KELOMPOK KECIL: JAWABAN MASALAH GEREJA

KELOMPOK KECIL: JAWABAN MASALAH GEREJA
Dari zaman ke zaman, gereja selalu mengalami tantangan. Tantangan ini berasal baik dari dalam maupun luar gereja. Seringkali tantangan yang datang dari luar gereja membawa dampak yang “positif”, misalnya penganiayaan dan penderitaan yang dialami oleh para jemaat dan hamba Tuhan, walaupun seringkali berat untuk kita terima, justru semakin memurnikan dan menguatkan iman kita. Tantangan dari dalamlah yang perlu kita waspadai karena seringkali tantangan ini membuat gereja lumpuh dan tidak berdaya. 

Pada pertengahan abad ke-20, tantangan ini berupa munculnya aliranaliran liberalisme yang mengutamakan perbuatan tetapi mengabaikan teologi. Bermunculan pula gerakan yang mengutamakan mujizat dan pengalaman pengalaman rohani namun tidak memiliki doktrin yang konsisten dan setia kepada Firman Tuhan. Aliran-aliran tersebut berkembang dengan cepat dan mempengaruhi banyak gereja. Akibatnya banyak orang memiliki iman yang salah dan kebenaran Firman Tuhan dipermainkan. 

Untuk mewakili kekristenan yang sejati dan menjawab tantangantantangan inilah, gerakan reformed injili ada. Walaupun demikian, gereja yang memiliki semangat reformed injili tidaklah selalu kebal dari tantangan yang berasal dari dalam gereja sendiri. Seringkali kita dengar tantangan tersebut sebagai penyebab tutupnya gereja, perpecahan gereja, kekristenan dicemooh, dan terutama sebagai penyebab kekristenan yang tidak berbuah. Oleh karena itu, marilah kita dengan berjiwa besar berani untuk mengkoreksi diri dan mereformasi keadaan gereja kita sesuai semangat reformed injili.2 

Berikut adalah beberapa problema yang klasik; yang dulu, sedang, atau mungkin akan dihadapi oleh gereja: 

1. Persekutuan yang kering 

Manusia adalah gambar dan rupa Allah yang diciptakan untuk hidup dalam persekutuan, seperti halnya Allah. Allah sendiri berkata bahwa tidak baik bagi manusia untuk hidup menyendiri (Kejadian 2:18). Namun kehidupan di perkotaan yang serba cepat dan padat, dan budaya individualistis yang secara sadar atau tidak tertanam dalam masyarakat membuat kita menjadi depersonalized dan sekaligus haus akan perhatian dari orang lain. Manusia akhirnya hanya memiliki hubungan basa-basi yang dangkal kemudian menderita. 

Di sinilah terjadi dilema; di satu sisi ada kerinduan untuk menerima kasih, perhatian, dan sebagainya, namun tidak ada kerelaan untuk memberi di sisi lainnya. Apakah artinya bila hal ini terjadi di dalam kehidupan bergereja? Iman Kristen menjadi suatu hal yang dingin dan kehangatan cinta kasih dalam keluarga kerajaan Allah yang Tuhan Yesus nyatakan seakan-akan hanyalah impian belaka. 

2. Jemaat beriman tanpa perbuatan 

Di dalam zaman yang semakin sekuler dan result-oriented ini, semakin sulit untuk menjalani hidup sebagai murid Kristus. Kehidupan kita di hari Minggu adalah kehidupan yang berbeda dibandingkan kehidupan hari-hari lainnya. Kita sering terdesak untuk mengkompromikan integritas kita atau berbuat dosa demi mencapai nafsu atau target tertentu. Ditambah lagi, sajian media yang kita konsumsi seringkali tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. 

Jadi, ajaran Tuhan semakin jauh dan ajaran dunia semakin dekat. Tingkah laku perbuatan kita tidak lagi lebih baik daripada orang-orang dunia. Lambat laun, kitapun menjadi bosan dengan kekristenan seakanakan yang dikhotbahkan itu hanya omong kosong karena tidak relevan dan tidak sesuai dengan kehidupan nyata. Mengapa demikian? Hal ini sering terjadi karena banyak orang Kristen yang berjuang sendirian dalam menghadapi arus dunia. Dan ketika tidak ada orang yang menjadi pendukung dan penolong, banyak orang menjadi lelah dan kemudian menyerah. 

3. Jemaat dengan mental bayi 

Budaya konsumerisme dan serba instant semakin membuat orang menjadi malas. Kita sudah terbiasa dengan layanan delivery atau layanan-layanan lain dengan slogan-slogan seperti “one-click-away” dan “pelanggan adalah raja”. Untuk batasan tertentu hal-hal ini adalah baik. Tapi celakalah ketika slogan ini masuk ke dalam gereja. Mimbar menjadi tempat untuk memenuhi preference jemaat. Keinginan ini beragam, bisa berupa hiburan musik, khotbah-khotbah yang lucu, bahkan khotbah-khotbah yang hanya memuaskan aspek intelektual manusia. 

