PENGINJILAN (DEFINISI, ARTI, MOTIVASI DAN METODE)

1. Pendahuluan

John Piper menyatakan bahwa tujuan akhir segala sesuatu adalah Allah bukan manusia. Oleh karenanya, sasaran akhir dari gereja adalah keselamatan jiwa-jiwa. Ibadah adalah kehidupan yang penuh pengabdian dan penyembahan kepada Kristus. Dengan kata lain, hal yang paling penting dalam kehidupan orang percaya adalah sentralitas Allah dalam kehidupannya. Jika demikian, di manakah posisi misi?.
PENGINJILAN (DEFINISI, ARTI, MOTIVASI DAN METODE)
Gadget, health, education
Penyelamatan adalah sasaran dan bahan bakar misi. Dengan kata lain tugas misi dimulai dan diakhiri dengan penyelamatan.

Lebih lanjut Piper dengan mengutip Westminster Catechism mengatakan bahwa tujuan utama manusia adalah memuliakan Allah dan menikmati Dia selamanya. Dengan kata lain Piper menyatakan bahwa kesenangan manusia yang tertinggi adalah kesenangan yang ada dalam diri Allah sendiri.

Pernyataan ini membawa implikasi bahwa Allah paling dimuliakan dalam diri ketika kita merasa paling puas di dalam Dia. Bagaimana caranya agar jemaat merasa puas di dalam Dia? Yaitu dengan menjadikan gairah, keinginan, kehendak Allah sebagai gairah kita. Roma 15:8 – 9 menyatakan bahwa anugerah Allah adalah puncak dari kemuliaan Allah, yaitu Dia ingin agar bangsa-bangsa yang bersunat ataupun tidak bersunat untuk memuliakan diri-Nya.

Dengan demikian gairah untuk memuliakan Allah, sikap seorang hamba dan hati yang penuh belas kasihan memotivasi misi ke seluruh dunia. Dengan kata lain, rencana Allah untuk menyelesaikan tujuan-Nya, adalah untuk mengikutsertakan umat-Nya yang telah ditebus ke dalam misi pengampunan dunia.

New Dictionay of Theology menyatakan bahwa misiologi adalah bagian dari disiplin ilmu teologi, karenanya misiologi tak terpisah dari bagian-bagian teologi lainnya. Bahkan misologi memiliki peran penting dalam mengintegrasikan berbagai area teologi lainnya. Dengan kata lain, setiap aspek dalam teologi tidak terlepas dari dimensi misiologi karena keberadaan masing-masing adalah untuk mendukung pencapaian misi gereja.

Dari penjelasan di atas jelas terlihat signifikansi pentingnya misi dalam hidup orang-orang Kristen, terutama bagi yang mempelajari teologi. Orang yang belajar teologi dengan baik akan secara otomatis melibatkan diri dalam misi. Sebaliknya, orang yang melibatkan diri dalam misi seharusnya belajar teologi dengan baik. Dengan demikian tidak ada pemikiran dualisme antara teologi dan misi. Tidak adanya dualisme ini sesuai dengan teladan hidup Kristus dan Paulus (dan para rasul- rasul lainnya).

Yesus sendiri seperti dicatat dalam Lukas 24:45 – 47, dengan jelas menggabungkan pelayanan-Nya untuk menderita, mati, dan bangkit pada hari ketiga. Setelah kebangkitan-Nya, Dia ingin agar berita tentang pertobatan dan pengampunan dosa harus disampaikan kepada segala bangsa.

Mengingat tidak adanya definisi yang baku terhadap ilmu pekabaran Injil atau misiologi, penulis mengutip artitersebut dari New Dictionary of Theology “ Misiologi adalah studi mengenai misi gereja Kristen yang terstruktur rapi.

Dari pendapat New Dictionary of Theology di atas, dapat disimpulkan bahwa misi adalah isi hati Allah yang ingin menyelamatkan umat-Nya dan misiologi adalah sebuah ilmu yang mempelajari perintah-perintah Tuhan dalam Alkitab tentang pemberitaan Injil kepada semua bangsa.

