5 PRINSIP GEREJA REFORMATORIS

Di dalam gereja yang reformatoris, Kristus sungguh-sungguh mau menguasai segenap hidup umat-Nya. Siapa yang mengakui nama-Nya, haruslah menjauhkan diri dari segala dosa dan kedurhakaan. Gereja yang benar dapat dikenal dengan pemberitaan firman menurut Kitab Suci dan pelayanan sakramen, sesuai dengan kehendak Kristus. Gereja harus mencerminkan pemerintahan Tuhannya (Berkhof dan Enklaar, 2016, p. 176). 
5 PRINSIP GEREJA REFORMATORIS
bisnis, tutorial
Yesus Kristus harus menjadi dasar gereja, Firman Allah harus menjadi tolak ukur iman dan kegiatan gereja, serta Roh Allah harus menjadi pelaksana. Hanya mereka yang secara terang-terangan mengakui bahwa Yesus adalah Kristus berhak menjadi anggota gereja (Thiessen, 2015, p. 486).

Gereja yang reformatoris setidaknya harus memiliki 5 (lima) prinsip yang bersifat teologis biblis yakni:

1.Gereja yang Memberitakan Injil

Injil memiliki dua sisi berita yakni murka dan penghakiman Tuhan atas orangorang berdosa, dan kedua, anugerah serta pengampunan Tuhan bagi mereka yang percaya. Memberitakan Injil berarti mengumpulkan semua orang-orang pilihan, lalu kemudian diajar, dipimpin, dilayankan sakramen, didispilin, dan diajak untuk aktif memberikan suatu pengaruh positif bagi masyarakat dan negara. Gereja yang tidak memberitakan Injil adalah gereja yang tidak sehat dan mungkin hanya menunggu waktu untuk mati (Matalu, 2017, p. 810).

Stephen Tong membagi sifat-sifat dasar Injil yang tentunya harus dimiliki oleh gereja-gereja reformatoris yang harus dan siap sedia untuk terus memberitakan Injil yaitu sebagai berikut (Tong, 1988, p. 20).

a. Sifat Universal. Sifat ini mencakup keselamatan Kristus yang berasal dari kekekalan maka kuasa keselamatan-Nya melampaui batas-batas geografi. Dikatakan: “Injil Kerajaan ini akan diberitakan di seluruh dunia menjadi kesaksian bagi semua bangsa, sesudah itu barulah tiba kesudahannya” (Matius 24:14), serta “Jadikanlah semua bangsa murid-Ku” (Matius 28:19). Ucapan atau perkataan tersebut mematahkan persepsi orang Yahudi yang sempit, serta mampu menyatakan sifat universal dari Injil.

Injil Kristus Yesus sanggup untuk mentransformasi masyarakat dari berbagai macam aspek. Kerygma mengenai Kabar Baik tersebut harus dengan sikap yang mengasihi setiap orang. Gereja harus terus memberitakan Injil tanpa memandang bulu (Tong, 1988, p. 32). 

Memahami akan sifat dasar Injil yang universal, akan mengarahkan diri kita untuk memiliki jiwa Injili yang juga universal.

Dapat dikatakan juga bahwa keabsahan Amanat Agung yang masih relevan untuk gereja, menegaskan mengenai jangkauan pemberitaan Injil adalah untuk seluruh dunia, untuk semua orang (Verkuyl, 1978, p. 20). 

Selain itu secara historikal, gereja yang Calvinist merumuskan dalam Synod of Dort (the Canons of Dort) point satu, artikel 3: “Pemberitaan Injil”, point empat nomor 8: “Panggilan Injil yang serius,” artikel 10: “pertobatan sebagai karya Allah,” artikel 17: “Allah menggunakan dalam karya regenerasi,” dan sebagainya. Pada intinya point-point dalam “The Canons of Dort” berbicara mengenai tugas gereja adalah untuk memberitakan Injil kepada semua orang dengan serius, bukan hanya kepada orang yang dipilih (tidak diketahui) tapi untuk semua orang, dan Tuhan memakai alat-alat-Nya, yaitu rasul-rasul untuk mengajar (The Canon of Dorts, 2019).

b. Sifat paradoks. Maksud dari Injil yang bersifat paradoks ini adalah pada saat diberitakan, setiap orang yang memerlukan Injil merasa diri tidak perlu Injil, tetapi setiap manusia yang tidak sadar mengenai perlunya Injil adalah mereka yang paling memerlukan Injil. Jika gereja mengenal dengan baik tentang sifat paradoks terhadap Injil, maka gereja tidak akan putus asa, akan selalu giat, tekun, serta memiliki semangat juang yang teguh dalam memberitakan Injil.

