SIFAT-SIFAT ALLAH (NON MORAL DAN MORAL)

Oleh: Henry Clarence Thiessen.

Sifat-sifat Allah, berbeda dengan zat atau hakikat Allah. Pada Sifat dasar Allah lanjutan ini akan dikhususkan pada Sifat Allah. Dan di sini sifat-sifat Allah akan dibahas berdasarkan pembagian atas dua: sifat-sifat non moral dan sifat-sifat moral.
SIFAT-SIFAT ALLAH (NON MORAL DAN MORAL)
A. SIFAT-SIFAT NON MORAL

Sifat-sifat non moral merupakan sifat-sifat Allah yang tidak melibatkan hal-hal moral. Sifat-sifat tersebut ialah mahahadir, mahatahu, mahakuasa, dan tidak berubah.

1. Mahahadir.

Ketiga sifat Allah yang pertama merupakan kata majemuk dengan awalan bahasa Latin omni, yang artinya "segala- galanya". Jadi, mahahadir (omnipresent) berarti "ada di mana-mana pada saat yang bersamaan". Tuhan hadir di seluruh alam semesta ciptaan-Nya, namun Allah tidak dibatasi oleh alam semesta ciptaan- Nya itu.

Sedangkan kebesaran-Nya yang tak terhingga menekankan transendensi Allah dalam arti bahwa Ia melebihi segala ruang dan tidak terbatas oleh ruang mana pun juga, maka kemahahadiran Allah secara khusus berkaitan dengan kehadiran-Nya di dalam alam semesta ini. (I Raja-Raja 8:27; Mazmur 139:7-10; Yesaya 66:1; Yeremia 23:23-24; Kisah 7:48-49; 17:24-25; Roma 10:6-8). Harus diingat selalu bahwa kemahahadiran Tuhan bukanlah suatu bagian yang harus ada di dalam kepribadian Allah, tetapi merupakan suatu tindakan yang bebas menurut kehendak Allah sendiri.

Jika Allah berkehendak untuk menghancurkan alam semesta ini, maka kema- hahadiran-Nya akan berakhir, tetapi Allah sendiri tetap ada. Panteisme mengikat Allah kepada alam semesta, tetapi harus diingat bahwa Allah melebihi alam semesta dan tidak tunduk kepadanya. Ajaran tentang kemahahadiran Allah ini merupakan suatu ajaran yang menyegarkan sekaligus menundukkan kita. Ajaran ini merupakan suatu sumber penghiburan bagi orang percaya karena Allah, yang senantiasa hadir, selalu siap untuk menolong kita (Ulangan 4:7; Mazmur 46:2; 145:18; Matius 28:20).

Ajaran ini merupakan sumber peringatan dan pengendalian bagi setiap orang percaya. Bagaimanapun orang berdosa berusaha, ia tidak bisa meloloskan diri dari Allah. Jarak ataupun kegelapan tidak dapat menyembunyikan dia dari pengawasan Allah (Mazmur 139:7-10). "Dan tidak ada suatu makhluk pun yang tersembunyi di hadapan-Nya, sebab segala sesuatu telanjang dan terbuka di depan mata Dia, yang kepada-Nya kita harus memberikan pertanggungan jawab" (Ibrani 4:13).

Kesadaran akan kenyataan ini sering kali mencegah seorang berdosa untuk berbuat jahat dan akhirnya menuntun dia untuk mencari Allah. "Dia yang ... melihat" (Kejadian 16:13) merupakan peringatan maupun penghiburan bagi anak Tuhan (Mazmur 139:17-18).

2. Mahatahu.

Pengetahuan Allah tidak mengenal batas. Ia mengenal diri-Nya sendiri serta segala ciptaan-Nya secara sempurna sejak segenap kekekalan, apakah itu bersifat aktual atau hanya merupakan kemungkinan, apakah itu sesuatu yang sudah lampau, masih ada, maupun akan ada. Ia mengetahui segala sesuatu secara langsung, serempak, secara mendalam dan sungguh-sungguh.

Bukti adanya pola tertentu di alam semesta ini dan adanya akal di dalam diri manusia merupakan bukti kemahatahuan Allah. Bukti- bukti ini terdapat di dalam dunia yang tidak hidup, dunia yang hidup, serta di dalam hubungan di antara keduanya. Manifestasi yang tertinggi dari semuanya itu terdapat di dalam akal manusia. Kemahahadiran Tuhan juga turut membuktikan kemahatahuan-Nya (Mazmur 139:1-10; Amsal 15:3; Yeremia 23:23-25). Alkitab menyatakan bahwa pemahaman Tuhan itu tidak ada batasnya (Yesaya 46:10), bahwa tidak ada yang tersembunyi di hadapan Tuhan (Mazmur 147:5; Ibrani 4:13), dan bahwa rambut di kepala kita pun dihitung oleh Tuhan (Matius 10:30).

