2 TIMOTIUS 2:8-13 (MENDERITA KARENA INJIL)
2 Timotius 2: 8: “Ingatlah ini: Yesus Kristus, yang telah bangkit dari antara orang mati, yang telah dilahirkan sebagai keturunan Daud, itulah yang kuberitakan dalam Injilku.”.
1) Terjemahan.Kata ‘kuberitakan’ sebetulnya tidak ada.
KJV: ‘Remember that Jesus Christ of the seed of David was raised from the dead according to my gospel:’ (= Ingatlah bahwa Yesus Kristus dari benih Daud telah dibangkitkan dari orang mati sesuai dengan injilku:).
RSV: ‘Remember Jesus Christ, risen from the dead, descended from David, as preached in my gospel,’ (= Ingatlah Yesus Kristus, yang telah dibangkitkan dari orang mati, diturunkan dari Daud, seperti dikhotbahkan dalam injilku,).
NIV: ‘Remember Jesus Christ, raised from the dead, descended from David. This is my gospel,’ (= Ingatlah Yesus Kristus, yang telah dibangkitkan dari orang mati, diturunkan dari Daud. Ini adalah injilku,).
NASB: ‘Remember Jesus Christ, risen from the dead, descendant of David, according to my gospel,’ (= Ingatlah Yesus Kristus, yang telah dibangkitkan dari orang mati, diturunkan dari Daud, sesuai dengan injilku)
2) Yesus Kristus adalah inti dari injil.
Dari ayat ini terlihat bahwa Kristus adalah inti dari Injil, dan karena itu adalah aneh / gila pada waktu kita melihat ada banyak pengkhotbah yang pada waktu berkhotbah tidak pernah menyebut nama Yesus Kristus!
3) Paulus menekankan kebangkitan Kristus dari antara orang mati, karena adanya orang-orang yang menyangkalnya.
Bdk. 2 Timotius 2: 16-18: “(16) Tetapi hindarilah omongan yang kosong dan yang tak suci yang hanya menambah kefasikan. (17) Perkataan mereka menjalar seperti penyakit kanker. Di antara mereka termasuk Himeneus dan Filetus, (18) yang telah menyimpang dari kebenaran dengan mengajarkan bahwa kebangkitan kita telah berlangsung dan dengan demikian merusak iman sebagian orang.”.
4) Kemanusiaan dan keilahian Yesus Kristus.
John Stott: “In particular, Christ is to be remembered as the one who is both ‘risen from the dead’ and ‘descended from David’. As we meditate on these two expressions, it is remarkable how full an account of the gospel they give. The birth, death, resurrection and ascension of Jesus are all implicit in them. And these remind us both of his divine-human person and of his saving work. First, his person. The words ‘descended from David’ imply his humanity, for they speak of his earthly descent from David. The words ‘risen from the dead’ imply his divinity, for he was powerfully designated God’s Son by his resurrection from the dead. Secondly, his work. The phrase ‘risen from the dead’ indicates that he died for our sins and was raised to prove the efficacy of his sinbearing sacrifice. The phrase ‘descended from David’ indicates that he has established his kingdom as great David’s greater Son (cf. Lk. 1:32,33). Taken together, the two phrases seem to allude to his double role as Saviour and King.” [= Secara khusus, Kristus harus diingat sebagai seseorang yang baik ‘dibangkitkan dari orang mati’ dan ‘diturunkan dari Daud’. Pada waktu kita merenungkan kedua ungkapan ini, merupakan sesuatu yang luar biasa betapa penuhnya cerita injil yang mereka berikan. Kelahiran, kematian, kebangkitan dan kenaikan dari Yesus semuanya secara implicit ada di dalam mereka. Dan hal-hal ini mengingatkan kita baik tentang pribadi ilahi-manusiawiNya dan pekerjaan penyelamatanNya. Pertama, pribadiNya. Kata-kata ‘telah diturunkan dari Daud’ secara implicit menunjukkan kemanusiaanNya, karena kata-kata itu membicarakan tentang keturunan duniawi dari Daud. Kata-kata ‘telah dibangkitkan dari orang mati’ secara implicit menunjukkan keilahianNya, karena ia ditunjukkan secara kuat sebagai Anak Allah oleh kebangkitanNya dari orang mati. Kedua, pekerjaanNya. Ungkapan ‘telah dibangkitkan dari orang mati’ menunjukkan bahwa Ia telah mati untuk dosa-dosa kita dan dibangkitkan untuk membuktikan bahwa Ia telah meneguhkan kerajaanNya sebagai Anak yang agung dari Daud (bdk. Luk 1:32,33). Diambil bersama-sama, kedua ungkapan kelihatannya menyinggung peranan gandaNya sebagai Juruselamat dan Raja.].
Roma 1:4 - “dan menurut Roh kekudusan dinyatakan oleh kebangkitanNya dari antara orang mati, bahwa Ia adalah Anak Allah yang berkuasa, Yesus Kristus Tuhan kita.”.
Lukas 1:32,33 - “(32) Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi. Dan Tuhan Allah akan mengaruniakan kepadaNya takhta Daud, bapa leluhurNya, (33) dan Ia akan menjadi raja atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan KerajaanNya tidak akan berkesudahan.’”.
Calvin: “‘Of the seed of David.’ This clause not only asserts the reality of human nature in Christ, ... Heretics deny that Christ was a real man, others imagine that his human nature descended from heaven, and others think that there was in him nothing more than the appearance of a man. Paul exclaims, on the contrary, that he was ‘of the seed of David;’ by which he undoubtedly declares that he was a real man, the son of a human being, that is, of Mary. This testimony is so express, that the more heretics labor to get rid of it, the more do they discover their own impudence.” (= ‘Dari benih / keturunan Daud’. Anak kalimat ini bukan hanya menegaskan kenyataan dari hakekat manusia dalam Kristus, ... Orang-orang sesat / bidat-bidat menyangkal bahwa Kristus adalah seorang manusia yang sungguh-sungguh, yang lain mengkhayalkan bahwa hakekat manusiaNya diturunkan dari surga, dan orang-orang lain berpikir bahwa di dalam Dia hanya ada tidak lebih dari apa yang kelihatannya adalah manusia. Paulus berseru, sebaliknya, bahwa Ia adalah ‘dari benih / keturunan Daud’; dengan mana ia tak diragukan menyatakan bahwa Ia adalah sungguh-sungguh seorang manusia, anak laki-laki dari seorang manusia, yaitu dari Maria. Kesaksian ini begitu jelas, sehingga makin orang-orang sesat / bidat-bidat berjerih payah untuk membuangnya, makin mereka menyingkapkan kekurang-ajaran mereka sendiri.).
5) Kehadiran terus menerus dari seseorang yang pernah hidup di dunia ini.
Barclay: “Remember Jesus Christ ‘risen from the dead.’ The tense of the Greek does not imply one definite act in time, but a continued state which lasts forever. Paul is not so much saying to Timothy: ‘Remember the actual resurrection of Jesus’, but rather: ‘Remember your risen and ever-present Lord.’ Here is the great Christian inspiration. We do not depend on a memory, however great. We enjoy the power of a presence. When Christians are summoned to some great task that they feel is beyond them, they must go about it in the certainty that they do not go alone, but that the presence and the power of their risen Lord is always with them. When fears threaten, when doubts invade the mind, when inadequacy depresses, remember the presence of the risen Lord.” (= Ingatlah Yesus Kristus ‘yang telah bangkit / dibangkitkan dari orang mati’. Tensa dari bahasa Yunaninya tidak menunjukkan satu tindakan tertentu dalam waktu, tetapi suatu keadaan yang terus berlangsung selama-lamanya. Paulus tidak mengatakan kepada Timotius: ‘Ingatlah kebangkitan yang sungguh-sungguh dari Yesus’, tetapi ‘Ingatlah Tuhanmu yang telah bangkit dan selalu hadir’. Di sini ada ilham Kristen yang agung. Kita tidak tergantung pada ingatan, betapapapun besar / agungnya. Kita menikmati kuasa dari suatu kehadiran. Pada waktu orang-orang Kristen dipanggil untuk suatu tugas yang besar sehingga mereka merasa bahwa itu adalah melampaui mereka, mereka harus melakukannya dengan kepastian bahwa mereka tidak berjalan sendirian, tetapi bahwa kehadiran dan kuasa dari Tuhan mereka yang telah bangkit selalu menyertai mereka. Pada waktu rasa takut mengancam, pada waktu keragu-raguan menyerbu pikiran, pada waktu ketidak-cukupan menekan, ingatlah kehadiran dari Tuhan yang telah bangkit.).
Catatan: kata Yunani yang diterjemahkan ‘risen’ adalah EGEGERMENON, suatu participle dalam bentuk perfect, pasif.
Barclay: “Remember Jesus Christ ‘born of the seed of David.’ This is the other side of the question. ‘Remember’, says Paul to Timothy, ‘that the Master shared our humanity.’ We do not remember one who is only a spiritual presence; we remember one who trod this road, and lived this life, and faced this struggle, and who therefore knows what we are going through. We have with us the presence not only of the glorified Christ, but also of the Christ who knew the desperate struggle of being human and followed the will of God to the bitter end.” (= Ingatlah Yesus Kristus, ‘dilahirkan dari benih / keturunan Daud’. Ini adalah sisi yang lain dari pertanyaan / persoalan. ‘Ingatlah’, kata Paulus kepada Timotius, ‘bahwa sang Tuan mengambil bagian dalam kemanusiaan kita’. Kita tidak mengingat seseorang yang hanya merupakan suatu kehadiran rohani; kita mengingat seseorang yang menginjak jalanan ini, dan menjalani kehidupan ini, dan menghadapi pergumulan ini, dan yang karena itu mengetahui / mengerti apa yang sedang kita alami. Kita mempunyai suatu kehadiran dengan kita bukan hanya dari Kristus yang telah dimuliakan, tetapi juga dari Kristus yang mengetahui / mengerti pergumulan yang putus asa dari pergumulan sebagai manusia dan mengikuti kehendak Allah sampai pada akhir yang pahit.).
Bdk. Ibrani 2:17-18 - “(17) Itulah sebabnya, maka dalam segala hal Ia harus disamakan dengan saudara-saudaraNya, supaya Ia menjadi Imam Besar yang menaruh belas kasihan dan yang setia kepada Allah untuk mendamaikan dosa seluruh bangsa. (18) Sebab oleh karena Ia sendiri telah menderita karena pencobaan, maka Ia dapat menolong mereka yang dicobai.”.
2 Timotius 2: 9: “Karena pemberitaan Injil inilah aku menderita, malah dibelenggu seperti seorang penjahat, tetapi firman Allah tidak terbelenggu.”.
1) “Karena pemberitaan Injil inilah aku menderita, malah dibelenggu seperti seorang penjahat”.
Matthew Henry: “How the apostle suffered (v. 9): ‘Wherein I suffer as an evil-doer;’ and let not Timothy the son expect any better treatment than Paul the father. Paul was a man who did good, and yet suffered as an evil-doer: we must not think it strange if those who do well fare ill in this world, and if the best of men meet with the worst of treatment;” [= Bagaimana sang rasul menderita (ay 9): ‘Dalam mana aku menderita sebagai seorang pembuat kejahatan’; dan janganlah Timotius sang anak mengharapkan perlakuan yang lebih baik apapun dari pada Paulus sang bapa. Paulus adalah orang yang melakukan yang baik, tetapi menderita sebagai seorang pelaku kejahatan: kita tidak boleh menganggapnya sebagai sesuatu yang aneh jika mereka yang melakukan hal-hal yang baik berada dalam keadaan yang buruk di dunia ini, dan jika orang-orang yang terbaik mengalami perlakuan yang terburuk;].
2) ‘tetapi firman Allah tidak terbelenggu’.
Kata-kata ini memungkinkan 2 arti, yaitu orang-orang Kristen lain tetap memberitakan Injil, atau Paulus sendiri tetap memberitakan Injil di dalam penjara (seandainya ia tak dipenjara tak ada kemungkinan baginya untuk memberitakan Injil kepada orang-orang yang ada di penjara, tentara-tentara yang menjaga penjara dan sebagainya). Atau bisa juga keduanya digabungkan.
Jamieson, Fausset & Brown: “‘Word of God is not bound.’ Though my person is bound, my tongue and pen are not (2 Tim 4:17; Acts 21:13; 28:31). Rather, he includes the freedom of the circulation of the Gospel by others (Phil 1:12). He also hints that Timothy, being free, ought to be the more earnest in circulating it.” [= ‘Firman Allah tidak terbelenggu’. Sekalipun pribadiku diikat / dibelenggu, lidahku dan penaku tidak (2Tim 4:17; Kis 21:13; 28:31). Lebih lagi, ia mencakup kebebasan penyebaran dari Injil oleh orang-orang lain (Fil 1:12). Ia juga mengisyaratkan bahwa Timotius, sebagai orang bebas, harus lebih sungguh-sungguh dalam menyebarkannya].
2Timotius 4:17 - “tetapi Tuhan telah mendampingi aku dan menguatkan aku, supaya dengan perantaraanku Injil diberitakan dengan sepenuhnya dan semua orang bukan Yahudi mendengarkannya. Dengan demikian aku lepas dari mulut singa.”.
Kis 21:13 - “Tetapi Paulus menjawab: ‘Mengapa kamu menangis dan dengan jalan demikian mau menghancurkan hatiku? Sebab aku ini rela bukan saja untuk diikat, tetapi juga untuk mati di Yerusalem oleh karena nama Tuhan Yesus.’”.
Kis 28:31 - “Dengan terus terang dan tanpa rintangan apa-apa ia memberitakan Kerajaan Allah dan mengajar tentang Tuhan Yesus Kristus.”.
Bdk. Filipi 1:12-19 - “(12) Aku menghendaki, saudara-saudara, supaya kamu tahu, bahwa apa yang terjadi atasku ini justru telah menyebabkan kemajuan Injil, (13) sehingga telah jelas bagi seluruh istana dan semua orang lain, bahwa aku dipenjarakan karena Kristus. (14) Dan kebanyakan saudara dalam Tuhan telah beroleh kepercayaan karena pemenjaraanku untuk bertambah berani berkata-kata tentang firman Allah dengan tidak takut. (15) Ada orang yang memberitakan Kristus karena dengki dan perselisihan, tetapi ada pula yang memberitakanNya dengan maksud baik. (16) Mereka ini memberitakan Kristus karena kasih, sebab mereka tahu, bahwa aku ada di sini untuk membela Injil, (17) tetapi yang lain karena kepentingan sendiri dan dengan maksud yang tidak ikhlas, sangkanya dengan demikian mereka memperberat bebanku dalam penjara. (18) Tetapi tidak mengapa, sebab bagaimanapun juga, Kristus diberitakan, baik dengan maksud palsu maupun dengan jujur. Tentang hal itu aku bersukacita. Dan aku akan tetap bersukacita, (19) karena aku tahu, bahwa kesudahan semuanya ini ialah keselamatanku oleh doamu dan pertolongan Roh Yesus Kristus.”.
Catatan: bagian yang saya garis-bawahi salah terjemahan.
KJV/RSV/NIV/NASB: ‘What then?’ (= ‘Lalu apa?’).
Calvin: “Let us therefore bear cheerfully, or at least patiently, to have both our body and our reputation shut up in prison, provided that the truth of God breaks through those fetters, and is spread far and wide.” (= Karena itu hendaklah kita memikul / menanggung dengan gembira, atau setidaknya dengan sabar, pada waktu kita mendapati baik tubuh kita maupun reputasi kita dikurung dalam penjara, asalkan kebenaran Allah menerobos belenggu-belenggu itu, dan disebarkan dimana-mana).
3) Kalau Paulus yang dipenjara tetap bisa memberitakan firman, maka kita juga harus bisa melakukannya dalam keadaan kita yang tidak menguntungkan.
The Biblical Illustrator (New Testament): “The first idea suggested by the words in their original connection is, that Paul’s incarceration did not hinder his own personal exertions as a preacher of the gospel. The practical lesson taught by Paul’s example, in this view of it, is obvious. It is a reproof of our disposition to regard external disadvantages, restraints, and disabilities as either affording an immunity from blame if we neglect to use the power still left us, or discouraging the hope of any good effect from using it.” (= Gagasan pertama yang diusulkan oleh kata-kata ini dalam hubungan aslinya adalah, bahwa penahanan Paulus tidak menghalangi pengerahan tenaga pribadinya sebagai seorang pengkhotbah / pemberita dari injil. Ajaran praktis yang diajarkan oleh teladan Paulus, dalam pandangan ini, adalah jelas. Itu merupakan suatu teguran / celaan terhadap kecenderungan kita untuk menganggap keadaan-keadaan luar yang tidak menguntungkan, pengekangan-pengekangan, dan ketidak-mampuan sebagai atau memberikan suatu kekebalan dari kesalahan jika kita mengabaikan penggunaan kuasa yang masih ditinggalkan bersama kita, atau mengecilkan hati pengharapan tentang hasil baik apapun dari penggunaannya.).
Barclay: “Andrew Melville was one of the earliest heralds of the Scottish Reformation in the sixteenth century. One day, the Regent Morton sent for him and denounced his writings. ‘There will never be quietness in this country’, he said, ‘till half a dozen of you be hanged or banished the country.’ ‘Tush! sir,’ answered Melville, ‘threaten your courtiers in that fashion. It is the same to me whether I rot in the air or in the ground. The earth is the Lord’s; my fatherland is wherever well-doing is. I have been ready to give my life when it was not half as well worn, at the pleasure of my God. I lived out of your country ten years as well as in it. Yet God be glorified, it will not lie in your power to hang nor exile his truth!’ You can exile an individual, but you cannot exile the truth. You can imprison a preacher, but you cannot imprison the word that is preached. The message is always greater than the individual; the truth is always mightier than the bearer.” (= Andrew Melville adalah satu dari pemberita-pemberita yang paling awal dari Reformasi Skotlandia pada abad ke 16. Suatu hari, Regent Morton memanggilnya dan mencela tulisan-tulisannya. ‘Tidak akan pernah ada ketenangan dalam negara ini’, katanya, ‘sampai setengah lusin dari kamu digantung atau dibuang dari negara ini’. ‘Huh! tuan’, jawab Melville, ‘ancamlah anggota-anggota istanamu dengan cara itu. Bagiku adalah sama apakah aku membusuk di udara atau di dalam tanah. Bumi adalah milik Tuhan; tanah airku adalah dimanapun perbuatan baik ada. Aku telah siap untuk menyerahkan nyawaku pada waktu itu belum setengahnya dipakai dengan baik, pada kesenangan dari Allahku. Aku hidup di luar negaramu 10 tahun maupun di dalamnya. Tetapi hendaklah Allah dimuliakan, tidak akan terletak dalam kuasamu untuk menggantung atau membuang kebenaranNya!’ Engkau bisa membuang seorang individu, tetapi engkau tidak bisa membuang kebenaran. Engkau bisa memenjarakan seorang pengkhotbah, tetapi engkau tidak bisa memenjarakan firman yang diberitakan. Beritanya selalu lebih besar dari individunya; kebenarannya selalu lebih kuat / perkasa dari pada pembawa / pemberitanya.).
2 TIMOTIUS 2:1-26(7)
2 Timotius 2: 10: “Karena itu aku sabar menanggung semuanya itu bagi orang-orang pilihan Allah, supaya mereka juga mendapat keselamatan dalam Kristus Yesus dengan kemuliaan yang kekal.”.
Saya berpendapat bahwa ayat ini merupakan ayat yang menarik, khususnya dalam pertentangan antara Calvinisme dan Arminianisme. Paulus mengatakan bahwa ia sabar menanggung semuanya itu (penderitaan, masuk penjara dsb) bagi orang-orang pilihan Allah! Ia memang tak tahu yang mana yang orang pilihan dan yang mana yang bukan. Tetapi ia mengatakan bahwa ia sabar menanggung semua itu untuk orang-orang pilihan Allah! Mengapa tidak / bukan untuk orang-orang non pilihan? Jelas karena tak ada gunanya! Bagaimanapun ia berusaha, mereka tidak mungkin bisa diselamatkan!