Apa Saudara ingat iklan di TV yang menganjurkan ibu-ibu agar tidak usah repot-repot memasak tapi untuk langsung saja memesan dengan layanan delivery? Bagaimana jadinya apabila mental ini ada di dalam diri jemaat? Hasilnya antara lain adalah para jemaat yang malas mempelajari Alkitab secara pribadi dan lebih senang mendengarkan saja. Atau jemaat yang hanya mau mendengarkan Firman dari pengkhotbah tertentu saja tapi menghindari pengkotbah lainnya. Apakah jadinya kalau gereja di seluruh dunia ditutup dan setiap pertemuan rohani dilarang? Jemaat seperti ini akan seperti bayi yang kehilangan penyusunya dan lambat laun dia akan mati. 

4. Semangat misi dan penginjilan rendah 

Banyak kemungkinan yang menjadi penyebab akan hal ini tetapi salah satunya adalah keegoisan. Keegoisan muncul karena kita menempatkan diri kita sebagai pusat dan yang terutama. Manusia berdosa pertama kali karena ingin menjadi seperti Allah, dengan kata lain, ingin menjadi yang terutama (Kejadian 3:4-6). 

Dan sekalipun Tuhan Yesus telah menyelamatkan kita atas dasar anugerah (Efesus 2:8), keegoisan ini begitu tinggi sampai-sampai kita tidak peduli akan keselamatan orang-orang yang belum percaya. Kita mungkin rela dan giat melayani di gereja tempat kita berada, namun kita tidak sampai rela untuk bersusah payah dan ditolak karena mengabarkan Injil. Keegoisan adalah natur manusia sesudah kejatuhan dalam dosa. Keegoisan ini hanya dapat dilawan dengan penyangkalan diri dan mengutamakan orang lain (Filipi 2:3-8). 

Sesudah kita meneliti beberapa problema ini, kita dapat melihat bahwa kita membutuhkan komunitas kecil yang memiliki persekutuan sebagai cirinya dan yang berisikan orang-orang yang menTuhan-kan Kristus. Komunitas ini pun akan menopang anggotanya untuk hidup men-Tuhankan Kristus. Komunitas seperti ini bukanlah hanya impian belaka karena Alkitab pernah mencatatnya. 

Kisah Para Rasul 2:41-47 sering dibaca untuk mempelajari kehidupan gereja mula-mula. Tercatat 3000 orang bertobat dalam hari Pentakosta itu (ayat 41). Suatu jumlah yang sangat besar! Dan sungguh mengherankan karena walaupun mereka berasal dari daerah yang berbeda-beda dan tidak saling mengenal, namun mereka akhirnya membentuk sebuah komunitas Kristen yang indah dan mengagumkan. 

Mereka dengan tekun mempelajari ajaran rasul, memiliki persekutuan yang hidup, serta giat beribadah dan berdoa (ayat 42). Kemudian hasilnya adalah terjadi perubahan hidup dalam komunitas mereka (ayat 43-45). Mereka pun disukai oleh semua orang dan jumlah mereka bertambah banyak (ayat 47) yang menandakan bahwa mereka tidak eksklusif dan tidak egois. 

Para rasul berhasil menjalankan program pemuridan dan penjangkauan gereja baru mereka. Bukankah ini keadaan gereja yang kita dambakan? Tapi apakah yang menjadi kunci keberhasilan ini? Jawabannya ada di ayat 46. Di sini dicatat bahwa mereka memiliki pertemuan yang berskala kecil di rumah-rumah di samping pertemuan besar di Bait Allah. 

Hal ini merupakan suatu strategi yang penting karena para rasul tidak akan mampu memuridkan ribuan orang satu per satu dengan efektif dan persekutuan pun tidak mungkin ada mengingat jumlah mereka yang begitu banyak serta latar belakang mereka yang beragam. Tapi semua ini menjadi mungkin karena ada kelompok kecil yang berjalan untuk melengkapi dan mendukung kelompok besar. Dengan adanya kelompok kecil inilah pemuridan dan penjangkauan menjadi efektif. 

