SIFAT DASAR ALLAH: HAKIKAT ALLAH
Oleh: Henry Clarence Thiessen.
Pasal ini berkaitan dengan sifat-dasar Allah, dengan rujukan khusus kepada hakikat Allah.
I. HAKIKAT ALLAH
Istilah-istilah "hakikat" dan "zat" praktis sinonim bila dipakai untuk Allah. Keduanya dapat didefinisikan sebagai yang melandasi semua perwujudan keluar; kenyataan itu sendiri baik yang bendawi maupun yang tidak bendawi; dasar dari segala sesuatu; di dalamnya semua sifat berada.
Teofani merupakan penampakan ilahi yang dapat dilihat oleh mata jasmaniah. Yakub berkata setelah bergumul dengan seseorang, "Aku telah melihat Allah berhadapan muka" (Kejadian 32:30). "Malaikat Tuhan" merupakan penampakan ilahi yang dapat dilihat oleh mata jasmaniah (Kejadian 16:7-14; 18:13-33; 22:11-18; Keluaran 3:2-5; Hakim-Hakim 6:11-23; I Raja-Raja 19:5-7; II Raja- Raja 19:35). Perlu diperhatikan bahwa dalam beberapa ayat di atas "malaikat Allah" diidentifikasikan sebagai "Tuhan" (misalnya Kejadian 16:11 dengan ayat 13; Keluaran 3:2 dengan ayat 4; Hakim- Hakim 6:12 dengan ayat 16).
3. Allah itu hidup.
Pengertian tentang roh meniadakan bukan saja kesan adanya zat bendawi, tetapi juga meniadakan pengertian mengenai adanya zat yang tidak hidup. Ini berarti bahwa Allah hidup. Dengan demikian Allah disebut sebagai "Allah yang hidup" (Yosua 3:10; I Samuel 17:26; Mazmur 84:3; Matius 16:16; I Timotius 3:15; Wahyu 7:2).
Hidup menandakan adanya perasaan, kuasa, dan kegiatan. Allah memiliki semua ini (Mazmur 115:3). Allah juga merupakan sumber dan pemelihara segenap kehidupan yang ada: tanaman, hewan, manusia, rohani, dan kekal (Mazmur 36:10; Yohanes 5:26). Allah yang hidup sering dibandingkan dengan berhala- berhala yang mati (Mazmur 115:3-9; Kisah 14:15; I Tesalonika 1:9). Allah kita hidup; Ia melihat, mendengar, dan mengasihi. Berhala ciptaan orang kafir itu mati, tidak mampu melihat, mendengar, dan mengasihi.
4. Allah itu berkepribadian.
Hegel serta para filsuf idealistis lainnya salah ketika mengajarkan bahwa Allah itu roh yang tak berkepribadian, karena pengertian roh itu sendiri mengandung juga pengertian akan adanya kepribadian. Terlepas dari Alkitab maka satu-satunya cara untuk menetapkan seperti apa roh itu ialah melalui analogi dengan roh manusia. Karena roh manusia itu berkepribadian, maka pastilah Roh ilahi juga berkepribadian sebab kalau tidak Roh ilahi lebih rendah tingkatannya dari roh manusia.
Di dalam manusia, kepribadian dan kejasmanian bersatu dalam satu orang selama ia hidup di dunia ini, namun setelah orang itu mati maka hubungan tersebut putus; tubuh jasmani menjadi rusak, sedangkan kepribadian tetap ada. Pada saat kebangkitan kepribadian tersebut akan memperoleh tubuh jasmani yang baru lagi sehingga keadaan fisik manusia yang normal dipulihkan. Akan tetapi, di dalam Tuhan ada kepribadian tanpa tubuh jasmaniah. Kalau begitu apakah hakikat kepribadian Allah? Kesadaran diri dan kemampuan membuat ke- putusan sendiri.
Kesadaran diri itu lebih dari kesadaran biasa. Sebagai makhluk yang sadar, manusia kadang-kadang memiliki perasaan dan keinginan yang tidak dikaitkan dengan dirinya sendiri. Manusia berpikir secara spontan, namun tidak memikirkan apa yang dipikirkannya. Binatang mungkin saja mempunyai taraf kesadaran yang rendah. Namun sebagai makhluk yang sadar-diri, manusia mengaitkan perasaan, keinginan, dan pikirannya dengan dirinya sendiri.