c. Sifat inisiatif. Gereja yang giat memberitakan injil harus “pergi” dengan inisiatif

Setiap orang percaya dalam gereja harus terus saling mengingatkan, menegaskan, dan mempertahankan konsep “pergi” ini. Orang yang memiliki kerinduan untuk mengabarkan Injil, pasti mengerti kehendak Tuhan karena mereka sadar bahwa Allah telah berinisiatif lebih dahulu terkait keselamatan setiap orang percaya. Mereka yang mengabarkan Injil selalu melakukannya berdasarkan prinsip-prinsip yang dinyatakan dalam Alkitab. Gereja yang memiliki inisiatif untuk pergi mengabarkan Injil dengan semangat berapi-api adalah gereja yang memiliki sifat inisiatif untuk terus memberitakan kabar baik tentang Kristus.

d. Sifat Melahirkan Kembali. Setiap orang yang memberitakan kabar keselamatan mengenai Injil Yesus Kristus pasti menghasilkan komunitas orang percaya yang telah diselamatkan dan lahir baru, serta mereka yang dilahirkan kembali pasti memiliki hati yang telah terdorong untuk terus mengabarkan Injil kepada orang lain untuk segera bertobat. Injil tidak akan pernah padam hanya karena adanya penganiayaan. Namun, justru sebaliknya, semakin di aniaya atau dihalangi Injil justru semakin bertumbuh.

2. Gereja yang Mengajar dan Berkhotbah


Gereja yang memberikan pengajaran dan khotbah merupakan hal yang paling utama untuk membangun tubuh Kristus, yakni agar mereka mendengar setiap Firman yang diberitakan, kemudian memahaminya, memikirkannya, merenunginya lalu menerapkannya dalam kehidupan mereka sehari-hari sebagai orang-orang percaya yang takluk kepada pemikiran Kristus (Matalu, 816, p. 816).

Pemberitaan Firman Tuhan ditujukan kepada dunia, yaitu dunia bangsa-bangsa. Ia berlangsung di dalam dunia dan ia adalah suatu perjuangan untuk keselamatan dunia. Dalam perspektif kerugmatis ini sebagai suatu pemberitaan yang mengaktualisasikan Injil Kerajaan Allah, sampai ke ujung bumi ia tetap terpelihara dalam karakternya sebagai pemberitaan Firman (Abineno, 2018, p. 216).

Menjadi realita bahwa ada begitu banyak yang tidak memperdulikan atau memberi perhatian besar pada pemberitaan Firman Tuhan yang benar, kuat, disiplin dan ketat dari atas mimbar. Dan juga tidak menaruh perhatian penting pada pelajaran pemahaman Alkitab dan pembelajaran doktrinal. 

Gereja yang memberikan pengajaran adalah sama dengan gereja yang memberikan suatu landasan pengetahuan bagi setiap orang percaya, berlandaskan Firman Tuhan di bawah naungan Roh Kudus melalui berbagai macam pembelajaran atau pendidikan yang dilakukan oleh gereja, sehingga dalam diri orang percaya akan terbentuk suatu pemahaman rohani yang baik serta teguh berdiri di hadapan Allah Trinitas dalam praksis kasih terhadap sesamanya (Boehlke, 2011, p. 413). 

Tugas utama gereja bukan saja memanggil orang-orang yang berdosa kepada Kristus, tetapi juga untuk mendidik orang Kristen, menguatkan iman mereka, membawa mereka terus maju dalam jalan pengudusan, dan memberikan suatu landasan kokoh bagi Bait Allah.

Paulus menjelaskan tentang hal ini ketika ia mengatakan bahwa Kristus memberikan jabatan mengajar bagi gereja “untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus, sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus.” (Efesus 4:12,13). 

Gereja yang reformatoris sangat menekankan pengajaran pokok-pokok iman Kristen yang disusun sedemikian rupa agar sesuai untuk pertumbuhan diri secara utuh, baik aspek spiritual, emosional, intelektual dan juga psikomotorik.

