HIDUP MENJADI PENGINJIL
Menjadi saksi Kristus dan memberitakan Injil adalah panggilan bagi semua orang percaya. Sebagai anak-anak Tuhan, kita pasti mengerti akan hal tersebut. Tetapi selalu saja ada alasan-alasan yang membuat kita tidak menginjili, misalnya takut, tidak tahu caranya, malas, dan lain-lain. Apakah alasan-alasan tersebut cukup valid sehingga kita tidak menginjili? Kalau tidak, apa yang sebenarnya membuat kita tidak menginjili atau menjadi saksi Kristus?
Seperti dalam Yohanes 4, seorang perempuan Samaria yang berjumpa dengan Tuhan Yesus, saat mengetahui bahwa Ia adalah Mesias yang dinantikan itu, perempuan itu langsung memperkenalkan Tuhan Yesus kepada orang-orang lain dan banyak orang menjadi percaya kepada Yesus karena perkataan perempuan itu.
Dari kejadian ini, kita dapat melihat bahwa sukacita karena telah menerima anugerah Tuhanlah yang mendorong perempuan Samaria itu untuk bersaksi tentang Tuhan Yesus. Sudah seharusnyalah kita yang telah mengalami anugerah keselamatan dari Tuhan rindu untuk menceritakan sukacita yang sudah kita alami kepada orang lain. Jika yang terjadi bukan demikian, maka kita patut mempertanyakan akan kesungguhan keselamatan kita.
Penginjilan adalah proklamasi dinamis tentang Injil penebusan sebagai titik pusat iman kita kepada umat manusia. Bolehkah orang Kristen menginjili tanpa mengetahui apa yang ia beritakan? Bolehkah orang Kristen yang sudah mengenal Allah tidak membagikan pengalamannya dan pengenalannya akan Kristus kepada orang lain?
Mengutip perkataan Pdt. Stephen Tong, “Orang yang mengetahui teologi tidak boleh tidak pergi menginjili dan orang yang menginjili tidak boleh tidak memiliki dasar teologi.” Setiap orang yang sudah mengalami keselamatan dari Allah seharusnya dapat menyaksikan pengalaman kasih yang mengubah hidupnya kepada sesamanya. Jadi kita bukan harus menunggu sampai sudah belajar Firman Tuhan secara mendalam baru menginjili, namun mengabarkan Injil dan memperlengkapi diri dengan pengetahuan-pengetahun teologi dan metode- metode penginjilan dapat dikerjakan bersamaan.
Empat hal yang perlu kita perhatikan dalam memberitakan Injil kepada siapa pun:
1. Kasih dan perhatian kepada orang yang kita injili.
Tanpa kasih terhadap sesama, penginjilan hanya akan merupakan beban tanggung jawab bagi kita. Jelas sekali bahwa pengabaran Injil yang dilakukan oleh Tuhan Yesus dan murid-murid-Nya dilandasi oleh kasih mereka kepada Tuhan dan jiwa-jiwa yang masih terhilang. Kasih dan perhatian kepada sesama tidak bisa diwujudkan hanya dengan menginjili mereka, walaupun kita sadar bahwa Injil-lah yang paling mereka perlukan walaupun manusia memiliki banyak kebutuhan lainnya, seperti kebutuhan fisik, emosi, keuangan, dan lain-lain.
Kita tidak dapat berkata “Percayalah pada Kristus, Dia telah mati untuk kita karena dosa-dosa kita!” kepada orang yang sedang kelaparan dan kekurangan, mereka akan melihat bahwa kita tidak bersimpati terhadap keadaan mereka saat itu. Perkataan Kristus, “Kamu harus memberi mereka makan!” kepada muridmurid-Nya menunjukkan bahwa Kristus juga memperhatikan kebutuhan fisik orang banyak yang mengikuti Dia.
Yesus pun bersahabat dengan kaum-kaum pendosa menurut pandangan manusia. Bagi kita memang sulit untuk mengasihi dengan kekuatan kita sendiri. Dia menawarkan untuk memberikan kasih itu di dalam hati kita ketika kita membutuhkannya. Roma 5:5 menyatakan, “Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita.”
Kemudian Warren W. Wiersbe pernah mengatakan, “The love that we need for ministry is not a natural ability; it’s a supernatural quality that only God can provide.” Marilah kita terus berdoa agar Tuhan terus melimpahkan kasih-Nya di dalam hati kita dan menolong kita untuk mengasihi sesama.
2. Mengerti hambatan-hambatan pikiran dan diri mereka untuk menerima Injil.
Setiap orang memiliki agama, kepercayaan, paham-paham atau nilai-nilai yang dipegangnya masing-masing. Hal itu dapat menjadi penghalang ketika kita mencoba memberitakan Injil. Jika kita mengenal dan mempelajari apa yang mereka percayai, kita dapat lebih mengerti hambatan dan kesulitan mereka dalam mengerti dan menerima Injil. Pengenalan kita akan kebiasaan dan ajaran mereka dapat menjadi jembatan agar Injil dapat diberitakan. Kita dapat mengembangkan sikap dialogis dengan pendekatan persahabatan dan kasih.
“Tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan! Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiaptiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat (1 Petrus 3:15).