Demikian pula, kemampuan membuat keputusan sendiri lebih dari sekadar membuat keputusan. Hewan bisa membuat keputusan, namun hal itu terjadi berdasarkan naluri. Manusia memiliki perasaan kebebasan dan menentukan pilihannya di dalam dirinya sendiri, dengan mempertimbangkan motif dan tujuan. Alkitab mengaitkan kesadaran diri (Keluaran 3:14; Yesaya 45:5; I Korintus 2:10) dan kemampuan membuat keputusan sendiri (Ayub 23:13; Roma 9:11; Efesus 1:9, 11; Ibrani 6:17) dengan Allah. Allah dapat berkata "Aku" (Keluaran 20:2-3) dan dapat menanggapi ketika disapa sebagai "Engkau" (Mazmur 90).
Alkitab juga mengatakan bahwa Allah memiliki ciri-ciri psikologis dari kepribadian: Intelek (Kejadian 18:19; Keluaran 3:7; Kisah 15:18), perasaan (Kejadian 6:6; Mazmur 103:8-14; Yohanes 3:16), dan kemauan (Kejadian 3:15; Mazmur 115:3; Yohanes 6:38). Selanjutnya, Alkitab menyebutkan bahwa Allah memiliki aspek-aspek kepribadian lainnya. Allah ditampilkan sebagai berbicara (Kejadian 1:3), melihat (Kejadian 11:5), mendengar (Mazmur 94:9), berduka (Kejadian 6:6), menyesal (Kejadian 6:6), marah (Ulangan 1:37), cemburu (Keluaran 20:5), dan iba (Mazmur 111:4). Allah disebut sebagai pencipta (Kisah 14:15), penopang alam semesta (Nehemia 9:6), penguasa (Mazmur 75:8; Daniel 4:32), dan pemelihara (Mazmur 104:27-30; Matius 6:26-30) segala sesuatu.
Bagaimanapun juga, kita harus membedakan antara kepribadian hakikat itu dengan kepribadian berbagai bagian yang menjadi hakikat itu. Jelas sekali, hakikat itu tidak mungkin pada saat yang sama merupakan tiga oknum dan juga satu oknum bila istilah "oknum" itu digunakan dengan makna yang sama dalam kedua pemakaian di atas; namun hakikat itu dapat, dan memangnya demikian, merupakan tiga oknum dan sekaligus satu oknum. Adanya tiga oknum yang berbeda dalam ke-Allahan menghasilkan kesadaran diri dan kemampuan membuat keputusan sendiri dari Allah yang esa; namun masing-masing dari ketiga oknum itu juga memiliki kesadaran diri dan kemampuan membuat keputusan sendiri.
B. ADA DENGAN SENDIRINYA
Walaupun sumber keberadaan manusia berada di luar dirinya sendiri, keberadaan Allah tidak bergantung pada apa pun di luar diri- Nya. Sebagaimana dikatakan oleh Thomas dari Aquino, "Ia adalah penyebab pertama; Dia sendiri tidak ada penyebabnya." Bahwa Dia ada dengan sendirinya tersirat dari kesaksian-Nya, "Aku adalah Aku" (Keluaran 3:14; lihat juga "Aku ada" dari ajaran Kristus tentang diri-Nya sendiri, Yohanes 8:58; Yesaya 41:4; Wahyu 1:8), dan sebagaimana umumnya dikenal dengan nama "Tuhan" atau "Yehova" (Keluaran 6:3).
Sekalipun demikian perihal ada dengan sendirinya Allah itu tidak berasal dari kehendak-Nya, tetapi merupakan sifat-dasar-Nya. Ia ada karena sifat-dasar-Nya demikian sebagai yang tidak memiliki penyebab. Tidaklah tepat untuk mengatakan bahwa Tuhan adalah penyebab diri-Nya sendiri karena bila demikian Ia akan memiliki kemampuan untuk menghancurkan diri- Nya sendiri.
C. KEBESARAN YANG TAK TERHINGGA
Allah tidak terbatas dalam ukuran tempat. Ia tidak dibatasi atau disekat oleh tempat; sebaliknya, segala tempat yang bersifat terbatas bergantung pada-Nya. Sesungguhnya, Allah melebihi tempat. Dengan jelas Alkitab mengajarkan kebesaran Allah yang tak terhingga ini (I Raja-Raja 8:27; II Tawarikh 2:6; Mazmur 113:4-6; 139:7-8; Yesaya 66:1; Yeremia 23:24; Kisah 17:24-28).
Pasal ini berkaitan dengan sifat-dasar Allah, dengan rujukan khusus kepada hakikat Allah.
