KEMARAHAN DALAM KESUCIAN

Pdt. DR. Stephen Tong.

PENGUDUSAN EMOSI

BAB III : KEMARAHAN DALAM KESUCIAN

Sesungguhnya panas hati manusia akan menjadi syukur bagi-Mu, dan sisa panas hati itu akan Kau perikat-pinggangkan. (Mazmur 76 : 11)
KEMARAHAN DALAM KESUCIAN
Sepertinya ayat yang kita baca di atas merupakan ayat yang tidak terlalu jelas pengertiannya, tetapi ayat ini mempunyai signifikansi yang tidak ada pada ayat lain manapun dalam Alkitab, karena hanya satu kali muncul di dalam Alkitab. Ayat ini mempunyai pengertian: ”Kemarahan manusia akan menggenapkan dan menyempurnakan kemuliaan Allah; tetapi kelebihan kemarahan akan dihentikan oleh Allah.” Kemarahan manusia akan menggenapkan dan menyempurnakan kemuliaan Allah. Namun, sisa-sisa dan kelebihan kemarahan yang tidak perlu akan dihentikan oleh Allah.

Kita masih terus masuk ke dalam tema utama Pengudusan Emosi, yaitu emosi yang kudus. Jika emosi tidak diberikan jalur atau memiliki rel yang merupakan koridor geraknya, orang itu akan bisa menyeleweng dan bisa masuk ke dalam tindakan yang berkelebihan, bisa merusak harmoni masyarakat, bisa melakukan hal-hal yang merugikan, bahkan dia sendiri bisa gila. Emosi harus mempunyai prinsip, mempunyai rel, mempunyai standar dan pimpinan Tuhan yang membatasinya. Dengan demikian, Tuhan yang suci akan menguduskan kita, Tuhan yang suci akan membersihkan kita dari segala kejahatan, termasuk kejahatan emosi.

Salah satu penyebab yang membuat seseorang menjadi gila adalah karena emosinya tidak terkontrol. Emosi perlu dikontrol, tetapi dikontrol oleh apa? Orang Gerika (Yunani Kuno) mengatakan bahwa emosi harus dikontrol oleh rasio. Kebenaran rasio mengatur bilamana kita marah, atau kita sedih, atau kita kuatir, atau kita susah, atau senang. Apakah cukup emosi dikontrol oleh rasio? Kalau emosi dikontrol oleh rasio, pertanyaan yang mengikutinya adalah : Apakah rasio merupakan kemutlakan tertinggi? Jika bukan, siapa yang mengontrol rasio? Ini tidak pernah terpikirkan oleh orang-orang Gerika: ataupun seandainya mereka memikirkan, mereka tidak mempunyai jawaban yang memuaskan.

Mereka hanya mengetahui bahwa filsuf adalah orang yang mempunyai posisi tertinggi dan memeiliki kebijaksanaan. Orang sedemikian dianggap sebagai orang yang bisa mengendalikan seluruh hidupnya sendiri. Alkitab mengatakan tidak demikian. Manusia tidak memiliki pikiran yang sempurna. Bahkan pikiran manusia sudah kacau. Pikiran manusia sudah menyeleweng dan tidak dipimpin oleh kebenaran. Pikiran bukan posisi tertinggi. 

Itu alasan Alkitab menuntut agar pikiran kita perlu ditundukkan ke bawah wahyu Tuhan Allah, yaitu kebenaran yang diwahyukan oleh Tuhan Allah sendiri. Selain itu, kita memerlukan Roh Kudus yang memimpin pikiran kita sehingga kita dapat mengerti apa yang dinyatakan di dalam Firman Tuhan. Inilah kelebihan Firman Tuhan tentang ajarannya dibandingkan dengan semua filsafat yang ada di dunia.

Tidak ada satupun filsafat dunia yang bisa disetarakan dengan pengajaran Firman. Alkitab lebih tinggi dari pada semua itu. Dan sebagaimana Roh Allah telah mewahyukan kebenaran, demikian juga Roh Allah memimpin kita masuk ke dalam seluruh kebenaran. Ketika kita hidup dipimpin oleh Roh Kudus maka Dia mengontrol seluruh pikiran kita dan emosi kita. Inilah yang disebut sebagai Pengudusan Emosi. Kita telah membicarakan Dukacita yang Kudus dan Sukacita Yang Kudus, yaitu dukacita dan sukacita yang sesuai dengan kehendak Allah. Sekarang kita akan membicarakan bagaimana seharusnya orang Kristen marah sesuai dengan kehendak Allah.

KEMARAHAN SEBAGAI SIFAT DASAR MANUSIA

Siapa orang yang tidak bisa marah? Seorang anak yang masih sangat kecil pun sudah bisa marah. Orang yang tidak belajar apa-apa juga bisa marah. Marah bukan sesuatu yang memerlukan keahlian atau kemampuan khusus untuk melakukannya. Setiap orang bisa marah. Marah adalah suatu naluri atau insting atau pembawaan yang bersifat alamiah (natural). Kemarahan adalah sifat yang begitu mendasar, yang terkadang begitu cepat kita lakukan. Kalau kita tidak suka, kita segera marah. 

Sejak kecil kita biasa marah-marah. Anak kecil dengan kemarahannya bisa menaklukan orang tua, dan terkadang bisa membuat orang tua menjadi kehabisan akal. Kalau anak menginginkan sesuatu dan tidak diizinkan oleh orang tuanya, maka dia marah, menangis berteriak-teriak, lalu berguling-guling di toko, sampai orang tuanya menjadi malu, dan akhirnya menuruti kemauannya. Ini adalah gambaran anak yang gila dan ayah yang bodoh.

Anak saya pernah satu kali marah-marah seperti itu di sebuah toko serba ada di Singapura. Saat itu usianya baru dua tahun. Dia tidak mau diajak pulang. Maka saya langsung masuk ke taksi dan tinggalkan dia di muka pintu toko itu. Maka terjadilah adu marah. Dia pikir hanya dia yang bisa marah, dan orang tuanya tidak bisa marah. Kalau tidak mau pulang maka saya tinggalkan dia. Setelah saya tinggalkan dia, maka dia pun menangis. Menangis dan marah adalah saudara sepupu. Lalu saya minta taksi berputar dan jemput dia. Ini namanya marah dan kasih.

Saya tidak akan tinggalkan anak di situ, apalagi usianya baru dua tahun. Tetapi dia sekarang sudah takut sekali saya tinggal. Kalau dia tidak saya tinggalkan, lalu menang dengan kemarahannya, bagaimana nanti posisi saya? Setiap posisi yang sudah dilampaui, apalagi dikuasai oleh emosi yang tidak benar akan menjadi kacau, karena itulah kita harus memegang prinsip, agar tidak menjadi kacau. Posisi yang ditetapkan oleh Tuhan tidak boleh diganggu. 

Posisi orangtua tidak boleh dilampaui anak, apalagi yang masih kecil. Jikalau anakmu marah, lalau kamu takluk kepada anakmu yang marah, maka sesudah itu, kamu tidak mungkin lagi menjadi orangtua yang bisa mendidik dia. Banyak orangtua gagal karena takluk kepada kemarahan anak. Banyak orangtua berbuat salah karena mengira dengan demikian mereka telah mencintai anak-anak mereka. 

Tetapi yang terjadi bukanlah mengasihi, melainkan perubahan garis otoritas (chain of authority). Perubahan garis otoritas adalah perubahan status. Ini bukan hal yang sederhana. Suami, istri, ayah, anak, dan seterusnya, masing-masing memiliki posisi dan status yang tidak boleh digeser. Kalau semua ini dikacaukan, maka hari depan akan rusak.

