MENGAPA MATIUS MEMANGGIL YESUS DENGAN SEBUTAN "TUHAN" DAN BUKAN "GURU"PADA PERISTIWA YESUS MENEDUHKAN BADAI?
Pdt.samuel T. Gunawan, M.Div.
Terkait dengan teks hardik menghardik yang sedang viral saat ini, saat membaca dalam Markus 4:35-41, justru fokus saya tertuju sebutan yang digunakan para murid ketika memanggil Yesus dengan sebutan “Didaskalos” atau “Teacher (Guru)” di Markus 4: 38. Sebutan yang mirip “Epistates” atau “Master (guru)” dipakai Lukas dalam Injilnya (Lukas 8:24), tetapi Matius tidak memakai sebutan ini melainkan memakai sebutan “Kurios” atau “Lord (Tuhan)” untuk Yesus (Matius 8:25).
Dua pertanyaan penting muncul disini : (1) Apakah ketiga penulis sedang menarasikan peristiwa yang sama ataukah satu dari ketiga penulis mengisahkan peristiwa yang berbeda? (2) Jika ketiga penulis menyajikan kisah peristiwa yang sama, lalu mengapa Matius menggunakan sebutan yang berbeda dari Lukas dan Markus? Ini adalah salah satu “kasus” yang dianggap sebagai bagian dari “kekeliruan”Alkitab oleh para polemikus.
Sebagai catatan, pola yang sama ini muncul pada peristiwa transfigurasi Yesus (Matius 17:1-9; Markus 92-10; Lukas 9:28-36). Ketika Musa dan Elia muncul dan berbicara dengan Yesus, Petrus mengajukan Usul. Sekali lagi ketiga penulis Injil mencatat bentuk panggilan (sebutan) yang berbeda kepada Yesus tetapi konsisten dengan panggilan yang dipakai sebelumnya. Lukas menyebutNya “Epistates” atau “Master (guru)” dalam Lukas 9:33; Markus memanggilnya “Rhabbi” atau “Teacher (Guru)” dalam Markus 9:5, panggilan yang sinonim dengan kata “Didaskolos” dalam Markus 4:38; sedangkan Matius memanggilnya “Kurios” atau “Lord (Tuhan)” dalam Matius 17:4.
Berikut ini penjelasan-penjelasan saya terkait dua pertanyaan tersebut di atas :
Pertama, sebelum saya menjawab pertanyaan tersebut di atas ada baiknya kita memperhatikan dua prinsip utama dalam penafsiran Alkitab berikut ini :
1. Alkitab tidak pernah salah, yaitu tidak terdapat kesalahan di dalam tulisan aslinya karena diinspirasikan oleh Roh Kudus. Alkitab meskipun ditulis oleh manusia tetapi sumber utamanya adalah Allah sendiri. Alkitab diakui dan diterima oleh gereja sebagai Firman Allah karena tulisan mereka diilhamkan Allah. Namun kita harus mengerti bahwa inspirasi Alkitab mengacu pada manuskrip asli (autograph), bukan salinan-salinannya.
Jadi ketika kita mengatakan bahwa Alkitab diilhamkan Allah maka yang kita maksud adalah Alkitab autographnya yang ditulis oleh orang-orang yang dipilih Allah sehingga apa yang mereka tuliskan itu adalah firman Allah. Tidak ada keraguan bahwa Alkitab sendiri mengklaim bahwa setiap kata dalam setiap bagian Alkitab diilhamkan oleh Allah sendiri (1 Korintus 2:12-13; 2 Timotius 3:16-17). Karena itu pengilhaman Alkitab disebut “verbal plenary inspiration” atau “pengilhaman secara verbal dan menyeluruh”. Pandangan ini menegaskan bahwa pengilhaman itu berlaku untuk semua kata (verbal inspiration) dan juga berlaku penuh atas seluruh bagian Alkitab (plenary inspiration).
2. Alkitab adalah karya Allah sendiri sekalipun ditulis oleh manusia dalam bahasa manusia dan ditulis oleh kurang lebih 40 orang penulis dari latar belakang pendidikan, status sosial, ekonomi dan profesi yang berbeda di era dan tempat yang berbeda. Jadi Alkitab hanya memiliki satu sumber, yaitu Allah sendiri. Itulah sebabnya kitab-kitab dalam Alkitab tidak bertentangan satu dengan lainnya, melainkan satu kesatuan yang harmonis.