I. HAKIKAT ALLAH
Istilah-istilah "hakikat" dan "zat" praktis sinonim bila dipakai untuk Allah. Keduanya dapat didefinisikan sebagai yang melandasi semua perwujudan keluar; kenyataan itu sendiri baik yang bendawi maupun yang tidak bendawi; dasar dari segala sesuatu; di dalamnya semua sifat berada.
Kedua istilah ini menunjuk kepada aspek dasar dari sifat-dasar Allah; bila tidak ada hakikat dan zat maka tidak mungkin ada sifat-sifat. Ketika berbicara mengenai Tuhan, berarti kita berbicara tentang suatu hakikat, suatu zat, dan bukan sekadar suatu gagasan atau personifikasi gagasan tertentu.
Karena terdapat perbedaan antara hakikat dan sifat-sifat Allah, maka kita diperhadapkan dengan soal bagaimana membedakan keduanya. Kami mengakui bahwa mungkin saja beberapa sifat tertentu sebenarnya bukan sifat samasekali tetapi aspek-aspek yang berbeda dari zat ilahi. Kerohanian, ada dengan sendirinya, kebesaran yang tak terhingga, dan kekekalan merupakan pokok-pokok yang dimaksudkan.
A. KEROHANIAN
Allah merupakan zat. Akan tetapi, Allah bukanlah zat bendawi, melainkan zat rohani. Yesus mengatakan "Allah itu Roh" (Yohanes 4:24). Pernyataan ini menetapkan sifat-dasar Allah sebagai rohani.
1. Allah tidak berbadan dan tidak berwujud.
Yesus mengatakan, "... roh [hantu] tidak ada daging dan tulangnya, seperti yang kamu lihat ada pada-Ku" (Lukas 24:39). Jika Allah adalah roh, maka dengan sendirinya Ia tidak berbadan dan tidak berwujud. Perintah kedua dari Sepuluh Perintah Allah yang melarang pembuatan segala jenis patung atau gambaran (Keluaran 20:4), dilandaskan pada keadaan Allah yang tidak berbadan. Demikian pula segala peraturan yang melarang penyembahan berhala (Imamat 26:1; Ulangan 16:22).
Akan tetapi, bagaimana dengan ungkapan-ungkapan yang menggambarkan Allah sebagai memiliki alat-alat tubuh: tangan (Yesaya 65:2; Ibrani 1:10), kaki (Kejadian 3:8), mata (I Raja-Raja 8:29; II Tawarikh 16:9), telinga (Nehemia 1:6; Mazmur 34:16)? Semua ini merupakan bentuk-bentuk pengungkapan yang bersifat antropo- morfik dan gambaran-gambaran yang simbolis yang dipakai untuk membuat Allah itu nyata dan juga untuk mengungkapkan berbagai minat, kuasa, dan kegiatan-Nya.
Manusia berbeda karena memiliki roh yang terbatas, yaitu roh yang dapat tinggal di dalam badan yang jasmaniah (I Korintus 2:11; I Tesalonika 5:23). Allah adalah roh yang tidak terbatas dan oleh karena itu tidak berwujud (Kisah 7:48, 49).
2. la tidak dapat dilihat.
Orang-orang Israel "tidak melihat sesuatu rupa" ketika Allah menampakkan diri kepada mereka di Gunung Horeb, karena itu mereka dilarang membuat patung Allah (Ulangan 4:15-19). Allah mengatakan kepada Musa bahwa tidak ada manusia yang dapat melihat-Nya dan tetap hidup (Keluaran 33:20).
Yohanes mengatakan 'Tidak seorang pun yang pernah melihat Allah" (Yohanes 1:18). Paulus menyebut Tuhan sebagai "Allah yang tidak kelihatan" (Kolose 1:15, bandingkan Roma 1:20; I Timotius 1:17) serta menyatakan bahwa tidak ada orang yang telah melihat Allah atau dapat melihat Allah (I Timotius 6:16). Namun beberapa bagian Alkitab mengatakan bahwa pada suatu hari orang orang yang tertebus akan melihat Dia (Mazmur 17:15; Matius 5:8; Ibrani 12:14; Wahyu 22:4).
Namun bagaimana menerangkan ayat-ayat Alkitab yang menyebut tentang orang-orang yang melihat Allah seperti Kejadian 32:30; Keluaran 3:6; 24:9-10; Bilangan 12:6-8; Ulangan 34:10; dan Yesaya 6:1-8? Bila seseorang melihat wajahnya di cermin maka dalam arti kata tertentu ia melihat wajahnya sendiri; namun dalam arti kata lain ia tidak betul-betul melihat dirinya sendiri. Berdasarkan kenyataan ini orang-orang itu telah melihat pantulan kemuliaan Allah, namun mereka tidak melihat hakikat-Nya (Ibrani 1:3). Kemudian, roh juga dapat menunjukkan diri dalam bentuk yang kelihatan (Yohanes 1:32; Ibrani 1:7).