Ketika saya kembali, anak saya sedang menangis keras sekali. Saat itu orang mulai banyak mendekati dan mau mengajak dia, tetapi dia tidak mau. Dia hanya mau papa dan mamanya, tetapi dia juga mau papa mamanya takluk kepada dia. Ini yang tidak boleh. Saya berhenti, lalu tanya sekali lagi, apakah dia mau pulang. Dia sekarang mau pulang. Saya ajak masuk ke taksi. Apakah langsung disayang? Tidak. 

Saya diamkan sebentar, lalu sampai dirumah saya mulai menanyakan kesalahannya, lalu dianalisis kesalahannya. Maka setelah emosinya berhenti, sekarang diajak berfikir menganalisis dengan rasio. Ini membuat dia mengerti kesalahannya, sehingga lain kali dia tahu bagaimana harus taat kepada orang tua. Mendidik anak bukanlah hal yang mudah. Setiap orang menganggap bahwa anak itu mutiara, tapi orang bisa merusak mutiara itu hanya karena terlalu sayang tanpa prinsip.

TERGANGGUNYA HAK PRIBADI

Siapa yang tidak bisa marah? Sejak usia dua tahun anak sudah bisa marah. Kalau seseorang berteriak-teriak dan marah-marah, apa yang menjadi penyebabnya? Saya terus memikirkan apa sebenarnya pemicu atau alasan untuk seorang bisa dan boleh marah. Saya merasa hal ini perlu secara serius dicari. Kemarahan itu muncul terutama karena kita merasa terganggu. Hampir semua kemarahan muncul dari prinsip dasar ini. 

Kita tidak mau diganggu, maka kalau kita diganggu, kita akan marah. Semua kemarahan berasal dari sini. Tetapi apa yang membuat kita merasa terganggu? Apakah perasaan diganggu ini merupakan sesuatu yang harus kita junjung tinggi dan mutlak kita pertahankan, atau tidak? Jikalau sesuatu yang tidak mutlak kamu mutlakkan, maka kamu telah menjadikan hal-hal lain itu sebagai Tuhan Allah. Dan ketika yang kau anggap mutlak itu diganggu, maka kamu menjadi marah. Ini tidak benar. Saya percaya tema ini merupakan tema yang begitu penting dan serius, sehingga kita perlu membicarakannya.

Kita merasa ada “sesuatu” di dalam diri kita yang diganggu. Tetapi “sesuatu” itu apa? Itu adalah “Hak”-ku. Ketika hakku diganggu, maka saya akan marah sekali. Dan kalau begitu, apa kaitan masalah ini dengan pengajaran Yesus tentang penyangkalan diri? Tidak ada orang yang lebih diganggu haknya daripada Yesus. Dia adalah Allah. Ketika Dia menaati perintah Bapa untuk menjadi manusia, hak-Nya sebagai Allah telah dilanggar. Kini Kristus harus menjadi terbatas. Bagaimana manusia bisa membayangkan , Allah yang tak terbatas, Pemilik alam semesta, kini ditetapkan untuk menjadi manusia, menjadi daging yang hanya beberapa puluh kilogram, dan harus berjalan kaki di sekitar danau Galilea. 

Dia Pencipta semua itu, Dia Pencipta seluruh tata surya, pengatur semesta, tetapi kini harus menjadi begitu terbatas. Betapa hak-hak utamanya telah diambil. Dia harus merasakan lelah, merasakan haus, hingga manusia meminta air kepada seorang perempuan di tepi sumur Samaria. Dia juga harus tidur diperahu karena terlalu letih. Siapakah Dia? Dia adalah Allah yang menjadi manusia. Hak dan status-Nya bukanlah manusia, karena Dia adalah Allah. Tetapi dalam hal ini, Dia tidak merasa terganggu dengan keadaan itu. Namun, mengapa kita merasa terganggu ketika Kristus tidak terganggu?

Mengapa manusia merasa terganggu? Karena manusia telah memutlakkan hak relatif dirinya, sementara Kristus telah merelakan untuk tidak memutlakkan hak mutlak-Nya. Di sini letak perbedaannya. Inilah kerohanian sejati. Orang yang terus merasa terganggu, orang yang selalu merasa dirugikan, dan terus marah-marah karena merasa diganggu, adalah orang yang kerohaniannya belum matang. Apalagi jika kita menyadari bahwa “sesuatu” yang terganggu itu sebenarnya bukanlah hal yang mutlak, tetapi kini telah kita mutlakkan. 

Kalau kita memutlakkan yang tidak mutlak, maka kita secara pura-pura atau terselubung mau menjadi Tuhan Allah. Justru Tuhan Allah, yang adalah Tuhan Allah yang mutlak, merelakan diri untuk memutlakkan kemutlakkan hak-Nya dengan cara berinkarnasi turun ke dalam dunia. Dia rela meninggalkan hak-Nya. Hak terbesar adalah hak untuk menyerahkan hak. Pernyataan ini merupakan intisari dari buku “Tidakkah Kami mempunyai Hak?” yang ditulis oleh Mabel Williamson, seorang misionaris dari China Inland Mission (sekarang Overseas Mission Felowship). 

Konsep dasar buku ini sendirinya bersumber dari ucapan Rasul Paulus di dalam 1 Korintus 9. Dalam buku tersebut Williamson mengatakan: ”Hak terbesar seorang manusia adalah haknya untuk melepaskan haknya sendiri.” (The greatest priviledge and the greatest right of a man is the right to give up his own right). Ini hak yang rela menyerahkan hak.

Semua percecokan dan perselisihan, hingga perkelahian dan peperangan, terjadi karena setiap orang ingin mempertahankan hak masing-masing. Kita bersikeras untuk tidak mau diganggu hak pribadinya. Ketika kita diganggu, kita menjadi marah. Marah adalah suatu naluri atau daya dasarnya, suatu sifat alamiah, emosi yang ada pada setiap makhluk yang ada di dalam dunia ini. Siapapun bisa marah. Jangan kamu pikir hanya kamu yang bisa marah, karena ketika kamu marah, orang lain bisa marah lebih hebat lagi. Maka dibutuhkan suatu pengatur untuk mengontrol kemarahan kita. Untuk ini kita perlu belajar dari contoh yang Tuhan Allah sendiri berikan.

ALLAH TIDAK MUDAH MARAH

Allah adalah Tuhan yang tidak mudah marah. Jika Allah, sebagai Pribadi tertinggi, tidak mudah marah, mengapa kita boleh mudah marah? Mengapa Tuhan Allah tidak murah marah? Itu berarti Dia bisa marah, tetapi Dia Tidak mau sembarangan menyatakan emosi kemarahan-Nya. Jika Tuhan Allah Tidak mudah marah, bagaimana mungkin kita yang merupakan ciptaan yang kecil ini boleh sembarangan marah?

Suatu kali, di bandara Malang, satu penerbangan tidak bisa berangkat, sehingga jadwal ditunda satu setengah jam kemudian. Seorang pengusaha marah luar biasa. Semua orang menjadi takut, karena dia marah begitu keras dan dia marah kepada setiap orang yang ada di bandara tersebut. Itu karena jadwal keberangkatan pesawatnya ditunda. Mungkin karena dia merasa kedudukan atau pangkatnya tinggi sehingga dia tidak suka ditunda seperti itu. Tetapi sebenarnya, kalau seseorang pangkatnya sudah sangat tinggi, dia seharusnya tidak mudah marah, sebagaimana Tuhan yang pangkatnya paling tinggi tidak mudah marah. Orang yang mudah marah pasti pangkatnya rendah.

