5 CARA MENCEGAH KEJENUHAN ROHANI

5 CARA MENCEGAH KEJENUHAN ROHANI
gadget, bisnis, otomotif

1.LAPAR DAN HAUS KEBENARAN

Jika seseorang sudah merasa “puas” dengan keadaaan rohaninya karena membandingkan dirinya dengan orang lain lalu merasa dirinya sudah baik, pasti ia tidak akan lapar dan haus terhadap kebenaran lagi. Inilah trik iblis membinasakan umat manusia. 

Padahal, hanya dengan kelaparan dan kehausan akan kebenaranlah seseorang akan terhindar dari kemunduran rohani yang bisa berakibat pada kemurtadan. Firman Tuhan berkata,” Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan” (Matius 5:6). 

Jika seseorang tidak merasakan kelaparan dan kehausan akan kebenaran dalam jangka waktu yang lama, bisa mati. Sama seperti manusia lahiriah membutuhkan makanan dan minuman, demikian juga manusia batiniah kita memerlukan makanan dan minuman “rohani”. Jika sudah tidak lagi merasakan kelaparan dan kehausan akan kebenaran, bisa juga karena memang manusia batiniahnya sudah mati. 

Seorang anak Tuhan yang sehat rohaninya akan merindukan persekutuan dengan Tuhan seperti rusa yang merindukan sungai berair, demikianlah jiwa kita merindukan-Nya (Mazmur 42:2). Jika kita sudah tidak haus lagi secara rohani, maka itu tanda bahwa rohani kita sedang sakit, atau mungkin sudah mati. Mengapa? Karena lapar dan haus adalah tanda kehidupan. Orang yang hidup adalah orang yang punya rasa lapar dan haus. Inilah kehausan rohani.

Apakah Saudara masih memiliki kehausan dan kelaparan terhadap kebenaran? Tanda kejenuhan rohani yang nyata adalah tidak menghargai hal-hal yang memiliki nilai kekal. 

Tidak mungkin seseorang bisa bertumbuh secara sehat rohaninya terpisah dari Alkitab. Apa tujuan utama Alkitab ditulis bagi kita? Sekedar bacaan? Kita simak di Yohanes 20:31 dikatakan,”

tetapi semua yang tercantum di sini telah dicatat, supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya”. 

Alkitab adalah satu-satunya alat yang dapat kita gunakan untuk datang kepada Yesus. Inilah maksud utama Alkitab ditulis ialah untuk membawa kita kepada Yesus Sang Juru selamat. Orang Kristen harus membaca dan merenungkan Alkitab supaya memperoleh hubungan pribadi dengan Dia dan bertumbuh. 

Jangan mendekati Alkitab sekedar bacaan untuk memperoleh pengetahuan yang banyak tentang Tuhan, melainkan yang utama adalah untuk mengenal Dia sendiri dan untuk mengadakan hubungan pribadi dengan-Nya. Membaca Alkitab tanpa mengalami hubungan pribadi dengan Tuhan, bukan tujuan Alkitab ditulis bagi kita. Kegagalan orang-orang Farisi dan para ahli Taurat yang dikecam Yesus, adalah mereka tahu banyak tentang Tuhan tetapi tanpa mengalami perjumpaan atau hubungan pribadi dengan-Nya. 

Setiap orang yang sungguh mencintai Firman Tuhan akan menemukan Tuhan. Sebab itu, jika kita hendak membaca Alkitab perlu dengan rasa hormat, dengan harapan akan menjumpai Yesus, Firman yang hidup itu, dan dengan bergantung kepada Roh Kudus yang dapat menyatakan Yesus kepada kita dan menerangkan maksud-Nya melalui kata-kata Alkitab itu. 

Kita harus membaca Alkitab dengan tenang, memerlukan waktu yang cukup, tidak dengan tergesa-gesa dan tanpa sebentar-sebentar melirik ke jam. Kita mesti belajar “menanti-nantikan Tuhan” jika kita ingin mendengar suara-Nya melalui Alkitab. Yesus, Firman hidup itulah yang berbicara kepada kita melalui kata-kata Alkitab. Membaca Alkitab dengan tergesa-gesa tanpa merenungkan serta hasrat menemui Tuhan, tak ada gunanya sama sekali! 

