EKSPOSISI ROMA 9:1-33
Denny Teguh Sutandio.
otomotif, gadget, bisnis |
Bacaan: Roma 9:1-5.
Pada bagian ini, kita hanya akan membahas pasal 9 ayat 1 s/d 5 yang merupakan pendahuluan dan pemaparan Paulus tentang bangsa Israel dan apa yang mereka peroleh.
Pembahasan Paulus tentang pemilihan orang percaya yang diakhiri di pasal 8 ayat 39 berhubungan erat dengan pemilihan Israel mulai pasal 9, di mana pemilihan orang percaya adalah seperti pemilihan Israel. Mulai pasal 9 s/d 11, ketika kata Israel muncul, Paulus sudah mengunci artinya yaitu bukan Israel secara bangsa/fisik, tetapi Israel rohani (Rona 9:6-8).
Mengapa demikian ? Karena Paulus menyadari bahwa tidak semua orang Israel adalah pilihan Allah. Sisa-sisa dari orang Israel inilah yang sungguh-sungguh disebut umat pilihan Allah. Demikian juga halnya dengan orang-orang Kristen, bukan identitas “Kristen”nya yang menentukan/menyelamatkan, tetapi isi dari imannya yang menentukan apakah dia termasuk umat pilihan Allah atau bukan.
Di awal pembahasannya di pasal 9, Paulus mengatakan, “Aku mengatakan kebenaran dalam Kristus, aku tidak berdusta. Suara hatiku turut bersaksi dalam Roh Kudus, bahwa aku sangat berdukacita dan selalu bersedih hati.” (ayat 1 dan 2) Kedua ayat pembukaan ini menandakan bahwa betapa seriusnya pemilihan Israel (rohani) bagi Paulus. Keseriusan ini ditandai dengan dua kesaksian yaitu: kesaksian dari kebenaran dalam Kristus dan kesaksian hati nurani bersama Roh Kudus.
Pertama, kesaksian dari kebenaran dalam Kristus. Kata “kebenaran” dalam ayat 1 ini dalam bahasa Yunani alētheia berarti kebenaran (truth). Berarti, Paulus hendak mengatakan bahwa pemilihan Israel didasarkan pada kebenaran Allah di dalam Kristus, di mana Israel sejati bukanlah Israel secara lahiriah/fisik, tetapi rohaniah. Kebenaran ini sangat penting, karena di ayat berikutnya, Paulus mengemukakan bahwa banyak orang Israel menyombongkan diri karena mereka menyangka bahwa mereka keturunan Abraham, maka mereka pasti selamat. Padahal kriteria keselamatan bukan ditentukan apakah dia keturunan Abraham, tetapi mutlak pada pemilihan Allah yang berdaulat.
Kedua, kesaksian hati nurani bersama Roh Kudus. Kata “suara hatiku” di dalam ayat 1 dalam bahasa Yunani suneidēsis berarti hati nurani (conscience). Bukan hanya kebenaran Allah di dalam Kristus, hati nurani Paulus yang dibimbing Roh Kudus juga ikut bersaksi bahwa Israel sejati bukanlah karena keturunan, tetapi karena pilihan Allah. Ini adalah kekonsistenan antara masing-masing Pribadi Allah Trinitas, yaitu masing-masing Pribadi Allah menyatakan kebenaran: Allah Bapa menyatakan kebenaran-Nya di dalam Kristus, dan Roh Kudus mengefektifkan kebenaran itu di dalam hati nurani dan pikiran umat pilihan-Nya agar mereka mengerti kebenaran-Nya.
Kesaksian kebenaran di dalam Kristus dan kesaksian hati nurani bersama Roh Kudus mengakibatkan Paulus sangat berdukacita dan bersedih hati. Kata “berdukacita” dalam terjemahan Inggris dan Yunani sama-sama mengartikan dukacita yang besar. Lalu, kata “bersedih hati” dalam terjemahan Yunani berarti kesedihan yang terus-menerus/tidak berhenti (King James Version menerjemahkannya continual sorrow ; American Standard Version menerjemahkannya unceasing pain). Artinya, kedua kesaksian yang Paulus sebutkan mengakibatkan dirinya sangat sedih hati dan menderita tidak habis-habis. Ini berarti ada perasaan “tertekan” dalam diri Paulus.
Ketertekanan ini ditandai langsung dengan pengakuannya di Roma 9: 3, “Bahkan, aku mau terkutuk dan terpisah dari Kristus demi saudara-saudaraku, kaum sebangsaku secara jasmani.” Beberapa terjemahan Inggris (American Standard Version, Geneva Bible, King James Version dan New King James Version) TIDAK memisahkan kedua hal ini yaitu terkutuk dan terpisah bagi Kristus. Tetapi empat terjemahan Inggris lainnya (English Standard Version, International Standard Version, New American Standard Bible dan New International Version) memisahkan kedua hal ini.
Hal ini juga sesuai dengan terjemahan bahasa asli (Yunani)nya (yang memisahkan kedua hal ini dengan kata penghubung “sehingga”). Ketertekanan Paulus ini ditandai dengan keinginan dan kerelaan Paulus untuk dikutuk (menjadi obyek yang dikutuk) sehingga ia terlepas/terpisah dari Kristus. Paulus rela melakukan hal ini demi saudara-saudara sebangsanya yaitu Israel secara jasmani. Kata “saudara” dalam bahasa Yunani adelphos yang bisa berarti saudara (seiman) atau saudara (sebangsa). Kata ini muncul sebanyak 343 kali di dalam Perjanjian Baru. (Sutanto, 2006, p. 18)
Ini berarti demi saudara-saudara sebangsanya, Paulus rela mati dikutuk bahkan sampai terpisah dari Kristus. Inilah teladan Paulus yaitu mengasihi jiwa demi Kristus. Kebenaran Allah di dalam Kristus dan kesaksian Roh Kudus di dalam hati nuraninya mengakibatkan dia memiliki hati yang mengasihi jiwa. Bagaimana dengan kita ? Apakah kita juga ingin seperti Paulus yang rela mati dikutuk demi mengasihi bangsa yang berdosa ini dan memberitakan Injil kepada mereka ? Apakah kita juga siap mati seperti Paulus demi pengabaran Injil ? Karakter dan teladan Paulus adalah teladan seorang hamba Tuhan yang taat dan setia akan panggilan-Nya.
Di abad postmodern, status “hamba Tuhan” bukanlah seperti status hamba Tuhan di abad-abad sebelumnya. Status ini banyak mengalami pergeseran makna. Kalau dahulu, di zaman para rasul, bapa gereja, dll, status hamba Tuhan adalah status yang mulia (di mata Allah), sekaligus “hina” (di mata manusia), tetapi sayangnya di abad postmodern, status ini banyak mengalami pergeseran, di mana banyak “hamba Tuhan” merasa diri mulia (di mata manusia), sebaliknya di mata Allah, sebenarnya mereka hina.
Paulus adalah Rasul Kristus dan hamba Tuhan yang mungkin dipandang hina oleh dunia (beberapa orang Islam di dalam zaman postmodern ini menghina Paulus dan membedakan antara ajaran Yesus dan Paulus {suatu anggapan yang konyol dan tidak bertanggungjawab}), tetapi di mata Allah, Paulus adalah Rasul Kristus yang mulia. Kriteria mulia dan hina di dalam ke Kristenan sangat berbeda dari kriteria yang ditetapkan dunia, karena kedua kriteria ini di dalam keKristenan sangat Theosentris (berpusat kepada Allah), sedangkan di dalam dunia, kedua kriteria ini sangat antroposentris (berpusat kepada manusia).
Ketika kita mengukur seorang hamba Tuhan berdasarkan standar ukur Alkitab, maka ukurlah mereka dari kacamata kedaulatan Allah, apakah mereka setia dan taat kepada kehendak-Nya ataukah mereka “setia” kepada kehendaknya sendiri. Ini yang membedakan antara Hamba Tuhan sejati dengan “hamba ‘tuhan’” palsu, antara Israel sejati dengan “israel” palsu.
Mengapa Paulus rela dikutuk demi Israel ? Alasannya di Roma 9: 4-5, “Sebab mereka adalah orang Israel, mereka telah diangkat menjadi anak, dan mereka telah menerima kemuliaan, dan perjanjian-perjanjian, dan hukum Taurat, dan ibadah, dan janji-janji. Mereka adalah keturunan bapa-bapa leluhur, yang menurunkan Mesias dalam keadaan-Nya sebagai manusia, yang ada di atas segala sesuatu. Ia adalah Allah yang harus dipuji sampai selama-lamanya. Amin!” Kedua ayat ini dapat dibagi menjadi dua yang berarti dua status Israel, yaitu:
1.Pertama, Israel telah diangkat menjadi anak. King James Version menerjemahkannya bahwa Israel telah diadopsi. Dari sekian banyak bangsa, Allah berdaulat memilih Israel bukan karena kebaikannya, tetapi mutlak karena kerelaan kehendak-Nya yang berdaulat. Pemilihan Allah berlanjut pada pengadopsian Israel menjadi umat-Nya. Hal ini sesuai dengan Keluaran 4:22, “Beginilah firman TUHAN: Israel ialah anak-Ku, anak-Ku yang sulung;” Uniknya, status Israel sebagai anak Allah ditunjukkan di depan Firaun (baca konteks Keluaran 4).
Ini berarti ada hak istimewa Israel sebagai umat/anak-Nya (yang tetap harus diuji oleh-Nya) di hadapan bangsa-bangsa lain. Ketika Israel diadopsi menjadi umat-Nya, Ia mewahyukan diri-Nya dan Paulus menyebutkan 5 hal yang diperoleh Israel sebagai wahyu Allah, yaitu:
(1) kemuliaan. King James Version (KJV), New King James Version (NKJV), American Standard Version (ASV), English Standard Version (ESV), Geneva Bible, International Standard Version (ISV) dan New American Standard Bible (NASB) menerjemahkannya glory (=kemuliaan) ; New International Version (NIV) menejermahkannya divine glory (kemuliaan Allah) ; bahasa Yunani menerjemahkannya kehormatan. Ketika diadopsi menjadi anak Allah, Israel menerima kemuliaan (Allah) atas mereka. Ini juga berlaku bagi kita sebagai umat pilihan Allah di dalam Kristus yang akan dimuliakan-Nya kelak (lihat Roma 8:30b).
(2) Perjanjian-perjanjian. Dalam bahasa Yunani, kata ini adalah diathēkē berarti disposition (=pengaturan atau ketentuan). Dalam bahasa Inggris, kata ini diterjemahkan covenant (=kovenan atau perjanjian). Sebagai anak-Nya, Allah mengadakan perjanjian dengan mereka. Ada dua pandangan mengenai perjanjian, yaitu perjanjian antara dua pihak yang setara (antar teman/saudara/rekan) dan perjanjian antara dua pihak yang tidak setara (antara bos dengan karyawan).
Perjanjian/kovenan yang terjadi antara Allah dan Israel adalah perjanjian model kedua, yaitu Allah yang membuat perjanjian dengan Israel dan Israel harus taat (tidak boleh membantah). Perjanjian Allah dengan Israel dimulai dari kovenan kerja di Taman Eden, dilanjutkan dengan kovenan Allah dengan Abraham, di mana melalui keturunannya, semua bangsa akan mendapat berkat, dan berlanjut sampai kovenan Allah dengan Ishak, Yakub dan keturunan mereka. Kovenan ini HANYA berlaku bagi umat Israel dan sekarang, kovenan ini berlanjut sampai kovenan keselamatan, di mana hanya di dalam Kristus, umat pilihan-Nya dibenarkan dan diselamatkan dari dosa-dosa.
(3) Hukum Taurat. Dalam bahasa Inggris, kata ini diterjemahkan law (tidak mengindikasikan adanya Hukum Taurat). Tetapi ketika kita memperhatikan konteksnya, maka kata “hukum” ini bisa ditafsirkan sebagai hukum Taurat. Sebagai umat-Nya, Ia memberikan hukum Taurat untuk memimpin langkah hidup umat-Nya agar berjalan di jalan-Nya. Hukum Taurat menunjuk kepada dasa titah di dalam Keluaran 20. Selain itu, hukum ini juga berlaku sebagai hukum standar dalam bidang politik, dll di dalam bangsa Israel agar bangsa ini menjalankan perintah Allah di dalam segala segi, baik moralitas, politik, dll.
Sebagai umat pilihan Allah di dalam Kristus pun, kita diberikan oleh Allah sebuah Alkitab sebagai pedoman bagi iman dan kehidupan kita sehari-hari, sehingga hidup kita adalah hidup yang memuliakan Allah dalam segala segi kehidupan, baik theologi, moralitas, ekonomi, politik, hukum, dll. Semua hukum Allah ini mewujudnyatakan seluruh atribut Allah yang Mahakasih, Mahaadil, Mahakudus, Mahabijaksana dan Maha segala-galanya.
(4) Ibadah. ESV dan ISV menerjemahkannya worship, dan KJV, NKJV, Geneva Bible, ASV menerjemahkannya the service of God. NASB menerjemahkannya the temple service, dan NIV menerjemahkannya the temple worship. Dalam bahasa Yunani, kata ini adalah latreia berarti menyembah (worship). Dengan kata lain, sebagai anak-Nya, Israel diajar bagaimana menyembah atau beribadah kepada Allah, di mana cara ini berbeda dari bangsa-bangsa di luar Israel. Cara ini adalah cara khusus yang Allah sendiri ajarkan kepada anak-Nya. Apakah itu ? Ibadah Israel dimulai dengan pengakuan akan adanya Allah yang Esa (tidak berarti satu pribadi, tetapi satu di dalam esensi) (baca: Ulangan 6:4-5).
Apakah Ulangan 6:4 mengajarkan bahwa Allah orang Israel adalah Allah yang hanya satu pribadi ? TIDAK. Banyak “pemimpin gereja” baik yang menganut Unitarian, Sabellianisme, dll mengklaim ayat ini sebagai ayat yang mengajarkan ketunggalan Allah. Padahal Ulangan 6:4 ditulis bukan dengan motivasi ingin mengajar Israel bahwa Allah itu hanya satu pribadi, tetapi motivasinya adalah agar Israel beriman yang beres (di dalam Tuhan à Ibrani: YHWH/ Yahweh/ Yehovah) di tengah-tengah bangsa-bangsa di luar Israel yang menyembah banyak ilah (politeisme). Dengan kata lain, marilah kita memperhatikan konteksnya, jangan asal menemukan ayat lalu ditafsirkan seenaknya sendiri ! Di dalam keKristenan, hal ini diperjelas lagi, yaitu Allah yang Esa adalah Allah yang berpribadi tiga dan beresensi satu (=Allah Trinitas).
(5) Janji-janji. Dalam bahasa Yunani, kata ini adalah epaggelia yang secara khusus berarti divine assurance of good (=asuransi Allah akan kebaikan). Dr. John Gill di dalam tafsirannya John Gill’s Exposition of the Entire Bible membagi janji ini menjadi dua, yaitu janji temporal (sementara) dan spiritual. Janji temporal ini dijelaskan oleh Adam Clarke di dalam tafsirannya Adam Clarke’s Commentaries on the Bible sebagai janji akan tanah Kanaan dan janji spiritual yaitu janji Mesias yang akan diutus. Sebagai orang Kristen, kita tidak lagi menantikan janji kedatangan Mesias, tetapi kita menantikan janji Allah yang akan membangkitkan kita kelak di dalam Kristus. Itulah janji Allah yang bersifat spiritual bagi kita.
2.Kedua, mereka adalah keturunan nenek moyang. “Bapa-bapa leluhur” dalam bahasa Yunani lebih tepat diterjemahkan nenek moyang. Artinya, dari keturunan Israellah, Mesias lahir. Dengan kata lain, Israel melahirkan Kristus secara jasmani. Di dalam ayat ini, terjemahan bahasa Indonesia kurang jelas menguraikan dwi natur Kristus yang adalah 100% Allah dan 100% manusia. Mengapa ? Karena di dalam terjemahan LAI, ayat yang berbunyi, “Mereka adalah keturunan bapa-bapa leluhur, yang menurunkan Mesias dalam keadaan-Nya sebagai manusia, yang ada di atas segala sesuatu.
Ia adalah Allah yang harus dipuji sampai selama-lamanya. Amin!”, kata “Ia” bisa ditafsirkan sebagai Allah Bapa, tetapi jika kita memperhatikan terjemahan bahasa Inggris, kita langsung menemukan adanya dwi natur Kristus. English Standard Version, misalnya, menerjemahkan, “To them belong the patriarchs, and from their race, according to the flesh, is the Christ who is God over all, blessed forever. Amen.” Dengan kata lain, Mesias yang dinantikan oleh orang Israel telah digenapi di dalam Pribadi Kristus yang 100% Allah dan 100% manusia yang menyelamatkan manusia dari dosa-dosa mereka dengan menebus umat-Nya.