Orang yang semakin tinggi posisinya tidak mudah marah, karena dia akan sadar bahwa dengan posisinya yang tinggi, dia tidak boleh sembarangan marah. Allah kita tidak mudah marah dan tidak sembarangan marah. Ini merupakan contoh teladan dan sekaligus merupakan tujuan yang kita tuntut di dalam diri kita untuk Tuhan ajarkan kepada kita. Kalau kita adalah anak Tuhan yang sudah diselamatkan dan sudah lahir kembali, kiranya kita boleh belajar dari Tuhan.

Saya sering dijuluki orang-orang sebagai “Stephen Tong yang tidak ada Roh Kudus di dalamnya.” James Riady, ketika ditanya dengan pernyataan di atas, menjawab: ”Jika dia tidak ada Roh Kudus di dalamnya bagaimana dia bisa melayani berpuluh tahun dengan setia seperti itu? Pasti dia adalah orang yang dipimpin oleh Roh Kudus.” Ada atau tidaknya Roh Kudus dalam diri seseorang, salah satunya adalah bagaimana dia merespon dengan kemarahan. Ada orang yang menuduh: “Kalau Stephen Tong ada Roh Kudus, mengapa dia suka marah-marah seperti itu?” Maka kini kita perlu kembali ke tema kita, yaitu “Kemarahan dalam Kesucian.”

1. Kemarahan yang Suci adalah Kemarahan Allah

Kemarahan yang suci adalah kemarahan Tuhan Allah sendiri. Kemarahan yang suci itu diperlukan. Allah tidak mudah marah bukan berarti Allah tidak bisa dan tidak boleh marah. Itu juga bukan berarti Allah tidak pernah marah. Allah marah, tetapi Allah tidak sembarangan marah. Kemarahan Allah merupakan hak dari otoritas tertinggi. Allah adalah otoritas itu sendiri dan prinsip itu sendiri. Tetapi apa prinsip tentang sesuatu itu? “Sesuatu” itu seharusnya merupakan hal yang tidak boleh salah, merupakan suatu prinsip mendasar yang tidak boleh dikorbankan atau dikompromikan. Justru prinsip itu adalah prinsip dari Tuhan Allah sendiri. 

Allah sendiri memiliki prinsip yang tertinggi, sehingga yang mengganggu prinsip tersebut berarti mengganggu kebenaran. Jika kebenaran itu diganggu, maka kebenaran itu akan marah karena dengan demikian kebenaran itu akan kacau. Kebenaran sejati tidak boleh dikacaukan. Otoritas tertinggi yang juga merupakan prinsip yang tertinggi adalah Kebenaran per se (sesuatu pada dirinya sendiri, tidak bergantung atau terkait dengan hal lain). Kebenaran itu sendiri adalah dirinya Allah itu sendiri. Allah marah jika kebenaran Allah digeser.

2. Ilah Agama dan Kemarahan

Di dalam agama-agama ada dua macam ekstrem dalam kaitan dengan kemarahan. Ada agama-agama yang menggunakan kemarahan ilah sebagai sesuatu untuk menakut-nakuti penganut-penganutnya. Di sini kemarahan dipakai untuk menimbulkan perasaan ketakutan yang sangat besar pada pengikutnya. Jika kamu pergi ke kuil-kuil tertentu, kamu akan melihat patung-patung yang terlihat begitu menakutkan dengan mata yang besar dan melotot marah, dengan tangan yang mengancam, sehingga ketika masuk ke tempat itu, kamu akan merasa takut lalu tidak berani berbuat dosa. Tetapi jika kamu masuk ke dalam kelenteng-kelenteng tertentu, kamu juga akan menemukan patung dengan figur yang begitu baik, tersenyum ramah dan terlihat penuh kemurahan. Di sini kita melihat konsep kemurahan yang luar biasa.

Kemarahan berlawanan dengan kemurahan hati. Jika kamu bertemu dengan patung-patung Sidharta Gautama (Buddha), patung itu selalu dilukiskan dengan senyum yang ramah. Juga jika kamu melihat patung dewi Kwan Im, patung itu dibuat senantiasa tersenyum. Kwan Im adalah proyeksi atau bayang-bayang dari dewa yang penuh dengan pengertian, yang mau memeluk dan memberkati kita. 

Konsep ini mirip dengan konsep Maria dalam gereja Roma Katolik. Maria digambarkan sebagai wanita yang begitu lembut, begitu baik, begitu ramah, dan cenderung diperdewakan oleh pengaggumnya. Di dalam Alkitab tidak ada ide manusia berdoa kepada Maria. Itu bukan ajaran Firman Tuhan. Kalimat terakhir tentang Maria adalah Kisah Para Rasul 1:14-15, di situ rasul-rasul tidak berdoa kepada Maria, tetapi Maria bersama dengan rasul-rasul berdoa kepada Yesus Kristus.

Itu catatan terakhir Alkitab tentang Maria. Maka baik gambaran dewi Kwan Im yang begitu murah dan penuh kasih, maupun konsep Roma Katolik tentang Maria, dilukiskan tanpa kemarahan sama sekali. Tetapi di lain pihak, dewa-dewa seperti Syiwa dalam agama Hindu dilukiskan sebagai dewa yang penuh kemarahan, dan kemarahan itu begitu dasyat dan menakutkan di seluruh dunia. Syiwa adalah ilah perusak atau pembinasa. 

Syiwa bagi sebagian orang Hindu dianggap sebagai dewa yang paling berkuasa dan paling tinggi derajatnya, melampaui Brahma dan Wisnu. Jadi, pencipta tidak memiliki kuasa sebesar perusak, dan pemelihara masih kalah kuasa dibanding dengan perusak. Kuasa perusak dianggap lebih besar daripada kuasa pencipta dan kuasa pemelihara, dan karena itu manusia takut kepada kekuatan perusak dan pembinasaan yang dimiliki oleh Syiwa.

Kwan Im sebenarnya bukanlah dewi. Sebenarnya, Kwan Im itu laki-laki, kemudian dijadikan wanita di dalam tradisi Tionghoa. Aslinya dewa ini dari India. Sampai saat ini masih ada tiga kuil Kwan Im di India, dan semuanya menggambarkan Kwan Im dengan figur laki-laki. Ketika gambaran ini dibawa ke Tiongkok, orang tiongkok membutuhkan figur yang lebih murah hati dan lebih lembut untuk melukiskan cinta kasih. Karena figur laki-laki dianggap kurang murah hati dan kurang lembut dan penuh kasih, maka diubah menjadi figur perempuan.

3. Allah Kristen dan Kemarahan

Di dalam agama ada dua ekstrem, yaitu dewa yang marah dan dewa yang murah. Alkitab mengatakan bahwa Allah Kristen adalah Allah yang penuh rahmat, dan tidak mudah marah. Di dalam Mazmur 103:8, diungkapkan tiga hal tentang Allah, yaitu bahwa Allah adalah Allah yang rahmaniah, Allah yang rahimiah dan Allah yang tidak murah marah. Tetapi tidak ada satu ayat Alkitab mengatakan bahwa Allah tidak pernah marah, atau tidak boleh marah, atau tidak bisa marah.

Alkitab berulang kali mencatat bahwa Allah marah. Itu berarti kalau orang Kristen marah, bukan berarti itu pasti selalu berdosa. Kalau marah itu dosa, maka ketika Allah marah, Dia telah berbuat dosa. Justru tidak, karena Allah yang suci adalah Allah yang marah. Maka dengan ini, kita melihat adanya suatu kemarahan yang disebut sebagai “Kemarahan yang suci.”