Kami mematahkan setiap siasat orang dan merubuhkan setiap kubu yang dibangun oleh keangkuhan manusia untuk menentang pengenalan akan Allah. Kami menawan segala pikiran dan menaklukkannya kepada Kristus (2 Korintus 10:5)
3. Jangan bersandar pada pengertian kita sendiri, tetapi sepenuhnya bersandar pada pimpinan Roh Kudus.
Di atas segala metode atau pendekatan apapun yang kita gunakan, kita percaya sepenuhnya bahwa hanya pekerjaan Roh Kudus yang memungkinkan manusia dapat bertobat dan percaya (Matius 11:25-27; Kisah Para Rasul 16:14; 1 Korintus 2:12-14; dan Filipi 2:12-13).
Hanya Allah yang sanggup mencelikkan mata rohani manusia yang sudah rusak total oleh dosa. Kita dipakai Tuhan sebagai alat-Nya untuk mengarahkan manusia menuju iman dan keselamatan. Maka bagian kita adalah memberitakan Injil. Seperti Paulus katakan dalam Roma 1:16 bahwa Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya. Kita tidak dapat memastikan bahwa orangorang yang kita injili pasti akan langsung percaya, tetapi kita yakin bahwa Allah memakai pemberitaan Injil dalam proses membawa manusia kepada iman kepada-Nya.
Sebelum sesuatu menjadi lifestyle, seringkali kita perlu terlebih dahulu untuk mendisiplinkan diri.
4. Jangan masuk ke dalam perdebatan yang akhirnya mengakibatkan perseteruan yang sengit dan saling membenci, karena hal itu akan dipakai oleh setan.
Percuma Saudara memenangkan perdebatan, tetapi kehilangan orangnya. Itu merupakan suatu kegagalan.
Marilah kita terus mengingat keberadaan kita di dalam dunia ini sebagai saksi Kristus (Kisah Para Rasul 1:8). Apakah dunia dapat melihat kasih Kristus melalui hidup kita sehari-hari? Banyak dari kita yang mendengar bahwa orang-orang yang tidak mau datang ke gereja karena kesaksian yang tidak baik yang menjadi batu sandungan dari orang-orang yang menyebut diri Kristen.
Marilah kita terus meminta kekuatan dari Tuhan untuk memiliki hidup yang memperkenankan hati Tuhan. Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga (Matius 5:16).
Sebagai saksi Kristus, setiap kita harus memberitakan kabar sukacita itu. Perintah memuridkan di dalam Amanat Agung diawali dengan tindakan pemberitaan Injil. Paulus mengatakan bahwa ia berhutang untuk memberitakan Injil kepada orang Yunani maupun non-Yunani (Roma 1:4), mengabarkan Injil adalah suatu keharusan (1 Korintus 9:16), ia meminta orang untuk berdamai dengan Kristus (2 Korintus 5:20), dan ia bahkan mau menjadi “apa saja” agar dapat memberitakan Injil bagi keselamatan orang berdosa (1 Korintus 9:19-22). Perasaan ini timbul sebagai akibat anugerah keselamatan yang telah diterimanya.
BACA JUGA: BUKU ARGUMENTASI DAN TEOLOGIA DALAM MEMBERITAKAN INJIL
Kita harus belajar untuk memiliki hidup yang menginjili. Sebelum sesuatu menjadi lifestyle, seringkali kita perlu terlebih dahulu untuk mendisiplinkan diri. Dalam menginjili kita bisa mulai misalnya dengan membagikan traktat dan ikut kegiatan penginjilan gereja.
Kita mulai belajar dari melihat bagaimana orang lain membagikan Injil, menumbuhkan compassion akan jiwa-jiwa yang tersesat, hingga meminta agar Tuhan memberikan kesempatan dan kepekaan pada kita untuk menceritakan Injil kepada teman, keluarga, ataupun orangorang yang kita temui. Kita pun dapat memperlengkapi diri dengan metode-metode penginjilan misalnya Four Spiritual Laws, Evangelism Explosion, dan masih banyak lagi.
Adanya alur dalam penyampaian Injil melalui metode-metode dapat menolong kita, meskipun tidak dalam setiap situasi kita dapat memakainya karena efek dosa pada tiap manusia itu berbeda-beda. Kita pun harus menyatakan Injil yang sejati secara utuh (1 Korintus 15:3-4). Paulus memperingatkan jemaat di Galatia tentang adanya Injil yang tidak murni atau sesat (Galatia 1:8).
Kita memohon hikmat Tuhan untuk memimpin kita dalam berkatakata sehingga yang mendengar dapat menyadari kebutuhannya akan Injil. Jika kita boleh ikut ambil bagian dalam pemenuhan misi Kerajaan Allah, yaitu memenuhi seluruh bumi ini dengan kemuliaan-Nya, akan menjadi hal yang sangat berharga!
“Dan Injil Kerajaan ini akan diberitakan di seluruh dunia menjadi kesaksian bagi semua bangsa, sesudah itu barulah tiba kesudahannya.” (Matius 24:14)
(References: Prinsip-Prinsip Penginjilan oleh Thomy J. Matakupan dan Teologi Penginjilan oleh Pdt. Dr. Stephen Tong)
(Rika & Sofia)
https://teologiareformed.blogspot.com/