Ketika Musa melihat "belakang" Allah (Keluaran 33:23), hal itu terjadi sebagai tanggapan Allah terhadap permintaan Musa untuk melihat kemuliaan Tuhan (Keluaran 33:18). Lebih tepat bila dikatakan bahwa Musa melihat akibat yang kemudian atau apa yang disebutkan oleh Driver "sisa pantulan" kemuliaan Allah, daripada menafsirkan ayat ini sebagai berarti bahwa Musa betul-betul melihat Allah karena konteks menunjukkan bahwa hal itu tidak mungkin (Keluaran 33:20).
Karena terdapat perbedaan antara hakikat dan sifat-sifat Allah, maka kita diperhadapkan dengan soal bagaimana membedakan keduanya. Kami mengakui bahwa mungkin saja beberapa sifat tertentu sebenarnya bukan sifat samasekali tetapi aspek-aspek yang berbeda dari zat ilahi. Kerohanian, ada dengan sendirinya, kebesaran yang tak terhingga, dan kekekalan merupakan pokok-pokok yang dimaksudkan.
A. KEROHANIAN
Allah merupakan zat. Akan tetapi, Allah bukanlah zat bendawi, melainkan zat rohani. Yesus mengatakan "Allah itu Roh" (Yohanes 4:24). Pernyataan ini menetapkan sifat-dasar Allah sebagai rohani.
1. Allah tidak berbadan dan tidak berwujud.
Yesus mengatakan, "... roh [hantu] tidak ada daging dan tulangnya, seperti yang kamu lihat ada pada-Ku" (Lukas 24:39). Jika Allah adalah roh, maka dengan sendirinya Ia tidak berbadan dan tidak berwujud. Perintah kedua dari Sepuluh Perintah Allah yang melarang pembuatan segala jenis patung atau gambaran (Keluaran 20:4), dilandaskan pada keadaan Allah yang tidak berbadan. Demikian pula segala peraturan yang melarang penyembahan berhala (Imamat 26:1; Ulangan 16:22).
Akan tetapi, bagaimana dengan ungkapan-ungkapan yang menggambarkan Allah sebagai memiliki alat-alat tubuh: tangan (Yesaya 65:2; Ibrani 1:10), kaki (Kejadian 3:8), mata (I Raja-Raja 8:29; II Tawarikh 16:9), telinga (Nehemia 1:6; Mazmur 34:16)? Semua ini merupakan bentuk-bentuk pengungkapan yang bersifat antropo- morfik dan gambaran-gambaran yang simbolis yang dipakai untuk membuat Allah itu nyata dan juga untuk mengungkapkan berbagai minat, kuasa, dan kegiatan-Nya.
Manusia berbeda karena memiliki roh yang terbatas, yaitu roh yang dapat tinggal di dalam badan yang jasmaniah (I Korintus 2:11; I Tesalonika 5:23). Allah adalah roh yang tidak terbatas dan oleh karena itu tidak berwujud (Kisah 7:48, 49).
2. la tidak dapat dilihat.
Orang-orang Israel "tidak melihat sesuatu rupa" ketika Allah menampakkan diri kepada mereka di Gunung Horeb, karena itu mereka dilarang membuat patung Allah (Ulangan 4:15-19). Allah mengatakan kepada Musa bahwa tidak ada manusia yang dapat melihat-Nya dan tetap hidup (Keluaran 33:20).
Yohanes mengatakan 'Tidak seorang pun yang pernah melihat Allah" (Yohanes 1:18). Paulus menyebut Tuhan sebagai "Allah yang tidak kelihatan" (Kolose 1:15, bandingkan Roma 1:20; I Timotius 1:17) serta menyatakan bahwa tidak ada orang yang telah melihat Allah atau dapat melihat Allah (I Timotius 6:16). Namun beberapa bagian Alkitab mengatakan bahwa pada suatu hari orang orang yang tertebus akan melihat Dia (Mazmur 17:15; Matius 5:8; Ibrani 12:14; Wahyu 22:4).
