MAKNA TERIAKAN KRISTUS DI ATAS KAYU SALIB (MATIUS 27:46)

Frits Octavianus Tatilu. 
MAKNA TERIAKAN KRISTUS DI ATAS KAYU SALIB (MATIUS 27:46)
otomotif, gadget, bisnis
Penderitaan dan kematian Yesus di salib untuk melaksanakan tujuan tertentu yang berhubungan dengan penjelmaan-Nya. Seperti yang dikatakan Henry C. Thiessen, “Penjelmaan bukanlah merupakan tujuan; penjelmaan merupakan suatu sarana untuk mencapai tujuan tertentu, dan tujuan tersebut ialah penebusan orang yang hilang lewat kematian Tuhan di kayu salib.”

Makna Jeritan Kristus di atas Kayu Salib (Mat. 27:46) “Kira-kira jam tiga berserulah Yesus dengan suara nyaring: "Eli, Eli, lama sabakhtani?" Artinya: Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Matius 27:46). Jeritan Kristus di atas kayu salib ini memiliki makna yang sangat mendalam berhubungan dengan tujuan penebusan-Nya atas dosa manusia.

Pernyataan Penderitaan Dalam peristiwa ini, Matius berjuang keras untuk menunjukkan sisi kemanusiaan Kristus. Ia mencoba menggambarkan kemanusiaan Kristus dalam peristiwa penyaliban ini dengan mengungkapkan beberapa kata dalam Bahasa Yunani

Kata Yunani pertama yang digunakan untuk mengungkapkan fakta ini adalah (aneboesen). Yang ditonjolkan dalam kata ini adalah soal “perasaan yang tertekan.” Dalam teks ini jelas terlihat sisi kemanusiaan Kristus. Kata Yunani ini memiliki arti berteriak atau menjerit, sebuah ungkapan yang sangat manusiawi. Seorang manusia yang menderita sambil menunggu ajalnya, cenderung memiliki kekuatan terakhir untuk melampiaskan kesakitannya melalui jeritan atau tangisan. 

Kata ἀνεβόησεν (aneboesen) ditulis dalam bentuk strong aoris artinya bahwa Kristus berseru hanya sekali dilakukan dan tidak pernah diulangi lagi. Dalam teks ini Matius mengungkapkan teologinya bahwa jeritan Kristus terjadi sekali di masa lampau, karena penyaliban Kristus hanya terjadi satu kali. Seruan nyaring pada saat yang mengerikan ini menunjukkan bahwa masih ada sejumlah vitalitas dalam penderitaan jiwa dan tubuh yang ekstrim yang dipaksa untuk meneriakkan sebuah ucapan. Di tengah segala macam siksaan dan penderitaan yang Kristus alami, Matius memakai kata ini untuk mengungkapkan sisi kemanusiaan Kristus.

Dalam ayat ini, kata ἀνεβόησεν (aneboesen) adalah kombinasi dari dua kata: "berteriak atau menjerit ," kata ini sering digunakan dalam Alkitab untuk jeritan parau, atau suara gemuruh. Bahkan, Mazmur 22 menggunakan kata "gemuruh". Mazmur 22 adalah salah satu Mazmur Mesianik terbesar. Mazmur ini menubuatkan kedatangan, kehidupan, dan kematian Mesias. Ini mungkin bagian paling jelas dari penggambaran Yesus di Kalvari. 

Tidak dapat disangkal bahwa Mazmur 22 ditulis tentang Mesias. Makna harfiah dari kata "mengerang" adalah "mengaum", untuk menggambarkan raungan singa. Ayub menggunakan kata ini juga. Dalam kondisi jiwanya yang tertekan, Ayub menggambarkan seruan dari dalam dirinya sebagai menderu atau menjerit-jerit. Dalam Ayub 3:24, Ayub mengatakan, " Karena ganti rotiku adalah keluh kesahku, dan keluhanku tercurah seperti air. " Dalam Matius 27:46, makna arti kata itulah yang digunakan untuk Yesus menangis. Jadi, kata ini menjelaskan suasana hati yang menderita sangat dalam, sampai pada akhirnya teriakan-Nya seperti auman suara singa.

Matius juga ingin menegaskan bahwa, jeritan Kristus bukan hanya menegaskan sisi kemanusiaan-Nya, tetapi sebuah teriakan kemenangan. Hal itu ditegaskan dengan kata sangat keras. Kata ἀνεβόησεν (aneboesen) ditulis dalam bentuk Aoris Konsumatif, dimana Matius hendak menegaskan bahwa tindakan yang dilaporkan itu telah mencapai sasaran akhir. Jeritan Kristus merupakan semacam ungkapan kemenangan, karena telah mencapai garis akhir dari perjalanan-Nya di bumi. 

Semua Injil Sinoptis menunjukkan bahwa kematian Kristus tidak disebabkan oleh kehabisan tenaga akibat disalibkan, tetapi suatu penyerahan hidup secara sukarela. Suasana kegelapan dan seruan nyaring ini menggenapi nubuat dalam Yoel 3:15, 16, “Matahari dan bulan menjadi gelap, dan bintangbintang menghilangkan cahayanya. TUHAN mengaum dari Sion, dari Yerusalem Ia memperdengarkan suara-Nya, dan langit dan bumi bergoncang.”

Sehingga dapat disimpulkan bahwa jeritan Kristus di atas kayu salib adalah jeritan penderitaan Kristus karena harus menanggung segala dosa manusia dalam tugas-Nya di dalam penebusan umat manusia. Tetapi jeritan Kristus dalam waktu yang bersamaan adalah proklamasi kemenangan karena Kristus telah melaksanakan misi penyelamatan-Nya.

Kata kedua adalah "Allahku, Allahku.” Dalam pemakaian kata ini pun, Matius mencoba untuk menegaskan Kristus sebagai manusia. Sebutan Allah hanya diucapkan oleh manusia kepada Allah. Matius mau mengungkapkan dua fakta dalam teks ini:

Pertama, Kristus menyapa Allah dengan sebutan (eli) untuk menunjukkan kesetaraan-Nya dengan Allah Bapa. Dengan kata lain, Matius mau menegaskan bahwa Kristus adalah Pribadi Allah. Dalam seluruh Perjanjian Baru, hanya Yesus yang berani menyapa Allah dengan kata (eli). Hal ini menunjukkan tentang sisi keilahian Kristus. Dalam terjemahan bahasa Yunani, Matius menggunakan kata Qee , mou (Tee mou) dalam bentuk nomina maskulin tunggal juga. Jadi, bila disarikan, sapaan Kristus mengungkapkan siapa Pribadi Kristus sebenarnya.

Kedua, Kristus menyapa (eli) untuk menunjukkan sisi kemanusiaan-Nya. Allah adalah sebuah istilah universal untuk dewa, yang digunakan oleh hampir semua agama. Dan יElohim adalah salah satu dari tiga istilah utama yang digunakan dalam Alkitab untuk menjelaskan Allah. Karena Allah sendiri yang memperkenalkan diri-Nya dengan sebutan Allah kepada manusia, seperti yang dikatakan Alkitab, “Diamlah dan ke tahu ilah, bahwa Akulah Allah” (Mazmur 46:11). Keluaran 3:6 mengatakan, “Akulah Allah ayahmu, Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub.” Dan dalam sepuluh perintah Allah ada larangan, “Jangan menyebut nama TUHAN, Allahmu, dengan sembarangan” (Keluaran 20:7). Jadi, Allah adalah suatu gelar yang bersifat impersonal dan merupakan suatu sapaan manusia di dalam semua agama.

