KOMUNIKASI DALAM KELUARGA KRISTEN
V. KOMUNIKASI DALAM KELUARGA
Peran komunikasi dalam keluarga dapat disamakan dengan peran jantung dalam tubuh. Sama seperti jantung yang memompa darah ke seluruh tubuh, komunikasi memompa “kehidupan” ke seluruh anggota keluarga. Jadi, seberapa sehatnya keluarga dapat diukur dari seberapa sehatnya komunikasi dalam keluarga tersebut.
A. Makna Komunikasi
Kata "komunikasi" mempunyai makna saling berbagi, khususnya berbagi hidup sehingga menjadi satu kesatuan. Jadi, fungsi komunikasi yang sesungguhnya adalah penyatuan, dalam konteks keluarga tentu penyatuan antar anggota keluarga, baik antara suami dan istri maupun orang tua dan anak. Namun, pada kenyataannya lebih sering kita berkomunikasi dengan tujuan yang sangat dangkal, seperti:
- Ingin mengetahui, maka kita bertanya
- Ingin orang mengetahui, maka kita bercerita
- Ingin memprotes, maka kita berdebat
- Ingin menegur, maka kita mengoreksi
- Ingin mempengaruhi orang, maka kita membujuk
- Ingin membenarkan diri, maka kita menjelaskan
Tujuan sebuah komunikasi harus melangkah lebih jauh lagi, misalnya: membangun dan memberi dorongan, mengungkapkan kasih dan kepedulian, menghibur dan menguatkan, dan lain-lain. Mengapa komunikasi kita seringkali bukan menjadi sebuah komunikasi yang membangun dan menyatakan kasih? Pada umumnya penyebabnya adalah pengaruh masa lalu, misalnya:
- Kita direndahkan, menjadikan kita mudah tersinggung
- Kita dikritik, menjadikan kita mudah defensif/ membela diri
- Kita didiamkan, membuat kita menyimpan perasaan di hati
- Kita dimarahi, membuat kita mudah memarahi orang lain
Jadi, masa lalu yang buruk membuat kita lebih memfokuskan pada apa yang SALAH tentang diri kita, bukan pada apa yang BENAR tentang diri kita. Sebagai akibatnya, dalam berkomunikasi kita akhirnya berbuat yang sama: Lebih fokus pada apa yang SALAH tentang orang, daripada apa yang BENAR tentang orang.
B. Hal-hal yang Diperlukan dalam Komunikasi yang Sehat
1. Listening
Kemampuan untuk mendengar dan menangkap perasaan dan pola pikir orang lain
2. Empathy
Kemampuan untuk menempatkan diri dan merasakan apa yang dirasakan dan dipikirkan orang lain
3. Understanding
Kemampuan untuk memahami keadaan orang lain
4. Acceptance
Kemampuan untuk menerima orang lain apa adanya
C. Prinsip Komunikasi yang Sehat
1. Komunikasi yang bersifat Dialogis
Martin Burber dalam bukunya “I and Thou” menyingkapkan salah satu rahasia komunikasi manusia yang terdalam dalam hubungannya dengan Allah dan sesama adalah bahwa komunikasi itu harus dialogis, dimana kedua belah pihak memiliki kesempatan untuk mengkomunikasikan tentang diri mereka.
Komunikasi yang tidak dialogis akan menyebabkan seseorang mengalami keterasingan terhadap sesama dan terhadap dirinya sendiri. Beberapa contoh komunikasi yang tidak dialogis dalam keluarga:
a. Komunikasi “I and I”
Dalam komunikasi ini suami-istri sekalipun sedang berkomunikasi dengan pasangannya, namun sebenarnya dia sedang berkomunikasi dengan dirinya sendiri, dia tidak mau mendengarkan apa yang sedang dikomunikasikan oleh pasangannya. Biasanya dalam komunikasi “I and I” suami-istri hanya ingin pasangannya mendengar perkataannya, memperhatikan, mengerti, dan pada akhirnya mengenal dirinya, tapi dia sendiri tidak mau berusaha untuk mendengar, memperhatikan, mengerti, dan mengenal pasangannya. Dalam kominikasi ini pusat komunikasi hanya didominasi tentang saya, saya, dan saya.