Bdk. Kis 13:48 - “Mendengar itu bergembiralah semua orang yang tidak mengenal Allah dan mereka memuliakan firman Tuhan; dan semua orang yang ditentukan Allah untuk hidup yang kekal, menjadi percaya.”.
Paulus memberitakan Injil kepada banyak orang, tetapi yang percaya hanyalah orang-orang pilihan saja!
Kata-kata Paulus dalam 2Tim 2:10 ini searah dengan Yoh 17:9,20 yang menunjukkan bahwa Yesuspun berdoa hanya untuk orang-orang pilihan Allah!
Yoh 17:9,20 - “(9) Aku berdoa untuk mereka. Bukan untuk dunia Aku berdoa, tetapi untuk mereka, yang telah Engkau berikan kepadaKu, sebab mereka adalah milikMu ... (20) Dan bukan untuk mereka ini saja Aku berdoa, tetapi juga untuk orang-orang, yang percaya kepadaKu oleh pemberitaan mereka;”
Sekarang mari kita melihat bagaimana tafsiran dari orang-orang Arminian seperti Adam Clarke dan Lenski tentang 2Tim 2:10 ini.
Adam Clarke: “‘For the elect’s sake.’ For the sake of the Gentiles, elected by God’s goodness to enjoy every privilege formerly possessed by the Jews, and, in addition to these, all the blessings of the Gospel; the salvation of Christ here, and eternal glory hereafter.” (= ‘Bagi / demi orang-orang pilihan’. Demi orang-orang non Yahudi, dipilih oleh kebaikan Allah untuk menikmati setiap hak yang dulu dimiliki oleh orang-orang Yahudi, dan, sebagai tambahan pada hal-hal ini, semua berkat-berkat dari Injil; keselamatan dari Kristus di sini, dan kemuliaan kekal sesudah ini / di alam baka.).
Tanggapan saya: penafsiran yang konyol! Saya tak pernah tahu ada ayat manapun dimana istilah ‘orang-orang pilihan Allah’ bisa diartikan sebagai ‘orang-orang non Yahudi’! Kalau kata-kata Clarke ini benar, maka pertanyaannya adalah:
1. Apakah Paulus menanggung semua ini juga bagi orang-orang non Yahudi yang bukan pilihan Allah?
2. Apakah Paulus tidak menanggung semua ini bagi orang-orang Yahudi yang adalah orang pilihan Allah?
Kesimpulan saya: Clarke jelas membengkokkan ayat ini supaya jangan menabrak pemikiran Arminiannya!
Lenski: “‘The elect’ are not such in the Calvinistic sense, a fixed number chosen by a mysterious, absolute decree, for whom Christ made his limited atonement, who alone receive the serious call, whom an irresistible grace then saves. In the Biblical sense they are the saints and believers chosen as such in Christ, all of whom must make their calling and election sure (2 Pet. 1:10). When we consider election, the idea of eternity should not be stressed over against that of time, in which the elect live; or the reverse, time over against eternity. Eternity is timelessness and is wholly inconceivable to our finite minds. C. Tr. 1085, 66: ‘The entire Holy Trinity, God Father, Son, and Holy Ghost, directs all men to Christ, as the Book of Life, in whom they should seek the eternal election of the Father.’ ‘They should hear Christ, who is the Book of Life and God’s eternal election of all God’s children to eternal life: He testifies to all men without distinction that it is God’s will that all men should come to him, who labor and are heavy laden with sin, in order that he may give them rest and save them, Matt. 11:28’ (70). The election of the elect must ever be viewed thus, in the connection in which 2 Thess. 2:13 places it.” [= ‘Orang-orang pilihan’ bukanlah dalam arti Calvinistik sedemikian rupa, suatu jumlah yang pasti / tertentu yang dipilih oleh suatu ketetapan yang mutlak dan misterius, untuk siapa Kristus membuat penebusan terbatasNya, yang menerima suatu panggilan yang serius, yang lalu diselamatkan oleh kasih karunia yang tidak bisa ditolak. Dalam arti yang Alkitabiah mereka adalah orang-orang kudus dan orang-orang percaya yang dipilih di dalam Kristus, yang semuanya harus membuat panggilan dan pilihan mereka pasti (2Pet 1:10). Pada waktu kita mempertimbangkan pemilihan, gagasan tentang kekekalan harus ditekankan dalam kontras dengan gagasan dari waktu; atau sebaliknya, waktu dalam kontras dengan kekekalan. Kekekalan adalah ketiadaan waktu dan seluruhnya tidak bisa dimengerti bagi pikiran kita yang terbatas. C. Tr. 1085, 66: ‘Seluruh Tritunggal yang Kudus, Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus, mengarahkan semua manusia kepada Kristus, seperti kitab kehidupan, dalam siapa mereka harus mencari pemilihan kekal dari Bapa’. ‘Mereka harus mendengar Kristus, yang adalah kitab kehidupan dan pemilihan kekal Allah terhadap semua anak-anak Allah kepada kehidupan kekal: Ia menyaksikan kepada semua manusia tanpa pembedaan bahwa adalah kehendak Allah bahwa semua manusia harus datang kepadaNya, yang berjerih payah dan berbeban berat dengan dosa, supaya Ia bisa memberi mereka istirahat dan menyelamatkan mereka, Mat 11:28’ (70). Pemilihan orang-orang pilihan harus selalu dipandang seperti ini, dalam hubungan dengan mana 2Tesalonika 2:13 menempatkannya.].
2Petrus 1:10 - “Karena itu, saudara-saudaraku, berusahalah sungguh-sungguh, supaya panggilan dan pilihanmu makin teguh. Sebab jikalau kamu melakukannya, kamu tidak akan pernah tersandung.”.
Matius 11:28 - “Marilah kepadaKu, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.”.
Tanggapan saya:
Menurut saya, sama seperti Clarke, Lenski bukan menafsirkan ayat ini, tetapi menghindarinya. Ia lari kepada ayat lain, seperti 2Pet 1:10, yang sebenarnya maksudnya hanyalah untuk menunjukkan bahwa pemilihan (predestinasi) bukan alasan untuk menjadi malas / pasif, apalagi hidup seenaknya sendiri, dan bahwa kehidupan yang baik merupakan bukti dari pemilihan dan panggilan Allah.
Ia lalu lari pada ‘kekekalan’ untuk menyatakan bahwa pikiran kita yang terbatas tidak bisa mengertinya. Kalau memang demikian, lalu mau diapakan banyak ayat-ayat Alkitab yang jelas-jelas berbicara tentang kekekalan? Dan mengapa Ia sendiri berusaha mengartikan (atau ‘membengkokkan’) hal-hal yang berhubungan dengan kekekalan?
Ia lalu mengutip kata-kata seseorang (yang saya tak tahu siapa, tetapi jelas bukan orang yang mempunyai pandangan Calvinisme). Perhatikan bahwa orang itu mengatakan bahwa semua orang harus mencari pemilihan kekal dari Bapa! Mencari dengan cara bagaimana? Kelihatannya dia percaya pada ‘Conditional Election’ (= Pemilihan yang bersyarat). Ajaran omong kosong ini jelas bertentangan dengan ayat-ayat seperti:
a. 2Timotius 1:9 - “Dialah yang menyelamatkan kita dan memanggil kita dengan panggilan kudus, bukan berdasarkan perbuatan kita, melainkan berdasarkan maksud dan kasih karuniaNya sendiri, yang telah dikaruniakan kepada kita dalam Kristus Yesus sebelum permulaan zaman”.b. Roma 9:10-18 - “(10) Tetapi bukan hanya itu saja. Lebih terang lagi ialah Ribka yang mengandung dari satu orang, yaitu dari Ishak, bapa leluhur kita. (11) Sebab waktu anak-anak itu belum dilahirkan dan belum melakukan yang baik atau yang jahat, - supaya rencana Allah tentang pemilihanNya diteguhkan, bukan berdasarkan perbuatan, tetapi berdasarkan panggilanNya - (12) dikatakan kepada Ribka: ‘Anak yang tua akan menjadi hamba anak yang muda,’ (13) seperti ada tertulis: ‘Aku mengasihi Yakub, tetapi membenci Esau.’ (14) Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Apakah Allah tidak adil? Mustahil! (15) Sebab Ia berfirman kepada Musa: ‘Aku akan menaruh belas kasihan kepada siapa Aku mau menaruh belas kasihan dan Aku akan bermurah hati kepada siapa Aku mau bermurah hati.’ (16) Jadi hal itu tidak tergantung pada kehendak orang atau usaha orang, tetapi kepada kemurahan hati Allah. (17) Sebab Kitab Suci berkata kepada Firaun: ‘Itulah sebabnya Aku membangkitkan engkau, yaitu supaya Aku memperlihatkan kuasaKu di dalam engkau, dan supaya namaKu dimasyhurkan di seluruh bumi.’ (18) Jadi Ia menaruh belas kasihan kepada siapa yang dikehendakiNya dan Ia menegarkan hati siapa yang dikehendakiNya.”.
Text-text ini jelas menekankan bahwa pemilihan Allah semata-mata tergantung pada kehendak Allah, dan sama sekali tidak tergantung pada usaha manusia, dan jelas bertentangan dengan kata-kata Lenski maupun orang yang ia kutip.
Lalu Lenski mengutip orang yang sama yang ‘lari’ pada Matius 11:28 - “Marilah kepadaKu, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.”.
Ayat ini sama sekali tak bicara tentang orang-orang pilihan atau orang-orang non pilihan! Ayat ini hanya menekankan bahwa semua orang harus datang kepada Kristus, yang merupakan ajaran yang juga dipercaya oleh para Calvinist!
Mengapa ia tidak melihat ayat-ayat sebelum ayat ini? Mari kita perhatikan:
Matius 11:25-27 - “(25) Pada waktu itu berkatalah Yesus: ‘Aku bersyukur kepadaMu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil. (26) Ya Bapa, itulah yang berkenan kepadaMu. (27) Semua telah diserahkan kepadaKu oleh BapaKu dan tidak seorangpun mengenal Anak selain Bapa, dan tidak seorangpun mengenal Bapa selain Anak dan orang yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakannya.”.
Ayat ini justru berhubungan dengan pemilihan / predestinasi, tetapi justru tak dibicarakan!
Lalu pada bagian akhir, Lenski ‘lari’ pada 2Tes 2:13 tanpa menyebutkan bunyi ayatnya. Mari kita lihat ayatnya.
2Tesalonika 2:13 - “Akan tetapi kami harus selalu mengucap syukur kepada Allah karena kamu, saudara-saudara, yang dikasihi Tuhan, sebab Allah dari mulanya telah memilih kamu untuk diselamatkan dalam Roh yang menguduskan kamu dan dalam kebenaran yang kamu percayai.”.
Apa hubungan ayat ini dengan penafsiran (atau lebih tepat, ‘pembengkokkan’) Lenki? Tak ada sama sekali!
Lenski: “No suffering is too great for him if it in any way and to any degree supports this purpose, which includes his own salvation, but oh, also that of so many others.” (= Tak ada penderitaan yang terlalu besar bagi dia jika itu dalam jalan / cara apapun, dan pada tingkat apapun, menyokong tujuan ini, yang mencakup keselamatannya sendiri, tetapi oh, juga keselamatan dari begitu banyak orang-orang lain.).
Tanggapan saya: ‘keselamatannya sendiri’??? Aneh dan tolol. Pada saat itu Paulusnya sudah selamat bukan? Lalu apa maksudnya ia sabar menanggung semua itu untuk keselamatannya sendiri?
Lenski: “Even the severest endurance is brief, but salvation with its accompanying glory is eternal.” (= Bahkan ketekunan / ketahanan yang paling keras / berat adalah singkat, tetapi keselamatan dengan kemuliaan yang menyertainya adalah kekal.).
Sekarang mari kita memperhatikan komentar-komentar dari Calvin sendiri (dan orang-orang Reformed / non Arminian) tentang 2Tim 2:10 ini.
Calvin: “From the elect he shews, that his imprisonment is so far from being a ground of reproach, that it is highly profitable to the elect. When he says that he endures for the sake of the elect, this demonstrates how much more he cares for the edification of the Church than for himself; for he is prepared, not only to die, but even to be reckoned in the number of wicked men, that he may promote the salvation of the Church.” (= Dari orang-orang pilihan ia menunjukkan, bahwa pemenjaraannya adalah begitu jauh dari suatu dasar untuk celaan, bahwa itu sangat berguna untuk orang-orang pilihan. Pada waktu ia berkata bahwa ia menahan demi orang-orang pilihan, ini menunjukkan betapa banyak ia peduli / memperhatikan pendidikan dari Gereja dari pada untuk dirinya sendiri; karena ia siap sedia, bukan hanya untuk mati, tetapi bahkan untuk diperhitungkan / dianggap dalam jumlah orang-orang jahat, supaya ia bisa memajukan keselamatan dari Gereja.).
Catatan: Calvin di sini mengidentikkan ‘orang-orang pilihan’ dengan ‘gereja’. Jelas ia menggunakan istilah ‘gereja’ dalam arti ‘gereja yang sungguh-sungguh / orang Kristen yang sungguh-sungguh.
William Hendriksen: “But even though for the elect, salvation is certain from all eternity, it must be obtained. ... Hence, the apostle, here as so often combining the divine decree and human responsibility, continues, ‘in order that also they may obtain the salvation (which is) in Christ Jesus with everlasting glory.’” [= Tetapi sekalipun untuk orang-orang pilihan keselamatan adalah pasti dari kekekalan, itu harus didapatkan. ... Karena itu, sang rasul, di sini seperti begitu sering ia lakukan, menggabungkan ketetapan ilahi dengan tanggung jawab manusia, melanjutkan, ‘supaya mereka juga mendapatkan keselamatan (yang ada) dalam Kristus Yesus dengan kemuliaan kekal’.].
Matthew Henry: “Observe, (1.) Good ministers may and should encourage themselves in the hardest services and the hardest sufferings, with this, that God will certainly bring good to his church, and benefit to his elect, out of them. - ‘That they may obtain the salvation which is in Christ Jesus.’ Next to the salvation of our own souls we should be willing to do and suffer any thing to promote the salvation of the souls of others. (2.) The elect are designed to obtain salvation: ‘God hath not appointed us to wrath, but to obtain salvation,’ 1 Thess 5:9.” [= Perhatikan, (1.) Pendeta-pendeta yang baik / saleh bisa dan harus mendorong diri mereka sendiri dalam pelayanan-pelayanan yang paling berat dan penderitaan-penderitaan yang paling berat, dengan ini, bahwa Allah pasti akan membawa kebaikan bagi gerejaNya, dan manfaat bagi orang-orang pilihan, dari semua itu. - ‘Supaya mereka menerima keselamatan yang ada dalam Kristus Yesus’. Setelah / disamping keselamatan jiwa kita sendiri, kita harus mau melakukan dan menderita apapun untuk memajukan keselamatan dari jiwa-jiwa dari orang-orang lain. (2.) Orang-orang pilihan dirancang untuk mendapatkan keselamatan: ‘Allah tidak menetapkan kita untuk ditimpa murka, tetapi untuk beroleh keselamatan,’ 1 Tes 5:9.].
1Tesalonika 5:9 - “Karena Allah tidak menetapkan kita untuk ditimpa murka, tetapi untuk beroleh keselamatan oleh Yesus Kristus, Tuhan kita,”.
Barnes’ Notes: “Their salvation, though they, were elected, could not be secured without proper efforts. The meaning of the apostle here is, that he was willing to suffer if he might save others; and any one OUGHT to be willing to suffer in order to secure the salvation of the elect - for it was an object for which the Redeemer was willing to lay down his life.” (= Keselamatan mereka, sekalipun mereka dipilih, tidak bisa diperoleh tanpa usaha-usaha yang benar. Arti dari sang rasul di sini adalah, bahwa ia mau menderita jika ia bisa menyelamatkan orang-orang lain; dan siapapun seharusnya mau menderita untuk memperoleh / memastikan keselamatan dari orang-orang pilihan - karena itu merupakan suatu tujuan / obyek untuk mana sang Penebus mau menyerahkan nywaNya).
Catatan: betul-betul aneh bahwa Albert Barnes, yang menolak point ke 3 dari 5 points Calvinisme [‘Limited Atonement’ (= Penebusan Terbatas)], bisa mengucapkan kata-kata bagian akhir, yang saya garis-bawahi itu!
John Stott: “We notice in passing that the doctrine of election does not dispense with the necessity of preaching. On the contrary, it makes it essential. For Paul preaches and suffers for it (literally) ‘in order that’ they ‘may obtain the salvation in Christ Jesus with its eternal glory’. The elect obtain salvation in Christ not apart from the preaching of Christ but by means of it.” [= Kita perhatikan sambil lalu bahwa doktrin tentang pemilihan tidak membuang kebutuhan / keharusan dari pemberitaan / khotbah. Sebaliknya, itu membuatnya hakiki / harus dilakukan. Karena Paulus berkhotbah dan menderita untuknya (secara hurufiah) ‘supaya’ mereka ‘bisa mendapatkan keselamatan dalam Kristus Yesus dengan kemuliaan kekal’. Orang-orang pilihan mendapatkan keselamatan dalam Kristus bukan terpisah dari pemberitaan tentang Kristus tetapi dengan cara itu.].
The Biblical Illustrator (New Testament): “If we were asked what was the object of Christian preaching and instruction, what the office of the Church, considered as the dispenser of the Word of God, I suppose we should not all return the same answer. Perhaps we might say that the object of Revelation was to enlighten and enlarge the mind, or to make us good members of the community. St. Paul gives us a reason in the text different from any of those which I have mentioned. He laboured more than all the apostles; and why? not to civilise the world, not to smooth the face of society, not to facilitate the movements of civil government, not to spread abroad knowledge, not to cultivate the reason, not for any great worldly object, but ‘for the elect’s sake.’ And when St. Paul and St. Barnabas preached at Antioch to the Gentiles, ‘As many as were ordained to eternal life, believed.’” (= Jika kita ditanya apa tujuan dari khotbah / pemberitaan dan pengajaran Kristen, apa tugas dari Gereja, yang dianggap sebagai penyalur dari Firman Allah, sama kira kita semua tidak akan kembali dengan jawaban yang sama. Mungkin kita akan mengatakan bahwa obyek / tujuan dari Wahyu adalah untuk menerangi / mencerahi dan memperluas pikiran, atau untuk membuat kita anggota-anggota yang baik dari masyarakat. Santo Paulus memberi kita suatu alasan dalam text ini berbeda dengan jawaban-jawaban manapun yang telah saya sebutkan. Ia berjerih payah lebih dari semua rasul-rasul; dan mengapa? bukan untuk membuat dunia menjadi beradab, bukan untuk memperhalus wajah dari masyarakat, bukan untuk memfasilitasi gerakan-gerakan dari pemerintahan sipil, bukan untuk menyebarkan pengetahuan, bukan untuk mengolah akal / pertimbangan, bukan untuk tujuan duniawi besar apapun, tetapi ‘demi orang-orang pilihan’. Dan pada waktu Santo Paulus dan Santo Barnabas memberitakan / berkhotbah di Antiokhia kepada orang-orang non Yahudi, ‘Semua yang ditentukan untuk hidup yang kekal, percaya’.).
Kis 13:48 - “Mendengar itu bergembiralah semua orang yang tidak mengenal Allah dan mereka memuliakan firman Tuhan; dan semua orang yang ditentukan Allah untuk hidup yang kekal, menjadi percaya.”.
Kata-kata yang saya beri garis bawah ganda, salah terjemahan.
KJV/RSV/NIV/NASB: ‘Gentiles’ (= orang-orang non Yahudi).