Ketika orangtua melihat anaknya berbuat dosa, hidupnya rusak, melacur, berjudi, dan berbuat hal yang jahat, dia seharusnya marah. Orangtua berhak marah karena anak itu adalah anaknya. Apakah kemarahan ayah itu sama berdosa seperti dosa anak yang melacur? Tidak! Kita bisa melihat contoh ini dari hidup seorang perancang desain mobil BMW. Mobil BMW sekarang ini semakin hari semakin baik kualitasnya, semakin mampu bersaing dengan Mercedes Benz. 

Pada tahun 1985 BMW diperintah oleh pemerintah Jerman untuk membuat mobil yang lebih kecil, sementara Mercedes membuat yang lebih besar. Bukan berarti BMW tidak boleh membuat seri yang besar. BMW mempunyai seri 3, 5, 6, 7, 8. Seri 6 dan 8 tidak masuk ke Indonesia. Tetapi sekitar tahun 90-an, BMW berhasil menjual seri 3 sebanyak 65 persen dan semua seri lainnya dijumlahkan hanya mencapai 35 persen. Pada saat itu, karena ekonomi mulai tidak selancar dan sekaya sebelumnya, apalagi setelah krisis keuangan di tahun 1997 ke belakang, maka seri yang besar semakin tidak laku. Orang semakin beralih menuju ke mobil yang lebih kecil. Maka sekitar tahun itu, Mercedes mulai rugi, dan untuk pertama kalinya dalam tahun itu tidak mengumumkan labanya secara publik. Maka Mercedes kemudian beralih dan mencoba masuk ke percaturan mobil kecil. Pemerintah mengizinkan hal ini, dan mulailah dibuat Mercedes kelas A. Setelah itu, situasi Mercedes mulai membaik.

Saya ingin mengungkapkan dalam cerita ini, bahwa para pembuat desiain BMW mempunyai peran yang sangat besar dalam hal ini. Karena desain memakai otak sedemikian berat. Sebab jika salah desain, akan menimbulkan kerugian besar. Maka pembuat desain harus dibayar tinggi sangat tinggi, karena dia menentukan nasib seluruh pabrik. Jika desainnya gagal, maka bisa-bisa seluruh pabrik akan bangkrut. 

Jika desainnya bagus, maka penggunanya akan sangat nyaman dan baik sekali. Tetapi kalau desainnya buruk, maka penggunaannya sangat tidak nyaman dan sangat mudah rusak. Apalagi di dalam desain masih terkandung unsur estetika, unsur fungsi, unsur ekonomis, dan berbagai unsur lain yang tergabung menjadi satu, yang membutuhkan keterampilan otak yang luar biasa tajam. Mercedes dan BMW sama-sama memiliki kebijaksanaan untuk mengganti model setiap lima tahun sekali. Mobil Amerika berusaha mengganti model setiap tahun, sehingga akhirnya kehabisan model dan semakin lama menjadi semakin jelek bentuknya. Jepang, seperti Honda, meniru Jerman bukan meniru Amerika, sehingga mereka juga merubah model setiap lima tahun sekali.

Perancang (desainer) BMW bekerja luar biasa untuk memikirkan pergantian model selama lima tahun. Dia bekerja begitu berat untuk menghasilkan suatu rancangan yang bisa membawa pabriknya sukses. Dia memang pekerja yang baik. Tetapi anaknya tidak. Anaknya melacur, minum minuman keras, narkotik, lalu setiap pulang ke rumah meminta uang dari ayahnya. Akhirnya suatu saat, ayah itu marah sekali, lalu mengambil pistol dan menembak mati anaknya sendiri. Itu adalah anak satu-satunya. Dia mau mendidik anaknya, tetapi akhirnya malah membunuh dia. Setelah kemarahan yang begitu keras, kini berganti dengan kepedihan yang luar biasa. 

Dia seorang penting di Jerman, yang turut menentukan pergerakan ekonomi, perdagangan, industri, dan lain-lain. Reputasi dan gengsi dari negara Jerman yang begitu tinggi di dunia sangat bergantung pada karyanya. Kini orang ini telah membunuh anak sendiri. Polisi menangkapnya dan harus menghukum dia. 

Akhirnya pemerintah Jerman memberikan kelonggaran ketika menghadapi dia, dengan dua alasan : pertama, karena dia tidak sembarangan marah. Dia bukan pemarah, bahkan jarang sekali marah. Tidak ada catatan apa pun bahwa dia pernah marah-marah atau sembarangan marah, kedua, karena anak itu terlalu kurang ajar, sementara tindakan ayah itu tidak sengaja. Mau mendidik tetapi akhirnya menimbulkan kematian. Orang ini mendapat keringanan karena kemarahannya itu tidak sembarangan, dan dianggap sebagai kemarahan yang wajar kepada anak yang terlalu kurang ajar. Maka anak itulah yang dianggap telah mengganggu prinsip kebenaran.

4. Perjanjian Lama dan Kemarahan Allah

Semoga kita bisa membedakan berbagai macam kemarahan. Ada kemarahan-kemarahan yang tidak ada artinya; tetapi juga ada kemarahan-kemarahan yang sangat bermutu tinggi. Seperti apakah kemarahan Tuhan Allah? Jika Alkitab menyatakan bahwa Allah marah atau Allah murka, kemarahan seperti apakah itu?

Di manakah dicatat dalam Alkitab bahwa Allah marah? Alkitab mencatat dengan paling jelas tentang kemarahan Allah di dalam Mazmur 2. Alkitab mencatat: “Maka berkatalah Dia kepada mereka dalam murka-Nya dan mengejutkan mereka dalam kehangatan amarah-Nya” (Mazmur 2:5). Allah murka karena musuh-musuh-Nya telah bersepakat untuk melawan Allah dan Anak-Nya. Inilah kemarahan yang besar. Allah menertawakan mereka, mengolok-ngolok mereka, raja-raja di bumi yang mau melawan Dia dan Yang Diurapi-Nya. 

Di dalam ayat ini diungkapkan dua macam emosi Tuhan Allah, yaitu 

1). Allah tertawa dan mengolok-ngolok mereka; dan 

2). Allah marah dengan murka yang besar. 

Mengapa tertawa? Karena Tuhan tahu bahwa semua yang sedang dipikirkan dan dikerjakan manusia adalah hal yang tidak benar. Allah perlu tertawa dan mengejek mereka. Tertawa itu menyatakan suatu kemenangan Allah yang tidak mungkin diganggu atau dikalahkan. Tertawa ini merupakan suatu kemenangan dan kepastian dari diri Tuhan Allah sendiri, yang tidak mungkin digoyahkan. Tetapi, Dia juga telah marah dengan keras kepada mereka, karena mereka telah berusaha untuk merusak prinsip dan rencana Allah yang kekal. 

Allah telah menetapkan Yesus Kristus sebagai satu-satunya Juruselamat, yang akan mengeluarkan manusia dari dosanya. Yesus Kristus, Dia “Yang diurapi Allah” ini, kini sedang diolok-olok dan mau dihancurkan oleh raja-raja dan bangsa-bangsa, Allah marah kepada mereka.