Pemberitaan Firman dalam istilah lain juga disebut “khotbah”, yang berlangsung tiap-tiap minggu dalam ibadah Jemaat. Bagi banyak gereja reformatoris atau Protestan, khotbah merupakan unsur yang paling penting dari ibadah Jemaat. Ibadah jemaat dianggap gagal, kalau diselenggarakan tanpa khotbah. Khotbah bergerak antara dua kutub yakni eksplikasi dan aplikasi. 

Yang dimaksud dengan eksplikasi adalah tafsiran nas Alkitab; tafsiran-tafsiran tentang perbuatan-perbuatan dan perkataan dari sejarah perjanjian dalam konteks perbuatan-perbuatan dan perkataan-perkataan itu dalam Kitab Suci. Kemudian aplikasi adalah penerapan; yakni penerapan dari nas yang ditafsirkan itu ke dalam hidup yang konkrit (konteks) dari anggota-anggota jemaat. Antara eksplikasi dan aplikasi memiliki hubungan erat. Dalam eksplikasi yang benar telah terkandung aplikasi dan dalam aplikasi yang benar turut terdengar eksplikasi.

Dapat dikatakan juga bahwa pemberitaan firman adalah sebagai proklamasi tentang keselamatan Allah yang bertolak dari suatu nas alkitabiah. Nas itu ditafsirkan dan diterapkan dalam hidup jemaat yang konkrit. Pengajaran yang kuat harus diperkuat dengan khotbah yang bermutu. Posisi khotbah menjadi menonjol, karena para reformis menegaskan sikap hormat mereka kepada Alkitab (Sola Scriptura). Khotbah dapat diberitakan dengan tujuan untuk mengedukasi, karena khotbah merupakan sarana yang efektif untuk dapat mendidik setiap umat Tuhan (Sutanto, 2012, p. 38-39).

Khotbah dapat dijadikan sarana untuk membangun iman warga jemaat. Khotbah yang diberitakan baik secara ekspositori maupun tematik, sistematik dan seimbang sangat berguna dan bisa membangun iman umat Tuhan. Melalui khotbah juga gereja dapat melakukan pembelaan diri yang menjernihkan dari berbagai macam kesalahpahaman, meneduhkan situasi, dan mengajak pihak yang tidak bersahabat melihat keadaan yang sesungguhnya. Selain itu, melalui khotbah gereja dapat menjangkau mereka yang belum percaya kepada Tuhan Yesus Kristus.

3.Gereja yang Mengorganisir dan Memimpin

Mengatur dan memimpin jemaat, serta melaksanakan administrasi gereja dengan baik dan benar juga sangat penting. Bentuk administrasi gereja berupa kerja sama dalam hal mencatat berbagai macam kegiatan pelayanan gereja, menggunakan segenap fasilitas dengan maksimal, misalnya laporan surat, pembukuan terkait keuangan gereja. 

Semua hal itu dapat dilakukan melalui pengaturan kebijakan dari pemimpin gereja dan juga jemaat. Gereja yang baik harus memiliki visi pelayanan dan program pelayanan yang sehat. Karena pekerjaan administrasi dan pelayanan yang baik harus melibatkan seluruh jemaat, maka gereja harus mengatur, memimpin dan mengarahkan seluruh jemaat untuk mewujudkan visi dan program gereja yang berpusat kepada Kristus dan tujuannya hanya untuk kemuliaan Allah. Inilah salah satu prinsip gereja reformatoris untuk menjalankan kehendak Tuhan (Matalu, 2017, p. 817).

Visi gereja menjadi aspek yang penting bagi eksistensi gereja dalam menjalankan mandat Injil. Visi memiliki kekuatan karena kepemimpinan yang efektif dapat dilihat dari visinya. Visi adalah gambar masa depan yang menghasilkan suatu semangat. Gereja yang reformatoris melihat visi dalam pelayanan sebagai suatu masa depan yang baik karena diberikan pemahaman rohani oleh Tuhan kepada pelayan-pelayan-Nya yang terpilih berdasarkan pengertian akurat yang berdasarkan dari Allah sendiri. 

Pemimpin atau pelayan gereja perlu untuk memperhatikan tentang pengembangan kepemimpinan yang berhati gembala, atau biasa dikenal dengan istilah kepemimpinan hamba (servant leadership). Kepemimpinan ini sangat bernilai karena bersumber dari Yesus sendiri melalui hidup serta pengajaran-Nya. Gereja yang reformatoris dalam aspek mengorganisir dan memimpin memiliki dasar kebaikan, ketulusan hati, relasi, kecakapan dan kesetiaan dalam kebenaran. Prinsip-prinsip ini bersifat kekal, namun memang dalam penerapannya membutuhkan waktu serta kerja keras khususnya dalam konteks masyarakat di era sekarang ini (Ronda, 2015, p. 16).