Lingkup pengetahuan Allah tidak terhingga.

a. Ia mengenal diri-Nya sendiri secara sempurna. Tidak ada makhluk ciptaan yang mengenal dirinya sendiri secara menyeluruh dan secara sempurna seperti itu.

b. Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus saling mengenal secara sempurna. Hanya merekalah yang memiliki pengetahuan semacam itu mengenai satu sama lain. Yesus mengatakan, "... tidak seorang pun mengenal Anak selain Bapa, dan tidak seorang pun mengenal Bapa selain Anak dan orang yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakannya" (Matius 11:27). Paulus menulis, " . . . tidak ada orang yang tahu apa yang terdapat di dalam diri Allah selain Roh Allah" (I Korintus 2:11; dan lihat juga Roma 8:27).

c. Allah mengetahui hal-hal yang benar-benar ada. Termasuk di sini ciptaan yang tidak hidup (Mazmur 147:4), ciptaan binatang (Matius 10:29), manusia dan segala perbuatannya (Mazmur 33:13- 15; Amsal 5:21), pikiran dan hati manusia (Mazmur 139:1-4; Amsal 15:3), serta beban dan kebutuhan manusia (Keluaran 3:7; Matius 6:8, 32).

d. la mengetahui hal-hal yang mungkin terjadi. Ia tahu sebelumnya bahwa Kehila akan melaporkan tempat tinggal Daud kepada Saul bila Daud tetap saja mendekam di kawasan tersebut (I Samuel 23:11-12). Yesus mengetahui bahwa Tirus dan Sidon pastilah akan bertobat bila mereka menyaksikan mukjizat-mukjizat yang terjadi di Betsaida dan Khorazim (Matius 11:21). Ia juga tahu bahwa Sodom dan Gomora tidak akan sampai dihancurkan seandainya mereka melihat apa yang terjadi di Kapernaum (Matius 11:23-24; Yesaya 48:18).

Beberapa orang yang berhaluan idealis menolak adanya perbedaan antara pengetahuan dengan kuasa. Mereka beranggapan bahwa pikiran dan pengetahuan selalu merupakan bukti tentang penggunaan kuasa yang kreatif. Menurut mereka, Allah menciptakan dengan jalan berpikir dan mengetahui. Bagaimanapun juga, memiliki kemampuan tertentu serta menggunakan kemampuan tersebut adalah dua hal yang berbeda. Jadi, Tuhan mengetahui segala sesuatu yang mungkin terjadi maupun segala sesuatu yang betul-betul terjadi. Kemahatahuan jangan dibaurkan dengan penyebab yang mendatangkan akibat. Mengetahui sebelumnya dan menetapkan sebelumnya tidaklah harus sama.

e. Allah mengetahui masa depan. Dipandang dari sudut manusia maka pengetahuan Tuhan tentang masa depan disebut pengetahuan sebelum terjadi, namun dari sudut Allah pengetahuan-Nya tentang masa depan tidak dapat disebut pengetahuan sebelum terjadi, karena Allah mengetahui segala sesuatu secara serentak. Ia sudah mengetahui masa depan secara umum sebelum itu terjadi (Yesaya 46:9-10; Daniel 2 dan 7; Matius 24, 25; Kisah 15:18), tentang kejahatan yang akan dilakukan oleh Israel (Ulangan 31:20-21), bangkitnya Raja Koresy (Yesaya 44:26-45:7), kedatangan Kristus (Mikha 5:1), bahwa Kristus akan disalibkan oleh orang-orang yang jahat (Kisah 2:23; 3:18).

Dua hal harus diperhatikan dalam kesempatan ini: (1) Pengetahuan Allah tentang masa depan itu sendiri tidak menyebabkan itu terjadi. Tindakan-tindakan bebas tidak terjadi karena sudah diketahui sebelumnya, tetapi tindakan-tindakan tersebut telah diketahui sebelumnya karena tindakan-tindakan itu akan terjadi. (2) Suatu kejahatan moral yang telah dinubuatkan terlebih dahulu tidaklah meniadakan tanggung jawab si pelaku kejahatan tersebut (Matius 18:7; Yohanes 13:27; Kisah 2:23, bandingkan dengan pengerasan hati Firaun dalam Keluaran 4:21).

Hikmat merupakan kecerdasan Allah yang diperlihatkan dalam penetapan tujuan-tujuan terluhur serta sarana-sarana yang paling cocok dalam mencapai tujuannya tersebut. Sekalipun Allah secara tulus ikhlas berusaha meningkatkan kebahagiaan makhluk-makhluk ciptaan-Nya serta menyempurnakan para saleh dalam kekudusan mereka, bukan ini yang merupakan tujuan yang paling luhur.

Tujuan yang paling luhur ialah kemuliaan-Nya sendiri. Segenap hasil karya ciptaan-Nya (Mazmur 19:2-7; Amsal 3:19), pemeliharaan-Nya terhadap hasil karya-Nya tersebut (Nehemia 9:6; Wahyu 4:11), penyelenggaraan (Mazmur 33:10-11; Daniel 4:35; Efesus 1:11), serta rencana dan pelaksanaan penebusan (I Korintus 2:7; Efesus 3:10-11) bertujuan untuk memuliakan Allah.