Namun bagaimana menerangkan ayat-ayat Alkitab yang menyebut tentang orang-orang yang melihat Allah seperti Kejadian 32:30; Keluaran 3:6; 24:9-10; Bilangan 12:6-8; Ulangan 34:10; dan Yesaya 6:1-8? Bila seseorang melihat wajahnya di cermin maka dalam arti kata tertentu ia melihat wajahnya sendiri; namun dalam arti kata lain ia tidak betul-betul melihat dirinya sendiri. Berdasarkan kenyataan ini orang-orang itu telah melihat pantulan kemuliaan Allah, namun mereka tidak melihat hakikat-Nya (Ibrani 1:3). Kemudian, roh juga dapat menunjukkan diri dalam bentuk yang kelihatan (Yohanes 1:32; Ibrani 1:7).
Ketika Musa melihat "belakang" Allah (Keluaran 33:23), hal itu terjadi sebagai tanggapan Allah terhadap permintaan Musa untuk melihat kemuliaan Tuhan (Keluaran 33:18). Lebih tepat bila dikatakan bahwa Musa melihat akibat yang kemudian atau apa yang disebutkan oleh Driver "sisa pantulan" kemuliaan Allah, daripada menafsirkan ayat ini sebagai berarti bahwa Musa betul-betul melihat Allah karena konteks menunjukkan bahwa hal itu tidak mungkin (Keluaran 33:20).
Teofani merupakan penampakan ilahi yang dapat dilihat oleh mata jasmaniah. Yakub berkata setelah bergumul dengan seseorang, "Aku telah melihat Allah berhadapan muka" (Kejadian 32:30). "Malaikat Tuhan" merupakan penampakan ilahi yang dapat dilihat oleh mata jasmaniah (Kejadian 16:7-14; 18:13-33; 22:11-18; Keluaran 3:2-5; Hakim-Hakim 6:11-23; I Raja-Raja 19:5-7; II Raja- Raja 19:35). Perlu diperhatikan bahwa dalam beberapa ayat di atas "malaikat Allah" diidentifikasikan sebagai "Tuhan" (misalnya Kejadian 16:11 dengan ayat 13; Keluaran 3:2 dengan ayat 4; Hakim- Hakim 6:12 dengan ayat 16).
3. Allah itu hidup.
Pengertian tentang roh meniadakan bukan saja kesan adanya zat bendawi, tetapi juga meniadakan pengertian mengenai adanya zat yang tidak hidup. Ini berarti bahwa Allah hidup. Dengan demikian Allah disebut sebagai "Allah yang hidup" (Yosua 3:10; I Samuel 17:26; Mazmur 84:3; Matius 16:16; I Timotius 3:15; Wahyu 7:2).
Hidup menandakan adanya perasaan, kuasa, dan kegiatan. Allah memiliki semua ini (Mazmur 115:3). Allah juga merupakan sumber dan pemelihara segenap kehidupan yang ada: tanaman, hewan, manusia, rohani, dan kekal (Mazmur 36:10; Yohanes 5:26). Allah yang hidup sering dibandingkan dengan berhala- berhala yang mati (Mazmur 115:3-9; Kisah 14:15; I Tesalonika 1:9). Allah kita hidup; Ia melihat, mendengar, dan mengasihi. Berhala ciptaan orang kafir itu mati, tidak mampu melihat, mendengar, dan mengasihi.
4. Allah itu berkepribadian.
Hegel serta para filsuf idealistis lainnya salah ketika mengajarkan bahwa Allah itu roh yang tak berkepribadian, karena pengertian roh itu sendiri mengandung juga pengertian akan adanya kepribadian. Terlepas dari Alkitab maka satu-satunya cara untuk menetapkan seperti apa roh itu ialah melalui analogi dengan roh manusia. Karena roh manusia itu berkepribadian, maka pastilah Roh ilahi juga berkepribadian sebab kalau tidak Roh ilahi lebih rendah tingkatannya dari roh manusia.
Di dalam manusia, kepribadian dan kejasmanian bersatu dalam satu orang selama ia hidup di dunia ini, namun setelah orang itu mati maka hubungan tersebut putus; tubuh jasmani menjadi rusak, sedangkan kepribadian tetap ada. Pada saat kebangkitan kepribadian tersebut akan memperoleh tubuh jasmani yang baru lagi sehingga keadaan fisik manusia yang normal dipulihkan. Akan tetapi, di dalam Tuhan ada kepribadian tanpa tubuh jasmaniah. Kalau begitu apakah hakikat kepribadian Allah? Kesadaran diri dan kemampuan membuat ke- putusan sendiri.