Dari kelima ayat ini, kita sudah mendapatkan gambaran tentang siapakah Israel, dan itu juga menggambarkan kita sebagai orang Kristen. Bagaimana respon kita sebagai umat-Nya? Apakah seperti Israel yang tegar tengkuk atau kah kita taat dan setia kepada Allah dan kehendak-Nya ? Biarlah perenungan lima ayat ini menjadi perenungan yang mempersiapkan kita pada ayat-ayat berikutnya tentang kegagalan Israel dan kedaulatan Allah
Roma 9:6-8
Setelah mempelajari tentang pendahuluan dan pemaparan Paulus tentang bangsa Israel dan apa yang mereka peroleh di ayat 1 s/d 5, selanjutnya kita akan mempelajari lebih dalam lagi tentang perbedaan Israel sejati dengan yang palsu di mana Allah melalui Paulus menyingkapkan realita pembeda ini. Di dalam bagian ini, kita hanya merenungkan Roma 9 : 6-8 saja. Realita pembeda akan semakin jelas dinyatakan pada ayat-ayat sesudahnya dengan adanya pemilihan Yakub/Israel dan penolakan Esau, dan seterusnya.
Setelah memaparkan semua realita tentang Israel yaitu Israel mendapat wahyu Allah secara khusus dengan lima hal yang diperoleh Israel (ayat 4), maka Allah melalui Paulus menyingkapkan suatu realita yang belum pernah dibukakan secara jelas sebelumnya, yaitu, “Akan tetapi firman Allah tidak mungkin gagal. Sebab tidak semua orang yang berasal dari Israel adalah orang Israel,” (ayat 6) English Standard Version (ESV) menerjemahkan, “But it is not as though the word of God has failed. For not all who are descended from Israel belong to Israel,” (=tetapi hal ini tidak berarti seolah-olah firman Allah telah gagal.
Karena tidak semua yang lahir dari {keturunan} Israel menjadi milik/bagian dari Israel,) Terjemahan LAI dalam hal ini kurang jelas, sedangkan terjemahan ESV dapat memperjelas ayat ini. Mungkin jemaat Roma pada waktu itu bertanya-tanya tentang status Israel. Bukankah mereka (secara bangsa) mengklaim diri sebagai umat pilihan Allah, tetapi kelakuan mereka sangat munafik, tidak sesuai dengan hukum Allah? Lalu, akibatnya, mereka mengajukan pertanyaan bahwa jika Israel kelakuannya munafik, bagaimana dengan Allah mereka? Apakah Allah mereka juga munafik dan plin-plan seperti mereka?
TIDAK. Paulus menjelaskan semua kemungkinan tuduhan tersebut dengan penjelasan bahwa meskipun seolah-olah itu semua kelihatan bahwa tindakan Allah memilih umat-Nya, Israel adalah tindakan yang gila, tetapi sebenarnya firman Allah tidak mungkin gagal. Mengapa? Karena yang disebut Israel yang sejati bukan Israel secara kebangsaan. Struktur bahasa Yunani pada kata Israel dalam kalimat kedua pada ayat ini sangat unik.
Pada kata pertama, “Israel” menggunakan bentuk genitive (milik), sedangkan kata kedua, “Israel” menggunakan bentuk nominative (=nominatif/sebagai pokok kalimat bagi suatu kata ganti nominatif, misalnya: I, she, he, dll). Dengan kata lain, arti dari kalimat kedua ini adalah bahwa tidak semua orang yang milik (=dilahirkan dari) Israel merupakan bagian dari Israel. Israel pertama menunjuk Israel secara bangsa, sedangkan Israel kedua menunjuk pada Israel sejati, tidak tergantung pada bangsa. Dulu, orang Israel selalu membanggakan diri sebagai umat pilihan Allah. Mereka tidak segan-segan berdoa di pasar, di jalan raya, dll untuk menunjukkan kesalehan mereka sebagai umat pilihan Allah.
Tidak tanggung-tanggung, mereka bahkan “memuji” diri mereka karena tidak seperti para pemungut cukai, atau orang kusta atau yang “najis” lainnya, lalu disusul dengan pengakuan sendiri bahwa diri mereka aktif berpuasa, berdoa, dll. Semua tindakan munafik ini pernah dikecam oleh Tuhan Yesus di dalam Matius 23, dan dilanjutkan oleh Paulus di dalam bagian ini dengan menjelaskan lebih dalam yaitu tidak semua orang yang mengaku dilahirkan dari Israel adalah benar-benar Israel.
Albert Barnes dalam tafsirannya Albert Barnes’ Notes on the Bible menafsirkan, “Not all the descendants of Jacob have the true spirit of Israelites, or are Jews in the scriptural sense of the term;...” (=tidak semua keturunan Yakub memiliki spirit Israel yang sama, atau Yahudi di dalam pengertian Alkitabiah ;...) Lebih lanjut, Barnes merujuk kepada Roma 2:28-29 tentang perbedaan antara Israel palsu (terlihat dari luar/secara fisik) dengan Israel yang sejati (tidak terlihat dari luar). Contoh Israel palsu ini juga dijiplak dengan jelas oleh para pemeluk agama mayoritas di Indonesia, di mana ketika mereka “beribadah”, suara yang dibunyikan di tempat ibadah mereka sangat keras mengganggu orang-orang di sekitarnya.
Tujuannya? Jelas, untuk membuktikan bahwa mereka sedang “beribadah”. Bukan hanya bagi orang Israel dan orang dunia, hal ini juga berlaku bagi kita sebagai orang Kristen. Kita sebagai orang Kristen seringkali menyombongkan diri. Tidak jarang orang “Kristen” yang menyombongkan diri, menganggap diri sudah bertahun-tahun melayani di gereja, tidak lupa berpuasa, aktif memberikan persepuluhan, dll, akhirnya mereka merasa diri pasti masuk Surga. Tuhan Yesus pernah membukakan realita ini di dalam Matius 7:22, “Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga?”
Bukan hanya aktif berdoa, berpuasa, memberikan persepuluhan, mereka bahkan dikatakan juga menyembuhkan dalam nama “Yesus”, bahkan bernubuat demi nama “Yesus”, mengusir setan dalam nama “Yesus”, dll. Itu semua dilakukan oleh orang “Kristen” palsu yang menyamar seperti orang Kristen sejati (=anak-anak Tuhan). Rasul Paulus di dalam suratnya yang lain menegaskan, “Sebab orang-orang itu adalah rasul-rasul palsu, pekerja-pekerja curang, yang menyamar sebagai rasul-rasul Kristus. Hal itu tidak usah mengherankan, sebab Iblispun menyamar sebagai malaikat Terang.
Jadi bukanlah suatu hal yang ganjil, jika pelayan-pelayannya menyamar sebagai pelayan-pelayan kebenaran. Kesudahan mereka akan setimpal dengan perbuatan mereka.” (2 Korintus 11:13-15) Konteks pada waktu itu adalah jemaat Korintus masih jemaat yang kekanak-kanakan (childish), mudah goyah, mudah diombang-ambingkan oleh berbagai pengajaran yang tidak bertanggungjawab. Sehingga Paulus kembali mengingatkan jemaat Korintus bahwa mereka yang mengajar ajaran yang tidak sesuai dengan Injil yang diberitakannya adalah para rasul palsu yang menaati bapanya, yaitu iblis yang menyamar sebagai malaikat Terang.
Bahkan kepada jemaat di Galatia, Paulus dengan keras mengutuk mereka yang memberitakan “injil” yang berbeda dari Injil Kristus yang diberitakan Paulus (Galatia 1:6-8), karena jemaat Galatia pada waktu itu juga diajar oleh Yudaisme “Kristen” bahwa keselamatan diperoleh juga dengan melakukan hukum Taurat selain percaya kepada Kristus. Pada zaman postmodern ini, Allah ingin menegur kita juga dan menyingkapkan realita pembeda yang jelas pada bagian pertama, yaitu jangan terkecoh dengan fenomena. Tidak semua fenomena mencerminkan hal yang esensial. Tidak semua orang yang menganggap diri “Kristen”, “melayani Tuhan”, dll sungguh-sungguh orang Kristen sejati (=anak-anak Allah). Kita jangan pernah terkecoh. Belajarlah selektif.
Lalu, Paulus menjelaskan kriteria pembeda yang kedua, yaitu menjelaskan esensi. Pada Roma 9: 7, Paulus mengungkapkan, “dan juga tidak semua yang terhitung keturunan Abraham adalah anak Abraham, tetapi: "Yang berasal dari Ishak yang akan disebut keturunanmu."” Pada ayat ini, Paulus jelas mengungkapkan bahwa bukan semua keturunan/ benih (Yunani: sperma) Abraham yang termasuk anaknya, tetapi hanya keturunan dari Ishak lah yang disebut keturunan Abraham. Hal ini dikutip Paulus dari Kejadian 21:12, “Tetapi Allah berfirman kepada Abraham: "Janganlah sebal hatimu karena hal anak dan budakmu itu; dalam segala yang dikatakan Sara kepadamu, haruslah engkau mendengarkannya, sebab yang akan disebut keturunanmu ialah yang berasal dari Ishak.”
Di sini, realita pembeda semakin diperjelas Paulus. Paulus bukan hanya menunjukkan bahwa tidak semua Israel adalah benar-benar Israel, tetapi ia juga menunjukkan bahwa Israel sejati adalah Israel yang berasal dari keturunan Ishak. Semua orang Israel mengklaim sebagai keturunan Abraham (baca: Yohanes 8:39a), tetapi Tuhan Yesus menjawab mereka bahwa jika mereka adalah keturunan Abraham, maka mereka akan mengerjakan pekerjaan yang dikerjakan Abraham (ayat 39b). Apakah pekerjaan yang dikerjakan Abraham? Mengharapkan janji kedatangan Mesias/Kristus. Tetapi anehnya, kata Kristus, mereka hendak membunuh-Nya (ayat 40).
Lebih tajam lagi, setelah orang Israel pada waktu itu menjawab bahwa bapa mereka adalah Allah, Kristus langsung membukakan realita yang jelas tanpa kompromi bahwa bapa mereka sebenarnya adalah Iblis (ayat 44), sehingga tidak heran bapa pembinasa manusia mengakibatkan para pengikutnya pun sama bengisnya ingin membunuh siapapun yang tidak sesuai dengannya, karena Iblis (dan para pengikutnya) tidak memiliki kebenaran. Sehingga tidak heran, ketika Kristus mengatakan Kebenaran, mereka tidak mau menerimanya. Lalu, Tuhan Yesus dengan tegas mengatakan bahwa barangsiapa yang berasal dari Allah, ia mendengarkan firman Allah, sebaliknya yang tidak mau mendengarkan firman-Nya, jelaslah bahwa ia tidak berasal dari Allah (ayat 47).
Orang yang mendengarkan firman Allah inilah yang disebut Israel sejati yang berasal dari keturunan Ishak yang melahirkan Mesias. Silsilah Kristus di dalam Injil Matius 1:1-16 membuka penjelasan silsilah Yesus dari Abraham (baca: ayat 2). Di sini, sangat kelihatan jelas bahwa yang disebut keturunan Abraham adalah keturunan Ishak, bukan keturunan Ismael. Dengan kata lain, hanya keturunan Ishak saja, orang-orang dapat disebut keturunan Abraham. Maka, Kristus yang juga dilahirkan dari keturunan Abraham mengakibatkan barangsiapa yang percaya di dalam Kristus, mereka juga memperoleh berkat Abraham (Galatia 3:9,14). Bukan hanya secara keturunan saja, Kristus terlebih penting telah mati disalib untuk membebaskan umat pilihan-Nya dari kutuk Taurat, sehingga berkat Abraham (dibenarkan melalui iman) dapat diterima dan dinikmati oleh umat-Nya (Galatia 3:14).
Pembedaan ini semakin diperjelas di Roma 9: 8, “Artinya: bukan anak-anak menurut daging adalah anak-anak Allah, tetapi anak-anak perjanjian yang disebut keturunan yang benar.” Israel sejati dengan Israel palsu dapat dibedakan secara esensi yaitu Israel palsu selalu mengklaim keturunan Abraham (=anak-anak Allah) secara daging, lahir dari Abraham (keturunan Abraham), tetapi Israel sejati tidak pernah mengklaim hal demikian, karena mereka tahu sebenarnya mereka adalah anak-anak perjanjian dari anugerah Allah. Pernyataan “anak-anak perjanjian” dalam teks Yunani dapat diterjemahkan: anak-anak yang dilahirkan karena janji. (Sutanto, 2003, p. 848) Struktur bahasa Yunani dalam pernyataan ini menggunakan bentuk genitive (=milik).
Dengan kata lain, anak-anak perjanjian berarti anak-anak yang dilahirkan (sebagai milik) dari janji Allah. Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) menerjemahkan ayat ini, “Itu berarti bahwa keturunan Abraham yang menjadi anak-anak Allah, adalah hanya keturunannya yang lahir karena janji Allah; dan bukan semua keturunannya.” Di sini, semakin jelas kriteria pembeda antara Israel sejati dengan Israel palsu di bagian kedua, yaitu Israel sejati adalah anak-anak yang lahir karena/melalui janji Allah di dalam Kristus. Bagaimana dengan kita? Di dunia postmodern, banyak orang mengaku diri “Kristen”, mereka HAMPIR tidak ada bedanya dengan orang Kristen sejati.
Orang “Kristen” palsu juga kelihatan aktif berdoa, berpuasa, dll, bahkan berapi-api dalam melayani Tuhan. Tetapi apakah fenomena-fenomena tersebut mengindikasikan adanya kebenaran esensi bahwa orang-orang seperti itu sungguh-sungguh Kristen? TIDAK. Di bagian pertama, kita sudah belajar kriteria pembeda yaitu tidak semua yang mengaku diri “Kristen” pasti Kristen. Lalu, di bagian kedua, kita semakin tajam mempelajari kriteria pembeda ini, yaitu orang Kristen sejati (seperti Israel sejati) bukan lah Kristen secara KTP (tanpa pertobatan, hanya muncul di KTP saja), tetapi Kristen yang dilahirkan dari janji Allah di dalam Kristus.
Rasul Yohanes menjelaskan artinya, “Orang yang melakukan kehendak Allah adalah anak Allah sebagaimana Kristus adalah Anak Allah.” (1 Yohanes 3:7 ; BIS) Pada ayat 9 s/d 10, Yohanes juga menjelaskan, “Setiap orang yang lahir dari Allah, tidak berbuat dosa lagi; sebab benih ilahi tetap ada di dalam dia dan ia tidak dapat berbuat dosa, karena ia lahir dari Allah. Inilah tandanya anak-anak Allah dan anak-anak Iblis: setiap orang yang tidak berbuat kebenaran, tidak berasal dari Allah, demikian juga barangsiapa yang tidak mengasihi saudaranya.” Dengan kata lain, anak-anak Allah sejati dicirikan oleh beberapa hal: pertama, melakukan kehendak Allah ; kedua, mengasihi sesama ; dan ketiga, membenci dosa.
1.Pertama, anak Allah sejati melakukan kehendak Allah. Perbedaan esensial antara Kristen sejati dengan “Kristen” palsu adalah apakah mereka melakukan kehendak Allah atau tidak. Ketika mereka melakukan kehendak mereka sendiri lalu memakai nama “Allah” supaya usahanya lancar, jelas itu BUKAN Kristen sejati, tetapi “Kristen” palsu, karena mereka ingin memperalat Allah untuk kepentingannya sendiri. Kristen sejati adalah God-centered Christian (Kristen yang berpusat pada Allah).
Pdt. Dr. Stephen Tong mengatakan bahwa anak Allah sejati menyenangi apa yang Allah senangi, membenci apa yang Tuhan benci, dll, sebaliknya anak-anak iblis sebaliknya. Itulah yang disebut Pdt. Stephen Tong sebagai menyangkal diri. Menyangkal diri berarti mengatakan “TIDAK” kepada kehendak pribadi yang berdosa dan self-centered, tetapi mengatakan “YA” kepada kehendak Allah dan menjalankannya (bandingkan: Matius 7:21). Ketika anak-anak Allah melakukan kehendak Allah, mereka berusaha untuk menyenangkan-Nya, baik ketika mereka bekerja di dunia sekuler, melayani Tuhan, dll. Dengan kata lain, melakukan kehendak Allah adalah membawa kemuliaan Allah hadir di tengah-tengah kehidupan anak-anak-Nya sehingga mereka mampu menjadi berkat di sekeliling mereka dan akhirnya nama Tuhan yang dipermuliakan.
2.Kedua, anak Allah sejati mengasihi sesama. Bukan hanya mengasihi Allah, anak Allah juga mengasihi sesama. Apa artinya? Apakah berarti ketika kita melihat teman atau saudara kita berdosa, kita membiarkannya demi alasan “mengasihi”? TIDAK! Di dalam Alkitab, kasih tidak bisa dilepaskan dari kebenaran, kekudusan, keagungan, dll. Allah Trinitas yang kita percayai di dalam Alkitab adalah Allah yang Mahakasih, sekaligus: Mahaadil, Mahakudus, Mahabijaksana, dll. Memisahkan kasih dari kekudusan dan keadilan Allah identik dengan menggeser tahta/otoritas Allah dan meletakkan ‘tahta’ diri sebagai kriteria “kebenaran”. Inilah yang dilakukan oleh banyak orang “Kristen” yang dipengaruhi oleh postmodernisme yang berintikan relativisme dan pluralisme.