Hal ini berarti bahwa Alkitab tidak akan bertentangan dengan dirinya sendiri karena berasal dari Allah yang adalah kebenaran. Dengan kata lain, Alkitab itu bersifat koheren dan konsisten, dimana semua bagian-bagiannnya saling bersesuaian dan saling berhubungan erat satu sama lainnya.
Terkait dengan kesatuan Alkitab ini maka tiga hal yang perlu diperhatikan : (1) Bagian-bagian atau ayat-ayat yang nampaknya tidak sesuai atau seperti bertentangan satu sama haruslah ditafsirkan dengan mengingat keharmonisan Alkitab. Sebagai contoh misalnya, kejadian-kejadian yang dikisahkan di dalam keempat kitab Injil meskipun memberikan sudut-sudut pandang yang berbeda tentang kehidupan dan pelayanan Yesus tetapi tidak saling bertentangan satu sama lain. (2) Bagian-bagian atau ayat-ayat yang sekunder yang samar-samar harus ditafsirkan berdasarkan bagian-bagian atau ayat-ayat primer yang jelas pengertiannya dan masuk akal. (3) Ketika melakukan pendekatan terhadap Alkitab maka haruslah menafsirkan bagian-bagian atau ayat-ayat dalam keseluruhannnya (komprehensif) dan bukan secara parsial. Penafsiran itu haruslah harmonis dengan bagian-bagian atau ayat-ayat lain.
Kedua, berdasarkan penjelasan di atas secara ringkas jawaban saya atas kedua pertanyaan tersebut di atas adalah sebagai berikut :
1. Jawaban untuk pertanyaan pertama: Kelihatannnya Matius, Markus dan Lukas sama-sama mengisahkan peristiwa yang sama, baik untuk peristiwa Yesus meneduhkan badai (Matius 8:18,23-27; 4:35-41; Lukas 8:22-25) dan peristiwa transfigurasi Yesus (Matius 17:1-9; Markus 92-10; Lukas 9:28-36). Kita tahu bahwa ketiga Injil pertama (Matius, Markus, dan Lukas) disebut Injil sinoptik, yang berasal dari kata Yunani “sunoptikos” yang berarti melihat sesuatu bersama-sama”. Istilah sinoptik ini dipakai karena cara ketiga penulis Injil ini menulis tentang kehidupan Yesus dianggap mirip baik dalam garis besar secara umum ketika mencatat peristiwa-peristiwa yang sama maupun dalam pemilihan kata tertentu.
Paul Enns menjelaskan bahwa hampir 93 persen Injil Markus ditemukan dalam kedua Injil Matius dan Lukas. Artinya, dua penulis Injil menggunakan satu atau lebih Injil lainnnya untuk menyusun Injil mereka tanpa harus menyangkal penggunaan sumber sumber lainnya. Dengan memahami hal ini kita dapat menjelaskan alasan adanya kemiripan di antara Injil-Injil Sinoptik. Menurut Donald A. Carson dan Douglas J. Moo penjelasan seperti ini dikenal dengan “Teori Saling Ketergantungan”. Yang berbeda dari Teori Satu Sumber, Teori Sumber Lisan, dan Teori Fragmen.
2. Jawaban untuk pertanyaan kedua: Pemakaian gelar “Kurios” atau “Lord (Tuhan)” untuk Yesus oleh Matius yang berbeda dari Markus dan Lukas dalam kedua peristiwa tersebut dapat dikaitkan dengan motif, tujuan dan tema yang hendak ditekankan Matius berbeda dari kedua penulis Injil lainnnya yaitu Markus dan Lukas. Ini menunjukkan sekalipun ada kemiripan diantara para penulis Injil Sinoptik namun para penulis itu memiliki indenpendensi individual dalam Injil yang mereka tulis.
Walter M. Dunnet menjelaskan bahwa tujuan Matius menulis Injilnya terutama kepada pembaca Yahudi dengan penekan pada kemesiasan Yesus sebagai Raja orang Yahudi. Hal ini dapat dilihat dalam bagian-bagian dari catatan Matius seperti silsilah Yesus (Matius 1:1-17); Kunjungan Orang Majus (Matius 2:1-12); Yesus dielu-elukan di Yerusalem (Matius 21:5); Penghakiman atas bangsa-bangsa (Matius 25:31-26); di dalam tulisan yang terpampang di kayu salibNya (Matius 27:37).