The Bible Exposition Commentary: New Testament: “He thinks of the whole army (v. 10). ‘The elect’ are God’s people, chosen by His grace and called by His Spirit (2 Thess 2:13-14). Paul not only suffered for the Lord’s sake, but he also suffered for the sake of the church. There were yet many people to reach with the Gospel, and Paul wanted to help reach them. A soldier who thinks only of himself is disloyal and undependable.” [= Ia memikirkan seluruh pasukan (ay 10). ‘Orang-orang pilihan’ adalah umat Allah, dipilih oleh kasih karuniaNya dan dipanggil oleh RohNya (2Tes 2:13-14). Paulus bukan hanya menderita demi Tuhan, tetapi ia juga menderita demi gereja. Di sana masih ada banyak orang yang harus dijangkau dengan Injil, dan Paulus ingin membantu untuk menjangkau mereka. Seorang tentara / prajurit yang memikirkan dirinya sendiri saja adalah tidak setia dan tidak bisa diandalkan.].
2Tes 2:13-14 - “(13) Akan tetapi kami harus selalu mengucap syukur kepada Allah karena kamu, saudara-saudara, yang dikasihi Tuhan, sebab Allah dari mulanya telah memilih kamu untuk diselamatkan dalam Roh yang menguduskan kamu dan dalam kebenaran yang kamu percayai. (14) Untuk itulah Ia telah memanggil kamu oleh Injil yang kami beritakan, sehingga kamu boleh memperoleh kemuliaan Yesus Kristus, Tuhan kita.”.
2 TIMOTIUS 2:1-26(8)2 Timotius 2: 11-13: “(11) Benarlah perkataan ini: ‘Jika kita mati dengan Dia, kitapun akan hidup dengan Dia; (12) jika kita bertekun, kitapun akan ikut memerintah dengan Dia; jika kita menyangkal Dia, Diapun akan menyangkal kita; (13) jika kita tidak setia, Dia tetap setia, karena Dia tidak dapat menyangkal diriNya.’”.
1) “Benarlah perkataan ini:” (ay 11a).
Paulus sering melakukan pengutipan seperti ini.
Bandingkan dengan:
· 1Timotius 1:15 - “Perkataan ini benar dan patut diterima sepenuhnya: ‘Kristus Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa,’ dan di antara mereka akulah yang paling berdosa.”.
· 1Timotius 3:1 - “Benarlah perkataan ini: ‘Orang yang menghendaki jabatan penilik jemaat menginginkan pekerjaan yang indah.’”.
· 1Timotius 4:9 - “Perkataan ini benar dan patut diterima sepenuhnya.”.
· Titus 3:8 - “Perkataan ini benar dan aku mau supaya engkau dengan yakin menguatkannya, agar mereka yang sudah percaya kepada Allah sungguh-sungguh berusaha melakukan pekerjaan yang baik. Itulah yang baik dan berguna bagi manusia.”.
Ada bermacam-macam penafsiran tentang kata-kata dalam ay 11a ini.
a) Lenski menganggap Paulus bukan mengutip suatu nyanyian pujian kuno, tetapi memberikan kata-katanya sendiri.
Lenski: “We see that Paul is not quoting some ancient Christian hymn as some think. They say that this explains the γάρ which he retained when quoting. Although we have symmetry in the sentences, this is not poetry but Paul’s, own prose.” (= Kami melihat / mengerti bahwa Paulus bukan sedang mengutip nyanyian pujian Kristen kuno seperti dipikirkan oleh beberapa / sebagian orang. Mereka mengatakan bahwa ini menjelaskan kata Yunani GAR yang ia pertahankan pada waktu mengutip. Sekalipun kita mempunyai kesimetrisan dalam kalimat-kalimat, ini bukanlah syair tetapi prosa Paulus sendiri.).
Catatan: kata Yunani GAR diterjemahkan ‘for’ (= karena) dalam KJV dan NASB. RSV dan NIV menghapuskannya seperti dalam Kitab Suci Indonesia.
b) Adam Clarke kelihatannya menganggap bahwa Paulus mengutip kata-kata Yesus yang tidak tercatat dalam Alkitab, tetapi diturunkan dari mulut ke mulut (tradisi).
Adam Clarke: “This, says the apostle, is PISTOS HO LOGOS, a true doctrine. This is properly the import of the word; and we need not seek, as Dr. Tillotson and many others have done, for some saying of Christ which the apostle is supposed to be here quoting, and which he learned from tradition.” (= Ini, kata sang rasul, adalah PISTOS HO LOGOS, suatu doktrin / ajaran yang benar. Ini secara benar adalah maksud dari firman ini; dan kita tidak perlu mencari, seperti Dr. Tillotson dan banyak orang lain telah lakukan, karena beberapa kata-kata / pepatah dari Kristus yang dianggap dikutip oleh sang rasul di sini, dan yang ia pelajari dari tradisi.).
c) The Bible Exposition Commentary mengatakan bahwa mungkin Paulus mengutip dari pengakuan iman orang Kristen mula-mula.
The Bible Exposition Commentary: New Testament: “This ‘faithful saying’ is probably part of an early statement of faith recited by believers.” (= ‘Kata-kata yang setia / benar’ ini mungkin merupakan bagian dari suatu pernyataan iman mula-mula yang diucapkan berulang-ulang oleh orang-orang percaya.).
d) William Hendriksen menganggap bahwa mungkin sekali pandangan yang menganggap bahwa Paulus mengutip sebagian dari suatu nyanyian pujian adalah benar. Ini memang merupakan pandangan yang paling populer.
William Hendriksen: “In harmony with what the apostle has just stated, he now introduces the fourth of five ‘reliable sayings’ (see on I Tim. 1:15). The opinion that the lines which he quotes were taken from an early Christian hymn, a cross-bearer’s or martyr’s hymn, is probably correct. It is evident that he does not quote the entire hymn (unless γάρ here is not ‘for’; but in the present case ‘for’ is probably right). Now, the word ‘for’ indicates that in the hymn something preceded. The probability is that the unquoted line which preceded was something like, ‘We shall remain faithful to our Lord even to death,’ or, ‘We have resigned ourselves to reproach and suffering and even to death for Christ’s sake.’ In either case the next line, the first one quoted by Paul, could then be: ‘For, if we have died with (him), we shall also live with (him).’” [= Sesuai dengan apa yang sang rasul baru nyatakan, sekarang ia memperkenalkan yang keempat dari lima ‘kata-kata yang bisa dipercaya’ (lihat pada 1Tim 1:15). Pandangan bahwa kalimat-kalimat yang ia kutip diambil dari suatu nyanyian pujian Kristen mula-mula, nyanyian pujian dari seorang pemikul salib atau martir, mungkin adalah benar. Adalah jelas bahwa ia tidak mengutip seluruh nyanyian pujian itu (kecuali GAR di sini bukan berarti ‘for’ / ‘karena’; tetapi dalam kasus ini ‘for’ / ‘karena’ mungkin benar). Kata ‘for’ / ‘karena’ menunjukkan bahwa dalam nyanyian pujian ini ada sesuatu yang mendahului. Kemungkinannya adalah bahwa kalimat-kalimat yang mendahului yang tidak dikutip adalah sesuatu seperti, ‘Kita akan tetap setia kepada Tuhan kita bahkan sampai mati’, atau, ‘Kita telah menyerahkan diri kita sendiri pada celaan dan penderitaan dan bahkan pada kematian demi Kristus’. Dalam kasus yang manapun, kalimat selanjutnya, kalimat pertama yang dikutip oleh Paulus, bisa adalah: ‘Karena, jika kita telah mati bersama Dia, kita juga akan hidup bersama Dia’.].
Catatan: perhatikan bahwa William Hendriksen berbicara secara tidak pasti; semua ini hanya dugaan-dugaan / kemungkinan-kemungkinan yang belum tentu benar.
e) John Stott menganggap bahwa Paulus mengutip dari suatu nyanyian pujian kuno, atau dari suatu pepatah yang pada saat itu sedang beredar.
John Stott: “Paul now quotes a current saying or fragment of an early Christian hymn which he pronounces reliable.” (= Sekarang Paulus mengutip suatu pepatah yang sedang beredar atau potongan / bagian dari suatu nyanyian pujian Kristen mula-mula yang ia nyatakan sebagai dapat dipercaya.).
Bdk. 1 Tim 1:15; 3:1; 4:9 and Titus 3:8.
f) Jamieson, Fausset & Brown mengatakan bahwa mungkin ini merupakan kutipan dari suatu nyanyian pujian kuno, atau suatu formula yang diterima, yang mula-mula diucapkan oleh ‘nabi-nabi’ Kristen dalam pertemuan umum / kebaktian.
Jamieson, Fausset & Brown: “The symmetrical form of the ‘saying’ (2 Tim 2:11-13), and the rhythmical balance of the parallel clauses, make it likely they formed part of a church hymn (note, 1 Tim 3:16) or accepted formula, perhaps first uttered by Christian ‘prophets’ in the public assembly (1 Cor 14:26). ‘Faithful is the saying,’ the usual formula (cf. 1 Tim 1:15; 3:1; 4:9; Titus 3:8), favours this.” [= Bentuk simetris dari ‘kata-kata’ (2Tim 2:11-13), dan keseimbangan yang berirama dari anak-anak kalimat yang paralel, membuatnya mungkin bahwa mereka membentuk bagian dari suatu nyanyian pujian gereja (perhatikan, 1Tim 3:16) atau suatu formula / pernyataan doktrinal yang diterima, mungkin mula-mula diucapkan oleh ‘nabi-nabi’ Kristen dalam pertemuan umum / kebaktian (1Kor 14:26). ‘Benarlah kata-kata’, yang merupakan formula yang biasa (bdk. 1Tim 1:15; 3:1; 4:9; Titus 3:8), menyokong hal ini.].
1Tim 3:16 - “Dan sesungguhnya agunglah rahasia ibadah kita: ‘Dia, yang telah menyatakan diriNya dalam rupa manusia, dibenarkan dalam Roh; yang menampakkan diriNya kepada malaikat-malaikat, diberitakan di antara bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah; yang dipercayai di dalam dunia, diangkat dalam kemuliaan.’”.
1Kor 14:26 - “Jadi bagaimana sekarang, saudara-saudara? Bilamana kamu berkumpul, hendaklah tiap-tiap orang mempersembahkan sesuatu: yang seorang mazmur, yang lain pengajaran, atau penyataan Allah, atau karunia bahasa roh, atau karunia untuk menafsirkan bahasa roh, tetapi semuanya itu harus dipergunakan untuk membangun.”.
g) Calvin tak terlalu jelas, tetapi kelihatannya ia menganggap kata-kata ini dari Paulus sendiri, dan Paulus mengatakan kata-kata ini supaya kata-katanya selanjutnya, yang rasanya sukar diterima akal, bisa diterima.
Calvin: “A faithful saying. He makes a preface to the sentiment which he is about to utter; because nothing is more opposite to the feeling of the flesh, than that we must die in order to live, and that death is the entrance into life; for we may gather from other passages, that Paul was wont to make use of a preface of this sort, in matters of great importance, or hard to be believed.” (= Suatu perkataan yang benar. Ia membuat suatu pendahuluan bagi pandangan / pemikiran yang akan diucapkannya; karena tidak ada yang lebih bertentangan dengan perasaan dari daging, dari pada bahwa kita harus mati supaya bisa hidup, dan bahwa kematian adalah jalan masuk ke dalam kehidupan; karena kita bisa dapatkan dari text-text lain, bahwa Paulus biasa untuk menggunakan suatu pendahuluan dari jenis ini, dalam persoalan-persoalan yang sangat penting, atau sukar untuk dipercayai.).
Kesimpulan: sekalipun kebanyakan penafsir menganggap bahwa Paulus mengutip dari suatu nyanyian pujian Kristen kuno, tetapi ini tidak pasti, dan banyak penafsir yang mempunyai pandangan yang lain, yang juga memungkinkan.
2) “‘Jika kita mati dengan Dia, kitapun akan hidup dengan Dia;” (ay 11b).
Lenski: “‘If, indeed, we died,’ aorist, past - ‘if we are enduring,’ present - ‘if we shall deny,’ future. Past occurrence - present state - future happening. These tenses are decisive in answer to those who think that ‘if, indeed, we died with him’ refers to physical death, a martyr’s death. Both γάρ and the aorist tense exclude this thought. Paul and Timothy had not as yet died physically either by martyrdom or otherwise. Why should Paul put such a death first and the continuous enduring second when the order of the two is always the reverse?” [= ‘Jika kita memang telah mati’, aorist / past, lampau - ‘jika kita sedang bertahan / bertekun’, present / sekarang - ‘jika kita akan menyangkal’, future / akan datang. Tensa-tensa ini merupakan jawaban yang meyakinkan kepada mereka yang berpikir bahwa ‘jika kita memang telah mati dengan Dia’ menunjuk kepada kematian secara fisik, kematian seorang martir. Baik kata Yunani GAR (for / karena) maupun bentuk past tense / lampau membuang pemikiran ini. Paulus dan Timotius belum mati secara fisik apakah oleh kematian syahid atau cara yang lain. Mengapa Paulus meletakkan kematian seperti itu lebih dulu dan sikap bertahan yang terus menerus belakangan, jika urut-urutan dari keduanya selalu adalah kebalikannya?].
Catatan: kata Yunani GAR ada dalam awal dari kutipan, dalam Kitab Suci Indonesia/RSV/NIV kata ini dihapuskan, tetapi dalam KJV/NASB diterjemahkan ‘for’ (= karena).
Lenski: “This is the death which occurs in baptism by contrition and repentance. It is expressed in mystical language: ‘we died together with him.’ see Rom. 6:4, etc., where this language is fully explained. ... If we truly did so die, of which there is no doubt in the case of Paul and of Timothy, it is equally certain: ‘we shall live together with him.’ As he, risen from the dead (v. 8), lives to die no more, so by virtue of his life we ‘shall live together with him’ in heaven forever. Here the distant extremes: joint death in the past - joint living in the heavenly future are connected. The two form a paradox: having died - future living. ‘We’ in the verbs = Paul and Timothy. The fact that what is true of them is true also of all other Christians is self-evident.” [= Ini adalah kematian yang terjadi dalam baptisan oleh penyesalan dan pertobatan. Ini dinyatakan dalam kata-kata yang mistik: ‘kita telah mati dengan Dia’. lihat Ro 6:4, dst., dimana kata-kata ini dijelaskan sepenuhnya. ... Jika kita betul-betul mati seperti itu, tentang mana tidak ada keraguan dalam kasus dari Paulus dan Timotius, adalah sama pastinya: ‘kita akan hidup bersama-sama dengan Dia’. Seperti Dia, bangkit dari orang mati (ay 8), hidup dan tidak mati lagi, maka berdasarkan kehidupanNya kita ‘akan hidup bersama-sama dengan Dia’ di surga selama-lamanya. Di sini ada perbedaan jarak yang besar: ‘bersama-sama dalam kematian di masa lampau’ dihubungkan dengan ‘bersama-sama hidup di surga yang akan datang’. Keduanya membentuk suatu paradox: telah mati - hidup yang akan datang. ‘Kita / kami’ dalam kata-kata kerja ini = Paulus dan Timotius. Fakta bahwa apa yang benar tentang mereka juga adalah benar tentang semua orang Kristen yang lain adalah jelas.].
John Stott: “The death with Christ which is here mentioned must refer, according to the context, not to our death to sin through union with Christ in his death, but rather to our death to self and to safety, as we take up the cross and follow Christ. The former Paul describes in Romans 6:3 (‘do you not know that all of us who have been baptized into Christ Jesus were baptized into his death?’); the latter he expresses both in 1 Corinthians 15:31 (‘I die every day’) and in 2 Corinthians 4:10 (‘always carrying in the body the death of Jesus’). That this is the meaning in the hymn fragments seems plain from the fact that to ‘have died with Christ’ and to ‘endure’ are parallel expressions. So the Christian life is depicted as a life of dying, a life of enduring. Only if we share Christ’s death on earth, shall we share his life in heaven. Only if we share his sufferings and endure, shall we share his reign in the hereafter. For the road to life is death, and the road to glory suffering (cf. Rom. 8:17; 2 Cor. 4:17).” [= Kematian bersama Kristus yang di sini disebutkan harus menunjuk, sesuai dengan kontext, bukan pada kematian kita terhadap dosa melalui persatuan dengan Kristus dalam kematianNya, tetapi lebih kepada kematian kita terhadap diri sendiri dan pada keamanan, pada waktu kita memikul salib dan mengikuti Kristus. Yang pertama Paulus gambarkan dalam Roma 6:3 (‘tidak tahukah kamu, bahwa kita semua yang telah dibaptis ke dalam Kristus, telah dibaptis ke dalam kematianNya?’); yang belakangan ia nyatakan baik dalam 1Kor 15:31 (‘aku mati setiap hari’) dan dalam 2Kor 4:10 (‘selalu membawa dalam tubuh kematian dari Yesus’). Bahwa ini adalah arti dalam potongan / pecahan dari nyanyian pujian kelihatannya jelas dari fakta bahwa ‘mati bersama Kristus’ dan ‘bertekun / bertahan’ adalah ungkapan-ungkapan yang paralel. Demikianlah kehidupan Kristen digambarkan sebagai suatu kehidupan dari kematian, suatu kehidupan dari ketekunan / ketahanan. Hanya jika bersama-sama menanggung kematian Kristus di bumi, maka kita akan bersama-sama mengalami pemerintahanNya di alam baka. Karena jalan kepada kehidupan adalah kematian, dan jalan kepada kemuliaan adalah penderitaan (bdk. Ro 8:18; 2Kor 4:17)].
1Kor 15:31a - “Saudara-saudara, tiap-tiap hari aku berhadapan dengan maut.”.
RSV/NIV: ‘I die every day’ (= aku mati setiap hari).
Ro 8:18 - “Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita.”.
2Kor 4:17 - “Sebab penderitaan ringan yang sekarang ini, mengerjakan bagi kami kemuliaan kekal yang melebihi segala-galanya, jauh lebih besar dari pada penderitaan kami.”.
KJV: ‘eternal weight of glory’ (= kemuliaan kekal yang berat / berat dari kemuliaan yang kekal).
RSV/NASB: ‘an eternal weight of glory’ (= suatu kemuliaan kekal yang berat / suatu berat dari kemuliaan yang kekal).
NIV: ‘an eternal glory that far outweighs them all’ (= suatu kemuliaan kekal yang jauh lebih berat dari mereka semua).
Jadi jelas bahwa John Stott menentang penafsiran Lenski.
Matthew Henry: “Those who faithfully adhere to Christ and to his truths and ways, whatever it cost them, will certainly have the advantage of it in another world: If we be dead with him, we shall live with him, v. 11. If, in conformity to Christ, we be dead to this world, its pleasures, profits, and honours, we shall go to live with him in a better world, to be for ever with him. Nay, though we be called out to suffer for him, we shall not lose by that. Those who suffer for Christ on earth shall reign with Christ in heaven, v. 12” (= Mereka yang dengan setia melekat pada Kristus dan pada kebenaran dan jalanNya, apapun ongkosnya bagi mereka, pasti akan mendapatkan keuntungan darinya dalam dunia yang lain: Jika kita mati dengan Dia, kita akan hidup dengan Dia, ay 11. Jika dalam penyesuaian diri dengan Kristus, kita mati terhadap dunia ini, kesenangan-kesenangannya, keuntungan-keuntungannya, kehormatan-kehormatannya, kita akan pergi untuk hidup dengan Dia di dunia yang lebih baik, untuk berada selama-lamanya dengan Dia. Tidak, sekalipun kita dipanggil untuk menderita bagi Dia, kita tidak akan kehilangan / rugi oleh hal itu. Mereka yang menderita untuk Kristus di bumi akan memerintah dengan Kristus di surga, ay 12).