Kristus adalah hamba Allah yang harus menjalankan karya penebusan, Dia harus membuat Allah puas, setelah itu Dia akan dimahkotai. Oleh karena itulah, Kristus memanggil Bapa dengan sapaan Allah-Ku; di mana sekarang Kristus hendak melakukan kehendak Bapa. Di kedalaman penderitaan-Nya, Kristus tetap mau menyatakan Allah adalah tetap Allah, dalam hal ini Dia memutuskan untuk tetap memegang kehendak Allah Bapa yang pernah ingin disangkal-Nya di Taman Getsemani, "Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki." (Matius 26:39).

Makna ketika Kristus menyapa Allahku dalam teks ini karena Kristus begitu nelangsa ditinggalkan oleh Allah Bapa. Perasaan sedih yang begitu dalam membuat Kristus mengulang dua kali sapaan Allahku dalam kalimat ini. Matius mau menegaskan sisi kemanusiaan Kristus, yang ketika ditinggalkan Allah begitu merasa kesepian dan merasa sangat sedih. Sehingga Kristus menyapa Allahku untuk menyatakan perasaan hati-Nya.

Pada kesempatan lain Kristus terbiasa dengan berkata, "Bapa": sekarang Dia mengatakan, "Ya Allah-Ku," di mana sekarang Kristus berada dalam tingkat terasing karena Bapa berdiri di tempat kejauhan; namun Dia melakukannya dua kali, dan menambahkan "Ku"dengan keyakinan, kesabaran, dan ketaatan diri. Dalam keadaan tersalib dan menderita ini saja Yesus memanggil “Allah”, selama ini Ia selalu memanggil “Bapa”. 

Menurut Erwin Lutzer, “perubahan bentuk sapaan menekankan retaknya persekutuan antara Bapa dan Anak.” Karena pada saat itu, Allah yang kudus berpaling dari Kristus yang dijadikan berdosa. Pada saat itulah, kata Richard B. Gardner, “Yesus menyerahkan hidup-Nya dalam kematian kepada Pribadi yang telah memanggil-Nya dalam rencana ini

Teriakan atau jeritan Kristus di atas kayu salib, menegaskan bahwa posisi Kristus pada saat itu menjadi pengganti orang-orang berdosa yang ditimpakan murka Allah. Pada saat yang sama, Allah Bapa memalingkan wajah-Nya dari Yesus, karena tubuh Kristus sangat menjijikkan karena menanggung dosa seluruh dunia. Walaupun Kristus tahu untuk apa yang datang ke dunia, tetapi sebagai manusia Dia merasakan penderitaan yang amat sangat. Sehingga letupan kesakitan itu keluar melalui jeritan atau teriakan-Nya yang sangat nyaring, “Allah-Ku, Allah-Ku, untuk tujuan apa Engkau meninggalkan Aku?” Seperti yang dikatakan Lenski,

Anak Allah menanggung dosa kita dan kutuk atasnya ... Itu sebabnya Yesus berseru 'Allah-Ku' dan bukan 'Bapa-Ku.' Yang mana kata ganti milik ['Ku'] adalah penting. Meskipun Allah berpaling dari Dia dan meninggalkan Dia, Ia berseru kepada-Nya dan berpegang teguh pada-Nya sebagai Allah-Nya. Di sini kesempurnaan ilahi Yesus muncul. Dia adalah Anak Domba tanpa cacat meskipun Dia dibuat dosa dan kutuk dalam jam pengorbanan-Nya

Kedalaman Perasaan

Yesus berseru berdasarkan kata-kata dalam Mazmur 22: 2, “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Sebuah ungkapan kepercayaan Daud kepada Allah. dan dalam bahasa Ibrani ada dua kata yang mengungkapkan makna untuk kata ‘mengapa’, yaitu : [;WDm; (madua) dan hm'äl' (lamah). Penulis mencoba untuk memberikan pembandingan dalam definisinya

Kata Ibrani (madua) memiliki arti mengapa untuk “apa yang sudah diketahui.” (madua) dalam pemahamannya menengok ke masa lalu. Artinya kata ini diucapkan dengan memahami atau mengingat kejadian pada masa lalu. Dalam Kejadian 26:27, Ishak menggunakan kata ini untuk bertanya kepada Abimelekh, “Mengapa kamu datang mendapatkan aku? Bukankah kamu benci kepadaku, dan telah menyuruh aku keluar dari tanahmu?” Ishak menanyakan tujuan Abimelekh mendatanginya, karena Ishak tahu Abemelekh membenci dia. 

Kata ini juga digunakan Musa, “Baiklah aku menyimpang ke sana untuk memeriksa penglihatan yang hebat itu. Mengapakah tidak terbakar semak duri itu?” (Keluaran 3:3). Musa bertanya mengenai semak duri yang tidak terbakar, karena ia melihat penglihatan hebat itu. Yesaya pun bertanya dengan kata ini, “Apakah lagi yang harus diperbuat untuk kebun anggur-Ku itu, yang belum Kuperbuat kepadanya? Aku menantikan supaya dihasilkannya buah anggur yang baik, mengapa yang dihasilkannya hanya buah anggur yang asam?” (Yesaya 5:4). Allah juga bertanya kenapa hasil kebun anggurnya yang tidak manis, padahal Allah sudah melakukan berbagai hal untuk kebun anggur-Nya. Jadi kesimpulannya, kata (madua) yang berarti “mengapa”, digunakan dengan mendasari fakta-fakta yang telah diketahui oleh orang yang bertanya

Kata Ibrani kedua yang memiliki arti yang sama adalah (lamah). (lamah) juga memiliki arti “mengapa” tetapi dalam hal ini tidak menengok ke peristiwa yang lalu yang diwakili oleh kata (madua) tetapi kata (lamah) mengarah kepada tujuan ke depan. (lamah) dapat diterjemahkan secara literal yaitu tunjukkan apa maksud dari peristiwa ini atau ada tujuan apa di balik peristiwa yang sekarang terjadi. Kristus menggunakan kata ini dalam seruan-Nya. Sebuah teriakan kemalangan yang begitu menyentuh emosi bagi yang mendengar dan mengalaminya, tetapi bukan teriakan putus pengharapan. 

Ratapan ini diambil dari Mazmur 22:2, “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Seruan dalam Mazmur 22 adalah sebuah doa keyakinan kepada Allah. Dalam doa keyakinan inilah pemazmur melihat tujuan penderitaannya, “Aku akan memasyurkan nama-Mu kepada saudara-saudaraku dan memuji-muji Engkau di tengahtengah jemaah” (Mazmur 22:23). Dalam mazmur doa kepercayaan itu muncul nada kegembiraan karena yakin tentang pertolongan dari pihak Allah. Jadi, inti dari kata (lamah) adalah satu keyakinan tentang tujuan ilahi dibalik peristiwa yang saat ini sedang terjadi.