3. Mahakuasa.

Tuhan itu mahakuasa adanya dan sanggup melakukan apa saja yang mau dilakukan-Nya. Karena kehendak-Nya itu dibatasi oleh watak-Nya maka Tuhan dapat melakukan segala sesuatu yang sesuai dengan kesempurnaan-kesempurnaan-Nya. Ada hal-hal yang tidak dapat dilakukan oleh Allah karena bertentangan dengan watak-Nya. Allah tidak mungkin menyenangi kejahatan (Habakuk 1:13), menyangkal diri-Nya (II Timotius 2:13), berdusta (Titus 1:2; Ibrani 6:18), atau mencobai orang atau dicobai untuk berbuat dosa (Yakobus 1:13).

Selanjutnya, Allah tidak bisa melakukan hal-hal yang tak masuk akal atau yang bertentangan dengan hakikat diri-Nya. Seperti menciptakan roh yang berwujud, batu yang berperasaan halus, bundaran yang persegi, atau menganggap perbuatan yang salah sebagai perbuatan yang betul. Semua ini tidak dapat dianggap sebagai pembatasan terhadap kemahakuasaan Allah.

Memiliki kemahakuasaan tidak menuntut penggunaan seluruh ke- kuasaan-Nya. Allah dapat melakukan apa yang Ia ingin lakukan, tetapi hal ini tidak berarti bahwa Allah harus selalu ingin melakukan sesuatu. Maksudnya, Allah berkuasa atas kuasa-Nya; kalau tidak demikian maka Allah akan bertindak sesuai dengan kebutuhan yang ada dan dengan demikian Allah kehilangan kebebasan-Nya. Kuasa untuk membatasi diri tercakup dalam kemahakuasaan Allah. Allah telah membatasi diri-Nya sampai taraf tertentu dengan memberikan kehendak yang bebas kepada makhluk-makhluk ciptaan-Nya yang rasional. Itulah sebabnya, Allah tidak membatasi masuknya dosa ke dalam alam semesta dengan suatu pameran kekuatan dan inilah pula sebabnya Allah tidak menyelamatkan manusia dengan paksa.

Alkitab dengan jelas sekali mengajarkan tentang kemahakuasaan Allah ini. Allah, yang disebut sebagai "Yang Mahakuasa" (Kejadian 17:1; Wahyu 4:8), disebutkan juga dalam Alkitab sebagai mampu melakukan segala sesuatu yang telah direncanakan-Nya (Ayub 42:2), karena bagi Dia tidak ada yang mustahil (Matius 19:26) dan tidak ada yang terlalu sukar (Yeremia 32:17). Allah betul-betul berkuasa penuh (Wahyu 19:6).

Kita dapat membedakan antara kuasa Allah yang absolut dengan kuasa Allah yang tidak absolut. Kuasa yang absolut artinya Allah dapat bekerja langsung tanpa bantuan sarana apa pun juga. Penciptaan, mukjizat, penyataan langsung, pengilhaman, dan pembaharuan adalah manifestasi kuasa Allah yang absolut. Penyelenggaraan alam semesta ini merupakan contoh kuasa Allah yang tidak absolut karena Allah memakai sarana-sarana tertentu. Dalam kedua hal ini, Allah menjalankan efisiensi ilahi-Nya.

Berkali-kali orang percaya dianjurkan untuk bersandar kepada Tuhan dalam lapangan pekerjaan apa pun juga atas dasar kuasa Allah yang kreatif, melindungi, serta memelihara (Yesaya 45:11-13; 46:4; Yeremia 32:16-44; Kisah 4:24-31).

Bagi orang Kristen kemahakuasaan Allah merupakan sumber penghiburan dan pengharapan yang besar, tetapi bagi orang yang tidak percaya kemahakuasaan Allah ini senantiasa merupakan peringatan dan sumber ketakutan (I Petrus 4:17; II Petrus 3:10-11; Wahyu 19:15). Setan-setan pun takut pada Tuhan dengan gemetar (Yakobus 2:19), karena mereka mengetahui bahwa Allah berkuasa atas diri mereka (Matius 8:29). Pada suatu hari kelak orang-orang yang terkuat dan terbesar pun akan berusaha bersembunyi dari hadapan-Nya (Wahyu 6:15-17; lihat juga Yesaya 2:10-21), dan semua orang akan berlutut dalam nama Yesus (Filipi 2:10).

4. Tidak berubah.

Hakikat, sifat-sifat, kesadaran, dan kehendak Allah tidak akan berubah. Semua perubahan merupakan perubahan kepada keadaan yang lebih baik atau yang lebih buruk. Akan tetapi, Allah tidak mungkin berubah menjadi makin baik karena Ia betul- betul sempurna; demikian pula Allah tidak mungkin berubah menjadi makin buruk karena alasan yang sama. Allah berada di atas segala sebab yang ada dan Ia bahkan juga berada di atas kemungkinan perubahan. Allah tidak mungkin menjadi lebih bijaksana, lebih kudus, lebih adil, lebih murah, lebih setia, dan Allah juga tidak mungkin menjadi kurang bijaksana dan seterusnya. Juga rencana dan segala tujuan-Nya tidak pernah berubah.