Calvin: “If we die with him, we shall also live with him. The general meaning is, that we shall not be partakers of the life and glory of Christ, unless we have previously died and been humbled with him; as he says, that all the elect were ‘predestinated that they might be conformed to his image.’ (Romans 8:29.) This is said both for exhorting and comforting believers. Who is not excited by this exhortation, that we ought not to be distressed on account of our afflictions, which shall have so happy a result? The same consideration abates and sweetens all that is bitter in the cross; because neither pains, nor tortures, nor reproaches, nor death ought to be received by us with horror, since in these we share with Christ; more especially seeing that all these things are the forerunners of a triumph. By his example, therefore, Paul encourages all believers to receive joyfully, for the name of Christ, those afflictions in which they already have a taste of future glory. If this shocks our belief, and if the cross itself so overpowers and dazzles our eyes, that we do not perceive Christ in them, let us remember to present this shield, ‘It is a faithful saying.’ And, indeed, where Christ is present, we must acknowledge that life and happiness are there. We ought, therefore, to believe firmly, and to impress deeply on our hearts, this fellowship, that we do not die apart, but along with Christ, in order that we may afterwards have life in common with him; that we suffer with him, in order that we may be partakers of his glory. By death he means all that outward mortification of which he speaks in 2 Corinthians 4:10.” [= Jika kita mati dengan Dia, kita juga akan hidup dengan Dia. Arti yang umum adalah, bahwa kita tidak akan ambil bagian dari kehidupan dan kemuliaan Kristus, kecuali sebelumnya kita telah mati dan telah direndahkan dengan Dia; seperti Ia katakan, bahwa semua orang-orang pilihan ‘telah dipredestinasikan supaya mereka bisa serupa dengan gambarNya’. (Ro 8:29). Ini dikatakan baik untuk mendesak / menasehati maupun untuk menghibur orang-orang percaya. Siapa yang tidak dibangkitkan kegairahannya oleh desakan / nasehat ini, bahwa kita tidak seharusnya menjadi sedih karena penderitaan-penderitaan kita, yang akan menghasilkan suatu hasil yang begitu bahagia? Pertimbangan yang sama mengurangi dan memaniskan semua yang pahit dalam salib; karena tidak ada rasa sakit, atau siksaan, atau celaan, atau kematian yang harus diterima oleh kita dengan rasa takut, karena dalam hal-hal ini kita sama-sama mengalami dengan Kristus; secara lebih khusus lagi melihat bahwa semua hal-hal ini adalah pendahulu-pendahulu dari suatu kemenangan. Karena itu, oleh contoh ini, Paulus menyemangati semua orang-orang percaya untuk menerima dengan sukacita, untuk / demi nama Kristus, penderitaan-penderitaan dalam mana mereka sudah mengecap kemuliaan yang akan datang. Jika ini mengejutkan kepercayaan kita, dan jika salib itu sendiri begitu mengalahkan dan mempesonakan / menyilaukan mata kita, sehingga kita tidak merasakan Kristus dalam mereka, hendaklah kita ingat untuk menghadirkan perisai ini, ‘Benarlah perkataan ini’. Dan memang, dimana Kristus hadir kita harus mengakui bahwa kehidupan dan kebahagiaan ada di sana. Karena itu, kita harus percaya dengan teguh, dan menanamkan secara mendalam di hati kita persekutuan ini, bahwa kita tidak mati terpisah dari, tetapi bersama-sama dengan Kristus, supaya setelah ini kita bisa mempunyai kehidupan bersama-sama dengan Dia; bahwa kita menderita dengan Dia, supaya kita bisa ambil bagian dari kemuliaanNya. Oleh kematian ia memaksudkan semua pematian lahiriah itu tentang mana ia berbicara dalam 2Kor 4:10.].
2Kor 4:10 - “Kami senantiasa membawa kematian Yesus di dalam tubuh kami, supaya kehidupan Yesus juga menjadi nyata di dalam tubuh kami.”.
Catatan: Calvin rasanya tidak jelas. Yang dimaksudkan ‘mati’ itu menderita (bagian yang saya beri garis bawah tunggal), atau mati terhadap dosa / mortification (bagian yang saya beri garis bawah ganda)? Untuk jelasnya mari kita melihat komentar Calvin tentang 2Kor 4:10.
Calvin (tentang 2Kor 4:10): “‘The mortification of Jesus.’ ... he employs the expression - the mortification of Jesus Christ - to denote everything that rendered him contemptible in the eyes of the world, with the view of preparing him for participating in a blessed resurrection. In the first place, the sufferings of Christ, however ignominious they may be in the eyes of men, have, nevertheless, more of honor in the sight of God, than all the triumphs of emperors, and all the pomp of kings. The end, however, must also be kept in view, that we suffer with him, that we may be glorified together with him. (Romans 8:17.)” [= ‘Pematian dari Yesus’. ... ia menggunakan ungkapan - pematian / tindakan mematikan dari Yesus Kristus - untuk menunjukkan segala sesuatu yang membuatnya menjijikkan di mata dunia, dengan pandangan tentang mempersiapkan dia untuk ambil bagian dalam kebangkitan yang diberkati. Di tempat pertama, penderitaan-penderitaan dari Kristus, betapapun memalukannya hal-hal itu di mata manusia, mempunyai lebih banyak kehormatan dalam pandangan Allah, dari pada semua kemenangan dari kaisar-kaisar, dan semua kemegahan dari raja-raja. Tetapi ujung terakhirnya juga harus dilihat, bahwa kita menderita dengan Dia, supaya kita bisa dimuliakan bersama-sama dengan Dia (Ro 8:17).].
Ro 8:17 - “Dan jika kita adalah anak, maka kita juga adalah ahli waris, maksudnya orang-orang yang berhak menerima janji-janji Allah, yang akan menerimanya bersama-sama dengan Kristus, yaitu jika kita menderita bersama-sama dengan Dia, supaya kita juga dipermuliakan bersama-sama dengan Dia.”.
Dari tafsiran Calvin tentang 2Kor 4:10 ini terlihat bahwa yang ia maksudkan dengan ‘mortification’ (= pematian / tindakan mematikan), bukanlah ‘tindakan mematikan dosa’, tetapi ‘penderitaan’.
Dan dalam kedua kutipan kata-kata Calvin di atas terlihat bahwa ia menekankan satu hal, yaitu, kalau kita menderita bersama Kristus, kita juga akan dimuliakan bersama Dia! Dengan demikian pandangan Calvin sesuai dengan pandangan John Stott di atas.
Barclay: “Martin Luther, in a great phrase, said: ‘ECCLESIA HAERES CRUCIS EST’, ‘The Church is the heir of the cross.’ Christians inherit Christ’s cross, but they also inherit Christ’s resurrection. They are partners both in the shame and in the glory of their Lord.” (= Martin Luther, dalam suatu ungkapan yang agung, berkata ‘ECCLESIA HAERES CRUCIS EST’, ‘Gereja adalah pewaris dari salib’. Orang-orang Kristen mewarisi salib Kristus, tetapi mereka juga mewarisi kebangkitan Kristus. Mereka adalah rekan, baik dalam rasa malu maupun dalam kemuliaan, dari Tuhan mereka.).
Barclay: “‘If we endure, we shall also reign with him.’ It is the one who endures to the end who will be saved. Without the cross, there cannot be the crown.” (= ‘Jika kita bertekun / bertahan, kita juga akan memerintah bersama Dia’. Adalah orang yang bertekun / bertahan sampai akhir yang akan diselamatkan. Tanpa salib, di sana tidak bisa ada mahkota.).
Barclay: “Long ago in the third century, the Church father Tertullian said: ‘The man who is afraid to suffer cannot belong to him who suffered’ (De Fuga, 14).” [= Dahulu pada abad ketiga, bapa Gereja Tertullian berkata: ‘Orang yang takut untuk menderita tidak bisa menjadi milik dari Dia yang telah menderita’ (De Fuga, 14)].
3) “jika kita bertekun, kitapun akan ikut memerintah dengan Dia;” (ay 12a).
KJV: ‘If we suffer’ (= Jika kita menderita).
RSV/NIV/NASB: ‘if we endure’ (= Jika kita bertahan / bertekun).
Kata Yunani yang digunakan berarti bertahan / bertekun dalam penderitaan.
Lenski: “‘Shall reign’ exceeds ‘shall live.’ This second paradox is just as tremendous as the first. Here we ‘endure,’ literally, ‘remain under,’ others trample all over us; there we shall reign as royalties with no one above us save Christ, and we are actually associated with him: sitting with him in his throne as he sits in his Father’s (Rev. 3:21; 20:4,6)” [= ‘Akan memerintah’ melebihi / melampaui ‘akan hidup’. Paradox yang kedua ini sama hebat / dahsyatnya seperti yang pertama. Di sini kita ‘bertahan / bertekun’, secara hurufiah, ‘tetap ada di bawah’, orang-orang lain menginjak-injak kita; di sana kita akan memerintah sebagai keluarga raja tanpa ada siapapun di atas kita kecuali Kristus, dan kita sungguh-sungguh bersatu dengan Dia: duduk dengan Dia di takhtaNya seperti Ia duduk di takhta Bapa (Wah 3:21; 20:4,6)] - hal 794-795.
Jamieson, Fausset & Brown: “Reigning is something more than bare salvation (Rom 5:17; Rev 1:6; 3:21; 5:10; 20:4-5).” [= Memerintah adalah sesuatu yang lebih dari semata-mata keselamatan (Ro 5:17; Wah 1:6; 3:21; 5:10; 20:4-5).].
Roma 5:17 - “Sebab, jika oleh dosa satu orang, maut telah berkuasa oleh satu orang itu, maka lebih benar lagi mereka, yang telah menerima kelimpahan kasih karunia dan anugerah kebenaran, akan hidup dan berkuasa oleh karena satu orang itu, yaitu Yesus Kristus.”.
KJV/RSV/NIV/NASB: ‘reigned ... reign’ (= telah memerintah ... memerintah).
Wah 1:6 - “dan yang telah membuat kita menjadi suatu kerajaan, menjadi imam-imam bagi Allah, BapaNya, - bagi Dialah kemuliaan dan kuasa sampai selama-lamanya. Amin.”.
KJV: ‘kings’ (= raja-raja).
RSV/NIV/NASB: ‘a kingdom’ (= suatu kerajaan).
Wahyu 3:21 - “Barangsiapa menang, ia akan Kududukkan bersama-sama dengan Aku di atas takhtaKu, sebagaimana Akupun telah menang dan duduk bersama-sama dengan BapaKu di atas takhtaNya.”.
Wah 5:10 - “Dan Engkau telah membuat mereka menjadi suatu kerajaan, dan menjadi imam-imam bagi Allah kita, dan mereka akan memerintah sebagai raja di bumi.’”.
Wah 20:4 - “Lalu aku melihat takhta-takhta dan orang-orang yang duduk di atasnya; kepada mereka diserahkan kuasa untuk menghakimi. Aku juga melihat jiwa-jiwa mereka, yang telah dipenggal kepalanya karena kesaksian tentang Yesus dan karena firman Allah; yang tidak menyembah binatang itu dan patungnya dan yang tidak juga menerima tandanya pada dahi dan tangan mereka; dan mereka hidup kembali dan memerintah sebagai raja bersama-sama dengan Kristus untuk masa seribu tahun.”.
Komentar tentang gabungan ay 11b-12a - “Jika kita mati dengan Dia, kitapun akan hidup dengan Dia; (12a) jika kita bertekun, kitapun akan ikut memerintah dengan Dia”.
John Stott: “The death with Christ which is here mentioned must refer, according to the context, not to our death to sin through union with Christ in his death, but rather to our death to self and to safety, as we take up the cross and follow Christ. ... That this is the meaning in the hymn fragments seems plain from the fact that to ‘have died with Christ’ and to ‘endure’ are parallel expressions. So the Christian life is depicted as a life of dying, a life of enduring. Only if we share Christ’s death on earth, shall we share his life in heaven. Only if we share his sufferings and endure, shall we share his reign in the hereafter. For the road to life is death, and the road to glory suffering” (= Kematian dengan Kristus yang disebutkan di sini harus menunjuk, sesuai dengan kontextnya, bukan pada kematian kita terhadap dosa melalui persatuan dengan Kristus dalam kematianNya, tetapi lebih pada kematian kita terhadap diri dan keamanan kita sendiri, pada waktu kita memikul salib dan mengikuti Kristus. ... Bahwa ini merupakan arti dalam potongan nyanyian pujian ini kelihatan jelas dari fakta bahwa ‘telah mati dengan Kristus’ dan ‘bertahan / bertekun’ merupakan ungkapan-ungkapan yang paralel. Demikianlah kehidupan Kristen digambarkan sebagai suatu kehidupan dari kematian, suatu kehidupan dari ketahanan / ketekunan. Hanya jika kita ikut ambil bagian dalam kematian Kristus di dunia, maka kita akan ikut ambil bagian dalam kehidupanNya di surga. Hanya jika kita ikut ambil bagian dalam penderitaan-penderitaanNya dan bertahan / bertekun, maka kita akan ikut ambil bagian dalam pemerintahanNya di alam baka. Karena jalan menuju kehidupan adalah kematian, dan jalan menuju kemuliaan adalah penderitaan) - hal 63-64.
Catatan: kata-kata John Stott ini sudah saya kutip di atas.
Tentang hal ini saya ingin mengutip kata-kata William Barclay, dalam tafsirannya tentang Yoh 3:14-15, yang berbunyi sebagai berikut: “(14) Dan sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, (15) supaya setiap orang yang percaya kepadaNya beroleh hidup yang kekal.”.
Barclay (tentang Yoh 3:14-15): “There was a double lifting up in Jesus’s life - the lifting on the Cross and the lifting into glory. And the two are inextricably connected. The one could not have happened without the other. For Jesus the Cross was the way to glory; had he refused it, had he evaded it, had he taken steps to escape it, as he might so easily have done, there would have been no glory for him. It is the same for us. We can, if we like, choose the easy way; we can, if we like, refuse the cross that every Christian is called to bear; but if we do, we lose the glory. It is an unalterable law of life that if there is no cross, there is no crown” (= Ada peninggian dobel dalam kehidupan Yesus - peninggian pada salib dan peninggian ke dalam kemuliaan. Dan keduanya berhubungan secara tak bisa dilepaskan. Yang satu tidak akan bisa terjadi tanpa yang lain. Untuk Yesus, salib adalah jalan menuju kemuliaan; andaikata Ia menolaknya, andaikata ia mengambil langkah untuk menghindarinya, yang dengan mudah bisa Ia lakukan, maka tidak akan ada kemuliaan bagi Dia. Sama halnya dengan kita. Kita bisa, kalau kita mau, memilih jalan yang mudah; kita bisa, kalau kita mau, menolak salib yang harus dipikul oleh setiap orang kristen; tetapi kalau kita melakukan hal itu, kita kehilangan kemuliaan. Merupakan suatu hukum kehidupan yang tidak bisa berubah bahwa kalau tidak ada salib, tidak ada mahkota).
Contoh orang yang rela ‘mati’ / menderita bagi Kristus, dan bertekun dalam penderitaan itu.
The Biblical Illustrator (New Testament): “Suffering with Christ: - In the olden time when the gospel was preached in Persia, one Hamedatha, a courtier of the king, having embraced the faith, was stripped of all his offices, driven from the palace, and compelled to feed camels. This he did with great content. The king passing by one day, saw his former favourite at his ignoble work, cleaning out the camel’s stables. Taking pity upon him he took him into his palace, clothed him with sumptuous apparel, restored him to all his former honours, and made him sit at the royal table. In the midst of the dainty feast, he asked Hamedatha to renounce his faith. The courtier, rising from the table, tore off his garments with haste, left all the dainties behind him, and said, ‘Didst thou think that for such silly things as these I would deny my Lord and Master?’ and away he went to the stable to his ignoble work. How honourable is all this!” [= Menderita dengan Kristus: - Di jaman dulu pada waktu injil diberitakan di Persia, seorang bernama Hamedatha, seorang anggota istana dari raja, setelah memeluk iman (Kristen), ditelanjangi dari semua jabatannya, diusir dari istana, dan dipaksa untuk memberi makan unta-unta. Ini ia lakukan dengan kepuasan / kesenangan yang besar. Suatu hari sang raja lewat dan melihat orang yang tadinya ia senangi melakukan pekerjaan yang hina / rendah itu, membersihkan kandang unta. Karena kasihan kepadanya, ia membawanya ke dalam istananya, memakaianinya dengan pakaian yang mewah, memulihkannya pada semua kehormatannya yang dulu, dan mendudukannya di meja kerajaan. Di tengah-tengah pesta yang bergengsi, ia meminta Hamedatha untuk meninggalkan imannya. Orang itu bangkit dari meja, merobek pakaiannya dengan cepat, meninggalkan semua gengsi / martabat di belakangnya, dan berkata: ‘Apakah engkau pikir bahwa untuk hal-hal tolol seperti ini aku mau menyangkal Tuhan dan Guru / Tuanku?’ dan ia pergi ke kandang pada pekerjaannya yang hina / rendah. Alangkah terhormatnya semua ini!].
Catatan: kutipan dari The Biblical Illustrator ini diberikan oleh C. H. Spurgeon
2 TIMOTIUS 2:1-26(9)
2 Timotius 2: 11-13: “(11) Benarlah perkataan ini: ‘Jika kita mati dengan Dia, kitapun akan hidup dengan Dia; (12) jika kita bertekun, kitapun akan ikut memerintah dengan Dia; jika kita menyangkal Dia, Diapun akan menyangkal kita; (13) jika kita tidak setia, Dia tetap setia, karena Dia tidak dapat menyangkal diriNya.’”.
4) “jika kita menyangkal Dia, Diapun akan menyangkal kita;” (ay 12b).
a) Ini adalah penyangkalan yang bersifat permanen.
Lenski mengatakan bahwa kata-kata ‘menyangkal Dia’ menunjuk pada penyangkalan yang bersifat permanen, bukan penyangkalan sementara, terhadap mana orangnya lalu bertobat, seperti dalam kasus penyangkalan Petrus.
Lenski: “Permanent denial is referred to; Peter repented of his denial” (= Penyangkalan yang permanen yang ditunjuk; Petrus bertobat dari penyangkalannya) - hal 795.
b) Macam-macam cara melalui mana kita bisa menyangkal Kristus.
The Biblical Illustrator (New Testament): “In what way can we deny Christ? Some deny Him openly as scoffers do, ... Others do this wilfully and wickedly in a doctrinal way, as the Arians and Socinians do, who deny His deity: those who deny His atonement, who rail against the inspiration of His Word, these come under the condemnation of those who deny Christ. There is a way of denying Christ without even speaking a word, and this is the more common. In the day of blasphemy and rebuke, many hide their heads” (= Dalam hal apa kita bisa menyangkal Kristus? Sebagian orang menyangkal Dia secara terbuka seperti dilakukan pengejek-pengejek, ... Orang-orang lain melakukan ini dengan sengaja dan dengan jahat dalam suatu cara doktrinal, seperti yang dilakukan oleh orang-orang Arian dan Socinian, yang menyangkal keallahanNya: mereka yang menyangkal penebusanNya, yang mengejek / mencemooh terhadap pengilhaman dari FirmanNya, orang-orang ini datang di bawah penghukuman dari mereka yang menyangkal Kristus. Ada suatu cara untuk menyangkal Kristus bahkan tanpa mengatakan sepatah katapun, dan ini adalah yang lebih umum. Pada saat penghujatan dan kemarahan, banyak orang menyembunyikan kepala mereka).
c) Bahaya / resiko dari penyangkalan kita terhadap Dia.
Matthew Henry: “It is at our peril if we prove unfaithful to him: If we deny him, he also will deny us. If we deny him before man, he will deny us before his Father, Matt 10:33. And that man must needs be for ever miserable whom Christ disowns at last” (= Merupakan resiko kita jika kita terbukti tidak setia kepadaNya: Jika kita menyangkalNya, Ia juga akan menyangkal kita. Jika kita menyangkalNya di depan manusia, Ia akan menyangkal kita di depan BapaNya, Mat 10:33. Dan orang yang tidak diakui oleh Kristus pada akhirnya itu pasti akan menyedihkan / sengsara selama-lamanya).
Mat 10:32-33 - “(32) Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Aku juga akan mengakuinya di depan BapaKu yang di sorga. (33) Tetapi barangsiapa menyangkal Aku di depan manusia, Aku juga akan menyangkalnya di depan BapaKu yang di sorga.’”.