Mereka meneriakkan kasih, tanpa mau mengemukakan keadilan, kebenaran, dll, tetapi herannya ketika rumah mereka dimasuki pencuri, lalu si pencuri mengancam akan memerkosa anak perempuan mereka, percayalah, mereka tidak akan mengatakan bahwa kita perlu mengasihi pencuri dan membiarkan pencuri itu memerkosa anak perempuan mereka! Inilah ketidakkonsistenan postmodernisme (mengutip pernyataan Prof. Ronald H. Nash, Ph.D. di dalam bukunya Konflik Wawasan Dunia).
Kembali, mengasihi sesama tetap harus bersumber dari mengasihi Allah. Di dalam Matius 22:37-39, Tuhan Yesus mengajarkan bahwa kita harus mengasihi Allah dan sesama. Mengasihi sesama dilakukan SETELAH mengasihi Allah. Konsep dan prinsip ini harus jelas dan TIDAK boleh dibalik. Postmodern mengajar kita untuk LEBIH mengasihi sesama dan tidak mempedulikan Allah, mengapa? Karena postmodern yang ditunggangi oleh Gerakan Zaman Baru mengajarkan bahwa semua manusia adalah “allah”, maka kita harus saling mengasihi. Tetapi Alkitab dengan tegas sangat bertolak belakang dengan postmodernisme dan mengajarkan bahwa kita harus mengasihi Allah dahulu, baru mengasihi sesama. Mengasihi sesama bisa diartikan berani berkorban bagi sesama yang membutuhkan.
Berani berkorban TIDAK boleh diartikan bahwa kita wajib membantu semua orang miskin! Kita memang perlu membantu orang miskin, tetapi orang miskin seperti apa itu yang perlu diperhatikan. Kalau kita terus-menerus membantu orang miskin yang sebenarnya malas bekerja, itu berarti kita sedang TIDAK membantu mereka, tetapi sedang menjerumuskan mereka untuk semakin malas bekerja. Tetapi jika memang kita membantu orang miskin akibat bencana alam, tsunami, dll, itu memang pantas, dan selanjutnya, kita perlu memberikan lapangan pekerjaan bagi mereka supaya mereka bekerja dan mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka sendiri (tanpa terus meminta bantuan dari orang lain).
Kedua, mengasihi sesama adalah mengasihi jiwa sesama kita yang mungkin belum percaya kepada Kristus. Dengan kata lain, mengasihi sesama identik dengan memberitakan Injil Kristus kepada sesama kita. Dengan memberitakan Injil, kita sedang mengasihi sesama kita yang hidupnya tidak berpengharapan, stress, dll. Itu sebenarnya yang lebih penting daripada poin pertama. Membantu korban bencana alam itu perlu, tetapi memberitakan Injil jauh lebih penting, karena pemberitaan Injil berkenaan dengan aspek spiritual yang bernilai kekal, sedangkan membantu korban bencana alam itu hanya bersifat fana, yang bisa hilang.
3.Ketiga, anak Allah sejati membenci dosa. Anak Allah yang telah melakukan kehendak Allah dengan sendirinya otomatis membenci dan muak dengan dosa. Artinya, dia sendiri akan jijik melihat dosa dan segera mengingatkan orang lain yang sama-sama berdosa akan bahaya dosa dan memberitakan Injil Kristus supaya mereka juga bisa bertobat. Saya menyebutnya membenci dosa dalam dua tahap, artinya kita sendiri membenci dosa yang mengganggu kita, dan kita mengingatkan orang lain yang sama-sama berdosa supaya ia bertobat dari dosa-dosanya (sama seperti kita yang telah bertobat). Adakah hati kita sungguh-sungguh muak dengan dosa ataukah mungkin kita semakin lama semakin tergiur dengan dosa? Itu yang menandakan apakah kita benar-benar anak Allah atau bukan.
Biarlah perenungan tiga ayat ini membukakan sedikit pengertian kita tentang perbedaan esensial antara Israel sejati (anak-anak Allah di dalam Kristus) dengan Israel palsu (orang “Kristen” palsu), sehingga di dalam dunia postmodern yang mengilahkan relativisme ini, kita tidak mudah terkecoh. Baiklah kita memperhatikan nasehat Paulus untuk menguji segala sesuatu dan kemudian memegang yang baik (1 Tesalonika 5:21)
Roma 9:9-18
Setelah mempelajari tentang perbedaan Israel sejati dengan yang palsu di mana Allah melalui Paulus menyingkapkan realita pembeda ini di dalam ayat 6 s/d 8 saja, maka di ayat 9 s/d 18, kita akan merenungkan lebih dalam lagi tentang pemilihan dan penolakan Allah di dalam proses pemilihan/predestinasi-Nya.
Setelah menjelaskan tentang anak-anak Perjanjian sebagai Israel sejati di ayat 8, maka Paulus menjelaskan tiga prinsip tentang anak-anak Perjanjian ini di dalam Roma 9: 9-13.
Pertama, Roma 9: 9 berkata, “Sebab firman ini mengandung janji: "Pada waktu seperti inilah Aku akan datang dan Sara akan mempunyai seorang anak laki-laki."” Pernyataan “firman ini mengandung janji” kurang tepat terjemahannya, karena beberapa terjemahan Inggris, misalnya King James Version (KJV) menerjemahkannya, “this is the word of promise”, kemudian American Standard Version (ASV) menerjemahkannya, “a word of promise” yang berarti firman dari janji/Sabda. Bahasa Yunaninya diterjemahkan : (sabda) dari janji (Sutanto, 2003, p. 848)
Di sini, jelas terlihat bahwa janji itu yang ditekankan dan firman itu keluar dari janji Allah. Apakah firman yang keluar dari janji Allah ini ? Untuk memahami lebih dalam mengenai hal ini, kita akan mundur sejenak ke Kejadian 18:10. Ada baiknya kita memahami konteks seluruh Kejadian 17 dan 18. Di dalam Kejadian 17, Allah berjanji kepada Abraham bahwa ia akan menjadi bapa segala bangsa (ayat 4), lalu Ia mengikat perjanjian dengan Abraham dan keturunannya (ayat 7), kemudian Ia akan memberikan keturunan sebagai realisasi dari berkat Allah ini (Roma 9: 15-16).
Tentang janji Allah memberikan anak melalui Sara (sebelumnya Abraham telah memperoleh anak, Ismael dari Hagar—baca Kejadian 16), Abraham pada waktu itu tertawa karena baginya mustahil memiliki anak di usia 100 tahun (Kejadian 17:17), lalu ia menawarkan Ismael untuk menerima perjanjian (ayat 18). Tetapi Tuhan TIDAK mengabulkan permintaan Abraham dan tetap menunjuk Ishak sebagai anak perjanjian, sedangkan Ismael tetap diberkati-Nya (Roma 9: 19-21).
Setelah itu, Allah kembali mengunjungi Abraham (18:1) dan memberitahukan bahwa Sara akan melahirkan seorang anak laki-laki (Roma 9: 10). Di sini, kita mempelajari bahwa janji Allah dikonfirmasikan dua kali (tidak berarti harus demikian) untuk menunjukkan bahwa janji Allah itu pasti ditepati dan manusia jangan bermain-main. Kembali, anak-anak Perjanjian di poin pertama menunjuk kepada perjanjian Allah dengan Abraham untuk pertama kalinya. Ketika Allah membuat perjanjian dengan Abraham, seringkali banyak orang mengatakan bahwa perbuatan baik Abrahamlah yang menentukan (Kejadian 17:1). Benarkah demikian ? TIDAK.
Sepintas kelihatan benar, tetapi tidaklah demikian, mengapa ? Karena sebelumnya, ketika Allah memanggil Abraham keluar dari Urkasdim di Kejadian 12:1, Allah tidak meminta Abraham dahulu untuk beriman, tetapi panggilan Allah berdasarkan kehendak-Nya sendiri yang berdaulat. Di sini, kita melihat kedaulatan Allah mendahului respon manusia. Inilah prinsip pertama anak-anak Perjanjian, yaitu semua itu karena anugerah Allah. Tanpa anugerah Allah, kita tak mungkin bisa menerima janji-janji Allah. Anugerah-Nya inilah yang memungkinkan kita bisa berbuat baik dan menerima berkat-berkat-Nya kemudian.
Kedua, setelah Abraham mendapatkan janji Allah tentang Ishak, keturunannya, maka keturunannya, yaitu Ishak pun mendapatkan janji Allah melalui salah satu dari kedua anaknya, yaitu melalui Yakub. Pada ayat 10 dan 11, Paulus memberitahu kita tentang hal ini, “Tetapi bukan hanya itu saja. Lebih terang lagi ialah Ribka yang mengandung dari satu orang, yaitu dari Ishak, bapa leluhur kita. Sebab waktu anak-anak itu belum dilahirkan dan belum melakukan yang baik atau yang jahat, --supaya rencana Allah tentang pemilihan-Nya diteguhkan, bukan berdasarkan perbuatan, tetapi berdasarkan panggilan-Nya--” Allah yang berdaulat bukan hanya memanggil umat-Nya (dalam hal ini, Abraham), tetapi Ia yang memanggil juga adalah Ia yang telah memilih beberapa orang untuk menjadi umat-Nya.
Perhatikan Roma 9:11, Paulus berkata, “Sebab waktu anak-anak itu belum dilahirkan dan belum melakukan yang baik atau yang jahat, --supaya rencana Allah tentang pemilihan-Nya diteguhkan, bukan berdasarkan perbuatan, tetapi berdasarkan panggilan-Nya--” English Standard Version menerjemahkannya, “though they were not yet born and had done nothing either good or bad--in order that God's purpose of election might continue, not because of works but because of his call--” Pemilihan Allah PASTI mendahului respon manusia.
Hal ini jelas kelihatan dari tiga hal yang dipaparkan Paulus di ayat 11 ini. Pertama, mereka belum dilahirkan. Allah memilih beberapa manusia pada waktu itu dunia belum dijadikan (Efesus 1:4), tentu otomatis ketika manusia (dalam hal ini, Esau dan Yakub) belum dilahirkan. Berarti, ketika mereka belum dilahirkan, otomatis prinsip kedua yang mengikutinya yaitu mereka tentu tidak bisa melakukan mana yang baik dan jahat. Kata “melakukan” dalam struktur teks Yunaninya menggunakan Aorist Tense dan bentuk aktif. Artinya, Allah memilih beberapa manusia sebelum mereka sanggup secara aktif melakukan sesuatu yang baik dan jahat.
Di titik inilah, “theologia” Arminian gagal total. Arminianisme mengajarkan bahwa Allah memilih manusia setelah Ia melihat bahwa orang-orang yang dipilih-Nya itu akan bertobat. Jika hal ini benar, maka Arminianisme sedang mengecilkan kedaulatan Allah dan menekankan superioritas manusia yang bahkan mampu menentukan Allah memilih dia atau tidak. Roma 9: 11 jelas menentang keras doktrin ini, karena anugerah Allah yang berdaulat TIDAK bergantung pada jasa baik manusia apapun.
Lalu, prinsip ketiga yang mengikutinya yaitu sebuah kesimpulan Paulus bahwa maksud pemilihan Allah tetap berjalan TANPA bergantung pada perbuatan manusia (terjemahan teks Yunani : perbuatan-perbuatan {yang dituntut Taurat}) apapun. Ini adalah sebuah penegasan ulang dari Paulus bahwa jangan berharap jasa baik manusia mampu bersumbangsih bagi anugerah kedaulatan Allah di dalam pemilihan, tetapi anugerah kedaulatan Allah hanya berada di dalam panggilan-Nya. Setelah Ia telah memilih dan menentukan manusia, Ia pulalah yang memanggil mereka (Roma 8:29-30).
Ketiga, Allah yang memilih manusia bukan hanya memilih beberapa orang saja, tetapi Ia juga berdaulat memilih beberapa orang (predestinasi) dan membuang sisanya (reprobasi). Ini yang disebut Predestinasi Ganda (Double Predestination). Kamus Teologi Katolik dengan tidak bertanggungjawab mengatakan bahwa Predestinasi Ganda ini, “sudah diyakini oleh rahib Gottschalk (804-869) dan dinyatakan sesat dalam sinode di Mainz dan Quiercy.” (Kamus Teologi, 1996, p. 262)
Dengan menyatakan Predestinasi Ganda ini sesat, berarti secara langsung menyatakan bahwa Roma 9: 12-13 adalah sesat, padahal kedua ayat ini adalah ayat ALKITAB. Presuposisi orang yang mengatakan bahwa Predestinasi Ganda ini sesat lebih dilatarbelakangi oleh filsafat humanisme dan relativisme yang atheis, ketimbang presuposisi Alkitab ! Karena orang-orang ini “beriman” bahwa semua agama sama, maka mereka mengajarkan bahwa semua orang pasti selamat dan “dipilih Allah”.
Padahal Alkitab melawan keras bidat ini di ayat 12 s/d 13. Di ayat 12 s/d 13, Allah melalui Paulus membukakan mata rohani kita tentang arti predestinasi lebih mendalam lagi, “dikatakan kepada Ribka: "Anak yang tua akan menjadi hamba anak yang muda," seperti ada tertulis: "Aku mengasihi Yakub, tetapi membenci Esau."” Predestinasi Ganda di dalam kedua ayat ini meliputi dua hal.
Pertama, anak sulung (Esau) akan menjadi hamba bagi anak bungsu (Yakub).
Hal ini dikutip dari Kejadian 25:23. Sungguh menarik. Konsep manusia selalu menyatakan bahwa anak sulung pasti yang terkenal, dan menjadi tuan dari saudara-saudaranya. Tetapi konsep Allah sangat bertolak belakang dengan konsep manusia berdosa, yaitu justru anak bungsulah yang menjadi tuan dari anak sulung. Ini terjadi hanya pada kasus Esau dan Yakub. Predestinasi Allah TIDAK melihat jasa baik atau sistem urutan kelahiran manusia atau hal-hal fenomenal lainnya, tetapi predestinasi Allah adalah pemilihan yang berdaulat yang jauh melampaui seluruh konsep manusia.
Dalam hal ini, Yakub dalam kisahnya di Perjanjian Lama dikisahkan sebagai orang yang tenang, ‘jaga kandang’ (suka tinggal di kemah), dan akhirnya menipu ayahnya Ishak, sedangkan Esau suka berburu, tidak menipu, dll (baca : Kejadian 25:27). Di sini, sangat kelihatan predestinasi Allah bertolak belakang dengan konsep manusia sekaligus melampaui semua konsep manusia. Manusia selalu berpikir bahwa yang kuat, berkuasa adalah anak sulung, sehingga anak sulung yang selalu dimanja, harus dihargai, sedangkan yang lemah itu tidak perlu dihargai. Tetapi konsep Allah sangat berbeda dan melampaui semua konsep manusia. Allah tidak menghina mereka yang lemah, tetapi justru memilih mereka dan membuang mereka yang kuat. Tuhan menginginkan kita menyadari hal ini.
Kedua, ayat 13, “seperti ada tertulis: "Aku mengasihi Yakub, tetapi membenci Esau."” Ayat ini dikutip dari Maleakhi 1:2-3. Untuk lebih jelasnya, sebaiknya kita membaca Maleakhi 1:2-5, di situ Allah membukakan kepada kita bahwa Esau (Edom) yang ditolak oleh Allah tidak akan diberkati oleh Allah. Lalu, banyak orang “Kristen” postmodern menghina konsep Predestinasi Ganda ini dengan mengartikan bahwa Allah itu tidak mengasihi manusia, karena Ia tidak menyelamatkan SEMUA manusia.
Mereka ingin menjadi “penasehat” Allah yang “berhak” menentukan konsep kasih dan keadilan Allah (dalam hal ini, Paulus sudah mengkritik orang-orang yang tidak bertanggungjawab ini di Roma 9: 19, tetapi kita akan membahasnya di bagian berikutnya). Mereka sering berkata bahwa predestinasi adalah bukti bahwa Allah itu tidak kasih.
Sayangnya, mereka TIDAK mengerti bahwa kasih Allah TIDAK pernah dilepaskan dari kedaulatan, keadilan, kekudusan dan keagungan Allah. Memisahkan atribut-atribut Allah ini secara langsung berarti menggusur Allah dari tahta-Nya dan menempatkan manusia menjadi pemegang tahta di atas Allah. Ya, itulah esensi DOSA sejati, yaitu meleset dari sasaran Allah dan ingin menggantikan Allah dengan superioritas manusia (humanisme atheis). Kembali, Allah yang berdaulat adalah Allah yang Mahakasih sekaligus Mahaadil yang berdaulat penuh memilih beberapa dari antara manusia dan secara otomatis, menolak sisanya.
Tetapi ada perbedaan penerapan antara kedua tindakan ini, yaitu ketika Allah memilih manusia, Ia menyiapkan proses, misalnya dari pemilihan dan penentuan dari semula, pemanggilan, pembenaran dan pemuliaan (Roma 8:29-30), sedangkan ketika Allah secara otomatis membuang sisanya, Ia membiarkan mereka (tidak memimpin mereka kepada dosa). Di sini, ada perbedaan antara Calvinisme/Reformed dengan Hyper-Calvinisme.
