SIMPATI PADA SESAMA ORANG PERCAYA

Pdt. DR. Stephen Tong.

PENGUDUSAN EMOSI

BAB VIII : SIMPATI SEJATI

Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan. (Matius 5:7).
SIMPATI PADA SESAMA ORANG PERCAYA
“Barangsiapa mempunyai harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan tetapi menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu, bagaimanakah kasih Allah dapat tetap di dalam dirinya? Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran.” (1 Yohanes 3: 17-18).
-----------------------------------------------------------------------------------
Jika sebelumnya telah dibicarakan tentang elemen-elemen pengudusan emosi dalam hidup orang Kristen, maka kali ini kita berbicara mengenai elemen lainnya, yaitu : Simpati. Sebagai orang Kristen, kita harus memiliki rasa simpati, kemurahan yang suci, serta hati yang berbelas kasihan kepada orang lain, di mana semuanya itu merupakan elemen-elemen yang sangat penting. 

Ini adalah salah satu aspek yang paling anggun dari karakter yang mungkin dicapai oleh seseorang. Kadang-kadang kita melihat orang yang kurang bersimpati, kurang bermurah hati, dan kurang berbelas kasihan, dapat memperlakukan sesama manusia seperti seekor binatang. Mengapa? Karena dia lupa bahwa dirinya sendiri adalah manusia dan sesamanya yang diperlakukan demikian pun juga seorang manusia. Dalam hubungan antar manusia diperlukan sebuah tali ikatan, yang mengikat keduanya berdasarkan emosi yang sangat indah, yaitu simpati.

MENGERTI SIMPATI

Kata simpati terdiri dari gabungan kata “sym,” yang berarti bersama-sama, harmonis, kebersamaan; dan “pathos,” yang berarti perasaan. Kita memerlukan pengertian dan perasaan bersama , bahwa dia manusia, saya pun manusia. Manusia mempunyai perasaan yang mirip, sama-sama adalah manusia yang sama-sama memerlukan perasaan sama, maka saya harus mengerti dari sudut ini apa yang dirasakan oleh orang lain.

Jika kita sendiri memiliki perasaan yang halus, tetapi mengira orang lain itu binatang, sebongkah kayu, dan benda yang tidak berperasaan, maka kita tidak lagi, menjalankan tugas dan kewajiban kita sebagai manusia yang harus bersimpati. Di dalam percakapan dua orang, jika kita melihat orang ketiga yang terus berbicara sendiri dan tidak mau mendengar orang lain, jangan pernah kita menjadi kawannya. 

Jika kita dalam pembicaraan dengan orang lain, yang dibicarakan hanya anaknya sendiri atau usahanya sendiri, dan tidak pernah mau mengetahui kesulitan orang lain, jangan kita menjadi kawannya. Mungkin secara tidak sadar kita juga sudah menjadi orang semacam ini. 

Jika berbicara, hanya membicarakan diri kita sendiri; hanya bicara tentang perasaan sendiri, bicara tentang untung sendiri, dan segala sesuatu yang ada sangkut paut nya dengan diri sendiri. Orang seperti ini tidak akan pernah menjadi pendengar yang baik. Kalau bertemu dengannya, dia akan terus berbicara, dan hanya dia saja yang mau didengar, dan dimengerti; pada waktu orang lain mulai berbicara, dia pergi. Mungkin juga kita sudah membiasakan diri menjadi orang semacam ini.

Di dalam pergaulan, kadang-kadang kita perlu mendengar, perlu mengerti, perlu bersabar mengetahui apa yang dirasakan dan dikatakan orang lain. Berbeda dengan seorang guru, mustahil dan tidak benar jika seorang guru sepanjang hari hanya mendengar murid, karena murid memang datang untuk mendengarkan guru. 

Orang Kristen yang terus menerus meminta Tuhan untuk mendengarnya, tetapi tidak mau terus menerus mendengarkan Tuhan, bagaikan Gereja-gereja Kharismatik yang hanya terus berdoa, mau Tuhan mendengar, tetapi tidak memedulikan Firman sebagai kebenaran Allah serta hanya menonjolkan kesaksian manusia dan doa keinginan manusia yang diemosikan. Mereka terlihat giat sekali, tetapi sebenarnya tidak baik-baik mendengarkan Firman Tuhan. Apabila orang Kristen seumur hidupnya tidak mau mendengarkan Firman Tuhan, hanya mau Tuhan mendengarkan kita, hal ini tidaklah adil.

SIMPATI VERTIKAL DAN HORISONTAL

Ketika Tuhan berbicara kepada manusia, Dia tidak mungkin salah, karena Dia adalah kebenaran. Dalam relasi guru dengan murid, guru yang berbicara, karena guru yang mengajar dan murid mendengarkan. Tetapi di dalam persamaan sebagai saudara, sebagai anggota dalam komunitas, atau sebagai sesama orang Kristen, atau sebagai sesama manusia, kita perlu saling , mendengarkan. Kecuali jika kita betul-betul mengakui bahwa orang itu benar-benar mengerti lebih banyak dan kita mau belajar dari dia, maka belajarlah mendengar. Kalau tidak, kita harus mempunyai perasaan yang sama satu dengan yang lain. Dengan demikian, kita memupuk pengertian isi hati, pengertian perasaan, dan pengertian kebutuhan orang lain.