Pada saat Allah marah, maka tidak seorangpun dapat menolong orang yang sedang di bawah murka Allah. Tidak seorang pun sanggup melepaskan diri atau menolong orang lain yang sedang berada di bawah murka Allah. Satu kali Allah marah, maka semua dunia ini harus binasa, kecuali sekelompok kaum pilihan yang disisakan di dalam beberapa kasus. Misalnya di dalam kasus Nuh dan air bah, hanya Nuh sekeluarga (delapan orang) yang diselamatkan, sementara semua orng lain dihanyutkan Allah yang terbesar dalam sejarah, yang bisa kita lihat. Tidak ada suku, tidak ada negara, yang terluput dari kemarahan Allah. Allah membasmi seluruh umat manusia. Seberapa besar kemarahan Allah? sampai di mana ada manusia, sampai di sana air bah itu melanda. Tuhan membasmi semua manusia.

Air bah yang begitu dasyat adalah air bah yang menghabiskan seluruh umat manusia dan hanya menyisakan Nuh, istrinya, tiga anaknya dan tiga menantunya. Ketiga anaknya yaitu Sem, Ham dan Jafet, menjadi tiga pokok keturunan yang baru bagi seluruh umat manusia. Orang-orang kulit hitam merupakan keturunan Ham, orang-orang semitik dari Sem, dan orang kulit putih dari Jafet.

Allah juga menyatakan kemarahan-Nya dengan mendatangkan api ke Sodom dan Gomora. Allah marah dan tanpa ampun menghabiskan seluruh wilayah Sodom dan Gomora. Api menghanguskan apa saja yang ada di sana. Allah kita adalah api yang menghanguskan. Dan cerita ini terus berlanjut sampai Kitab Wahyu, di mana Allah marah dan menghukum manusia di neraka. Neraka merupakan api yang menyala-nyala untuk menghukum mereka yang dihukum Tuhan Allah dan dibinasakan di sana. Dari kejadian hingga Wahyu kita melihat adanya kemarahan-kemarahan Allah yang tidak terlalu besar. Memang tidak selalu Allah marah, karena Allah memang tidak mudah marah.

Ketika Allah menunggu manusia bertobat, Dia memberikan pengajaran-pengajaran agar manusia bertobat. Allah mengirimkan nabi-nabi, memberikan berita-berita, agar manusia bertobat dan bertobat. Jika manusia tidak bertobat, maka kemarahan itu akan tiba kepadanya. Namun kalau manusia itu bertobat maka kemarahan itu tidak perlu tiba padanya. Manusia mendengar Firman Tuhan, lalu takluk dan taat, dengan rendah hati mengoyakkan pakaian, menaruh abu di kepala, mengaku dosa, maka Tuhan menyingkirkan kemarahan itu dari manusia. Seperti pada zaman Nabi Yunus, Yunus dikirim ke Niniwe untuk memberitakan berita pertobatan, dan seluruh penduduk Niniwe, dari raja hingga rakyat jelata bertobat dan Allah tidak jadi menurunkan bencana kepada mereka. Allah tidak jadi menghukum mati kota itu dan membinasakan semua makhluk di situ.

Tetapi jangan berfikir bahwa kalau Allah telah mengampuni dan tidak jadi menghukum, maka kita boleh hidup sembarangan. Sekitar 150 tahun kemudian, kota Niniwe tetap dihancurkan dan dibinasakan, karena mereka mengulangi dosa yang sama. Itulah sebabnya, ketika membaca Kitab Yunus, kita mendapat berita bahwa Allah tidak jadi menghukum Niniwe (Yunus 3 : 10); tetapi ketika kita membaca Kitab Nahum, maka dikatakan bahwa Niniwe akan dilupakan orang untuk selama-lamanya (Nahum 1 : 15). Hanya seratus luma puluh tahun diperpanjang hidupnya, lalu dihancurkan, karena Allah marah. Di dalam Perjanjian Lama, kita melihat Allah Bapa yang marah.

5. Perjanjian Baru Dan Allah yang Marah

Di dalam Perjanjian Lama kita melihat bahwa Allah Bapa marah. Dan kini di Perjanjian Baru kita melihat Yesus Kristus marah. Jika kita mengenal Perjanjian Lama sebagai pernyataan keadilan Allah, sehingga memang wajar jika dinyatakan bahwa Allah adalah Allah yang marah dan menegakkan keadilan-Nya, maka bagaimana dengan Perjanjian Baru? Bukankah kita mengenal Perjanjian Baru sebagai pernyataan cinta kasih Allah? Bukankah Yesus Kristus adalah Allah Putra yang menyatakan cinta kasih Allah? Bukankah tema Perjanjian Baru adalah pengampunan, kemurahan, dan cinta kasih Allah kepada manusia?

Kita tidak bisa dan tidak boleh melihat secara sangat ekstrem sedemikian. Didalam Perjanjian Lama ada kemarahan, tetapi juga ada cinta kasih; sebaliknya dia didalam Perjanjian Baru ada cinta kasih, tetapi juga ada kemarahan Allah. Di dalam kemarahan Tuhan disisakan cinta kasih bagi kaum pilihan, dan di dalam cinta kasih Allah disisakan kemarahan bagi mereka yang tidak mau bertobat. Yesus Kristus dua kali marah. Alkitab menyatakan bahwa dua kali Tuhan Yesus marah sekali dengan mata yang memandang tajam kepada orang yang dimarahi-Nya. Dua kali Tuhan Yesus marah ditempat yang sama yaitu Bait Allah.

Sebelum Tuhan Yesus melakukan karya Mesianik yang agung, Dia masuk ke dalam Bait Allah dan melihat orang-orang menjadikan tempat itu sebagai tempat berjualan. Bait Allah dijadikan bagai sarang penyamun. Yesus sangat marah melihat semua itu. Dia mengusir semua pedagang di Bait Allah. Dia juga mengusir semua penukar uang, dan juga berbagai orang lain yang terlibat dalam perdagangan korban itu. Dia marah dan mengatakan : “Jangan kamu membuat rumah Bapa-Ku menjadi tempat berjualan” (Yohanes 2:16). Yesus Kristus bukanlah Allah yang tidak bisa marah. Dia marah dengan sangat keras.

Tetapi perhatikanlah baik-baik, bahwa ketika Kristus marah, Dia tidak marah tanpa akal atau sekedar meluapkan emosi yang tak terkontrol. Dia marah dengan pengertian yang jelas dan pemikiran yang jernih. Dia marah di dalam Kebenaran. Dia marah dengan prinsip dan cara yang terkontrol. Dari mana kita mengetahui hal ini? Kita bisa melihat bagaimana ketika Dia marah dan menunggangbalikan semua meja penukar uang, sehingga uang mereka berhamburan. Tetapi ketika Dia marah terhadap para penjual binatang, Dia tidak melepaskan semua burung-burung dari kandang, karena burung yang dilepaskan tidak bisa kembali, sementara uang yang dihamburkan masih bisa dipungut lagi (Yohanes 2:14-16) Dia memang marah, tetapi Dia tidak menghancurkan nafkah hidup seseorang. Ini bijaksana di dalam kemarahan yang suci.

Terkadang seorang wanita marah, piring dibanting, kursi dirusak, itu semua tidak bisa dikembalikan lagi. Jangan marah seperti itu. Itu adalah kemarahan yang tidak suci. Jangan marah yang bersifat merusak. Kalau mau membanting, banting bantal saja, karena tidak akan rusak. Jika membanting piring, maka akan menjadi puing. Kalau engkau mau membanting, bantinglah cincin emas, dia tidak akan berubah; tetapi jangan membanting radio, membanting televisi, membanting barang-barang yang bisa pecah dan rusak. Akhirnya setelah semua hancur, kemudian menyesal dan menangis. Tuhan Yesus di dalam kemarahan tetap mengendalikan emosi. Dia sadar sepenuhnya di dalam kemarahan-Nya sehingga semuanya terkendali dan tetap di dalam hikmat sejati.

