakinkan daripada Firman Allah yang dijelaskan. Contoh seorang ibu yang tidak menaati perintah-perintah bapaknya. Tindakan ibu yang tidak taat ini secara tidak langsung menggagalkan upaya mengajar anak taat pada orangtuanya. 

Hal yang sama juga, jika bapak ibunya tidak taat kepada Tuhan menghalangi anak-anak untuk menghormati orangtua mereka sendiri. Ibu yang tidak taat pada suaminya, atau sebaliknya seorang bapak yang tidak menaati Tuhan. Tindakan orangtua yang tidak taat pada Tuhan adalah cerminan pemberontakan terhadap Tuhan. Orangtua yang demikian, tidak hanya bersalah kepada Tuhan saja tetapi juga telah merugikan anak mereka sendiri. Orangtua semacam itu sulit menuntut ketaatan dari anak-anaknya. 

Anak yang tidak pernah dituntut taat dan hormat pada orangtua, tidak akan bisa belajar taat pada Tuhan, sebaliknya sulit menaati Tuhan di kemudian hari. Jadi, merupakan tanggung jawab bagi seorang anak selama ia tinggal bersama orangtua ialah belajar taat. Kebenaran ini sudah mulai pudar. Kita hidup di zaman yang cenderung mengijinkan segala-galanya atau serba menuntut kebebasan. 

3.3 ANAK HIDUP SALING MENGASIHI 

Firman Tuhan mengajar kita agar hidup saling mengasihi,” Jikalau seorang berkata: “Aku mengasihi Allah,” dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya. Dan perintah ini kita terima dari Dia: Barangsiapa mengasihi Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya” (1 Yohanes 4:20-21). Saudara di sini, dalam arti luas adalah semua sesama manusia (Markus 12:31). Tetapi dalam lingkup kecil adalah saudara sendiri di dalam keluarga. 

Memiliki keluarga yang saling mengasihi adalah kehendak Tuhan dan sekaligus kebahagiaan orangtua. Orangtua bahagia bila melihat anak-anaknya hidup saling mengasihi. Tidak jarang saya menjumpai keluarga yang tidak bahagia, di mana anak-anak mereka saling membenci bahkan ketika masing- masing sudah berkeluarga pun, mereka masih saling membenci. 

Bagaimana caranya supaya anak-anak Saudara hidup saling mengasihi saudaranya? 

a. Jangan pilih kasih 

Kenyataan sering terjadi kasih yang bersifat pilih kasih. Umumnya, anak yang pandai, cantik dan ganteng, mendapatkan kasih yang lebih daripada anak yang lain. 

Kasih yang bersifat pilih kasih tentu menimbulkan masalah di keluarga. Contoh nyata di Alkitab adalah kisah keluarga Ishak,dimana ayah lebih mengasihi Esau dan ibu lebih mengasihi Yakub. Demikian juga, Yakub lebih mengasihi Yusuf daripada anak-anaknya yang lain sehingga menimbulkan kecemburuan sampai-sampai hampir terjadi pembunuhan. Karena itu jangan Saudara menganakemaskan yang satu di atas yang lain. Jangan juga mengistimewakan anak yang satu di atas yang lain karena sesuai dengan keinginan atau bakat Saudara. Jangan bertindak bodoh. 

Jangan pilih kasih terhadap anak-anak Saudara. Sikap pilih kasih itu berbahaya. Perlakukan semua anak Saudara secara adil dan bijaksana. Hasilnya anak-anak Saudara akan hidup rukun dan saling mengasihi serta saling mendukung. 

b. Jangan membandingkan anak yang satu dengan anak yang lain 

Biasanya orangtua membandingkan anak yang satu dengan saudara kandung yang lain karena lebih pintar, lebih sukses, dan lainnya. Tindakan ini adalah bodoh. Tindakan membandingkan anak satu dengan yang lain akan menciptakan rasa bermusuhan. 

Orangtua yang suka membanding-bandingkan anak yang satu dengan saudaranya sendiri atau anak lain maka anak yang kurang pandai atau kurang sukses itu dapat menjadi minder (rendah diri). Anak yang demikian akan semakin merasa gagal dan tidak bisa menyadari keunikan dan kelebihan di dalam dirinya. Padahal setiap anak pasti punya kelebihan yang tidak dimiliki oleh anak lain. Tuhan itu mahakasih dan mahaadil. 

Orangtua bijak akan menerima keberadaan anak apa adanya dan juga membantu anak untuk mengenali serta mengembangkan potensi atau kelebihannya. Langkah bijak adalah doronglah anak-anak Saudara untuk saling mengasihi dan berbagi dan bukan dibandingkan. Biarlah anak mencapai sukses di bidangnya masing-masing. Entah di bidang pendidikan, seni, ketrampilan, birokrasi, dagang, politik, dan lainnya. Setiap anak adalah unik. Tuhan sudah menetapkan jalan setiap anak masing-masing berbeda. 

c. Jangan membela anak berdasarkan usia 

Ketika anak-anak kami berselisih, kami cenderung lebih membela anak yang usianya lebih rendah dengan anggapan karena adiknya masih kecil. Kami meminta kakaknya untuk memahami adiknya. Seringkali saudara yang lebih tua diminta mengalah. Ternyata ini adalah tindakan bodoh. 

Kini, kami mengubah cara mendidik mereka. Ketika mereka berselisih, kami menegur anak yang salah dengan kasih. Dengan cara demikian, sang adik tidak merasa selalu dibela orangtua dan kakak tidak merasa dikalahkan sebab memang adiknya yang salah. 

Membela anak dengan tidak melihat siapa yang salah dan yang benar tetapi hanya mempertimbangkan usia saja akan berdampak buruk bagi anak. Anak yang kecil karena selalu dibela bisa menjadi egois dan manja. Sementara kakaknya yang diminta selalu untuk mengalah terhadap adiknya, bisa merasa rendah diri bahkan perasaan tertolak. 

Di sinilah pentingnya orangtua bertindak adil, maka anak akan menghormati orangtua mereka dan juga saling menghormati saudaranya. 

d. Jangan cekcok di depan anak 

Tidak ada orangtua yang sempurna. Di dalam rumah tangga pasti ada hal-hal yang kurang sempurna. Justru kekurangan dan ketidaksempurnaan itu adalah “ruang” untuk saling mengasihi dan mengisi untuk membangun rumah tangga bahagia. Untuk mendalami pokok ini, silakan baca buku saya : Cek-cok tapi sudah cocok (Yogyakarta: Andi,2014). 

Rumah tangga tidak luput dari cekcok. Cekcok kecil dalam rumah tangga adalah wajar. Namun, orangtua hendaknya bijak memperhatikan tempat ketika cekcok. Terkadang orangtua tidak mampu menahan emosi sehingga cekcok di depan anak-anak mereka. Itu adalah tindakan bodoh. Apa yang dilihat anak, bukan tidak mungkin kelak dewasa mereka melakukan hal yang sama seperti yang mereka lihat dari orangtuanya sebab hal itu dianggap wajar. Ketika terjadi percekcokan, hendaknya bisa diselesaikan dengan tertutup, bukan di depan anak-anak kita. 

Firman Tuhan memberi kunci untuk membangun hidup saling mengasihi adalah saling menghormati,”Demikian juga kamu, hai suami-suami, hiduplah bijaksana dengan isterimu, sebagai kaum yang lebih lemah! Hormatilah mereka sebagai teman pewaris dari kasih karunia, yaitu kehidupan, supaya doamu jangan terhalang” (1 Petrus 3:7). 

Kadang-kadang, dengan tidak sadar seorang suami menyampaikan kata- kata yang tidak sedap didengar mengenai istrinya di hadapan anak-anak. Atau sebaliknya. Bahkan suami dan istri saling menyela pembicaraan dan menyerang di hadapan anak-anak. Tindakan ini sangat melukai perasaan anak-anak kita. 

Hindarilah marah-marah atau berteriak-teriak kepada istri atau suami di hadapan anak-anak. Entah suami atau istri yang bersalah, Saudara perlu belajar menahan diri. Mungkin suami yang salah, tetapi tindakan marah-marah atau meneriaki suami di hadapan anak-anak, adalah orangtua bodoh. Tindakan itu tidak hanya merendahkan suami di hadapan anak-anak, melainkan merendahkan istri juga. Jalan yang bijak, Saudara harus masuk kamar dan tutup pintu. Di sanalah, Saudara dapat menyampaikan apa yang Saudara anggap salah dan tidak baik terhadap tindakan tertentu dari istri atau suami Saudara. Jangan menyampaikan kekurangan suami atau istri Saudara di hadapan anak-anak Saudara. Tidak jarang, orangtua gagal dalam hal ini. 

Baiklah Saudara menerapkan prinsip ilahi ini,”Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka” (Lukas 6:31). Jika ada argumentasi, tunggullah pada waktu anak-anak tidak ada. Tunjukkan kasih sayang, hormat dan melayani di antara suami istri agar anak juga dapat menunjukkan kasih sayang, rasa hormat kepada orangtua, saudara bahkan kepada suaminya atau istrinya di kemudian hari. Praktekkanlah! Hal ini kedengarannya sederhana tetapi penuh kuasa untuk mengajarkan anak Saudara hidup saling mengasihi terhadap saudaranya. 

Oleh sebab itu, orangtua jangan sekali-kali cekcok di hadapan anak. Itu ibarat gempa yang menggoncangkan jiwa anak. Ingat, yang paling dibutuhkan oleh anak adalah perasaan aman. Dan perasaan aman itu tergantung pada kerukunan hidup orangtua. Kerukunan hiduplah dasar atau fondasi untuk membangun hidup saling mengasihi dan menghargai. 

e. Biasakan hidup saling membantu 

Untuk membangun hidup saling membantu, orangtua bisa mengajak anak-anak mengerjakan kegiatan bersama seperti membersihkan rumah. Dengan melakukan kebiasaan ini sejak anak-anak masih kecil, akan membentuk karakter yang peduli, kerjasama, saling menolong, dan saling memperhatikan satu sama lain sehingga mempererat hubungan kasih dalam keluarga. Selain itu juga dapat meringankan tugas-tugas orangtua. 

Doronglah anak-anak Saudara untuk saling membantu dalam kegiatan merekasehari-hari.Sejakkecilanak-anakkamiajarihidupsalingmemperhatikan dan membantu. Selain itu, kami juga dapat mengajar mereka dengan melihat kami saling membantu sebagai suami dan istri. Kami tidak hanya mengajar tetapi memberi teladan konkrit supaya mereka melihat dan menirunya. Mereka dapat melihat kami hidup saling membantu. Saya dengan istri membagi tugas dalam kegiatan sehari-hari. Terkadang istri saya mencuci baju, saya mencucui piring. Mencuci piring bukan sekedar pekerjaan wanita. Semua tugas rumah tangga kami kerjakan bersama-sama. Walaupun kami ada pembantu rumah tangga, kami tidak menyerahkan semua pekerjaan kepadanya. Kami ingin mewariskan ajaran dan juga kehidupan kepada mereka. Cara terbaik untuk anak belajar ialah dengan memperhatikan dan dengan meniru apa yang Saudara lakukan. Anak akan mengenal dan merasakan kasih Allah melalui kasih orangtua mereka terhadap mereka. Demikian juga, anak akan hidup saling membantu, melalui contoh konkrit ayah ibu mereka. 

Menurut Dr. Volkard dan Gerlinda Scheuneman dalam bukunya “Hidup sebelum dan sesudah nikah” mengatakan demikian: 

“Bilamana dari sejak kecil anak-anak dididik untuk bekerja, mereka tidak hanya lebih mudah maju dalam pelajaran di sekolah, melainkan juga dibentuk dalam sikap saling menolong dan memperhatikan sehingga mempererat hubungan kasih di keluarga. Selain itu, latihan kerja membawa anak- anak untuk dapat berdiri sendiri, suatu pengalaman yang memperkuat harga diri mereka, dan membawa mereka mengecap kepuasan. Karena salah satu sumber kepuasan ialah kesukaan karena suatu pekerjaan dapat diselesaikan dengan baik”. 

Bab 4 PRINSIP MENDIDIK ANAK 

4.1 KESEHATIAN 

Untuk mendidik anak, perlu kesehatian orangtua. Kenyataan dalam rumah tangga, antara suami dan istri bisa berbeda pandangan/ pendapat, misalkan soal keuangan, cara mendidik anak, sekolah anak, tabungan, belanja kebutuhan, dan hal lainnya. Orangtua harus selalu terlihat sehati atau kompak di mata anak-anak. 

Karena itu, sebelum memutuskan sesuatu, Saudara perlu berdiskusi dengan istri atau suami Saudara agar tidak menimbulkan konflik sehingga menjadi kekuatan yang saling menyerang dan melemahkan. Betapa sering seorang ibu mengijinkan apa yang dilarang oleh bapak. Atau mungkin bapak berkata boleh, ibu berkata tidak boleh. Jika bapak mendisiplin/menghukum anak, kemudian ibunya membelanya secara langsung di depan bapaknya. Jelas tindakan ibunya tidak mendukung disiplin yang sedang dijalankan atas anak mereka. Bahkan ia mencoba memperlemah disiplin itu. Betapa pentingnya kesehatian antara bapak dan ibu! 

Sikap orangtua yang tidak sehati bisa dimanfaatkan oleh anak untuk mengadu domba orangtuanya demi keuntungannya sendiri. Sikap bodoh ini akan melemahkan wibawa orangtua di depan anak. Anak akan bersikap tidak hormat kepada salah satu orangtuanya. 

Dengan demikian, sangatlah penting bagi orangtua untuk mencapai kata sepakat, seia sekata tentang bagaimana rencana mereka dalam mendisplin anak-anak mereka dan kemudian melaksanakan keputusan bersama mereka itu. Untuk membuat disiplin itu menjadi efektif orangtua harus seia sekata, kompak. Anak-anak akan segera tahu jika ayah dan ibu mereka tidak kompak, dan mereka akan mulai mengadu domba. 