Sifat tidak berubah yang ada pada Allah disebabkan oleh kesederhanaan hakikat-Nya. Manusia memiliki jiwa dan tubuh, dua hakikat, yaitu yang rohani dan yang jasmani. Allah itu esa; Ia tidak berubah. Sifat tidak berubah ini juga disebabkan karena Ia itu wajib ada dan Ia itu ada dengan sendirinya. Apa yang ada tanpa penyebab, sebagai akibat sifat-dasar-Nya sendiri, haruslah ada sebagaimana Ia ada. Sifat tidak mungkin berubah ini juga disebabkan oleh kesempur- naan-Nya yang mutlak. Tidak mungkin terjadi perbaikan atau kemerosotan. Setiap perubahan dalam sifat-sifat-Nya akan menjadikan Dia sedikit kurang daripada Allah; setiap perubahan rencana dan tujuan-Nya akan menjadikan Dia Allah yang tidak begitu bijaksana, tidak begitu baik, dan tidak begitu kudus.

Alkitab menyatakan bahwa di dalam Tuhan tidak ada perubahan atau pertukaran (Yakobus 1:17). Watak-Nya tidak berubah (Mazmur 102:27-28; Maleakhi 3:6; Ibrani 1:12), kuasa-Nya tidak berubah (Roma 4:20-21), rencana dan tujuan-tujuan-Nya tidak berubah (Mazmur 33:11; Yesaya 46:10), demikian pula tidak berubah janji- janji-Nya (I Raja-Raja 8:56; 11 Korintus 1:20), dan tidak berubah kasih dan kemurahan-Nya (Mazmur 103:17), atau keadilan-Nya (Kejadian 18:25; Yesaya 28:17).

Sifat tidak berubah ini jangan dikacaukan dengan sifat tidak bergerak. Allah itu aktif dan Ia terlibat dalam hubungan dengan manusia yang berubah-ubah. Dalam hubungan-Nya dengan manusia ini ada kalanya perlu bagi Allah yang tidak berubah untuk mengubah tindakan-Nya terhadap manusia yang berubah-ubah agar watak dan tujuan-Nya tetap tidak berubah. Perlakuan Allah ketika menghadapi orang yang belum diselamatkan itu berbeda dengan perlakuan- Nya terhadap orang yang sudah diselamatkan (Amsal 11:20; 12:12;4 Petrus 3:12). Allah yang tidak mungkin menyesal (Bilangan 23:19), dikatakan menyesal pada saat manusia berubah dari jahat menjadi baik, maupun dari baik menjadi jahat (Kejadian 6:6; Keluaran 32:14; Yeremia 18:7-11; Yoel 2:13; Yunus 3:10).

Sifat tidak berubah pada Allah ini nampak dalam hal Dia selalu melakukan yang benar dan Ia senantiasa menangani secara adil makhluk-makhluk ciptaan-Nya sesuai dengan watak dan kelakuan mereka. Ancaman-ancaman-Nya sering kali merupakan ancaman bersyarat, misalnya ketika Ia mengancam akan menghancurkan Israel (Keluaran 32:9-14) dan Niniwe (Yunus 1:2; 3:4, 10).

B. SIFAT-SIFAT MORAL

Sifat-sifat moral Allah merupakan sifat-sifat yang mengandung unsur-unsur moral dalam hakikat ilahi.

1. Kekudusan.

Allah itu samasekali berbeda dan lebih agung daripada segala makhluk ciptaan-Nya, dan la juga terpisah dari semua dosa dan kejahatan moral. Dalam arti yang pertama tadi, kekudusan Allah sebenarnya bukan suatu sifat yang sederajat dengan sifat-sifat lainnya, namun lebih tepat kalau dikatakan bahwa sifat Allah ini sejajar atau sejalan dengan sifat-sifat lainnya.

Kekudusan Allah menunjuk kepada kesempurnaan segala sesuatu di dalam diri Allah. Dalam arti yang kedua, kekudusan itu dipandang sebagai keselarasan kekal dari diri Allah dengan kehendak-Nya. Di dalam diri Allah kemurnian diri sudah ada sebelum kemurnian kehendak maupun tindakan. Allah tidak menghendaki yang baik karena itu baik, juga tidak dapat dikatakan bahwa sesuatu itu baik karena itu dikehendaki oleh Tuhan; jika halnya memang demikian maka itu berarti ada sesuatu yang baik yang lebih tinggi dari Allah atau yang baik itu sifatnya sewenang-wenang dan bisa berubah-ubah. Lebih tepat kalau dikatakan bahwa kehendak Allah merupakan wujud sifat-dasar Allah yang kudus itu.

Kekudusan merupakan sifat yang terutama di antara semua sifat Allah. Dalam zaman Perjanjian Lama Allah teristimewa ingin agar diri-Nya dikenal sebagai Allah yang kudus (Imamat 11:44-45; Yosua 24:19; I Samuel 6:20; Mazmur 22:4; Yesaya 40:25; Yehezkiel 39:7; Habakuk 1:12). Kekudusan Allah ditekankan oleh batas- batas yang dipasang keliling Gunung Sinai ketika Allah berkenan turun di gunung itu (Keluaran 19:12-25), oleh pembagian kemah suci dan bait suci ke dalam tempat kudus dan tempat yang maha- kudus (Keluaran 26:33; I Raja-Raja 6:16, 19), juga oleh penentuan korban-korban yang harus dipersembahkan seorang Israel bila akan menghampiri hadirat-Nya (Imamat 1-7).