2. Pemahaman Arti Penginjilan

Penginjilan adalah bagian dari Amanat Agung yang sudah diberikan lebih dari dua ribu tahun yang lalu. Walaupun demikian, tidak diragukan lagi bahwa penginjilan adalah sebuah topik yang membingungkan dewasa ini. Selain itu, skandal-skandal para penginjil televisi yang terjadi membuat pengertian dan citra penginjilan menjadi kurang baik.

Berbicara tentang penginjilan, Alkitab sudah mencatatnya sejak zaman Perjanjian Lama dan berlanjut semakin jelas pada Perjanjian Baru. Sejak dalam kekekalan Allah sudah berkarya dan karya-Nya sempurna (Kejadian 1:25b, 28, 31). Penginjilan sudah ada dalam kekekalan dan bukan baru ada karena manusia jatuh dalam dosa. Tomatala memberikan pemahaman ajaran Alkitab tentang penginjilan baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru sebagai berikut:

1. Penginjilan dalam Perjanjian Lama

a) Penciptaan, janji berkat Allah, dan mandat penginjilan Allah adalah sumber, dasar, dan dinamika bagi penginjilan. Dalam penyataan diri-Nya, penginjilan merupakan wujud penyataan diri Allah di dalam sejarah penyelamatan manusia. Kejadian 1:1 menjelaskan tentang Allah yang menyatakan diri sebagai pencipta yang berdaulat, di mana kuasa-Nya yang dahsyat adalah dasar bagi penginjilan. 

Kejadian 1:28 adalah “mandat penginjilan” yang diberikan Allah dengan tujuan agar umat-Nya memenuhi, menguasai, dan menaklukkan bumi bagi kemuliaan Allah. Sasaran utama mandat ini adalah agar umat Allah menikmati shalom dari Allah. Status umat Allah diteguhkan dengan “janji berkat” (Kovenan Allah: Kejadian 12:1-3; 17; Ul. 28). Berdasarkan janji berkat inilah Allah memberikan mandat penginjilan sebagai bagian dari rencana-Nya untuk mengaruniakan shalom bagi umat-Nya.

b) Penginjilan dan janji keselamatan dari Allah: Kejadian 3:15, Galatia 3:8 menyatakan bahwa Allah sendiri yang menginjili Abraham. Dengan demikian isi berita penginjilan dalam Perjanjian Lama adalah melalui Abraham Allah akan memberkati segala bangsa. Setelah kejatuhan manusia dalam dosa, Allah memberikan janji keselamatan yang paling awal dalam Kejadian 3:15 (protevangelium). Dalam perkembangannya semua nabi memanggil orang berdosa untuk bertobat kepada Allah.

2. Penginjilan dalam Perjanjian Baru.

Kata “Penginjilan” dalam bahasa Yunani mempunyai beberapa kata yang berbeda pengertiannya yaitu:

a) Euanggelizo: Kata ini muncul sebanyak 54 kali dalam Perjanjian Baru. Kata ini berarti memberitakan Kabar Baik. Penekanan yang diberikan adalah kepada tugas atau pekerjaan mengabarkan injil (Lukas 2:10; Efesus 3:8, 28; 1 Korintus 15:1-4).

b) Kerusso: Kata ini muncul sebanyak 61 kali dalam Perjanjian Baru. Kata ini mempunyai arti memberitahukan; menceritakan; berkhotbah; memuji secara terbuka. Dengan demikian kata Kerusso mempunyai arti bahwa tugas penginjilan bersifat wajib dan penting, serta harus dilakukan.

c) Didasko: Kata ini muncul sebanyak 97 kali dalam Perjanjian Baru. Didasko berarti mengajar atau mengajarkan. Istilah ini banyak dipakai dalam pelayanan Yesus yang menyampaikan berita dengan mengajar (Matius 10:7-15; Lukas 10:4-12).

d) Martureo: Kata ini muncul sebanyak 76 kali dalam Perjanjian Baru. Mempunyai arti memberi kesaksian; menjadi saksi; membuktikan; mengatakan baik; membuktikan baik. Dengan kata lain Martureo artinya bersaksi berdasarkan keyakinan atas dasar apa yang dialami (Yohanes 15:26-27; Kis. 1:8, 2:32, 10:39, 22:15, 26:6; 1 Korintus 11:26, 15:1-4).