Kebudayaan di Barat dan Timur mempunyai titik tolak yang berbeda sehingga mengakibatkan pemusatan yang berlainan dalam menjadikan titik tolak atau pusat dalam mengembangkan seluruh sistem kebudayaan. Di Barat, rasio yang diutamakan. Di Timur, perasaan yang diutamakan. Itulah sebabnya banyak agama timbul di Timur, bukan di Barat; logika berkembang di Barat, bukan di Timur. Pendidikan lebih banyak dianggap penting di Barat, tetapi meditasi dan perasaan budaya yang harus dari hati manusia dikembangkan di Timur. 

Mengapa orang Barat kalau mau bermeditasi pergi ke Timur, sedangkan orang Timur mengirim anaknya sekolah ke Barat. Mengapa kita tidak mengirim anak kita sekolah ke Irak? Kenapa sesudah lulus anak kita tidak dikirim ke Srilanka? Kenapa anak kita tidak dikirim ke Jerman, Amerika, Belanda, Inggris, Australia? Namun demikian, dunia Barat telah merasionalisasikan agama dan theologi, sedangkan dunia Timur lebih mementingkan perasaan jiwa, hati, bermeditasi, dan perenungan. Inilah perbedaan Barat dan Timur. Orang yang penting di Gerika adalah Aristoteles, orang yang penting di Asia adalah Mencius.

Mencius mengatakan empat kalimat yang penting tentang bagaimana mengembangkan sesuatu yang sudah ada dalam jiwa manusia. Istilah “ren jie you ze” berarti setiap orang yang disebut manusia – semua orang sama sama memiliki – itu tidak berbeda – semua orang sama-sama memiliki – itu tidak berbeda. Tidak ada perbedaan warna kulit, hitam, putih, coklat, atau bangsa, suku, bahasa. Semua yang disebut manusia itu sama. Ini penemuan besar. Menemukan persamaan menjadi suatu dasar kemungkinan untuk mencapai perdamaian. Menemukan perbedaan mungkin menjadi penyebab peperangan. 

Peperangan terjadi karena ”kamu berbeda dengan saya, dan saya harus menghancurkan kamu.” Tetapi ketika kita menemukan persamaan kita dengan orang lain, persamaan-persamaan yang digali dan disadari mengakibatkan kita mencari keharmonisan. Tapi sebenarnya, orang yang mengerti persamaan namun tidak mengerti perbedaan adalah orang yang agak bodoh, sebaliknya yang bisa mengerti perbedaan dia adalah orang yang pintar. Jika kita hanya bisa mengerti persamaan antara monyet dan manusia, kita hanya mengerti teori evolusi, tetapi mengerti perbedaan manusia dengan monyet barulah menemukan keunikan ciptaan Tuhan.

EMPAT KEUINIKAN MANUSIUA VERSI MENCIUS

Mencius berdasarkan wahyu umum telah mengatakan, “Semua manusia (ren jie you ze) sama-sama memiliki empat hal.” Keempat hal tersebut meliputi :

Perasaan Terharu. Perasaan terharu kita berbeda dengan binatang. Pada waktu seorang anak kecil sakit, dia menangis. Kita bukan anak kecil, kita sudah dewasa, tapi ketika kita melihat anak kecil menangis karena sakit, kita ikut menangis dan terharu. Kita sedih, karena kita terharu. Perasaan terharu ini membuktikan bahwa kita adalah manusia. 

Tetapi ketika seorang anak kecil menangis , apakah seekor harimau datang dan berkata, “Kasihan ya. Meskipun aku lapar, tapi aku terharu, aku pergi dan tidak jadi makan”? Tidak, anak itu pun langsung dimakan harimau, karena harimau bukan manusia. Harimau tidak bisa merasa terharu karena emosinya tidak dapat terangsang menjadi emosi simpati. Menurut Mencius, perasaan terharu adalah aspek pertama atau fungsi pertama dari hati nurani.

Perasaan Malu. Perasaan kedua adalah rasa malu. Ketika kita berbuat salah, kita menjadi malu. Kita malu mengapa mengatakan kalimat tertentu, mengapa mengerjakan sesuatu, atau bersikap seperti itu. Orang yang berbuat salah bisa merasa malu. Orang yang berkata salah bisa merasa malu. Orang yang bertindak salah bisa merasa malu. Orang setelah berbuat dosa bisa menyesal dan merasa malu. Binatang tidak. 

Jika ada orang orang yang setelah berbuat dosa tidak malu, malah membanggakan diri, “Coba lihat, aku bisa menipu papaku, istriku, mereka tidak tahu,” maka orang itu lebih mirip binatang, dan tidak mirip manusia. Manusia adalah manusia, karena manusia dapat menjadi malu karena kesalahannya. Ini adalah hal yang sangat penting, yang dapat menjadikan kita mungkin bertobat, mungkin meninggalkan dosa, mungkin hidup lebih baik karena kita memiliki kesanggupan atau daya dasar untuk merasa malu karena dosa.

Perasaan Hormat dan Mengalah. Perasaan unik yang ketiga adalah kerelaan menghormati orang lain dan mengalah. Perasaan ini dimiliki oleh setiap orang. Ketika kita berada di dalam bus dan melihat ada seorang yang jauh lebih lemah, jauh lebih tua, dan tidak mempunyai kekuatan, kita akan merasa sungkan dan tidak enak untuk tetap duduk dan membiarkan kursi kepadanya. Jika kita seorang laki-laki yang masih kuat, maka kita tidak mungkin tetap duduk dan membiarkan seorang perempuan yang sedang hamil tua tetap berdiri. 

Dengan perasaan mengalah, kita rela memberikan sesuatu yang seharusnya menjadi hak kita untuk menghormati orang lain karena kita simpati kepadanya. Perasaan demikian haruslah ada, untuk membuktikan bahwa kita benar-benar manusia. Jika perasaan itu tidak ada, maka kita bukanlah manusia. 