Hal ini juga ditegaskan oleh Matius dalam teks ini. Di mana ayat ini dalam teks bahasa Yunani, kata hm 'äl' (lamah) diterjemahkan dengan kata (inati) yang berarti “untuk tujuan apa”.  (inati) terdiri dari dua kata  (ina) dan (ti) yang juga memiliki arti “mengapa?” atau “untuk alasan apa?” dirangkai dengan kata  (egkatelipes) dalam bentuk Aoris Indikatif Aktif, yang berarti Matius mau menyatakan bahwa peristiwa Allah Bapa meninggalkan Kristus adalah sebuah fakta tanpa menyinggung masalah bagaimana terjadinya tindakan itu. 

Tetapi dalam peristiwa salib sebagai puncak penderitaan-Nya sebagai manusia, Kristus bertanya kepada Allah Bapa, “untuk tujuan apa Dia harus menderita?” Di tengah segala macam rasa kemanusiaan-Nya: kesakitan, kehausan, dan ditinggalkan, Kristus berseru untuk apa ia harus menderita? Jadi, kata (inati) merupakan satu pertanyaan dengan keyakinan ada tujuan di balik peristiwa yang dialami. Dengan kata lain, kata  (inati) merupakan sebuah pertanyaan yang mengandung sebuah pengharapan akan masa depan.

Kristus tentu ingat akan seluruh mazmur 22 ini, dan seruan itu mengandung suasana seluruh mazmur tersebut, yaitu suasana penyerahan mutlak kepada Allah, kepercayaan dan pengharapan bulat kepada-Nya, dan keyakinan, bahwa segala sengsara akan menjelma menjadi sebuah kemenangan besar, “Aku akan memasyurkan nama-Mu kepada saudara-saudaraku dan memuji-muji Engkau di tengah-tengah jemaah” (Mazmur 22:23). 

Dengan kata lain, sementara Yesus mengucapkan seruan pemazmur ini, di saat itu juga Ia mengungkapkan keyakinan pada Allah, sekaligus Ia merasakan suasana paling menyedihkan di mana Ia dipisahkan dari kehadiran Bapa, dan jiwa-Nya diisi dengan rasa murka yang mengerikan karena dosa yang Ia tanggung. Yesus berseru karena Bapa-Nya telah meninggalkan Dia. Sama dengan perasaan Daud yang merasa ditinggalkan pada awal ia menulis kata-kata dalam mazmur 22 ini.

Yang menarik dalam seruan Yesus di atas kayu salib ini, Matius tidak menggunakan kata (madua) yang menunjuk ke masa lalu tetapi hm'äl' (lamah) yang menanyakan sebuah tujuan. “Allahku, Allahku, nyatakan tujuan-Mu sehingga Engkau meninggalkan Aku?” Ini berarti seruan Yesus bukanlah teriakan seorang pecundang! Ini bukanlah teriakan kekalahan! Tetapi ini adalah teriakan pengharapan akan sebuah kemenangan.

Seruan-Nya dalam bahasa Aram, "Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?" menunjukkan bahwa Dia sedang mengalami pemisahan dari Allah sebagai pengganti orang berdosa. Pada tahap ini semua kesedihan, penderitaan, dan rasa sakit mencapai puncaknya. Yesus tertikam oleh karena pemberontakan kita (Yesaya 53:5) dan Ia telah memberikan diri-Nya sebagai "tebusan bagi banyak orang" (Matius 20:28; 1Timotius 2:6). 

Dia yang tidak mengenal dosa "telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita" (2 Korintus 5:21). Pemisahan dari Bapa pasti bagian terburuk dari penderitaan salib Yesus yang belum pernah Dia alami, karena selama ini Ia memiliki persekutuan yang intim dengan BapaNya. Dia mati sebagai yang ditinggalkan, agar kita tidak akan pernah ditinggalkan olehNya. Seperti yang dikatakan Bonhoeffer, “Hanya Tuhan yang menderita yang dapat menolong (kita)

Kata kerja sabacqani, yang berarti "meninggalkan" ditulis dalam bentuk kalimat aoris. Dalam kala aoris, tekanan pelaporan ditempatkan pada penegasan akan adanya tindakan atau peristiwa itu. Menurut Petrus Maryono,”pilihan seorang penutur untuk menyuguhkan suatu peristiwa yang “terjadi hanya sekali, dan tidak pernah terulang lagi” sangat ditentukan oleh perspektifnya terhadap peristiwa yang dilaporkan.” Hal itu berarti bahwa Matius melaporkan bahwa selama tiga jam dalam kegelapan, dalam keheningan yang abadi yang sekarang telah berada pada puncaknya, Kristus mengucapkan seruan ini. 

Kristus, sebagai manusia, berdoa kepada Bapa sebagai Allah-Nya, percaya kepada-Nya, mencintai-Nya, dan mematuhi-Nya: dan meskipun sekarang Bapa menyembunyikan wajah dari Dia, namun Kristus menyatakan iman yang kuat dan kepercayaan dalam diri-Nya, dengan ungkapan “Allah-Ku”. Dia yang telah ditinggalkan oleh teman-teman dan murid-murid-Nya, bahkan sekarang ditinggalkan oleh Bapa-Nya; tetap dapat mengekspresikan kekuatan imannya pada saat itu, “Allah-Ku”. 

Kemanusiaan Kristus Yesus bertanya mengapa Dia berada dalam kesepian yang demikian hening; hati manusia-Nya dipaksa untuk memahami fase penderitaan ini. Walau pun tidak ada jawaban suara datang dari langit yang gelap; tapi teriakan itu terdengar menggelegar; pengorbanan yang diperlukan sesuai dengan tujuan dari Allah, persembahan korban yang diterima, dan dengan darah-Nya sendiri Kristus melakukan penebusan abadi bagi manusia.

Kata kerja bahasa Ibrani ini diterjemahkan ke dalam kata kerja bahasa Yunani e vgkate,lipej yang memiliki arti “meninggalkan.” Tetapi ada satu arti lain yang menarik yaitu “hening, sunyi senyap.” Ini adalah kata kerja yang kuat dalam bahasa Yunani yang menunjukkan emosi yang kuat atau jeritan kepada Allah. Seperti yang disimpulkan oleh R. T. France bahwa e vgkate ,lipej adalah “ekspresi kesakitan dari arti sebenarnya dari keterasingan, yang mencerminkan makna penuh kematian Yesus sebagai tebusan bagi banyak orang (Matius 20:28)

Secara historikal, orang yang mati disalib adalah orang terkutuk (Galatia 3:13). Orang itu akan mengalami keadaan sunyi senyap atau merasa terasing dalam saat-saat kematiannya. Posisi Kristus pada saat disalib adalah dalam posisi terkutuk dan ditempatkan pada posisi yang sunyi senyap, karena terpisah dari Allah Bapa. Pada saat seluruh dosa dunia ditumpahkan kepada Kristus di atas kayu salib, pada saat itu juga Allah berpaling dari Kristus. 