Kekudusan tersebut juga memperoleh tekanan khusus dalam keimaman yang ditetapkan-Nya sebagai perantara di antara Allah dan bangsa Israel (Imamat 8-10), serta hukum-hukum tentang kenajisan (Imamat 11-15), pesta-pesta atau hari-hari raya Israel (Imamat 23), serta juga kedudukan khusus Israel di Palestina (Bilangan 23:9; Ulangan 33:28-29). Allah disebut sebagai "Yang Kudus" sekitar tiga puluh kali dalam kitab Yesaya saja (lihat juga istilah "kudus" dalam kaitan dengan Allah Anak dalam Kisah 3:14, dan Roh dalam Efesus 4:30).

Dalam Perjanjian Baru, kekudusan Allah tidak disebutkan sesering di Perjanjian Lama, namun sifat ini juga dinyatakan (Yohanes 17:11; Ibrani 12:10; I Petrus 1:15-16). Yohanes menyatakan, "Allah adalah terang, dan di dalam Dia samasekali tidak ada kegelapan" (I Yohanes 1:5). Para serafim mengelilingi takhta Allah sambil berseru secara antifonal, "Kudus, kudus, kuduslah" (Yesaya 6:3; Wahyu 4:8). Begitu mendasarnya sifat ini sehingga kekudusan Allah, dan bukan kasih, kuasa, atau kehendak-Nya yang harus menduduki tempat utama. Kekudusan Allah yang mengatur tiga sifat yang lain itu, karena takhta-Nya didirikan berlandaskan kekudusan- Nya.

Tiga hal penting harus kita pelajari dari kenyataan kekudusan Allah ini.

a. Di antara Allah dengan orang berdosa terdapat suatu jurang pemisah (Yesaya 59:1-2; Habakuk 1:13). Bukan saja orang berdosa terpisah dari Allah, melainkan Allah juga terpisah dari orang berdosa. Sebelum ada dosa, manusia dengan Allah bersekutu satu dengan yang lain; kini persekutuan tersebut telah putus dan mustahil berlangsung lagi.

b. Apabila manusia ingin menghampiri Allah, ia harus melakukannya melalui seorang penengah. Manusia tidak memiliki dan tidak mungkin memperoleh kesucian tak bercacat yang diperlukan untuk menghampiri Allah. Namun, Kristus telah membuka jalan bagi manusia untuk menghampiri Allah kembali (Roma 5:2; Efesus 2:18; Ibrani 10:19-20). Di dalam kekudusan Allah terdapat alasan pendamaian; apa yang dituntut oleh kekudusan Allah telah disediakan oleh kasih Allah (Roma 5:6-8; Efesus 2:1-9; I Petrus 3:18).

c. Kita harus menghampiri Allah "dengan hormat dan takut" (Ibrani 12:28). Suatu pemahaman yang benar tentang kekudusan Allah menghasilkan pemahaman yang memadai tentang kenajisan diri kita (Mazmur 66:18; I Yohanes 1:5-7). Ayub (39:36-38), Yesaya (6:5-7), dan Petrus (Lukas 5:8) merupakan contoh-contoh yang menonjol dari kebenaran ini. Perendahan diri, kesedihan yang mendalam karena berbuat dosa, serta pengakuan dosa merupakan tanggapan yang dengan sendirinya timbul setelah memahami pandangan Alkitab tentang kekudusan Allah.

2. Kebenaran dan keadilan.

Kebenaran dan keadilan Allah merupakan unsur kekudusan Allah yang nampak di dalam cara Allah menghadapi manusia ciptaan-Nya. Berkali-kali dalam Alkitab sifat- sifat ini disebutkan sebagai milik Allah (II Tawarikh 12:6; Ezra 9:15; Nehemia 9:33; Yesaya 45:21; Daniel 9:14; Yohanes 17:25; II Timotius 4:8; Wahyu 16:5). Abraham pernah merenungkan sebagai berikut, "Masakan Hakim segenap bumi tidak menghukum dengan adil?" (Kejadian 18:25). Pemazmur menandaskan, "Keadilan dan hukum adalah tumpuan takhta-Mu" (Mazmur 89:15; 97:2).

Allah telah menetapkan suatu pemerintahan moral di dalam dunia, menetapkan hukum-hukum yang adil untuk ditaati makhluk-makhluk ciptaan-Nya serta menetapkan juga sangsi-sangsinya. Karena ada sangsi, Allah melaksanakan hukum-hukum-Nya dengan cara memberi hadiah atau menjatuhkan hukuman. Pembagian hadiah ini dikenal dengan istilah keadilan yang memberi pahala (Ulangan 7:9- 13; II Tawarikh 6:15; Mazmur 58:12; Matius 25:21; Roma 2:7; Ibrani 11:26).

Keadilan yang memberi pahala dilandaskan pada kasih ilahi dan bukan semata-mata pada jasa. Pemberian hukuman dikenal dengan istilah keadilan yang menghukum. Keadilan menghukum merupakan ungkapan murka ilahi (Kejadian 2:17; Keluaran 34:7; Yehezkiel 18:4; Roma 1:32; 2:8, 9; II Tesalonika 1:8). Allah tidak mungkin menetapkan sebuah hukum lengkap dengan sangsinya lalu membiarkan saja bila terjadi pelanggaran. Bila hukum Allah dilanggar harus ada penghukuman baik secara pribadi ataupun lewat pengganti.