Filsafat Tiongkok Kuno mengatakan, “ren ci ren ye,” berarti manusia harus memiliki jiwa kebaikan, jika hal itu tidak ada apakah dia boleh disebut manusia? Apa tanda dan syarat-syaratnya? Apa kualifikasi seseorang sehingga dia dapat disebut sebagai manusia? Jika dia berbentuk manusia, tetapi berjiwa setan, berjiwa binatang, dia adalah penipu yang paling besar dalam masyarakat.

Perasaan Intuisi Pembeda. Perasaan keempat yang merupakan keunikan dalam diri manusia adalah suatu intuisi dalam diri manusia yang membedakan antara yang baik dan yang jahat, yang benar dan yang salah, yang boleh dan yang tidak boleh, yang sesuai dengan hati nurani atau yang melawan hati nurani. Hal keempat ini sama dengan apa yang dikatakan oleh Paulus dalam Roma 2, bahwa orang-orang yang tidak diberi Taurat, bangsa-bangsa yang tidak pernah mengenal Taurat Musa, tidak boleh lupa bahwa Allah tetap akan menghakimi mereka karena fungsi Taurat sudah dicantumkan dalam hati mereka. Mereka tidak luput dari penghukuman Tuhan pada hari kiamat karena kepada mereka sudah diberikan hati nurani. 

Istilah “hati nurani” yang dibicarakan lebih dari dua puluh kali dalam Perjanjian Baru tidak pernah muncul dalam Perjanjian Lama, tetapi sudah disyaratkan dalam Perjanjian Lama dalam kitab Amsal sebagai “pelita di dalam jiwa manusia.” Roh manusia merupakan pelita Tuhan yang diletakan di dalam diri manusia. Manusia disebut manusia karena ada satu pelita, yaitu cahaya yang memberikan penyinaran, pencerahan, untuk menunjukan kesalahan-kesalahan, dosa dan kejahatan yang telah kita lakukan.

Keempat hal yang digabungkan dan ditemukan oleh Mencius ini adalah reaksi manusia terhadap wahyu umum. Saya membagikan reaksi manusia dalam dua jenis:

(1) Reaksi manusia terhadap wahyu umum secara external (external reaction), yaitu reaksi yang dinyatakan keluar, mengakibatkan timbulnya kebudayaan.

(2) Reaksi manusia terhadap wahyu umum Tuhan Allah secara (internal reaction), yaitu nilai hidup internal dalam diri manusia, mengakibatkan timbulnya agama.

Agama dan kebudayaan saling bertumpang tindih dan bertemu dalam satu bidang, yaitu moral. Meskipun keagamaan yang liberal tidak lagi menerima hal-hal metafisika, supernatural, mujizat seperti yang tercantum dalam Kitab Suci, namun mereka, tidak dapat menolak satu-satunya bidang yang tidak mungkin dibuang, yaitu moral. 

Demikian juga pada waktu kebudayaan membicarakan tentang nilai yang paling dalam, tidak mungkin tidak menjelajah ke dalam satu hal yang paling dalam, yang paling misterius yaitu nilai moral. Inilah satu tempat yang tumpang tindih, satu tempat yang sama-sama dimiliki; kebudayaan sedalam-dalamnya memiliki penilaian tentang moral, agama sedangkal-dangkalnya juga memiliki penilaian di dalam bidang moral.

Moral, seperti yang tercantum di dalam Alkitab disebut sebagai “hati nurani,” menjadi salah satu aspek yang menyebabkan kita disebut “ciptaan menurut peta dan teladan Allah.” Manusia disebut manusia karena ia memiliki kemampuan untuk terharu, memiliki kemampuan untuk mengerti jiwa orang lain, memiliki kewajiban untuk berbuat baik dan tidak berkanjang (melakukan pekerjaan) dalam kejahatan, seperti yang dimandatkan dalam perintah tertinggi yang diberikan Tuhan dalam hatinya. Dengan demikian, usaha untuk membuktikan Allah itu ada atau tidak, tidak diperlukan lagi.

Di dalam filsafat Immanuel Kant, presuposisi ini menjadi dasar yang tidak membutuhkan argumen lain, apapun itu. Argumen ini sudah cukup. Argumen bahwa kita harus bermoral tinggi merupakan argumen dasar yang tidak membutuhkan argumentasi pendukung lainnya. Hal ini yang kemudian dikenal dalam pemikiran Kant sebagai categorical imperative yang diterjemahkan sebagai perintah tertinggi yang tidak mungkin bisa dilampaui oleh perintah yang lain. 

Perintah ini diberikan kepada kita oleh yang tertinggi, karenanya perintah ini adalah perintah yang tertinggi. Karena apa? Karena perintah ini bukan berasal dari hukum manusia, bukan dari pemerintah, bukan dari institusi, bukan dari gubernur, bukan dari raja, bukan dari papa mama. Setiap orang diberi perintah untuk “berbuat baik, berbuat benar.” Dari mana kalimat ini berasal? Tidak perlu dibuktikan. Tidak perlu membicarakan Allah ada atau tidak. Perintah ini sendiri sudah membuktikan bahwa Allah itu ada. Ini teori dari Immanuel Kant.