b. Komunikasi “I and It”
Dalam pola komunikasi ini, suami-istri seolah-olah ingin semakin mengenal tentang pasangannya, tapi bukan semua dari diri pasangan yang ingin dia kenal. Hanya hal-hal tertentu dari pasangan yang mau dia dengar, dia mengerti dan dia hargai, misalnya cara berpikir dalam hal-hal tertentu, tindakan atau pelayanan dalam hal-hal khusus, selera atau hobi tertentu. Seorang suami akan kelihatan begitu hangat dan penuh cinta ketika berbicara dengan istrinya tentang musik, tapi suami yang sama akan membentak istrinya ketika sang istrimemberikan usul tentang masalah pekerjaan; itulah akibat komunikasi “I and It.”
c. Komunikasi “It and It”
Dalam komunikasi “It and It” suami-istri kelihatan begitu mesra, mereka menghabiskan banyak waktu untuk ngobrol dan melakukan kegiatan bersama, tapi ketika mereka mengikuti acara kuis “pasangan yang ideal” yang diadakan di gerejanya yang menanyakan tentang kesukaan, kebiasaan, dan kedekatan relasi suami-istri, dari 10 pertanyaan yang ditanyakan, tidak ada satupun yang benar. Mengapa? Karena dalam komunikasi “It and It” suamiistri tidak menempatkan pasangannya sebagai seorang pribadi yang perlu dikenal. Mereka bisa berbincang berjam-jam soal gereja, politik, kesehatan, dsb, tapi tidak pernah mengungkapkan diri mereka kepada pasangannya sehingga pengenalan terhadap pasangan tidak terbentuk dari komunikasi ini.
2. Komunikasi yang bersifat Tripartit
Sejak semula Allah menciptakan manusia sesuai dengan gambar dan rupa Allah. Dalam kondisi yang ideal sebelum manusia jatuh ke dalam dosa, komunikasi antar manusia (Adam dan Hawa) adalah komunikasi yang utuh di hadapan Allah. Komunikasi ini dimungkinkan karena kehadiran dan partisipasi Allah. Oleh sebab itu rusaknya hubungan manusia dengan Allah mengakibatkan rusaknya hubungan manusia dengan sesama. Setelah manusia jatuh dalam dosa, manusia saling menyalahkan (Adam menyalahkan Hawa sebagai orang yang membujuk dia memakan buah pengetahuan yang baik dan jahat), bahkan timbul kebencian dan pembunuhan (Kain membunuh Habel adiknya sendiri).
Di tengah realitas ini, Kristus datang untuk memperdamaikan manusia dengan Allah, dan manusia dengan sesama. Dengan demikian komunikasi antar manusia dikembalikan pada naturnya yang semula. Oleh sebab itu dalam komuniasi yang sehat, harus ada kehadiran dan partisipasi Allah di dalamnya. Inilah komunikasi yang bersifat tripartit.