Calvinisme jelas tidak mengajarkan bahwa Allah sebagai Pencipta dosa, tetapi Ia mengizinkan dan membiarkan dosa, sedangkan Hyper-Calvinisme (mirip Islam) mengajarkan bahwa Allahlah yang menciptakan dosa, sehingga ketika Allah membuang sisa dari pilihan-Nya, Ia memimpin mereka untuk berbuat dosa. Ini bukan ajaran Alkitab. Alkitab TIDAK mengajarkan bahwa Allah adalah Pencipta dosa, sebaliknya manusia lah yang harus bertanggungjawab terhadap dosa yang diizinkan Allah. Predestinasi Ganda mengakibatkan dua reaksi.
Pertama, bagi yang menerima doktrin ini, itu adalah suatu anugerah (bahagia) sekaligus bahaya. Disebut anugerah/bahagia, karena kita sebagai umat pilihan-Nya beriman sekaligus bersyukur bahwa nama kita tercantum di dalam Kitab Kehidupan karena anugerah-Nya membuat kita yang berdosa dan najis ini bisa beriman di dalam Kristus. Disebut bahaya ketika kita yang merasa yakin bahwa kita umat pilihan-Nya tetapi sebenarnya kita tidak pernah dipilih dan menjadi anak-anak-Nya.
Kedua,bagi yang menolak doktrin ini, sebenarnya merekalah yang tidak mengerti makna dosa dan anugerah. Seorang bapa gereja mengaitkan prinsip anugerah Allah dengan dosa, di mana orang tidak akan pernah mengerti anugerah Allah, jika ia tidak mengerti makna dosa yang benar. Bagaimana dengan kita ? Apakah kita merasa yakin bahwa kita adalah umat pilihan-Nya ? Bagaimana kita bisa yakin ? Kalau kita memang adalah umat pilihan-Nya, Roh Kudus yang memberi kesaksian akan hal itu (Roma 8:16), sehingga Roh Kudus yang akan memurnikan dan menyucikan kita di dalam proses kehidupan supaya sesuai dengan gambar dan rupa Kristus (Roma 8:29).
Dengan kata lain, di dalam proses penyucian kita, Roh Kudus akan mengingatkan kita ketika kita ingin berbuat dosa. Itu tandanya kita sebagai umat pilihan-Nya. Tetapi ketika Roh Kudus enggan mengingatkan kita, berhati-hatilah, mungkin sekali kita bukan umat pilihan-Nya. Jangan pernah berbangga hati akan hal tersebut! Mari kita mengintrospeksi diri kita masing-masing. Jangan pernah mengeraskan hati kita ketika Roh Kudus menegur kita.
Lalu, setelah menjelaskan predestinasi ganda, banyak orang “Kristen” dan orang dunia mulai protes dengan mengajukan argumentasi bahwa predestinasi ganda itu tidak adil. Tetapi benarkah demikian ? Terhadap pernyataan konyol itu, Allah melalui Paulus, yang pasti sudah mengetahui akan timbul pernyataan konyol itu, menjawab, “Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Apakah Allah tidak adil? Mustahil!” Pernyataan “Apakah Allah tidak adil” dalam terjemahan bahasa Yunani adalah “Apakah (ada) perbuatan yang tidak adil pada Allah?” (Sutanto, 2003, p. 849)
Di sini, Paulus dengan jelas melihat esensi masalah predestinasi ganda bukan pada logika kasih, tetapi pada logika Allah. Postmodern yang mempengaruhi relativisme dan pluralisme mengakibatkan orang-orang yang dipengaruhi filsafat ini menitikberatkan tentang “kasih” yang tidak berkaitan dengan keadilan, kekudusan, dll, sehingga tidak heran muncul ‘etika situasi’. Akibatnya, ketika suatu iman/doktrin dari Alkitab mengajar sesuatu yang melawan filsafat mereka, misalnya tentang predestinasi ganda ini, di titik pertama, mereka secara tidak sadar menyerang diri Allah.
Benarkah predestinasi ganda membuktikan bahwa Allah itu tidak adil ? Terjemahan Indonesia mengartikan “Mustahil!” New International Version (NIV) menerjemahkannya, “Not at all !” (=sama sekali tidak). International Standard Version (ISV) menerjemahkannya, “Of course not !” (=tentu tidak). American Standard Version (ASV), King James Version (KJV) dan Geneva Bible menerjemahkan, “God forbid.” English Standard Version (ESV) menerjemahkannya, “By no means!” (=sama sekali tidak). Terjemahan dari teks Yunani adalah “sekali-kali tidak.” (Sutanto, 2003, p. 849)
Perbedaan terjemahan ini tidak menunjukkan adanya kontradiksi yang terpecah, tetapi memperkaya pengertian kita bahwa predestinasi ganda tidak mengakibatkan Allah menjadi tidak adil, mengapa ? Karena konsep keadilan Allah TIDAK bisa dilepaskan dari kasih, kekudusan, dan keagungan-Nya. Ketika Alkitab mengatakan, “Mustahil!” di dalam ayat ini, lebih berbijaksana bagi seorang anak Tuhan sejati untuk TIDAK mencari tahu apa alasan Allah melakukan predestinasi-Nya itu, karena Ia tidak membukakannya kepada kita. Dengan kata lain, umat Tuhan sejati diminta untuk DIAM dan beriman akan sesuatu yang sengaja Tuhan tidak singkapkan bagi kita. Ingat prinsip : Ulangan 29:29.
Mengapa predestinasi ganda justru TIDAK menunjukkan ketidakadilan Allah ? Karena keadilan Allah dikaitkan dengan kedaulatan dan kasih-Nya. Hal ini tampak pada ayat selanjutnya, Roma 9: 15, “Sebab Ia berfirman kepada Musa: "Aku akan menaruh belas kasihan kepada siapa Aku mau menaruh belas kasihan dan Aku akan bermurah hati kepada siapa Aku mau bermurah hati."” Konsep ini diambil dari Keluaran 33:19 di mana Allah memimpin Musa melewati padang gurun. Dari ayat ini, kita belajar dua hal.
Pertama, keadilan Allah tidak bisa dilepaskan dari kasih dan kesucian-Nya. Di dalam kedaulatan-Nya, Ia memilih beberapa manusia bukan berdasarkan perbuatan baik manusia, tetapi murni karena kasih-Nya. Di dalam Efesus 1:5, Paulus mengajarkan, “Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya,” Allah memilih dan menentukan kita di dalam Kristus dalam KASIH.
Kedua, Allah memiih dan menentukan kita menurut kerelaan kehendak-Nya. ASV dan KJV menerjemahkan “sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya,” dengan “according to the good pleasure of his will.” (=menurut kesenangan kehendak-Nya yang baik). Ketika Allah memilih dan menentukan beberapa orang berdosa untuk menjadi anak-anak-Nya, respon umat Tuhan yang benar adalah bersyukur bahwa kita termasuk salah satu umat yang diselamatkan-Nya, bukan sebaliknya, bertanya dan memprotes kepada Tuhan mengapa Ia tak menyelamatkan istri atau rekannya juga. Memprotes Tuhan menandakan bahwa Tuhan membutuhkan kita menjadi “penasehat”-Nya, dan pada saat yang sama, orang itu sedang menghina Tuhan meskipun mengaku diri “Kristen”.
Kedua, keadilan Allah berkaitan erat dengan kedaulatan-Nya. Allah yang Mahaadil bukan hanya Mahakasih, tetapi juga Berdaulat penuh. Apa itu kedaulatan Allah ? Di dalam artikel saya yang lain, saya sudah menguraikan 7 prinsip kedaulatan Allah, salah satunya adalah Allah yang berdaulat adalah Allah yang berada pada diri-Nya sendiri dan tidak bergantung pada yang lain. Pdt. Dr. Stephen Tong mengartikannya sebagai : self-existence, self-eternal and self-dependency of God (=Allah yang berada pada diri-Nya sendiri, Allah yang kekal pada diri-Nya sendiri dan Allah yang bergantung pada diri-Nya sendiri). Ketidakbergantungan Allah pada yang lain menunjukkan kekekalan Allah dan kedaulatan-Nya.
Dengan demikian, ketika Allah menyatakan kemurahan dan belas kasihan-Nya kepada beberapa orang, itu adalah hak mutlak Allah yang TIDAK boleh diprotes oleh manusia paling pandai sekalipun, karena Ia tidak pernah mengangkat manusia menjadi ‘penasehat’-Nya. Meskipun umat pilihan-Nya tidak bisa mengerti total mengapa Allah memilih beberapa manusia dan menolak sisanya, kita harus tetap DIAM dan menunggu jawaban-Nya di dalam kekekalan nantinya.
Bagaimana dengan kita ? Apakah kita sibuk menekankan keadilan Allah, lalu melupakan kasih, kekudusan dan terutama kedaulatan Allah ? Ataukah kita sebaliknya, sibuk menekankan “kasih”, dan mengabaikan kedaulatan, keadilan dan kesucian-Nya ? Hari ini, kita perlu bertobat dari pemisahan “atribut-atribut” Allah ini.
Lalu, sebagai kesimpulan, Paulus mengulang kembali di Roma 9: 16, “Jadi hal itu tidak tergantung pada kehendak orang atau usaha orang, tetapi kepada kemurahan hati Allah.” Ayat ini menyadarkan kita kembali bahwa keselamatan kita bukan berdasarkan kehebatan kita, tetapi murni karena anugerah dan belas kasihan Allah. Ketika kita dipilih Allah pun, itu anugerah, karena anugerah-Nya tiba pada kita, dan bukan pada rekan atau saudara kita yang mungkin kelihatan lebih “baik” dari kita. Tetapi hal ini tetap mendorong kita semakin berbuat baik untuk memuliakan Allah.
Paulus memberikan contoh konkrit kedaulatan dan kasih-Nya di dalam predestinasi yaitu Firaun. Di Roma 9: 17, Paulus mengatakan, “Sebab Kitab Suci berkata kepada Firaun: "Itulah sebabnya Aku membangkitkan engkau, yaitu supaya Aku memperlihatkan kuasa-Ku di dalam engkau, dan supaya nama-Ku dimasyhurkan di seluruh bumi."” Hal ini diambil dari Keluaran 9:16. Kalau kita melihat kedaulatan Allah di dalam 10 tulah bagi Mesir, kita melihat reaksi Firaun ada di dalam kedaulatan-Nya. Terhadap tulah pertama, Alkitab mencatat bahwa Firaun berkeras hati (Keluaran 7:22-23), lalu terhadap tulah kedua, reaksi Firaun sama (Keluaran 8:15), demikian juga reaksi terhadap tulah ketiga (Keluaran 8:19), juga terhadap tulah keempat (Keluaran 8:32) dan terakhir reaksi terhadap tulah kelima (Keluaran 9:7).
Sebagai reaksi terhadap tulah keenam, Alkitab mencatat bahwa Tuhan lah yang mengeraskan hati Firaun (Keluaran 9:12). Hal yang sama juga terjadi pada reaksi terhadap tulah kedelapan sampai dengan tulah kesepuluh, di mana Tuhan mengeraskan hati Firaun (Keluaran 10:20, 27 ; 11:10). Dengan kata lain, enam kali Alkitab mencatat bahwa Firaun mengeraskan hati, dan empat kali Alkitab mencatat bahwa Allah lah yang mengeraskan hati Firaun. Apa artinya ? Ketika Alkitab mencatat bahwa Allah mengeraskan hati Firaun TIDAK berarti Ia memimpin Firaun untuk melawan umat Allah, tetapi Ia melepaskan tangan kasih-Nya dari Firaun, sehingga atas kehendaknya sendiri, ia berdosa dan ia harus bertanggungjawab untuk itu (mengutip perkataan seorang rekan Reformed saya, Sdr. Cahaya Desyanta).
Di sinilah, adanya peranan yang seimbang yang diajarkan oleh theologia Reformed/Calvinisme antara kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusia. Semua tindakan Allah adalah ditujukan untuk memuliakan diri-Nya sendiri yang memang patut untuk dimuliakan selama-lamanya (Roma 11:36).
Predestinasi Ganda bukan ajaran sesat, tetapi ajaran Alkitab, karena itu diajarkan oleh Allah sendiri untuk kemuliaan Allah sendiri. Adalah tidak benar jika ada yang mengajarkan Predestinasi Tunggal yang hanya menerima pengajaran bahwa Allah memilih beberapa orang saja. Apalagi yang paling sesat adalah mereka yang mengajarkan bahwa semua orang dipilih dan diselamatkan oleh Allah.
Di dalam Roma 9: 18, contoh Firaun ini akhirnya ditutup dengan kesimpulan yang sama dengan ayat 15, “Jadi Ia menaruh belas kasihan kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Ia menegarkan hati siapa yang dikehendaki-Nya.” Kembali, kata “dikehendaki-Nya” muncul dua kali di dalam ayat ini, menunjukkan segala sesuatu terjadi menurut kehendak-Nya. Mengapa demikian ? Bukankah zaman postmodern lebih suka meneriakkan kehendak manusia, hak asasi manusia, dll dan meniadakan kehendak dan keinginan Allah ? Mengapa kita perlu mempercayai kehendak Allah, sedangkan orang-orang di sekitar kita lebih mempercayai kehendak pribadi ?
Karena kehendak Allah adalah kehendak dari Pribadi yang Kekal, Sempurna, Mahakudus, Mahaadil, Mahakasih dan berdaulat penuh, sehingga kehendak-Nya TIDAK mungkin berubah seperti kehendak manusia yang sementara, terbatas, dan berdosa. Adalah suatu kekonyolan jika manusia mengagungkan kehendaknya sendiri yang lemah, terbatas, sementara, dan juga berdosa. Bagaimana dengan kita ? Apakah kita sebagai orang Kristen sudah mensinkronkan kehendak kita supaya sesuai dengan kehendak Allah yang berdaulat dan kekal ? Ataukah kita masih mengagungkan keinginan kita sendiri ? Sudah seharusnya umat pilihan Allah menyadari hal ini dan menyerahkan totalitas hidup kita pada kehendak Allah yang berdaulat, karena Ia adalah Pencipta, Pemelihara, Penebus dan Penyempurna hidup dan keselamatan kita.
Hal kedua yang bisa kita pelajari di dalam hal ini berkaitan dengan penginjilan. Di dalam penginjilan, banyak orang Kristen seolah-olah membuat Injil menjadi murah dengan cara terus-menerus mengabarkan Injil kepada orang-orang yang sudah menolak Injil di titik pertama. Ayat ini mengingatkan kita bahwa Ia berdaulat menyatakan belas kasihan-Nya kepada orang-orang tertentu, dan berdaulat pula mengeraskan hati orang-orang yang tidak dipilih-Nya. Dengan kata lain, penginjilan sejati berkaitan dengan predestinasi Allah.
Kita harus peka, ketika orang-orang yang kita injili tidak menerima Injil pada kesempatan pertama, hendaklah kita tidak perlu berulang kali mendatanginya dengan memberitakan Injil. Kita mungkin perlu menunggu waktu yang agak lama lalu kita boleh mendatanginya lagi untuk memberitakan Injil. Tetapi jika sampai 5-10 kali, orang itu tidak mau menerima Injil juga, kita TIDAK perlu melunakkan makna Injil, sebaliknya yang kita perlu lakukan : tinggalkan orang itu, karena mungkin sekali orang itu bukan umat pilihan-Nya. Langkah selanjutnya, kita mencari orang-orang lain yang dapat kita injili. Jangan membuang waktu kita memberitakan Injil hanya untuk orang tertentu, dunia kita membutuhkan Injil, sehingga wilayah penginjilan kita masih sangat luas dan banyak, jangan pernah kuatir kita akan kekurangan orang untuk diinjili.
Sesudah merenungkan kesepuluh ayat ini, apakah kita hari ini berkomitmen untuk menyerahkan hidup dan hati kita kepeda hidup dan kehendak-Nya sehingga kita setiap hari ingin mencintai dan melakukan apa yang Tuhan cintai dan membenci apa yang Tuhan benci ? Kiranya Tuhan memimpin dan menguatkan iman dan hati kita dalam menjalankan kehendak-Nya
Roma 9:19-21
Setelah mempelajari tentang proses pemilihan/predestinasi-Nya yang meliputi tiga tahap di ayat 9 s/d 18, kita akan merenungkan lebih dalam lagi tentang problematika predestinasi di Roma 9: 19-29. Pada bagian ini, kita hanya akan merenungkan tiga ayat yang menjadi pendahuluan dari problematika predestinasi ini.
Banyak orang “protes” dan marah-marah terhadap orang Kristen Reformed yang mengajarkan predestinasi dengan argumentasi bahwa dengan mengajarkan predestinasi, maka orang-orang Kristen Reformed sedang menyombongkan diri dan Allah versi Reformed pilih kasih, karena Ia hanya memilih beberapa orang (dan tidak semua orang—sesuai paham Universalisme di dalam “theologia” religionum terselubung).