Karena Allah Bapa kudus dan Kristus dijadikan berdosa. Dan pada saat yang sama, Kristus mengalami perasaan sepi dan terasing karena tidak ada komunikasi dengan Allah Bapa. Dalam konteks ini kembali Matius membuktikan kemanusiaan Kristus dalam penderitaan-Nya di atas kayu salib. Matius mau mengatakan bahwa yang merasa terpisah dan terasing adalah kemanusiaan Kristus dan keilahian-Nya tidak. Dalam arti kata Matius mau mengatakan bahwa Anak Manusia merasakan kesepian karena terpisah dari Allah Bapa, tetapi Anak Allah tidak merasakan itu, karena Anak Allah tidak pernah terpisah dari Allah.

Arti kata ini juga mau mengungkapkan perasaan merasa sendiri di tengah-tengah kegersangan jiwa. Suasana hati inilah yang mau diungkapkan oleh Matius, bahwa dalam kemanusiaan-Nya ketika menderita di salib, Kristus benar-benar merasa sendiri di dalam kegersangan jiwa-Nya. Inilah ungkapan Matius untuk menegaskan teologinya tentang kemanusiaan Kristus. Hanya manusia yang menderita, yang dapat mengalami kegersangan jiwa di tengah penderitaan yang hebat. 

Arti kata “sunyi senyap” ini merupakan kata yang memang dipilih oleh Matius sebagai dasar untuk membuktikan kemanusiaan Kristus. Kata yang sama dipakai oleh Paulus untuk mengungkapkan perasaan sendirinya ketika ia di sidang karena berita Injil, “Pada waktu pembelaanku yang pertama tidak seorangpun yang membantu aku, semuanya meninggalkan aku” (2Timotius 4:16). Jadi kata e vgkate,lipej dapat mengungkapkan perasaan kemanusiaan Kristus di tengah segala penderitaan-Nya yang mencapai puncak di atas kayu salib.

Meskipun banyak orang mengatakan bahwa Kristus mengutip perkataan dari Mazmur Daud, tapi penulis merasa yakin bahwa perkataan itu adalah itu milik Mesias. Bukan Yesus yang mengutip perkataan Daud, tetapi Daud diinspirasikan Roh Kudus untuk menubuatkan perkataan Yesus di dalam penderitaan salib-Nya. Karena banyak hal di dalamnya terpenuhi sehubungan dengan Yesus, yang paling jelas menunjukkan Dia memang Mesias, kata-kata-Nya di kayu salib keluar dari dalam pikiran kesusahan yang tak terkatakan, sebagai akibat dari penarikan kehadiran Bapa.

Dan juga, ketika Kristus berseru “Eli, Eli, lama sabakhtani?”, Dia menggunakan bahasa Aram dan bukan bahasa Yunani. Roh Kudus telah mengawetkan itu selama berabad-abad dalam transkrip teks. Roh Kudus memastikan kalimat ini tertulis dalam bahasa aslinya, tidak diterjemahkan ke dalam bahasa lain, "Eli, Eli, lama sabakhthani!" Kristus berbicara dalam bahasa Aram yang adalah bahasa ibu. Hal ini mau menyatakan betapa hebatnya penderitaan Kristus di atas kayu salib. 

Trauma yang begitu dalam telah melalui pikiran Yesus pada saat itu. Sehingga muncul ekspresi bahasa ibu untuk menyatakan perasaan-Nya yang paling dalam. F. F. Bruce memberikan kesimpulan bahwa Kristus “benar-benar mengalami penderitaan dan kesakitan seperti yang diungkapkan oleh pemazmur waktu Ia memikul dosa dunia

Kerenggangan hubungan Allah Bapa dengan Allah Anak

“Allahku! Allahku! Mengapa Engkau meninggalkan Aku?” adalah kalimat yang paling sulit untuk dimengerti di antara perkataan salib yang lain. Martin Luther pernah memikirkan ayat ini selama berjam-jam dan akhirnya ia berdiri sambil memukul dadanya dan berkata, "Siapakah yang dapat mengerti bahwa Allah meninggalkan Allah?"

Pernyataan ini mengungkapkan bahwa ada jarak, sebuah kerenggangan antara Allah Bapa dan Allah Anak. Di kayu salib Yesus berbicara kepada Bapa-Nya sebanyak tiga kali. Hanya di dalam ayat ini, Kristus tidak memanggil-Nya sebagai Allah. Sementara, dua lainnya, Dia menyebut-Nya Bapa (Abba). Ada jarak, ada sebuah keterasingan di sini.

"Ya Tuhanku", secara harfiah, "Mengapa Engkau meninggalkan Aku?" Ada bagian dalam Amsal 8:30 di mana Yesus berkata, "Saya setiap hari menyenangkan-Nya." Yesus tidak pernah tahu waktu dimana Dia tidak menyenangkan Bapa, bahkan sebelum dunia dijadikan. Persekutuan Kristus dengan Bapa tidak pernah rusak. Tapi sekarang Dia mengalami itu! Tapi lebih jauh, perhatikan kata "ditinggalkan". Ini adalah kata yang sama yang digunakan Paulus ketika ia ditinggalkan oleh Demas di II Timotius 4:10, "Sekarang Demas telah meninggalkan aku." Kata yang sama digunakan untuk Bapa di sini. "Dia meninggalkan Aku." Tapi kenapa Bapa meninggalkan Kristus?

Ada dua ayat yang menjawab pertanyaan, “Mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Dalam 2 Korintus 5:21, Paulus mengatakan, “Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah.” Allah Bapa membuat Allah Anak yang tidak mengenal dosa menjadi dosa atas nama kita. 

Mengapa? Supaya kita dibenarkan oleh Allah di dalam Kristus. Pada saat Kristus tergantung di kayu salib semua dosa dunia ditumpahkan kepada Yesus dan Kristus menanggung dosa seluruh dunia. Semua dosa manusia dari awal sampai akhir berada di sebuah titik ketika ditanggung oleh Kristus. Allah membuat Yesus Kristus menanggung dosa-dosa, ditumpahkan ke atas-Nya segala dosa dunia, dituangkan kepada orang yang tidak mengenal dosa.

Mazmur 22:3 memberitahu kita mengapa Allah Bapa tidak bisa memiliki persekutuan dengan-Nya, “Engkaulah Yang Kudus yang bersemayam di atas puji-pujian orang Israel.” Jadi ketika Yesus menanggung dosa dunia, ketika Allah meletakkan kepada-Nya segala kejahatan, maka Bapa yang kudus tidak bisa bersekutu dengan Anak-Nya, melainkan berbalik dari-Nya. Ada keterasingan, sehingga sangat berat bagi Kristus menanggung dosa dunia sendirian tanpa kehadiran Bapa. Sendirian! Dia menanggung semua dosa seluruh dunia! 

Meskipun Allah Bapa hanya meninggalkan untuk sementara waktu, tetapi beban dosa yang begitu berat membuat diri-Nya mengalami perasaan terasing. Salib membuat Kristus menderita, tetapi itulah rencana Allah untuk menyatakan kasih-Nya dalam menyelamatkan orang berdosa. Seperti yang dikatakan William Barclay, bahwa “salib merupakan bagian dari rencana Allah, karena salib merupakan satu-satunya tempat di dunia, di mana pada satu saat, kita menyaksikan kasih Allah yang abadi.