D. Kebiasaan Positif dan Negatif dalam Komunikasi Keluarga Kristen
1. Kebiasaan Positif yang perlu Diusahakan
a. Setiap anggota keluarga berupaya menciptakan suasana gembira ketika memasuki rumah/ ruangan
b. Setiap anggota keluarga baik tua ataupun muda harus mengucapkan salam bila memasuki rumah atau pamit bila meninggalkan rumah
c. Biasakan bercerita kepada anggota keluarga tentang pengalaman yang diperoleh di sekolah, tempat kerja, dan lain-lain
d. Bila anak-anak menanyakan sesuatu, orang tua mendengarkan dengan penuh perhatian, jangan hanya pura-pura mendengar; dibutuhkan kejujuran dan kesabaran mendengar cerita anak, juga perlu memberikan respon yang positif
2. Kebiasaan Negatif yang perlu Dihilangkan
a. Model komunikasi keluarga yang negatif, antara lain:
1) Keluarga kompetitif
Anak-anak bersaing mendapatkan perhatian dengan tingkah laku dan cara-cara negatif seperti melempar piring, berteriak, marahmarah, dan lain-lain
2) Keluarga hening
Disini anggota keluarga jarang berbicara, makan bersama, atau berinteraksi dengan anggota keluarga lainnya, karena masingmasing sibuk dengan urusannya sendiri
3) Keluarga yang kasar
Anggota keluarga jenis ini menggunakan rumah sebagai tempat pelampiasan perasaan buruk; anggota keluarga saling mengucapkan kata-kata kasar, bahkan adakalanya salah satu anggota keluarga menjadi sasaran kemarahan seluruh anggota keluarga lainnya
4) Keluarga yang tegang
Hal ini terjadi bila salah satu anggota keluarga yang lebih dewasa sering mengeluarkan ekspresi yang tidak menyenangkan, sehingga anggota keluarga yang lain ikut tegang; setiap anggota keluarga kuatir sebuah tindakan kecil akan memicu ledakan
b. Tidak terbuka: suami istri tidak terbuka satu sama lain
c. Berasumsi: Kita merasa tahu apa yang ada di dalam benak seseorang, dan mengambil keputusan berdasarkan perasaan tersebut; bahkan dalam beberapa kasus, kita juga bukan sekedar berasumsi, namun telah jatuh dalam dosa menghakimi
d. Merasa paling benar, mencari kambing hitam: Ini adalah kebiasaan mencari penyebab masalah dan bukannya mencari solusi suatu masalah
e. Mengungkit masalah lama: Sesuatu yang dulu sudah selesai diungkit lagi, dan merasa masih ada hal yang perlu dibereskan tentang hal tersebut
f. Generalisasi, baik pendapat pribadi menjadi pendapat semua orang “semua orang tahu kamu tukang marah”, atau mengeneralisasi sebuah kelemahan “kamu orang yang selalu gagal”
g. Menggunakan komunikasi yang buruk sebagai alat mencari solusi: misalnya menggunakan kemarahan agar kemauan kita dituruti
h. Membandingkan dengan cara yang negatif
i. Membesar-besarkan masalah atau keadaan
j. Menggunakan bahasa negatif yang cenderung melecehkan atau menghancurkan harga diri seseorang, dan bukannya kata-kata positif yang bisa membuat seseorang merasa dihargai dan didukung.
Peran komunikasi dalam keluarga dapat disamakan dengan peran jantung dalam tubuh. Sama seperti jantung yang memompa darah ke seluruh tubuh, komunikasi memompa “kehidupan” ke seluruh anggota keluarga. Jadi, seberapa sehatnya keluarga dapat diukur dari seberapa sehatnya komunikasi dalam keluarga tersebut.
A. Makna Komunikasi
Kata "komunikasi" mempunyai makna saling berbagi, khususnya berbagi hidup sehingga menjadi satu kesatuan. Jadi, fungsi komunikasi yang sesungguhnya adalah penyatuan, dalam konteks keluarga tentu penyatuan antar anggota keluarga, baik antara suami dan istri maupun orang tua dan anak. Namun, pada kenyataannya lebih sering kita berkomunikasi dengan tujuan yang sangat dangkal, seperti:
- Ingin mengetahui, maka kita bertanya
- Ingin orang mengetahui, maka kita bercerita
- Ingin memprotes, maka kita berdebat
- Ingin menegur, maka kita mengoreksi
- Ingin mempengaruhi orang, maka kita membujuk
- Ingin membenarkan diri, maka kita menjelaskan
Tujuan sebuah komunikasi harus melangkah lebih jauh lagi, misalnya: membangun dan memberi dorongan, mengungkapkan kasih dan kepedulian, menghibur dan menguatkan, dan lain-lain. Mengapa komunikasi kita seringkali bukan menjadi sebuah komunikasi yang membangun dan menyatakan kasih? Pada umumnya penyebabnya adalah pengaruh masa lalu, misalnya:
- Kita direndahkan, menjadikan kita mudah tersinggung
- Kita dikritik, menjadikan kita mudah defensif/ membela diri
- Kita didiamkan, membuat kita menyimpan perasaan di hati
- Kita dimarahi, membuat kita mudah memarahi orang lain
Jadi, masa lalu yang buruk membuat kita lebih memfokuskan pada apa yang SALAH tentang diri kita, bukan pada apa yang BENAR tentang diri kita. Sebagai akibatnya, dalam berkomunikasi kita akhirnya berbuat yang sama: Lebih fokus pada apa yang SALAH tentang orang, daripada apa yang BENAR tentang orang.