Di sisi lain, serangan terhadap Reformed di dalam predestinasi juga muncul dengan argumentasi bahwa kalau beberapa orang sudah ditetapkan untuk binasa/ditolak Allah, maka otomatis orang tersebut bisa hidup seenaknya sendiri dan Allah tidak boleh mempersalahkan mereka. Benarkah demikian ? Di ayat 19, Paulus mengatakan, “Sekarang kamu akan berkata kepadaku: "Jika demikian, apa lagi yang masih disalahkan-Nya? Sebab siapa yang menentang kehendak-Nya?"”
Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) menerjemahkannya, “Nah, Saudara akan berkata kepada saya, "Kalau begitu mengapa Allah masih mau menyalahkan manusia? Bukankah tidak seorang pun dapat mencegah keinginan Allah?"” English Standard Version (ESV) menerjemahkannya, “You will say to me then, "Why does he still find fault? For who can resist his will?"” Terjemahan Baru (TB) LAI kurang tepat menerjemahkan “...apa lagi yang masih disalahkan-Nya ?...”, seharusnya terjemahan yang lebih tepat, “Mengapa Dia masih menyalahkan kita ?”
Di sini, Tuhan mengetahui akal licik manusia berdosa, sehingga Ia mewahyukan Paulus untuk membukakan hal ini. Hal licik apakah itu ? Manusia berdosa pasti berpikir bahwa kalau Allah telah menetapkan beberapa orang untuk diselamatkan dan menolak sisa-Nya, maka orang-orang yang termasuk kaum reprobat (tidak dipilih Allah) bebas hidup seenaknya sendiri dan jika demikian, mereka tidak boleh dipersalahkan oleh Allah, karena bagi mereka, “Allah” lah yang membuat mereka ditolak.
Dan lagi, bukankah tidak ada seorangpun yang dapat mencegah keinginan Allah ? Bagi mereka, sangat “kebetulan” sekali, mereka bisa hidup semaunya sendiri di luar Allah, karena mereka sudah ditetapkan untuk binasa. Inilah cara pikir manusia berdosa yang licik dan hal ini sudah diketahui oleh Tuhan Allah, sehingga melalui Paulus, Ia mewahyukan hal ini untuk membukakan mata hati dan pikiran kita. Esensi pernyataan licik manusia berdosa ini sebenarnya adalah dosa.
Dosa berarti pemberontakan terhadap Allah dan sengaja melarikan tanggung jawab terhadap Allah. Manusia sejati adalah manusia yang hidup mencerminkan naturnya sebagai peta dan teladan Allah, yaitu menjalankan keadilan, kejujuran, kebenaran, kasih, dll, tetapi dosa mengakibatkan manusia melarikan diri dari tanggung jawab tersebut, bahkan melawan tanggung jawab dari Allah tersebut. Sehingga tidak heran, di dunia postmodern, makin lama kita semakin melihat manusia yang tidak ada bedanya seperti binatang yang liarnya bukan main. Habis perkosa satu gadis, cukup ? TIDAK. Mau perkosa dua, tiga, empat, bahkan sekelompok gadis. Ini bejatnya manusia berdosa.
Mereka menginginkan hak asasi mereka terpenuhi dan meniadakan tanggung jawab mereka, sebaliknya anehnya mereka TIDAK pernah mau memperdulikan hak asasi manusia lainnya. Ambil contoh, banyak pekerja di Indonesia sedang ramai-ramainya menuntut Upah Minimum Regional (UMR), atau sejenisnya dengan argumentasi bahwa dengan UMR yang “layak”, mereka bisa hidup “layak”. Benarkah mereka bisa hidup “layak” dengan UMR yang “layak” ? TIDAK ! Mereka sebenarnya bukan ingin hidup “layak”, tetapi hidup kaya/nyaman. Kedua, mereka menginginkan gaji yang besar, tetapi kualitas kerja mereka tak pernah besar.
Contoh sederhana, kita bisa memperhatikan pekerjaan para tukang. Para tukang biasanya bekerja bukan dengan giat, tetapi dengan santai. Hal ini didasari oleh filosofi kerja orang Jawa (mayoritas Islam): alon-alon asal kelakon (pelan-pelan, yang penting terlaksana). Tidak heran, pekerjaan yang sebenarnya bisa diselesaikan mungkin dalam waktu 1-2 hari, ternyata dikerjakan oleh orang-orang Indonesia bisa sampai seminggu, dengan alasan: capek, gaji terlalu kecil, dll. Terhadap tindakan manusia yang licik ini, Tuhan tetap menuntut tanggung jawab, meskipun beberapa orang yang tidak dipilih-Nya pasti akan binasa. Di sini, ada kaitan erat antara kedaulatan Allah dengan tanggung jawab manusia. Dosa memang diizinkan oleh Allah, tetapi dosa tetaplah tanggung jawab manusia di hadapan Allah.
Terhadap pertanyaan di Roma 9: 19, Paulus tidak menjawab “Ya” atau “Tidak”, tetapi ia membukakan hati dan pikiran para pembaca suratnya (dan juga kita) tentang kedaulatan Allah dengan satu prinsip di ayat 20 dan diikuti oleh ilustrasi di ayat 21.
Di Roma 9: 20, Paulus mengatakan, “Siapakah kamu, hai manusia, maka kamu membantah Allah? Dapatkah yang dibentuk berkata kepada yang membentuknya: "Mengapakah engkau membentuk aku demikian?"” Inti theologia Paulus di dalam setiap suratnya adalah kedaulatan Allah. Di dalam ayat ini, ia mengajarkan tentang kedaulatan Allah dengan cara ia menyadarkan manusia siapakah mereka sesungguhnya di hadapan Allah, Sang Pencipta. Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) memberikan arti lebih jelas, “Tetapi, Saudara! Saudara hanya manusia saja. Dan Saudara tidak boleh berani menyahut kepada Allah! Bolehkah pot kembang bertanya kepada orang yang membuatnya, "Mengapa engkau membuat saya begini?"”
Di dalam terjemahan BIS ini, Paulus menyatakan bahwa manusia tetap adalah manusia sebagai ciptaan Allah yang tidak boleh membantah/menyahut Allah. Manusia harus taat mutlak kepada Allah dan pimpinan-Nya yang kekal dan suci adanya. Konsep ini diambil dari dua bagian di Kitab Yesaya, yaitu Yesaya 29:16 dan 45:9. Yesaya 29:16 ditulis di dalam konteks ketika Allah menyingkapkan kebutaan dan kemunafikan bangsa Israel yang kelihatan beribadah, tetapi hatinya jauh dari Allah (Yesaya. 29:13-14).
Mereka berlaku munafik karena mereka berpikir bahwa Allah bisa disenangkan melalui ibadah mereka. Dengan kata lain, mereka mau mmperalat Allah. Inilah yang disebut Yesaya sebagai tindakan memutarbalikkan segala sesuatu (ayat 16a). Artinya, mereka sebagai ciptaan Allah lah yang seharusnya tunduk kepada Allah, tetapi karena kemunafikan mereka, mereka memperalat Allah, sehingga Ia harus tunduk kepada permintaan mereka. Yang lebih parah lagi, Israel tidak mengakui Allah yang kepada-Nya mereka harus tunduk. Di ayat 16, Allah melalui Yesaya mengajar kondisi bangsa Israel seperti apa yang dibuat (Israel) tidak mengenal siapa yang membuatnya (Allah) bahkan yang membentuknya (Allah) tidak mengerti apa-apa tentang yang dibentuknya (Israel).
Kemunafikan Israel berwujud ganda. Di satu sisi, Israel ingin Allah agar tunduk kepada permintaan mereka. Inilah tindakan orang “Kristen” kanak-kanak (childish “Christian”). Mereka TIDAK pernah mau taat kepada Allah, tetapi sebaliknya mereka memperalat Allah untuk memenuhi ambisinya yang berdosa (baik secara langsung maupun tidak langsung).
Di sisi lain, wujud kemunafikan Israel adalah tidak diakuinya Allah sebagai Pencipta, Pemelihara dan Penyelamat Israel. Dengan kata lain, mereka “cuek” terhadap Allah, bagi mereka, yang penting, mereka sudah beribadah rutin, berpuasa dua hari (Senin dan Kamis), mempersembahkan korban, berdoa, membaca Taurat, dll.
Di dalam Yesaya 45:9, sekali lagi Tuhan mengajar Israel secara langsung tentang status mereka yang seharusnya di hadapan Allah, “Celakalah orang yang berbantah dengan Pembentuknya; dia tidak lain dari beling periuk saja! Adakah tanah liat berkata kepada pembentuknya: "Apakah yang kaubuat?" atau yang telah dibuatnya: "Engkau tidak punya tangan!"” Di sini, Roma 9:20 dijelaskan oleh Yesaya 45:9 dengan langsung menyatakan bahwa mereka yang membantah Allah adalah mereka yang celaka. Mengapa ? Karena manusia adalah seperti beling periuk dari tanah liat yang tidak bisa menjadi periuk jika tidak dibentuk oleh si Pembentuk.
Dengan kata lain, sebagai manusia ciptaan-Nya, kita harus taat mutlak dan tidak membantah Allah bahkan terhadap kehendak-Nya yang misterius/belum kita pahami. Tuhan meminta kita DIAM terhadap kehendak-Nya yang belum diketahui, karena itu berada di dalam kehendak-Nya yang kekal yang nanti kelak akan dibukakan-Nya kepada kita sebagai umat pilihan-Nya di dalam kekekalan. Baik di dalam Roma 9:20 maupun di dalam Yesaya 45:9, kita diibaratkan seperti barang yang mati yang sedang dibentuk oleh Pribadi yang hidup, sehingga barang yang mati menjadi barang yang berharga.
Itulah sebenarnya kita, tanpa Allah yang menghembuskan nafas hidup ke dalam hidung kita, kita tak mungkin akan hidup, kita hanya seonggok tanah liat yang tidak bisa apa-apa. Di sini, kita belajar bahwa yang mati harus bergantung dan taat mutlak kepada yang hidup. Sudahkah kita bergantung dan taat mutlak kepada-Nya ? Itulah tindakan iman. Iman bukan sarana kita meminta apapun kepada Allah. Itu bukan iman, tetapi kepercayaan diri (self-confidence) ! Iman berarti bersandar mutlak kepada Allah.
Ketika kita bersandar kepada-Nya, pada saat yang sama, kita harus taat dan setia kepada-Nya. Jangan hanya bersandar kepada-Nya tetapi tidak mau taat dan setia kepada-Nya, itu berarti kita egois, kita mau Dia ikut campur di dalam hidup kita, tetapi kita tidak mau taat dan setia. Tuhan menuntut kita untuk berserah total kepada-Nya. Apa artinya ? Amsal 3:5-7 mengajarkan kita tentang hal ini, “Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu. Janganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak, takutlah akan TUHAN dan jauhilah kejahatan;” Berserah total kepada-Nya mengandung empat pengertian di dalam tiga ayat ini, yaitu:
Pertama, percaya di dalam TUHAN dengan seluruh hati. King James Version (KJV) menerjemahkan “Percayalah kepada TUHAN” dengan “Trust in the LORD” (=Percayalah di dalam TUHAN). Di dalam penyerahan total kita kepada-Nya, di saat itu pula kita sedang percaya di dalam-Nya. Ada dua pengertian yang terkandung di dalamnya. Pertama, percaya di dalam. Kata depan “di dalam” menunjuk adanya suatu tempat di mana kita harus mempercayakan diri, yaitu Allah sendiri. Kita bukan mempercayakan diri di dalam harta, orang lain, teman, atau bahkan diri kita, tetapi kita harus mempercayakan diri di dalam Allah. Kedua, TUHAN (the LORD).
Terjemahan Inggris begitu tepat dengan menambahkan kata the yang menunjukkan kekhususan. Alkitab tidak berkata bahwa kita percaya di dalam TUHAN saja, tetapi kita harus percaya di dalam satu-satunya TUHAN. Kata the menunjukkan bahwa hanya TUHAN saja yang harus kita percayai. TUHAN itu tidak lain adalah TUHAN Allah, Yahweh, bukan “tuhan” materialisme, humanisme atheis, hedonisme, skeptisisme, dll. Dengan kata lain, the menunjuk kepada TUHAN yang adalah Pribadi, bukan konsep/ide seperti yang diajarkan oleh filsafat Yunani dan agama-agama dunia. Ketika kita percaya di dalam TUHAN, kita percaya BUKAN dengan setengah hati, tetapi dengan SEPENUH hati. “Sepenuh hati” menunjuk kepada totalitas hati kita yang taat dan setia hanya kepada TUHAN.
Itulah yang dimaksud dengan ibadah sejati di dalam Roma 12:1. TUHAN tidak menginginkan ritualitas tertentu di dalam ibadah, tetapi Ia menginginkan hati kita yang taat mutlak. Tidak berarti, liturgi kebaktian tidak penting hanya gara-gara masalah hati, karena liturgi tetap diperlukan untuk membawa para jemaat beribadah kepada-Nya dengan tertib, karena Roh Kudus adalah Roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan ketertiban (2 Timotius 1:7). Di atas semuanya, Tuhan lebih memperhatikan hati kita ketika kita beribadah dan menyembah-Nya di dalam kebaktian dan/atau di dalam kehidupan sehari-hari.
Kedua, jangan bersandar kepada pengertianmu sendiri. Ketika kita percaya di dalam TUHAN, secara otomatis pada saat yang sama, kita dituntut untuk TIDAK lagi bersandar kepada pengertian kita sendiri. Mengapa ? Karena pengertian kita adalah pengertian yang terbatas, sudah berdosa, dan sementara sifatnya, sehingga pengertian kita pasti mudah berubah. Kalau pengertian kita mudah berubah, bagaimana kita bisa mengarahkan hidup kita ? Hidup yang tidak berarah disebabkan hidup yang tidak dimengerti dengan benar (atau hidup yang tak bermakna). Dari mana kita bisa mendapatkan pengertian ? Dari TUHAN saja ! Oleh karena itu, ketika kita percaya di dalam TUHAN, pada saat yang sama, Ia akan memberikan pengertian kepada kita untuk menjalani hidup yang berkemenangan di dalam TUHAN, Raja dan Pemilik hidup kita.
Ketiga, akuilah Dia dalam segala jalan kita. Percaya di dalam TUHAN menuntut kita untuk mengakui-Nya di dalam segala jalan kita. Apa artinya mengakui-Nya ? Apakah cukup mengakui-Nya di mulut kita ? TIDAK ! Mengakui-Nya berarti mengundang-Nya masuk dan memerintah di dalam setiap jalan hidup kita, sehingga yang kita katakan, pikirkan, kerjakan adalah sesuatu yang dari Allah, oleh Allah dan untuk kemuliaan-Nya (Roma 11:36). Ketika kita sudah mengundang-Nya menjadi TUHAN dan Raja dalam setiap jalan hidup kita, maka Ia berjanji akan meluruskan jalan kita (atau lebih tepatnya, Ia akan memimpin setiap langkah hidup kita). Dengan kata lain, ketaatan menghasilkan keberhasilan di mata Allah, bukan di mata manusia. Kunci sukses di hadapan Allah bukan seperti yang diinginkan manusia, tetapi kunci sukses di mata Allah adalah kita taat dan setia kepada perintah-Nya yang berlawanan dengan perintah/keinginan manusia berdosa.
Keempat, jangan menganggap diri sendiri bijak, tetapi takutlah akan TUHAN dan menjauhi kejahatan. Di dalam percaya di dalam TUHAN, ada unsur ketaatan plus ketakutan di dalam-Nya. Orang yang katanya percaya di dalam TUHAN tetapi tidak pernah taat, itu kebohongan terbesar ! Orang yang percaya di dalam TUHAN sungguh-sungguh pasti tidak boleh sombong, tetapi takut dan taat hanya di dalam TUHAN. Mengapa ? Karena dia sudah memmpercayakan diri di dalam TUHAN, dan pada saat yang sama, dia pasti mengundang-Nya menjadi Raja dan TUHAN yang memerintah dan memimpin setiap langkah hidupnya (baca poin ketiga).
Ketika seseorang takut dan taat di dalam TUHAN, pada saat yang sama juga, dia akan menjauhi kejahatan/membenci dosa. Orang yang mengaku percaya di dalam TUHAN tetapi masih mencintai dosa, orang itu patut dipertanyakan, “Tuhan” seperti apa yang mereka percayai ? Mengapa mereka bisa membenci dosa ? Karena mereka lebih mencintai apa yang dicintai oleh Tuhan dan membenci apa yang dibenci oleh Tuhan. Itulah yang disebut Pdt. Dr. Stephen Tong sebagai menyangkal diri dan fungsi hati nurani yang dipimpin oleh Roh Kudus.
BACA JUGA: EKSPOSISI ROMA 9:6-29
Paulus memberikan ilustrasi di ayat 21 untuk menjelaskan ayat 20. Di ayat 21, ia menjelaskan, “Apakah tukang periuk tidak mempunyai hak atas tanah liatnya, untuk membuat dari gumpal yang sama suatu benda untuk dipakai guna tujuan yang mulia dan suatu benda lain untuk dipakai guna tujuan yang biasa?” Allah diibaratkan seperti tukang periuk yang berhak/berdaulat penuh atas tanah liat (ibarat manusia), untuk membuat dari gumpalan tanah liat: sebuah benda yang bagus/dihargai (terjemahan Inggris: honor) atau benda yang tidak dihargai/tidak bagus (terjemahan Inggris: dishonor).