Pertumbuhan rohani tidak terjadi secara otomatis. Di dalam Ibrani 5:12 mengatakan tentang orang-orang yang telah lama menjadi Kristen namun kenyataannya belum dewasa,”...kamu masih memerlukan susu, bukan makanan keras” (Ibrani 5:12). Firman Tuhan mendorong mereka untuk “terus kepada perkembangan yang penuh” (Ibrani 6:1). Tuhan tidak dapat dipersalahkan karena kurangnya kedewasaan rohani orang Kristen. Setiap orang Kristen sendiri harus memilih untuk mendisiplin diri guna memelihara kebiasaan doa, merenungkan firman-Nya, bersekutu dengan saudara seiman lainnya dalam ibadah, dan sebagainya. 

Mendisiplin diri dalam hal-hal rohani tergantung pada pilihan masing-masing individu orang Kristen. Tuhan merindukan pertumbuhan rohani Saudara. Tetapi Saudara pun juga harus merindukannya setiap hari. 

2. STANDAR MORAL ANAK­-ANAK ALLAH 

Tuhan Yesus berkata,” Maka Aku berkata kepadamu: Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga” (Matius 5:20). 

Kata hidup keagamaan di sini adalah dikaiosune artinya kebenaran. Tetapi bukan kebenaran yang menunjuk kepada kebenaran Firman (aletheia atau Truth), melainkan kebenaran (Righteousness) yang bertalian dengan perilaku atau moral (kebenaran yang mengganjar). 

Tuhan Yesus menegaskan bahwa standar moral anak-anak Allah seharusnya melebihi standar moral hidup orang-orang Farisi dan para ahli Taurat maupun orang-orang pada umumnya. Bila tidak, maka tidak ada kemungkinan bisa masuk ke dalam Kerajaan Surga. 

Untuk memahami maksud perkataan Tuhan Yesus tersebut, marilah kita membandingkan dengan Matius 9 demikian: 

Matius 9:9 Setelah Yesus pergi dari situ, Ia melihat seorang yang bernama Matius duduk di rumah cukai, lalu Ia berkata kepadanya: “Ikutlah Aku.” Maka berdirilah Matius lalu mengikut Dia. 9:10 Kemudian ketika Yesus makan di rumah Matius, datanglah banyak pemungut cukai dan orang berdosa dan makan bersama-sama dengan Dia dan murid-murid-Nya. 9:11 Pada waktu orang Farisi melihat hal itu, berkatalah mereka kepada murid-murid Yesus: “Mengapa gurumu makan bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang berdosa?” 9:12 Yesus mendengarnya dan berkata: “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit. Matius 9:13 Jadi pergilah dan pelajarilah arti firman ini: Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, karena Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa.” 

Siapa yang dimaksudkan oleh Tuhan Yesus sebagai “orang sakit” tersebut? Untuk mengerti arti perumpamaan ini, maka perhatikan perbandingan kata: orang sehat dan orang sakit, orang benar dan orang berdosa. Jadi, kata sakit dan sehat di sini lebih menunjuk pada identifikasi, di mana orang benar diidentikkan atau disamakan dengan orang sehat dan orang berdosa diidentikkan dengan orang sakit. 

Sebenarnya dalam perumpamaan ini, Tuhan Yesus memberi teguran dan mencelikkan mata orang-orang Farisi dan para ahli Torat yang mana mereka merasa dirinya “sehat” (menurut standar hukum moral masyarakat Yahudi), namun sejatinya menurut Tuhan Yesus mereka adalah orang-orang sakit yang membutuhkan tabib. 

Orang-orang Farisi dan para ahli Torat merasa diri mereka bukan orang berdosa karena mereka beranggapan sudah melakukan hukum Torat dengan baik dan tidak melanggar hukum moral masyarakat. Hal itu terbukti dari pernyataan mereka pada Matius 9:11 demikian,”Pada waktu orang Farisi melihat hal itu, berkatalah mereka kepada murid-murid Yesus: “Mengapa gurumu makan bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang berdosa?” . 