4.2 KASIH DAN KEADILAN 

Dr. Stephen Tong mengatakan bahwa kasih dan keadilan adalah dasar dalam mendidik anak. Kebutuhan anak bukan saja kasih tetapi juga keadilan. Keluarga harus menjadi tempat di mana keadilan ditegakkan karena orangtua menjadi wakil Allah untuk mendidik anak. Tanpa kasih dan keadilan, pendidikan anak akan gagal. Kedua hal tersebut harus berjalan seimbang dalam proses mendidik anak. 

Jika Saudara melanggar prinsip kasih dan keadilan, akan muncul perasaan iri hati dan persaingan di antara anak-anak Saudara. Siapa yang dirugikan? Saudara rugi dan anakpun rugi. Anak bisa muncul kepahitan dan kebencian terhadap Saudara. Di mana ada kebencian, di situ iblis masuk untuk merusakkan hidup manusia sebab kita tahu maksudnya. 

Kasih dan keadilan berpadu hasilnya adalah kuasa/otoritas. Saya akui ini tidak mudah, tapi dengan pertolongan Tuhan dan hikmat-Nya, orangtua akan diberi kemampuan untuk memadukan keduanya menjadi indah. Saya bergumul bagaimana menjadi ayah yang ditakuti sekaligus dicintai oleh anak- anak saya. Sebab jika anak Saudara sangat cinta kepada Saudara tetapi tidak takut kepada Saudara, berarti Saudara orangtua yang gagal. Sebaliknya, jika anak Saudara begitu takut kepada Saudara tetapi tidak cinta kepada Saudara, berarti Saudara gagal mendidik anak. Anak takut (bukan karena kediktatoran/ otoriter melainkan wibawa orangtua), dan sekaligus cinta yang tanpa syarat sebagaimana orangtua mengasihinya. Itu adalah orangtua bijak dan sukses. Hal ini bukanlah hal mudah, tapi bisa. 

Dengan demikian, Saudara harus bersikap bijak dan adil dalam menyatakan kasih kepada semua anak Saudara. Kasih tanpa keadilan hanya akan menghasilkan sifat manja dan egois. Sebaliknya, keadilan tanpa kasih melahirkan anak berontak, tidak punya kontrol diri dan masa bodoh. Tanpa kasih yang ada hanyalah kekerasan, tetapi kasih tanpa keadilan adalah kompromi. 

Dr. James Dobson seorang pakar fokus pada keluarga mengatakan bahwa persaingan keluarga akan menjadi buruk sekali bila tidak ada keadilan yang bijaksana dalam keluarga, di mana “para pelanggar hukum” dibebaskan tanpa diadili. Penting sekali bagi kita untuk mengerti bahwa dalam masyarakat, hukum diciptakan dan dijalankan untuk melindungi orang yang satu dari yang lain. Demikian juga keluarga adalah masyarakat kecil yang membutuhkan persyaratan yang sama untuk melindungi hak asasi manusia. 

Sebagai ilustrasi, misalnya saya tinggal dalam satu masyarakat yang tidak mempunyai hukum yang jelas. Tidak ada polisi dan tidak ada pengadilan yang dapat menyelesaikan perselisihan pendapat. Dalam keadaan seperti itu, saya dan tetangga saya dapat saling melecehkan tanpa menerima hukuman. Ia dapat melempar batu ke rumah saya dan saya dapat membalas melempar kursi ke jendela rumahnya. Sikap saling bermusuhan seperti ini semakin hari akan memanas dan menjadi semakin hebat sejalan dengan berlalunya waktu. Bila terus dibiarkan, akhirnya akan menimbulkan kebencian dan pembunuhan.  

Jadi, bila tidak ada keadilan maka “sesama manusia” dalam satu keluarga akan mulai saling menyerang dan perkelahian tak henti-hentinya di antara saudara sekandung. Intinya, setiap keluarga Kristen butuh hukum dan hukuman sehingga tercipta ketertiban, saling mengasihi dan melindungi. 

4.3 KONSEKUENSI 

Rumah tangga Saudara harus ada aturan yang jelas. Rumah tangga tanpa aturan akan menjurus ke arah kekacauan dan mengalami kesulitan. Semua pendidikan membutuhkan peraturan-peraturan yang jelas dan pasti. Rumah tangga pun membutuhkan peraturan yang dibentuk demi terciptanya ketertiban dan keindahan serta suasana sejahtera di dalamnya. 

Berikut pernyataan Tonci Salawaney: “Suasana adalah suatu unsur utama dan yang sangat penting dalam hidup berumah tangga. Ibu bapaklah yang menciptakan sebagian besar suasana lingkungan rumah tangga”. 

Bila rumah tangga tidak ada peraturan yang jelas, maka kehidupan anak maupun orangtua diombang-ambingkan oleh suasana atau dorongan hati (mood) tanpa petunjuk. Anak yang sejak kecil dibiarkan bertumbuh tanpa mengenal peraturan di keluarga pasti mereka akan berjalan menuruti kemauannya sendiri hingga menginjak remaja, Saudara benar-benar akan mengalami kesulitan untuk mendisiplin, mengarahkan perilakunya. 

Orangtua perlu mengenalkan beberapa peraturan kepada anak mereka di keluarga sejak dini. Untuk melaksanakan peraturan memang dibutuhkan ketetapan hati atau kemauan keras. Kalau orangtua mendidik anak sejak dini dengan konsekuen, sehingga pada masa mudanya akan lebih mudah diarahkan tanpa “tongkat” melainkan cukup dengan kata maupun mata saja. 

Bila tata-tertib rumah-tangga dilanggar?Setiap kesalahan atau pelanggaran harus ada disiplin atau hukuman sebagai konsekuensi atas pelanggaran tersebut. Mengapa perlu ada hukuman? Itu adalah cara dan perintah Tuhan sendiri dalam mendidik umat-Nya. Ibrani 12:6-11 demikian: “Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkan-Nya; karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak.” Jika kamu harus menanggung ganjaran; Allah memperlakukan kamu seperti anak. Di manakah terdapat anak yang tidak dihajar oleh ayahnya? Tetapi, jikalau kamu bebas dari ganjaran, yang harus diderita setiap orang, maka kamu bukanlah anak, tetapi anak-anak gampang. Selanjutnya: dari ayah kita yang sebenarnya kita beroleh ganjaran, dan mereka kita hormati; kalau demikian bukankah kita harus lebih taat kepada Bapa segala roh, supaya kita boleh hidup? Sebab mereka mendidik kita dalam waktu yang pendek sesuai dengan apa yang mereka anggap baik, tetapi Dia menghajar kita untuk kebaikan kita, supaya kita beroleh bagian dalam kekudusan-Nya. Memang tiap-tiap ganjaran pada waktu ia diberikan tidak mendatangkan sukacita, tetapi dukacita. Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya”. 

Kalau kita perhatikan ayat-ayat di atas, ada kebenaran yang luar biasa bahwa hubungan orangtua dengan anaknya harus mengikuti pola hubungan Allah Bapa dengan umat-Nya. Hubungan itu bercirikan kasih yang melimpah. Bapa yang baik yang limpah dengan kasih, Ia membimbing dan mengoreksi anak-anak-Nya demi kebaikan mereka. Hukuman itu akan menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada anak-anak Saudara. Disiplin sangat berfaedah besar bagi anak-anak Saudara. 

Saudara perlu ikuti! Firman Tuhan mengatakan,”Siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya, tetapi siapa yang mengasihi anaknya, menghajar dia pada waktunya” (Amsal 13:23). Jadi disiplin adalah bentuk kasih dan perhatian orangtua kepada anak. Disiplin merupakan upaya orangtua untuk melindungi anak dari kebiasaan atau perilaku buruk. Dengan demikian, hukuman adalah unsur disiplin. 

Orangtua yang sulit menerapkan konsekuensi atau hukuman akan sulit menanamkan tanggung jawab kepada anak-anaknya. Orangtua perlu menghukum anak ketika mereka melakukan kesalahan adalah wajar dan itu sebenarnya merupakan kebutuhan anak. Anak yang tidak pernah dihukum ketika melakukan kesalahan atau pelanggaran terhadap aturan yang Saudara berikan, maka ia akan cenderung tumbuh menjadi orang yang egois dan tidak bertanggungjawab. 

Mengasihi anak bukan berarti tidak menghukum atau mendisiplin anak jika ia perlu mendapat sangsi. Orangtua harus bersikap tegas dalam hal apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Sekali lagi, aturan harus jelas dan dilakukan dengan konsisten. Dengan demikian, anak akan mengerti bahwa dibalik perintah ada konsekuensi atau sanksi sehingga mereka tidak mempermainkan perintah. Orangtua hendaknya konsekuen supaya tidak meruntuhkan wibawanya sendiri. 

Hal-hal berikut ini penting diperhatikan sebelum Saudara melakukan disiplin terhadap anak-anak Saudara. 

a. Fungsi hukuman 

Hukuman dapat diberikan kepada anak dengan tujuan, pertama: mencegah pengulangan tindakan yang tidak diinginkan. Bila anak menyadari bahwa tindakan tertentu akan dihukum, anak biasanya akan teringat akan hukuman yang diterimanya pada masa lampau. Kedua: mendidik. mendapat hukuman tersebut. Dengan cara demikian, anak Sebelum anak mengerti peraturan, anak dapat belajar bahwa tindakan tertentu benar dan yang lain salah dengan tidak akan mengulangi kesalahan tersebut.

Dr. Mary Setiawani mengatakan bahwa disiplin mengandung unsur pengarahan dan pengendalian diri:  

 Disiplin mengandung arti pengarahan akan hal-hal yang benar dan salah, di mana pembentukan karakter Kristen berlandaskan Alkitab sehingga dapat menyatakan kepada kita apa yang benar dan yang salah. 

 Disiplin mengandung unsur pengendalian diri, sebab anak itu memerlukan 

pengendalian diri karena sejak lahir sudah membawa sifat-sifat dosa. Dan kencenderungan anak adalah berbuat dosa dan cenderung egois. Apa saja yang diminta harus segera dipuaskan, kalau tidak segera dipuaskan, ia akan marah-marah. Tidak ada seorang ibu pun yang mengajar anaknya marah- marah atau menangis kalau tidak diberi apa yang ia inginkan. Tetapi hal ini langsung terlihat pada bayi sejak lahirnya. Melalui disiplin, anak dilatih untuk menguasai dirinya dengan pertolongan Tuhan. Disiplin berarti melatih anak melakukan pengendalian diri.” 

Saya sering mendengar ungkapan bahwa orangtua tidak boleh melarang anaknya menggambar atau menulis di dinding sebab itu merupakan tanda kre- atifitas anak. Bagi saya, itu bukan kreatif tetapi kurang disiplin. Ketika saya me- lihat anak saya mulai mencoret-coret dinding, langsung saya memberi penger- tian bahwa itu tidak baik. Rumah menjadi kotor. Kemudian, saya ambilkan kertas, buku, dan pensil warna. Jadi anak perlu diarahkan dengan disiplin tinggi namun penuh kasih. Anak tidak dilarang tetapi diarahkan. Ini sikap orangtua bijak. 

b. Langkah menghukum anak : 

i) Terangkan dengan jelas batas-batasnya sebelum Saudara menjalankan disiplin 

Buatlah aturan yang jelas dan konsisten bagi anak-anak Saudara di rumah. Misalkan, aturan nonton TV, waktu main, waktu belajar, waktu tidur, waktu bangun, waktu berdoa bersama, dan lainnya. Tanpa aturan maka anak-anak Saudara tidak mungkin ber-aturan atau berdisiplin. Anak yang tidak dapat mengatur waktu akan menemui kesulitan. Pada bab 5 akan saya uraikan mengenai peraturan di keluarga. 

Hal penting sebelum Saudara menghukum anak ialah Saudara harus terlebih dahulu menentukan dengan jelas aturan untuk disepakati bersama. 

Aturan dibuat agar anak-anak bertumbuh ke arah tingkah laku yang baik dan dapat memiliki pengendalian diri. Ini tidak terjadi secara otomatis. Orangtualah yang harus membimbing anak untuk menanamkan disiplin kepada mereka. 

ii) Saudara harus menasihati dan memberi peringatan 

Orangtua yang menghukum anak tanpa terlebih dahulu menasihati dan memberi peringatan adalah orangtua bodoh.Jika anak melakukan kesalahan atau pelanggaran, orangtua wajib menasihati dan memperingatkan kepadanya. 

iii) Berilah hukuman dengan tegas 

Bagaimana, bila anak kita tidak mau taat? Jika diperintah berulang-ulang, sudah dinasihati dan diperingati tetap tidak diindahkannya dan anak tidak berubah, maka anak perlu diberi hukuman dengan tegas tetapi hukuman tidak perlu keras. Orangtua harus konsekuen. Ketidaktaatan harus diberi sanksi. Jika ketidaktaatan tak ada sanksi berarti orangtua tidak konsekuen dalam menuntut pelaksanaan perintah. Itu sudah tentu meruntuhkan wibawa orangtua sendiri di depan anak. 

iv) Jangan dikuasai kemarahan Hal ini penting bagi orangtua bila harus mengoreksi anak, jangan tinggikan suaramu. Jangan hilang pengendalian diri Saudara! Sebab bila orangtua mengoreksi anak dengan marah, kesalahannya adalah lebih besar daripada anak itu sendiri. Menggertak anak ketika anak itu bersalah adalah membuat keadaan lebih buruk. Tindakan ini tidak akan menjadikan dia lebih baik. 

Disiplin yang dijalankan dengan kemarahan biasanya tidak direspon baik oleh anak. Anak merespon dengan perasaan terluka, kecewa bahkan timbul rasa benci dan dendam. Bukankah Alkitab sudah memperingatkan kita? 