Jika ada Kant di Barat, maka di Timur ada Mencius, yang sama-sama mempunyai pengertian ini, namun berbeda dua ribu tahun. Mencius mengatakan hal ini da ribu empat ratus tahun yang lalu, sedangkan Kant baru dua ratus tahun yang lalu. Dunia Barat jauh ketinggalan di dalam mengerti sifat manusia yang paling inti di dalam aspek kebudayaan, khususnya tentang masalah moral. Tetapi Kitab Suci jauh lebih dahulu ada daripada Mencius, Konfusius, Buddha, dan pemikiran Upanishad dari Hinduisme. 

Dalam Mazmur 90, Musa telah mengatakan, “Mari kita dengan takut akan Allah mengenal kemarahan-Nya.” Karena takut kepada Allah, menghormati Tuhan, mengerti kemarahan-Nya, berarti kita mau berbuat segala sesuatu yang sesuai dengan perintahNya. Allah memberikan perintah moral kepada manusia melalui Musa dalam bentuk Sepuluh Perintah, sehingga kita dimampukan untuk mengerti bahwa aspek moral itu memang perintah yang berasal dari Tuhan Allah.

SIMPATI DAN KEMURAHAN

Dalam studi berikut ini, kita akan mencoba mengerti apa artinya kemurahan, simpati, dan belas kasihan. Sebagai sesama manusia, kita hidup di dalam dunia yang memiliki berbagai kesulitan. Kesulitan-kesulitan ini memancing kita untuk membayangkan bagaimana jika hal demikian menimpa kita. Ini yang disebut sebagai imajinasi. Ketika kita melihat seseorang yang sedang sakit, lalu dengan begitu berat dia mengeluh, maka kita cenderung pergi meninggalkan dia, karena kita takut tertular, dan takut mengalami hal yang serupa dengannya.

Keinginan menyingkir dengan segera ini merupakan daya dasar manusia yang dipicu oleh ketakutan kita untuk mengalami kesulitan dan penderitaan yang sama. Kita mempunyai sesuatu daya dasar yang sangat misterius, yaitu hal-hal yang baik dan yang indah akan demikian menarik kita, sedangkan hal-hal yang jelek dan berbahaya membuat kita lari menjauh. 

Ketika kita melihat orang lain yang terus menerus batuk, mengeluh, sakit dan tidak kunjung sembuh, kita mulai berfikir untuk meninggalkannya, karena takut mengalami penderitaan atau kesakitan yang sama. Daya dasar demikian merupakan daya dasar yang sangat wajar. Hal yang indah menarik kita untuk melihat lebih banyak, bukan? Tetapi yang jelek, yang abnormal, mengakibatkan kita pergi serta tidak mau melihat karena merasa tidak ada faedahnya bagi kita. Hal demikian merupakan suara hati paling dalam dari insting manusia untuk membela diri.

Tetapi, mengapa ada semacam orang yang justru pada saat orang lain mengalami kesulitan, justru datang mendekat kepadanya? Orang-orang seperti ini begitu rela mendekati orang-orang yang miskin, yang susah, yang abnormal, yang sakit keras, bahkan yang berpenyakit menular. Itu berarti ada suatu perubahan emosi, yang terjadi pada orang-orang itu, sehingga mereka tidak lagi bergantung hanya pada naluri alamiahnya tetapi mulai naik menuju taraf simpati. Rasa simpati menjadikan mereka memiliki kemurahan, pengertian, kerelaan berkorban diri, rela menyangkal diri, dan rela memberi. Melalui perilaku ini muncul suatu keindahan dalam sifat manusia, yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang Kristen.

Pertama kali saya merasakan emosi demikian sangatlah tdak mudah, yaitu ketika saya berusia 19 tahun. Saya menyerahkan diri menjadi Tuhan saat berusia 17 tahun dan mulai pergi mengabarkan injil. Saya membeli traktat dengan uang saku saya sendiri, lalu berusahan membagikannya dikereta api, di rumah sakit, dan berbagai tempat lainnya. Saya pernah diusir, dimaki, dan dihina, tetapi saya tidak perduli. Dalam tiga setengah tahun, hingga usia 20 tahun saya telah berkhotbah sebanyak 862 kali diberbagai gereja.

Suatu kali saya melayani kelas sekolah minggu dengan anak-anak sekitar 8 hingga 12 tahun disebelah kanan saya, di baris paling depan, ada seorang anak dengan wajah yang abnormal. Jika kamu melihatnya, kamu pasti ingin segera berpaling dan meninggalkannya. Anak seperti ini biasanya tidak dibawa ketempat umum. Saya sungguh-sungguh takut melihatnya, dan saya merasa sangat susah, bahkan tidak bisa melihat wajahnya. Ketika saya harus berkhotbah, pikiran saya terus dipengaruhi oleh wajah anak itu, yang membuat saya sulit berkonsentrasi untuk bercerita pada anak-anak tersebut tentang Firman Tuhan. 

Saat itu juga saya ditegur oleh Tuhan: ”Apakah kamu sadar siapa dirimu? Apakah kamu seorang hamba Tuhan jika kamu tidak memiliki cinta kasih yang cukup untuk melayani?” Saya merasa susah sekali dan hari itu saya belajar untuk melihatnya dan memberi tahu bahwa saya mengasihinya. Namun sungguh, setiap kali saya melihat dia, melihat wajahnya saya ketakutan. Saya rasa, sepanjang saya berkhotbah saya tidak sampai 5 kali melihatnya dan setelah itu saya tidak berani melihat dia lagi, kemudian cepat-cepat pulang. Malam itu, saya berlutut di hadapan Tuhan memohon ampun. Saya sadar bahwa saya tidak mungkin bisa menjadi seorang hamba Tuha yang baik, jika melihat wajah seperti itu saja, saya tidak tahan dan tidak rela. Saya terharu ketika melihat cinta kasih Tuhan Yesus yang rela datang ke dunia, mencintai manusia yang najis seperti saya, namun kini saya tidak rela melihat orang dengan wajah seperti itu.