Makna sepenuhnya dari seruan ini tidak dapat diselami. Namun tentu hal yang pokok bukanlah penderitaan jasmaniah, tetapi kenyataan bahwa untuk sesaat Yesus dijadikan dosa demi kita (2Korintus 5:21); dan waktu menjalani hukuman menggantikan orang berdosa, Dia dikutuk Allah (Galatia 3:13). Allah sebagai Bapa tidak meninggalkan diri-Nya (Lukas 23:46); tetapi Allah sebagai Hakim harus memisahkan diri dari Dia apabila Yesus akan mengalami kematian rohani menggantikan manusia berdosa. Satu perasaan terpisah yang kuat terjadi dalam peristiwa salib ini. Kristus sebagai Anak Manusia harus terpisah dan terasing dari Allah Bapa, karena apa yang telah ditanggung-Nya di atas kayu salib. 

Di sini Yesus harus menanggung dosa seluruh dunia, dan bahkan Allah Bapa harus berpaling dari Yesus yang menanggung kutukan dan mengidentifikasi diri-Nya dengan dosa-dosa seluruh dunia. Keterasingan yang jelas melukiskan perasaan Kristus sebagai Anak Manusia, yang harus menjalankan rencana ilahi di dalam kehidupan-Nya sebagai manusia. Leon Morris menyimpulkan, “maka ini pasti berarti bahwa Ia telah menyelamatkan orangorang berdosa dengan mengambil alih tempat mereka.

Relevansi Penderitaan Kristus

Melalui peristiwa penderitaan Kristus di atas kayu salib, ada beberapa prinsip yang sangat relevan dalam kehidupan orang percaya. Prinsip-prinsip ini akan menjadi pegangan dalam menghadapi penderitaan dalam kehidupan orang percaya.

Penderitaan Adalah Pergumulan Bersama Allah Dalam penderitaan-Nya Kristus berkata kepada Allah, “Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki." (Matius 26:39). Kehendak Allah adalah satu tujuan ilahi yang telah ditetapkan Allah bagi Anak-Nya. Rencana keselamatan bagi manusia ditetapkan Allah hanya melalui Kristus yang harus berinkarnasi, menderita dan mati untuk menebus dosa. Dan untuk menggenapi tujuan Allah itu tidak mudah, Kristus sendiri harus bergumul di Taman Getsemani. Sebagai manusia, Kristus meminta Allah Bapa membatalkan rencana keselamatan itu, karena betapa pahitnya cawan yang harus Dia minum, “biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku.”

Cawan yang pahit adalah penderitaan yang harus Kristus jalani. Penderitaan yang akan mengalami puncaknya di bukit Golgota. Salib adalah cawan yang harus Kristus minum. Di taman Getsemani Cawan ini tidak ingin Ia minum. Karena Yesus tahu, cawan ini begitu pahit. Tetapi Yesus lebih taat kepada Bapa daripada taat kepada keinginan-Nya sendiri, “Ya Bapa-Ku jikalau cawan ini tidak mungkin lalu, kecuali apabila Aku meminumnya, jadilah kehendak-Mu!" (Matius 26:42).

Ini sama halnya dengan penderitaan yang harus dijalani oleh orang-orang percaya. Semua manusia pada umumnya menolak untuk menderita. Tetapi kenyataannya, semua orang percaya akan menderita. Karena Kristus berkata, “Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala” (Matius 10:16). Orang percaya digambarkan seperti seekor domba dan diutus Tuhan untuk tinggal ditengah-tengah serigala yang siap menelan, memangsa dan menjadikan kita korbannya. Ini berarti penderitaan sudah menjadi bagian dari kehidupan orang percaya. Kita tidak bisa menghindari penderitaan.

Kristus sendiri mengalami pergumulan yang sangat berat di taman Getsemani. Karena Kristus tahu penderitaan salib sudah menunggu Dia. Kristus sudah bisa membayangkan apa yang akan terjadi dengan diri-Nya dalam penderitaan salib. Tetapi keyakinan-Nya kepada Allah Bapa membuat Kristus setelah bergumul di Taman Getsemani bersemangat menghadapi penderitaan salib-Nya, “Lihat, saatnya sudah tiba, bahwa Anak Manusia diserahkan ke tangan orang-orang berdosa. Bangunlah, marilah kita pergi. Dia yang menyerahkan Aku sudah dekat." (Matius 26:45-46).

Bagaimana Kristus bisa mengalahkan ketakutan-Nya untuk menerima cawan penderitaan-Nya? Apa yang membuat Kristus bergairah menghadapi penderitaan-Nya, padahal baru saja Ia berdoa agar Bapa melalukan cawan pahit itu?

“Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan: roh memang penurut, tetapi daging lemah" (Mat. 26:41). Pernyataan Yesus ini memberikan gambaran apa yang seharusnya dilakukan oleh orang percaya ketika sedang menghadapi sebuah penderitaan.

Penderitaan dapat dihadapi dengan cara bergumul dengan Allah untuk mendapatkan kekuatan. Yesus mampu mengatasi kesedihan-Nya karena mendapatkan kekuatan dari Allah. Ketika Yesus bergumul dengan Allah, Alkitab mengatakan, “Maka seorang malaikat dari langit menampakkan diri kepada-Nya untuk memberi kekuatan kepada-Nya.” (Lukas 22:43).

Setelah mendapatkan kekuatan dari sorga, Yesus pun membagikan kekuatan-Nya berupa dorongan kepada murid-murid-Nya untuk bergumul dengan Allah. Salah satu bukti kebesaran Yesus dan kasih sayang-Nya, adalah bahwa dalam menghadapi Salib, Dia masih memikirkan murid-murid-Nya yang lebih rendah pencobaannya - dan mendorong mereka untuk mencari kekuatan dari Allah Bapa

Ayat ini memberikan teladan Kristus dalam menghadapi penderitaan salib-Nya, yaitu: Pertama, Yesus mengabaikan kehinaan penderitaan salib. Kata “kehinaan” ini berasal dari kata Yunani aiskhunes yang juga berarti “rasa malu, aib, cela dan penghinaan.” Artinya bahwa penderitaan salib yang dianggap manusia pada masa itu sebuah aib dan sebuah kehinaan yang mendatangkan rasa malu, diabaikan oleh Kristus. 

Bahkan Paulus mengatakan bahwa salib adalah kutuk, ”Kristus telah menebus kita dari kutuk hukum Taurat dengan jalan menjadi kutuk karena kita, sebab ada tertulis: "Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib!" (Gal. 3:13). Tujuannya jelas, “Yesus Kristus telah membuat ini, supaya di dalam Dia berkat Abraham sampai kepada bangsabangsa lain, sehingga oleh iman kita menerima Roh yang telah dijanjikan itu.” (Galatia 3:14). Kristus mengabaikan semua penderitaan salib-Nya, karena hidupnya ditujukan kepada tujuan Allah Tritunggal, agar semua bangsa menerima anugerah keselamatan di dalam Yesus yang dimeteraikan oleh Allah Roh Kudus. Tujuan ilahi menjadi prioritas Yesus, sehingga Dia mengabaikan semua penderitaan salib-Nya.