The Biblical Illustrator (New Testament): “In musing over the very dreadful sentence which closes my text, ‘He also will deny us,’ I was led to think of various ways in which Jesus will deny us. He does this sometimes on earth. You have read, I Suppose, the death of Francis Spira. If you have ever read it, you never can forget it to your dying day. Francis Spira knew the truth; he was a reformer of no mean standing; but when brought to death, out of fear, he recanted. In a short time he fell into despair, and suffered hell upon earth. His shrieks and exclamations were so horrible that their record is almost too terrible for print. His doom was a warning to the age in which he lived. Another instance is narrated by my predecessor, Benjamin Keach, of one who, during Puritanic times, was very earnest for Puritanism; but afterwards, when times of persecution arose, forsook his profession. The scenes at his deathbed were thrilling and terrible. He declared that though he sought God, heaven was shut against him; gates of brass seemed to be in his way, he was given up to overwhelming despair. At intervals he cursed, at other intervals he prayed, and so perished without hope. If we deny Christ, we may be delivered to such a fate” (= Dalam merenungkan tentang kalimat yang sangat menakutkan yang mengakhiri text saya, ‘Ia juga akan menyangkal kita’, saya dibimbing untuk berpikir tentang bermacam-macam jalan dalam mana Yesus akan menyangkal kita. Kadang-kadang Ia melakukannya dalam dunia ini. Mungkin engkau telah membaca tentang kematian dari Francis Spira. Jika engkau pernah membacanya, engkau tidak pernah bisa melupakannya sampai saat kematianmu. Francis Spira tahu / mengenal kebenaran; ia adalah seorang reformator yang tidak rendah kedudukannya; tetapi pada waktu ia dibawa pada kematian, karena takut, ia menarik kembali kata-katanya / mengaku salah. Dalam waktu yang singkat ia jatuh ke dalam keputus-asaan, dan mengalami neraka di bumi. Jeritan / pekikan dan seruannya begitu mengerikan sehingga catatan mereka hampir terlalu mengerikan untuk dicetak. Ajalnya merupakan suatu peringatan pada jaman dalam mana ia hidup. Contoh yang lain diceritakan oleh pendahulu saya, Benjamin Keach, tentang seseorang, yang pada jaman Puritan, sangat bersungguh-sungguh untuk Puritanisme; tetapi belakangan, pada waktu penganiayaan muncul, meninggalkan pengakuannya. Pemandangan pada ranjang kematiannya menggetarkan hati dan mengerikan. Ia menyatakan bahwa sekalipun ia mencari Allah, surga tertutup terhadap dia; pintu-pintu gerbang dari kuningan kelihatannya ada di jalannya, ia diserahkan pada keputus-asaan yang sangat besar. Pada waktu-waktu tertentu ia mengutuk, pada waktu-waktu yang lain ia berdoa, dan demikianlah ia mati tanpa pengharapan. Jika kita menyangkal Kristus, kita bisa diserahkan pada nasih yang seperti itu).
Catatan: Kedua kutipan di atas dari The Biblical Illustrator ini diberikan oleh Charles Haddon Spurgeon.
5) “jika kita tidak setia, Dia tetap setia,” (ay 13a).
KJV: ‘If we believe not, yet he abideth faithful’ (= Jika kita tidak percaya, Ia tetap setia:).
RSV: ‘if we are faithless, he remains faithful’ (= Jika kita tidak beriman / tidak setia, Ia tetap setia). NIV/NASB ≈ RSV.
Kata Yunani yang digunakan adalah APISTOUMEN, yang berasal dari kata dasar APISTEO, yang menurut Bible Works 7 bisa diartikan ‘tidak percaya’ atau ‘tidak setia’. Mungkin itu sebabnya RSV/NIV/NASB sengaja menterjemahkan ‘faithless’, yang bisa diartikan sebagai ‘tidak beriman / tidak mempunyai iman’ ataupun ‘tidak setia’ (kontras dengan ‘faithful’ / setia).
a) Allah / Yesus digambarkan Alkitab sebagai setia. Dalam hal apa saja?
Ibr 2:17 - “Itulah sebabnya, maka dalam segala hal Ia harus disamakan dengan saudara-saudaraNya, supaya Ia menjadi Imam Besar yang menaruh belas kasihan dan yang setia kepada Allah untuk mendamaikan dosa seluruh bangsa”.
1Kor 10:13 - “Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya”.
Maz 119:75 - “Aku tahu, ya TUHAN, bahwa hukum-hukumMu adil, dan bahwa Engkau telah menindas aku dalam kesetiaan”.
Fil 1:6 - “Akan hal ini aku yakin sepenuhnya, yaitu Ia, yang memulai pekerjaan yang baik di antara kamu, akan meneruskannya sampai pada akhirnya pada hari Kristus Yesus”.
1Kor 1:8-9 - “(8) Ia juga akan meneguhkan kamu sampai kepada kesudahannya, sehingga kamu tak bercacat pada hari Tuhan kita Yesus Kristus. (9) Allah, yang memanggil kamu kepada persekutuan dengan AnakNya Yesus Kristus, Tuhan kita, adalah setia”.
Kalau Allah itu setia, bagaimana dengan kita / orang-orang percaya? Mari kita lihat text kita sekali lagi.
2Tim 2:11-13 - “(11) Benarlah perkataan ini: ‘Jika kita mati dengan Dia, kitapun akan hidup dengan Dia; (12) jika kita bertekun, kitapun akan ikut memerintah dengan Dia; jika kita menyangkal Dia, Diapun akan menyangkal kita; (13) jika kita tidak setia, Dia tetap setia, karena Dia tidak dapat menyangkal diriNya.’”.
Ay 11-12a membicarakan kesetiaan kita, sedangkan ay 12b-13 membicarakan ketidak-setiaan kita; masing-masing dengan respons / tanggapan Allah / Yesus tentang sikap kita itu.
b) Problem dari ayat ini adalah, pada waktu dikatakan ‘Dia tetap setia’, maksudnya ‘Dia tetap setia pada apa / kepada siapa?’ Ada 2 penafsiran tentang bagian ini:
1. Ia tetap setia kepada diriNya, pada janji-janjiNya maupun ancaman-ancamanNya.
Matthew Henry: “If we believe not, yet he abideth faithful; he cannot deny himself. He is faithful to his threatenings, faithful to his promises; neither one nor the other shall fall to the ground, no, not the least, jot nor tittle of them. If we be faithful to Christ, he will certainly be faithful to us. If we be false to him, he will be faithful to his threatenings: he cannot deny himself, cannot recede from any word that he hath spoken, for he is yea, and amen, the faithful witness. ... If we deny him, out of fear, or shame, or for the sake of some temporal advantage, he will deny and disown us, and will not deny himself, but will continue faithful to his word when he threatens as well as when he promises” (= Jika kita tidak percaya, Ia tetap setia; Ia tidak bisa menyangkal diriNya sendiri. Ia setia pada ancaman-ancamanNya, setia pada janji-janjiNya; tidak ada yang satu maupun yang lain yang jatuh ke tanah, tidak, tidak yang terkecil, iota atau titik / coretan dari mereka. Jika kita setia kepada Kristus, Ia pasti akan setia kepada kita. Jika kita tidak setia kepada Dia, Ia akan setia pada ancaman-ancamanNya: Ia tidak bisa menyangkal diriNya sendiri, tidak bisa mundur dari firman manapun yang telah Ia katakan, karena Ia adalah ya dan amin, saksi yang setia. ... Jika kita menyangkalNya, karena takut, atau malu, atau demi suatu keuntungan sementara, Ia akan menyangkal kita dan tidak mengakui kita, dan tidak akan menyangkal diriNya sendiri, tetapi akan terus setia pada firmanNya pada waktu Ia mengancam maupun pada waktu Ia berjanji).
2Kor 1:20 - “Sebab Kristus adalah ‘ya’ bagi semua janji Allah. Itulah sebabnya oleh Dia kita mengatakan ‘Amin’ untuk memuliakan Allah”.
Wah 1:5 - “dan dari Yesus Kristus, Saksi yang setia, yang pertama bangkit dari antara orang mati dan yang berkuasa atas raja-raja bumi ini. Bagi Dia, yang mengasihi kita dan yang telah melepaskan kita dari dosa kita oleh darahNya-”.
Wah 3:14 - “‘Dan tuliskanlah kepada malaikat jemaat di Laodikia: Inilah firman dari Amin, Saksi yang setia dan benar, permulaan dari ciptaan Allah:”.
Adam Clarke: “‘If we believe not.’ Should we deny the faith and apostatize, he is the same, as true to his threatenings as to his promises; he cannot deny - act contrary to, himself” (= ‘Jika kita tidak percaya’. Kalau kita menyangkal iman dan murtad, Ia tetap sama, benar berkenaan dengan ancamanNya seperti pada janjiNya; Ia tidak bisa menyangkal - bertindak bertentangan dengan, diriNya sendiri).
Barnes’ Notes: “‘If we believe not, yet he abideth faithful.’ This cannot mean that, if we live in sin, he will certainly save us, as if he had made any promise to the elect, or formed any purpose that he would save them, whatever might be their conduct; because: (1) he had just said that if we deny him he will deny us; and (2) there is no such promise in the Bible, and no such purpose has been formed. The promise is, that he that is a believer shall be saved, and there is no purpose to save any but such as lead holy lives. The meaning must be, that if we are unbelieving and unfaithful, Christ will remain true to his word, and we cannot hope to be saved. The object of the apostle evidently is, to excite Timothy to fidelity in the performance of duty, and to encourage him to bear trials, by the assurance that we cannot hope to escape if we are not faithful to the cause of the Saviour. This interpretation accords with the design which he had in view” [= ‘Jika kita tidak percaya, Ia tetap setia’. Ini tidak bisa berarti bahwa jika kita hidup dalam dosa, Ia akan tetap menyelamatkan kita, seakan-akan Ia telah membuat janji apapun kepada orang-orang pilihan, atau membentuk tujuan / rencana apapun bahwa Ia akan menyelamatkan mereka, bagaimanapun tingkah laku mereka; karena: (1) Ia baru saja mengatakan bahwa jika kita menyangkalNya Ia akan menyangkal kita; dan (2) Tidak ada janji seperti itu dalam Alkitab, dan tidak ada tujuan / rencana seperti itu telah dibentuk. Janjinya adalah, bahwa ia yang adalah seorang percaya akan diselamatkan, dan tidak ada rencana / tujuan untuk menyelamatkan siapapun kecuali orang-orang seperti itu yang menjalani kehidupan yang kudus. Artinya haruslah, bahwa jika kita tidak percaya dan tidak setia, Kristus akan tetap benar pada firmanNya, dan kita tidak dapat berharap untuk diselamatkan. Tujuan dari sang rasul jelas adalah, untuk menggairahkan Timotius pada kesetiaan dalam pelaksanaan kewajiban, dan untuk mendorongnya untuk memikul / menahan pencobaan-pencobaan, dengan suatu keyakinan bahwa kita tidak bisa berharap untuk lolos jika kita tidak setia pada perkara dari sang Juruselamat. Penafsiran ini sesuai dengan rancangan yang ada dalam pandangannya].
Calvin: “‘If we are unbelieving, he remaineth faithful.’ The meaning is, that our base desertion takes nothing from the Son of God or from his glory; because, having everything in himself, he stands in no need of our confession. As if he had said, ‘Let them desert Christ who will, yet they take nothing from him; for when they perish, he remaineth unchanged.’” (= ‘Jika kita tidak percaya, Ia tetap setia’. Artinya adalah, bahwa pembelotan kita yang hina tidak mengambil apapun dari Anak Allah atau dari kemuliaanNya; karena, mempunyai segala sesuatu dalam diriNya sendiri, Ia berdiri tanpa kebutuhan apapun tentang pengakuan kita. Seakan-akan ia berkata, ‘Biarlah mereka yang mau, meninggalkan Kristus, tetapi mereka tidak mengambil apapun dari Dia; karena pada waktu mereka binasa, Ia tetap tidak berubah’.).
IVP Bible Background Commentary: “Although God’s character is immutable, his dealings with people depend on their response to him (2 Chron 15:2; Ps 18:25-27). The faithfulness of God to his covenant is not suspended by the breach of that covenant by the unfaithful; but those individuals who break his covenant are not saved (see comment on Rom 3:3)” [= Sekalipun karakter Allah tidak berubah, tetapi penangananNya terhadap umatNya tergantung pada tanggapan mereka kepada Dia (2Taw 15:2; Maz 18:26-28). Kesetiaan Allah pada perjanjianNya tidak ditangguhkan / dihentikan oleh pelanggaran terhadap perjanjian itu oleh orang-orang yang tidak setia; tetapi pribadi-pribadi yang melanggar perjanjianNya itu tidak diselamatkan (lihat komentar tentang Ro 3:3)].
2Taw 15:2 - “Ia pergi menemui Asa dan berkata kepadanya: ‘Dengarlah kepadaku, Asa dan seluruh Yehuda dan Benyamin! TUHAN beserta dengan kamu bilamana kamu beserta dengan Dia. Bilamana kamu mencariNya, Ia berkenan ditemui olehmu, tetapi bilamana kamu meninggalkanNya, kamu akan ditinggalkanNya”.
Maz 18:26-28 - “(26) Terhadap orang yang setia Engkau berlaku setia, terhadap orang yang tidak bercela Engkau berlaku tidak bercela, (27) terhadap orang yang suci Engkau berlaku suci, tetapi terhadap orang yang bengkok Engkau berlaku belat-belit. (28) Karena Engkaulah yang menyelamatkan bangsa yang tertindas, tetapi orang yang memandang dengan congkak Kaurendahkan”.
Ro 3:3-4 - “(3) Jadi bagaimana, jika di antara mereka ada yang tidak setia, dapatkah ketidaksetiaan itu membatalkan kesetiaan Allah? (4) Sekali-kali tidak! Sebaliknya: Allah adalah benar, dan semua manusia pembohong, seperti ada tertulis: ‘Supaya Engkau ternyata benar dalam segala firmanMu, dan menang, jika Engkau dihakimi.’”.
IVP Bible Background Commentary (tentang Ro 3:3): “God’s faithfulness to his covenant was good long-term news for Israel as a whole; as in the Old Testament (e.g., in Moses’ generation, contrary to some Jewish tradition), however, it did not save individual Israelites who broke covenant with him” [= Kesetiaan Allah pada perjanjianNya merupakan kabar baik jangka panjang bagi Israel sebagai suatu keseluruhan; seperti dalam Perjanjian Lama (misalnya, dalam generasi Musa, bertentangan dengan beberapa tradisi Yahudi), tetapi itu tidak menyelamatkan individu-individu Israel yang melanggar perjanjian dengan Dia].
Catatan: semua penafsir-penafsir di atas menafsirkan bukan sebagai ‘tidak setia’ tetapi ‘tidak percaya’. Karena itu tidak heran mereka terpaksa menafsirkan ‘Allah tetap setia’ sebagai ‘tetap setia pada ancaman / janjiNya’!
John Stott: “This other pair of epigrams envisages the dreadful possibility of our denying Christ and proving faithless. The first phrase ‘if we deny him, he also will deny us’ seems to be an echo of our Lord’s own warning: ‘whoever denies me before men, I also will deny before my Father who is in heaven’ (Mt. 10:33). What then of the second phrase ‘if we are faithless, he remains faithful’? It has often been taken as a comforting assurance that, even if we turn away from Christ, he will not turn away from us, for he will never be faithless as we are. And it is true, of course, that God never exhibits the fickleness or the faithlessness of man. Yet the logic of the Christian hymn, with its two pairs of balancing epigrams, really demands a different interpretation. ‘If we deny him’ and ‘if we are faithless’ are parallels, which requires that ‘he will deny us’ and ‘he remains faithful’ be parallels also. In this case his ‘faithfulness’ when we are faithless will be faithfulness to his warnings. As William Hendriksen puts it: ‘Faithfulness on his part means carrying out his threats … as well as his promises.’ So he will deny us, as the earlier epigram asserts. Indeed, if he did not deny us (in faithfulness to his plain warnings), he would then deny himself. But one thing is certain about God beyond any doubt or uncertainty whatever, and that is ‘he cannot deny himself’.” [= Pasangan yang lain dari syair pendek ini menggambarkan kemungkinan yang menakutkan tentang penyangkalan kita terhadap Kristus dan membuktikan / menyatakan bahwa kita tidak setia. Ungkapan pertama ‘jika kita menyangkal Dia, Dia juga akan menyangkal kita’ kelihatannya merupakan suatu gema dari peringatan Tuhan kita sendiri: ‘Barangsiapa menyangkal Aku di depan manusia, Aku juga akan menyangkalnya di depan BapaKu yang di surga’ (Mat 10:33). Lalu bagaimana dengan ungkapan kedua ‘jika kita tidak setia, Ia tetap setia’? Itu sering diartikan sebagai suatu jaminan yang bersifat menghibur bahwa, bahkan jika kita berbalik dari Kristus, Ia tidak akan berbalik dari kita, karena Ia tidak akan pernah tidak setia seperti kita. Dan tentu saja adalah benar bahwa Allah tidak pernah menunjukkan sikap plin plan atau ketidak-setiaan manusia. Tetapi logika dari nyanyian pujian Kristen itu, dengan dua pasangannya dari syair pendek yang seimbang, betul-betul menuntut suatu penafsiran yang berbeda. ‘Jika kita menyangkal Dia’ dan ‘jika kita tidak setia’ adalah kalimat-kalimat yang paralel, yang menuntut bahwa ‘Ia akan menyangkal kita’ dan ‘Ia tetap setia’ juga adalah kalimat-kalimat yang paralel. Dalam kasus ini ‘kesetiaan’Nya pada waktu kita tidak setia adalah ‘kesetiaanNya pada peringatan-peringatanNya’. Seperti William Hendriksen menyatakannya: ‘Kesetiaan pada sisiNya berarti melaksanakan ancaman-ancamanNya ... maupun janji-janjiNya’. Maka Ia akan menyangkal kita, seperti ditegaskan / dinyatakan oleh bagian yang lebih awal dari syair itu. Memang, jika Ia tidak menyangkal kita (dalam kesetiaan terhadap peringatan-peringatanNya yang jelas), maka Ia akan menyangkal diriNya sendiri. Tetapi satu hal yang pasti tentang Allah melampaui keraguan atau ketidak-pastian apapun, dan itu adalah ‘Ia tidak bisa menyangkal diriNya sendiri’.].
Jadi, John Stott (dan juga William Hendriksen di bawah) menganggap bahwa kata-kata ini merupakan 2 pasang anak kalimat yang paralel. Anak kalimat 1 paralel dengan anak kalimat 2, sedangkan anak kalimat 3 paralel dengan anak kalimat 4.
1. Jika kita mati dengan Dia, kitapun akan hidup dengan Dia;
2. jika kita bertekun, kitapun akan ikut memerintah dengan Dia;
3. jika kita menyangkal Dia, Diapun akan menyangkal kita;
4. jika kita tidak setia, Dia tetap setia,
Karena itu, kata-kata ‘Diapun akan menyangkal kita’ (no 3) paralel dengan ‘Dia tetap setia’ (no 4), dan karena itu tidak bisa diartikan bahwa ‘Ia tetap setia kepada kita’, tetapi harus diartikan bahwa ‘Ia tetap setia pada janji-janji dan ancaman-ancamanNya’.