Terjemahan Baru (TB) LAI kurang tepat mengontraskan dua hal ini, karena di dalam TB LAI mengontraskan antara “tujuan yang mulia” dengan “tujuan yang biasa”. Kedua pernyataan ini bukanlah suatu kontras yang bertolak belakang, karena “tujuan yang biasa” tidak sama dengan “tujuan yang tidak mulia”. Terjemahan yang lebih tepat yaitu adanya kontras antara “barang-barang yang dihargai” dengan “barang-barang yang TIDAK dihargai”.
Si tukang periuk berhak membentuk gumpalan tanah liat menjadi periuk yang bagus dan mulia, atau menjadi sesuatu yang tidak bagus. Ini adalah kedaulatan mutlak si tukang periuk. Anak si tukang periuk tidak berhak menasehati ayahnya, atau bahkan tanah liat sendiri tidak boleh “demo” terhadap si tukang periuk, karena ia dijadikan untuk barang yang tidak bagus.
Itulah kedaulatan Allah. Allah yang berdaulat adalah Allah yang berhak menciptakan manusia untuk tujuan mulia (dipilih-Nya untuk diselamatkan di dalam Kristus), dan berhak juga menciptakan manusia lainnya untuk tujuan yang tidak mulia (ditetapkan untuk dibinasakan). Fakta kedua dari ilustrasi tanah liat ini adalah TIDAK ada tanah liat yang mengkilap, lalu dipakai oleh si tukang periuk untuk membentuk barang yang anggun, melainkan semua tanah liat pasti kotor, sehingga si tukang periuk berhak menjadikan barang yang anggun dari tanah liat yang semuanya kotor.
Demikian juga halnya dengan predestinasi dan reprobasi di dalam pemilihan Allah TIDAK bergantung pada jasa baik manusia (baca lagi Roma 9:16). Ia berdaulat dan berkuasa memilih dan menentukan beberapa manusia yang berdosa untuk menjadi anak-anak-Nya yang mengerjakan panggilan Tuhan dengan taat kepada-Nya. Inilah kuasa-Nya yang hebat. Kita seringkali mengerti kuasa Allah melalui mukjizat, hal-hal supranatural, dll. Itu tidak salah, tetapi kurang lengkap. Kuasa Allah yang lebih hebat adalah membuat kita yang dahulu berdosa, cinta diri, cinta uang, dll (self-centered life) menjadi pribadi umat pilihan-Nya yang semakin membenci dosa, dan lebih mencintai Tuhan dan kehendak-Nya (God-centered life) melalui kuasa Roh Kudus di dalam hati mereka.
Melalui perenungan ketiga ayat ini, kita kembali disadarkan bahwa kita semua itu berdosa dan rusak total, tidak ada yang baik di dalam diri kita (Roma 3:10-18,23), tetapi puji Tuhan, beberapa dari orang berdosa ini dipilih-Nya dari kekekalan untuk menjadi anak-anak-Nya di dalam Kristus. Doktrin predestinasi seharusnya membuat kita yang sudah menjadi anak-anak-Nya secara sungguh-sungguh bersyukur atas anugerah-Nya yang begitu besar dan dahsyat. Ingatlah, kita semua seperti tanah liat yang kotor, lemah, tetapi Ia seperti si tukang periuk berdaulat dan berkuasa menjadikan kita yang kotor dan lemah ini menjadi “barang” yang berharga di mata-Nya. Puji Tuhan. Biarlah sebagai umat pilihan-Nya di dalam Kristus, kita semakin mempercayakan hidup kita di dalam-Nya sepanjang hari sebagai Raja, TUHAN, dan Pemilik hidup kita. Jadikanlah Kristus sebagai Raja di dalam hidup Anda, maka Anda akan melihat sesuatu yang dahsyat terjadi di dalam kehidupan Anda sesuai dengan kehendak-Nya
Roma 9:22-29
Setelah mempelajari tentang problematika predestinasi bagian pertama di ayat 19 s/d 21, kita akan melanjutkan problematika ini di bagian kedua di ayat 22 s/d 29.
Setelah memaparkan bahwa sebagai umat yang telah dipilih-Nya kita tidak berhak memprotes Allah, maka Paulus menyimpulkan bahwa Allah itu berdaulat, berhak memilih siapapun dan menolak sisanya. Kesimpulan ini diuraikan lagi di ayat 22 dan 23 s/d 26 (dengan penjelasan di Roma 9: 27- 29). Allah yang berhak dan berdaulat memilih beberapa dari antara manusia dan menolak sisanya adalah Allah yang juga berdaulat untuk memberikan kemuliaan kepada umat pilihan-Nya dan membiarkan mereka yang sudah ditetapkan untuk dibinasakan.
Prinsip ini yang dijelaskan Paulus pada ayat 22 dan 23 dengan prinsip perbedaan kontras. Di ayat 22, Paulus mengatakan, “Jadi, kalau untuk menunjukkan murka-Nya dan menyatakan kuasa-Nya, Allah menaruh kesabaran yang besar terhadap benda-benda kemurkaan-Nya, yang telah disiapkan untuk kebinasaan--” Kepada orang-orang sisa yang telah ditetapkan-Nya untuk dibinasakan, Allah TIDAK menuntun mereka untuk berbuat dosa, tetapi Ia MEMBIARKAN mereka dengan cara Ia bertahan dalam kesabaran yang besar terhadap mereka dengan tidak menghukum untuk menyatakan kuasa-Nya. Mengapa Ia membiarkan mereka ? Karena Ia menunggu waktu di mana segala sesuatu harus dipertanggungjawabkan, yaitu umat yang tertolak (reprobat) pasti masuk neraka. Di sini, kita belajar beberapa hal:
Pertama, adanya keadilan Allah pada manusia. Manusia postmodern sedang diracuni oleh filsafat relativisme dan pluralisme serta subjektivitas kebenaran, sehingga banyak manusia postmodern menyerukan bahwa semua agama itu sama/baik, dan semua orang “pasti” masuk “surga” karena mereka telah menjalankan agama mereka. Tidak jarang juga seorang “Kristen” postmodern mengungkapkan hal serupa dengan dalih yang lebih mengerikan (“rohani”) yaitu Allah itu Kasih.
Benarkah anggapan demikian ? TIDAK ! Allah Alkitab memang adalah Allah yang Mahakasih tetapi Ia juga Allah yang Mahaadil dan Mahakudus yang berdaulat. Ia berdaulat untuk memilih beberapa dari semua manusia berdosa untuk menjadi anak-anak-Nya dan melewatkan sisanya untuk dibinasakan. Mengerti Allah tetapi dengan sengaja memisahkan atribut Allah yang Mahaadil dan Mahakudus dari Allah yang Mahakasih sama dengan menghina dan menggeser Allah dari tahta-Nya dan menggantikan “superioritas” rasio manusia yang sanggup “menasehati” Allah.
Bukan hanya memilih dan menolak manusia, keadilan Allah yang berdaulat berhak menghukum dan membinasakan mereka yang menolak-Nya. Dengan kata lain, keadilan dan kasih Allah menyediakan Surga bagi umat pilihan-Nya di dalam Kristus sebaliknya neraka bagi sisa dari umat pilihan-Nya yang dengan sengaja menolak dan bahkan menghina-Nya. Di dalam kebinasaan itulah, mereka yang tidak dipilih-Nya harus menjalani siksaan yang lebih berat dan lebih kejam, karena mereka besama-sama dengan bapa mereka, yaitu iblis. Bukankah itu menjadi dambaan bagi mereka yang tidak dipilih-Nya ??!!
Kedua, waktu Allah dan pemeliharaan-Nya yang berdaulat. Ketika di dalam ayat ini, Paulus mengatakan bahwa untuk mereka yang telah ditetapkan-Nya untuk dibinasakan, Allah tetap menahan hukuman dan menyatakan kuasa-Nya, maka ini berarti ada waktu Allah. Waktu Allah (Yunani: kairos) menunjuk kepada waktu Allah yang hanya satu kali terjadi (tak terulang). Di saat inilah, kita melihat kuasa-Nya dinyatakan, yaitu Ia akan memberkati umat pilihan-Nya yang taat dan setia, dan sebaliknya Ia akan menghukum dan membinasakan umat tertolak yang sengaja tidak mau beriman di dalam-Nya.
Oleh karena itu, sebagai umat pilihan-Nya, kita tidak perlu kuatir dan takut akan bahaya penindasan, penganiayaan, dll yang menimpa kita di dalam mengikut Kristus. Kita tidak perlu seperti Asaf yang hampir cemburu melihat kemujuran orang fasik (Mazmur 73:1-11), tetapi puji Tuhan, Ia menyadarkannya untuk tidak cemburu dan melihat Allah sebagai Allah yang baik serta kemujuran orang fasik itu hanya sementara sifatnya (Mazmur 73:12-28).
Ketika bahaya dan penderitaan mengancam hidup kita, kita tidak perlu kuatir. Mengapa ? Karena waktu Allah lah yang terbaik bagi kita. Kita tidak perlu mendendam kepada mereka yang membunuh dan membakar gereja, dll dengan dalih “rohani/agama”. Itu memang sudah menjadi life style dan kegemaran orang fasik (ungodliness).
Semua pembalasan bukanlah hak kita, tetapi hak Allah. Perjanjian Baru mengulangi dua kali pengajaran bahwa pembalasan itu adalah hak Allah, yaitu di dalam Roma 12:19, “Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah kamu sendiri menuntut pembalasan, tetapi berilah tempat kepada murka Allah, sebab ada tertulis: Pembalasan itu adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan, firman Tuhan.” dan Ibrani 10:30, “Sebab kita mengenal Dia yang berkata: "Pembalasan adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan." Dan lagi: "Tuhan akan menghakimi umat-Nya."”
Dengan adanya dua bagian Perjanjian Baru yang mengajarkan adanya pembalasan adalah hak Allah, maka kita harus tetap beriman kepada providensia (pemeliharaan)-Nya di dalam waktu-Nya yang berdaulat. Di dalam waktu Allah yang berdaulat, kita pasti akan melihat barangsiapa yang melawan umat pilihan-Nya (=Antikris), mereka akan dihakimi lebih berat dan dibinasakan ketika Kristus datang. Haleluya ! Itulah yang dimaksudkan Daniel di dalam penglihatan tentang Yang Lanjut Usianya yang akan membinasakan keeempat binatang dan anak manusia (Daniel 7:1-28).
Yang Lanjut Usianya menunjuk kepada Kristus. Dari mana saya bisa menyimpulkan hal ini ? Karena Wahyu 1:14 menjelaskan hal yang sama/dikutip dari Daniel 7:9 dan di Wahyu 1 ayat 17-18, Rasul Yohanes melalui ilham Roh menggambarkan bahwa Yang Lanjut Usianya itu tidak lain adalah Anak Manusia yang adalah Yang Awal dan Yang Akhir dan Yang Hidup, Ia telah mati, namun Ia hidup sampai selama-lamanya, dan Ia memegang segala kunci maut dan kerajaan maut.
Dari penjelasan ini, kita mendapatkan gambaran bahwa Yang Lanjut Usianya adalah Tuhan Yesus Kristus, Pribadi Kedua dari Allah Trinitas. Pada saat Kristus datang kedua kalinya setelah berlalunya masa Kerajaan Seribu Tahun (periode antara kedatangan Kristus pertama dan kedua), Ia akan membinasakan semua antikristus, yaitu semua yang melawan Kristus dan para pengikut-Nya. Haleluya ! Semua umat pilihan-Nya adalah lebih dari pemenang, karena Kristus telah mengalahkan kuasa dosa, iblis dan maut, serta memberikan jaminan kemenangan-Nya di dalam penderitaan dunia ini.
Sebaliknya, bagi kita sebagai umat pilihan-Nya di dalam Kristus, Paulus mengungkapkan, “justru untuk menyatakan kekayaan kemuliaan-Nya atas benda-benda belas kasihan-Nya yang telah dipersiapkan-Nya untuk kemuliaan,” (Roma 9: 23) Kalau mereka yang telah dipersiapkan-Nya untuk dibinasakan akan mendapatkan hukuman Allah kelak ketika Kristus datang, sedangkan mereka yang telah ditetapkan dan dipersiapkan-Nya untuk kemuliaan, mereka pasti menerima kekayaan kemuliaan-Nya. “Kekayaan kemuliaan-Nya” bisa diterjemahkan kepenuhan kemuliaan-Nya atau kemuliaan-Nya yang besar.
Ini berarti ada kemuliaan-Nya yang lebih besar yang akan disingkapkan oleh Allah bagi kita sebagai umat pilihan-Nya di dalam Kristus. Pada zaman akhir ini, kita telah dan sedang melihat begitu dahsyatnya kemuliaan Allah, yaitu melihat tangan kasih dan anugerah-Nya yang melalui Roh Kudus memimpin sekelompok orang yang fanatik dengan “agama lain” untuk beriman di dalam Kristus. Dengan kata lain, penginjilan adalah penyingkapan kemuliaan Allah di dalam Kristus.
Tetapi itu tidak cukup, mengapa ? Karena penginjilan dan pemuridan adalah proses menuju kepada kesempurnaan anak-anak-Nya untuk melihat kemuliaan-Nya di dalam Kristus. Lalu bagaimana ? Kemuliaan Allah sejati kelak akan dilihat oleh umat pilihan-Nya di dalam kekekalan ketika Kristus datang yang kedua kalinya. Kedatangan Kristus yang kedua kalinya menyatakan sungguh-sungguh kemuliaan Allah yang tak terkirakan. Kedatangan Kristus yang pertama kalinya membawa misi menebus umat pilihan-Nya yang berdosa dan pada saat itu kemuliaan Allah tidak nampak secara fenomena, tetapi kedatangan Kristus kedua benar-benar menampakkan kemuliaan Allah. Dan pada saat kedatangan Kristus yang kedua kali inilah, semua umat pilihan-Nya mendapatkan hak menikmati kemuliaan-Nya itu. Sekali lagi, puji Tuhan!
Lalu, siapakah mereka yang telah dipersiapkan-Nya untuk kemuliaan? Di ayat 24, Paulus menjelaskan, “yaitu kita, yang telah dipanggil-Nya bukan hanya dari antara orang Yahudi, tetapi juga dari antara bangsa-bangsa lain,” Orang yang telah dipersiapkan-Nya untuk kemuliaan adalah semua umat pilihan-Nya yang tidak terbatas pada suatu suku atau bangsa tertentu. Di sini, Paulus mengungkapkan bahwa yang dipanggil-Nya bukan hanya dari orang Yahudi, tetapi juga dari bangsa-bangsa lain (dalam konteks ini adalah bangsa Yunani/Romawi; Alkitab terjemahan Inggris menerjemahkannya Gentiles/kafir/non-Yahudi).
Pada saat Paulus menyingkapkan hal ini, mungkin orang-orang Israel menjadi marah, karena di dalam benak mereka, umat pilihan Allah hanya orang-orang Israel saja, dan orang-orang non-Yahudi adalah orang yang tidak dipilih dan diselamatkan Allah. Paulus mendobrak konsep orang Yahudi yang salah ini dengan mengatakan bahwa umat pilihan-Nya yang telah dipanggil-Nya bukan hanya dari orang-orang Yahudi saja, tetapi juga dari bangsa-bangsa lain. Berarti panggilan Allah bersifat universal. Ini juga menunjukkan adanya kedaulatan dan keMahakuasaan Allah yang memanggil mereka yang bukan dari Yahudi/Israel untuk menjadi umat-Nya. Bagaimana dengan kita saat ini ? Panggilan Allah juga berlaku bagi kita sebagai orang Indonesia (non-Yahudi/Israel) untuk beriman di dalam Kristus. Ini membuktikan bahwa Allah mengasihi manusia pilihan-Nya dari berbagai suku dan bangsa yang berdosa. Sudahkah kita memberitakan Injil kepada orang-orang sekeliling kita ?
Orang-orang Israel akan marah ketika membaca pengajaran Paulus di ayat 24 tadi, maka Paulus menyiapkan sanggahannya bahwa pengajarannya ini sebenarnya sudah diajarkan di dalam Perjanjian Lama. Di dalam ayat 25 dan 26, Paulus menuturkan, “seperti yang difirmankan-Nya juga dalam kitab nabi Hosea: "Yang bukan umat-Ku akan Kusebut: umat-Ku dan yang bukan kekasih: kekasih." Dan di tempat, di mana akan dikatakan kepada mereka: "Kamu ini bukanlah umat-Ku," di sana akan dikatakan kepada mereka: "Anak-anak Allah yang hidup."” Paulus mengutip perkataan Hosea, oleh karena itu ada baiknya kita sedikit membaca kitab Hosea untuk mendapatkan gambaran tentang hal ini.