Salamo berkata : “Siapa lekas naik darah, berlaku bodoh, tetapi orang yang bijaksana, bersabar” (Amsal 14:17). 

“Orang yang sabar besar pengertiannya, tetapi siapa cepat marah membesarkan kebodohan” (Amsal 14:29). 

Janganmenjadiorangtuabodoh!KetikaSaudarahendakmenjalankan disiplin terhadap anak Saudara, maka Saudara harus terlebih dahulu menang atas kemarahan Saudara sendiri. Saudara harus menunggu sampai Saudara tenang dan dapat menguasai diri. Dengan demikian, anak akan melihat betapa Saudara mengasihi mereka. 

v) Berilah hukuman sesegera mungkin 

Hukuman bersifat segera! Jangan menunda memberi hukuman ketika anak melanggar aturan yang Saudara berikan kepadanya. Bila Saudara menunda-nunda, maka aturan yang Saudara berikan dianggap tidak serius untuk ditaati oleh anak. Anak akan mengulangi kesalahan tersebut,”Oleh karena hukuman terhadap perbuatan jahat tidak segera dilaksanakan, maka hati manusia penuh niat untuk berbuat jahat” (Pkh 8:11). 

Berikut pernyataan Dr. Thomas P. Jhonson mengatakan: “Hukuman harus dilaksanakan dengan cepat, beralasan, harus berhubungan dengan pelanggarannya dan harus mutlak dilaksanakan.” 

Jangan sekali-kali menunda memberi hukuman kepada anak, apalagi tawar-menawar dengan anak. Saudara harus konsekuen dan konsisten. Di situlah Saudara menegakkan wibawa sebagai wakil Tuhan untuk mendidik mereka dan didikan Saudara akan didengar anak. 

Sekali lagi, saya ulangi bahwa hukuman harus segera dilaksanakan. Jangan tunda-tunda. Bila hukuman tersebut pelaksanaannya ditunda akan kehilangan efeknya yang tepat. 

vi) Hukuman harus masuk akal 

Hukuman yang Saudara berikan kepada anak harus realistis dan logis (masuk akal). Misalnya disuruh membersihkan rumah, tidak diberi uang jajan, tidak boleh nonton TV dalam hari itu, atau yang lain asalkan bersifat positif dan masuk akal. Hukuman yang tidak masuk akal, seperti dilarang ke sekolah, ke gereja, atau tidak boleh makan, dikurung di kamar, tidak diberi uang transport ke sekolah, tidak boleh les, mengancam tidak akan dibelikan baju baru, dan sebagainya. 

vii) Hukuman harus sesuai pelanggaran 

Saudara harus menghukum anak sesuai kesalahan atau pelanggarannya. Hal ini perlu sebab Saudara harus bertindak adil. Jadi berat ringannya hukuman harus disesuaikan dengan berat ringannya kesalahan anak. 

viii) Hukuman harus disesuaikan dengan keadaan anak 

Saudara harus mengerti bahwa tiap anak tidak bisa diperlakukan sama. Ada anak yang dengan kata-kata agar keras sudah cukup. Untuk anak ini tidak perlu hukuman fisik. Ada anak yang dengan kata-kata agak keras tidak berubah. Untuk anak ini perlu ancaman akan dihukum. 

ix) Ajar anak untuk meminta maaf 

Mendidik anak tidak luput dari kesalahan dan kegagalan. Tidak ada orangtua sempurna. Yang dituntut adalah kerendahan hati dan kejujuran. Orangtua pun bisa berbuat kesalahan terhadap anak mereka. Mengakui kesalahan dengan jujur dan terbuka di hadapan anak dan meminta maaf kepadanya, bukanlah kekurangan dan sekali-kali tidak akan meruntuhkan wibawa orangtua. Justru tindakan ini memupuk rasa percaya dan hormat yang mendalam pada orangtua. 

Seringkali orangtua walaupun mengetahui bahwa mereka bersalah terhadap anak mereka, jarang mereka mengakui dan meminta maaf kepada anak. 

Jika orangtua tidak pernah memberi teladan untuk meminta maaf bila berbuat kesalahan kepada anak, maka anak pun akan menirunya. Ketika anak berbuat kesalahan, ia tidak merasa perlu meminta maaf. Dengan demikian, orangtua tidak bisa mengajar anak belajar meminta maaf. 

Jika didapati anak kami melakukan kesalahan atau melanggar tata tertib keluarga, kami selalu mengajar mereka untuk meminta maaf. Hal itu mudah mereka lakukan sebab mereka melihat contoh bahwa orangtua mereka selalu meminta maaf jika salah. 

Dengan demikian, orangtua tidak sulit untuk mengajarkan kepada anak bahwa manusia itu tidak luput dari berbuat kesalahan dan perlu meminta ampun kepada Tuhan akan segala dosanya sehingga mendapat pengampunan-Nya. Orang yang tidak bisa mengaku dosa dan meminta ampun adalah orang yang tidak bahagia,”Berbahagialah orang yang diampuni pelanggarannya, yang dosanya ditutupi! Berbahagialah manusia, yang kesalahannya tidak diperhitungkan TUHAN, dan yang tidak berjiwa penipu! (Mazmur 32:1-2). Jadi, penting Saudara mengajar anak meminta maaf jika berbuat kesalahan. 

c. “Jangan Lakukan” 

i) Jangan menyiksa 

Saya setuju hukuman, tapi bukan siksaan. Firman Tuhan mengatakan,”Hajarlah anakmu selama ada harapan, tetapi jangan engkau menginginkan kematiannya” (Amsal 19:18). Hukuman harus diberikan tetapi tetap pada batas-batas kewajaran atau realistis dan juga logis. Dengan demikian, anak akan sadar bahwa Saudara sungguh-sungguh mengasihinya. Anak tidak akan menyimpan dendam atau sakit hati kepada Saudara. Justru mereka akan bersyukur dan berterima kasih kepada Saudara. 

Alkitab selalu menyinggung “tongkat” apabila sedang membicarakan soal menegur anak-anak. Amsal 22:15,”Kebodohan melekat pada hati orang muda, tetapi tongkat didikan akan mengusir itu dari padanya”. Tongkat didikan ini yang dimaksudkannya adalah tangan Saudara sendiri. Pukulan itu ada dua macam, yang benar dan yang salah. Pukulan yang salah ialah pukulan yang keras, dan kejam yang dilancarkan dalam kemarahan. Pukulan yang demikian ini hanya akan membuat anak menjadi marah dan ingin membalas dendam. Pukulan yang benar diberikan dengan pendekatan yang positif dan benar. Pukulan itu diberikan untuk mengajarkan agar anak bertanggungjawab. Alkitab dengan jelas membicarakan hubungan kasih dengan “tingkat didikan”. Jadi, tongkat yang dipakai untuk menegur itu ialah tangan orangtua, maka anak itu akan merasa takut akan tangan yang diulurkan kepadanya dengan penuh kasih. 

Bagi saya memukul itu perlu tetapi tidak harus. Memukul itu perlu bila cara yang lain gagal. Pemakaian tongkat harus hat-hati sebab banyak terjadi penyalahgunaan hukuman fisik sebagai luapan emosi atau pelampiasan orangtua belaka. Mary Setiawani mengatakan demikian: 

“Saya rasa banyak masalah anak terjadi karena masalah yang sangat sederhana, yaitu anak itu tidak pernah dipukul. Tidak semua anak perlu dipukul. Bagian kepala tidak boleh dipukul! Tuhan menciptakan kita dengan bagian-bagian khusus yang boleh dipukul, sebab dagingnya tebal sekali. Sakit tetapi tidak sampai luka dalam, yaitu di pantat. Salah memukul bisa menjadikan kita menyesal seumur hidup”.

Hal serupa diungkapkan oleh Beverly Lahaye sebagai berikut: 

“Di dalam Alkitab sudah dituliskan bagian tubuh si anak yang boleh dipukul oleh tongkat didikan. Di dalam anatomi setiap anak, Allah sudah menyediakan tempat di mana terdapat jaringan tebal yang berlemak yang dapat menahan pukulan yang keras tanpa mematahkan tulang atau melukainya. Tempat yang boleh dipukul ini terletak di punggung sebelah bawah dan langsung di atas paha sebelah belakang yaitu pantat; setiap anak mempunyai pantat yang gemuk dengan jaringan berlemak”.10 

Kitab Amsal menyinggung bagian tubuh ini. 

“Di bibir orang berpengertian terdapat hikmat, tetapi pentung tersedia bagi punggung orang yang tidak berakal budi” (Amsal 10:13) 

“Hukuman bagi si pencemooh tersedia dan pukulan bagi punggung orang bebal” (Amsal 19:29). 

Jadi, tindakan disiplin tidak boleh melampaui batas atau bertindak kejam maupun menyiksa. Bila anak melanggar tata tertib di keluarga, maka Saudara perlu memberikan pengertian tentang konsekuensi atau hukuman yang logis. Hukuman yang logis akan mendorong anak untuk introspeksi diri secara benar dan sehat, supaya ia bertumbuh menjadi pribadi yang bertanggungjawab. Tetapi hukuman yang tidak logis dapat berakibat buruk bahkan fatal pada diri anak Saudara. 

ii) Jangan berkata-kata negatif yang merendahkan diri anak 

Terkadang tanpa sadar, orangtua mengucapkan kata-kata negatif ketika mendisiplin anak. Misal,”kamu tidak becus”, “kamu tidak pernah bisa”, atau “kamu tidak bisa diandalkan”, dan sebagainya. Kalau orangtua jujur, sebenarnya anak-anak kita tidak selalu demikian bukan? 

Ungkapan“kamu tidak pernah bisa”atau“kamu tidak bisa diandalkan” itu sangat menyakiti perasaan anak-anak Saudara, mencap seolah-olah mereka sudah gagal total. Padahal berbuat kesalahan itu hal wajar. Jangan terlalu dibesar-besarkan. Bukankah kesalahan itu dapat diatasi? 

Sangat penting para orangtua menolong anaknya untuk memperkembangkan rasa harga diri yang wajar. Seba itu orangtua perlu memperhatikan setiap perkataan ketika menegur anak. Orangtua boleh mengatakan,”Kamu tadi bertindak bodoh!”, bukan “kamu bodoh!” Lain maknanya. “Kamu bodoh” itu menyerang harga diri anak dan merendahkannya. Tetapi pernyataan “Kamu tadi bertindak bodoh” menunjukkan pada tindakan yang seharusnya tidak dilakukan. Itu merupakan koreksi atas tindakannya. 

Saya sebagai orangtua pun pernah berbuat kesalahan juga. Karena itu, saya juga memberi “ruang” bagi anak-anak saya untuk bisa berbuat kesalahan. Bukan boleh berbuat kesalahan. Dapatkah Saudara memahami perbedaan antara “bisa” berbuat salah dengan “boleh” melakukan kesalahan? 

Kesalahan-kesalahan kecil yang dilakukan oleh anak harus ditanggapi dengan kasih dan adil. Bersikap adil karena kita sebagai orangtua pun bisa berbuat salah dan meminta anak untuk bisa menerima dan memaafkan. Sikap demikian akan memupuk rasa percaya diri anak. 

Sebaliknya kata-kata negatif orangtua itu akan cenderung untuk terus membekas begitu dalam di hati anak-anak dan itu jelas menghambat pertumbuhan harga diri yang positif pada anak-anak kita. 

Jadi, waktu menghukum anak fokusnya ada pada kesalahan anak, bukan menyerang pribadi atau harga dirinya. Sebaliknya buatlah anak-anak Saudara merasa begitu berharga dan berartinya mereka bagi Saudara. Anak akan merasa begitu berarti dan dihargai sebagai pribadi jika ia didisiplin oleh orangtuanya. Ia tidak akan kehilangan rasa percaya dirinya walaupun ia telah melakukan sesuatu yang benar-benar salah. 

iii) Jangan mengancam kosong 

Bila anak sudah dinasihati dan diperingati, Saudara boleh memberi ancaman akan menghukum. Tetapi jangan mengancam anak dengan ancaman kosong. Misal, Saudara berkata,”Aku lempar kamu!” Atau “Tidak kuberi makan kamu”, kenyataannya Saudara tidak akan melakukan hal itu bukan? Apa yang Saudara katakan tidak akan Saudara lakukan, karena memang tidak mungkin. Itu adalah ancaman kosong. 

Sebagai orangtua, Saudara perlu berhati-hati mengeluarkan kata- kata ancaman. Ancaman kosong akan membuat anak tidak respek terhadap orangtuanya. Orangtua tidak punya otoritas. Saya ingatkan lagi, bahwa hukuman itu harus rasional. 

4.4 KONSISTENSI 

Aturan dan disiplin harus dijalankan dengan konsisten. Orangtua ketika senang, dan anak melakukan hal yang tidak diperbolehkan, dan hal itu dibiarkan saja dan tidak marah. Kemudian pada saat orangtua susah lalu anak melakukan sesuatu yang dilarang, orangtua langsung menjadi marah-marah. Itu adalah sikap orangtua yang tidak konsisten. 

Jika Saudara tidak konsisten dalam menjalankan aturan dan disiplin, anak Saudara akan menjadi bingung mengenai standar/tolok ukur tentang apa yang boleh dan yang tidak boleh, antara yang benar dan yang tidak benar. 

Mendidik anak dengan memberikan contoh akan lebih bermanfaat daripada mengemukakan segala peraturan dan nasihat. Mendidik anak akan menemui kegagalan, bila apa yang dilakukan orangtua bertolak belakang dengan apa yang diajarkan dan dinasihatkan. 

Saudara harus konsisten antara perkataan dan tindakan. Sikap Saudara yang tidak konsisten tersebut akan melukai perasaan anak dan meruntuhkan wibawa Saudara sendiri sebagai wakil Tuhan di depan anak-anak. Hal itu juga membuat perkataan Saudara menjadi tidak berotoritas. Anak akan kehilangan contoh baik. Saudara akan sedikit didengar oleh anak-anak Saudara. 