Mengorganisir serta memimpin suatu institusi rohani bukanlah hal yang mudah bagi gereja. Oleh karena itu, gereja yang reformatoris dalam seluruh aktifitas pelayanannya dipimpin oleh Roh Kudus. Para pemimpin gereja harus tunduk untuk dipimpin oleh Roh Kudus, bersandar kepada-Nya, menaati perintah-Nya, dikarenakan Roh Kuduslah yang dikaruniakan oleh Allah kepada semua orang yang taat kepada Dia (Kisah Para Rasul 5:32) (Sihite, 2013, p. 72).

4.Gereja yang Melayankan Sakramen

Istilah sakramen berasal dari istilah latin sacramentum yang berarti “sesuatu yang dikuduskan” dan kemudian digunakan sebagai rujukan pada serangkaian tata upacara keagamaan khususnya berkaitan dengan rohaniwan gereja yang mempunyai kualitas spiritual untuk dapat menyalurkan anugerah dari Tuhan (McGrath, 2018, p. 206). 

Sakramen dipegang sebagai suatu tanda persekutuan tubuh Kristus dan sebagai institusi dari Allah. Dalam sistem presbiterian misalnya, mereka yang sudah ditahbis untuk jabatan yang memangku wewenang melayankan sakramen adalah pastor (pendeta) dan presbiter (majelis/penatua). Melayankan sakramen juga adalah tugas yang bersifat keimaman di dalam gereja, dan harus dibedakan dengan tugas kenabian. Sakramen penting bagi kesejahteraan orang beriman. Sakramen merupakan salah satu pokok dari banyak pertolongan atau bantuan yang penting yang Roh Allah gunakan bagi umat-Nya dalam kelemahan mereka (Hall & Lillback, 2009, p. 425).

Dalam kaitan dengan natur Allah, Calvin melihat bahwa sakramen tersebut dapat memberikan suatu penghayatan akan kebaikan Allah untuk menyelamatkan umat pilihan-Nya. Dalam kaitan dengan Hukum Taurat misalnya, Calvin menjelaskan bahwa pentingnya untuk mengerti sakramen seperti yang telah Allah sendiri ajarkan dalam Firman-Nya. Dalam kaitan dengan kekuasaan gereja ia menegaskan bahwa sakramen-sakramen jangan ditambahkan atau ditafsirkan ulang oleh gereja. 

Identitas gereja dapat dilihat dengan adanya sakramen. Tanpa sakramen identitas Kekristenan yang adalah gereja perlu untuk dipertanyakan. Dapat dikatakan lebih lanjut bahwa Firman Allah yang dikhotbahkan dan didengarkan harus beriringan dengan sakramen yang dilaksanakan. Ini semua berasal dari ketetapan Kristus. Dengan demikian kehadiran alat-alat anugerah atau sakramen sebagai sebuah tanda gereja merupakan hal yang sangat penting, disamping kualitas iman dari setiap anggota gereja (McGrath, 2018, p. 235-236)

Sakramen itu sendiri adalah alat anugerah yang dipakai oleh Tuhan untuk meneguhkan setiap orang percaya. Secara historis, sakramen telah digunakan oleh jemaat sejak abad pertama atau abad mula-mula. Pada waktu itu sekumpulan orang diperbolehkan hadir serta turut ambil bagian dalam proses Perjamuan Kudus dan dilayani pada waktu Pembaptisan Kudus. 

Istilah Sakramen atau misterion berarti ada suatu hal yang tersembunyi yang rahasia namun dikuduskan. Soedarmo menyatakan, “Sakramen jumlahnya terdiri atas dua bagian yakni Perjamuan Kudus dan Baptisan Kudus, serta ditentukan oleh Tuhan sendiri (Matius 28:19; 26:26; 1 Korintus11:23-26)” (2011, p. 235). 