Kedua, Yesus tekun memikul penderitaan salib-Nya. Kata tekun diulang dua kali oleh penulis kitab Ibrani, “tekun memikul salib” dan “tekun menanggung bantahan yang sehebat itu terhadap diri-Nya.” Kata Yunani (upemeinen) berarti “bertahan, tinggal dan menunggu.” Dalam penderitaan salib-Nya, Yesus bertahan untuk menunggu sampai tuntas rencana Allah itu. Jadi, dapat disimpulkan, setelah Yesus mengetahui tujuan di balik penderitaan salib-nya, Yesus bertahan sampai tujuan itu tercapai. Sehingga di akhir penderitaan salib-Nya, Yesus berkata, “tetelestai!”

Yesus menyelesaikan misi penyelamatan dunia dengan tetap bertahan dalam penderitaan salib-Nya. Penderitaan dan cemooh diabaikan untuk sebuah tujuan ilahi. Yesus bertahan dalam penderitaan salib-Nya untuk keselamatan kita semua. Itu membuktikan betapa Yesus mengasihi gereja dan betapa orang percaya sangat berharga bagi Dia

Penderitaan Adalah Anugerah Allah

Penderitaan bukanlah kata asing dalam kehidupan orang percaya, tetapi sebuah karunia dari Allah, karena Kristus sendiri mengalaminya. Sehingga Paulus juga menuliskan hal ini dalam suratnya kepada jemaat di Filipi, “Sebab kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus, melainkan juga untuk menderita untuk Dia” (Filipi 1:29).

Karunia Allah adalah sempurna. Semua orang percaya telah banyak menerima karunia dari Allah. Salah satu karunia Allah adalah “penderitaan.” Menderita bagi Yesus Kristus (“demi-Nya’) adalah hak istimewa yang diberikan Allah kepada orang percaya. Kata “dikaruniakan” diterjemahkan dari kata Yunani “ekharisthe” yang berasal dari kata “kharis” yang berarti “kasih karunia.” Paulus melihat bahwa penderitaan demi Yesus Kristus adalah sebuah anugerah Allah. Paulus telah mengalami penderitaan sepanjang pelayanannya. Dan jemaat Filipi telah melihat hal yang terjadi dalam kehidupan pelayanan Paulus. Paulus menderita karena melayani Kristus, tetapi penderitaan itu dianggap Paulus sebagai anugerah Allah.

Dalam pengalaman penderitaannya, Paulus melihat penderitaan adalah salah satu alat Allah untuk membentuk anak-anak-Nya dan yang akan membawa kemuliaan bagi anak-anak-Nya (Yakobus 1:3-4; 1Petrus 1:6-7). Penulis kitab Ibrani juga memberikan gambaran tentang penderitaan sebagai anugerah Allah kepada anak-anak-Nya, “Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkanNya; karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak… Memang tiap-tiap ganjaran pada waktu ia diberikan tidak mendatangkan sukacita, tetapi dukacita. Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya. " (Ibrani 12:5-6, 11).

Dari ayat Firman Tuhan dalam kitab Ibrani ini, ada beberapa kebenaran bahwa penderitaan adalah sebuah anugerah dari Allah:

Pertama, penderitaan adalah metode Allah di dalam mendidik anak-anak-Nya. Kata “menghajar” dan “menyesah” adalah cara yang dipakai Allah untuk mendidik orang percaya. Ungkapan orang tua dan anak, mengindikasikan bahwa Allah akan berlaku sebagai Bapa ketika mendidik anak-anak-Nya. Bahkan, setiap anak Tuhan harus dididik dalam cara Allah, “Tetapi, jikalau kamu bebas dari ganjaran, yang harus diderita setiap orang, maka kamu bukanlah anak, tetapi anak-anak gampang.” (Ibrani 12:8). Dan ayat ini menegaskan bahwa setiap orang yang tidak dididik dalam cara Allah, bukanlah anak Allah yang sah. Anak Allah yang sah, harus menerima anugerah penderitaan di dalam hidupnya.

Di dalam didikan Allah, setiap orang percaya diproses untuk menjadi manusia rohani yang sempurna. Dan hanya melalui penderitaan, setiap orang percaya disempurnakan di dalam kerohaniannya, “Allah yang membawa banyak orang kepada kemuliaan, juga menyempurnakan Yesus, yang memimpin mereka kepada keselamatan, dengan penderitaan.” (Ibrani 2:10).

Kedua, penderitaan adalah cara Allah untuk melatih anak-anak-Nya. Kata Yunani gumnazo berarti dilatih atau ditraining dengan disiplin. Perkataan Yesus di Taman Getsemani mengatakan bahwa, “roh memang penurut, tetapi daging lemah" (Matius 26:41). Berarti kerohanian kita harus dilatih dalam kedisiplinan. Hanya di dalam penderitaan Allah sangat efektif untuk melatih sendi-sendi rohani kita

Allah sedang melatih orang percaya untuk bisa meloncat lebih tinggi dari iman mereka saat ini. Penderitaan menjadi sarana Allah untuk melatih otot-otot rohani umatNya. Orang percaya tersiksa di dalam penderitaan. Tetapi ketika orang percaya mau bertahan dan terus bertahan, otot-otot rohani mereka mulai terbentuk. Kerohanian orang percaya menjadi kuat dan semakin kuat, untuk gereja dipakai menjadi alat kemuliaan-Nya. 

Paulus mengatakan bahwa, “Latihan badani terbatas gunanya, tetapi ibadah itu berguna dalam segala hal, karena mengandung janji, baik untuk hidup ini maupun untuk hidup yang akan datang” (1Timotius 4:8). Proses pelatihan kepada tubuh rohani, hasilnya tidak hanya untuk saat orang percaya masih hidup, tetapi untuk sebuah kekekalan. Oleh karena itu, orang percaya harus tetap bersemangat dalam latihan manusia rohani! Gereja harus tetap bergairah dalam pekerjaan Tuhan! Hasil yang akan gereja capai tidak akan mengecewakan, seperti yang dijanjikan Firman Tuhan, “Memang tiap-tiap ganjaran pada waktu ia diberikan tidak mendatangkan sukacita, tetapi dukacita. Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya” (Ibrani 12:11).

Dan penulis kitab Ibrani memberikan semangat untuk orang percaya terus berjuang sampai rencana Allah digenapi dalam hidup mereka. “Sebab itu kuatkanlah tangan yang lemah dan lutut yang goyah; dan luruskanlah jalan bagi kakimu, sehingga yang pincang jangan terpelecok, tetapi menjadi sembuh.” (Ibr. 12:12-13).

Penderitaan Mendatangkan Kebaikan Dalam setiap penderitaan ada tujuan ilahi di dalamnya, dengan tujuan untuk membangun karakter Kristus di dalam hidup orang percaya. Seperti yang dikatakan Paulus kepada jemaat Roma, “Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah” (Roma 8:28). Allah bukan penyebab penderitaan kita, tetapi Allah bekerja di dalam penderitaan kita dengan tujuan mendatangkan kebaikan. Seluruh Kitab Suci, menyajikan Allah sebagai yang Pribadi yang berdaulat atas segala urusan kehidupan. Dalam bagian ini Paulus mau mengatakan bahwa Allah mengijinkan semua peristiwa kehidupan menghampiri kehidupan orang percaya yang akan berujung pada kemuliaan bagi anak-anak-Nya (lih. 29-30).