Bertahun-tahun kemudian, setelah saya lulus dari sekolah theologi, saya mengadakan Kebaktian Kebangunan Rohani di sana sini, saya diutus ke tempat orang sakit kusta dan ke tempat di mana ada banya penyakit yang luar biasa beratnya. Di sana saya mulai berjanji kepada Tuhan bahwa saya mau belajar mengasihi mereka. Saya mau mengerti, mau menjamah tangan mereka, berjabat tangan satu per satu dengan orang sakit kusta, yang tubuhnya bernanah. Saya mau belajar kalau itu merupakan tugas seorang hamba Tuhan yang mau memberitakan kasih. Istilah kasih bukan pada mulut, tetapi berada di dalam ketulusan, kejujuran, dan kesungguhan.

Saya mau belajar untuk berlaku dengan kejujuran dan ketulusan. Memang itu sangat sulit dan berat, tetapi jika tidak bisa saya lewati, maka saya merasa lebih baik saya berhenti menjadi hamba Tuhan. Jika saya tidak bisa mengasihi mereka yang lebih rendah, lebih miskin, lebih sulit, lebih sakit, lebih kotor, lebih inferior daripada saya, lebih baik saya berhenti menjadi hamba Tuhan.

Suatu hari, pada saat saya turun dari pesawat di Surabaya dan dalam keadaan yang sangat lelah. Saya langsung memanggil taksi untuk pulang. Begitu naik taksi, saya baru sadar bahwa wajah sopir taksi itu begitu buruk. Hidungnya begitu besar dan sepertinya ada kelebihan daging yang cukup besar tumbuh di sana, sampai menjepit matanya. Saya mulai ketakutan lagi. Saya teringat anak yang saya temui ketika berusia 19 tahun dulu. Saya berfikir apakah kalau anak itu menjadi dewasa akan seperti sopir ini. Secara reflek saya duduk di kursi belakang supir agar tidak melihat wajah supir tersebut. 

Tetapi dia terus mengajak saya berbicara sambil melihat ke kaca spion, sehingga saya harus terus menerus melihat ke wajahnya. Saya menjadi heran, dan dalam hati saya muncul beberapa pertanyaan. Dia orang yang wajahnya abnormal, apakah dia minder (rendah diri) atau tidak? Apakah dia sudah menikah, dan kalau sudah menikah, bagaimana perasaan istrinya terhadap dia? Lalu saya mulai berbincang-bincang dengan dia. 

Ternyata dia sama sekali tidak minder dan dia memiliki istri yang cantik dan memiliki dua anak yang sehat-sehat dan berwajah normal, tidak seperti dia. Istrinya juga begitu setia merawat dan mengasihinya. Mendengar cerita supir ini, saya sadar bahwa kerohanian saya ternyata kalah dibandingkan dengan istri orang ini, apakah saya masih bisa bertahan dan masih bisa mengasihi. Bagi saya ini sungguh sangat sulit.

Alkitab berkata, berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka juga akan diberi kemurahan. Ini hukum Tuhan. Jika Tuhan menghentikan keran yang menurunkan anugerah kepada kita, jangan kita terkejut, karena kita telah terlebih dahulu menghentikan keran kita untuk memberikan kemurahan kepada orang lain. Janganlah kita mengira bahwa kita boleh menikmati terus menerus anugerah Tuhan tanpa henti dan boleh berbuat kejam terhadap orang lain. Jangan kira dengan mempermainkan orang lain maka kita akan mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin, dan Tuhan akan terus membiarkan kita hidup seperti ini.

Pada satu hari Tuhan akan menghitung dosa kita seperti dia menghitung dosa yang sudah ditimbun oleh Belsyazar. Tuhan mengatakan, “Mene, mene, tekel ufarsin,” yang artinya : sudah genap, sudah cukup, dan berhenti sampai di sini saja (Dan. 5:25). Anugerah Tuhan telah dihentikan karena kejahatan Belsyazar sudah memuncak, kejahatannya sudah genap, dan sampai di sini saja hidupnya. Malam itu dia dibunuh, dan kedudukannya diserahkan kepada orang lain. Malam itu juga dia dilempar keluar dari anugerah Tuhan. Pada hari itu, dia tidak lagi berhubungan dengan anugerah Tuhan. Hari itu menjadi hari terakhirnya. Jangan kira semua kemurahan anugerah Tuhan boleh sepatutnya kita terima terus menerus (Roma 2: 3-5).

Seringkali kita terus menerus menabung kejahatan dan sambil menabung kejahatan, kita beranggapan bahwa kita bisa terus menerus menerima anugerah. Sering kali kita berfikir bahwa sambil menabung kejahatan, sambil menikamati kemurahan Tuhan. Memang itu semua bisa terjadi, tetapi hanya sampai batas tertentu. Kemurahan dan anugerah Tuhan sebenarnya menuntut kita untuk bertobat, berhenti berbuat jahat. Tetapi kita berdiam diri dan mengabaikannya. Maka pada saat kita menganggap sepi anugerah Tuhan, kita sedang menimbun kemarahan Tuhan. 