Lalu siapa yang dimaksudkan “tabib” itu? Kita akan menemukan jawabannya pada Matius 19 :16-21 demikian: Matius 19:16 Ada seorang datang kepada Yesus, dan berkata: “Guru, perbuatan baik apakah yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?”19:17 Jawab Yesus: “Apakah sebabnya engkau bertanya kepada-Ku tentang apa yang baik? Hanya Satu yang baik. Tetapi jikalau engkau ingin masuk ke dalam hidup, turutilah segala perintah Allah.” 19:18 Kata orang itu kepada-Nya: “Perintah yang mana?” Kata Yesus: “Jangan membunuh, jangan berjinah, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta, 19:19 hormatilah ayahmu dan ibumu dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” 19:20 Kata orang muda itu kepada-Nya: “Semuanya itu telah kuturuti, apa lagi yang masih kurang?” Matius 19:21 Kata Yesus kepadanya: “Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku.” 

Pemuda kaya ini bertanya kepada Tuhan Yesus tentang perbuatan baik supaya ia bisa masuk surga. Tuhan Yesus mengakui bahwa pemuda ini secara moral masyarakat adalah baik. Ia tidak berjinah, mencuri, berdusta dan sangat menghormati orang-tua. Tetapi menurut Tuhan Yesus moral baik pemuda ini ternyata tidak cukup. Memang moralnya baik (sehat) menurut kacamata manusia, namun menurut Tuhan Yesus, ia masih dikategorikan sakit supaya ia mencari tabib. Dan tabib itu tidak lain adalah pribadi Tuhan Yesus sendiri sebab Ia sendiri berkata,”.... Jikalau engkau hendak sempurna ... Ikutlah Aku”. Sempurna berarti sehat total. Hidup sempurna adalah hidup seperti Tuhan Yesus telah hidup (1 Yohanes 2:6) adalah target Allah bagi anak-anak-Nya, Saudara dan saya. 

Berarti orang-orang yang belum di dalam Tuhan Yesus adalah orang-orang sakit atau orang berdosa. Untuk sehat, seseorang harus menerima Tuhan Yesus. Menerima Tuhan Yesus tidak berarti langsung menjadi sehat. Untuk menjadi sehat itu membutuhkan proses waktu yang relatif panjang bahkan bisa seumur hidup. 

Banyak orang Kristen merasa dirinya sehat (tidak berdosa), karena tidak melanggar moral umum di masyarakat, tetapi sebenarnya sakit. Seharusnya orang Kristen mengakui dirinya berdosa dan sakit bukan sekedar telah berbuat dosa moral, namun menyadari bahwa dirinya belum hidup seperti Tuhan Yesus berarti masih sakit. Seharusnya merasa cemas. 

Orang Kristen yang tidak menyadari bahwa dirinya belum menjadi pribadi seperti yang dikehendaki oleh Allah atau memiliki hidup seperti model hidup Putra-Nya, sebenarnya adalah orang-orang yang sakit di mata Tuhan. Itulah sebabnya Putra-Nya berkata kepada kita,” Belajarlah kepada-Ku” (Matius 11:29). Jadi, standar moral orang Kristen adalah seperti Tuhan Yesus sebagai modelnya. 

Bisakah orang Kristen hidup sempurna seperti Tuhan Yesus? Hal ini jelas tidak mudah. Tetapi bisa. Ada jaminan-Nya,”Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah. Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya... (Roma 8:28-29). 

Asal kita memberi diri untuk digarap Tuhan, pasti bisa serupa dengan Dia. Semua kejadian yang diijinkan Tuhan itu harus kita terima sebagai bagian dari proses-Nya menjadikan kita baik menurut moralnya Kristus, bukan baik menurut moral manusia umumnya. 