"Dalam segala sesuatu" dalam konteks ini, termasuk penderitaan dalam pengalaman orang percaya. Ayat ini tidak mengatakan bahwa Allah menyebabkan segala sesuatu. Dia mengizinkan “segala sesuatu”, tapi tidak menyebabkan “segala sesuatu” yang terjadi dalam hidup orang percaya. Oleh karena itu ketika sebuah tragedi hadir dalam hidup orang percaya, orang percaya selayaknya tidak menyimpulkan bahwa ini adalah salah satu dari "segala sesuatu", yang disebabkan oleh Allah. 

Sebaliknya, ayat ini mengatakan bahwa Allah mendatangkan kebaikan dari “segala sesuatu” ini, bahkan sebuah tragedi sekalipun, bagi orang percaya. Sedangkan penyebab tragedi dalam hidup orang percaya adalah Setan, pilihan untuk berdosa dari diri manusia sendiri, dan konsekuensi dari hidup dalam dunia yang penuh dosa. Meskipun Tuhan mengizinkan atau memungkinkan hal-hal buruk terjadi, Alkitab tidak pernah menyalahkan hal ini pada Tuhan, dan orang percaya pun harus berfikir demikian.

Allah merancangkan kehidupan bagi orang percaya dari sisi kerohaniannya, walau pun orang percaya hidup dalam tubuh jasmani. Orientasi Allah dalam kehidupan orang percaya adalah kepada manusia rohani, karena tubuh jasmani ini akan binasa. Sehingga akan ada pertentangan dalam hidup orang percaya antara kehidupan jasmani dan kehidupan rohani, atau yang disebut Paulus: keinginan daging dan keinginan Roh. Dalam suratnya kepada jemaat Galatia, 

Paulus menegaskan hal ini, “sebab keinginan daging berlawanan dengan keinginan Roh dan keinginan Roh berlawanan dengan keinginan daging karena keduanya bertentangan sehingga kamu setiap kali tidak melakukan apa yang kamu kehendaki” (Galatia 5:17). Pengikisan keinginan daging hanya bisa terjadi melalui proses penderitaan, “Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu yang jauh lebih tinggi nilainya dari pada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya.” (1Petrus 1:7)

"Baik" adalah apa yang baik dari sudut pandang Allah. Satu hal yang perlu digarisbawahi oleh orang percaya yaitu bahwa Allah itu baik! Nabi Yeremia menyerukan hal ini kepada orang-orang Israel yang telah dibuang Allah ke negeri Babel. Umat Allah ini dibuang karena mereka tidak menghormati Allah, mereka hidup sesuai dengan keinginan mereka yang jahat, mereka menyembah berhala, mereka membelakangi Allah dan mereka tidak pernah mau meresponi kebenaran Firman Tuhan yang disampaikan oleh nabi-nabi Tuhan. 

Allah mengijinkan bangsa Babel menghancurkan negeri umat-Nya dan membawa umat-Nya untuk menjadi tawanan bangsa asing, karena Allah mengasihi umatNya. Agar mereka diproses untuk menjadi pribadi-pribadi yang mengasihi Allah dan menjadi berkat bagi bangsa-bangsa. Sehingga Yeremia berseru kepada umat Allah yang sedang diproses Allah untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka, ”Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!... TUHAN adalah baik bagi orang yang berharap kepada-Nya, bagi jiwa yang mencari Dia” (Rat. 3: 22-23, 25). Sejarah membuktikan, setelah masa pembuangan itu, bangsa Israel tidak pernah lagi menyembah siapa pun selain Allah

Proses kebaikan yang saat ini sedang dijalani oleh orang percaya mungkin sangat berat dan menyakitkan, tetapi hal yang terbaik Allah sedang kerjakan di dalam hidup orang percaya. Iman, pengharapan dan kasih kepada Allah sedang disempurnakan. Gereja harus terus mengucap syukur! Gereja harus terus percaya bahwa potensi yang terbaik di dalam diri orang percaya sedang dikeluarkan Allah, dan caranya hanya melalui penderitaan ini. Gereja harus tetap bertahan dalam penderitaan ini. Penulis kita Ibrani mengatakan, “Memang tiap-tiap ganjaran pada waktu ia diberikan tidak mendatangkan sukacita, tetapi dukacita. Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya. Sebab itu kuatkanlah tangan yang lemah dan lutut yang goyah; dan luruskanlah jalan bagi kakimu, sehingga yang pincang jangan terpelecok, tetapi menjadi sembuh” (Ibrani 12:11-13)

"Mereka yang mengasihi Allah" Paulus menggambarkan mereka dari sisi ilahi sebagai orang pilihan Allah, "orang-orang yang mengasihi Allah" harus mengacu pada semua orang percaya (lih 1Yohanes 4:19). Ayat ini menegaskan kembali bahwa setiap orang percaya harus dimurnikan imannya, agar kebaikan Allah dinikmati setelah proses itu berjalan. Pemurnian iman itu memang sangat penting untuk menghasilkan manusiamanusia rohani yang tidak bercela dan bercacat di hadapan Allah. Kebenaran dari Firman Tuhan ini adalah bahwa setiap orang yang mengasihi Allah atau setiap orang percaya harus diproses kerohaniannya oleh Allah. Seperti yang ditegaskan oleh penulis kitab Ibrani, “karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakuiNya sebagai anak" (Ibr. 12:6).

“Terpanggil sesuai dengan rencana Allah” mengacu kepada tujuan Allah bagi setiap pribadi. Alkitab mengatakan bahwa rancangan Allah adalah, “rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan” (Yeremia 29:11). Setiap pribadi orang percaya dipanggil Allah untuk menikmati setiap rancangan-Nya. Tetapi dalam setiap rancangan-Nya, 

Allah selalu mendidik orang percaya untuk selalu memprioritaskan tujuan Allah dalam hidupnya. Tujuan Allah jelas untuk menyelamatkan manusia ciptaan-Nya di dalam Kristus melalui seluruh aspek hidup orang percaya. Sehingga Allah terus memproses hidup orang percaya untuk menjadi alat yang sempurna di tangan-Nya. Banyak sekali yang Allah buang dari diri orang percaya karena tidak berkenan dengan Pribadi dan tujuan-Nya. Proses ini memang menyakitkan bagi orang percaya, tetapi Allah tetap mengedepankan segala proses hidup orang percaya bagi rencana keselamatan-Nya

Oleh karena itu, jangan patah semangat ketika orang percaya sedang mengalami proses pembentukan-Nya. Sabarlah dalam penderitaan dan tetaplah bergairah bersama dengan Allah, sehingga proses pembentukan itu berjalan sesuai dengan rencana Allah.

Penderitaan Ada Dalam Kendali Allah

Dalam setiap penderitaan orang-orang percaya, Allah tetap memegang kendali. Tidak akan pernah mungkin Allah membiarkan anak-anak-Nya menderita tanpa ada jalan keluar. Hal ini juga dikatakan oleh Paulus kepada jemaat Korintus, “Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya” (1Korintus 10:13).