Dan kemarahan itu akan memuncak sampai hari kiamat, di mana manusia sudah tidak bisa lagi melarikan diri. “Mene, mene, tekel ufarsin,” Tuhan berkata,”sudah cukup dan sekarang dihentikan.” Mulai hari ini kamu disingkirkan, kamu diturunkan dari takhtamu, kamu diberhentikan dari penerimaan anugerah yang selama ini berlimpah. Kiranya hal ini menyadarkan kita untuk jangan bermain-main dengan Tuhan. Tuhan itu dasyat; Tuhan itu adil dan suci adanya. Kehormatan dan Kemarahan yang tertinggi tidak mungkin disuap. Tidak mungkin lagi untuk naik banding, karena Dia adalah yang paling besar dan paling tinggi.

Mari kita belajar akan prinsip kemurahan ini. Mari kita belajar memberi kemurahan kepada orang lain, maka kepada kita akan diberi kemurahan. Pada saat kita memberikan simpati kepada orang lain, maka kepada kita akan diberikan simpati. Pada saat kita menyatakan belas kasihan kepada orang lain, maka kita akan menerima belas kasihan. Urutan ini tidak boleh salah dan tidak boleh dibalik.

Jangan kita menjadikan belas kasihan, simpati, memperhatikan orang lain, sebagai umpan untuk mendapatkan berkat lebih banyak sebagaimana ajaran-ajaran sesat dari beberapa aliran karsimatik. Ada sebagian dari mereka yang menyatakan bahwa jika kita memberi persembahan sepuluh ribu, maka Tuhan memberikan seratus ribu. Itu bukanlah motivasi yang diajarkan didalam Alkitab. Itu lebih tepat menjadi ajaran dari setan. Mungkin ada orang yang menyanggah dan menyatakan bahwa ketika dia memberikan perpuluhan, Tuhan benar-benar memberkatinya. 

Dalam hal ini kita harus tahu bahwa yang terjadi sebaliknya, yaitu orang itu telah terlebih dahulu menerima dari Tuhan, baru mengembalikan sepersepuluhnya, jangan kita memutarbalikan Firman Tuhan: yang Tuhan berikan, kita kembalikan sepersepuluhnya, bukan memberi sepersepuluh supaya Tuhan memberi seratus, atau memberi seratus supaya Tuhan memberi seribu. 

Memang Tuhan berjanji akan membukakan tingkap langit dan melimpahkan berkat kepada kita, tetapi Tuhan tidak berkata bahwa jika kita memberikan satu juta, maka Tuhan berkewajiban mengembalikan sepuluh juta; atau jika kita memberikan satu miliar, Tuhan harus mengembalikan sepuluh miliar. Itu ajaran yang memutarbalikan Alkitab.

Alkitab mengatakan, jika ada orang memiliki karunia lidah atau bernubuat, maka dia harus mengikuti peraturan dan ketertiban. Dalam sebuah Konferensi Kristen Internasional, seorang pendeta Kharismatik mengatakan yang dimaksud dengan menurut peraturan itu berarti semua gereja harus mempunyai dan melakukan karunia lidah. Saya menyatakan bahwa itu adalah kesalahan penafsiran Alkitab. Saya menyatakan itu dengan keras dan tegas dihadapan orang itu dan di hadapan semua peserta konferensi itu, karena ribuan gereja bisa ditipu dan diselewengkan atau dibawa kepada kesalahan yang fatal. Alkitab dengan jelas mengatakan, kita bukan hanya berdoa dalam roh, tapi juga harus berdoa dengan akal budi. Mereka membalikan bahwa kita bukan hanya berdoa dengan akal budi, tetapi harus juga dalam roh, lalu menganjurkan karunia lidah.

Cara penafsiran Alkitab seperti demikian harus kita hindari dan waspadai. Tidak ada ajaran Alkitab yang mengajarkan bahwa jika kita memberikan satu miliar, nanti Tuhan akan memberikan sepuluh miliar. Saya rasa, jika kita membutuhkan uang, cara seperti ini bisa menjadi satu cara yang efektif sekali untuk mendapatkan banyak uang. Tetapi itu bukan cara yang diizinkan oleh Tuhan. Yang Tuhan izinkan adalah berilah apa yang sudah diberi oleh Tuhan, dan kembalikanlah perpuluhan itu, karena itu milik Tuhan sendiri.

Alkitab mengajarkan tentang simpati, yaitu bagaimana kita memiliki belas kasihan dan kemurahan. Kita harus setiap saat menyatakan kemurahan yang didorong oleh belas kasihan. Ini ajaran Alkitab. Memberikan kemurahan bukan didasarkan pada motivasi untuk memancing sebagai umpan agar kita bisa mendapatkan berkat lebih besar lagi dari Tuhan Allah. Yang benar adalah karena digerakan Tuhan, karena pimpinan Tuhan, karena prinsip Alkitab dan kasih Tuhan yang menggerakan hati kita untuk mengingat orang miskin, mengingat orang sakit, mengingat orang yang membutuhkan, mengingat orang yang kesusahan. Allah tidak akan melupakan orang yang selalu hidup dalam keadaan demikian.

SIMPATI ADALAH KESEIMBANGAN DOKTRIN DAN PERBUATAN

Simpati berasal dari kata sympathos, yaitu suatu perasaan bersama di dalam hidup bersama seseorang. Ini merupakan suatu perasaan yang luar biasa anggun. Seorang yang penuh simpati, yang begitu rela dan mau mengerti orang lain, yang mau mengetahui kesulitan orang lain, adalah seorang yang agung. 