Dari penjelasan di atas, dasar penginjilan adalah janji Allah secara pribadi untuk membebaskan umat-Nya dari dosa. Umat Allah memiliki kewajiban penting melakukan tugas penginjilan dengan memberitakan Kabar Baik. Hal ini ditegaskan lagi pada Amanat Agung Kristus (Matius 28:19-20; Markus 16:15-18; Lukas 24:44-49; Yohanes 20:19-20; Kisah Para Rasul 1:6-8).

3. Definisi Penginjilan

Ada beberapa definisi penginjilan yang dikemukakan oleh para teolog dan misiolog. Beberapa di antaranya adalah:

1. Penginjilan berarti memberitakan Injil, Kabar Baik. Penginjilan adalah pengkomunikasian yang dilakukan oleh orang Kristen sebagai penyambung lidah Allah yang menyampaikan berita pengampunan Allah kepada orang berdosa.

2. Penginjilan adalah proklamasi dinamis tentang Injil penebusan sebagai titik pusat iman kita kepada umat manusia.

3. Penginjilan artinya pribadi-pribadi yang seutuhnya menyampaikan Injil yang seutuhnya kepada pribadi yang seutuhnya.

4. Penginjilan adalah proklamasi karya keselamatan yang dikerjakan Kristus melalui kematian dan kebangkitan-Nya, di dalam kuasa Roh Kudus dan menuntut adanya tanggapan pribadi, yaitu bertobat, beriman, dan menerima-Nya sebagai Juruselamat; serta menjadi murid yang rela menyangkal diri, memikul salib, dan melayani Dia.

5. Penginjilan adalah memberitakan Kabar Baik tentang Yesus Kristus. Memberitakan Kabar Baik sesuai 1 Korintus 15:3 – 4 kepada orang-orang tersesat di dunia adalah penginjilan.

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa penginjilan adalah proses pemberitaan (pengkomunikasian) Kabar Baik kepada orang yang belum menerima Kristus sebagai Juruselamat pribadi. Inti berita penginjilan adalah semua orang sudah berdosa dan hanya melalui percaya kepada Yesus, semua dosanya mendapat pengampunan dan hidup kekal.

4. Motivasi Dalam Penginjilan


Setiap orang Kristen hidup dalam dua komunitas yaitu komunitas Kristiani dan komunitas non-Kristiani. Walaupun demikian, apakah orang Kristen sungguh-sungguh “hidup dalam komunitas non-Kristen?”. 

Jerry White mengungkapkan hasil penelitiannya sebagai berikut: “Penelitian kami menyatakan bahwa setelah seseorang beriman kepada Kristus, dalam waktu dua tahun saja, hampir semua temannya hanyalah orang-orang Kristen. Lebih detailnya, kami mendapati bahwa orang Kristen rata-rata yang telah menjadi Kristen selama dua tahun, tidak mempunyai teman non-Kristen”.

Hasil penelitian di atas tidak berarti bahwa orang Kristen sudah begitu rajin melakukan penginjilan sehingga tidak ada lagi orang yang belum pernah mendengar Kabar Baik. Pada kenyataannya, orang Kristen akan bergaul dengan orang Kristen lainnya sehingga akhirnya tidak mempunyai teman lagi di luar kalangan orang Kristen. Parahnya, tidak banyak orang Kristen yang dengan sengaja menjalin persahabatan dengan orang non-Kristen dan memberitakan Injil. 

Bahkan Billy Graham pernah mengatakan bahwa 90% anggota gereja sekarang ini tidak bersaksi. Persentase angka yang sangat besar ini pada kenyataannya tidak berlebihan karena menurut pengalaman Danny Daniels, pada kenyataannya persentasenya lebih tinggi dari 90%.