B. Hal-hal yang Diperlukan dalam Komunikasi yang Sehat
1. Listening
Kemampuan untuk mendengar dan menangkap perasaan dan pola pikir orang lain
2. Empathy
Kemampuan untuk menempatkan diri dan merasakan apa yang dirasakan dan dipikirkan orang lain
3. Understanding
Kemampuan untuk memahami keadaan orang lain
4. Acceptance
Kemampuan untuk menerima orang lain apa adanya
C. Prinsip Komunikasi yang Sehat
1. Komunikasi yang bersifat Dialogis
Martin Burber dalam bukunya “I and Thou” menyingkapkan salah satu rahasia komunikasi manusia yang terdalam dalam hubungannya dengan Allah dan sesama adalah bahwa komunikasi itu harus dialogis, dimana kedua belah pihak memiliki kesempatan untuk mengkomunikasikan tentang diri mereka.
Komunikasi yang tidak dialogis akan menyebabkan seseorang mengalami keterasingan terhadap sesama dan terhadap dirinya sendiri. Beberapa contoh komunikasi yang tidak dialogis dalam keluarga:
a. Komunikasi “I and I”
Dalam komunikasi ini suami-istri sekalipun sedang berkomunikasi dengan pasangannya, namun sebenarnya dia sedang berkomunikasi dengan dirinya sendiri, dia tidak mau mendengarkan apa yang sedang dikomunikasikan oleh pasangannya. Biasanya dalam komunikasi “I and I” suami-istri hanya ingin pasangannya mendengar perkataannya, memperhatikan, mengerti, dan pada akhirnya mengenal dirinya, tapi dia sendiri tidak mau berusaha untuk mendengar, memperhatikan, mengerti, dan mengenal pasangannya. Dalam kominikasi ini pusat komunikasi hanya didominasi tentang saya, saya, dan saya.
b. Komunikasi “I and It”
Dalam pola komunikasi ini, suami-istri seolah-olah ingin semakin mengenal tentang pasangannya, tapi bukan semua dari diri pasangan yang ingin dia kenal. Hanya hal-hal tertentu dari pasangan yang mau dia dengar, dia mengerti dan dia hargai, misalnya cara berpikir dalam hal-hal tertentu, tindakan atau pelayanan dalam hal-hal khusus, selera atau hobi tertentu. Seorang suami akan kelihatan begitu hangat dan penuh cinta ketika berbicara dengan istrinya tentang musik, tapi suami yang sama akan membentak istrinya ketika sang istrimemberikan usul tentang masalah pekerjaan; itulah akibat komunikasi “I and It.”
c. Komunikasi “It and It”
Dalam komunikasi “It and It” suami-istri kelihatan begitu mesra, mereka menghabiskan banyak waktu untuk ngobrol dan melakukan kegiatan bersama, tapi ketika mereka mengikuti acara kuis “pasangan yang ideal” yang diadakan di gerejanya yang menanyakan tentang kesukaan, kebiasaan, dan kedekatan relasi suami-istri, dari 10 pertanyaan yang ditanyakan, tidak ada satupun yang benar. Mengapa? Karena dalam komunikasi “It and It” suamiistri tidak menempatkan pasangannya sebagai seorang pribadi yang perlu dikenal. Mereka bisa berbincang berjam-jam soal gereja, politik, kesehatan, dsb, tapi tidak pernah mengungkapkan diri mereka kepada pasangannya sehingga pengenalan terhadap pasangan tidak terbentuk dari komunikasi ini.
2. Komunikasi yang bersifat Tripartit
Sejak semula Allah menciptakan manusia sesuai dengan gambar dan rupa Allah. Dalam kondisi yang ideal sebelum manusia jatuh ke dalam dosa, komunikasi antar manusia (Adam dan Hawa) adalah komunikasi yang utuh di hadapan Allah. Komunikasi ini dimungkinkan karena kehadiran dan partisipasi Allah. Oleh sebab itu rusaknya hubungan manusia dengan Allah mengakibatkan rusaknya hubungan manusia dengan sesama. Setelah manusia jatuh dalam dosa, manusia saling menyalahkan (Adam menyalahkan Hawa sebagai orang yang membujuk dia memakan buah pengetahuan yang baik dan jahat), bahkan timbul kebencian dan pembunuhan (Kain membunuh Habel adiknya sendiri).