Kesadaran diri itu lebih dari kesadaran biasa. Sebagai makhluk yang sadar, manusia kadang-kadang memiliki perasaan dan keinginan yang tidak dikaitkan dengan dirinya sendiri. Manusia berpikir secara spontan, namun tidak memikirkan apa yang dipikirkannya. Binatang mungkin saja mempunyai taraf kesadaran yang rendah. Namun sebagai makhluk yang sadar-diri, manusia mengaitkan perasaan, keinginan, dan pikirannya dengan dirinya sendiri.
Demikian pula, kemampuan membuat keputusan sendiri lebih dari sekadar membuat keputusan. Hewan bisa membuat keputusan, namun hal itu terjadi berdasarkan naluri. Manusia memiliki perasaan kebebasan dan menentukan pilihannya di dalam dirinya sendiri, dengan mempertimbangkan motif dan tujuan. Alkitab mengaitkan kesadaran diri (Keluaran 3:14; Yesaya 45:5; I Korintus 2:10) dan kemampuan membuat keputusan sendiri (Ayub 23:13; Roma 9:11; Efesus 1:9, 11; Ibrani 6:17) dengan Allah. Allah dapat berkata "Aku" (Keluaran 20:2-3) dan dapat menanggapi ketika disapa sebagai "Engkau" (Mazmur 90).
Alkitab juga mengatakan bahwa Allah memiliki ciri-ciri psikologis dari kepribadian: Intelek (Kejadian 18:19; Keluaran 3:7; Kisah 15:18), perasaan (Kejadian 6:6; Mazmur 103:8-14; Yohanes 3:16), dan kemauan (Kejadian 3:15; Mazmur 115:3; Yohanes 6:38). Selanjutnya, Alkitab menyebutkan bahwa Allah memiliki aspek-aspek kepribadian lainnya. Allah ditampilkan sebagai berbicara (Kejadian 1:3), melihat (Kejadian 11:5), mendengar (Mazmur 94:9), berduka (Kejadian 6:6), menyesal (Kejadian 6:6), marah (Ulangan 1:37), cemburu (Keluaran 20:5), dan iba (Mazmur 111:4). Allah disebut sebagai pencipta (Kisah 14:15), penopang alam semesta (Nehemia 9:6), penguasa (Mazmur 75:8; Daniel 4:32), dan pemelihara (Mazmur 104:27-30; Matius 6:26-30) segala sesuatu.
Bagaimanapun juga, kita harus membedakan antara kepribadian hakikat itu dengan kepribadian berbagai bagian yang menjadi hakikat itu. Jelas sekali, hakikat itu tidak mungkin pada saat yang sama merupakan tiga oknum dan juga satu oknum bila istilah "oknum" itu digunakan dengan makna yang sama dalam kedua pemakaian di atas; namun hakikat itu dapat, dan memangnya demikian, merupakan tiga oknum dan sekaligus satu oknum. Adanya tiga oknum yang berbeda dalam ke-Allahan menghasilkan kesadaran diri dan kemampuan membuat keputusan sendiri dari Allah yang esa; namun masing-masing dari ketiga oknum itu juga memiliki kesadaran diri dan kemampuan membuat keputusan sendiri.
B. ADA DENGAN SENDIRINYA
Walaupun sumber keberadaan manusia berada di luar dirinya sendiri, keberadaan Allah tidak bergantung pada apa pun di luar diri- Nya. Sebagaimana dikatakan oleh Thomas dari Aquino, "Ia adalah penyebab pertama; Dia sendiri tidak ada penyebabnya." Bahwa Dia ada dengan sendirinya tersirat dari kesaksian-Nya, "Aku adalah Aku" (Keluaran 3:14; lihat juga "Aku ada" dari ajaran Kristus tentang diri-Nya sendiri, Yohanes 8:58; Yesaya 41:4; Wahyu 1:8), dan sebagaimana umumnya dikenal dengan nama "Tuhan" atau "Yehova" (Keluaran 6:3).
Sekalipun demikian perihal ada dengan sendirinya Allah itu tidak berasal dari kehendak-Nya, tetapi merupakan sifat-dasar-Nya. Ia ada karena sifat-dasar-Nya demikian sebagai yang tidak memiliki penyebab. Tidaklah tepat untuk mengatakan bahwa Tuhan adalah penyebab diri-Nya sendiri karena bila demikian Ia akan memiliki kemampuan untuk menghancurkan diri- Nya sendiri.