Dengan kata lain, keadilan menuntut penghukuman orang berdosa, tetapi keadilan juga bisa menerima pengorbanan seorang pengganti seperti dalam hal kematian Kristus (Yesaya 53:6; Markus 10:45; Roma 5:8; I Petrus 2:24). Kebenaran Allah dinyatakan dalam penghukuman-Nya atas orang fasik (Wahyu 16:5-7), pembebasan umat-Nya dari segenap penjahat (Mazmur 129), mengampuni orang yang bertobat (I Yohanes 1:9), menepati janji kepada anak-anak-Nya (Nehemia 9:7-9), serta memberi pahala kepada yang setia (Ibrani 6:10).

Kalangan tertentu mungkin mengemukakan bahwa penghukuman itu hanyalah untuk perbaikan, namun harus dilihat bahwa tujuan akhir dari setiap penghukuman ialah dipertahankannya keadilan. Bisa saja penghukuman juga mempunyai tujuan sampingan seperti perbaikan atau pencegahan (I Timotius 5:20).

Kebenaran Allah membesarkan hati orang percaya karena ia tahu bahwa Allah menghakimi dengan adil (Kisah 17:31), bahwa ia aman di dalam kebenaran Kristus (Yohanes 17:24; I Korintus 1:30; II Korintus 5:21), dan bahwa segala kebaikannya tidak akan dilupakan Allah (Amsal 19:17; Ibrani 6:10; Wahyu 19:8).

3. Kebaikan.

Dalam arti yang lebih luas dari istilah ini, kebaikan Allah meliputi semua sifat-Nya yang sesuai dengan gambaran kita tentang seseorang yang sempurna; maksudnya, kebaikan Allah meliputi sifat-sifat seperti kekudusan-Nya, keadilan dan kebenaran- Nya, dan demikian pula kasih-Nya, kemurahan-Nya, belas kasihan- Nya, dan anugerah-Nya. Nampaknya pengertian yang luas inilah yang dimaksudkan oleh Yesus Kristus ketika berkata kepada pemuda yang kaya itu, "Mengapa kaukatakan Aku baik? Tak seorang pun yang baik selain daripada Allah saja" (Markus 10:18). Namun dalam pengertian yang lebih sempit, kebaikan Allah berkaitan dengan keempat sifat yang disebutkan paling akhir.

a. Kasih Allah. Kasih Allah merupakan kesempurnaan dari tabiat Allah yang selalu mendorong Allah untuk menyatakan diri- Nya. Kasih Allah bukan sekadar dorongan emosional yang sesaat, melainkan merupakan kasih sayang yang rasional dan sukarela karena berlandaskan kebenaran dan kekudusan serta bertindak secara sukarela. Kami tidak bermaksud menyangkal keterlibatan perasaan karena kasih yang sejati selalu melibatkan perasaan. Bila tidak ada perasaan di dalam diri Tuhan, maka tidak ada kasih juga di dalam diri-Nya. Kenyataan bahwa Tuhan sedih melihat dosa-dosa umat- Nya berarti bahwa Ia mengasihi umat-Nya (Yesaya 63:9-10; Efesus 4:30). Kasih Allah pertama-tama dan terutama ditujukan kepada oknum-oknum lain di dalam tritunggal. Jadi, untuk menyatakan kasih-Nya, Allah sebenarnya tidak memerlukan alam semesta dan manusia.

Alkitab sering kali memberi kesaksian bahwa Allah itu kasih. Alkitab berbicara tentang Allah sebagai "Allah sumber kasih" (II Korintus 13:11) dan menyatakan bahwa Allah adalah "kasih" (I Yohanes 4:8, 16). Adalah watak Allah untuk senantiasa mengasihi. Allah memprakarsai kasih (I Yohanes 4:10). Allah itu berbeda dengan dewa-dewa kaum kafir yang selalu penuh kebencian dan senantiasa murka. Allah juga berbeda dengan ilah ciptaan para ahli filsafat yang dingin dan tidak berperasaan. Allah Bapa mengasihi Allah Anak (Matius 3:17), dan Allah Anak mengasihi Allah Bapa (Yohanes 14:31). Allah mengasihi dunia (Yohanes 3:16; Efesus 2:4), umat-Nya Israel (Ulangan 7:6-8, 13; Yeremia 31:3), serta anak-anak-Nya yang sejati (Yohanes 14:23). Allah mengasihi keadilan (Mazmur 11:7) serta kebenaran (Yesaya 61:8). Keyakinan akan kasih Allah merupakan sumber penghiburan bagi orang percaya (Roma 8:35-39).