Jika dalam suatu Gereja, doktrin telah digarap dengan begitu ketat, orang menjadi pandai dan mengerti theologi, pandai berkhotbah, tetapi memiliki hati yang dingin bagaikan es batu, maka lebih baik Gereja itu ditutup saja. Banyak Gereja Reformed di seluruh dunia, namun kebanyakan mereka mementingkan ajaran yang ketat, memiliki doktrin yang benar dan kuat, tetapi kehilangan semangat memberitakan Injil. Saya ingin Gereja memiliki doktrin yang kuat sekaligus hati yang mengasihi jiwa-jiwa yang terhilang. 

Itu sebabnya Gereja Reformed yang saya dirikan diberi nama Gereja Reformed Injili. Ketika Kromminga meninggal, orang menemukan tiga makalah. Makalah dari mantan rektor Calvin Theological Seminary ini sepintas terkesan bernuansa liberal. Setelah orang meneliti, baru mereka sadar bahwa selain memperhatikan doktrin yang ketat, masih ada banyak hal lain yang juga perlu diperhatikan, khususnya bagaimana mencintai jiwa-jiwa yang terhilang, dan juga bagaimana bersimpati, mengasihi orang-orang yang miskin, yang susah, yang menderita dan yang mengalami berbagai penyakit.

Yesus Kristus sendiri di dalam dunia mengajar dan menegur, mengajar tentang Kerajaan Allah, menegur kemunafikan orang Farisi. Tetapi di lain pihak, Dia juga memberi belas kasihan dan pertolongan kepada sedemikian banyak orang yang memerlukan pertolongan. Yesus menaruh belas kasihan kepada mereka, Yesus bersimpati kepada mereka, dan Yesus menyatakan kemurahan kepada mereka. Istilah “simpati” tercatat muncul 10 kali di seluruh Perjanjian Baru. Pada waktu Yesus melihat ribuan orang lapar karena belum makan, Dia menaruh belas kasihan kepada mereka. Ketika Yesus melihat mereka seperti domba yang kehilangan arah diseluruh bumi, Yesus menaruh belas kasihan kepada mereka.

SIMPATI PADA SESAMA ORANG PERCAYA

Pertama-tama, kita perlu memupuk belas kasihan kepada sesama saudara seiman kita. Kita perlu mulai menjalankan simpati kita kepada sesama orang Kristen. Banyak orang di dalam Gereja saling membenci, tetapi bisa begitu baik kepada orang di luar Gereja. Dia penuh kebencian terhadap sesama orang percaya, tetapi begitu giat melakukan diakonia kepada orang lain yang tidak seiman. 

Orang-orang seperti ini sulit sekali menolong saudara-saudaranya yang seiman, sulit mengulurkan tangan bagi saudara seimannya, tetapi begitu bermurah hati kepada orang-orang yang tidak seiman. Ini sikap yang melawan ajaran Alkitab, dan ini bukan sikap orang Kristen yang baik. Itu bukan berarti kita tidak mengasihi dan berbelas kasihan kepada sesama manusia secara umum.

Alkitab mengajarkan kita untuk mengasihi sesama kita, baik orang percaya maupun orang yang belum percaya. Petrus mengajarkan kita untuk mengasihi semua orang, tetapi dimulai terlebih dahulu dari saudara-saudara seiman dulu, baru mengasihi semua orang. Ada urutan yang harus diperhatikan. Apabila orang Kristen sendiri yang berada dalam kesulitan tidak dijaga, tidak dipelihara, tidak digubris, dan memakai perpuluhan hanya untuk orang luar, maka rumah Tuhan akan sunyi senyap, serta selalu dihina oleh orang lain. Apakah kita saling memikul beban saudara kita? Apakah kita mau saling menghapus air mata saudara kita? Apakah kita mengerti beban berat yang ditanggung oleh saudara kita? Apakah kita menaruh belas kasihan kepada mereka?

BAGAIMANA MENARUH BELAS KASIHAN

Bagaimana kita bisa hidup sebagai orang Kristen yang menaruh belas kasihan kepada sesama? Selain naluri yang kita miliki, yang sudah diberikan oleh Tuhan sebagai sifat dasar manusia, semua orang diberikan oleh Tuhan fungsi hati nurani seperti demikian, saya percaya kita memerlukan beberapa pengertian lebih dalam lagi.

1. Ketaatan

Belas kasihan adalah prinsip dan ajaran Alkitab yang harus kita taati. Selain kita mengerti bahwa kita adalah manusia yang diciptakan Allah dengan fungsi hati nurani, kita juga harus mengerti bahwa berbelas kasihan adalah suatu prinsip hidup Kristen yang tidak dapat ditolak, suatu perintah Allah yang harus kita taati. Allah sudah memberikan Perintah-Nya supaya kita berbelas kasihan kepada orang lain, maka kita harus memiliki kemurahan hati kepada sesama sebagai bukti kita menaati Allah. Jika kamu mengatakan bahwa kamu kurang tergerak dan tidak mempunyai desakan dari Roh Kudus, maka saya berkata bahwa hal ini tidak perlu didiskusikan lagi, karena belas kasihan atau memberikan kemurahan kepada orang lain adalah perintah Tuhan yang harus kita jalankan.

Ada dua macam sikap dalam menjalankan perintah Tuhan ini : pertama, rela; dan kedua kurang rela. Apakah orang yang kurang rela melakukan perintah ini boleh tidak melakukannya? Tidak rela pun harus tetap melakukannya. Mengapa? Karena ini suatu perintah; perintah yang berasal langsung dari Tuhan Allah. 