Siapa yang mengatakan orang Kristen tidak boleh marah? Siapa yang mengatakan bahwa seseorang yang marah berarti tidak ada Roh Kudus? Siapa yang mengatakan bahwa marah itu berdosa? Jika marah berdosa, berarti Allah dan Kristus juga berdosa. Yesus Kristus tidak berdosa. Allah Bapa tidak berdosa, Roh Kudus tidak berdosa, dan Allah Tritunggal adalah satu-satunya yang sanggup dan berhak menghakimi dosa. Marah tidak selalu berdosa. Namun, marah seperti apa yang tidak berdosa?

Roh Kudus juga marah. Dari mana kita mengetahui hal ini? Ketika Ananias dan Safira menjual tanah mereka, mereka bermaksud memberikan hasil penjualannya sebagai persembahan. Mereka tidak mau memberikan semua, tetapi mereka mengatakan bahwa mereka telah memberikan semuanya. Petrus menegaskan kepada mereka bahwa uang hasil penjualan tanah mereka itu adalah uang mereka, milik mereka. Tetapi apa yang menjadi kesalahan mereka ialah mereka telah menipu dan mengatakan yang tidak sebenarnya. Petrus menegaskan bahwa mereka bukan menipu manusia, tetapi telah menipu Allah. 

Penipuan itu adalah penipuan kepada Roh Kudus. Dan saat itu, kemarahan Roh Kudus tiba atas kedua orang itu, dan mereka langsung jatuh dan mati. Di sini kita melihat bahwa penipuan terhadap Allah adalah penipuan terhadap Roh Kudus. Ini merupakan penunjukan identitas bahwa Roh Kudus adalah Allah. Ketika Roh Kudus marah, maka tidak ada ampun lagi bagi manusia. Ananias dan Safira mati saat itu juga.

Melalui hal-hal di atas, kita melihat bagaimana Allah marah. Allah bukan Allah yang tidak boleh dan tidak bisa marah. Ini Allah yangdinyatakan oleh Alkitab, Bagaimana Manusia?

6. Manusia dan Kemarahan

Apakah benar konsep yang mengatakan, “Dulu sebelum saya menjadi Kristen saya adalah orang yang pemarah. Saya sering kali marah-marah. Tetapi sekarang, setelah saya menjadi Kristen, saya tidak pernah marah lagi. Kemana-mana tersenyum dan bersukacita.” Apakah orang Kristen pergi kemana-mana terus tersenyum? Itu mirip orang gila. Itu bukan konsep Alkitab. Orang Kristen pada saat tertentu bukan hanya bisa marah, tetapi harus marah. Orang Kristen pada saat tertentu bukan saja bisa marah, tetapi perlu marah. Pada saat kita perlu dan harus marah, namun tidak marah, maka kita telah berdosa. Ini ajaran Alkitab.

Dimana nas Alkitab yang mengajarkan kita boleh marah? Mazmur 76 : 11 – Kemarahan manusia akan menggenapi kemuliaan Allah dan kelebihan marah yang tidak perlu akan dihentikan oleh Allah sendiri. Ayat ini tidak pernah diulangi lagi di sepanjang Kita Suci. Ketika pertama kali saya membaca ayat ini di usia belasan tahun, saya sangat kagum akan Firman Tuhan. Di sini Alkitab membicarakan tentang kemarahan manusia.

Martin Luther pernah mengatakan satu kalimat yang sangat mengejutkan saya: “Saya tidak pernah bekerja lebih baik, kecuali pada saat-saat saya diilhami oleh kemarahan yang suci.” (I never work better unless when I was inspired by holy anger). Ketika saya sedang marah, maka pekerjaan saya menjadi sangat bagus dan produkif. Kemarahan itu bukan sembarang kemarahan, tetapi kemarahan suci. Kita terkadang “terlalu” banyak cinta kasih. Terlalu banyak cinta kasih membuat kita berbuat sembarangan. Karena kita menganggap Allah penuh cinta kasih, maka kita boleh berbuat segala kesalahan, boleh melakukan segala kecerobohan dan boleh malas, maka semuanya akan menjadi tidak beres. Inilah semangat yang merusak gereja. 

Sering kali kantor dunia bekerja lebih produktif, lebih efesien daripada kantor gereja. Para manajer dan usahawan di dunia lebih ketat daripada orang Kristen, karena orang Kristen hanya tahu Allah yang mengasihi dan penuh pengampunan. Bukan berarti Allah bukan maha pengampun, tetapi harus ada prinsip yang melandasinya. Justru karena itu Martin Luther marah melihat Gereja Katolik begitu rusak, menjual keselamatan untuk mendapatkan uang. Bukan uang yang membuat manusia bisa mendapat pengampunan dosa. 

Hanya darah Tuhan Yesus yang bisa mengampuni dosa. Martin Luther sangat marah dengan penyelewengan ajaran yang sedemikian. Martin Luther marah karena makna darah Kristus tidak dihargai sepatutnya. Setelah Martin Luther marah, dia melaksanakan Reformasi, dan api itu menghanguskan kesalahan-kesalahan dalam gereja. Api itu menghakimi apa yang melawan kehendak dan kebenaran Allah. Kemarahan suci itu telah membangkitkan api yang suci. Kemarahan suci itu telah membangkitkan api yang suci. Kemarahan suci mendorong, menstimulasi, membakar kita untuk melayani dan bekerja lebih baik. Mengapa banyak pelayanan Kristen tidak beres? Karena terlalu banyak bicara cinta kasih dan melupakan kemarahan Tuhan Allah.

Di dalam Jakarta Oratorio Society, saya berusaha untuk selalu sabar dan selalu senyum, supaya para anggota bisa menyanyi dengan lebih baik. tetapi ada satu orang yang meneliti. Satu kali karena konser itu Konser Sakral (Sacred Concert), maka lagu-lagu yang dikumandangkan semuanya adalah lagu-lagu Kristen dan pujian kepada Allah. Di dalam konser saat itu, banyak lagu tentang Holy, Holy, Holy, dan juga Sanctus. Lagu lagu itu kebanyakan diambil dari Requiem dari Mozart atau Mass (misa Katolik). 

Ternyata dalam konser itu banyak orang Katolik yang menghadirinya. Mereka terkejut mengapa lagu-lagu Katolik ini sekarang dinyanyikan orang-orang Protestan? Maka orang-orang Katolik di Jakarta tergugah oleh konser itu. Pemimpin mereka, yang belajar ke Amerika, saat itu memperketat paduan suara mereka, dan juga cara memimpin paduan suara. Mereka juga mau menjadi lebih baik dan tidak mau kalah. Dan memang inilah yang saya harapkan, yaitu merangsang dan mendorong orang-orang Kristen untuk mengembalikan orang-orang Kristen kepada musik-musik yang agung, dan juga theologi yang ketat, dengan berbagai sarana seperti sekolah theologi awam, Seminar Pendidikan Iman Kristen, dan lain-lain. 

Saya mengerjakan semua ini supaya orang-orang Kristen kembali kepada kebenaran Tuhan dengan ketat, latihan ketat sekali dengan disiplin yang serius. Masalah disiplin ini sering kali dilupakan oleh gereja. Kita terlalu banyak mendengungkan cinta kasih, yang akhirnya malah melumpuhkan gereja. Gereja sering kali ketakutan kehilangan anggota, takut mendisiplin. Kita perlu sadar bahwa orang yang tidak mau disiplin sering kali mengejutkan atau menakut-nakuti orang baik. Kita perlu menegakkan disiplin.