b.Kemurahan Allah. Akibat kebaikan-Nya, Allah memperlakukan semua makhluk-Nya dengan lemah lembut dan sayang serta memberkati mereka dengan berlimpah-limpah. "Tuhan itu baik terhadap semua orang, dan penuh rahmat terhadap segala yang di- jadikan-Nya.... Mata sekalian orang menantikan Engkau, dan Engkau pun memberi mereka makanan pada waktunya; Engkau yang membuka tangan-Mu dan yang berkenan mengenyangkan segala yang hidup" (Mazmur 145:9, 15-16). Ciptaan merupakan hasil karya Allah yang semuanya dinyatakan sangat baik oleh Tuhan sendiri (Kejadian 1:31). Tuhan tidak mungkin membenci apa yang telah dibuat-Nya sendiri (Ayub 10:3; 14:15). Kemurahan Allah dinyatakan dalam perhatian-Nya terhadap kesejahteraan makhluk-makhluk ciptaan-Nya serta senantiasa menyediakan apa yang diperlukan oleh mereka sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing (Ayub 39:3; Mazmur 104:21; 145:15; Matius 6:26). Kemurahan Allah tidak terbatas kepada orang percaya saja, karena "Bapamu yang di sorga ... menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar" (Matius 5:45, bandingkan dengan Kisah 14:17).

c. Belas kasihan Allah. Belas kasihan Allah merupakan kebaikan- Nya yang dinyatakan kepada orang-orang yang berada di dalam penderitaan atau kesukaran. Rahmat, kasihan, dan kasih setia merupakan istilah-istilah yang dipakai oleh Alkitab untuk menunjuk kepada belas kasihan Allah. Belas kasihan merupakan sifat kekal yang perlu di dalam diri Allah sebagai yang mahasempuma, namun perwujudannya dalam kasus-kasus tertentu adalah bebas pilih.

Menolak kebebasan belas kasihan berarti meniadakannya, karena bila belas kasihan menjadi utang, maka itu tidak bisa lagi dikatakan sebagai belas kasihan. Allah disebut sebagai "kaya dengan rahmat" (Efesus 2:4), "Tuhan maha penyayang dan penuh belas kasihan" (Yakobus 5:11), dan memiliki "rahmat yang besar" (I Petrus 1:3). Alkitab mengatakan bahwa Ia mengasihani Israel (Mazmur 102:14), mengasihani orang bukan Yahudi (Roma 11:30-31), dan semua orang yang takut akan Dia (Mazmur 103:17; Lukas 1:50) serta mencari keselamatan pada-Nya (Yesaya 55:7). Istilah rahmat Allah sering dipakai untuk salam pembukaan dan salam penutup (Galatia 6:16; I Timotius 1:2; II Timotius 1:2; II Yohanes 3; Yudas 2).

d. Anugerah Allah. Anugerah atau kasih karunia Allah merupakan kebaikan Allah yang ditujukan kepada orang-orang yang sebenarnya tidak layak menerima kebaikan itu. Anugerah berkaitan dengan orang berdosa karena ia bersalah, sedangkan belas kasihan berkaitan dengan orang berdosa karena ia dalam keadaan yang menyedihkan. Alkitab berbicara mengenai "kasih karunia-Nya yang mulia" (Efesus 1:6), "kekayaan kasih karunia-Nya yang melimpah- limpah" (Efesus 2:7), "kasih karunia yang benar-benar dari Allah" (I Petrus 5:12).

Pelaksanaan anugerah atau kasih karunia, seperti halnya belas kasihan, bergantung pada kerelaan Tuhan. Ia akan tetap kudus di dalam segala tindakan-Nya. Apakah Ia akan atau tidak akan memperlihatkan anugerah-Nya kepada seorang berdosa adalah hak Allah. Alkitab menunjukkan bahwa anugerah Allah dinyatakan kepada orang duniawi dalam kesabaran-Nya dan dalam menunda penghukuman atas dosa (Keluaran 34:6; Roma 2:4; 3:25; 9:22; I Petrus 3:20; II Petrus 3:9, 15), pembagian berbagai karunia dan talenta antara manusia, pencurahan berkat dan bukan penghukuman secara langsung (Ibrani 6:7), penyediaan keselamatan (I Yohanes 2:2), Firman Allah (Hosea 8:12), karya Roh Kudus untuk menginsafkan orang akan dosa (Yohanes 16:8-11), pengaruh umat Allah (Matius 5:13-16), serta anugerah pendahuluan atau anugerah umum- (Titus 2:11).

Alkitab juga menunjukkan bahwa anugerah atau kasih karunia- Nya dinyatakan secara khusus kepada orang-orang pilihan-Nya dalam pemilihan dan penentuan dari semula (Efesus 1:4-6), penebusan (Efesus 1:7-8), penyelamatan (Kisah 18:27; Efesus 2:7-8), pengudusan (Roma 5:21; Titus 2:11-12), ketekunan (II Korintus 12:9), pelayanan (Roma 12:6; I Petrus 4:10-11), serta pemuliaan (I Petrus 1:13). Tindakan ini dikenal sebagai tindakan kasih karunia Allah yang khusus. Seperti halnya belas kasihan atau rahmat, istilah kasih karunia ini juga sering dipakai sebagai salam pembuka dan salam penutup (I Korintus 1:3; 16:23; Efesus 1:2; Filemon 25; Wahyu 1:4; 22:21).