Packer menyatakan ada dua motif utama bagi penginjilan yaitu kasih kepada Allah serta kerinduan untuk memuliakan Dia dan kasih kepada sesama manusia dan keperdulian akan keselamatan mereka. Motif pertama merupakan motif primer dan fundamental karena tujuan akhir manusia adalah memuliakan Allah. Sedangkan motif kedua seharusnya merupakan ekspresi alamiah dan spontan dari kasih yang mengalir dalam hati setiap orang yang telah lahir baru. Tentu saja kedua motivasi ini adalah ringkasan secara global saja.

Ada berbagai motivasi lain yang lebih terperinci sebagai berikut:

1. Karena penginjilan adalah perintah Tuhan (Kisah Para Rasul 1:8), harga sebuah jiwa lebih berharga daripada seluruh kekayaan dunia (Markus 8:36), dan kelaparan dan kehausan rohani hati manusia, dan karena Tuhan mampu menyelamatkan manusia bahkan manusia yang paling berdosa.

2. Kasih Kristus, kehendak Allah dan pimpinan Roh Kudus, Amanat Agung Tuhan Yesus Kristus, perasaan berhutang, dan pengharapan masa mendatang.

3. Kehendak Allah, pengutusan Kristus, dorongan kasih Kristus, perasaan berhutang, dan pengharapan Maranatha.

Kenyataan bahwa penginjilan adalah tugas yang diberikan Allah sendiri adalah tanggung jawab dan kehormatan bagi setiap umat gereja. Allah pencipta alam semesta mengangkat umatnya menjadi rekan kerja-Nya. Inilah kehormatan yang luar biasa bagi setiap orang percaya. Di sisi lain, data menunjukkan ada begitu banyak suku bangsa atau kelompok masyarakat yang belum mengenal Kristus. Dua hal ini sudah seharusnya mendorong setiap orang percaya mempunyai motivasi yang tinggi dalam penginjilan.

5. Metode Kontekstualisasi Dalam Penginjilan

Dalam penginjilan, sebuah metode memiliki arti yang penting. Metode mempunyai pengertian sebagai “prosedur untuk mencapai tujuan”. Secara umum metode didefinisikan sebagai cara untuk melakukan apapun, terutama sesuai rencana yang ditentukan dan reguler, tata cara prosedur dalam aktifitas apapun, bisnis dan sebagainya.

Metode dalam penginjilan penting karena setiap orang dengan keunikannya bertemu dengan keunikan orang lainnya. Hal ini ditambah dengan perbedaan pola pikir dan budaya pasti menghasilkan suatu keunikan tersendiri. Bahkan Petersen menyebut bahwa kemelut besar yang pertama dihadapi umat Allah adalah benturan budaya.

Sebuah prinsip yang sangat penting dalam penginjilan adalah faktor kontekstualisasi. Tanpa kontekstualisasi, metode dalam penginjilan tidak dapat berkembang sehingga penginjilan mendapatkan citra yang buruk. Bahkan bagi Eka Darmaputra teologi kontekstualisasi adalah “teologi” itu sendiri. Artinya teologi hanya dapat disebut sebagai teologi apabila ia benar-benar kontekstual. 

Pada hakikatnya teologi adalah upaya untuk mempertemukan secara dialektis, kreatif secara esensial antara “teks” dengan “konteks”, antara kerygma yang universal dengan kenyataan hidup yang universal. Jadi teologi adalah upaya untuk merumuskan penghayatan iman kristiani pada konteks, ruang, dan waktu yang tertentu.

Kata kontekstualisasi (contextualisation) berasal dari bahasa Latin contextere yang berarti menenun atau menghubungkan bersama. Jadi pengertian kontekstualisasi adalah suatu konsep usaha memahami konteks kehidupan manusia secara luas dalam dimensi budaya, agama, sosial, ekonomi, dan politik, dalam hubungannya dengan situasi menyeluruh dengan tujuan agar pemberitaan Injil dapat dilakukan dengan baik dan dipahami secara tepat oleh setiap orang yang hidup dalam konteks tersebut.