Pencobaan yang dialami oleh setiap orang percaya adalah pencobaan biasa. Semua orang pasti akan mengalami sesuatu yang bernama masalah. Masalah akan selalu ada dalam kehidupan semua manusia, termasuk orang-orang percaya. Pencobaan-pencobaan itu adalah pencobaan biasa, karena setiap hari orang percaya diperhadapkan dengan setiap persoalan. Semua manusia di bumi, siapa pun dia, latar belakang apa pun dia, harus menghadapi persoalan setiap hari. Besar kecil masalah tergantung siapa yang mengukurnya, tetapi TUHAN yang mengijinkan masalah itu datang dalam hidup orang percaya, sangat TAHU batas kekuatan setiap anak-anak-Nya

Persoalan yang datang setiap hari, pada akhirnya membuat orang percaya terbiasa dengan masalah. Masalah bukan lagi sesuatu yang luar biasa. Pengalaman pertama dengan masalah yang membuat setiap orang percaya mengalami kekagetan masalah (shock problem). Respon setiap manusia terhadap masalah pasti adalah ungkapan perasaan mereka. Tetapi ketika pengalaman kedua, ketiga dan seterusnya, akhirnya orang percaya akan menganggap bahwa masalah yang dihadapi oleh orang percaya adalah masalah biasa. Tidak ada yang luar biasa dari masalah manusia. Jadi, jangan takut menghadapi persoalan

Pencobaan-pencobaan yang dialami oleh orang percaya tidak melebihi kekuatan manusia. Allah menjamin hal itu. Persoalan-persoalan yang dihadapi oleh setiap orang percaya selalu disaring oleh Allah terlebih dahulu. Kisah Ayub membuktikan kebenaran ini. Ayub 1:9-12 menceritakan kedatangan Iblis kepada Allah untuk mengijinkan ia merusak kehidupan Ayub. Lalu jawab Iblis kepada TUHAN: "Apakah dengan tidak mendapat apa-apa Ayub takut akan Allah? Bukankah Engkau yang membuat pagar sekeliling dia dan rumahnya serta segala yang dimilikinya? Apa yang dikerjakannya telah Kauberkati dan apa yang dimilikinya makin bertambah di negeri itu. Tetapi ulurkanlah tangan-Mu dan jamahlah segala yang dipunyainya, ia pasti mengutuki Engkau di hadapan-Mu." Maka firman TUHAN kepada Iblis: "Nah, segala yang dipunyainya ada dalam kuasamu; hanya janganlah engkau mengulurkan tanganmu terhadap dirinya." Ada bagian tertentu dalam hidup Ayub yang tidak boleh dijamah oleh Iblis. 

Penegasan firman Tuhan ini menjadi satu bukti yang kuat bahwa Allah tetap memegang kendali atas segala persoalan yang dihadapi oleh orang percaya. Ayub mengalami persoalan yang sangat-sangat berat, tetapi dalam dunia rohani Allah tetap mengontrol kehidupan hambaNya yang setia. Allah selalu siap untuk memberikan perlengkapan rohani bagi anak-anakNya yang sedang menderita. Orang percaya harus terus menguatkan dan meneguhkan iman, karena setiap orang percaya tidak pernah sendiri ketika sedang mengalami persoalan yang berat sekali pun. Allah selalu bersama dengan anak-anak-Nya.

Dalam kesetiaan-Nya Allah tidak akan membiarkan orang percaya dicobai melampaui kekuatannya, Allah akan memberikan jalan keluar. Jaminan Allah atas setiap persoalan yang dihadapi oleh orang percaya ialah Allah selalu mempersiapkan jalan keluar untuk setiap persoalan anak-anak-Nya. Allah tidak pernah kehabisan cara untuk menolong anak-anak-Nya dari setiap persoalan. Yang perlu dilakukan oleh orang percaya ketika sedang menghadapi persoalan adalah tetap tenang dan sabar menanti pertolongan Tuhan. 

Yakobus menegaskan hal ini, “Karena itu, saudara-saudara, bersabarlah sampai kepada kedatangan Tuhan! Sesungguhnya petani menantikan hasil yang berharga dari tanahnya dan ia sabar sampai telah turun hujan musim gugur dan hujan musim semi. Kamu juga harus bersabar dan harus meneguhkan hatimu, karena kedatangan Tuhan sudah dekat! Saudara-saudara, janganlah kamu bersungut-sungut dan saling mempersalahkan, supaya kamu jangan dihukum. Sesungguhnya Hakim telah berdiri di ambang pintu. Saudarasaudara, turutilah teladan penderitaan dan kesabaran para nabi yang telah berbicara demi nama Tuhan. Sesungguhnya kami menyebut mereka berbahagia, yaitu mereka yang telah bertekun; kamu telah mendengar tentang ketekunan Ayub dan kamu telah tahu apa yang pada akhirnya disediakan Tuhan baginya, karena Tuhan maha penyayang dan penuh belas kasihan” (Yakobus 5:7-11).

Baca Juga: Matius 27:46 (Eli, Eli Lama Sabakhani)

Setiap orang percaya harus menghadapi setiap persoalan dengan keyakinan ini bahwa Allah tetap memegang kendali atas setiap persoalan hidupnya. Keyakinan inilah yang akan membuat orang percaya tetap bersemangat menjalani kehidupan ini.

KESIMPULAN

Setiap orang percaya ketika sedang mengalami penderitaan, jangan pernah mengeluh dan lari dari persoalan iman. Tetapi, yang terbaik adalah bertanya dalam doa, “apa tujuan penderitaan ini bagi saya, ya Tuhanku?” maka yang terbaik Allah akan berikan dalam hidup anak-anak-Nya.

Allah adalah Perancang yang sempurna atas kehidupan anak-anak-Nya. Oleh karena itu, ketika orang percaya sedang menderita tetaplah bersukacita dan bersyukur kepada Allah. Karena Allah sedang merancangkan sesuatu yang besar dan luar biasa atas hidup orang percaya. Setiap orang percaya harus memiliki semangat yang tidak pernah mau menyerah dan kalah oleh persoalan apa pun dalam hidup. Allah tidak pernah gagal dalam rancangan-Nya untuk hidup anak-anak-Nya!

Biarlah setiap orang percaya terus berjuang dalam kehidupan iman percayanya walau diperhadapkan dengan begitu banyak penderitaan. Keyakinan bahwa Allah selalu memiliki tujuan dibalik setiap persoalan yang Ia ijinkan masuk dalam kehidupan anakanak-Nya, membuat setiap orang percaya bisa menikmati perjalanan imannya bersama dengan Dia dan tetap bersemangat menyelesaikan tugas yang dipercayakan Allah kepadanya

Perjalanan penderitaan Kristus di atas kayu salib begitu berat, tetapi Kristus tetap mau menyelesaikan misi penyelamatan-Nya bagi manusia berdosa. Keteladanan Kristus inilah yang harus menjadi motivasi, inspirasi obsesi pelayanan setiap orang percaya. Sehingga di akhir tugas pelayanan yang Allah telah berikan, setiap orang percaya bisa berkata, ”Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman. Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, Hakim yang adil” (2 Timotius 4:7-8)
Next Post Previous Post