Dr. Renold Bean mengatakan demikian: 

“Sikap konsisten orangtua adalah tambahan motivasi bagi anak untuk berperilaku positif. Sikap konsisten orangtua juga memberikan rasa aman bagi anak. Sebaliknya, sikap inkonsisten orangtua menyebabkan anak merasa cemas dan gelisah serta menimbulkan kekesalan, kemarahan pada anak”.11 

Jadikan diri Saudara sendiri sebagaimana yang Saudara inginkan agar dilakukan oleh anak Saudara. Kalau permintaan atau tuntutan-tuntutan Saudara terhadap anak bertolak belakang dengan perilaku/tindakan Saudara, maka janganlah harap permintaan/tuntutan/peraturan itu berhasil. Tak masuk akal mengharapkan agar anak-anak Saudara tertib, dan disiplin bila Saudara sendiri tidak menunjukkan hal-hal tersebut dalam kehidupan setiap hari di depan anak-anak Saudara. Ijinkan diri Saudara sendiri terlebih dahulu dididik oleh Allah sebelum Saudara hendak mendidik anak. Hanya melalui dididikan Allah Bapa, Saudara akan belajar hidup konsisten antara apa yang Saudara harapkan dilakukan oleh anak Saudara dengan apa yang Saudara sendiri lakukan. 

Bab 5 PERATURAN DI KELUARGA 

Setiap pendidikan tentu membutuhkan peraturan atau tata tertib, ter- masuk dalam hidup berkeluarga. Terkadang ada keluarga yang banyak peraturan yang berarti dan ada juga keluarga yang tidak memiliki per- aturan yang pasti atau berubah-ubah. 

Beberapa catatan penting mengenai peraturan di keluarga adalah: 

5.1 PERATURAN KELUARGA MUTLAK DIPERLUKAN 

Pakar keluarga, Dr. Larry Christenson mengatakan bahwa bila tidak ada peraturan yang dapat ditentukan dan dijalankan dengan tegak, kehidupan seseorang anak diombang-ambingkan oleh perubahan perasaan dan dorongan hati, baik dari dirinya sendiri ataupun dari orangtuanya. 

Anak yang bertumbuh tanpa mengenal peraturan akan kesulitan untuk belajar tunduk diri dan tanggung jawab. Justru peraturan di keluarga merupakan perlindungan yang mutlak perlu bagi anak. Apa jadinya keluarga tanpa peraturan? Yang pasti kekecauan dan kebingungan! Anak tidak memiliki pegangan yang pasti antara yang boleh dan tidak, baik dan yang buruk. 

5.2 CATATAN PENTING MENGENAI PERATURAN DI KELUARGA 

Ada beberapa hal penting yang orangtua perlu perhatikan adalah: 

a. Peraturan harus logis/masuk akal 

Pendidikan itu pada hakikatnya adalah untuk meletakkan dasar dan arah bagi seorang anak. Pendidikan dan peraturan adalah dua hal yang berbeda namun satu paket. 

Peraturan yang diberikan orangtua kepada anak haruslah peraturan yang logis untuk dilakukan. Orangtua tidak mungkin mendidik anak untuk melakukan peraturan yang mereka sendiri tidak pernah atau tidak bisa melakukannya. Jadi, tidak akan ada gunanya memberikan peraturan yang tidak logis untuk dilakukan oleh anak. Anak akan frustrasi. Bahkan anak makin kurang hormat terhadap peraturan orangtua. 

Sebaliknya, peraturan itu harus masuk akal/logis untuk dilakukan sehingga membangun kepribadian anak yang tanggung jawab, mandiri dan respek pada wibawa otoritas orangtua. 

b. Peraturan harus adil untuk semua anggota keluarga 

Peraturan wajib berlaku bagi seluruh anggota keluarga. Orangtua harus bertindak adil dalam membagikan tugas kepada anak-anaknya. Jika orangtua bertindak adil pada semua anak-anaknya hal itu akan menanamkan benih rasa keadilan pada dan akan dituai di kemudian hari. Peraturan tanpa keadilan akan kehilangan kuasa. Makin cerewet orangtua, makin tidak didengar anak. 

c. Peraturan harus disesuaikan dengan kebutuhan anak 

Setiap peraturan bagi anak bukan merupakan sesuatu yang permanen atau tidak bisa diubah sama sekali. Peraturan harus diubah sesuai kebutuhan anak dengan memperhatikan perkembangan usia anak sehingga tidak menghambat perkembangan anak. 

d. Peraturan harus tetap konsisten dan tidak berubah-ubah 

Peraturan tidak boleh ditentukan oleh suasana hati atau keadaan yang berubah-ubah. Peraturan menuntut ketegasan dan kepastian dalam pelaksanaannya. Peraturan yang berubah-ubah membuat anak kehilangan pegangan yang pasti dan tidak ada kepastian perilaku antara yang salah dan benar. 

Dr. James Dobson pakar fokus pada keluarga mengatakan bahwa anak yang diasuh di bawah aturan yang berubah-ubah akan bersikap seperti robot yang lemah atau menjadi pemberontak yang memendam akar pahit. 

e. Peraturan harus tegas dan konsekuen 

Agar peraturan itu bisa berjalan efektif maka setiap pelanggaran atas peraturan itu harus mendapat konsekuensinya yang setimpal. Peraturan tanpa konsekuensi akan kehilangan artinya. 

Bila orangtua bersikap ragu-ragu atau bimbang dan tidak tegas atas apa yang benar dan tidak, antara yang boleh dan tidak,maka perilaku anak makin tidak dapat dikendalikan. 

5.3 CONTOH PERATURAN DI KELUARGA 

Sekali lagi, bahwa peraturan di keluarga harus disesuaikan dengan perkembangan usia anak dan kebutuhannya. 

a. Waktu doa bersama 

Orangtua harus menyediakan waktu khusus untuk terciptanya kesejahteraan rohani bagi setiap anggotanya. Tentang kapan waktu yang baik untuk mengadakan doa bersama, jika anak sudah sekolah sebaiknya sebelum mereka belajar. Namun yang terpenting, waktu doa bersama disesuaikan dengan keadaan/situasi anak kita. Usahakan anak masih dalam keadaan segar, bukan lelah/capek. Untuk anak pra sekolah, bisa diadakan sekitar jam 6 malam; untuk anak remaja bisa jam 8 – 9 malam sebelum tidur. 

b. Waktu tidur 

Penting sekali orangtua punya pola tidur bagi anak. Anak perlu dilatih untuk mendisiplin diri untuk waktu tidurnya, sebab anak membutuhkan istirahat. Istirahat yang kurang karena banyak bermain menyebabkan kelelahan fisik dan itu akan mengganggu konsentrasi dan semangat doa bersama dan belajar anak. 

c. Waktu belajar 

Setiap hari anak perlu didorong belajarnya. Jam yang efektif bagi anak sekolah antara jam 6-8 malam. Belajar terlalu larut malam tidak baik bagi kesehatan anak. Anak bisa terlambat bangun anak dan menjadi malas. Orangtua perlu tegas dan konsisten, pada waktu jam belajar, anak harus sudah meninggalkan kegiatan bermain atau nonton TV, dan yang lainnya. 

d. Waktu bermain 

Anak perlu diajar pulang ke rumah tepat waktunya, kecuali sudah mendapat ijin orangtua. Waktu bermain perlu dibatasi bukan untuk mengekang waktu anak melainkan mengajar hidup disiplin penggunaan waktu. Ada waktu untuk belajar, bermain, sekolah, keluarga, ibadah dan sebagainya. 

e. Waktu membantu orangtua 

Orangtua perlu melibatkan anak dalam pekerjaan rumah seperti membersihkan rumah, halaman, kendaraan, kamar mandi dan lainnya. Setiap hari anak harus membereskan tempat tidurnya; pakaian kotor ditaruh di keranjang pakaian kotor; pakaian sekolah yang masih dipakai digantung, dan sebagainya. Tetapi orangtua perlu mengecek tugas anak tersebut apakah sudah dikerjakan atau belum. 

Bab 6 MEMUPUK RASA PERCAYA DIRI ANAK 

Orangtua memiliki tanggung jawab untuk menanamkan rasa percaya diri yang sehat dan alkitabiah melalui sikap mereka terhadap anak- anak mereka. Saya ulangi lagi, kita seringkali beranggapan bahwa anak-anak kita seharusnya sudah mengetahui betapa kita mengasihi mereka. Tetapi karena anak-anak kita sedang dalam masa pertumbuhan, sehingga kita tidak boleh beranggapan demikian. Ternyata anak-anak kita tidak selalu dapat menyadarinya. Untuk itu diperlukan usaha konkrit. 

6.1 PENTINGNYA RASA PERCAYA DIRI 

Rasa percaya diri seseorang dapat dilihat bagaimana ia melakukan berbagai hal. Jika seorang anak memiliki rasa percaya diri rendah dan tidak mendapat dorongan dari orangtua, maka kelak ia akan menjadi pribadi yang bertumbuh dalam perasaan rendah diri. 

Perasaan rendah diri adalah menganggap diri kurang atau menilai dirinya terlalu rendah. Sebenarnya, perasaan rendah diri dapat dialami oleh semua orang sebab memang tidak ada orang yang sempurna. Semua orang bisa merasa di bawah orang lain, misalnya soal pakaian, prestasi, kepandaian, kekayaan, uang, mobil, ketrampilan, dan lainnya. 

Secara kejiwaan, perilaku seseorang akan searah dengan cara ia memandang dirinya. Rasa rendah diri biasanya dapat muncul dalam berbagai perasaan negatif seperti merasa tidak nyaman, merasa tidak mampu, takut gagal dan sebagainya. Jadi, rasa percaya diri sangat berpengaruh besar terhadap perilaku seseorang. 

Itulah sebabnya orangtua perlu terus membangun rasa percaya diri anak- anak mereka supaya mereka tidak menilai dirinya terlalu rendah tetapi memiliki sikap yang positif pada dirinya, menghargai diri sendiri, dan kemampuan yang dimilikinya. 

Untuk melihat pentingnya membangun rasa percaya diri anak, saya akan menghubungkan rasa percaya diri dengan perilaku dalam proses belajar, tanggung jawab dan kreatifitas anak. 

a. Rasa percaya diri dan proses belajar 

Rasa percaya diri adalah modal dasar yang menentukan sukses seseorang dalam proses belajar. Anak yang memiliki rasa percaya diri rendah cenderung mudah kehilangan semangat dan minat belajar. Akibatnya mendapat hasil atau nilai yang buruk. Bahkan anak yang cerdas pun, namun rasa percaya dirinya rendah bisa mendapat nilai buruk. Jadi, rasa percaya diri rendah sangat menghambat prestasi belajar anak. 

b. Rasa percaya diri dan tanggung jawab 

Anak yang rasa percaya dirinya rendah cenderung menghindari tanggung jawab. Ia akan berperilaku sedemikian rupa untuk menunjukkan ketidakmampuannya agar dikasihani. Itulah cara ia menghindar dari tanggung jawab. Kalau pun mau menerima tanggung jawab, biasanya memilih tanggung jawab yang ringan. 

Anak yang menghindari tanggung jawab tidak bisa meningkatkan kemampuan yang dimilikinya. Anak perlu dibimbing dan dimotivasi untuk mengembangkan talenta sebagai kelebihan yang dianugerahkan Tuhan kepadanya. 

c. Rasa percaya diri dan kreatifitas 

Kreatifitas muncul dari dalam diri seorang anak. Jika anak memiliki rasa percaya diri rendah akan menghambat ia untuk mengekspresikan semua potensi di dalam dirinya secara maksimal. Sebab ia dibayang-bayangi oleh rasa takut salah dan gagal serta rasa tidak mampu. Akhirnya ia tidak berani mencoba. 

Rasa percaya diri dan kerohanian 

Orangtua bertanggungjawab membimbing anak kepada pengenalan akan iman Kristen, sehingga perlu mempertimbangkan betapa pentingnya rasa percaya diri. Jika anak di keluarganya disambut dan diterima dengan baik, membuat anak menjadi lebih kuat dalam pertumbuhan keyakinannya. 

Ada hubungan antara orangtua dengan gambaran tentang Allah. Ada orangtua yang baik, setia, bertanggungjawab, mengasihi dan memperhatikan keluarganya. Sebaliknya juga ada orangtua yang buruk, tidak mempedulikan keluarganya, memberikan kasih yang bersyarat. Ada juga orangtua yang perfeksionis yang menuntut segala sesuatunya sempurna, dan tidak pernah bisa merasa puas. Orangtua seperti ini memiliki standar penilaian yang duniawi. Mengasihi anak karena (karena anak cantik, tampan, berprestasi,dll) adalah kasih yang tidak tepat. Seharusnya kasih orang tua kepada anak adalah kasih yang meskipun (meskipun anak kurang pintar, kurang cantik, ataupun cacat fisik, dll). Anak yang nilainya di sekolah kurang baik dianggap mempermalukan orangtua.Anak sering dimarahi dan terus dikritik.Orangtua tidak pernah merasa puas dengan hasil capaian anak. Karya anak selalu dinilai kurang dan kurang. Orangtua yang demikian akan selalu menuntut, dan tidak pernah bisa memuji anaknya. Menilai anak berdasarkan nilai raport, prestasi, penampilan adalah kasih yang bersyarat. Anak yang mengalami kasih yang bersyarat dari orang tuanya akan mengalami kesulitan dalam membangun hubungannya dengan Allah. Akibatnya anak terhambat pertumbuhan kerohaniannya. 