Dari pemahaman akan arti kontekstualisasi seperti yang tertulis di atas, jelas terlihat arti penting melakukan kontekstualisasi dalam penginjilan. Setiap perubahan latar belakang masyarakat memerlukan penyesuaian metode pemberitaan Injil tanpa merubah atau mengurangi isi beritanya. Setiap budaya yang berbeda, memerlukan pendekatan konteks yang berbeda pula.

Baca Juga: Hidup Menjadi Penginjil

Rick Ricardson mengkritik metode penginjilan yang berlaku seperti seorang sales, manipulatif, pengkhotbah televisi yang mendesak orang untuk mengubah kayakinannya, dan berkeliling dari rumah ke rumah. Citra penginjilan yang lama ini perlu dirubah karena budaya telah berubah dan Allah juga sedang bekerja dengan cara-cara yang baru. Perubahan budaya secara kasat mata dapat dilihat dari buku-buku yang memenuhi rak-rak toko-toko buku, acara televisi yang sedang populer, jenis musik beserta liriknya, dan tema-tema film-film Hollywood masa kini.

Richardson menyimpulkan budaya kontemporer masa kini dengan sebuah kalimat yang pas yaitu “Orang-orang masa kini adalah orang-orang yang spiritualis namun tidak dogmatis”.

Di tengah-tengah derasnya perubahan budaya yang menerjang, Allah tidak berdiam diri. Bahkan sebenarnya Dia tidak pernah berdiam diri sesaatpun. Sejarah gereja telah membuktikan bahwa Allah terus bekerja di setiap perubahan zaman. Setiap pembengkokan terhadap kebenaran Firman Tuhan diresponi dengan munculnya tokoh-tokoh yang setia membela kebenaran Alkitab. 

Dalam menghadapi zaman ini Ricardson mengusulkan perubahan citra penginjilan dari seorang sales menjadi seorang pemandu perjalanan. Maksudnya penginjilan adalah sebuah percakapan dengan seseorang dalam perjalanan rohaninya, memimpin untuk mengubah gambaran-gambaran dan praktek-prakteknya di setiap titik.

Pada dasarnya Richardson menyatakan pentingnya melakukan kontekstualisasi dalam penginjilan masa kini. Sedangkan Geisler dan Geisler bahkan melangkah lebih jauh dengan mengusulkan perlunya sebuah pra-penginjilan yang mendahului penginjilan itu sendiri. Yang dimaksud dengan pra-penginjilan adalah mempersiapkan lahan pikiran dan hati orang untuk membuat mereka lebih bersedia mendengarkan kebenaran.

Berbicara tentang metode misi yang kontekstual, Schnabel memberikan uraian yang sangat bagus tentang metode misi rasul Paulus yang kontekstual sebagai berikut:

 Situasi yang terjadi: orang perlu mendengar pesan tentang Yesus Kristus. Berarti baik orang Yahudi maupun non-Yahudi perlu dijangkau dengan pendekatan tertentu sehingga kabar baik bisa disampaikan. Sarana penyampaian dapat dilakukan dengan ceramah, khotbah di depan umum, dan pembicaraan pribadi.

 Situasi yang terjadi: orang tinggal di kota-kota besar, kota-kota kecil, dan desa-desa. Agar mereka mendengar Injil, Paulus pergi ke tempat tinggal mereka. Dia tidak mengharapkan mereka datang kepadanya, dia yang mendatangi tempat tinggal mereka.

 Situasi yang terjadi: kota-kota di Mediterania merupakan bagian dari struktur politik Kekaisaran Romawi. Paulus pergi ke provinsi-provinsi Romawi untuk memberitakan Injil.

 Situasi yang terjadi: orang Yahudi dan non-Yahudi mempunyai budaya yang berbeda. Bagi orang Yahudi, tempat yang biasa dipakai untuk berkhotbah dan diskusi agama adalah sinagoga. Jadi Paulus pergi ke sinagoga. Untuk orang non-Yahudi, alun-alun pusat, pasar-pasar (agora) di kota-kota Yunani, tempat pertemuan di kota-kota Romawi, adalah tempat mereka mendengarkan ceramah. Ke sanalah Paulus memberitakan Injil. Sedangkan tempat kerja dan rumah pribadi memberikan kesempatan lebih lanjut untuk menjangkau orang dengan khotbah dan percakapan pribadi.