Mari kita belajar mengerti kemarahan Tuhan. Saya harap semua majelis gereja, para aktivis dan pengurus gereja, benar-benar menjadi teladan di dalam perpuluhan, di dalam kebaktian doa, di dalam semangat melayani, di dalam menjadi contoh hidup dalam ibadah, bagi orang percaya lainnya. Kemarahan suci sangat dibutuhkan. Kemarahan yang suci menyempurnakan kehendak Allah. Inilah kebenaran yang diungkapkan oleh Firman Tuhan.

Tetapi kemarahan yang kelebihan akan dihentikan Tuhan. Kemarahan diperlukan, tetapi kemarahan yang berlebihan menjadi kemarahan yang tidak tepat. Kalau seorang anak nakal dan kita memukul dia dengan tepat, itu akan membangunkan dia, tetapi kalau kelebihan akan merusak dia. Kalau kita pukul anak kita di pantatnya, itu tidak apa-apa, karena disitu ada banyak daging yang memang dicipta untuk kita pukul (“pukul” disini dimengerti sebagai dipukul dengan tangan biasa dan dengan tenaga yang sepantasnya), tetapi kita pukul telinganya, sehingga dia tuli, itu merusak dan tidak pada tempatnya, maka Tuhan akan menghentikannya. Kemarahan itu memang penting dan baik, karena kemarahan yang benar akan menyempurnakan kemuliaan Allah; tetapi tidak boleh berlebihan. Kemarahan yang berlebihan tidak diperkenankan oleh Tuhan.

7. Teladan Kemarahan dalam Alkitab

Kini kita akan melihat dua tokoh Alkitab yang penting di dalam kita mempelajari tentang kemarahan. Yang pertama adalah Musa, tokoh di dalam Perjanjian Lama. Yang kedua adalah Paulus, tokoh dalam Perjanjian Baru.

Musa marah dan dia membanting dua loh batu yang berisi tulisan Sepuluh Hukum, yang ditulis oleh Tuhan Allah sendiri (Kel. 32 : 15-35). Beranikah engkau merobek tulisan tangan presiden? Tentu kita enggan melakukannya. Tetapi ini tulisan Allah sendiri, bolehkah dibanting? Tetapi saat itu kemarahan Musa begitu dasyat. Musa mengajak bangsa ini keluar dari Mesir untuk kembali kepada Allah yang sejati, agar mereka bisa meninggalkan semua berhala-berhala, dewa-dewa di Mesir. Musa ingin bangsa ini sungguh-sungguh percaya kepada Allah. Tetapi kini, dihadapan Musa, bangsa itu telah membuat patung lembu emas, lalu menyembah patung itu sebagai Yahweh yang mengeluarkan mereka dari mesir. Musa marah luar biasa dan membanting dua loh batu itu sampai hancur. Apakah kemudian Allah marah sekali kepada Musa yang telah marah begitu luar biasa? Tidak.

Justru Allah tidak marah ketika Musa marah sedemikian luar biasa. Allah tidak marah kepada Musa, karena di dalam kemarahannya yang luar biasa itu, Musa sinkron dengan kemarahan Allah. Pada saat Allah marah, Musa juga marah. Maka di sini kemarahan Musa menjadi kemarahan yang menyempurnakan kemuliaan Allah. Marah pada saat Tuhan marah adalah marah yang sesuai dengan kemarahan Tuhan Allah. Marah yang sejati adalah kemarahan yang sesuai dengan prinsip Tuhan, yang sesuai dengan standar Tuhan dan yang sejalan dengan arah kemarahan Tuhan.

Ketika Tuhan Allah marah kepada umat Israel, Musa juga marah kepada umat Israel. Maka di sini Musa telah menjadi teman pelayanan Allah yang paling baik. Inilah rahasia pelayanan yang sejati dan diperkenan Tuhan Allah. Mengapa pelayanan yang kita lakukan untuk melayani Allah sering kali diperkenan Tuhan? 

Pada suatu hari, saya berkhotbah dengan sangat serius. Muka saya sampai merah dan sangat keras bicara. Penerjemah saya menterjemahkan sambil tertawa-tawa. Saya jengkel sekali. Ketika saya tanyakan mengapa dia tertawa, dia mengatakan tidak ada apa-apa. Dia menerjemahkan konsep kemarahan Allah sebagai sesuatu yang lucu. Saya berhenti, saya perintahkan dia untuk turun dan tidak perlu menjadi penterjemah. Lalu dia digantikan dengan penerjemah lain yang betul-betul mengerti apa itu kemarahan Tuhan Allah dan dia menerjemahkan dengan sangat serius. Inilah yang Tuhan inginkan. Tuhan tidak mau bekerja dengan orang yang main-main. Jika kita sedang memberitakan sesuatu yang serius, maka kita juga harus bersikap serius, sama seperti perintah itu.

Jika ada sebuah rumah yang terbakar, dan apinya sudah menjalar cukup besar dan ada orang di dalam rumah itu, maka kita pasti akan berteriak dengan serius sekali memerintahkan orang-orang di dalam rumah itu untuk keluar. Ini adalah permintaan yang serius. Tentu kita akan pakai suara keras. Kita tentu tidak mengatakan dengan lembut : “Halo, apakah ada orang di dalam? Apakah kamu sedang sibuk? Maukah kamu keluar sebentar, karena rumahmu sedang terbakar? Tetapi itu terserah kebebasanmu, boleh menemui saya atau tidak.” tentu tidak demikian, bukan?

Ketika Tuhan memberitakan sesuatu yang serius, Dia ingin hamba-Nya juga memberitakan suatu berita, Dia berharap kita sungguh-sungguh setia membawakan berita itu. Kalau Tuhan ingin memberikan peringatan, Dia berharap kita juga mempunyai emosi yang menunjukkan peringatan itu. Ini suatu dalil yang sangat mudah kita mengerti.

Bolehkah kita menyatakan cinta Tuhan dengan marah-marah? Tentu tidak boleh. Bolehkah kita memberitakan tentang neraka sambil tersenyum-senyum? Tidak bisa. Bolehkah kita membicarakan penghiburan Tuhan sambil marah-marah? itu sama sekali tidak sesuai.

Ketika berusia 20 tahun lebih, saya mendengar Pdt. Dr. Andrew Gih berkhotbah. Setelah selesai, saya masuk ke kamar saya berlutut dan berdoa: ”Tuhan, jadikanlah aku hamba-Mu. Ketika Engkau marah, aku marah; ketika Engkau sedih, aku sedih; ketika Engkau memberitakan kesukaan, aku bersukacita, ketika Engkau menyatakan jejak kaki-Mu, aku sabar mengikuti emosi-Mu. Sehingga ketika aku menghibur, orang mendapat penghiburan; ketika aku menegur, orang mendapatkan teguran; ketika aku menghakimi, orang merasakan penghaiman Tuhan itu tiba; ketika aku menyatakan panggilan Tuhan, orang merasakan panggilan Tuhan itu tiba pada dirinya.” inilah suatu sinkronisasi emosi kita dengan emosi Allah.

Suatu gerakan sukses jika ada sinkronisasi. Waktu Allah marah, kita marah, hamba Tuhan marah, maka yang lain juga sama-sama marah. Itu sinkron. Tapi jika Allah marah, lalu saya memberitakan kemarahan Allah dan saya marah, tetapi hamba Tuhan yang lain mengatakan tidak apa-apa, dan tetap tersenyum-senyum, maka itu menjadi tidak sinkron, dan akhirnya merusak seluruh gerakan. Saya minta semua hamba Tuhan sinkron dalam pelayanan ini. 