Hal senada diungkapkan oleh Haystead sebagai berikut: 

“Hal penting yang dapat dilakukan oleh para orangtua untuk menolong terciptanya suatu citra diri yang sehat dalam diri seorang anak adalah memiliki citra yang positif dalam diri mereka sendiri. Terlalu banyak bekas luka yang diteruskan kepada anak-anak oleh para orangtua melalui pengungkapan rasa frustasi, ambisi serta kebencian mereka yang begitu berurat berakar”.2 

6.2 CARA ORANGTUA MEMUPUK RASA PERCAYA DIRI ANAK 

Lingkungan pertama yang berpengaruh pada perkembangan anak adalah keluarga terutama ayah ibunya. Kata-kata, sikap dan tindakan orangtua memengaruhi pertumbuhan rasa percaya diri anak. 

Kadang-kadang bahasa orangtua malah meruntuhkan perasaan harga diri dan nilai anak-anak mereka. Dalam berbagai cara orangtua sering secara tidak sadar mengkomunikasikan sikap memandang rendah atau secara tidak langsung memberi kesan bahwa mereka tidak penting “karena mereka masih kanak-kanak”. Padahal orangtua seharusnya menyadari bahwa diri mereka bertindak sebagai pelindung bagi harga diri dan kehormatan diri anak-anak mereka.  

Berikut langkah praktis orangtua untuk memupuk rasa percaya diri anak: 

a. Cintailah anak Saudara dengan kasih tanpa syarat 

Orangtua yang tidak menerima dan mengasihi keberadaan anak secara apa adanya berarti ia gagal mewariskan arti kehidupan yang sebenarnya kepada anak mereka. Janganlah berpikir bahwa harta atau kekayaan adalah segalanya. Justru anak adalah berkat yang melebihi segala kekayaan dunia. Orangtua yang menilai anak berdasarkan penampilan lahiriah adalah orangtua bodoh sebab tidak menghargai anak sebagai berkat Tuhan. 

Anak bukanlah pelengkap pernikahan melainkan berkat Tuhan yang harus diterima, dididik dengan penuh tanggung jawab kepada-Nya. Kehadiran anak dirancang Tuhan untuk membawa sukacita bagi orangtua. Firman Tuhan mengatakan,”Biarlah ayahmu dan ibumu bersukacita, biarlah beria-ria dia yang melahirkan engkau” (Amsal 23:25). Sebagai orangtua, kami menunjukkan betapa berartinya anak-anak bagi kami, dan kehadirannya sungguh-sungguh membuat kami bersukacita. 

Untuk itu, cintailah anak Saudara dengan tulus tanpa syarat. Anak yang berada dalam kasih sayang yang tulus akan tumbuh dengan ria/sukacita, percaya diri dan lebih mudah dididik dalam kebenaran. 

Menerima dan mencintai anak berdasarkan bakat atau kelebihan serta prestasi anak adalah kasih yang bersyarat. Itu adalah kasih yang keliru! Tuhan memerintahkan orangtua untuk menerima dan mencintai anak mereka dengan kasih yang tanpa syarat. Mencintai sebagaimana keberadaan anak. Cinta yang tanpa syarat menciptakan suasana kondusif untuk perkembangan anak baik secara emosional maupun spiritual. Seorang anak yang tahu ia diterima dan dicintai sebagaimana adanya akan merasa aman dan akan tetap berada dalam hubungan yang terbuka, mempercayai dan berkomunikasi dengan ayah dan ibu mereka. 

Haystead mengatakan sebagai berikut: 

“Seorang anak perlu merasa bahwa tempatnya di dalam keluarga sama sekali tidak bersyarat. Ia diterima sepenuhnya, seadanya dan seutuhnya tanpa kuatir ditolak ataupun dibuang jika ternyata prestasinya tidak seperti yang diharapkan oleh orangtuanya. Hal-hal ini menolong terbentuknya suatu dasar bagi rasa percaya diri”. 

Jadi diberkatilah orangtua yang mencintai tanpa syarat. Itulah orangtua yang bijak. Sikap bijak ini akan membantu anak berkembang ke arah kepribadian yang benar dan sehat. Dengan demikian anak memiliki harga diri dan rasa percaya diri yang benar dan sehat. 

b. Pakailah perkataan yang baik untuk membangun 

Kita tahu bahwa perkataan itu memiliki kekuatan dan dapat memengaruhi siapapun yang kita ajak bicara. Perkataan bisa untuk menolong dan menyembuhkan, atau sebaliknya menyakiti dan menghancurkan. Firman Tuhan mengatakan,”Ada orang yang lancang mulutnya seperti tikaman pedang, tetapi lidah orang bijak mendatangkan kesembuhan” (Amsal 12:18). 

Orang Kristen dipanggil untuk mengucapkan kata-kata yang positif untuk membangun,”Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya beroleh kasih karunia” (Efesus 4:29). Perkataan yang kotor itu melukai perasaan orang lain. Sebagai orangtua, jangan sekali-kali mengucapkan perkataan kotor terhadap anaknya bukan hanya akan melukai perasaan anak tetapi juga meruntuhkan rasa percaya diri anak. Jangan pula mengucapkan kata- kata lelucon untuk merendahkan harga diri anak Saudara sendiri. Perkataan- perkataan kotor yang keluar dari mulut orangtua akan menimbulkan banyak luka yang akan berkembang menjadi kebencian, kepahitan, kedendaman bahkan permusuhan, dan akhirnya menghancurkan hubungan dengan anak. Atau mungkin anak akan menyerang kembali dengan cara lain untuk memsulihkan harga dirinya yang terluka. Akibatnya hubungan orangtua dan anak semakin memburuk. 

Jadi, janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu. Sebaliknya orangtua mengucapkan perkataan yang baik untuk membangun rasa percaya diri anak agar dia bisa sukses dalam aspek kehidupannya di masa depan. 

c. Tanamkan tanggung jawab 

Orangtua perlu mengembangkan kepemimpinan yang bertanggungjawab kepada anak-anaknya. Untuk mengembangkan rasa tanggung jawab, kami memberi tugas-tugas tertentu kepada anak-anak sedini mungkin. Misal untuk berpakaian sendiri, membersihkan kamar tidur sendiri, dan berbagai tugas di rumah yang menjadi tanggung jawab mereka setiap hari. Kami mulai memberi tugas kepada anak yang sulung supaya adiknya bisa mengikuti teladan kakaknya. 

Selain itu, kami juga memberi kepercayaan kepada mereka untuk mengelola uang. Istri saya setiap hari memberi anak-anak uang: ada yang untuk ditabung, uang jajan dan persembahan kepada Tuhan. Terkadang istri saya sengaja memberi uang lebih kepada mereka. Jika anak belajar mengatur uang dengan baik sejak kecil, ia akan terbiasa menggunakan uang tidak sesuka hati mereka sendiri. 

Jadi, anak-anak pun hendaknya diajarkan pentingnya mengatur berkat Tuhan. Bila orangtua membiarkan anak-anak mereka menghabiskan seluruh uang mereka untuk hal-hal yang mereka ingini akan menumbuhkan sifat boros, tidak bijak dan disiplin. Kenyataannya kebiasaan buruk ini tidak mudah diubah pada masa yang akan datang. Jangan anggap remeh soal uang! 

d. Berikanlah kesempatan anak untuk memilih dan membuat keputusan 

Di rumah, perlu sekali diadakan musyawarah keluarga. Setiap orang dalam keluarga adalah anggota keluarga. Di dalam musyawarah keluarga siapa saja boleh mengemukakan pendapat atau ide, persoalan-persoalan, kesulitan- kesulitan, keluhan-keluhan maupun menyangkut rencana-rencana untuk kegiatan keluarga atau liburan dan sebagainya. 

Dengan melibatkan anak dalam musyawarah keluarga, akan berdampak positif di mana anak merasa diterima, dihargai dan dihormati, pendapatnya didengarkan dan dihargai. Tindakan orangtua ini sangat menolong anak membangun rasa percaya dirinya. Anak diberi kesempatan untuk menyatakan pendapatnya secara bebas dan belajar mengambil keputusan sendiri setelah mendengarkan pelbagai nasihat dari orangtua. 

Dengan orangtua melibatkan anak dalam musyawarah keluarga akan meningkatkan rasa percaya diri anak. Orangtua jangan terlalu kritis menanggapi gagasan,usulan atau pendapat anak melainkan membimbing untuk mencari solusi yang terbaik. Tidak menutup kemungkinan, anak memiliki cara pemecahan yang berbeda dengan orangtua. Berbeda pendapat itu wajar. Sebagai orangtua, Saudara perlu menunjukkan kepada anak Saudara bahwa Saudara cukup lapang dada dalam perbedaan pendapat ini. Katakanlah kepada anak Saudara, bahwa Saudara bukanlah seorang yang sempurna. Saudara membutuhkan bantuan orang lain, tentunya anak-anak Saudara. 

Berikut pernyataan Dr. Bruce Narramore: 

“Jika kita ingin menolong anak-anak kita agar mereka sepenuhnya menghargai diri mereka, agar mereka merasa berarti dan berharga, kita harus mulai dengan menghargai gagasan-gagasan dan pendapat mereka. Anak-anak perlu diberi kesempatan untuk menyuarakan pandangan mereka dan mengetahui bahwa mereka pun didengar. Dengan mendengarkan penilaian dan minat anak-anak kita, kita telah mengatakan kepada mereka bahwa mereka adalah orang-orang yang berharga yang patut didengar. Walaupun anak-anak kita belum cukup dewasa untuk membuat keputusan- keputusan yang terbaik, kita perlu menampung pandangan-pandangan mereka dan mengikutsertakannya sebanyak mungkin dalam diskusi-diskusi kita. Jika kita melakukan hal ini, maka kita meletakkan yang langgeng agar mereka mempunyai harga diri dan perasaan bahwa dirinya berarti”. 

Sejak kecil, anak-anak kami latih untuk memilih dan mengambil keputusan. Jika anak dari sejak kecil jarang bahkan tidak diberi kebebasan untuk memilih dan mengambil keputusan, ia akan cenderung turut arus saja. Contoh sehari-hari bisa menjadi kesempatan untuk melatih anak memilih dan memutuskan sendiri. Kami mendampingi anak ketika mereka memilih model sepatu atau warna baju, atau mau makan apa dan sebagainya. Jangan paksakan anak selalu menuruti keinginan orangtua. Orangtua tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada anak “demi gengsi”. Itu adalah orangtua bodoh dan egois! Padahal dengan mengajarkan anak memilih dan memutuskan, harapan kami kelak mereka akan bisa menghargai hak orang lain sama seperti haknya dihargai. 

Itulah pentingnya musyawarah keluarga menjadi bagian dari kegiatan Saudara sehari-hari. Jika komunikasi sehari-hari berjalan dengan baik antara orangtua dan anak, niscaya anak Saudara akan memperoleh manfaat besar dari kegiatan musyawarah keluarga tersebut untuk meningkatkan hubungan yang hangat dan penuh kasih. Berilah kesempatan pada anak Saudara untuk memilih dan mengambil keputusan, sehingga mereka merasa dihargai. Rasa dihargai itu akan meningkatkan rasa percaya diri pada anak Saudara. 

Saya tegaskan kembali bahwa dengan memberi kesempatan anak untuk mengambil keputusan sendiri, bukan berarti Saudara harus melepaskan tanggung jawab sebagai orangtua dan menyerahkan masalah pengambilan keputusan penting kepada anak-anak Saudara. Ada kalanya, orangtua yang harus membuat keputusan. Dan ada saatnya pula anak-anak terlibat penuh dalam pengambilan keputusan. Hal itu merupakan upaya orangtua untuk menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak. Dengan demikian, anak tidak merasa kurang penting di keluarga. 

Baiklah kita perhatikan peringatan berikut dari Narramore: 

“Justru anak-anak yang mempunyai orangtua yang tidak menghargai pandangan mereka dan tidak mau mengikutsertakan anak-anaknya dalam rencana-rencana keluarga waktu anak-anak itu masih kecil, merekalah yang sering berbalik melawan orangtuanya pada masa remaja. Karena mereka belum pernah memperoleh kesempatan untuk membuat keputusan mereka sendiri, mereka merasa bahwa mereka harus memberontak untuk mendapatkan identitas mereka dan membuktikan bahwa mereka pun sanggup berfungsi sendiri”. 

e. Orangtua harus bisa berkata “tidak” kepada anak 

Tidak dapat disangkal, seringkali orangtua tidak tegas di hadapan anak sehingga tidak dapat berkata “tidak” kepada mereka. Orangtua tidak perlu takut kurang dikasihi anak karena menolak permintaan mereka. Orangtua harus berani tegas memutuskan apakah “boleh” atau “tidak” terhadap permintaan anak. Ingat, mengasihi bukan berarti mengabulkan semua permintaan anak. 

Terkadang juga anak tidak sungguh-sungguh mengingini segala sesuatu yang dimintanya. Seringkali mereka sedang meminta pertolongan Saudara karena tidak bisa memutuskan dan berharap Saudara akan mengatakan dengan tegas “boleh” atau “tidak”. 

Seringkali orangtua diuji oleh anak-anak mereka. Anak akan merengek dan membujuk, mencoba untuk melawan kehendak orangtuanya dan membuat orangtua mengubah pendiriannya. Tetapi jauh di dalam hatinya, mereka merasa kecewa sekali bila orangtuanya tidak mau tetap berpegang teguh pada keputusannya.  

Justru ketika orang berani berkata “tidak” terhadap permintaan anak, anak akan mempunyai perasaan aman dan rasa percaya diri bahwa ada orang yang cukup mengasihinya sehingga bersedia memberi batasan yang pasti supayaia dapat bertumbuh ke arah yang benar. Sebenarnya dengan berkata “tidak” terhadap permintaan anak, Saudara sedang meyakinkan bahwa Saudara mengasihinya. Anak Saudara perlu diyakinkan bahwa Saudara mengasihinya. Dengan demikian, anak akan merasa yakin bahwa ia dikasihi orangtuanya. Itulah salah satu cara membangun rasa percaya diri anak. Tuhan akan menolong Saudara agar Saudara cukup peka untuk dapat melihat dan berbuat yang terbaik untuk anak-anak Saudara dengan berani mengatakan “tidak”. 

f. Berikan pujian yang tulus dan hindari komentar yang kritis terhadap tindakan anak 

Pujian dapat membesarkan hati seseorang walaupun ia tidak selalu mengharapkan pujian itu. Orangtua perlu memberi pujian yang tulus atas hasil atau tanggung jawab yang dikerjakan dengan baik oleh anak. Setiap usaha dan kemajuan anak harus dihargai. Orangtua tidak boleh pelit pujian jika memang anak berhak mendapatkannya. 