Di dalam Hosea 1:2-9, Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) memberikan judul perikopnya: “Keluarga Hosea sebagai gambaran Israel yang tidak setia.” Di dalam perikop ini diceritakan bahwa Hosea diperintahkan oleh Tuhan di zaman Raja Israel, Yerobeam bin Yoas (1:1) untuk mengawini perempuan sundal dan memperanakkan anak-anak sundal (1:2), karena Israel sudah bersundal hebat dengan membelakangi/melawan Tuhan. Lalu, Hosea mengawini Gomer binti Diblaim (1:3) lalu melahirkan tiga orang anak, yaitu: Yizreel (1:4) sebagai simbol bahwa Allah akan mengakhiri pemerintahan Israel dan mematahkan busur panah Israel di lembah Yizreel (1:4b-5), Lo-Ruhama (ayat 6) sebagai tanda bahwa Allah tidak akan menyayangi lagi kaum Israel dan sama sekali tidak akan mengampuni mereka tetapi Ia akan menyayangi kaum Yehuda dan menyelamatkan, dan anak terakhir, Lo-Ami (1:9) sebagai tanda bahwa Israel bukanlah umat Allah lagi dan Allah bukanlah Allahnya Israel.
Di Hosea 2, Allah menghukum Israel dan memulihkan Israel bukan secara bangsa, tetapi secara individu, melalui Lo-Ruhama dan Lo-Ami, anak-anak dari perempuan sundal yang dikawini oleh Hosea. Oleh karena itulah, Paulus menyebut keturunan dua orang ini disebut sebagai umat-Nya (baca: Hosea 2:22) dan yang bukan kekasih/istri-Nya (baca: Hosea 2:1-22) akan disebut kekasih-Nya. Dari kisah ini, kita mendapatkan pengertian bahwa Allah berkuasa mutlak untuk membuang mereka yang dengan sombong merasa umat pilihan Allah (padahal bukan umat pilihan Allah yang sejati), dan Ia memilih mereka yang dianggap bukan umat pilihan untuk menjadi umat pilihan-Nya.
Jangan bermain-main dengan anugerah Allah. Tetapi puji Tuhan, Ia yang menghukum Israel, tetap menyisakan mereka yang taat dan setia kepada-Nya (umat pilihan-Nya sejati), sehingga kepada mereka, Allah tetap menganggap mereka sebagai umat-Nya (Hosea 1:10 ; band. Roma 9:26).
Hal ini diperjelas oleh Paulus di ayat 27 dan 28, “Dan Yesaya berseru tentang Israel: "Sekalipun jumlah anak Israel seperti pasir di laut, namun hanya sisanya akan diselamatkan. Sebab apa yang telah difirmankan-Nya, akan dilakukan Tuhan di atas bumi, sempurna dan segera."” Di antara bangsa Israel yang dipilih-Nya dari antara bangsa-bangsa lain, Ia tetap memilih individu-individu sebagai obyek cinta kasih-Nya di dalam umat pilihan-Nya.
Umat pilihan-Nya secara individu inilah yang menandakan umat pilihan Allah sejati. Hal ini dijelaskan di dalam ayat 27 bahwa meskipun anak Israel itu banyak seperti pasir di laut, namun hanya sisanya akan diselamatkan/kembali (Yesaya 10:22a). Berarti, barangsiapa yang Tuhan telah pilih secara individu, Dia akan menjamin keselamatannya dan akan menarik mereka kembali ketika mereka pada suatu waktu berada di dalam kesesatan.
Sedangkan, sisa dari umat pilihan-Nya itu akan Dia buang karena sebenarnya mereka bukan lah umat pilihan-Nya secara individu meskipun mengaku sebagai “umat pilihan-Nya” secara bangsa. Kebinasaan bagi umat yang tertolak ini sudah pasti dan itu akan dilaksanakan oleh Tuhan di atas bumi degnan sempurna dan segera. Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. di dalam Perjanjian Baru Interlinear menerjemahkan ayat 28 dari struktur bahasa asli (Yunani), “Karena melalui sabda-Nya (dengan) melaksanakan dan mengurangi jumlah orang Israel, Tuhan akan bertindak di antara manusia di bumi.” (hlm 851)
Terjemahan Indonesia/LAI di Roma 9: 28 tidak menjelaskan apapun tentang tindakan Tuhan, tetapi dari terjemahan Yunani, kita mendapatkan penjelasan bahwa bagi mereka yang tertolak (meskipun mengklaim sebagai “umat pilihan-Nya” secara bangsa), Allah melalui Firman-Nya akan melaksanakan dan mengurangi jumlah orang Israel. King James Version juga sama memberikan penjelasan, “For he will finish the work, and cut it short in righteousness: because a short work will the Lord make upon the earth.” American Standard Version (ASV) menerjemahkan penjelasan serupa, “for the Lord will execute his word upon the earth, finishing it and cutting it short.” Tuhan bukan hanya memisahkan sungguh-sungguh kaum pilihan-Nya di antara bangsa pilihan-Nya, tetapi Ia juga benar-benar membuang mereka yang sebenarnya bukan kaum pilihan-Nya ke dalam neraka meskipun Ia harus mengurangi jumlah bangsa pilihan-Nya.
Hal serupa juga terjadi di dalam keKristenan. TIDAK semua orang yang mengaku “Kristen” sungguh-sungguh beriman Kristen dan termasuk kaum pilihan-Nya. Kedua ayat ini mengingatkan kita bahwa ada banyak orang yang mengaku diri “Kristen” (=“bangsa Israel”) tetapi mereka beriman di dalam diri mereka sendiri (humanisme), materi (materialisme), kesenangan duniawi (hedonisme), dll. Secara label dan KTP, mereka “Kristen”, rajin ke gereja, tidak lupa berdoa dan berpuasa (=persis seperti yang dilakukan oleh para ahli Taurat di zaman Tuhan Yesus), tetapi sayangnya Kristus membukakan kedok kemunafikan mereka bahwa mereka bukan sedang melayani Tuhan, tetapi melayani iblis sebagai bapa mereka. Itulah citra diri orang yang mengaku diri “Kristen” padahal mereka adalah orang-orang atheis yang mau hidup dualisme.
Terhadap orang-orang “Kristen” palsu ini (tentu BUKAN termasuk kaum pilihan-Nya dan anak-anak-Nya), Ia tidak segan-segan membuang mereka untuk dibinasakan, meskipun dengan cara itu, Ia mengurangi jumlah orang Kristen. Bagi Allah, lebih baik mengurangi jumlah orang “Kristen” palsu daripada memelihara mereka bersatu dengan orang Kristen sejati yang adalah umat pilihan Allah. Itulah maksudnya ketika Allah melalui Paulus (dan juga Yesaya) mengatakan bahwa tidak semua Israel sungguh-sungguh Israel, dan Allah akan membinasakan para “Israel” palsu meskipun dengan cara demikian, Ia akan mengurangi jumlah orang Israel. Marilah kita mengintrospeksi diri kita masing-masing sebagai orang Kristen, apakah kita sudah menTuhankan Kristus di dalam hidup dan hati kita?
Setelah itu, bagaimana respon kita? Pada ayat 29, Paulus mengatakan, “Dan seperti yang dikatakan Yesaya sebelumnya: "Seandainya Tuhan semesta alam tidak meninggalkan pada kita keturunan, kita sudah menjadi seperti Sodom dan sama seperti Gomora."” Ayat ini mengutip Yesaya 1:9 (“Seandainya TUHAN semesta alam tidak meninggalkan pada kita sedikit orang yang terlepas, kita sudah menjadi seperti Sodom, dan sama seperti Gomora.”) yang di dalam konteksnya sedang menceritakan kemunafikan dan ketidaksetiaan orang Israel kepada Allah.
Meskipun ada orang-orang Israel yang tidak setia, Allah tetap memelihara mereka secara individu. Allah yang memelihara disebut sebagai TUHAN semesta alam (KJV: the LORD of hosts; Ibrani: yehôvâh tsebâ'âh). Dalam Perjanjian Baru, Tuhan semesta alam diterjemahkan oleh King James Version (KJV): the Lord of Sabaoth (Yunani: kurios sabaōth) Sabaoth bisa diartikan armies (=tentara). New International Version (NIV) menerjemahkannya: the Lord Almighty, Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. di dalam Perjanjian Baru Interlinear (2003) menerjemahkankannya: Allah yang Mahakuasa (hlm 851).
Allah yang memelihara mereka adalah Allah yang telah memilih mereka dan akan menyelamatkan mereka dari antara orang-orang berdosa. Kesimpulan dari pergumulan predestinasi Allah ini ada pada Roma 9: 29 di mana kita sebagai umat pilihan-Nya di dalam Kristus harus bersyukur atas kasih, anugerah dan keadilan-Nya yang berdaulat. Mengapa ? Karena Allah yang Mahakuasa yang berdaulat itu meninggalkan bagi kita benih (keturunan) yang taat dan setia seperti Lot dan kedua anaknya (kecuali istri Lot) di tengah-tengah bangsa kafir, yaitu Sodom dan Gomora (baca: Kejadian 19:14-30).
Lot dan kedua anaknya adalah gambaran dari sisa (remnant) manusia yang termasuk kaum pilihan Allah yang akan diselamatkan-Nya. Itulah gambaran kita yang sungguh-sungguh beriman di dalam Kristus. Adalah suatu anugerah-Nya yang begitu dahsyat ketika Ia meninggalkan suatu benih/keturunan yaitu suatu sisa yang taat dan setia kepada-Nya, jika tidak, kita sudah dibinasakan seperti orang-orang di Sodom dan Gomora. Oleh karena itu, kita harus bersyukur atas anugerah-Nya yang bersedia memilih kita dari antara manusia berdosa untuk menjadi anak-anak-Nya yang terkasih. Puji Tuhan ! Kita yang dahulu adalah hamba dosa yang patut dimurkai-Nya, sekarang dikasihi-Nya dan dijadikan-Nya kekasih-kekasih-Nya dan anak-anak Allah yang hidup yang siap ditempa dan dipimpin-Nya untuk makin menyerupai Kristus, Kakak Sulung kita. Sudahkah kita siap untuk ditempa dan dipimpin-Nya?
Biarlah melalui perenungan kedelapan ayat ini, kita didorong oleh Firman Tuhan untuk semakin taat dan setia di dalam mengikut-Nya, mengapa ? Itu semua kita lakukan sebagai respon ucapan syukur kita karena kita telah diselamatkan oleh-Nya di dalam darah Anak Domba Allah, Tuhan Yesus Kristus.
Roma 9:30-33
Setelah mempelajari tentang problematika predestinasi bagian kedua di Roma 9: 22 - 29, kita akan mengerti tentang siapakah umat pilihan Allah sejati di ayat 30 s/d 33.
Setelah menjelaskan bahwa umat pilihan Allah bukanlah semua bangsa Israel, tetapi beberapa orang (sisa) dari bangsa Israel (ayat 27) dan juga ada orang-orang yang dari bangsa bukan Israel/Yahudi yang juga termasuk kaum pilihan Allah, maka Paulus menyimpulkan pengajarannya di ayat 30, “Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Ini: bahwa bangsa-bangsa lain yang tidak mengejar kebenaran, telah beroleh kebenaran, yaitu kebenaran karena iman.” Pernyataan “Jika demikian” menunjukkan adanya akibat dari ayat sebelumnya. King James Version (KJV) menerjemahkannya, “What shall we say then?” (=Apa yang akan kita katakan kemudian ?) Di ayat sebelumnya, kita telah mempelajari bahwa umat pilihan Allah bukanlah seluruh bangsa Israel, tetapi sisa-sisa orang Israel dan beberapa orang dari non-Israel.
Konsep ini sebenarnya sudah dibukakan sejak zaman Perjanjian Lama, tetapi sayangnya banyak ahli Taurat dan orang Farisi menutupinya lalu mengajarkan bahwa semua bangsa Israel adalah umat pilihan Allah yang harus memelihara Taurat. Mereka dengan bangganya berdoa di pasar dan tempat ramai dengan kalimat yang menyatakan diri sebagai kaum pilihan Allah (dan bukan orang kafir), dll.
Padahal arogansi mereka sebenarnya sia-sia saja, karena fakta menunjukkan bahwa tidak semua orang Israel benar-benar Israel atau kaum pilihan Allah. Ditambah ada beberapa orang dari bangsa lain/non-Yahudi juga termasuk kaum pilihan Allah. Hal ini yang diajarkan Paulus di ayat 30 bahwa bangsa-bangsa lain (bangsa-bangsa non-Yahudi/Gentiles) yang tidak mengejar kebenaran (status yang dibenarkan), telah beroleh status tersebut, yaitu status dibenarkan melalui iman. Ada tiga proposisi yang akan kita renungkan di dalam ayat ini.
Pertama, bangsa-bangsa lain yang tidak mengejar kebenaran. Di dalam Alkitab terjemahan Inggris, bangsa-bangsa lain diterjemahkan Gentiles yang berarti orang kafir/bangsa non-Yahudi. Mengapa ada perbedaan ini? Karena Israel menganggap bahwa bangsa mereka saja yang dipilih Allah, sedangkan sisanya kafir karena tidak dipilih Allah. Akibatnya, status ini tidak membuat mereka bersyukur, malahan menghina bangsa lain yang kafir sebagai bangsa najis yang tidak dipilih Allah.
Bangsa-bangsa non-Yahudi ini memang tidak memiliki Taurat seperti Yahudi, sehingga mereka tidak mengejar kebenaran. Kata kebenaran di sini dalam bahasa Yunaninya dikaiosunē yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris: righteousness atau kebenaran keadilan. Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. di dalam Perjanjian Baru Interlinear (2003) menafsirkan “kebenaran” ini sebagai status yang dibenarkan (hlm. 852).
Artinya, bangsa-bangsa non-Yahudi tidak mengejar status yang dibenarkan. Ini memang benar di mata orang Yahudi, karena di mata mereka, bangsa non-Yahudi tidak memiliki Taurat, maka mereka tidak bisa mengejar status yang dibenarkan. Di satu sisi, hal ini memang benar, tetapi di sisi lain, tidak. Mengapa? Karena selain Taurat sebagai penyataan khusus Allah kepada Israel, bangsa-bangsa non-Yahudi juga memiliki Taurat yang ditanamkan di dalam hati mereka dan alam semesta ciptaan-Nya sebagai penyataan umum Allah bagi semua orang (Roma 1:19-20). Meskipun demikian, penyataan khusus Allah tetap diperlukan.
Kedua, bangsa-bangsa non-Yahudi telah beroleh status kebenaran. Meskipun mereka tidak mengejar status yang dibenarkan (karena tidak memiliki Taurat), ternyata Allah berdaulat mutlak dan mengasihi mereka, sehingga mereka pun telah beroleh status kebenaran tersebut. Perbedaan waktu di dalam kedua kata kerja antara “mengejar” dan “memperoleh” ini sangat unik.
Di dalam struktur waktu, kata “mengejar” menggunakan bentuk present, sedangkan kata “memperoleh” menggunakan bentuk aorist. Beberapa terjemahan Inggris juga membedakan kedua kata kerja ini dengan struktur waktu yang berbeda. English Standard Version (ESV) menerjemahkan, “That Gentiles who did not pursue righteousness have attained it,…” King James Version (KJV) hampir sama menerjemahkan, “That the Gentiles, which followed not after righteousness, have attained to righteousness,…” New King James Version (NKJV) juga menerjemahkan, “That Gentiles, who did not pursue righteousness, have attained to righteousness,” Terjemahan Indonesia pun juga membedakan kedua kata kerja ini dengan keterangan waktu yang berbeda, di mana di dalam Alkitab LAI, ditambahkan kata “telah” pada pernyataan “telah beroleh status kebenaran”.
Ini berarti status dibenarkan (justified) oleh Allah didapatkan jauh sebelum mereka mengejar status dibenarkan tersebut. Ini adalah kedaulatan dan anugerah Allah yang jauh melampaui respon manusia. Dengan kata lain, kita dibenarkan melalui anugerah Allah yang mendahului respon manusia. Ketika kita sudah dibenarkan melalui anugerah Allah, sudah seharusnya kita bersyukur atas anugerah-Nya yang begitu agung ini.
Ketiga, bangsa-bangsa non-Yahudi dibenarkan melalui iman. Bukan hanya melalui anugerah Allah, bangsa-bangsa non-Yahudi yang dipilih Allah dibenarkan melalui iman. Kata “karena” di dalam pernyataan “kebenaran karena iman” seharusnya diterjemahkan melalui/oleh iman. International Standard Version (ISV) menerjemahkannya, “Gentiles, who were not pursuing righteousness, have attained righteousness, a righteousness that comes through faith.” English Standard Version (ESV) menerjemahkannya, “That Gentiles who did not pursue righteousness have attained it, that is, a righteousness that is by faith;” Semuanya ini menunjukkan bahwa umat pilihan Allah dibenarkan melalui anugerah Allah yang memberikan iman kepada umat-Nya. Jadi, iman bukan penyebab Allah membenarkan seseorang, tetapi iman adalah sarana/media/cara yang dianugerahkan Allah agar seseorang dibenarkan oleh Allah.
Dengan kata lain, adalah SALAH ketika Alkitab terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) menerjemahkan, “...Bangsa-bangsa lain yang bukan Yahudi tidak berusaha supaya hubungan mereka dengan Allah menjadi baik kembali. Tetapi karena mereka percaya, maka Allah membuat hubungan mereka dengan Dia menjadi baik kembali.” Ingatlah, iman tidak mengakibatkan Allah membenarkan seseorang, tetapi iman merupakan akibat atau media/cara di mana Allah membenarkan seseorang.