Karena itu, sadarilah diri Saudara masih jauh dari menjadi pribadi seperti modelnya Tuhan Yesus, maka Saudara akan mencari Dia dengan sungguh-sungguh. Itulah yang memacu pertumbuhan rohani Saudara hingga sempurna sama seperti Putra Tunggalnya Bapa. Itu adalah kehendak-Nya. Standar moral bagi orang Kristen bukan saja baik tetapi sempurna. Roh Kudus akan memimpin kita ke sana (Roma 8:14). 

3. MENCEMASKAN DIRI SENDIRI 

Mencemaskan diri sendiri yang dimaksud di sini adalah sikap memeriksa diri, ada “perasaan krisis” tentang keadaan rohaninya sendiri apakah sudah menyukakan Tuhan atau belum. Inilah sebenarnya sikap berjaga-jaga yang benar. Paulus pun bersikap demikian, apalagi kita. Paulus berkata,” Tetapi aku melatih tubuhku dan menguasainya seluruhnya, supaya sesudah memberitakan Injil kepada orang lain, jangan aku sendiri ditolak” (1 Korintus 9:27).

Mencemaskan diri berarti mengenal kekurangan diri. Jika Saudara merasa “kurang”, berbahagialah Saudara! Perasaan kurang Saudara justru merupakan kelebihan, bukan kekurangan. Ingat, yang tidak disukai oleh Tuhan adalah kesuaman, bukan kekurangan,” Jadi karena engkau suam-suam kuku, dan tidak dingin atau panas, Aku akan memuntahkan engkau dari mulut-Ku” (Wahyu 3:16). 

Saya ulangi lagi, bahwa yang dicela oleh Tuhan adalah keadaan kita yang setengah-setengah, bukan perasaan kurang yang kita akui dengan jujur. Saya harap Saudara jujur dengan keadaan rohani Saudara sendiri. Ingat, menjadi bangga dan berpuas diri, maka Saudara tidak pernah menjadi dewasa! 

Saya sudah jelaskan di atas bahwa Tuhan menghendaki agar orang Kristen hidup oleh iman. Suatu kenyataan bahwa orang Kristen dapat mengundurkan diri dari perjalanan imannya yang benar, tidak lagi aktif hidup oleh iman alias tidak bertumbuh. Paulus mengatakan bahwa hal ini pun mungkin bagi dirinya, apalagi kita”...supaya sesudah memberitakan Injil kepada orang lain, jangan aku sendiri ditolak”. 

Kata ditolak dalam bahasa Yunaninya adalah adokimos yang berarti tidak layak, tidak berharga. Itulah sebabnya, Paulus merasa cemas, ada perasaan krisis yang hebat sehingga ia berusaha terus untuk bertumbuh guna mencapai level berkenan kepada-Nya,” Sebab itu juga kami berusaha, baik kami diam di dalam tubuh ini, maupun kami diam di luarnya, supaya kami berkenan kepada-Nya” (2 Korintus 5:9). 

Selanjutnya Paulus mengulang kembali peringatan ini dalam 1 Korintus 10:1-14, silakan Saudara meneliti sendiri. Di situ Paulus menunjuk pada bangsa Israel yang telah diselamatkan-Nya dari Mesir. Namun mereka gagal menyukakan Tuhan, yaitu jatuh ke dalam dosa yang jahat (ayat 6-8). Akhirnya mereka dibinasakan oleh malaikat maut (ayat 10). Paulus menekankan bahwa peristiwa ini,” dituliskan untuk menjadi peringatan bagi kita” (ayat 11). “Sebab itu, siapa yang menyangka, bahwa ia teguh berdiri, hati-hatilah supaya ia jangan jatuh”! (ayat 12). 

Kita patut mencemaskan diri sendiri apakah diri kita sudah menyukakan Tuhan atau belum? Sudahkah kita melayani Tuhan sepenuh hati atau masih sebagian hidup? Masihkah kita berada dalam proses pertumbuhan atau stagnasi (mandeg)? Orang Kristen yang merasa nyaman terhadap level kerohaniannya karena merasa sudah ke gereja, memberi persembahan, bahkan terlibat pelayanan di gereja, sesungguhnya berada dalam kondisi yang sangat mencemaskan. Ini adalah perasaan aman yang palsu yang diciptakan oleh iblis. 