Suatu kali, anak saya yang pertama tidak mendapat nilai seratus atas beberapa mata pelajaran dan memperoleh ranking 3 (biasanya selalu ranking 1). 

Saya dapat melihat kekecewaan di wajahnya. Saya dan istri, memberi pujian atas upayanya untuk mendapat nilai yang terbaik. Kami selalu memuji kemajuannya. Hal itu membuat dia bersemangat lagi dan merasa dikasihi, merasa aman dan diterima apa pun hasilnya. Akhirnya dia bisa mencapai ranking 1 kembali. 

Saya dan istri, tidak selalu mengharapkan nilai seratus. Bagi kami yang terpenting bukan pada hasil belajar (angka/nilai) melainkan proses belajar (bagaimana meraih nilai). Kenyataannya bahwa orang yang berprestasi secara angka/nilai bukan jaminan keberhasilan. Ada unsur lain yang tidak kalah pentingnya adalah pertumbuhan karakter, seperti kejujuran, keuletan, kerja keras, berdisiplin, tanggung jawab, dan sebagainya. 

Jika anak memperoleh nilai yang kurang memuaskan, dan kami terpaksa mengkritik, maka kritik itu selalu yang membangun karakter anak. Istri saya selalu mengajarkan kepada anak : kamu tentu bisa, coba tambah jam belajarmu. Dengan kritikan yang membangun karakter anak, maka anak akan gemar belajar karena tahu kegunaannya atau alasannya. 

Jadilah mitra belajar bagi anak. Jangan menyerah untuk terus memberi motivasi belajar anak. Jika anak bermalas-malasan belajar, jangan dibiarkan saja. Anak yang malas dibiarkan pasti akan malas terus, tidak termotivasi untuk gemar belajar. 

g. Jangan memarahi anak di depan orang lain 

Perlu diingat selalu walaupun anak masih kecil bukan berarti meraka belum punya rasa malu. Saudara harus memperlakukan anak dengan hati- hati karena mereka sedang dalam masa pertumbuhan bukan hanya fisiknya tetapi juga psikologisnya. Karena itu, kalau pun Saudara harus menegur dan memarahi anak, hindarkanlah di tempat umum atau di hadapan orang lain agar mereka tidak merasa malu dan direndahkan. Bila kejadian ini terjadi berulang- ulang dapat membuat anak merasa rendah diri dan membenci orangtuanya serta merasa tidak nyaman bila bersama orangtuanya. 

Tegurlah anak pada tempatnya. Nasihatilah bahwa Saudara menegur dia demi kebaikannya. Bila anak bersalah, memang ia perlu ditegur bahkan dimarahi tetapi bukan dimusuhi dan dipermalukan di depan umum. 

Orangtua perlu memperhatikan anak-anaknya sejak masih kecil terma- suk cara menegur dan memarahi dia. Ingat, perasaan anak itu sangat sensitif sekali walaupun masih kecil. Menegur dan memarahi anak di hadapan umum atau orang lain adalah tindakan bodoh. Itu hanya mempermalukan dan meren- dahkan harga diri anak. Anak yang kurang memiliki rasa berharga tentu rasa percaya dirinya pun rendah. Lebih baik, ajaklah anak berbicara empat mata tan- pa ada orang lain. Berbicaralah secara pribadi dengan anak. Hal ini akan memu- puk rasa percaya diri anak karena anak merasa dihargai. 

h. Doronglah anak untuk menghargai dirinya secara sehat 

Seorang anak akan belajar menghargai dirinya secara sehat dan wajar kalau ia dihargai dan tidak disepelekan oleh orangtuanya. Anak akan menyenangi dan mempercayai dirinya jika ia merasakan bahwa orangtuanya menyenangi dan mempercayainya. 

Selain itu, orangtua perlu membimbing anak agar ia bisa menerima keterbatasan dirinya sebagai hal yang wajar. Setiap anak tentu memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing. Tidak ada manusia yang sempurna. Kegagalan dan keberhasilan harus dipandang sebagai hal yang wajar. Kegagalan harus disikapi secara positif, tidak perlu putus asa, rendah diri dan merasa gagal total. 

i. Tanamkan rasa tanggung jawab sejak dini 

Dr.Harris Clemes dan Dr.Reynold Bean mengatakan bahwa tanggung jawab bukan sifat yang dibawa sejak lahir. Tanggung jawab harus dipelajari melalui pengalaman. Sejak dini sampai dewasa, seorang anak harus meningkatkan kemampuan untuk memikul tanggung jawab.8 

Karena rasa tanggung jawab bukan sifat bawaan sejak lahir, maka orangtualah yang bertanggungjawab menanamkan dan melatih tanggung jawab terhadap anaknya. Dengan menanamkan dan melatih rasa tanggung jawab kepada anak sejak dini, hal itu akan berdampak positif untuk memupuk rasa percaya diri anak. Bila anak sejak dini tidak ditanamkan dan dilatih bertanggungjawab, kelak akan bertumbuh menjadi pribadi yang egois, malas dan bergantung pada orang lain. 

Cara menanamkan dan melatih rasa tanggung jawab kepada anak, orangtua bisa memberikan tanggung jawab atau tugas kepada anak untuk mengerjakan sesuatu sesuai kemampuannya. Jika anak berhasil menyelesaikan tugasnya dengan baik, orangtua memberi penghargaan atau pujian. Setiap kali kemampuan anak bertambah, orangtua bisa memberi tugas lain yang lebih besar untuk meningkatkan rasa mampu atau untuk mempraktekkan kecakapannya. Dengan cara ini rasa harga dirinya pun akan meningkat dan menjadi lebih percaya diri. 

Sebaliknya, jika anak gagal menyelesaikan tanggung jawabnya dengan baik sebaiknya orangtua memotivasi dan mencoba membantunya dengan memberikan alternatif. Bantuan yang diberikan orangtua itu akan membangkitkan rasa percaya diri anak untuk kembali berusaha sebaik mungkin menggunakan kesempatan atau tugas-tugas yang baru. 

Selain itu, untuk menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak, orangtua bisa memberi kesempatan anak untuk belajar memutuskan sendiri. Dengan memberi kesempatan-kesempatan baru kepada anak untuk membuat pilihan dan keputusan, berarti orangtua membantu anak untuk mempraktekkan kemampuannya. Ia akan bertumbuh menjadi pribadi yang mandiri, lebih percaya diri dan bertanggungjawab. 

Orangtua yang jarang memberi tugas atau kesempatan kepada anak untuk belajar memikul tanggung jawab serta membuat keputusan, cenderung akan menjadi manja dan rasa percaya dirinya lemah. Sehingga tekanan hidup yang kecil saja sudah mengeluh, frustrasi dan tidak berusaha mencoba sesuatu yang baru. 

j. Jangan memaksakan kehendak Saudara kepada anak 

Terkadang ada orangtua memaksakan kehendak kepada anak. Anak dibentuk sedemikian rupa untuk mewujudkan cita-cita atau harapan orangtua. Misal, salah satu orangtua pada masa lalu gagal meraih cita-cita menjadi seorang insiyur. Kemudian ia mengharapkan anaknya kelak bisa sukses menjadi insiyur seperti yang dicita-citakan orangtuanya. 

Jika memang anak tertarik pada profesi sebagai insiyur, tidak menjadi persoalan. Tetapi jika anak tidak berminat lalu dituntut untuk menggantikan cita-cita orangtuanya bisa merusak rasa percaya diri anak. Bila anak gagal juga memenuhi harapan orangtua, anak bisa merasa gagal, dan tidak berarti hidupnya. Jadi orangtua tidak boleh memaksakan kehendak pada anak, melainkan mengarahkan anak ke profesi yang dia minati. 

k. Jangan menilai anak berdasarkan hal-hal lahiriah semata 

Penilaian orangtua yang berlebihan terhadap hal-hal lahiriah dapat membangun rasa harga diri yang keliru. Hal-hal lahiriah seperti harta, pendidikan maupun penampilan adalah penting tetapi tidak boleh dijadikan ukuran penilaian diri. Orangtua yang terlalu menekankan materi, pendidikan maupun penampilan dapat menyebabkan seorang anak sedikit demi sedikit tanpa disadari, ia belajar menilai harga dirinya dari harta yang dimilikinya; dari pendidikannya maupun penampilannya. 

Bila anak tidak memiliki harta banyak seperti yang dimiliki oleh orang lain, ia bisa merasa dirinya tidak berharga atau minder. Bila anak tidak meraih nilai seperti yang dituntut orangtuanya maka anak bisa merasa gagal menyenangkan orangtua bahkan bisa muncul perasaan tertolak. Bila orangtua terlalu menekankan penampilan, anak akan belajar menilai orang lain berdasarkan daya tarik fisik semata. Penilaian-penilaian demikian adalah keliru dan merusak harga diri anak. 

l. Jangan menuntut berlebihan pada anak 

Orangtua yang menuntut anak secara berlebihan atau menuntut anak untuk melakukan apa yang tidak bisa dia lakukan sangat berbahaya bagi perkembangan emosi dan masa depan anak. Bila anak gagal memenuhi tuntutan orangtua yang tidak realistis sesuai bakat dan minat anak hanya akan menghasilkan perasaan gagal dan rasa rendah diri pada anak. Padahal anak hanya gagal di satu bidang tertentu saja. Di bidang-bidang lain ia sukses. Tetapi karena tuntutan dan penilaian orangtua yang berlebihan terhadap kesuksesan di segala bidang ketika anak gagal di satu bidang, ia merasa hidupnya telah gagal. 

Bab 7 MENJADI KONSELOR BAGI ANAK 

Disadari atau tidak, orangtua terlibat dalam situasi konseling setiap hari di keluarganya. Mungkin anak kita curhat karena ditolak dan dikucilkan oleh kelompok di sekolahnya, nilainya tidak mencapai KKM (Kriteria 

Ketuntasan Minimal), punyai rasa minder dengan teman-temannya, trauma, tidak tertarik hal-hal rohani, dan sebagainya. Semua situasi ini membutuhkan pengertian, simpati, dan perhatian—inilah pelayanan konseling untuk menolong anak mengatasi persoalannya. 

Mungkin Saudara berkata,”Ah, saya tidak mampu!”, atau,”Saya merasa tidak memiliki karunia pelayanan konseling?” Kata siapa? Meskipun Saudara mungkin tidak punya karunia pelayanan konseling, sebagai orangtua, Saudara dipanggil Allah untuk mempraktekkan perhatian, simpati dan pertolongan kepada anak Saudara. 

Bukankah kita telah memiliki Alkitab? Di dalam Alkitab kita menemukan prinsip-prinsip Allah untuk mengatasi persoalan manusia. Kita diberi tahu melalui Paulus bahwa nafas Alllah ada di dalam setiap kata dari firman Allah, sebab Alkitab adalah hembusan nafas Allah itu sendiri,”Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran” (2 Timotius.3:16). 

Tetaplah mempergunakan Alkitab dalam menjalankan pelayanan konseling ini. tetapi ingatlah, jangan menyampaikan ayat-ayat Alkitab untuk menembakkkan seperti peluru dari senjata rohani Saudara. Jadilah konselor yang sabar dan selalu berdoa bahwa Tuhan akan mengaruniakan hikmat untuk menyelesaikan persoalan. Teguran, nasihat dan argumentasi, sampaikanlah dengan bijak dan penuh kasih. Tujuan kita bukan memenangkan perdebatan, tetapi menolong anak dari belenggu persoalan yang menimpanya dan tampil sebagai pemenang. 

Tapi, ingat, manakala Saudara merasa bahwa persoalan itu melebihi batas kemampuan Saudara, “segeralah” untuk menyerahkan kepada seseorang yang lebih berpengalaman daripada Saudara dengan tepat. 

Berikut ini hanyalah sebagian kecil dari contoh-contoh persoalan yang dihadapi orangtua tentang anaknya, dan bagaimana mengatasinya. Saya menyadari, persoalan yang dihadapi orangtua lebih dari pada apa yang dipaparkan di sini. Jawaban-jawaban ini barangkali bisa menjadi penuntun tepat guna yang dapat menolong para orangtua sewaktu menghadapi persoalan tentang anak-anak mereka. 

7.1 PIKIRAN YANG TIDAK BENAR 

Sampaikanlah dengan bijak kepada anak Saudara yang memiliki masalah dengan pikirannya bahwa pemikiran tidak benar yang terlintas di dalam pikirannya bukanlah berarti ia melakukan dosa. Martin Luther berkata “Kita tidak dapat mencegah burung-burung terbang di atas kepala kita, tetapi kita dapat mencegah mereka membangun sarang di kepala kita.” 

Pemikiran tidak benar barulah menjadi dosa saat pikiran kita tidak menolaknya, mengikutinya, dan melanjutkan pemikiran tersebut. Yakinkan anak Saudara yang bermasalah itu untuk tidak berusaha menengking/menekan pikiran tersebut—sebab itu justru berarti akan mendorong pikiran itu ke dalam pikiran bawah sadarnya—melainkan menyerahkan pikiran itu kepada Tuhan dalam pujian. Ketika kita menekan pemikiran tidak benar ke dalam alam bawah sadar kita—pemikiran ini akan meneruskan kegiatan jahatnya di alam bawah sadar kita. 