Perlu diperhatikan juga bahwa sakramen baik baptisan maupun perjamuan kudus merupakan misteri atau rahasia yang diperintahkan oleh Tuhan Yesus. Gereja pada perkembangannya kemudian merumuskan suatu dogma atau sebagai dasar iman Kristen yang dilaksanakan serta dipegang sebagai suatu faith legacy hingga sekarang ini. Gereja-gereja reformasi memahami bahwa sakramen merupakan simbol atau tanda untuk setiap orang percaya dalam persekutuan iman mereka dengan Kristus Yesus (Naat, 2020, p.13)

Perlu diperhatikan bahwa syarat untuk menerima anugerah yang ditandai dengan sakramen itu adalah kepercayaan. Bagi orang yang tidak percaya, sakramen itu tidak berguna dan tidak mendapatkan anugerah baginya, sebab sakramen itu meneguhkan iman yang telah ada. Tetapi perlu diingat juga bahwa pandangan reformatoris mengajarkan bahwa sakramen tidak mutlak perlu untuk keselamatan, tetapi menjadi kewajiban karena diperintahkan oleh Tuhan. Pengabaian yang disengaja atas sakramen ini akan menghasilkan kemiskinan rohani dan mempunyai kecenderungan destruktif, sama halnya ketidaktaatan yang disengaja terhadap Tuhan.

5.Gereja yang Melaksanakan Disiplin

Gereja Disiplin gerejawi adalah salah satu tugas gereja yang tidak boleh diabaikan. Jikalau diketahui atau ditemukan dalam gereja adanya anggota jemaat yang melawan Injil dengan sengaja melalui tindakan yang tidak mencerminkan moralitas kristiani sesuai dengan prinsip-prinsip Alkitab, maka gereja tersebut melalui pimpinan gereja atau majelis harus berani melaksanakan disiplin gerejawi. Tanpa pendisiplinan, gereja tidak dapat bersaksi bagi Tuhan (Tong, 1992, p. 44). 

Tujuan dari disiplin gereja adalah membangkitkan rasa hormat yang dalam kepada Tuhan dan kekudusan-Nya, sehingga orang-orang percaya ingat bahwa mereka harus senantiasa hidup dengan tertib, penuh hormat, dan kudus (Matalu, 2017, p. 819).

Berkhof membagi tujuan disiplin gereja menjadi dua. Tujuan pertama yakni berusaha untuk melaksanakan hukum Kristus berkenaan dengan penerimaan dan penolakan atas anggota. Tujuan kedua adalah untuk memberikan pendidikan secara spiritual kepada anggota gereja dengan cara memastikan ketaatan mereka atas hukum Kristus. Kedua tujuan ini merupakan instrumen agar dapat mencapai tujuan yang lebih tinggi lagi yakni menjaga kesucian gereja milik Yesus Kristus (Berkhof, 2015,p.91). 

Gereja memegang hak untuk melaksanakan disiplin hanya melalui pemberitaan Firman yaitu dengan peringatan dan himbauan yang ditujukan kepada anggota gereja secara keseluruhan

Calvin berpendapat bahwa seluruh kuasa gereja untuk menjalankan disiplin menyangkut disiplin di bidang kesusilaan. Ada tiga tujuan bagi Calvin juga yang hendak dicapai gereja bila melakukan teguran atau melaksanakan disiplin gereja. Pertama, agar setiap umat Tuhan yang telah jatuh dalam kehidupan yang tidak baik, memalukan serta keji sebaiknya tidak digolongkan ke dalam kehidupan Kristen. Merupakan suatu penghinaan terhadap Allah apabila orang bejat serta jahat ada di dalam gereja-Nya. 

Di sini juga diingatkan mengenai sakramen Perjamuan Tuhan, jangan sampai di cemarkan karena dilayankan oleh orang-orang sembarangan. Tujuan kedua ialah supaya orang-orang yang baik tidak dirusak karena terus-menerus bergaul dengan orang-orang yang jahat, sebagaimana biasanya terjadi. Tujuan ketiga ialah supaya mereka sendiri, karena malu mulai menyesali kejahatan mereka. Bagi mereka pun ada gunanya bila kejahatan mereka mendapat hukuman, supaya mereka terbangun oleh rasa pedihnya cambukan-cambukan Kalau dibiarkan saja, mereka akan nekat (Calvin, 2015, p.268- 269)

Gereja mempunyai tanggung jawab untuk tidak membiarkan anggotanya menjadi penghalang orang lain untuk percaya. Karena itu gereja harus mempunyai disiplin supaya orang jahat di dalam gereja tidak terus berkembang. Jikalau dilihat di antara mereka ada persoalan maka gereja mempunyai tanggung jawab dan hak untuk menasihati. Tanggung jawab ini harus dipikul oleh hamba Tuhan, tua-tua dan majelis (Soo, 2002, p. 3). 