Justru sikap mencemaskan diri sendiri adalah sikap optimis bahwa ia bisa mencapai perkenanan Tuhan karena anugerah-Nya. Selama seseorang masih mau mengoreksi diri, dan bertobat maka ia akan terus menerima proses pendewasaan ke arah pertumbuhan kesempurnaan ke arah Kristus. Jika seseorang tidak jujur dengan keadaan rohaninya sendiri, berarti ia sedang menutup “kran” pertumbuhan rohaninya sendiri. Orang yang terus merasa dalam zona aman karena merasa sudah memenuhi kewajiban gerejawi dan berhenti mengoreksi diri untuk berubah, maka ia berpotensi menjadi murtad. Artinya mengalami kemunduran rohani yang berlarut-larut dan bisa berdampak pada kemurtadan. 

Saya tidak bermaksud melemahkan pertumbuhan rohani Saudara, atau menghakimi Saudara melainkan saya menaruh perhatian agar pertumbuhan rohani Saudara bisa didorong dan ditingkatkan menuju pertumbuhan yang berkesinambungan. 

Saya ingin menghindarkan Saudara dari jerat kebosanan dalam hidup kekristenan sebab kebosanan menyebabkan kemandegan. Jika Saudara membiarkan diri Saudara mandeg di dalam iman dan tidak bertumbuh, maka Saudara akan menyesal pada waktu Saudara pada akhirnya melihat Tuhan Yesus. Saudara akan melihat semua kesempatan yang sudah hilang untuk menjadi seperti Tuhan Yesus, dan Saudara hanya bisa akan berkata,” Andai kata saja aku bertumbuh!” Namun kesempatan itu telah hilang selamanya. 

Seseorang yang tidak mencemaskan dirinya sendiri hari ini melainkan terus sibuk hanya mendadani manusia lahiriahnya, ingin mendapatkan sebanyak mungkin fasilitas hidup yang serba terbaik di dunia ini, dan tidak segera mendadani manusia batiniahnya untuk naik ke tingkat yang lebih tinggi, ketika menutup mata, barulah ia menyadari betapa miskin dan bodohnya, namun pintu kesempatan sudah tertutup dan tidak bisa dibuka kembali. Inilah yang dikatakan oleh Tuhan Yesus sebagai orang bodoh di Lukas 12:15-21. 

.4. MENYANGKAL DIRI 

Menyangkal diri adalah suatu “keharusan” untuk naik ke tingkat yang lebih tinggi. Maksudnya tingkat pengenalan akan Tuhan, guna mencapai kedewasaan penuh,”...sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus”(Efesus 4:13). 

Orang Kristen yang tidak memiliki kerinduan untuk mencapai tingkat kedewasaan yang lebih tinggi, pada dasarnya memang menolak untuk diselamatkan. Mereka mundur rohaninya bahkan mungkin sudah murtad. Namun mereka tidak merasa demikian, sebab mereka masih ke gereja. Mereka berpikir ke gereja sama artinya mendahulukan Tuhan. Padahal mendahulukan kegiatan gereja tidak selalu berarti mendahulukan Tuhan dan kebenaran-Nya. 

Bisa juga ke gereja karena “kewajiban” atau “peraturan” belaka sebagai orang Kristen. Ibadah tanpa disertai kasih berarti telah kehilangan esensi daripada ibadah itu sendiri. Ke gereja adalah perbuatan baik tetapi motivasinya merosot. Segala sesuatu yang tidak dilakukan atas dasar kerelaan hati, tetapi karena terpaksa atau paksaan adalah kasih yang tidak bermutu atau merosot nilainya (2 Korintus 9:7). Kata “paksaan” dalam bahasa Yunaninya adalah anagkes yang artinya kewajiban atau peraturan. 

Apakah selama ini Saudara melakukan segala kegiatan gereja sebatas peraturan atau kewajiban? Jika ya. Bertobatlah dan lakukan kembali dengan kasih, kerelaan hati mau bertumbuh dewasa. Kerinduan untuk mencapai tingkat kedewasaan yang lebih tinggi HARUS berangkat dari “niat dan upaya” diri individu orang Kristen sendiri. Ini tidak bisa dipaksakan. Tuhan pun juga tidak akan memaksa. Tuhan punya integritas. 