Di tengah realitas ini, Kristus datang untuk memperdamaikan manusia dengan Allah, dan manusia dengan sesama. Dengan demikian komunikasi antar manusia dikembalikan pada naturnya yang semula. Oleh sebab itu dalam komuniasi yang sehat, harus ada kehadiran dan partisipasi Allah di dalamnya. Inilah komunikasi yang bersifat tripartit.
D. Kebiasaan Positif dan Negatif dalam Komunikasi Keluarga Kristen
1. Kebiasaan Positif yang perlu Diusahakan
a. Setiap anggota keluarga berupaya menciptakan suasana gembira ketika memasuki rumah/ ruangan
b. Setiap anggota keluarga baik tua ataupun muda harus mengucapkan salam bila memasuki rumah atau pamit bila meninggalkan rumah
c. Biasakan bercerita kepada anggota keluarga tentang pengalaman yang diperoleh di sekolah, tempat kerja, dan lain-lain
d. Bila anak-anak menanyakan sesuatu, orang tua mendengarkan dengan penuh perhatian, jangan hanya pura-pura mendengar; dibutuhkan kejujuran dan kesabaran mendengar cerita anak, juga perlu memberikan respon yang positif
2. Kebiasaan Negatif yang perlu Dihilangkan
a. Model komunikasi keluarga yang negatif, antara lain:
1) Keluarga kompetitif
Anak-anak bersaing mendapatkan perhatian dengan tingkah laku dan cara-cara negatif seperti melempar piring, berteriak, marahmarah, dan lain-lain
2) Keluarga hening
Disini anggota keluarga jarang berbicara, makan bersama, atau berinteraksi dengan anggota keluarga lainnya, karena masingmasing sibuk dengan urusannya sendiri
3) Keluarga yang kasar
Anggota keluarga jenis ini menggunakan rumah sebagai tempat pelampiasan perasaan buruk; anggota keluarga saling mengucapkan kata-kata kasar, bahkan adakalanya salah satu anggota keluarga menjadi sasaran kemarahan seluruh anggota keluarga lainnya
4) Keluarga yang tegang
Hal ini terjadi bila salah satu anggota keluarga yang lebih dewasa sering mengeluarkan ekspresi yang tidak menyenangkan, sehingga anggota keluarga yang lain ikut tegang; setiap anggota keluarga kuatir sebuah tindakan kecil akan memicu ledakan
b. Tidak terbuka: suami istri tidak terbuka satu sama lain
c. Berasumsi: Kita merasa tahu apa yang ada di dalam benak seseorang, dan mengambil keputusan berdasarkan perasaan tersebut; bahkan dalam beberapa kasus, kita juga bukan sekedar berasumsi, namun telah jatuh dalam dosa menghakimi
d. Merasa paling benar, mencari kambing hitam: Ini adalah kebiasaan mencari penyebab masalah dan bukannya mencari solusi suatu masalah
e. Mengungkit masalah lama: Sesuatu yang dulu sudah selesai diungkit lagi, dan merasa masih ada hal yang perlu dibereskan tentang hal tersebut
f. Generalisasi, baik pendapat pribadi menjadi pendapat semua orang “semua orang tahu kamu tukang marah”, atau mengeneralisasi sebuah kelemahan “kamu orang yang selalu gagal”
g. Menggunakan komunikasi yang buruk sebagai alat mencari solusi: misalnya menggunakan kemarahan agar kemauan kita dituruti
h. Membandingkan dengan cara yang negatif
i. Membesar-besarkan masalah atau keadaan
j. Menggunakan bahasa negatif yang cenderung melecehkan atau menghancurkan harga diri seseorang, dan bukannya kata-kata positif yang bisa membuat seseorang merasa dihargai dan didukung.