William Hendriksen: “In the third line (‘If we shall deny him, he on his part will also deny us’), the conclusion is the expected one (just as in lines one and two). In the fourth line, however, the conclusion comes as somewhat of a surprise. It takes careful reflection before we realize that the surprising conclusion is, after all, the only possible one. Once we grasp its meaning, we understand that also lines three and four express a parallel thought, and are illustrations of synthetic parallelism. ... To deny Christ means to be faithless. (The parallelism and also the conclusion - ‘he … remains faithful’ - show that here the meaning of the verb used in the original cannot be: to be unbelieving.) Hence, the hymn continues: ‘If we are faithless, he on his part …,’ but obviously the continuation cannot be ‘will also be faithless.’ One can say, ‘If we shall deny him, he on his part will also deny us,’ but one cannot say, ‘If we are faithless, he on his part will also be faithless.’” [= Dalam baris ketiga (‘Jika kita menyangkal Dia, di pihakNya Dia juga akan menyangkal kita’), kesimpulannya adalah kesimpulan yang diharapkan (persis seperti dalam baris satu dan dua). Tetapi dalam baris 4, kesimpulannya datang dengan agak mengejutkan. Baris 4 itu memerlukan pemikiran / perenungan sebelum kita menyadari bahwa kesimpulan yang mengejutkan itu bagaimanapun juga adalah satu-satunya yang memungkinkan. Satu kali kita mengerti artinya, kita mengerti bahwa baris 3 dan 4 juga menyatakan pemikiran yang paralel, dan merupakan ilustrasi dari paralelisme yang sintetis. ... ‘Menyangkal Kristus’ berarti ‘tidak setia’. (Paralelisme dan juga kesimpulannya - ‘Ia ... tetap setia’ - menunjukkan bahwa di sini arti dari kata kerja yang digunakan dalam bahasa aslinya tidak bisa adalah: ‘tidak percaya’.) Maka, nyanyian pujian itu berlanjut: ‘Jika kita tidak setia, di pihakNya Ia ...’, tetapi jelas bahwa lanjutannya tidak bisa adalah ‘juga akan tidak setia’. Orang bisa berkata, ‘Jika kita menyangkal Dia, di pihakNya Dia juga akan menyangkal kita’, tetapi orang tidak bisa berkata, ‘Jika kita tidak setia, di pihakNya Ia juga akan tidak setia’.].
Catatan: saya tidak melihat alasan mengapa orang bisa mengatakan ‘Ia juga akan menyangkal kita’ tetapi tidak bisa mengatakan ‘Ia juga akan tidak setia’! Apa alasannya kok tidak bisa? Coba bandingkan dengan ayat di bawah ini.
Maz 18:26-27 - “(26) Terhadap orang yang setia Engkau berlaku setia, terhadap orang yang tidak bercela Engkau berlaku tidak bercela, (27) terhadap orang yang suci Engkau berlaku suci, TETAPI terhadap orang yang bengkok Engkau berlaku belat-belit.”.
Ada 2 hal yang saya ingin saudara perhatikan dari text ini.
a. Sama seperti dengan text yang kita bahas, dalam text ini juga ada 4 baris / anak kalimat; baris 1 paralel dengan baris 2, sedangkan baris 3 kontras dengan baris 4 (hanya saja di sini ada kata ‘tetapi’). Lalu mengapa hal seperti ini tidak mungkin terjadi dalam text yang sedang kita bahas?
b. Perhatikan dua kata yang yang beri garis bawah tunggal dan garis bawah ganda.
KJV: ‘the froward ... froward’ (= keras kepala ... keras kepala).
RSV: ‘the crooked ... perverse’ (= bengkok / tak jujur ... jahat / menyimpang).
NIV: ‘the crooked ... shrewd’ (= bengkok / tak jujur ... licik).
NASB: ‘the crooked ... astute’ (= bengkok / tak jujur ... lihai / licik).
Kalau ayat ini bisa menyebut Allah sebagai ‘belat-belit’, ‘froward’ / ‘keras kepala’, ‘perverse’ / ‘jahat / menyimpang’, ‘shrewd’ / ‘licik’, ‘astute’ / ‘lihai / licik’, lalu mengapa tidak boleh menyebut Allah ‘tidak setia’? Kita bukan hanya menyebut Allah ‘tidak setia’, tetapi ‘Ia tidak setia kepada orang yang tidak setia’. Saya tidak melihat masalah dengan kata-kata itu, bahkan saya beranggapan, bahwa kalau memang maksud Paulus adalah seperti yang ditafsirkan oleh William Hendriksen, John Stott dsb, mengapa ia tidak menggunakan kata-kata ‘tidak setia’ saja supaya jangan ada salah pengertian?
William Hendriksen: “Nevertheless, the conclusion of the fourth line corresponds in thought with that of its parallel, the third line; for, the clause ‘he on his part remains faithful’ (line four) is, after all, the same (even more forcefully expressed!) as, ‘he on his part will also deny us,’ for faithfulness on his part means carrying out his threats (Matt. 10:33) as well as his promises (Matt. 10:32)! Divine faithfulness is a wonderful comfort for those who are loyal (I Thess. 5:24; II Thess. 3:3; cf. I Cor. 1:9; 10:13; II Cor. 1:18; Phil. 1:6; Heb. 10:23). It is a very earnest warning for those who might be inclined to become disloyal. It is hardly necessary to add that the meaning of the last line cannot be, ‘If we are faithless and deny him, nevertheless he, remaining faithful to his promise, will give us everlasting life.’ Aside from being wrong for other reasons, such an interpretation destroys the evident implication of the parallelism between lines three and four.” [= Bagaimanapun, kesimpulan dari baris ke 4 cocok dengan pemikiran dengan baris paralelnya, baris ke 3; karena, anak kalimat ‘pada pihakNya Dia tetap setia’ (baris ke 4) bagaimanapun juga adalah sama (bahkan dinyatakan dengan lebih kuat!) seperti, ‘di pihakNya Dia juga akan menyangkal kita’, karena kesetiaan di pihakNya berarti melaksanakan ancaman-ancamanNya (Mat 10:33) maupun janji-janjiNya (Mat 10:32)! Kesetiaan ilahi adalah suatu penghiburan yang luar biasa bagi mereka yang setia (1Tes 5:24; 2Tes 3:3; bdk. 1Kor 1:9; 10:13; 2Kor 1:18; Fil 1:6; Ibr 10:23). Itu adalah suatu peringatan yang sangat sungguh-sungguh bagi mereka yang cenderung untuk menjadi tidak setia. Hampir tak perlu ditambahkan bahwa arti dari baris terakhir tidak bisa adalah, ‘Jika kita tidak setia, dan menyangkalNya, bagaimanapun Ia, karena tetap setia kepada janjiNya, akan memberikan kita hidup yang kekal’. Disamping itu merupakan sesuatu yang salah karena alasan-alasan lain, penafsiran seperti itu menghancurkan maksud / pengertian yang jelas dari paralelisme antara baris ke 3 dan ke 4.].
Pertanyaan saya adalah: Apakah benar kalimat ke 3 dan 4 merupakan kalimat paralel? Bagaimana dengan adanya kata-kata ‘karena Dia tidak dapat menyangkal diriNya.’ pada akhir dari ay 13? Bukankah ini menunjukkan bahwa kalimat 3 dan 4 tidak paralel? Mari kita baca lagi bagian itu.
Ay 11b-13: “(11b) ‘Jika kita mati dengan Dia, kitapun akan hidup dengan Dia; (12) jika kita bertekun, kitapun akan ikut memerintah dengan Dia; jika kita menyangkal Dia, Diapun akan menyangkal kita; (13) jika kita tidak setia, Dia tetap setia, karena Dia tidak dapat menyangkal diriNya.’”.
Perhatikan jawaban William Hendriksen di bawah ini.
William Hendriksen: “The final clause of verse 13 is probably to be regarded as a comment by Paul himself (not a part of the hymn): … ‘for to deny himself he is not able.’ If Christ failed to remain faithful to his threat as well as to his promise, he would be denying himself, for in that case he would cease to be The Truth. ... But for him to deny himself is, of course, impossible. If it were possible, he would no longer be God!” [= Anak kalimat terakhir dari ayat 13 mungkin harus dianggap sebagai suatu komentar oleh Paulus sendiri (bukan suatu bagian dari nyanyian pujian): ... ‘Karena Ia tidak bisa menyangkal diriNya sendiri’. Jika Kristus gagal untuk tetap setia pada ancamanNya maupun pada janjiNya, Ia akan menyangkal diriNya sendiri, karena dalam kasus itu Ia akan berhenti sebagai Sang Kebenaran. ... Tetapi untuk Dia, tentu saja menyangkal diriNya sendiri adalah mustahil. Seandainya itu memungkinkan, Ia bukanlah Allah lagi!].
Catatan:
a. Pertama-tama di bagian depan pembahasan text ini, kita telah melihat bahwa ada pro kontra yang sangat hebat tentang apakah dalam bagian ini Paulus memang mengutip suatu nyanyian pujian atau tidak.
b. Dan kalau Paulus memang mengutip suatu nyanyian pujian, masih ada persoalan lain. Persoalannya adalah: apakah benar anak kalimat terakhir itu merupakan tambahan dari Paulus sendiri, dan bukan merupakan bagian dari kutipan dari nyanyian pujian itu? Sekalipun memungkinkan, tetapi tidak ada kepastian dalam hal ini. Dan kalau anak kalimat terakhir itu termasuk dalam nyanyian pujian itu, itu menghancurkan keparalelannya.
c. Pertanyaan yang sudah saya nyatakan di atas: Apakah benar dua kalimat itu paralel? Tidak mungkinkah dua kalimat itu justru memang bersifat mengkontraskan (antithesis)? Contoh:
· Mat 10:32-33 - “(32) Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Aku juga akan mengakuinya di depan BapaKu yang di sorga. (33) Tetapi barangsiapa menyangkal Aku di depan manusia, Aku juga akan menyangkalnya di depan BapaKu yang di sorga.’”.
· Yoh 3:36 - “Barangsiapa percaya kepada Anak, ia beroleh hidup yang kekal, tetapi barangsiapa tidak taat kepada Anak, ia tidak akan melihat hidup, melainkan murka Allah tetap ada di atasnya.’”.
· Ro 5:15-19 - “(15) Tetapi karunia Allah tidaklah sama dengan pelanggaran Adam. Sebab, jika karena pelanggaran satu orang semua orang telah jatuh di dalam kuasa maut, jauh lebih besar lagi kasih karunia Allah dan karuniaNya, yang dilimpahkanNya atas semua orang karena satu orang, yaitu Yesus Kristus. (16) Dan kasih karunia tidak berimbangan dengan dosa satu orang. Sebab penghakiman atas satu pelanggaran itu telah mengakibatkan penghukuman, tetapi penganugerahan karunia atas banyak pelanggaran itu mengakibatkan pembenaran. (17) Sebab, jika oleh dosa satu orang, maut telah berkuasa oleh satu orang itu, maka lebih benar lagi mereka, yang telah menerima kelimpahan kasih karunia dan anugerah kebenaran, akan hidup dan berkuasa oleh karena satu orang itu, yaitu Yesus Kristus. (18) Sebab itu, sama seperti oleh satu pelanggaran semua orang beroleh penghukuman, demikian pula oleh satu perbuatan kebenaran semua orang beroleh pembenaran untuk hidup. (19) Jadi sama seperti oleh ketidaktaatan satu orang semua orang telah menjadi orang berdosa, demikian pula oleh ketaatan satu orang semua orang menjadi orang benar.”.
· 1Kor 15:21-22 - “(21) Sebab sama seperti maut datang karena satu orang manusia, demikian juga kebangkitan orang mati datang karena satu orang manusia. (22) Karena sama seperti semua orang mati dalam persekutuan dengan Adam, demikian pula semua orang akan dihidupkan kembali dalam persekutuan dengan Kristus.”.
· 1Kor 15:47-48 - “(47) Manusia pertama berasal dari debu tanah dan bersifat jasmani, manusia kedua berasal dari sorga. (48) Makhluk-makhluk alamiah sama dengan dia yang berasal dari debu tanah dan makhluk-makhluk sorgawi sama dengan Dia yang berasal dari sorga.”.
Catatan: sekalipun dalam suatu pengkontrasan biasanya ada kata ‘tetapi’ (seperti dalam Mat 10:32-33 Yoh 3:36 Ro 5:16), tetapi tidak selalu (seperti dalam Ro 5:15,17-19 1Kor 15:21-22 1Kor 15:47-48).
2 TIMOTIUS 2:1-26(10)
2 Timotius 2: 11-13: “(11) Benarlah perkataan ini: ‘Jika kita mati dengan Dia, kitapun akan hidup dengan Dia; (12) jika kita bertekun, kitapun akan ikut memerintah dengan Dia; jika kita menyangkal Dia, Diapun akan menyangkal kita; (13) jika kita tidak setia, Dia tetap setia, karena Dia tidak dapat menyangkal diriNya.’”.
2. Ia tetap setia kepada kita.
Bible Knowledge Commentary: “If we are faithless, He will remain faithful speaks not of the apostate, but of a true child of God who nevertheless proves unfaithful (cf. 2 Tim 1:15). Christ cannot disown Himself; therefore He will not deny even unprofitable members of His own body. True children of God cannot become something other than children, even when disobedient and weak. Christ’s faithfulness to Christians is not contingent on their faithfulness to Him.” [= Kata-kata ‘Jika kita tidak setia, Ia akan tetap setia’, tidak berbicara tentang seorang yang murtad, tetapi tentang seorang anak Allah yang sejati, yang bagaimanapun terbukti tidak setia (bdk. 2Tim 1:15). Kristus tidak bisa tidak mengakui diriNya sendiri; karena itu Ia tidak akan menyangkal bahkan anggota-anggota tubuhNya sendiri yang tidak menguntungkan. Anak-anak Allah yang sejati tidak bisa menjadi sesuatu yang lain dari anak-anak, bahkan pada saat tidak taat dan lemah. Kesetiaan Kristus kepada orang-orang Kristen tidaklah tergantung pada kesetiaan mereka kepada Dia.].
2Tim 1:15 - “Engkau tahu bahwa semua mereka yang di daerah Asia Kecil berpaling dari padaku; termasuk Figelus dan Hermogenes”.
The Bible Exposition Commentary: New Testament: “But Paul makes it clear (2 Tim 2:13) that even our own doubt and unbelief cannot change Him: ‘He abideth faithful; He cannot deny Himself.’ We do not put faith in our faith or in our feelings because they will change and fail. We put our faith in Christ. The great missionary, J. Hudson Taylor, often said, ‘It is not by trying to be faithful, but in looking to the Faithful One, that we win the victory.’” [= Tetapi Paulus membuat jelas (2Tim 2:13) bahwa bahkan keraguan dan ketidak-percayaan kita sendiri tidak bisa mengubahNya: ‘Ia tetap setia; Ia tidak bisa menyangkal diriNya sendiri’. Kita tidak beriman pada iman kita atau pada perasaan kita karena hal-hal itu akan berubah dan gagal. Kita beriman kepada Kristus. Misionaris yang besar / agung, J. Hudson Taylor, sering berkata, ‘Bukan dengan berusaha menjadi setia, tetapi dengan memandang kepada Yang Setia, maka kita memenangkan kemenangan’.].
Wilmington’s Bible Handbook (Bible Survey): “2:12-13 can seem contradictory; this is one possible interpretation: (1) If we ‘deny’ Christ, that is, if we deny him first place in our lives, he will also ‘deny’ us, that is, we will suffer the loss of our rewards at his judgment seat (see exposition on 1 Cor 3:10-17). (2) But no matter how ‘unfaithful’ we are, that is, no matter how much we fail him, he will remain ‘faithful’ and will never ‘deny himself,’ that is, he will never go back on his promise to save us (see 2:19; 2 Cor 1:19-22; Eph 1:13-14; 1 Peter 1:3-5)” [= 2:12-13 bisa kelihatan bertentangan; ini merupakan salah satu penafsiran yang memungkinkan: (1) Jika kita ‘menyangkal’ Kristus, artinya, jika kita menyangkal / menolak untuk memberikan Dia tempat pertama dalam hidup kita, Ia juga akan ‘menyangkal’ kita, artinya, kita akan mengalami kehilangan pahala kita pada kursi penghakimanNya (lihat exposisi tentang 1Kor 3:10-17). (2) Tetapi tak peduli bagaimana ‘tidak setianya’ kita, artinya, tak peduli bagaimana banyaknya kita melupakan / melalaikan Dia, Ia akan tetap ‘setia’ dan tidak akan pernah ‘menyangkal diriNya sendiri’, artinya, Ia tidak akan pernah mundur dari janjiNya untuk menyelamatkan kita (lihat 2:19; 2Kor 1:19-22; Ef 1:13-14; 1Petrus 1:3-5)].
2Timotius 2:19 - “Tetapi dasar yang diletakkan Allah itu teguh dan meterainya ialah: ‘Tuhan mengenal siapa kepunyaanNya’ dan ‘Setiap orang yang menyebut nama Tuhan hendaklah meninggalkan kejahatan.’”.
2Korintus 1:19-22 - “(19) Karena Yesus Kristus, Anak Allah, yang telah kami beritakan di tengah-tengah kamu, yaitu olehku dan oleh Silwanus dan Timotius, bukanlah ‘ya’ dan ‘tidak’, tetapi sebaliknya di dalam Dia hanya ada ‘ya’. (20) Sebab Kristus adalah ‘ya’ bagi semua janji Allah. Itulah sebabnya oleh Dia kita mengatakan ‘Amin’ untuk memuliakan Allah. (21) Sebab Dia yang telah meneguhkan kami bersama-sama dengan kamu di dalam Kristus, adalah Allah yang telah mengurapi, (22) memeteraikan tanda milikNya atas kita dan yang memberikan Roh Kudus di dalam hati kita sebagai jaminan dari semua yang telah disediakan untuk kita”.
Efesus 1:13-14 - “(13) Di dalam Dia kamu juga - karena kamu telah mendengar firman kebenaran, yaitu Injil keselamatanmu - di dalam Dia kamu juga, ketika kamu percaya, dimeteraikan dengan Roh Kudus, yang dijanjikanNya itu. (14) Dan Roh Kudus itu adalah jaminan bagian kita sampai kita memperoleh seluruhnya, yaitu penebusan yang menjadikan kita milik Allah, untuk memuji kemuliaanNya”.
1Petrus 1:3-5 - “(3) Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, yang karena rahmatNya yang besar telah melahirkan kita kembali oleh kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati, kepada suatu hidup yang penuh pengharapan, (4) untuk menerima suatu bagian yang tidak dapat binasa, yang tidak dapat cemar dan yang tidak dapat layu, yang tersimpan di sorga bagi kamu. (5) Yaitu kamu, yang dipelihara dalam kekuatan Allah karena imanmu sementara kamu menantikan keselamatan yang telah tersedia untuk dinyatakan pada zaman akhir”.
UBS New Testament Handbook Series: “‘Faithless’ is better translated in English as ‘unfaithful’ (compare TEV and CEV), with Christ as the implicit object of the unfaithfulness. This would make clear that ‘unfaithful’ is parallel to ‘deny’ in the previous verse, since to disown Christ is equivalent to being unfaithful to him. So one may translate ‘If we are unfaithful to him’ or ‘If we turn our backs on him.’ The second part of this verse is not what we expect it to be, considering the previous verse. So here we would have expected ‘he will also be unfaithful.’ In fact some scholars have suggested that the meaning of ‘he remains faithful’ is that Christ remains faithful to his sense of justice and will therefore pronounce judgment on those who are unfaithful to him. ... Attractive as this explanation may be, it is more likely that the object of faithfulness here is not Christ but the believers, that is, ‘he remains faithful to us.’ ‘He cannot be false to himself’ then means that Christ cannot turn his back on his true nature as the Savior who remains faithful to those who trust in him” [= Kata ‘faithless’ lebih baik diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai ‘tidak setia’ (bandingkan dengan TEV dan CEV), dengan Kristus sebagai obyek implicit / tidak langsung dari ketidak-setiaan. Ini akan membuat jelas bahwa ‘tidak setia’ paralel dengan ‘menyangkal’ dalam ayat sebelumnya, karena menyangkal / tidak mengakui Kristus adalah sama dengan tidak setia kepadaNya. Jadi seseorang bisa menterjemahkan ‘Jika kita tidak setia kepadaNya’ atau ‘Jika kita membelakangi Dia’. Bagian kedua dari ayat ini tidaklah seperti yang kita harapkan, kalau kita mempertimbangkan ayat sebelumnya. Jadi, di sini kita akan mengharapkan ‘Ia juga akan tidak setia’. Dalam faktanya beberapa sarjana telah mengusulkan bahwa arti dari ‘Ia tetap setia’ adalah bahwa Kristus tetap setia pada perasaan / pendirian tentang keadilan dan karena itu Ia akan mengumumkan penghakiman kepada mereka yang tidak setia kepadaNya. ... Sekalipun penjelasan ini menarik, adalah lebih memungkinkan bahwa obyek dari kesetiaan di sini bukanlah Kristus tetapi orang-orang percaya, yaitu, ‘Ia tetap setia kepada kita’. Jadi, ‘Ia tidak bisa tidak setia kepada diriNya sendiri’ artinya adalah bahwa Kristus tidak bisa membelakangi sifat dasarNya yang sejati sebagai Juruselamat yang tetap setia kepada mereka yang percaya kepadaNya].