 Situasi yang terjadi: ada berbagai keragaman manusia. Masalah identitas dan kelompok etnis, budaya dan gender adalah masalah yang relevan untuk dibahas oleh Paulus. Paulus berusaha untuk menjangkau orang Yahudi dan non-Yahudi, kaya –miskin, berpendidikan – tidak berpendidikan, laki-laki – perempuan.

 Situasi yang terjadi: budaya retorika. Pada zaman itu orang-orang biasa mendengarkan orator yang berkunjung. Prinsip-prinsip retorika digunakan dalam pertemuan itu.

 Membentuk komunitas orang-orang yang menanggapi Injil dengan iman. Metode dalam melakukan penginjilan sangat penting untuk dipikirkan dan direncanakan. Tantangan pekerjaan misi selalu menjadi tantangan bagi semua orang percaya. Semua kesulitan ini tidak hanya berkaitan dengan keyakinan teologis, tetapi juga dengan tantangan budaya. Selain itu kepekaan terhadap pimpinan Tuhan sangatlah penting. 

McGavran dengan dikutip oleh Wagner menyatakan berdasarkan pengalaman, ada metode yang berkati oleh Tuhan dan ada metode yang tidak diberkati-Nya. Ketika suatu metode penginjilan tidak mendatangkan kemuliaan bagi Tuhan dan tidak mengembangkan gereja Tuhan, metode tersebut harus segera diganti.

Kontekstualisasi metode penginjilan mempunyai berbagai sisi yang berbeda. Di satu sisi, penekanannya bertumpu pada kontekstualisasi metode penginjilan sesuai dengan budaya penerima. Sedangkan satu sisi yang lain agak terlupakan. Sisi itu adalah kontekstualisasi budaya sang penginjil sendiri terhadap budaya penerima. Jabbour dalam bukunya “Memandang Sabit Melalui Mata Salib” menyatakan bahwa kontekstualisasi mencakup tiga bidang yaitu sang pembawa pesan, pesan yang disampaikan, dan sang penerima pesan.

Baca Juga: Pemuridan Menurut Alkitab

Dasar pemikiran peneliti terhadap kontekstualisasi budaya sang penginjil berlandaskan pada apa yang disebut oleh Daniels sebagai menemukan DNA penginjilan. Daniels bermaksud mendorong setiap orang untuk menemukan cara melakukan penginjilan yang paling cocok bagi masing-masing orang. Untuk menemukan cara atau model yang paling cocok, ada tiga hal yang harus dipertimbangkan yaitu Desire, Nature, dan Ability (DNA) masing-masing pribadi. 

Jadi berdasarkan pada tingkat kerinduan untuk terlibat dalam penginjilan, sifat dasar model kepribadian individu, dan kecakapan dalam melakukan penginjilan, seseorang dapat mengetahui posisinya dengan tepat sehingga dapat terlibat dengan model penginjilan yang sesuai.

Keberhasilan sebuah penginjilan seringkali ditentukan oleh kombinasi beberapa unsur. Penggunaan sebuah metode tertentu yang kontekstual, dilakukan oleh orang yang tepat, pada waktu tepat, yang ditujukan pada sasaran yang tertentu sesuai dengan pimpinan Roh Allah dan berdasarkan kebenaran Alkitab adalah syarat mutlaknya. 

Secara singkat aplikasi dari prinsip kontekstualisasi metode penginjilan dirangkum oleh pernyataan ini: “Tidak ada satu gerejapun yang dapat menjangkau semua orang. Diperlukan bermacam-macam gereja untuk menjangkau bermacam-macam orang”.PENGINJILAN KRISTEN (DEFINISI, ARTI, MOTIVASI DAN METODE)
Next Post Previous Post