Inilah cara terbaik untuk menghadapi pemikiran tidak benar adalah dengan menyerahkan kepada Tuhan di dalam pujian. Dengan kata lain, kita alihkan ke hal-hal positif. Yakinkan juga kepada anak Saudara itu untuk meluangkan lebih banyak waktu membaca Alkitab ketika pemikiran tidak benar menyelinap masuk. Jadi, mintalah anak Saudara untuk memanfaatkan ini menjadi kesempatan untuk memperdalam persekutuan dengan Tuhan. Jangan melawan pikiran yang mengembara, tetapi manfaatkan. 

7.2 BENARKAH SEMUA AGAMA SAMA? 

Mungkin saja anak kita mendapat tekanan, ejekan dan cemoohan berkenaan dengan imannya kepada Kristus. Untuk menghindari masalah atau agar tidak dikucilkan oleh teman-teman non Kristen, anak melakukan kompromi dengan mengatakan “semua agama itu sama”. 

Sebagai orangtua, apa yang harus dilakukan kepada anaknya? Orangtua dapat menjelaskan kepada anak, bila kita ingin masuk sorga, iman kita harus diletakkan pada sesuatu yang benar. Karena agama di luar Kristen memandang Yesus Kristus berbeda dari yang dilakukan oleh orang Kristen, sedangkan Yesus Kristus sendiri menyatakan bahwa Ia adalah satu-satunya jalan ke sorga (bacakan Yoh.14:6). Siapa yang harus kita percayai? Perkataan Yesus Kristus atau pernyataan agama sedunia? Dengan tegas, Yesus Kristus berkata bahwa Ia adalah satu-satunya jalan menuju Allah. 

Yakinkan pada anak, jangan takut dicap fanatik, takut dikucilkan dalam pergaulan sebab persoalan keselamatan tertalu penting dalam hidup ini. Salah beriman, bisa berakibat fatal. Doronglah anak untuk tetap berdiri teguh dan yakin di atas dasar kebenaran Alkitab bahwa hanya ada satu jalan menuju Allah dan jalan itu melalui Yesus Kristus sendiri (Yohanes.14:6; Kis.4:12). 

7.3 SULIT MENGAMPUNI 

Prinsip ini penting bahwa kesediaan mengampuni harus dibarengi dengan sikap melupakan dan menyerahkan penghajaran dan penghukuman kepada Allah. 

Mintalah anak untuk jujur tentang rasa sakit yang perlu pengampunan. Lalu, ajaklah ia merenungkan apa yang telah Tuhan perbuat baginya: saat kita melihat kedalaman pengampunan Tuhan bagi kita, itu akan memotivasi kita untuk mengampuni sesama. Akhirnya, tunjukkanlah bahwa pengampunan adalah keputusan—memutuskan untuk berkata,”Aku mengampuni ... (nama orang) di dalam Yesus, sebagaimana Yesus Kristus telah mengampuniku.” Doronglah anak untuk tidak menunggu sampai ia merasa mau mengampuni, mungkin ia tidak pernah melakukannya. Bukakan firman Tuhan berikut ini dan menaatinya: 

Efesus 4:32 “Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu.” 

1 Tesalonika 5:15 “ Perhatikanlah, supaya jangan ada orang yang membalas jahat dengan jahat, tetapi usahakanlah senantiasa yang baik, terhadap kamu masing- masing dan terhadap semua orang.” 

Matius 6:14-15 “Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu.” 

Tekankan pula, hanya kalau kita bersedia mengampuni orang-orang lain yang telah menyakiti kita, kita dapat mengalami pengampunan Allah yang sepenuhnya. 

Untuk lebih lanjut mengenai pengampunan dan pemulihan batin, silakan membaca buku saya : Inner Healing—Pemulihan dari Bapa Surgawi (Yogyakarta: Kanisius,2016). 

7.4 TERIKAT DOSA 

Orangtua bisa memulainya dengan membaca 1 Yohanes 1:9,”Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.” Lalu, orangtua menjelaskan ayat ini dan mengambil sikap yang tepat menghadapinya. 

SadarkanbahwadosaituselalumelukaihatiTuhan,sebuahpemberontakan kepada-Nya. seseorang tidak dapat merasakan damai sejahtera Tuhan sebab ia tidak melepaskan setiap ketidak-pengampunan di hatinya terhadap orang lain. 

Mintalah anak mengikuti langkah ini untuk menuntun anak kepada pengampunan Allah dan menerima pengampunan-Nya. 

a) Pengakuan 

Ajaklah anak untuk mengakui semua dosa tanpa ada yang ditutup-tutupi. Mintalah ia untuk mengidentifikasi dosa tersebut dengan jelas sehingga ia bisa melihatnya sebagaimana dosa itu adanya. 

b) Pertobatan 

Pertobatan bukan sekadar penyesalan mendalam telah berbuat dosa. Pertobatan adalah berpaling dari dosa dan berpaling kepada Tuhan. 

c) Berpegang pada janji Allah 

Yakinkan pada anak, bilamana ia telah mengakui semua dosanya kepada Tuhan dan meminta pengampunan-Nya, maka ia menerima pengampunan- Nya. Yakinkan anak untuk berpegang pada janji-Nya seperti tertulis di dalam 1 Yohanes 1:9 tadi. 

d) Adakan pendamaian bilamana perlu 

Jika dosa itu menyangkut melukai seseorang dengan nyata, doronglah anak 

Saudara untuk meminta maaf kepada orang yang telah disakiti. 

7.5 MERAGUKAN KESELAMATAN 

Jelaskan pada anak bahwa kita dapat yakin dengan pasti. Apakah ada orang yang dapat memastikan dirinya telah diselamatkan? Alkitab mengajarkan kepada kita untuk memiliki kepastian keselamatan. Petrus memerintahkan,”Karena itu, saudara-saudaraku, berusahalah sungguh- sungguh, supaya panggilan dan pilihanmu makin teguh. Sebab jikalau kamu melakukannya, kamu tidak akan pernah tersandung. Dengan demikian kepada kamu akan dikaruniakan hak penuh untuk memasuki Kerajaan kekal, yaitu Kerajaan Tuhan dan Juruselamat kita, Yesus Kristus” (2 Petrus 1:10-11). 

Yakinkan anak bahwa Allah dan firman-Nya dapat dipercaya. Karena kita telah menyerahkan kehidupan kita kepada Tuhan Yesus, Alkitab mengatakan bahwa sekarang Yesus diam di dalam hidup kita. Tuhan Yesus telah menjanjikan sesuatu yang luar biasa kepada semua orang yang menerima Dia. Ia berjanji,”Lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetok; jikalau ada orang yang mendengar suara-Ku dan membukakan pintu, Aku akan masuk mendapatkannya dan Aku makan bersama-sama dengan dia, dan ia bersama-sama dengan Aku” (Wahyu 3:20). 

Tanyakan pada anak Saudara: “Saudahkah kamu melakukan hal itu? Sudahkah kamu membuka pintu kehidupanmu bagi Tuhan Yesus? Jika sudah, di manakah Tuhan Yesus? Ia telah datang untuk diam di dalam diri kamu! Itulah janji-Nya kepada kita. Yakinlah hal itu! 

Langkah berikut ini bisa membantu orangtua untuk meyakinkan anak tentang kepastian akan keselamatannya telah terjamin. 

a) Kita hendaknya menyadari bahwa keselamatan bukanlah sesuatu yang kita kerjakan, melainkan hal itu telah dikerjakan oleh Yesus 

Kita harus yakin, seperti Paulus bahwa Yesus benar-benar mampu untuk melindungi dan memelihara apa yang telah dibeli oleh-Nya,” ... karena aku tahu kepada siapa aku percaya dan aku yakin bahwa Dia berkuasa memeliharakan apa yang telah dipercayakan-Nya kepadaku hingga pada hari Tuhan” (2 Timotius 1:12). 

Tuhanlah yang menyelamatkan kita. Karena itu, keselamatan kita tidak tergantung pada kekuatan kita tetapi pada kekuatan Tuhan. Keselamatan bukanlah sesuatu yang kita lakukan, melainkan apa yang telah dilakukan oleh Tuhan bagi kita. Harga keselamatan kita telah dibayar lunas. Sekarang kita dapat mengetahui bahwa kita telah diselamatkan, bukan hanya karena kita telah menyerahkan hidup kita kepada Tuhan Yesus, tetapi karena Yesus telah menyerahkan nyawa-Nya karena kita. 

b) Percayailah janji-janji Allah untuk Anda 

Ingat, jalan Allah adalah sempurna. Karena itu, Allah bukan hanya tidak akan berdusta kepada kita, tetapi Alkitab mengatakan bahwa Ia tidak dapat berdusta. Karena iman kita kepada Yesus, sekarang kita memiliki hidup yang kekal (Titus.1:2). Tidak pernah ada orang yang dapat dipercayai seperti Yesus. Dan Tuhan Yesus sendirilah yang telah berjanji,”Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa mendengar perkataan-Ku dan percaya kepada Dia yang mengutus Aku, ia mempunyai hidup yang kekal dan tidak turut dihukum, sebab ia sudah pindah dari dalam maut ke dalam hidup” (Yohanes 5:24). 

Tidak pernah ada orang yang dapat dipercayai seperti Yesus Kristus. Dan Yesus sendirilah yang telah berjanji,”dan Aku memberikan hidup yang kekal kepada mereka dan mereka pasti tidak akan binasa sampai selama- lamanya dan seorang pun tidak akan merebut mereka dari tangan-Ku. Bapa- Ku, yang memberikan mereka kepada-Ku, lebih besar dari pada siapa pun, dan seorang pun tidak dapat merebut mereka dari tangan Bapa” (Yohanes 10:28-29). 

Yesus telah meyakinkan kita. Karena itu percayalah kepada Dia yang tidak berdusta dan kepada firman-Nya yang kekal ,”Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau” (Ibrani.13:5) 

c) Jangan percaya dan mengandalkan perasaan Anda 

Jelaskan pada anak bahwa emosi manusia berubah-ubah. Pada satu saat kita berada di puncak gunung kegembiraan, dan pada saat berikutnya kita berada dalam lembah keputusasaan. Ingatkan anak bahwa kita tidak dapat mengandalkan perasaan kita untuk memperoleh kepastian akan keselamatan. Dasar kepastian yang kita pegang adalah janji Allah, bukan perasaan kita. Kita harus percaya pada kesetiaan Allah sendiri dan firman-Nya. 

Jadi, apabila anak masih ragu-ragu, mintalah mengusir dalam nama Yesus keraguannya dan teruslah untuk mempercayai janji-janji Allah. 

7.6 MERASA GAGAL 

Pertama-tama, sertailah anak untuk mencari tahu penyebab terjadinya kegagalan. Apakah itu pada perencanaan yang kurang matang, salah antisipasi, tingkat kesulitan terlalu tinggi dibandingkan kemampuan, kurang tekun, atau hal lainnya? 

Kedua, ajaklah anak untuk mengakui bahwa ia memang gagal. Jika tidak dihadapi dengan jujur, ketidakpuasan karena kegagalan akan semakin menekan dan bisa berakibat yang lebih parah. Doronglah anak untuk melihat campur tangan Tuhan yang terus-menerus sebagaimana ditulis di dalam Roma 8:28,”Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.” 

Tunjukkanlah bahwa Tuhan tidak putus harapan ketika menghadapi kegagalan umat-Nya, tetapi justru mengubah semua hal buruk yang menimpa kita menjadi kebaikan. 

Saudara bisa membagikan kebenaran yang terkandung dalam Yakobus 1:2-3,”Saudara-saudaraku, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan, sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan.” Yakinkan anak bahwa kegagalan itu bisa terjadi pada siapa saja. Yakinkan juga bahwa kita bisa menghadapi kegagalan. Jangan berkata,”Mengapa ini harus terjadi padaku?” 

Jelaskan kembali Roma 8:28 bahwaTuhan itu berkuasa. Sampaikan kepada anak sesuai dengan Roma 8:28, bahwa Tuhan menyaring setiap peristiwa yang terjadi di dalam hidup kita dan mengizinkan perkara yang dapat dipakai-Nya untuk kebaikan kita. Tuhan tidak akan mengizinkan apa pun masuk ke dalam kehidupan kita kecuali Ia melihat bahwa hal itu membawa kebaikan. Saat kita belajar untuk menerima persoalan hidup dengan pujian, bukan gerutu, maka jiwa kita menjadi “bebas”. 

Mintalah anak ketika ia gagal untuk melihat hidupnya dari sudut pandang Tuhan. Orangtua perlu membimbing anak agar memandang persoalan apa pun sebagai “alat” ditangan-Nya untuk menghasilkan kebaikan. Kebaikan di sini tidak boleh dimaknai sekadar hal-hal yang baik secara jasmani, tetapi terlebih pada pengembangan kepribadian, karakter menuju keserupaan dengan Kristus yang lebih baik. 

Bab 8 POLA ASUH ORANGTUA 

Orangtua dalam mendidik anak, perlu memahami ketiga pola asuh ini agar menjadi bijak. Ada orangtua memilih cara mendidik anak secara otoriter sehingga anak-anak sangat takut terhadap mereka berdua. 

Sebaliknya, ada orangtua yang sangat sedikit peraturan di dalam keluarga. Anak menjadi manja dan mementingkan diri. 

Dapatkah Saudara membandingkan kedua macam pola asuh di atas: secara otoriter dan secara permisif (serba membolehkan) dan pengaruhnya terhadap anak-anak? Adakah cara lain, selain kedua pola asuh itu? Ada. Yaitu pola asuh yang fleksibel. Pola fleksibel adalah cara mendidik anak secara bijak. 

8.1 POLA ASUH OTORITER 

Melindungi anak adalah baik, namun melindungi dia secara berlebihan atau secara otoriter akan merugikan dan menghambat pertumbuhan rasa percaya diri anak. 