Iman itu sendiri merupakan anugerah Allah. Lalu, mengapa di dalam ayat ini dikatakan bahwa bangsa-bangsa non-Yahudi dibenarkan melalui iman? Dibenarkan melalui iman di dalam ayat ini berarti bangsa-bangsa non-Yahudi dibenarkan melalui iman yang bersandar kepada/di dalam Allah yang telah menyatakan diri-Nya secara khusus kepada mereka.
Dengan kata lain, mereka dibenarkan melalui iman bukan dibenarkan melalui iman sebagai sesuatu yang aktif tanpa anugerah Allah, tetapi kita dibenarkan melalui iman yang bersandar mutlak pada anugerah Allah. Anugerah Allah menjadi dasar/sumber kita dapat memiliki iman yang melaluinya kita dapat dibenarkan oleh-Nya. Hal ini juga berlaku bagi kita. Kita adalah orang Indonesia yang tentu adalah orang-orang non-Yahudi. Tetapi puji Tuhan, beberapa dari kita yang bukan orang Yahudi telah dipilih Allah menjadi umat-Nya melalui penyataan diri-Nya secara khusus di dalam Kristus dan Alkitab, sehingga melalui Roh Kudus yang menggenapkan karya keselamatan Kristus di dalam hati kita, kita dibenarkan oleh Allah melalui anugerah Allah di dalam iman kepada Kristus.
Kalau bangsa-bangsa non-Yahudi dibenarkan melalui iman, maka sebaliknya di ayat 31, Paulus menjelaskan, “Tetapi: bahwa Israel, sungguhpun mengejar hukum yang akan mendatangkan kebenaran, tidaklah sampai kepada hukum itu.” Kedua ayat kesimpulan pendek dari Paulus ini memutarbalikkan semua paradigma dari banyak orang Israel pada waktu itu.
Dulu, Israel berpikir bahwa merekalah yang termasuk umat pilihan Allah yang dibenarkan Allah karena mereka memiliki Taurat, sedangkan orang-orang di luar Israel adalah bangsa kafir yang tidak mungkin dibenarkan Allah. Tetapi Paulus memutarbalikkan paradigma ini dengan mengatakan bahwa justru beberapa orang dari bangsa-bangsa non-Yahudi yang dianggap “kafir” oleh orang-orang Yahudi sebenarnya telah dibenarkan oleh Allah melalui iman, sebaliknya hanya sisa orang dari seluruh bangsa Israel (bukan semua orang Israel) yang dibenarkan oleh Allah.
Justru banyak orang Israel yang merasa sudah memiliki Taurat dan dibenarkan Allah, malahan merekalah yang sesungguhnya tidak sampai kepada hukum yang membenarkan dari Allah. Pernyataan “hukum yang akan mendatangkan kebenaran” berarti hukum kebenaran (KJV: the law of righteousness).
Secara spesifik, kata “hukum” di sini dalam bahasa Yunani diterjemahkan sebagai hukum Musa (konteksnya adalah Israel). Lalu, kata “sampai” dalam struktur waktu Yunani memakai bentuk aorist. Dengan kata lain, meskipun di dalam perjalanan hidupnya Israel mengejar hukum kebenaran, sebenarnya dari dulu/kekekalan, beberapa dari mereka telah ditetapkan-Nya untuk tidak sampai/tiba pada hukum tersebut. Bagaimana dengan kita ? Seringkali kita sebagai orang Kristen menghina mereka yang bukan Kristen sebagai orang yang layak binasa.
Memang benar bahwa di luar Kristus, mutlak tidak ada jalan keselamatan. Tetapi tidak berarti argumen ini mengakibatkan kita menghina mereka yang belum percaya kepada Kristus. Mungkin sekali beberapa orang non-Kristen saat ini telah dipilih Allah sebelum dunia dijadikan untuk menjadi umat-Nya, dan menunggu waktu-Nya, orang-orang ini lama-kelamaan pasti akan menjadi Kristen. Oleh karena itu, sebagai orang Kristen sejati, kita tidak perlu menghina mereka sebagai orang kafir, dll, tetapi kita harus menjadi pewarta Kabar Baik (Injil). Ingatlah, kita mungkin dipakai-Nya menjadi saluran berkat dan terang bagi beberapa orang dari non-Kristen yang telah dipilih Allah.
Kita dipersiapkan-Nya untuk menuntun beberapa umat pilihan Allah yang sementara ini belum Kristen agar mereka nantinya menjadi pengikut Kristus yang taat dan setia. Bersediakah kita dipakai-Nya untuk kemuliaan-Nya ? Sebaliknya, kita yang terus merasa diri sudah mendapatkan wahyu khusus Allah di dalam Alkitab, kita malahan yang tidak sampai pada pengertian total akan Alkitab. Mengapa demikian ? Karena sebenarnya kita bukan umat pilihan Allah, tetapi anak-anak setan yang sementara masih indekos di dalam gereja (mengutip pernyataan Pdt. Dr. Stephen Tong).
Memang hampir tipis perbedaan antara orang Kristen sejati (anak-anak Tuhan) dengan orang “Kristen” palsu (anak-anak setan). Secara fenomena, mungkin keduanya juga rajin beribadah, suka belajar theologia, “melayani ‘Tuhan’”, dll, tetapi yang membedakannya adalah motivasi dan hati. Motivasi dan hati seorang Kristen sejati adalah murni untuk melayani Tuhan dan rendah hati, sedangkan motivasi dan hati seorang “Kristen” palsu adalah untuk kepuasan dan kebanggaan diri. Biarlah kita mengintrospeksi diri kita ketika kita sedang melayani Tuhan.
Mengapa Israel tidak sampai kepada hukum yang membenarkan tersebut ? Paulus menjelaskannya di ayat 32, “... Karena Israel mengejarnya bukan karena iman, tetapi karena perbuatan. Mereka tersandung pada batu sandungan,” Ini adalah ayat kunci kita mengerti ayat 31, yaitu Israel (sudah) tidak sampai kepada hukum kebenaran tersebut karena mereka mengejarnya berdasarkan/melalui perbuatan, BUKAN berdasarkan/melalui iman. Kata “karena” dalam bahasa Yunani adalah ek atau ex yang berarti from (dari), dll.
Beberapa terjemahan Inggris menerjemahkannya secara berbeda. American Standard Version (ASV), Geneva Bible, King James Version (KJV) dan New King James Version (NKJV) menerjemahkannya dengan kata by (oleh). Di sisi lain, English Standard Version (ESV) menerjemahkan, “Because they did not pursue it by faith, but as if it were based on works.” dan ISV menerjemahkannya, “Because they did not pursue it on the basis of faith, but as if it were based on works.” Dari perbedaan terjemahan ini, kita bisa menyimpulkan bahwa bangsa Israel tidak bisa sampai pada hukum kebenaran karena mereka mengejar kebenaran berdasarkan perbuatan mereka, bukan melalui iman.
Kata “perbuatan” ditambahkan oleh Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. di dalam Perjanjian Baru Interlinear (2003) dengan: perbuatan-perbuatan (yang dituntut Taurat) (p. 852) Dengan kata lain, perbuatan-perbuatan itu lah yang mendorong mereka terus mengejar hukum kebenaran. Mengapa demikian ? Karena mereka berpikir bahwa dengan melakukan seluruh hukum Taurat, mereka akan dibenarkan. Dari mana mereka berpikir demikian ? Apakah dari Abraham, dll ? TIDAK. Justru Abraham dipanggil oleh Allah BUKAN karena ia telah berbuat baik, melainkan justru ia dipanggil oleh-Nya di dalam suatu kondisi di mana lingkungan sekitarnya adalah para penyembah berhala. Allah memanggil Abraham murni karena kedaulatan dan anugerah-Nya.
Juga kepada Abraham, Allah membenarkannya melalui iman, BUKAN melalui perbuatan baik. Inilah kekonsistenan pengajaran Alkitab dari Perjanjian Lama sampai dengan Perjanjian Baru, dengan satu esensi utama yaitu manusia dibenarkan dan diselamatkan melalui anugerah Allah di dalam iman. Jika ada orang Katolik yang mengajarkan bahwa kita dibenarkan melalui iman + perbuatan baik (dengan dalih mengutip Yakobus 2:14-26 plus “tradisi rasuli”), maka ajaran itu jelas salah. Mengapa? Karena sejak Perjanjian Lama, Alkitab melaporkan kepada kita bahwa Abram pernah berbuat dosa dengan tidak mengakui Sarai sebagai istrinya kepada Firaun (Kejadian 12:10-20). Uniknya dosa ini dilakukan setelah Allah memanggilnya (Kejadian 12:1-9).
Kalau benar manusia dibenarkan melalui iman + perbuatan baik, maka Allah tidak jadi memberkati Abram, padahal tidak ada satu pun catatan Alkitab yang mengatakan bahwa setelah Abram berdosa demikian (Kejadian 12:10-20), maka Allah mengurungkan niat-Nya untuk memberkati Abram seperti yang telah dijanjikan-Nya (Kejadian 12:2-3). Dosa kedua Abraham yaitu tidak mempercayai janji Allah. Hal ini ditunjukkanya dengan menyodorkan Ismael saja yang menerima berkat perjanjian Allah (Kejadian 17:18), karena pada waktu itu Abraham belum dikaruniai oleh Allah seorang anak dari rahim Sara, padahal Ia telah berjanji sebelumnya bahwa Abraham akan diberkati dengan keturunan yang banyak (Kejadian 17:6-8). Kembali, jika manusia dibenarkan melalui iman + perbuatan baik, maka “seharusnya” Alkitab mencatat bahwa pada saat itu, Allah langsung memutuskan ikatan perjanjian-Nya dengan Abraham “hanya” gara-gara Abraham meragukan janji-Nya dengan menyodorkan Ismael untuk menerima berkat perjanjian.
Tetapi, sayangnya Alkitab TIDAK pernah mengajar hal demikian. Sayangnya Katolik sampai hari ini TIDAK bisa membuktikan ajaran mereka (yang diklaim berasal dari “tradisi rasuli”) bahwa manusia dibenarkan melalui iman + perbuatan baik, tetapi mati-matian menekankan ajaran yang katanya dari “tradisi rasuli” tetapi melawan konsep Alkitab dari Perjanjian Lama sampai dengan Perjanjian Baru. Inikah yang disebut “tradisi rasuli”? Apakah para rasul Kristus tidak menyadari pengajaran penting ini seperti mayoritas orang Katolik ? Ataukah sebenarnya mayoritas orang Katolik dengan sengaja memutarbalikkan berita Injil dengan menitikberatkan pembenaran melalui perbuatan baik (dalihnya: iman + perbuatan baik)? Inilah kegagalan presuposisi manusia berdosa yang juga sama-sama menggunakan dalih dan argumentasi “rohani”, yaitu “tradisi rasuli”, tetapi sayangnya sama sekali TIDAK memahami kekonsistenan PL dan PB sebagai satu benang merah yang saling terkait di dalam Alkitab.
Bukan hanya mereka mengejar hukum kebenaran melalui perbuatan saja, mereka pun tersandung pada batu sandungan. Batu sandungan bisa diterjemahkan batu yang membuat mereka jatuh tersandung (Sutanto, 2003, p. 852). King James Version (KJV) menerjemahkannya stumblingstone. Kata ini dalam bahasa Yunani proskommatos. Kata ini berasal dari dua kata Yunani yaitu proskomma yang berarti a stub, that is, (figuratively) occasion of apostasy (sesuatu yang membuat tersandung, yaitu, secara figuratif berarti waktu/alasan pemurtadan) dan lithos yang berarti stone (batu). Dr. John Gill di dalam tafsirannya John Gill’s Exposition of the Entire Bible menafsirkan bahwa batu sandungan ini adalah Perkataan Injil (the word of Gospel) atau lebih tepatnya (salib) Kristus sendiri yang oleh Paulus dikatakan, “untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan” (1 Korintus 1:23).
Untuk lebih jelasnya, mari kita perhatikan ayat 33, di mana Paulus mengatakan, “seperti ada tertulis: "Sesungguhnya, Aku meletakkan di Sion sebuah batu sentuhan dan sebuah batu sandungan, dan siapa yang percaya kepada-Nya, tidak akan dipermalukan."” Ayat ini diambil dari Yesaya 28:16 yang berbunyi, “sebab itu beginilah firman Tuhan ALLAH: "Sesungguhnya, Aku meletakkan sebagai dasar di Sion sebuah batu, batu yang teruji, sebuah batu penjuru yang mahal, suatu dasar yang teguh: Siapa yang percaya, tidak akan gelisah!” Ayat ini ditujukan kepada para pemimpin Yerusalem (baca dari ayat 7) yang tidak mau mendengarkan Firman Tuhan.
Beberapa penafsir yang saya baca tafsirannya hampir sama menunjuk kedua batu ini sebagai batu pembangun bangunan yang mengarah kepada Kristus. Batu ini ada dua, yaitu batu penguji dan batu penjuru yang mahal. Batu penguji dalam KJV diterjemahkan a tried stone. Batu ini menurut Albert Barnes dalam tafsirannya Albert Barnes’ Notes on the Bible menunjuk kepada suatu bahan logam (metals) yang diuji dengan api untuk menguji kualitasnya. Barnes mengutip hal ini dari: Ayub 23:10 ; Mazmur 66:10; Yeremia 9:6 (LAI: Yeremia 9:7); dan Zakharia 13:9. Hal ini penting supaya bangunan yang akan dibangun dari batu tidak hancur di titik dasar. Batu penguji/yang diuji ini, menurut Matthew Henry dalam tafsirannya Matthew Henry’s Commentary on the Whole Bible menunjuk kepada para nabi di PL yang membangun dasar kebenaran.
Lalu, batu ini disusul dengan batu penjuru yang mahal. KJV menerjemahkannya a precious corner stone. Kembali, Barnes menafsirkan bahwa batu ini adalah batu yang sangat kuat/kokoh untuk menahan sudut bangunan. Batu ini juga menunjuk kepada Kristus. Di dalam Kisah Para Rasul 4:11, Rasul Petrus yang penuh Roh mengatakan, “Yesus adalah batu yang dibuang oleh tukang-tukang bangunan--yaitu kamu sendiri--, namun ia telah menjadi batu penjuru.” “Batu penjuru” di dalam ayat ini berarti kepala dari penjuru/ujung (the head of the corner) yang menunjukkan bahwa Kristus adalah Sumber/Kepala segala sesuatu.
Di dalam Efesus 2:19-20, Rasul Paulus mengatakan hal serupa, “Demikianlah kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah, yang dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru.” “Batu penjuru” di dalam ayat ini dalam KJV diterjemahkan the chief corner stone. Dengan kata lain, kedua batu ini menunjuk kepada Kristus sebagai dasar yang telah diuji untuk suatu bangunan sekaligus sebagai dasar bangunan yang kokoh dan tak tergoyahkan.
Kedua batu inilah yang mengakibatkan Allah berfirman bahwa barangsiapa yang percaya, tidak akan gelisah. Mengapa Allah berkata bahwa barangsiapa yang percaya kepada kedua batu ini tidak akan gelisah ? Kedua batu ini memiliki makna dan mengarah kepada Kristus (bukan sekedar batu biasa), sehingga barangsiapa yang percaya kepada-Nya tidak akan gelisah (ayat 33: tidak akan dipermalukan ; bandingkan: Roma 10:11; 1 Petrus 2:6). Kristus itulah yang menjadi batu sandungan bagi bangsa Israel yang terus mengagungkan perbuatan sebagai syarat diselamatkan. Dengan kata lain, bangsa Israel tidak sampai kepada hukum Kebenaran, selain karena mereka mengejarnya melalui perbuatan, mereka tidak mengarah kepada Kristus di dalam iman, sehingga mereka kehilangan arah dan makna hidup sejati.
Bagaimana dengan kita? Sebagai kaum pilihan Allah, kita seharusnya berfokus kepada iman dan bersumber hanya kepada Kristus yang adalah batu teruji dan batu penjuru yang mahal/berharga. Kristus itulah yang menjadi Sumber Hidup kita yang kepadanya hidup kita terkait mutlak. Ketika kita berfokus kepada iman dan bersumber hanya kepada Kristus, hidup kita pasti akan memiliki makna sejati meskipun harus melewati berbagai pergumulan dan penderitaan. Sudahkah kita menjadikan Kristus sebagai Tuhan dan Raja dalam hidup kita? Sudahkah kita menjadikan Kristus sebagai Batu Teruji dan Batu Penjuru yang Berharga di dalam hidup kita? Itulah tandanya kita adalah umat pilihan Allah sejati.
Melalui perenungan keempat ayat ini, kita seharusnya disadarkan bahwa umat pilihan Allah sejati hidup hanya melalui anugerah Allah di dalam iman kepada Kristus. Iman ini yang mengarahkan dan menuntun hidup kita terus berjalan dan setia kepada-Nya meski harus menderita aniaya. Sudahkah kita hidup oleh iman kepada/di dalam Kristus saja ?.EKSPOSISI ROMA 9:1-33