Sementara itu. Berbeda dari tujuan Matius yang menulis Injilnya terutama kepada pembaca Yahudi, maka Markus menulis Injilnya ditujukan kepada para pembaca Romawi dimana ia menekankan Yesus sebagai pelayan atau hamba Yahweh. Menurut tradisi Markus menulis Injilnya saat ia berada di Roma. Sedangkan Lukas menulis Injilnya ditujukan kepada Theopilus dan para pembaca Yunani dengan menekankan Yesus sebagai Anak Manusia. Lukas merancang penekanan yang demikian dalam Injilnya karena bangsa Yunani sejak lama mengharapkan kedatangan seorang “manusia yang sempurna”.
Dengan demikian, Ketika Matius menulis Injilnya, ia nampak jelas menangkap ekspektasi orang Yahudi terkait dengan pengharapan mesianik mereka. Melalui narasi-narasi dan kata-kata khusus, ia memberikan petujuk kepada para pembaca Yahudi bahwa Mesias sejati, Anak Daud benar-benar telah datang.
Jadi sementara penulis Injil lain memperkenalkan Yesus kepada orang-orang non Yahudi, maka Matius menyajikan Yesus secara unik untuk orang-orang Yahudi. Ada dua aspek tujuan dari Matius dalam Injilnya, yaitu : (1) Untuk membuktikan bahwa Yesus adalah Mesias. Mesias adalah suatu sebutan Yahudi bagi raja Israel yang akan membawa keselamatan bagi Israel pada akhir zaman. Matius menyajikan Yesus sebagai Israel (Yang Diurapi) yang menggenapi peran dari nabi, imam dan raja dalam satu Pribadi. (2) Untuk menyajikan kerajaan sesuai dengan rencana Allah. Yesus adalah Israel dan bangs aitu telah menolak Sang Mesias. Matius menjelaskan bahwa kerajaan yang telah ditawarkan kepada orang Yahudi tekah ditunda karena penolakan Israel. Kerajaan Mesias di dunia ini akan didirikan pada kedatanganNya yang kedua.
Perlu diketahui, Matius memakai gelar “kurios” atau “lord” ini sebanyak 27 kali dalam Injil yang ditulisnya. Matius menggunakan gelar tersebut dalam dua pengertian, yaitu : (1) Sebagai sapaan yang santun untuk menunjukkan rasa hormat (Matius 27:63). Jadi “kurios” disini diterjemahkan dengan “tuan”, yaitu gelar yang ditujukan kepada orang yang memiliki wibawa lebih tinggi,tetapi bukan terkait dengan hak-hak istimewa yang ilahi. (2). Sebagai pengakuan atas kekuasaan ilahi (Matius 8:25; 14:30; 17:4). Jadi “Kurios” disini diterjemahkan dengan “Tuhan” yang digunakan oleh Matius terhadap Yesus sebagai Pribadi yang memiliki kekuasaan yang unik, yang dapat memberikan pertolongan kepada mereka yang mohon kepadaNya. Kurios biasanya dipakai sebagai nama “Yahweh” dalam Perjanjian Lama terjemahan bahasa Yunani, sehingga kutipan kitab Injil biasanya mengacu kata “kurios ini pada pada “Yahweh”. Dengan demikian, istilah “kurios” atau “Lord (Tuhan)” merupakan gelar yang diberikan kepada Yesus yang memiliki hak-hak istimewa seperti Yang Ilahi, yang mennjukkan keilahianNya.
Penggunaan sebutan “Kurios” atau “Lord (Tuhan)” untuk Yesus oleh Matius pada peristiwa Yesus meneduhkan badai (Matius 8:25), dimana dalam peristiwa tersebut Markus dan Lukas menggunakan sebutan yang berbeda: Markus menggunakan sebutan “Didaskalos” atau “Teacher (Guru)” di dalam Markus 4:38 sedang Lukas menggunakan istilah yang mirip “Epistates” atau “Master (Guru)” dalam Lukas 8:24. (Catatan: Pola yang sama ini muncul juga pada peristiwa transfigurasi Yesus dalam Matius 17:1-9; Markus 92-10; Lukas 9:28-36), David K. Lowery memberikan komentar demikian, “Matius nampaknya menganggap gelar Kurios (Tuhan) adalah yang paling tepat diucapkan oleh murid-murid. Matius sepertinya sedang berkata kepada para pembacanya (orang-orang Yahudi) bahwa panggilan paling cocok untuk Yesus adalah Kurios (Tuhan). Nama ini mengakui otoritas Yesus maupun tanggung jawab murid-murid untuk menaati perintah-perintahNya.” Dengan demikian, pada peristiwa Yesus meneduhkan badai tersebut Matius hendak menunjukkan kepada pembacanya bahwa Yesus adalah Tuhan melalui demonstrasi mujizat yang menujukkan kekuasaannnya atas alam yang hanya dimiliki oleh Allah.