Marilah kita sehati melihat emosi Tuhan. Emosi Tuhan yang menjadi patokan dari emosi kita. Ketika Tuhan marah, marilah kita marah; ketika Tuhan sedih, marilah kita sedih; ketika Tuhan senang, marilah kita senang. Inilah hamba Tuhan yang asli. Ketika Tuhan marah, jangan kita menghibur. Itu suatu perlawanan terhadap emosi Allah. Kemarahan manusia akan menyatakan kemuliaan Allah, dan kelebihan kemarahan manusia akan dihancurkan oleh Tuhan Allah. Jangan kita bermain-main.

Beberapa waktu ini saya memikirkan bagaimana keadaan orang Indonesia, yang suatu saat mengelu-elukan satu pemimpin, begitu bersemangat menaikkan dia menjadi presiden, lalu tidak lama kemudian, begitu bersemangat untuk menjatuhkan dia dan menolak dia menjadi pemimpin. 

Jadi, sebenarnya rakyat ini mengerti sampai di mana, dan siapa sebenarnya yang mereka inginkan untuk menjadi pemimpin mereka? Jadi, apakah mereka mencintai pemimpin bangsa? Tidak, mereka hanya menginginkan kesejahteraan sendiri. Rakyat belum terlatih memikirkan kepentingan negara. Sayang sekali. Mereka dididik di dalam agama-agama yang sangat bias atau membelot dari kebenaran, mereka hanya berusaha membela kepentingan diri sendiri atau kelompok. Para pemimpin dan rakyat juga marah ketika uang orang Indonesia diinvestasikan di luar negeri, tetapi berusaha keras agar orang luar negeri mau berinvestasi di Indoneisa. Ini sungguh suatu ketidak adilan internasional. Coba berfikir yang sangat bias. Kita tidak suka kalau uang kita ke negara lain, tetapi ingin uang negara lain ke negara kita. 

Negara Indonesia adalah negara yang kaya, tetapi masyarakatnya miskin. Mengapa? Karena semangat perjuangan untuk maju sangat lemah. Manusia hanya mau kenikmatan tetapi tidak mau bekerja keras dengan kualitas yang baik. Mau hidup enak, tetapi tidak mau bertumbuh, belajar, dan maju dengan usaha yang sangat keras dan membanting tulang. Saat ini Indonesia banyak orang miskin yang membutuhkan kasih sayang dan perhatian. Kita perlu memperhatikan dan mengasihi mereka, tetapi mereka juga perlu dididik untuk membanting tulang dan berani bekerja berat untuk maju.

Orang yang membeli dan membayar tentunya lebih kaya daripada yang bekerja keras untuk memproduksi dan menjualnya. Orang Jerman bekerja keras membuat mobil, lalu orang Indonesia tinggal membayar dan membeli mobilnya. Bukankah ini berarti orang Indonesia lebih kaya dari pada orang Jerman? Tetapi mengapa orang Jerman yang lebih kaya dari orang indonesia? Karena sejak Reformasi, ada semangat yang turun dari kebenaran Firman Tuhan untuk bekerja keras. 
KEMARAHAN DALAM KESUCIAN
Mengapa orang di Indonesia tidak mau berfikir keras, bekerja keras lalu memproduksi barang-barang yang bermutu tinggi dan sangat dibutuhkan, sehingga produk-produknya dibeli di Jerman? Ini karena mentalitas bangsa kita belum dididik dengan keras untuk mencapai kualitas yang Tuhan inginkan. Di sini kemarahan yang suci dibutuhkan untuk membangun bangsa.

Sebaliknya, kemarahan yang berlebihan adalah kemarahan yang merusak. Kemarahan itu adalah kemarahan yang dipenuhi kebencian. Kemarahan itu dipicu oleh karena perasaan tergangu, kita marah besar. Ada tiga macam gangguan yang memicu kita untuk marah : (1) Hak diganggu. Hak saya diganggu sehingga saya marah; (2) Prinsip kebenaran diganggu. Ketika prinsip-prinsip kebenaran diganggu, saya marah; (3) Allah dan rencana-Nya diganggu. Ketika Allah dan rencana-Nya diganggu, saya marah demi Allah.

Dari ketiga macam gangguan ini, maka saya meilihat bahwa posisi yang pertama adalah posisi yang terendah. Kalau hak kita diganggu sehingga kita merasa dirugikan lalu kita marah. Itu merupakan kemarahan anak-anak.

Ketika prinsip kebenaran, prinsip keadilan, prinsip kehidupan yang objektif diganggu, dan membuat saya marah, maka itu berarti saya sudah berhasil melepaskan diri dari kepentingan diri kita sendiri. Di sini kita mulai memikirkan kepentingan seluruh kemanusiaan yang perlu dijaga. Ini merupakan tahapan yang lebih tinggi daripada sekedar marah karena diri terganggu. Ini berarti sudah masuk dalam kriteria orang agung. Baik Musa maupun Paulus dalam Alkitab adalah orang-orang yang bukan marah karena dirinya terganggu. mereka marah karena prinsip Alkitab diganggu dan karena Allah diganggu.

Paulus berkata dalam 2 Korintus 11: 2 – “Aku cemburu kepada kamu dengan cemburu ilahi.” Paulus cemburu sama seperti kecemburuan yang ada pada Allah. Di sini dia sinkron dengan Tuhan Allah. Ketika Tuhan Allah melihat anak-anak-Nya kurang ajar, maka Dia marah, dan Paulus juga marah. Paulus berkata: “Aku telah mempertunangkan kamu dengan Kristus, sama seperti mempelai perempuan yang dijodohkan kepada mempelai laki-laki, sehingga seharusnya kamu setia.” Umat Allah seharusnya setia kepada Kristus sebagai mempelai laki-laki, dengan sepenuh hati mencintai Kristus. Jangan menjadi seperti ular yang menyelewengkan hati Hawa dari hati yang jujur menjadi hati yang berdosa. Tuhan marah karena orang Kristen tidak setia kepada Tuhan, maka kemarahan itu merupakan kemarahan yang bermutu, karena kemarahannya sesuai dengan kemarahan Tuhan Allah.

Kini mari kita terapkan prinsip kemarahan seperti ini ke dalam kehidupan kita masing-masing. Kita perlu menerapkan prinsip ini saat kita berelasi dengan sesama kita. Kita juga perlu menerapkan prinsip ini dalam berdagang, dan khususnya dalam kehidupan gerejawi, kehidupan pelayanan kita. Kita perlu belajar bagaimana marah yang suci, marah yang adil, marah yang benar, yang sesuai dengan emosi Allah.

Bangsa ini harus dididik bagaimana harus marah. Bukan marah karena diri terganggu, tetapi marah karena kebenaran dan kesucian. Mengapa kita tidak marah pada saat prinsip hukum diinjak-injak oleh orang-orang yang melawan hukum? Tetapi pada saat kita menjadi miskin, kita menjadi marah? Mengapa pada saat menikmati hasil korupsi atau melakukan kecurangan kita tidak marah, tetapi ketika kita susah, harga barang mahal dan kita dicurangi, kita marah-marah luar biasa? Itu karena bangsa ini belum dididik untuk mensinkronisasikan diri dengan kemarahan Tuhan yang suci, kemarahan Tuhan yang agung, dan kemarahan Tuhan yang adil.

Kiranya Tuhan mendidik kita menjadi orang yang mengetahui dengan lebih baik bagaimana harus marah sesuai kebenaran Tuhan.Amin.
Next Post Previous Post