Dari bagian Alkitab ini kita dapat melihat adanya empat komponen yang menjadi karakteristik kelompok kecil ini: 

1. Komunitas 

Komponen ini adalah pusat dari kelompok kecil. Dalam komponen ini anggota dapat bersekutu dengan lebih intim, mengenal dan mengerti satu sama lain dengan lebih baik. Melalui komunitas, jemaat dapat saling berbagi (memberi dan menerima) baik dalam hal materi maupun perhatian dan dukungan. Di samping berbagi, para anggota juga dituntut untuk saling bertanggung jawab dan mempertanggungjawabkan kehidupannya dengan anggota yang lain. Dengan demikian, komunitas ini menjadi komunitas yang sehat, saling memperhatikan dan membangun. 

2. Pembinaan (Pendalaman Akitab) 

Dalam kelompok kecil setiap anggota dituntut untuk ikut berperan aktif dan berkontribusi bagi pertumbuhan rohani anggota lainnya. Hal ini berbeda sekali dengan semangat konsumerisme yang kita bahas sebelumnya. Di sini setiap anggota dilatih untuk rindu menggali Firman Tuhan dan membagikannya. 

3. Penyembahan dan doa 

Doa adalah napas kehidupan rohani orang Kristen. Doa adalah rahasia di balik setiap jiwa yang diubahkan karena melalui doa dan penyembahan kita akan semakin mengenal siapa Tuhan dan memiliki hubungan dengan-Nya. 

4. Misi (Penjangkauan) 

Misi adalah ekspresi dari sebuah persekutuan yang sehat, hasil dari pembinaan yang ketat, dan yang lahir dari doa dan penyembahan.3 Karena semakin kita mengenal Tuhan, kita akan semakin mencintai-Nya. Semakin kita mencintai-Nya, kita akan mencintai mengerjakan apa yang dicintai-Nya. Seperti halnya arang yang membara akan semakin menyala dan tahan lama bila bersama-sama, demikian pula orang Kristen yang memiliki kelompok kecil sebagai support group akan lebih efektif dan setia dalam misi / penginjilan.

Apakah kelompok kecil seperti ini adalah solusi yang kita cari? Sudah empat tahun saya ikut kelompok kecil dan dua tahun lebih saya menjadi pemimpin kelompok kecil. Waktu ini mungkin amatlah singkat dibandingkan 13 tahun sejak saya menerima Tuhan Yesus pertama kali. 

Namun waktu empat tahun inilah waktu di mana saya banyak belajar dan diubahkan. Sebelum saya mengikuti kelompok kecil, saya tidak mengenal apa artinya keluarga dalam Kristus, persahabatan sejati, hidup untuk Kristus, dan pelayanan dengan motivasi yang benar. Semua itu saya dapatkan di kelompok kecil. Yang membuat kelompok kecil ini unik sebenarnya adalah orang-orang di dalamnya serta kerinduan mereka untuk men-Tuhan-kan Kristus. 


Mereka bukanlah orang-orang yang sempurna, namun justru penuh pergumulan. Dan keindahan itu datang ketika kita saling bertukar cerita, mendoakan, dan menguatkan satu sama lain untuk hidup sesuai dengan Firman Tuhan. Juga di saat kita berdoa untuk membagikan Injil kepada orang lain. Saat saya menjadi pemimpin kelompok kecil adalah saat di mana saya meneruskan teladan dan berkat yang saya terima dengan membagikan kasih, menginvest waktu dan tenaga pada domba yang dipercayakan kepada saya. Semua ini tidak mudah, butuh pengorbanan, dan penuh pergumulan. Namun kita akan merasakan sukacita apabila melihat orangorang yang kita pimpin mengalami pertumbuhan. 

Kelompok kecil tidak menjamin akan dapat menjawab semua permasalahan gereja. Namun kelompok kecil sudah sering terbukti bermanfaat (Keluaran 18:19-26, Kisah 2:42-47) dan secara nyata telah mengubah hidup seseorang. Kelompok kecil yang berpusat pada Kristus dan yang bercirikan keempat komponen di atas tadi dapat menjadi solusi problem yang ada dan menjadi strategi untuk pemuridan serta penjangkauan yang lebih efektif. Oleh karena itu mari setiap kita ikut mengambil bagian dalam sebuah kelompok kecil. Saya percaya kehidupan Kristen kita akan menjadi lebih indah dan bermakna. Dunia pun akan berisi lebih banyak orang yang sungguh adalah murid Kristus dan memberi dampak positif. 

~Cahyadi Tjokro~ 

(Footnotes) 1 Penulisan terbatas mengenai problema yang berasal dari dalam gereja dan atau jemaatnya saja. 2 Stephen Tong, “Gerakan Reformed Injili – Apa? & Mengapa?” Penerbit Momentum, 1999 3 Jimmy Long, et al. ,“Small group leaders’ handbook: the next generation”, Inter Varsity Press, 1995, (pg 34-35).
https://teologiareformed.blogspot.com/
Next Post Previous Post