Tuhan Yesus berkata,”.... Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku” (Matius 16:24). Menyangkal diri di sini bukan sekedar menolak segala perbuatan salah yang melanggar hukum moral, melainkan menanggalkan segala konsep berpikir yang salah tentang kehidupan ini. Misal, konsep kesuksesan, kebahagiaan dan sebagainya yang “tidak” sesuai dengan paham Firman Tuhan harus ditinggalkan. 

Saya ulangi lagi, bahwa kesuksesan hidup tidak diukur dari pendidikan, kedudukan, harta, sekalipun itu perlu. Jangan lagi harta, kedudukan maupun pendidikan menjadi ukuran apakah seseorang diberkati Tuhan atau tidak. Jangan terbelenggu oleh konsep kesuksesan hanya di dunia fana ini. 

Saudara tidak boleh menghabiskan seluruh waktu Saudara hanya untuk meraih prestasi kajayaan lahiriah saja. Saudara harus mengisi lembar hari-hari hidup Saudara dengan perbuatan baik, perbuatan yang berkenan kepada Tuhan yaitu dengan terus bertumbuh naik ke tingkat yang lebih tinggi sampai memasuki kekekalan. Kalau tidak, berarti tidak pertumbuhan. 

Tuhan Yesus dalam perumpamaan tentang penabur menjelaskan bahwa kekuatiran dunia dan tipu daya kekayaan bisa menghimpit Firman yang didengarnya sehingga tidak berbuah (Matius 13:22). 

Orang Kristen tetap harus bersekolah, membina rumah tangga dengan baik dan bekerja dengan rajin untuk meraih kesuksesan. Tetapi segala upaya itu bukan semata-mata untuk mengejar kesuksesan pribadi melainkan untuk mengabdi kepada Tuhan yang telah membeli kita dengan darah-Nya. Kita hidup bagi Dia,”...tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia” (2 Korintus 5:15). Makan minum pun untuk Dia,” Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah” (1 Korintus 10:31). 

Sadarilah bahwa keadaan Saudara masih jauh dari kedewasaan penuh yang dikehendaki oleh Tuhan. Masih jauh dari standar moralnya Tuhan Yesus. Tidak boleh merasa puas dengan kedewasaan yang telah Saudara capai hari ini. Saudara harus mempunyai perasaan “krisis” yang positif maka Saudara akan selamat. 

5. BIJAK MENGGUNAKAN KESEMPATAN 

Marilah kita selalu mengingat bahwa hidup kita singkat. Kita tidak punya waktu banyak. Kalau kita menunda apa yang seharusnya kita lakukan sekarang, yaitu tekun belajar kebenaran, mengisi jiwa kita dengan kebenaran untuk bertumbuh dewasa penuh, kita mungkin tidak akan punya kesempatan lagi untuk waktu-waktu yang akan datang. 

BACA JUGA: TANDA KEDEWASAAN ROHANI DAN PEMURIDAN

Selama Tuhan masih memberi kesempatan bagi kita untuk memperbaiki diri dan berubah ke arah kesempurnaan Yesus Kristus, mari kita lakukan dengan semaksimal mungkin. Kita harus sadar betul bahwa kesempatan untuk berubah akan segera lenyap, dan kita akan kehilangan untuk selamanya. Jangan dikalahkan oleh segala kesibukan dan masalah yang terjadi dalam kehidupan kita. 

Waktu adalah anugerah yang tidak dapat dibeli dengan uang atau apa pun. Sebab itu, selagi masih dapat dikatakan “hari ini” pergunakanlah waktu untuk memacu pertumbuhan iman, sebab bila waktu berlalu, hilanglah kesempatan. Kehilangan kesempatan untuk memperbaiki diri dan bertumbuh dewasa penuh berarti gagal mengikut Yesus.5 CARA MENCEGAH KEJENUHAN ROHANI.

https://teologiareformed.blogspot.com/

Next Post Previous Post