4. Kebenaran.

Allah adalah kebenaran. Pengetahuan, pernyataan, serta gambaran dan lambang Allah secara kekal sesuai dengan realitas. Kebenaran Allah bukan sekadar landasan semua agama, tetapi juga landasan semua pengetahuan. Allah adalah benar-benar Allah dalam arti Dia adalah Allah yang sejati maupun Allah yang selalu mengatakan hal yang sebenarnya. Dialah sumber segala kebenaran. Keyakinan bahwa pancaindra kita tidak menipu, bahwa kesadaran kita dapat dipercaya, bahwa keadaan berbagai hal adalah seperti penampakannya kepada kita, dan bahwa eksistensi bukan sekadar impian, pada hakikatnya bergantung pada kebenaran Allah. Dengan kata lain, kita hidup di dalam dunia yang benar-benar ada. Banyak orang bertanya bersama dengan Pontius Pilatus, "Apa itu kebenaran?" (Yohanes 18:38). Puncak kebenaran atau kenyataan ialah Allah.

Watak manusia maupun Alkitab mengajarkan bahwa Allah adalah benar. Seseorang mau tidak mau harus mengakui bahwa hukum-hukum alam memiliki pencipta yang berkepribadian. Baik keteraturan hukum-hukum alam maupun ketegasannya yang nyata membuktikan adanya pencipta yang cerdas dan bijaksana. Yesus menegaskan bahwa Allah adalah "satu-satunya Allah yang benar" (Yohanes 17:3). Yohanes menulis bahwa "kita ada di dalam Yang Benar" (I Yohanes 5:20, bandingkan dengan Yeremia 10:10; Yohanes 3:33; Roma 3:4; I Tesalonika 1:9; Wahyu 3:7; 6:10).

Dalam hubungan-Nya dengan makhluk-makhluk ciptaan-Nya, kebenaran Allah dikenal sebagai kejujuran dan kesetiaan-Nya. Kejujuran Allah berhubungan dengan apa yang Allah nyatakan tentang diri- Nya sendiri dan apa yang disabdakan-Nya. Penyataan diri-Nya dalam alam, kesadaran, dan Alkitab itu benar dan dapat dipercaya (Mazmur 31:6; Ibrani 6:17, 18).

Kesetiaan Allah membuat la menepati semua janji-Nya, baik yang telah diucapkan-Nya maupun yang tersirat di dalam hukum-hukum yang Ia berikan kepada kita (Ulangan 7:9; Yesaya 25:1). Allah itu setia kepada diri-Nya sendiri (II Timotius 2:13), kepada Firman-Nya (Ibrani 11:11), dan kepada umat-Nya (I Korintus 1:9; 10:13; I Tesalonika 5:24; II Tesalonika 3:3). Kenyataan ini selalu merupakan sumber kekuatan dan penghiburan bagi orang percaya. Di dalam kitab Yosua kita membaca pernyataan luar biasa berikut ini, "Dari segala yang baik yang dijanjikan Tuhan kepada kaum Israel, tidak ada yang tidak dipenuhi; semuanya terpenuhi" (21:45).

Namun, sekarang bagaimana kejujuran Allah ini dapat diterima bila kita melihat banyak sekali ancaman Allah yang tidak dilaksanakan? Janji-janji dan ancaman-ancaman Allah yang bersifat mutlak senantiasa benar-benar digenapi; akan tetapi, bila janji dan ancaman itu bersyarat, maka penggenapannya tergantung dari ketaatan atau pertobatan orang yang bersangkutan. Syarat tersebut bisa tersurat maupun tersirat, dan samasekali tidak ada pelanggaran terhadap kesetiaan Allah bila, sebagai akibat ketidaktaatan dan ketiadaan pertobatan atau ketaatan dan pertobatan dari pihak manusia, Allah tidak memenuhi janji-Nya (Yunus 3, 4).

Baca Juga: Ketrituggalan Allah

Selanjutnya, apakah tawaran dan dorongan untuk bertobat kepada orang- orang berdosa, yang ternyata kemudian toh akan hilang, betul-betul tulus? Undangan-undangan yang tulus masih saja tergantung dari kemauan si penerima undangan tersebut, dan bila manusia tidak mau menerima undangan Allah maka tidaklah dapat dikatakan bahwa Tuhan tidak tulus ketika memberikan undangan itu. Allah tahu sebelumnya bahwa Israel akan menolak untuk masuk ke Kanaan dari Kadesy-Barnea, namun pengetahuan tersebut tidak menahan Allah untuk tetap menghimbau dengan sungguh-sungguh agar umat- Nya memasuki Kanaan lewat Kadesy-Barnea (Ulangan 1:19-33). Jadi, kejujuran dan kesetiaan Allah tetap tidak ternoda.

Sesungguhnya, Allah kita tidak terpahami! Paulus berseru,”0, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat, dan pengetahuan Allah!

Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya! ... Sebab segala sesuatu dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: bagi Dialah kemuliaan sampai selama- lamanya!" (Roma 11:33, 36). Di hadapan Allah, anak Tuhan tersungkur dan menyembah Dia. Kemahatahuan tidak dungu; Allah mengetahui. Kasih tidak acuh tak acuh; Allah memperhatikan dan menolong. Kemahakuasaan bukanlah tidak berdaya; Allah bertindak.

Next Post Previous Post