Wuest’s Word Studies From the Greek New Testament: “The words, ‘believe not,’ are APISTEUO, and refer here, not to the act of believing, but to unfaithfulness. ‘If we are untrue to the Lord Jesus in our Christian lives,’ is the idea. He abides faithful” (= Kata-kata ‘tidak percaya’ adalah APISTEUO, dan di sini menunjuk, bukan pada tindakan percaya, tetapi pada ketidak-setiaan. ‘Jika kita tidak setia kepada Tuhan Yesus dalam kehidupan Kristen kita’, adalah gagasannya. Ia tetap setia
The IVP New Testament Commentary Series: “While Paul does not go into the questions whether such apostates ever really ‘believed’ in Christ or what constitutes unfaithfulness to the point of denial, verse 13 may sound a note of hope intended for the church that has experienced defection and perhaps for the individual who has experienced defeat: ‘if we are faithless, he will remain faithful.’ The change from denial to ‘faithless’ (or ‘unfaithfulness’) marks a change in atmosphere (though the warning issued in verse 12 is no less real). ... Paul’s point may be that no matter what, God’s promise to save his people will not fail because some prove to be false. Or from a more personal point of view, it is possible that this is a promise that God will preserve even the weakest believer (Peter’s restoration in Jn 21:15-19 comes to mind). God must keep his promises, for they are grounded in his own being and ‘he cannot deny himself.’” [= Sementara Paulus tidak masuk ke dalam pertanyaan-pertanyaan apakah orang-orang murtad seperti itu pernah sungguh-sungguh percaya kepada Kristus atau apa yang merupakan / membentuk ketidak-percayaan kepada titik penyangkalan, ayat 13 bisa membunyikan / mengucapkan suatu nada pengharapan yang dimaksudkan untuk gereja yang telah mengalami kegagalan dan mungkin untuk individu yang telah mengalami kekalahan: ‘jika kita tidak setia, Ia akan tetap setia’. Perubahan dari penyangkalan kepada ‘tidak setia’ (atau ‘ketidaksetiaan’) menandai suatu perubahan dalam suasana (sekalipun peringatan yang dikeluarkan dalam ay 12 tidak kurang sungguh-sungguhnya). ... maksud Paulus bisa adalah bahwa tak peduli apapun yang terjadi, janji Allah untuk menyelamatkan umatNya tidak akan gagal karena / sekalipun sebagian umat terbukti palsu. Atau dari sudut pandang yang lebih pribadi, adalah mungkin bahwa ini adalah suatu janji bahwa Allah akan memelihara / menjaga / melindungi bahkan orang percaya yang paling lemah (pemulihan Petrus dalam Yohanes 21:15-19 bisa diingat). Allah pasti memegang janji-janjiNya, karena mereka didasarkan pada diriNya / keberadaanNya sendiri, dan ‘Ia tidak dapat menyangkal diriNya sendiri’.] - Libronix.
Matt Proctor: “The fourth stanza is God’s response to a believer’s failure. ‘Faithless’ here does not refer to a complete lack of faith, but a wavering faith (see Mark 9:24). Stanza 3 dealt with a person’s permanent rejection of God, but this fourth stanza deals with a believer’s temporary lapse into disobedience. If stanza 3 describes Judas’s once-for-all betrayal, stanza 4 describes Peter’s momentary denial. God promises here to be faithful to such a person, despite their failings. As 1John 1:9 says, ‘If we confess our sins, he is faithful and just and will forgive us our sins and purify us from all unrighteousness.’ If a prodigal son returns, God welcomes him back with open arms.” [= Bait ke 4 adalah tanggapan Allah terhadap kegagalan seorang percaya. ‘Faithless’ di sini tidak menunjuk pada sama sekali tidak adanya iman, tetapi suatu iman yang ragu-ragu / goncang (lihat Mark 9:24). Bait ke 3 menangani penolakan permanen dari seseorang terhadap Allah, tetapi bait ke 4 menangani orang percaya yang tergelincir ke dalam ketidaktaatan untuk sementara. Jika bait ke 3 menggambarkan pengkhianatan sekali dan selamanya dari Yudas, bait ke 4 menggambarkan penyangkalan sementara dari Petrus. Allah menjanjikan di sini untuk setia kepada orang seperti itu, sekalipun ada kegagalan-kegagalan mereka. Seperti 1Yoh 1:9 katakan, ‘Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.’. Jika anak yang hilang kembali, Allah menerimanya kembali dengan tangan terbuka.] - Libronix.
Markus 9:24 - “Segera ayah anak itu berteriak: ‘Aku percaya. Tolonglah aku yang tidak percaya ini!’”.
Douglas J. W. Milne: “The final lines of the hymn give the assurance that ‘if we are faithless, he will remain faithful, for he cannot disown himself’ (verse 13). This could mean that the Lord will uphold his judicial threats against those who deny him, and that he will never be untrue to his own holiness and justice against those who defect from his side. But it can also mean that for the true believer united to Christ in the enduring bonds of the gospel covenant, the occasional or periodic lapse into sin does not negate the Saviour’s commitment to them. Jesus is grieved by the failures of his people, but his love for them endures. By their more serious sins believers may lose the enjoyment of Christ’s love, through wounding their conscience and grieving his Holy Spirit, but they can never lose their salvation (John 10:28f.; 1 Cor. 3:15). To the penitent disciple Christ promises his pardoning grace, and immediately works to restore the damage done to faith through sinning (Luke 22:31–34, 54–62; John 21:15–17). To do otherwise would be to deny himself as each Christian’s faithful Friend and Brother. This is something that ethically he cannot do.” [= Baris terakhir dari nyanyian pujian memberi jaminan / kepastian bahwa ‘jika kita tidak setia, Ia akan tetap setia, karena Ia tidak dapat menyangkal diriNya sendiri’ (ayat 13). Ini bisa berarti bahwa Tuhan akan memegang / menegakkan ancaman-ancaman penghakimanNya terhadap mereka yang menyangkalNya, dan bahwa Ia tidak akan pernah tidak benar kepada kekudusanNya dan keadilanNya sendiri terhadap mereka yang meninggalkan pihakNya. Tetapi itu juga bisa berarti bahwa untuk orang percaya yang sejati, yang dipersatukan dengan Kristus dalam ikatan yang bertahan dari perjanjian injil, penyelewengan yang kadang-kadang atau berkala ke dalam dosa tidaklah meniadakan komitmen dari sang Juruselamat kepada mereka. Yesus disedihkan oleh kegagalan-kegagalan umatNya, tetapi kasihNya untuk mereka bertahan. Oleh dosa-dosa mereka yang lebih serius, orang-orang percaya bisa kehilangan penikmatan kasih Kristus, melalui pelukaan hati nurani mereka dan tindakan mendukakan Roh Kudus, tetapi mereka tidak pernah bisa kehilangan keselamatan mereka (Yohanes 10:28-dst; 1Korintus 3:15). Kepada murid yang menyesal Kristus menjanjikan kasih karuniaNya yang mengampuni, dan dengan segera bekerja untuk memulihkan kerusakan yang dilakukan terhadap iman melalui tindakan-tindakan berdosa (Lukas 22:31–34,54–62; Yohanes 21:15–17). Melakukan yang sebaliknya / yang berbeda akan berarti menyangkal diriNya sendiri sebagai Sahabat dan Saudara yang setia dari setiap orang Kristen. Ini adalah sesuatu yang secara etis tidak bisa Ia lakukan.] - Libronix.
Gordon D. Fee: “Line 4: ‘If we are faithless, he will remain faithful’ (cf. Rom. 3:3). This line is full of surprises, and it is also the one for which sharp differences of opinion exist regarding its interpretation. Some see it as a negative, corresponding to line 3. ‘If we are faithless’ (i.e., if we commit apostasy), God must be ‘faithful’ to himself and mete out judgment. Although such an understanding is possible, it seems highly improbable that this is what Paul himself intended. After all, that could have been said plainly. The lack of a future verb with the adverb ‘also,’ as well as the fact that God’s faithfulness in the NT is always in behalf of his people, also tend to speak out against this view. What seems to have happened is that, in a rather typical way (cf., e.g., 1 Cor. 8:3), Paul could not bring himself to finish a sentence as it began. It is possible for us to prove faithless; but Paul could not possibly say that God would then be faithless toward us. Indeed, quite the opposite. ‘If we are faithless’ (and the context demands this meaning of the verb APISTOUMEN, not ‘unbelieving,’ as KJV, et al.), this does not in any way affect God’s own faithfulness to his people. This can mean either that God will override our infidelity with his grace (as most commentators) or that his overall faithfulness to his gracious gift of eschatological salvation for his people is not negated by the faithlessness of some. This latter seems more in keeping with Paul and the immediate context. Some have proved faithless, but God’s saving faithfulness has not been diminished thereby. ... The final coda simply explains why the final apodosis stands as it does: ‘because he cannot disown himself.’ To do so would mean that God had ceased to be. Hence eschatological salvation is for Paul ultimately rooted in the character of God.” [= Baris 4: ‘Jika kita tidak setia, Ia akan tetap setia’ (bdk. Ro 3:3). Baris ini penuh dengan kejutan-kejutan, dan itu juga satu baris untuk mana ada perbedaan-perbedaan pandangan yang tajam berkenaan dengan penafsirannya. Sebagian orang melihatnya sebagai sesuatu yang negatif, sesuai dengan baris 3. ‘Jika kita tidak beriman / percaya’ (artinya, jika kita murtad), Allah pasti ‘setia’ kepada diriNya sendiri dan memberikan penghakiman secara adil. Sekalipun pengertian seperti itu bisa saja, kelihatannya sangat tidak mungkin bahwa ini adalah apa yang Paulus sendiri maksudkan. Bagaimanapun juga, itu bisa saja dikatakan dengan jelas. Tidak adanya kata kerja bentuk akan datang dengan kata keterangan ‘juga’, maupun fakta bahwa kesetiaan Allah dalam PB selalu adalah demi umatNya, juga cenderung untuk berkata dengan tegas menentang pandangan ini. Apa yang kelihatannya telah terjadi adalah bahwa, dalam suatu cara yang agak khas (bdk. sebagai contoh, 1Kor 8:3), Paulus tidak bisa menyelesaikan suatu kalimat yang ia mulai. Adalah mungkin bagi kita untuk ternyata tidak setia; tetapi Paulus tidak mungkin bisa mengatakan bahwa Allah lalu akan tidak setia terhadap kita. Yang terjadi, justru adalah apa yang sebaliknya. ‘jika kita tidak setia’ (dan kontext menuntut arti ini dari kata kerja APISTOUMEN, bukanlah ‘tidak percaya’, seperti KJV, dll.), ini tidaklah dengan cara apapun mempengaruhi kesetiaan Allah sendiri kepada umatNya. Ini bisa berarti, atau bahwa Allah akan melindas ketidak-setiaan kita dengan kasih karuniaNya (seperti kebanyakan penafsir) atau bahwa kesetiaanNya yang menyeluruh / mencakup segala sesuatu pada anugerahNya yang penuh kasih karunia dari keselamatan yang bersifat eskatologi untuk umatNya, tidak akan ditiadakan oleh ketidak-setiaan dari sebagian umatNya. Yang belakangan ini kelihatannya lebih sesuai dengan Paulus dan kontext yang paling dekat. Sebagian orang ternyata tidak setia, tetapi kesetiaan yang menyelamatkan dari Allah tidaklah dikurangi karenanya. ... Bagian terakhir / penutup sekedar menjelaskan mengapa kesimpulan terakhir ada sebagai ia ada: ‘karena Ia tidak dapat menyangkal diriNya sendiri’. Melakukan seperti itu akan berarti bahwa Allah telah berhenti sebagai Allah / berhenti ada. Jadi, keselamatan yang bersifat eskatologi bagi Paulus berakar pada akhirnya pada / dalam karakter dari Allah.] - ‘The New International Biblical Commentary’ (Libronix).
1Korintus 8:3 - “Tetapi orang yang mengasihi Allah, ia dikenal oleh Allah.”.
Catatan: Saya tak mengerti apa maksudnya ia memberikan 1Kor 8:3 ini sebagai referensi / contoh.
Penafsir ini memberikan beberapa argumentasi yang bagus / menarik mengapa ia memilih pandangan kedua. Argumentasinya (bagian yang saya garis-bawahi) adalah:
a. Kalau Paulus memang memaksudkan bahwa Allah akan setia pada ancaman-ancamanNya dan menghukum orang yang tidak setia itu, ia bisa mengatakannya dengan jelas, sehingga tidak ada keraguan tentang apa yang ia maksudkan.
b. Tidak ada kata kerja dalam bentuk future / akan datang, dan tidak adanya kata ‘also’ (= juga) dalam bagian itu.
KJV: ‘(11b) For if we be dead with him, we shall ALSO live with him: (12) If we suffer, we shall ALSO reign with him: if we deny him, he ALSO will deny us: (13) If we believe not, yet he abideth faithful: he cannot deny himself.’.
Ay 11-13: “(11) Benarlah perkataan ini: ‘Jika kita mati dengan Dia, kitapun (ALSO / JUGA) akan hidup dengan Dia; (12) jika kita bertekun, kitapun (ALSO / JUGA) akan ikut memerintah dengan Dia; jika kita menyangkal Dia, Diapun (ALSO / JUGA) akan menyangkal kita; (13) jika kita tidak setia, Dia tetap setia, karena Dia tidak dapat menyangkal diriNya.’”.
Catatan: dalam ay 11-12 kata ‘also’ (= juga), yang diterjemahkan dari kata Yunani KAI (biasanya diterjemahkan ‘dan’, atau ‘tetapi’, tetapi bisa juga diterjemahkan ‘also’ / ‘juga’ - Bible Works 7), seharusnya muncul 3 x (ini ada dalam KJV/RSV/NIV/NASB/ASV/NKJV). Tetapi dalam ay 13 kata itu tidak ada! Mengapa tidak ada? Karena kata-kata ‘jika kita tidak setia’ memang kontras dengan kata-kata ‘Dia tetap setia’! Karena itu, menurut saya ini semua menunjukkan bahwa di sini terjadi bukan keparalelan, tetapi pengkontrasan!
c. Dalam Perjanjian Baru kesetiaan Allah selalu diartikan bagi umatNya!
Memang pada waktu saya sendiri melihat kata ‘setia’ dalam konkordansi, maka dalam seluruh Alkitab (dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru), tidak pernah kata ‘setia’, pada waktu diterapkan kepada Allah, diartikan sebagai ‘setia pada janji-janji / ancaman-ancamanNya’!
Saya ingin menambahkan bahwa kalau yang dimaksudkan adalah ‘Allah setia pada firman / janji / ancamanNya’, Alkitab selalu menuliskan secara jelas / explicit seperti dalam contoh-contoh di bawah ini.
· Ul 7:9 - “Sebab itu haruslah kauketahui, bahwa TUHAN, Allahmu, Dialah Allah, Allah yang setia, yang memegang perjanjian dan kasih setiaNya terhadap orang yang kasih kepadaNya dan berpegang pada perintahNya, sampai kepada beribu-ribu keturunan,”.
· Ulangan 7:12 - “‘Dan akan terjadi, karena kamu mendengarkan peraturan-peraturan itu serta melakukannya dengan setia, maka terhadap engkau TUHAN, Allahmu, akan memegang perjanjian dan kasih setiaNya yang diikrarkanNya dengan sumpah kepada nenek moyangmu.”.
· Mazmur 145:13 - “KerajaanMu ialah kerajaan segala abad, dan pemerintahanMu tetap melalui segala keturunan. TUHAN setia dalam segala perkataanNya dan penuh kasih setia dalam segala perbuatanNya.”.
· Dan 9:4 - “Maka aku memohon kepada TUHAN, Allahku, dan mengaku dosaku, demikian: ‘Ah Tuhan, Allah yang maha besar dan dahsyat, yang memegang Perjanjian dan kasih setia terhadap mereka yang mengasihi Engkau serta berpegang pada perintahMu!”.
Alasan-alasan lain bagi saya untuk memilih arti ke 2 adalah:
a. Mari kita memperhatikan dan menganalisa kata-kata ‘jika kita tidak setia’.
Pada waktu saya melihat dalam konkordansi, maka kata-kata ‘tidak setia’ pada waktu ditujukan kepada manusia dalam hubungannya dengan Allah, pada umumnya / hampir semua menunjukkan ketidak-percayaan (tidak adanya iman yang sejati). Jadi, biasanya kata-kata ini ditujukan kepada orang yang tidak percaya / orang kristen KTP.
Misalnya:
· 1Tawarikh 10:13 - “Demikianlah Saul mati karena perbuatannya yang tidak setia terhadap TUHAN, oleh karena ia tidak berpegang pada firman TUHAN, dan juga karena ia telah meminta petunjuk dari arwah”.
· Mazmur 78:8 - “dan jangan seperti nenek moyang mereka, angkatan pendurhaka dan pemberontak, angkatan yang tidak tetap hatinya dan tidak setia jiwanya kepada Allah”.
Dalam kasus dimana yang ‘tidak setia’ adalah orang yang tidak percaya / orang kristen KTP, maka jelas tidak mungkin kita menafsirkan bahwa dalam keadaan seperti ini Yesus akan tetap setia kepada mereka. Maka kita harus mengambil penafsiran pertama, yaitu bahwa Ia tetap setia pada ancaman-ancaman dan janji-janjiNya.
Bdk. Yer 16:3-6 - “(3) Sebab beginilah firman TUHAN tentang anak-anak lelaki dan anak-anak perempuan yang lahir di tempat ini, tentang ibu-ibu mereka yang melahirkan mereka dan tentang bapa-bapa mereka yang memperanakkan mereka di negeri ini: (4) Mereka akan mati karena penyakit-penyakit yang membawa maut; mereka tidak akan diratapi dan tidak akan dikuburkan; mereka akan menjadi pupuk di ladang; mereka akan habis oleh pedang dan kelaparan; mayat mereka akan menjadi makanan burung-burung di udara dan binatang-binatang di bumi. (5) Sungguh, beginilah firman TUHAN: Janganlah masuk ke rumah perkabungan, dan janganlah pergi meratap dan janganlah turut berdukacita dengan mereka, sebab Aku telah menarik damai sejahtera pemberianKu dari pada bangsa ini, demikianlah firman TUHAN, juga kasih setia dan belas kasihanKu. (6) Besar kecil akan mati di negeri ini; mereka tidak akan dikuburkan, dan tidak ada orang yang akan meratapi mereka; tidak ada orang yang akan menoreh-noreh diri dan yang akan menggundul kepala karena mereka.”.
Tetapi dalam Alkitab jelas juga ada kata-kata ‘tidak setia’ yang diterapkan kepada orang-orang percaya yang sungguh-sungguh yang jatuh ke dalam dosa. Contoh:
· Imamat 5:15-16 - “(15) ‘Apabila seseorang berubah setia dan tidak sengaja berbuat dosa dalam sesuatu hal kudus yang dipersembahkan kepada TUHAN, maka haruslah ia mempersembahkan kepada TUHAN sebagai tebusan salahnya seekor domba jantan yang tidak bercela dari kambing domba, dinilai menurut syikal perak, yakni menurut syikal kudus, menjadi korban penebus salah. (16) Hal kudus yang menyebabkan orang itu berdosa, haruslah dibayar gantinya dengan menambah seperlima, lalu menyerahkannya kepada imam. Imam harus mengadakan pendamaian bagi orang itu dengan domba jantan korban penebus salah itu, sehingga ia menerima pengampunan.”.