C. KEBESARAN YANG TAK TERHINGGA
Allah tidak terbatas dalam ukuran tempat. Ia tidak dibatasi atau disekat oleh tempat; sebaliknya, segala tempat yang bersifat terbatas bergantung pada-Nya. Sesungguhnya, Allah melebihi tempat. Dengan jelas Alkitab mengajarkan kebesaran Allah yang tak terhingga ini (I Raja-Raja 8:27; II Tawarikh 2:6; Mazmur 113:4-6; 139:7-8; Yesaya 66:1; Yeremia 23:24; Kisah 17:24-28).
Baca Juga: Doktrin Allah
Karena sifat-dasar- Nya yang rohani serta ketidakmampuan kita untuk berpikir mengenai keadaan yang tak dibatasi oleh tempat maka ajaran ini sulit dipahami. Namun, hal ini jelas sekali: Allah itu transenden dan imanen, Ia ada di mana-mana dalam hakikat maupun dalam pengetahuan dan kuasa-Nya. Kapan pun dan di mana pun zat rohani itu ada, maka seperti jiwa, pastilah ia utuh adanya.
D. KEKEKALAN
Allah juga tidak terbatas dalam ukuran waktu. Allah tidak memiliki awal atau akhir, Ia bebas dari keterbatasan kurun waktu, Ialah pen- cipta waktu. Kesimpulan bahwa Ia tanpa awal dan tanpa akhir dapat ditarik dari doktrin bahwa Ia ada dengan sendirinya; Ia yang ada karena sifat-dasar-Nya dan bukan karena kehendak-Nya pastilah senantiasa sudah ada dan senantiasa akan ada. Bahwa Allah kekal diajarkan secara jelas sekali dalam Alkitab. Allah disebut sebagai "Allah yang kekal" (Kejadian 21:33).
Pemazmur mengatakan, "... dari selama-lamanya sampai selama-lamanya Engkaulah Allah" (Mazmur 90:2) dan "... tetapi Engkau tetap sama, dan tahun-tahun-Mu tidak berkesudahan" (Mazmur 102:28). Yesaya menggambarkan Allah sebagai ". . . Yang Maha tinggi dan Yang Mahamulia, yang bersemayam untuk selamanya" (Yesaya 57:15). Paulus mengatakan bahwa Allah ialah "satu-satunya yang tidak takluk kepada maut" (I Timotius 6:16, bandingkan dengan Habakuk 1:12).
Waktu ialah keberadaan sepanjang kurun waktu tertentu, namun Allah itu bebas dari segenap batasan kurun waktu mana pun. Allah, tulis Shedd, "memiliki keberadaan yang total secara serentak . . . . Keseluruhan pengetahuan dan pengalaman ilahi senantiasa ada di hadapan-Nya, tidak ada penggalan pengetahuan-pengalaman yang diikuti oleh penggalan pengetahuan-pengalaman berikutnya."
Kekekalan bagi Allah merupakan satu masa kini, yaitu masa kini yang abadi. "Ia memiliki seluruh keberadaan-Nya dalam satu masa kini yang tidak dapat dipenggal." Dalam Alkitab kenyataan ini disebut "sekarang dan sampai selama-lamanya" (II Petrus 3:18) dan "hari ini" (Mazmur 2:7, bandingkan II Petrus 3:8). Namun kita tidak boleh berpikir bahwa waktu tidak memiliki realitas objektif bagi Allah; lebih tepatlah kalau dikatakan bahwa Ia melihat masa lalu dan masa yang akan datang sama jelas dan terangnya sebagaimana Ia melihat masa kini.
Seseorang bisa melihat sebuah pawai dari atas sebuah gedung tinggi. Dari tempat itu ia bisa melihat seluruh barisan pawai tersebut dengan sekali pandang. Atau orang itu bisa juga melihat pawai tersebut dari simpang jalan, di mana ia hanya akan bisa melihat sebagian barisan pawai saja setiap kali melihat. Allah melihat keseluruhannya sebagai satu kesatuan, sekalipun Ia mengetahui adanya urutan sepanjang kurun-kurun waktu.
Allah juga merupakan pencipta waktu (Ibrani 1:2; 11:3). Dalam Yesaya 9:5 Allah dapat disebut sebagai "Bapa Kekekalan." Waktu dan tempat termasuk dalam "segala yang telah dijadikan" oleh Dia (Yohanes 1:3). Strong mengatakan,
Baca Juga: Sifat-sifat Allah (Non Moral Dan Moral)
D. KEKEKALAN
Allah juga tidak terbatas dalam ukuran waktu. Allah tidak memiliki awal atau akhir, Ia bebas dari keterbatasan kurun waktu, Ialah pen- cipta waktu. Kesimpulan bahwa Ia tanpa awal dan tanpa akhir dapat ditarik dari doktrin bahwa Ia ada dengan sendirinya; Ia yang ada karena sifat-dasar-Nya dan bukan karena kehendak-Nya pastilah senantiasa sudah ada dan senantiasa akan ada. Bahwa Allah kekal diajarkan secara jelas sekali dalam Alkitab. Allah disebut sebagai "Allah yang kekal" (Kejadian 21:33).