Ketiga, sebagai catatan tambahan, perlu ditegaskan bahwa doktrin Keilahian Kristus merupakan kebenaran yang sempurna berdasarkan data Alkitab dan fakta historis. Millard J. Erickson menyatakan bahawa doktrin ini merupakan inti iman Kristen yang berlandaskan pada kenyataan bahwa Yesus adalah benar-benar Allah yang menjelma menjadi manusia. Menurut Paul Enns, “Sebuah serangan terhadap Keilahian Kristus merupakan suatu serangan pada dasar Kekristenan.
Pada jantung kepercayaan ortodoks ada pengakuan bahwa Kristus mati sebagai substitusi untuk menyediakan keselamatan bagi umat manusia yang sudah terhilang. Dan karena keilahianNya, kematianNya bernilai tidak terbatas, dimana Ia dapat mati bagi seluruh dunia”. Sebagaimana fakta tentang pra eksistensi dan kekekalan Kristus merupakan kebenaran mutlak yang tak terbantahkan, demikian juga fakta tentang keilahianNya merupakan kebenaran mutlak yang tak terbantahkan. Kitab Suci sangat tegas menyatakan klaim pribadi dari Kristus, demikian juga kesaksian dari yang lain tentang keilahianNya.
Seseorang dapat masuk ke dalam persekutuan gereja hanya melalui percaya akan kebangkitan Kristus dan mengakui KetuhananNya. (Roma 10:9-10). Inilah inti dari pemberitaan Injil para rasul “keyakinan dan pengakuan bahwa Yesus adalah Tuhan”. Rasul Petrus mengatakan, kepada orang-orang Yahudi pada khotbah pertamanya di hari Pentakosta demikian, “Jadi seluruh kaum Israel harus tahu dengan pasti, bahwa Allah telah membuat Yesus, yang kamu salibkan itu, menjadi Tuhan dan Kristus" (Kisah Para Rasul 2:36). Rasul Paulus juga menyatakan, “Sebab jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan” (Roma 10:9).
Selanjutnya Paulus mengatakan, “Karena itu aku mau meyakinkan kamu, bahwa tidak ada seorang pun yang berkata-kata oleh Roh Allah, dapat berkata: ‘Terkutuklah Yesus!’ dan tidak ada seorang pun, yang dapat mengaku: ‘Yesus adalah Tuhan’, selain oleh Roh Kudus” (1 Korintus 12:3). Jadi dalam gereja mula-mula kita melihat bahwa : (1) Seseorang dapat mengakui Ketuhanan Yesus Kristus dengan tulus karena digerakkan oleh Roh Kudus; (2) Mengakui Yesus sebagai Tuhan merupakan suatu pengalaman pribadi (Yahanes 20:28); (3) Mengakui Yesus sebagai Tuhan karena telah menerima dengan keyakinan bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan.
Karena itu bagi kita saat ini, iman kepada Ketuhanan Kristus bukan saja merupakan hal yang penting, melainkan merupakan hal yang esensial. Keyakinan bahwa Kristus adalah Tuhan bukan hanya karena telah diteguhkan dalam pengakuan iman Nicea ataupun Chalcedon, melainkan karena Alkitab menyatakannya dan mengakuinya demikian. Dengan kata lain, Konsili Nicea (325 M), Konsili Konstantinopel (381 M), dan Konsili Chalcedon (451 M) tidak membuat atau menciptakan Ketuhanan Yesus sebagaimana yang dituduhkan oleh para polemikus, tetapi hanya meneguhkan kembali apa yang dinyatakan di dalam Alkitab dan yang diakui oleh Para Rasul dan gereja mula-mula dalam menentang bidat-bidat (seperti : arianisme, adopsanisme, sebellianisme, eutikhianisme, apollinarianisme, dan nestorianisme) yang menyimpang dan menyerang keilahian Yesus.