Dr. James Dobson, seorang pakar fokus pada keluarga mengatakan jika disiplin terlalu keras, maka anak merasa direndahkan karena sepenuhnya dikuasai oleh orangtuanya. Suasa di rumah dingin dan kaku, dan anak senantiasa hidup ketakutan, takut dihukum. Anak tidak dapat mengambil keputusan sendiri dan kepribadiannya ditekan di bawah kekuasaan orangtuanya. Anak yang diperlakukan seperti ini kelak akan menjadi anak yang senantiasa bergantung, bersifat memusuhi atau tidak ramah, dan bahkan bisa mengalami gangguan kejiwaan karena tekanan yang terlalu berat. 

Dr. Andar Ismail mengatakan: “Anak yang dibesarkan dalam suasana curiga dan prasangka akan menjadi orang yang sulit membuat hubungan yang mendalam. Anak yang sering dipukul dan disiksa akan menjadi orang yang pendendam dan pemberingas. Anak yang sering diejek dan dicela nantinya sulit menghargai prestasi orang lain. Anak yang terlalu diatur tidak bisa tumbuh jiwa kepemimpinannya. Anak yang sering dipaksa akan menjadi keras kepala.” 

Demikian juga diungkapkan oleh Smith bahwa sikap orangtua yang otoriter dan suka menghukum secara berlebihan setiap kesalahan yang dilakukan anak, hal ini dapat menyebabkan anak kehilangan kepercayaan diri sendiri. 

Dengan demikian, pola asuh otoriter ini sangat berbahaya bagi anak-anak Saudara. Bila memiliki anak yang suka memberontak, memusuhi orangtua, jangan-jangan Saudara menerapkan pola asuh yang bodoh ini. 

8.2 POLA ASUH PERMISIF 

Pola asuh yang sama-sama tragis dan membahayakan anak adalah permisif (lunak atau serba membolehkan). Pola asuh ini membuat anak menjadi “tuan” atas dirinya sendiri sejak masih kecil. Anak mengira bahwa dunia ini hanya berputar sekitar kerajaannya yang hanya mengikuti keinginannya sendiri saja. Seringkali anak tidak menghormati mereka yang paling dekat dengan dia. Keluarga yang demikian akan timbul kekacauan. 

Dr. Andar Ismail mengatakan demikian,”Anak yang dilimpahi kemudahan akan rendah daya juangnya. Anak yang dimanja akan menjadi egois.”

Pola asuh ini biasanya disebabkan karena orangtua yang terlalu sibuk dengan pekerjaan sehingga anak cenderung bebas. Anak hanya diberi berbagai fasilitas dan uang, tetapi orangtua hampir-hampir tidak ada waktu untuk kebersamaan dengan anak. Bila Saudara menerapkan pola asuh ini, anak Saudara akan nakal, tak terkendali, bahkan egois serta sulit untuk taat terhadap para guru, pemerintah, pendeta bahkan Tuhan. 

8.3 POLA ASUH FLEKSIBEL 

Kita harus memandang anak-anak itu sebagai pribadi yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Karena itu, kita pun harus memperlakukan mereka dengan rasa hormat. Anak pun memiliki banyak kemampuan, potensi dan kemungkinan yang baik. Namun demikian, Alkitab menyatakan bahwa anak-anak itu dilahirkan dengan kecenderungan berbuat dosa. Karena itu, anak membutuhkan bimbingan, penertiban (disiplin) dan koreksi secara bijak. 

Di sini orangtua dengan bijak dan penuh kasih mempraktekkan wewenangannya, bukan untuk membuktikan bahwa mereka berkuasa, tetapi menolong mengetahui batas-batas untuk bertindak, antara yang boleh dan tidak. 

Saya ulangi, kedua macam cara mendidik yang ekstrim yaitu pola asuh otoriter dan permisif itu sama-sama berbahaya bagi anak. Kita hanya aman bila berdiri di tengah-tengah, tetapi kadang-kadang sulit untuk dilaksanakan oleh orangtua karena orangtua tidak jelas mereka berada di mana : otoriter atau permisif. 

Pola asuh fleksibel adalah pola asuh yang mengambil jalan tengah antara pola asuh otoriter dan permisif. Pola asuh fleksibel ini baik untuk diterapkan oleh orangtua sebab memberi “ruang” bagi anak untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya sejak lahir sebagai berkat Tuhan. 

Feksibel di sini bukan berarti plin plan atau tanpa aturan dan batasan terhadap perilaku anak. Fleksibel bukanlah orangtua yang “angin-anginan”. Orangtua yang “angin-anginan” adalah sikap mengambang, terombang-ambing. Kadang-kadang orangtua mengajar anak-anak untuk taat tapi kadang-kadang mereka membiarkan anak-anak tidak melakukan kewajiban mereka sehari- hari. Kadang-kadang orangtua mempunyai sikap penuh kasih dan pengertian dengan anak-anak mereka, tapi kadang-kadang mereka menanggapi anak-anak mereka dengan marah dan jengkel. 

Pola asuh fleksibel tetap ada aturan, ada disiplin namun tidak terlalu kaku. Orangtua bisa menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi. Bimbingan orangtua yang fleksibel memainkan peranan yang sangat penting di dalam perkembangan anak. 

Menurut Dr. Bruce Narramore, pola asuh yang alkitabiah tidak otoriter maupun serba membolehkan, melainkan menggabungkan hal-hal yang terbaik yang terdapat dalam kedua pola asuh tersebut secara konsisten. Pola asuh ini disebut otoritas berdasarkan kasih. Pola asuh yang alkitabiah ini tidak berubah-ubah, kadang-kadang secara otoriter dan kadang-kadang serba membolehkan. Pola asuh ini menekankan hak anak-anak untuk dihargai sebab anak itu diciptakan menurut gambar dan rupa Allah sehingga mereka perlu memperoleh perlakuan yang terhormat. Dan orangtua memiliki tanggung jawab untuk peka memperhatikan hak, kebutuhan dan minat anak-anak itu.


Pola asuh ini juga mengakui bahwa anak-anak membutuhkan penertiban (disiplin) dan koreksi (tetapi berbeda dengan konsep disiplin yang otoriter). Pola asuh ini penuh kasih mempraktekkan otoritas orangtua, bukan untuk mencari kuasa atau membuktikan bahwa orangtua berkuasa. Jadi, pola ini mengakui hak-hak orangtua (sebagai pribadi yang mempunyai harga diri dan kehormatan diri yang mendalam, perlakuan dengan hormat dan sebagai manusia yang berharga) maupun hak-hak anak (suasana keluarga yang penuh kasih di mana orangtua bertanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan jasmani, rohani dan jiwani anak, sebagai pribadi yang mempunyai harga diri dan kehormatan diri yang mendalam, diperlakukan dengan hormat sebagai manusia yang berharga, mempunyai suara/pendapat dan ikut serta dalam proses pengambilan keputusan dalam keluarga, pendidikan dan latihan sesuai prinsip Alkitab).

Bab 9 REFLEKSI BAGI ORANGTUA 

9.1 INTROSPEKSI DIRI 

Pola asuh apa yang selama ini Saudara lakukan? Saya mengajak Saudara untuk introspeksi diri, apakah selama ini Saudara sudah menerapkan pola asuh yang tepat? Sudahkah Saudara menjadi orangtua bijak? Bila belum, saya katakan Saudara pun belum terlambat untuk belajar dan berubah! Mulailah sekarang menjadi orangtua bijak. 

Orangtua bijak mengerti apa yang harus diwariskan kepada anak-anaknya. Orangtua perlu mewariskan kekayaan dan ketrampilan atau pengetahuan kepada anak, namun itu belum cukup. Manusia adalah mahkluk fana sekaligus kekal. Ada warisan yang sifatnya mutlak dan tak ternilai harganya yaitu hidup takut akan Tuhan. Kristus itulah warisan kekal kita. Sebab itu wariskanlah “Kristus” kepada anak dan generasi Saudara! 

Tugas Saudara hanya mendidik, membimbing untuk mengajarkan kepada anak takut akan Tuhan. Namun, itu akan sulit sekali jika Saudara sendiri tidak menunjukkan hidup takut akan Tuhan di hadapan anak-anak Saudara. 

9.2 WASPADA 

Sadarilah bahwa anak-anak Saudara sangat “rentan” terhadap pengaruh buruk dari pergaulan. Saudara harus sadar dan waspada bahwa dunia hari ini tidak akan semakin baik tetapi justru semakin bobrok, merosot moralnya seperti yang sudah dinubuatkan oleh Alkitab (2 Timotius 3:1-4). Dunia bertambah jahat, karena makin bertambahnya kejahatan dan kedurhakaan, maka kasih kebanyakan orang menjadi tawar, dingin (Matius 24:12). Apa yang dikatakan Alkitab tidak dapat disangkal dan dibantah, bahkan dunia hari ini akan semakin sekuler, duniawi di mana kebanyakan orang hanya sibuk mempersoalkan masalah dunia daripada masalah kekekalan. 

Menurut para pakar, pendidikan hanya dapat mempengaruhi seseorang ± 38 %. Sedangkan pengaruh yang paling besar adalah kehidupan seseorang adalah pergaulannya ± 55 %. Dengan demikian, pengaruh pergaulan tidak boleh dianggap remeh! Pergaulan masa kini amat gawat, sudah parah dan akan semakin parah. Pergaulan yang jahat itu terjadi di mana-mana, bisa di kantor, di pasar, di perjalanan, di gereja (orang Kristen yang duniawi dan tidak bertobat), bisa juga lewat family (family yang duniawi dan tidak bertobat walaupun Kristen). Dan bukan hanya itu saja. Pergaulan jahat bisa terjadi lewat bacaan, tontonan yang negatif, yang tidak senafas dengan nilai-nilai Kekristenan. 

Apakah Saudara mengetahui bacaan apa yang dibaca oleh anak Saudara? Filmapayangmerekalihat?Ingat,apayangterusditontonanak itumemengaruhi sikap dan karakter anak. Orangtua yang bijak akan memperhatikan apa yang masuk ke dalam pikiran anaknya. 

Sebagai orangtua, kami menentukan apa yang boleh dan yang tidak boleh dibaca maupun ditonton oleh anak-anak kami. Kami memberi penjelasan agar mereka memiliki pedoman tentang apa yang berguna dan yang tidak berguna. Dengan cara demikian, anak akan selektif terhadap bacaan maupun tontonan. 

Biarlah kegentingan dunia hari ini menyadarkan dan mengingatkan para orangtua Kristen untuk lebih bersungguh-sungguh, serius dalam perkara mendidik anaknya di tengah-tengah lingkungan yang semakin sekuler, duniawi dan luncas (menyimpang) dari kehendak Allah (1 Yohanes 2:15-17). 

DAFTAR PUSTAKA 

Clemes, Harris dan Bean, Renold. Melatih Anak Bertanggungjawab. Jakarta: Mitra Utama,2001. 

Christenson,Larry.Keluarga Kristen. Semarang: Metanoia,1994. 

Dobson, James. Masalah Membesarkan Anak (Bandung: Kalam Hidup, 1982. Dobson,James.Kendalikan Selagi Mampu.Bandung: Kalam Hidup, 1993. 

Dargatz, Jan. 52 Cara Membangun Harga Diri dan Percaya Diri Anak. Jakarta: Pustaka Tangga,1999. 

Erwin, Pohe. Peran Keluarga Menghadapi Narkoba. Jakarta: Gerbang Aksa,2000. Hurlock, Elisabeth B. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga,1992. 

Haystead, Wes. Mengajar Anak Tentang Allah. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988. Hughes, Selwyn. Buku Pintar Konseling. Jakarta: Betlehem Publiser, 2001. Iverson, Dick. Memulihkan Keluarga. Jakarta: Harvest Publication House,1990. Ismail, Andar. Selamat Menabur. Jakarta: BPK Gunung Mulia,2007. 

Keefauver, Larry. 77 Kebenaran yang Hakiki dalam Membesarkan Anak. Semarang: Media Injil Kerajaan,t.th. 

Kalis Stevanus. Cek-Cok tapi Sudah Cocok. Yogyakarta: Andi,2014. Kalis Stevanus. Jadilah Laki-laki. Salatiga: Widya Sari Press, 2013. 

Kalis Stevanus. Inner Healing—Pemulihan dari Bapa Surgawi. Yogyakarta: Kanisius,2016. 

Kalis Stevanus. Apologetika: Benarkah Yesus itu Tuhan?. Yogyakarta: Andi,2016. Lahaye, Beverly. Membina Temperamen Anak. Bandung: Kalam Hidup,1993. Mulyono, Y. Bambang, Mengatasi Kenakalan Remaja. Yogyakarta: Andi, 1985. 

Narramore, Bruce. Mengapa Anak-anak Berkelakuan Buruk. Bandung: Kalam Hidup,1980. 

Narramore, Clyde M. Menolong Anak Anda Bertumbuh Dalam Iman. Bandung: Kalam Hidup,1961. 

Poone,Anne dan Ringrose, Margaret Merawat Bayi dan Mendidik Anak. Bandung: Kalam Hidup,1993. 

Scheunemann, Volkhard dan Gerlinda. Hidup Sebelum dan Sesudah Nikah. Malang: YPPII, 2008. 

Salawaney, Tonci R. Apakah Rumah Tangga Anda Bahagia. Bandung: Lembaga Literatur Baptis,1998. 

Soerjono Soekamto, Remaja dan Masalah-masalahnya. Jakarta :BPK Gunung Mulia,1985. 

Smith, Blaine. Anda Unik Dimata Tuhan. Bandung: Lembaga Literatur Baptis,2000. 

Tong, Stephen dan Setiawani. Seni Membentuk Karakter Kristen. Surabaya: Momentum,1995. 

Tong,Stephen. Membesarkan Anak Dalam Tuhan. Jakarta: LRII,1997. BUKU MENDIDIK ANAK DALAM TUHAN.-AMIN-
Next Post Previous Post