Gereja harus menjalankan kewajibannya dan memanggil orang yang berdosa dan menghukumnya sesuai dengan pelanggarannya. Jikalau dosanya ringan, tidak harus disikapi dengan begitu keras, peringatan cukup dengan kata-kata, bahkan hendaknya secara lembut penuh kebapaan. Sehingga tidak menimbulkan rasa dendam atau membingungkan, tetapi menyadarkan kembali kembali, agar teguran itu lebih menyenangkan daripada menyedihkan hati. 

Dalam Matius 18:15-17, Yesus memberikan wejangan mengenai sikap atau tindakan seseorang jika ada sesamanya yang melakukan perbuatan dosa. Pertama, adalah menegurnya secara empat mata. Jika orang tersebut menolak untuk bertobat, maka harus menegurnya di depan banyak orang saksi. Apabila orang tersebut tetap tidak mau sadar untuk kemudian bertobat, maka diumumkan permasalahan itu kepada jemaat. 

Jikalau tetap tidak mau mendengarkan jemaat, maka dia akan dikenakan apa yang disebut dengan siasat gerejawi. Instruksi yang diberikan Yesus merupakan hal yang sangat penting terkait disiplin gereja. Dosa yang dibiarkan dan tidak dianggap serius pasti lama-kelamaan akan membawa dampak yang buruk terhadap kehidupan bergereja (Tumanan, 2017, p. 32).

Adapun pelaksanaan disiplin gereja, jika seorang atau lebih anggota jemaat telah melakukan kejahatan moral yang merugikan integritas gereja Kristus, maka disiplin yang dikenakan mencakup empat hal: 

Pertama, teguran secara empat mata yang dilakukan oleh pendeta (band. Matius 18:15). 

Kedua, teguran dengan membawa saksi-saksi yang dilakukan oleh pendeta dan penatua (Matius18:16). 

Ketiga, sampaikan perkaranya kepada jemaat (Matius 18:17a) dan dengan demikian ia diberhentikan dari pelayanan dan keikutsertaannya dalam perjamuan kudus. 

Keempat, memandangnya sebagai orang yang tidak mengenal Allah (Matius 18:17b) atau dikucilkan dari gereja (Matalu, 2017, p.821).

Baca Juga: Gereja Perspektif Reformator

Tanggung jawab setiap orang percaya dimulai dengan kesadaran bahwa diri sendiri pernah berbuat dosa dan merugikan dirinya sendiri. Ini penting untuk dijadikan suatu bahan perenungan bagi pelaksanaan disiplin gerejawi. Jadi, tidak hanya pada aspek yang satu bersalah terhadap yang lain, melainkan yang satu bersalah terhadap dirinya sendiri. Yesus mengajarkan proses pelaksanaan disiplin gerejawi dengan pola seperti ini yang kemudian didelegasikan kepada para murid-Nya, kemudian gereja mula-mula serta diteruskan oleh gereja reformasi sampai sekarang ini (Tumanan, 2017, p. 38).

Kesimpulan

Disimpulkan bahwa gereja tidak hanya menaruh perhatian pada diri gereja itu sendiri melainkan harus terus memancarkan pelayanan yang berdasarkan prinsip-prinsip yang alkitabiah demi kemuliaan Allah. Gereja dapat menjadi wadah yang dipercaya oleh Allah untuk memastikan para pelayan-Nya yang dilengkapi karunia-karunia untuk menjaga kemurnian gereja itu. Di dalam gereja reformatoris ada suatu perlengkapan bagi jemaat, yakni sifat edukatif, penggembalaan, pekabaran injil dan prinsip penatalayanan.

Gereja yang reformatoris biblis setidaknya harus memiliki beberapa prinsip yakni, pertama, sifat untuk memberitakan Injil atau penginjilan. Kedua, gereja reformatoris menekankan pengajaran dan khotbah. Ketiga, gereja yang reformatoris menekankan pelaksanaan manajemen serta kepemimpinan gereja yang baik dan benar. Keempat, gereja harus melayankan sakramen sebagai tanda persekutuan dengan tubuh Kristus. Kelima, gereja yang reformatoris harus melaksanakan disiplin gereja sebagai bagian yang penting dalam suatu institusi ilahi. 

Ikuti saya di google news untuk membaca artikel lainnya :


Next Post Previous Post