Catatan: kata-kata ‘berubah setia’ dalam Im 5:15 diterjemahkan bermacam-macam oleh Kitab Suci bahasa Inggris, tetapi Bible Works 7 mengatakan bahwa kata itu terjemahannya memang adalah ‘bertindak dengan tidak setia’. Terjemahan NASB juga menterjemahkan seperti itu. Hal yang sama muncul dalam Im 6:2 (baca sampai dengan ay 7nya), Im 26:40 (baca sampai dengan ay 45nya), Bil 5:6 (baca sampai dengan ay 7). Text ini kelihatannya menunjuk kepada orang percaya yang sungguh-sungguh yang jatuh ke dalam dosa, karena ada pendamaian dan pengampunan bagi dia.
· Ezra 9-10, kita lihat beberapa ayat saja.
Ezr 9:2,4 - “(2) Karena mereka telah mengambil isteri dari antara anak perempuan orang-orang itu untuk diri sendiri dan untuk anak-anak mereka, sehingga bercampurlah benih yang kudus dengan penduduk negeri, bahkan para pemuka dan penguasalah yang lebih dahulu melakukan perbuatan tidak setia itu.’ ... (4) Lalu berkumpullah kepadaku semua orang yang gemetar karena firman Allah Israel, oleh sebab perbuatan tidak setia orang-orang buangan itu, tetapi aku tetap duduk tertegun sampai korban petang.”.
Ezr 10:2,6,10 - “(2) Maka berbicaralah Sekhanya bin Yehiel, dari bani Elam, katanya kepada Ezra: ‘Kami telah melakukan perbuatan tidak setia terhadap Allah kita, oleh karena kami telah memperisteri perempuan asing dari antara penduduk negeri. Namun demikian sekarang juga masih ada harapan bagi Israel. ... (6) Sesudah itu Ezra pergi dari depan rumah Allah menuju bilik Yohanan bin Elyasib, dan di sana ia bermalam dengan tidak makan roti dan minum air, sebab ia berkabung karena orang-orang buangan itu telah melakukan perbuatan tidak setia. ... (10) Maka bangkitlah imam Ezra, lalu berkata kepada mereka: ‘Kamu telah melakukan perbuatan tidak setia, karena kamu memperisteri perempuan asing dan dengan demikian menambah kesalahan orang Israel.”.
Sederetan ayat dalam kitab Ezra ini menunjukkan bahwa orang-orang Israel itu tidak setia dalam arti mereka jatuh ke dalam dosa (mengambil istri asing), tetapi kelihatannya mereka adalah orang-orang percaya karena akhirnya mereka bertobat dari dosa itu.
Bdk. Ezra 10:44 - “Mereka sekalian mengambil sebagai isteri perempuan asing; maka mereka menyuruh pergi isteri-isteri itu dengan anak-anaknya.”.
Tetapi ayat yang paling jelas yang berbicara tentang orang-orang percaya yang tidak setia adalah ayat di bawah ini, karena ayat ini berbicara tentang Musa dan Harun, yang pasti adalah orang percaya.
Ulangan 32:51 - “oleh sebab kamu telah berubah setia terhadap Aku di tengah-tengah orang Israel, dekat mata air Meriba di Kadesh di padang gurun Zin, dan oleh sebab kamu tidak menghormati kekudusanKu di tengah-tengah orang Israel”.
Catatan: Kata ‘kamu’ yang saya beri garis bawah ganda ada dalam bentuk jamak, dan karena itu menunjuk bukan kepada Musa saja, tetapi kepada Musa dan Harun.
Dalam kasus seperti ini (orang kristen sejati yang tidak setia), bisa dipastikan bahwa kata-kata ‘Dia tetap setia’ diberi obyek ‘orang percaya / orang Kristen’ (penafsiran kedua). Jadi seluruh kalimat artinya menjadi, ‘Jika kita (orang Kristen) tidak setia, Dia akan tetap setia (kepada kita)’. Ia tidak akan membuang kita / memasukkan kita ke dalam neraka.
Bdk. Yeremia 31:3 - “Dari jauh TUHAN menampakkan diri kepadanya: Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal, sebab itu Aku melanjutkan kasih setiaKu kepadamu.”.
Catatan: baca Yer 30 yang menunjukkan bahwa tadinya mereka dihajar oleh Tuhan karena dosa-dosa mereka!
Kesukaran dalam menafsirkan ayat ini adalah: Paulus tidak menjelaskan orang yang ‘tidak setia’ itu orang kristen yang sejati atau orang kristen KTP.
b. Arti ke 2 ini cocok dengan banyak ayat Alkitab seperti di bawah ini:
· 2Samuel 7:14-15 - “(14) Aku akan menjadi Bapanya, dan ia akan menjadi anakKu. Apabila ia melakukan kesalahan, maka Aku akan menghukum dia dengan rotan yang dipakai orang dan dengan pukulan yang diberikan anak-anak manusia. (15) Tetapi kasih setiaKu tidak akan hilang dari padanya, seperti yang Kuhilangkan dari pada Saul, yang telah Kujauhkan dari hadapanmu.”.
· Yes 54:5-8,10 - “(5) Sebab yang menjadi suamimu ialah Dia yang menjadikan engkau, TUHAN semesta alam namaNya; yang menjadi Penebusmu ialah Yang Mahakudus, Allah Israel, Ia disebut Allah seluruh bumi. (6) Sebab seperti isteri yang ditinggalkan dan yang bersusah hati TUHAN memanggil engkau kembali; masakan isteri dari masa muda akan tetap ditolak? firman Allahmu. (7) Hanya sesaat lamanya Aku meninggalkan engkau, tetapi karena kasih sayang yang besar Aku mengambil engkau kembali. (8) Dalam murka yang meluap Aku telah menyembunyikan wajahKu terhadap engkau sesaat lamanya, tetapi dalam KASIH SETIA ABADI Aku telah mengasihani engkau, firman TUHAN, Penebusmu. ... (10) Sebab biarpun gunung-gunung beranjak dan bukit-bukit bergoyang, tetapi kasih setiaKu tidak akan beranjak dari padamu dan perjanjian damaiKu tidak akan bergoyang, firman TUHAN, yang mengasihani engkau.”.
· Ratapan 3:31-33 - “(31) Karena tidak untuk selama-lamanya Tuhan mengucilkan. (32) Karena walau Ia mendatangkan susah, Ia juga menyayangi menurut kebesaran kasih setiaNya. (33) Karena tidak dengan rela hati Ia menindas dan merisaukan anak-anak manusia.”.
Ada penafsir-penafsir yang kelihatannya menggabungkan kedua arti di atas.
Barclay: “Jesus Christ cannot vouch in eternity for a man who has refused to have anything to do with him in time; but he is for ever true to the man who, however much he has failed, has tried to be true to him” (= Yesus Kristus tidak bisa menjamin dalam kekekalan bagi seseorang yang telah menolak untuk mempunyai urusan apapun dengan Dia dalam waktu; tetapi Ia selama-lamanya setia kepada orang yang bagaimanapun hebatnya ia telah gagal, telah berusaha untuk setia kepada Dia) - hal 170.
The Preacher’s Commentary Series (vol 32): “We would expect the hymn to repeat the parallel in its conclusion to the effect that if we are faithless, God is faithless. But notice the dramatic shift: ‘If we are faithless, He remains faithful; He cannot deny Himself.’ Because of this shift, the meaning is not easy to pin down. On the one hand, it might appear that God’s faithfulness, ‘no matter what,’ offsets the fear engendered by the thought of Jesus’ denial of us. If pressed, this leads to a concept of unconditional love on God’s part in which, ultimately, our actions have no lasting consequence. God will always tidy up our messes. On the other hand, this statement can be read as a statement of dreadful finality. His faithfulness is to Himself. Thus, as our denial of Him results in His denial of us, so our faithlessness to Him results in His faithfulness to Himself - which is to judge us for our infidelity. I don’t think we have to get pressed to either extreme. Don’t forget that this was likely a hymn, not a theological treatise. I’m satisfied that both notes need to be sounded. Denial and infidelity, in their many forms, must be taken seriously. Grace and unconditional love must never be distorted to mean that our actions do not have meaning or consequences. We must be responsible for our conduct - with God and with others. In this sense God’s faithfulness must mean that He cannot contradict Himself. The God of love and mercy is also the God of justice and righteousness. The prophet Hosea is the classic spokesman to this problem. He saw clearly the denial and faithlessness of the people of God. He boldly portrayed Israel’s behavior in terms of his own unfaithful wife. God is seen both as bringing judgment upon Israel and as finally wooing and winning her back. ‘How can I give you up, Ephraim? How can I hand you over, Israel?… I will not execute the fierceness of My anger… for I am God, and not man’ (Hos. 11:8–9). Paul’s words to the Corinthians seem to say the same thing. In 1 Corinthians 3:11–15, he portrays the Christian life as building upon the foundation which is Jesus Christ. The deeds of our lives are likened to ‘gold, silver, precious stones, wood, hay, straw.’ In our final accounting to God, our works will be tested by fire - some will endure, some will be consumed as worthless. But Paul’s conclusion affirms God’s ultimate mercy: ‘If anyone’s work is burned, he will suffer loss; but he himself will be saved, yet so as through fire’ (1 Cor. 3:15). I take this to be bad news and good news. For God to be faithful to Himself, our behavior must have meaning, and that means that our actions have consequences that God Himself will not abridge. But God also promises us salvation in Christ. Whether or not our works endure the test of fire, in Christ we will be saved. The central motive for faithfulness to God is not the fear of being rejected by God. The driving force for fidelity to God is the positive desire to please the One who loves us so!” [= Kita akan mengharapkan nyanyian pujian ini untuk mengulang keparalelan dalam kesimpulannya kira-kira dengan sesuatu yang berarti bahwa jika kita tidak setia, Allah juga tidak setia. Tetapi perhatikan pergeseran yang dramatis: ‘Jika kita tidak setia, Ia tetap setia; Ia tidak dapat menyangkal diriNya sendiri’. Karena pergeseran ini, artinya tidak mudah untuk dipastikan. Di satu pihak, bisa terlihat bahwa kesetiaan Allah, ‘tak peduli apapun yang terjadi’, mengimbangi rasa takut yang ditimbulkan oleh pemikiran tentang penyangkalan Yesus terhadap kita. Jika ditekankan, ini membimbing pada suatu konsep tentang kasih yang tak bersyarat di pihak Allah dalam mana, pada akhirnya, tindakan-tindakan kita tidak mempunyai konsekwensi yang abadi. Allah akan selalu membereskan kekacauan-kekacauan kita. Di lain pihak, pernyataan ini bisa dibaca sebagai suatu pernyataan tentang akhir yang menakutkan. KesetiaanNya adalah kepada diriNya sendiri. Jadi, seperti penyangkalan kita terhadap Dia mengakibatkan penyangkalanNya terhadap kita, demikianlah ketidak-setiaan kita kepadaNya mengakibatkan dalam kesetiaanNya kepada diriNya sendiri - yang harus menghakimi kita untuk ketidak-setiaan kita. Saya tidak berpikir / menganggap kita harus menekankan extrim yang manapun. Jangan lupa bahwa ini mungkin sekali adalah suatu nyanyian pujian, bukan suatu buku / karangan theologia. Saya yakin bahwa kedua catatan perlu untuk dibunyikan. Penyangkalan dan ketidak-setiaan, dalam bentuk-bentuk mereka yang banyak, harus dipandang secara serius. Kasih karunia dan kasih yang tak bersyarat tidak pernah boleh diubah / disimpangkan untuk berarti bahwa tindakan-tindakan kita tidak mempunyai arti atau konsekwensi-konsekwensi. Kita harus bertanggung jawab untuk tingkah laku kita - dengan Allah dan dengan orang-orang lain. Dalam arti ini kesetiaan Allah harus berarti bahwa Ia tidak bisa menentang diriNya sendiri. Allah dari kasih dan belas kasihan juga adalah Allah dari keadilan dan kebenaran. Nabi Hosea adalah jurubicara klasik bagi problem ini. Ia melihat dengan jelas penyangkalan dan ketidak-setiaan dari umat Allah. Ia dengan berani menggambarkan kelakuan Israel dalam istilah-istilah dari istrinya sendiri yang tidak setia. Allah terlihat baik sebagai membawa penghakiman atas Israel dan akhirnya sebagai membujuk dan memenangkan ia kembali. ‘Bagaimana Aku bisa menyerahkan engkau, Efraim? Bagaimana Aku bisa menyerahkan engkau, Israel? ... Aku tidak akan melaksanakan keganasan murkaKu ... sebab Aku ini Allah, dan bukan manusia’ (Hos 11:8-9). Kata-kata Paulus kepada orang-orang / jemaat Korintus kelihatannya mengatakan hal yang sama. Dalam 1Kor 3:11-15, ia menggambarkan kehidupan Kristen seperti membangun di atas fondasi yang adalah Yesus Kristus. Tindakan-tindakan / perbuatan-perbuatan dari kehidupan kita disamakan dengan ‘emas, perak, batu-batu berharga, kayu, rumput kering, jerami’. Dalam pertanggungan jawab akhir kita kepada Allah, pekerjaan-pekerjaan kita akan diuji dengan api - sebagian akan bertahan, sebagian akan dihabiskan sebagai tidak berharga. Tetapi kesimpulan Paulus menegaskan belas kasihan terakhir dari Allah: ‘Jika pekerjaannya terbakar, ia akan menderita kerugian, tetapi ia sendiri akan diselamatkan, tetapi seperti dari dalam api.’ (1Kor 3:15). Saya mengartikan ini sebagai kabar buruk dan kabar baik. Bagi Allah untuk setia kepada diriNya sendiri, kelakuan kita harus mempunyai arti, dan itu berarti bahwa tindakan-tindakan kita mempunyai konsekwensi-konsekwensi yang Allah sendiri tidak akan / mau mengurangi. Tetapi Allah juga menjanjikan kita keselamatan dalam Kristus. Apakah pekerjaan-pekerjaan kita bertahan dari ujian api itu, dalam Kristus kita akan diselamatkan. Motivasi sentral untuk kesetiaan kepada Allah bukanlah rasa takut untuk ditolak oleh Allah. Kekuatan yang mendorong untuk kesetiaan kepada Allah adalah keinginan yang positif untuk menyenangkan Dia yang mengasihi kita seperti itu!] - hal 268-269 (Libronix).
Hosea 11:8-9 - “(8) Masakan Aku membiarkan engkau, hai Efraim, menyerahkan engkau, hai Israel? Masakan Aku membiarkan engkau seperti Adma, membuat engkau seperti Zeboim? HatiKu berbalik dalam diriKu, belas kasihanKu bangkit serentak. (9) Aku tidak akan melaksanakan murkaKu yang bernyala-nyala itu, tidak akan membinasakan Efraim kembali. Sebab Aku ini Allah dan bukan manusia, Yang Kudus di tengah-tengahmu, dan Aku tidak datang untuk menghanguskan.”.
1Korintus 3:11-15 - “(11) Karena tidak ada seorangpun yang dapat meletakkan dasar lain dari pada dasar yang telah diletakkan, yaitu Yesus Kristus. (12) Entahkah orang membangun di atas dasar ini dengan emas, perak, batu permata, kayu, rumput kering atau jerami, (13) sekali kelak pekerjaan masing-masing orang akan nampak. Karena hari Tuhan akan menyatakannya, sebab ia akan nampak dengan api dan bagaimana pekerjaan masing-masing orang akan diuji oleh api itu. (14) Jika pekerjaan yang dibangun seseorang tahan uji, ia akan mendapat upah. (15) Jika pekerjaannya terbakar, ia akan menderita kerugian, tetapi ia sendiri akan diselamatkan, tetapi seperti dari dalam api.”.
Saya tak setuju dengan tafsiran yang menggabungkan seperti ini. Saya berpendapat Paulus pasti memaksudkan yang pertama atau yang kedua. Tidak mungkin keduanya. Dan saya memilih yang kedua.
6) “karena Dia tidak dapat menyangkal diriNya.’” (ay 13b).
John Stott: “The idea that there may be something which God ‘cannot’ do is entirely foreign to some people. Can he not do anything and everything? Are not all things possible to him? Is he not omnipotent? Yes, but God’s omnipotence needs to be understood. God is not a totalitarian tyrant that he should exercise his power arbitrarily and do absolutely anything whatsoever. God’s omnipotence is the freedom and the power to do absolutely anything he chooses to do. But he chooses only to do good, only to work according to the perfection of his character and will. God can do everything consistent with being himself. The one and only thing he cannot do, because he will not, is to deny himself or act contrary to himself. So God remains for ever himself, the same God of mercy and of justice, fulfilling his promises (whether of blessing or of judgment), giving us life if we die with Christ and a kingdom if we endure, but denying us if we deny him, just as he warned, because he cannot deny himself.” [= Gagasan bahwa di sana bisa ada sesuatu yang Allah ‘tidak dapat’ lakukan, sepenuhnya asing bagi sebagian orang. Tidak bisakah Ia melakukan apapun dan setiap hal? Bukankah segala sesuatu mungkin bagi Dia? Bukankah Ia maha kuasa? Ya, tetapi kemaha-kuasaan Allah perlu untuk dimengerti. Allah bukanlah seorang tiran yang memegang kendali sepenuhnya sehingga Ia menggunakan kuasaNya dengan sewenang-wenang dan melakukan secara mutlak apapun juga. Kemahakuasaan Allah adalah kebebasan dan kuasa untuk melakukan secara mutlak apapun yang Ia pilih untuk lakukan. Tetapi Ia hanya memilih untuk melakukan yang baik, hanya bekerja menurut kesempurnaan dari karakter dan kehendakNya. Allah bisa melakukan segala sesuatu yang konsisten dengan menjadi diriNya sendiri. Satu-satunya hal yang Ia tidak dapat lakukan, karena Ia tidak mau melakukannya, adalah menyangkal diriNya sendiri atau bertindak bertentangan dengan diriNya sendiri. Jadi Allah akan tetap menjadi diriNya sendiri, Allah yang sama dari belas kasihan dan dari keadilan, menggenapi janji-janjiNya (apakah tentang berkat atau tentang penghakiman), memberi kita hidup jika kita mati dengan Kristus dan suatu kerajaan jika kita bertahan, tetapi menyangkal kita jika kita menyangkal Dia, persis seperti yang Ia peringatkan, karena Ia tidak bisa menyangkal diriNya sendiri.].
BACA JUGA:TETAP TEGUH DI DALAM INJIL (1 KORINTUS 1:30)
UBS New Testament Handbook Series: “‘He cannot be false to himself’ then means that Christ cannot turn his back on his true nature as the Savior who remains faithful to those who trust in him” (= Jadi, ‘Ia tidak bisa tidak setia kepada diriNya sendiri’ artinya adalah bahwa Kristus tidak bisa membelakangi sifat dasarNya yang sejati sebagai Juruselamat yang tetap setia kepada mereka yang percaya kepadaNya).
Gordon D. Fee: “The final coda simply explains why the final apodosis stands as it does: ‘because he cannot disown himself.’ To do so would mean that God had ceased to be. Hence eschatological salvation is for Paul ultimately rooted in the character of God.” (= Bagian terakhir / penutup sekedar menjelaskan mengapa kesimpulan terakhir ada sebagai ia ada: ‘karena Ia tidak dapat menyangkal diriNya sendiri’. Melakukan seperti itu akan berarti bahwa Allah telah berhenti sebagai Allah / berhenti ada. Jadi, keselamatan yang bersifat eskatologi bagi Paulus berakar pada akhirnya pada / dalam karakter dari Allah.) - ‘The New International Biblical Commentary’ (Libronix). 2 TIMOTIUS 2:8-13 (MENDERITA KARENA INJIL). https://teologiareformed.blogspot.com/