Pemazmur mengatakan, "... dari selama-lamanya sampai selama-lamanya Engkaulah Allah" (Mazmur 90:2) dan "... tetapi Engkau tetap sama, dan tahun-tahun-Mu tidak berkesudahan" (Mazmur 102:28). Yesaya menggambarkan Allah sebagai ". . . Yang Maha tinggi dan Yang Mahamulia, yang bersemayam untuk selamanya" (Yesaya 57:15). Paulus mengatakan bahwa Allah ialah "satu-satunya yang tidak takluk kepada maut" (I Timotius 6:16, bandingkan dengan Habakuk 1:12).
Waktu ialah keberadaan sepanjang kurun waktu tertentu, namun Allah itu bebas dari segenap batasan kurun waktu mana pun. Allah, tulis Shedd, "memiliki keberadaan yang total secara serentak . . . . Keseluruhan pengetahuan dan pengalaman ilahi senantiasa ada di hadapan-Nya, tidak ada penggalan pengetahuan-pengalaman yang diikuti oleh penggalan pengetahuan-pengalaman berikutnya."
Kekekalan bagi Allah merupakan satu masa kini, yaitu masa kini yang abadi. "Ia memiliki seluruh keberadaan-Nya dalam satu masa kini yang tidak dapat dipenggal." Dalam Alkitab kenyataan ini disebut "sekarang dan sampai selama-lamanya" (II Petrus 3:18) dan "hari ini" (Mazmur 2:7, bandingkan II Petrus 3:8). Namun kita tidak boleh berpikir bahwa waktu tidak memiliki realitas objektif bagi Allah; lebih tepatlah kalau dikatakan bahwa Ia melihat masa lalu dan masa yang akan datang sama jelas dan terangnya sebagaimana Ia melihat masa kini.
Seseorang bisa melihat sebuah pawai dari atas sebuah gedung tinggi. Dari tempat itu ia bisa melihat seluruh barisan pawai tersebut dengan sekali pandang. Atau orang itu bisa juga melihat pawai tersebut dari simpang jalan, di mana ia hanya akan bisa melihat sebagian barisan pawai saja setiap kali melihat. Allah melihat keseluruhannya sebagai satu kesatuan, sekalipun Ia mengetahui adanya urutan sepanjang kurun-kurun waktu.
Allah juga merupakan pencipta waktu (Ibrani 1:2; 11:3). Dalam Yesaya 9:5 Allah dapat disebut sebagai "Bapa Kekekalan." Waktu dan tempat termasuk dalam "segala yang telah dijadikan" oleh Dia (Yohanes 1:3). Strong mengatakan,
Baca Juga: Sifat-sifat Allah (Non Moral Dan Moral)
Namun, waktu dan tempat tidak merupakan zat, demikian pula tidak merupakan sifat zat; waktu dan tempat merupakan hubungan-hubungan dari keberadaan yang terbatas .... Waktu dan tempat itu menjadi ada ketika keberadaan yang terbatas muncul; waktu dan tempat tidak merupakan konsep-konsep pengatur hasil penalaran pikiran manusia; waktu dan tempat itu ada secara objektif, artinya mereka tetap ada entah kita menyadarinya entah Waktu sekali kelak akan berbaur dengan kekekalan (I Korintus 15:28).
Akan tetapi, Shedd berpendapat bahwa bagi makhluk ciptaan Allah kekekalan tidak merupakan keberadaan tanpa terbatas kurun waktu, karena "setiap pikiran terbatas harus senantiasa berpikir, merasa, dan bertindak dalam batas kurun waktu.". SIFAT DASAR ALLAH: HAKIKAT ALLAH
Akan tetapi, Shedd berpendapat bahwa bagi makhluk ciptaan Allah kekekalan tidak merupakan keberadaan tanpa terbatas kurun waktu, karena "setiap pikiran terbatas harus senantiasa berpikir, merasa, dan bertindak dalam batas kurun waktu.". SIFAT DASAR ALLAH: HAKIKAT ALLAH