Perintah Allah adalah perintah yang harus kita jalankan, karena Dia adalah Allah. Ketika Allah menghendaki dan memerintahkan kepada kita agar hidup suci, maka sekalipun kita tidak suka hidup suci, kita harus hidup suci. Ketika Allah memerintahkan kita untuk mengabarkan Injil, sekalipun kita tidak suka mengabarkan Injil, kita harus tetap mengabarkan Injil. Dalam hal ini, sambil kita menjalankan, sambil meminta kepada Tuhan untuk menolong kamu dengan memberikan kelembutan dan kerelaan hati untuk melakukannya dengan ringan.

Hanya ada satu perbedaan antara orang yang rela dengan yang tidak rela menjalankan perintah Tuhan, yaitu : memikul salib yang tidak ada pahalanya atau tidak perlu memikul beban kelebihan itu. Waktu kita rela melakukan perintah Allah ini, kita akan merasa bebannya ringan. Waktu kita tidak rela, maka kita merasa salib terlalu berat, dan saat itu kita sedang memikul beban tambahan yang tidak ada pahalanya. 

Orang seperti itu adalah orang yang bodoh, yang terus menerus menjadikan dirinya tersiksa. Lebih baik kita jangan membantah. Kalau kita diikat karena Tuhan sekarang sedang menghukum kita, maka sekalipun kita melawan, tidak mungkin ikatan itu lepas, sebaliknya kulit tangan kita akan teriris-iris karena kita melawan. Jangan bodoh, jika Tuhan sudah memberikan perintah, kita harus menjalankannya meskipun kita tidak rela. Hal yang perlu kita lakukan adalah memohon kepada Tuhan untuk memberikan kerelaan sehingga beban itu terasa lebih ringan saat kita menjalankan perintah-Nya.

2. Menghormati Orang Lain

Kita harus berbelas kasihan dan simpati, karena kita belajar menghormati orang lain. Kalau hidup kita sangat berharga, apakah hidup orang lain tidak berharga? Kita sering beranggapan bahwa orang lain tidak perlu seenak dan senyaman kita. Kita mengatakan, “Oh, bagi dia itu sudah cukup,” Dia itu siapa? Kamu itu siapa? Kita bersikap bagaikan kita yang berhak mendapatkan sebanyak mungkin, menikmati segala sesuatu, sementara orang lain tidak memerlukannya dan tidak perlu mendapatkan kecukupan. Kalau kita harus makan tiga kali sehari, orang lain hanya cukup satu kali sehari. Kita perlu belajar menghargai orang lain. Kita harus menghormati orang lain, sehingga kita boleh mengerti apa yang sepatutnya dia dapatkan, bagaimana dia seharusnya diperlakukan, dan memberi apa yang seharusnya bisa kita berikan kepadanya.

Dalam hal ini, kita harus belajar dari Roma 13. Yang perlu dihormati, hormatilah dia. Yang perlu ditakuti, takutilah dia. Yang perlu diberi pajak, berikanlah kepada dia. Yang perlu diberi uang, berikanlah kepada dia. Ini adalah kewajiban manusia untuk menghargai manusia yang lain. Jika orang ini sepatutnya menerima kehormatan seperti demikian, saya menghormatinya tidak sampai pada taraf yang seharusnya, maka saya berutang hormat kepadanya, dan saya sedang berdosa.

Secara umum, dosa selalu dimengerti sebagai perbuatan aktif yang jahat yang kita lakukan. Tetapi Alkitab melihat dosa sebagai target yang belum pernah dicapai. Inilah perbedaan konsep manusia dengan konsep Tuhan Allah. Seluruh dunia hukum diberbagai negara telah gagal karena hal ini. Mereka hanya mengatakan bahwa dosa adalah pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan yang sudah ditulis, perbuatan aktif yang bisa dibuktikan, tetapi yang belum dikatakan atau dilakukan tidak bisa dianggap dosa. Sama seperti penyelidik PBB membuktikan bahwa di Irak tidak ditemukan adanya senjata pemusnah massal, tetapi mereka menambahkan satu kalimat, mereka tidak mengartikan bahwa senjata-senjata itu tidak ada, hanya saja belum terbukti.

Apa yang manusia pikir dan bisa lakukan berbeda dengan apa yang Allah pikirkan dan bisa lakukan. Manusia berfikir jika kita sudah melakukan dosa, maka kita berdosa, jika belum melakukan, maka belum berdosa. Tuhan Allah tidak mengatakan demikian. Bagi Tuhan, ketika kita belum mencapai apa yang seharusnya kita lakukan, kita sudah berdosa. Itulah arti asli kata “dosa” dalam bahasa Yunani; hamartia. 

Hamartia berarti belum mencapai atau meleset dari sasaran yang Tuhan tetapkan. Sasaran Tuhan demikian tinggi, dan ketika kita belum mencapai sasaran itu, kita berdosa. Dosa, berarti kita gagal atau belum mampu mencapai tujuan atau target yang telah Tuhan tetapkan. Dosa bukan dihitung dari sekedar kelakuan buruk atau tindakan-tindakan yang aktif untuk melakukan pelanggaran.

Oleh karena itu, salah besar jika orang Krsiten berkata bahwa sejak dia tidak merokok atau tidak marah-marah, atau tidak memukul istri lagi, maka dia sudah tidak berdosa lagi. Banyak orang Kristen berpikir, kalau dia sudah tidak berjudi lagi, tidak bermain perempuan, tidak merokok, maka dia sudah cukup baik dan tidak berdosa lagi. Itu bukan pengertian yang benar tentang dosa. Itu bukan arti yang sesungguhnya dari hamartia. 

Kita harus mengerti dengan tepat bahwa hamartia melihat dosa secara jauh lebih dalam dan lebih tinggi daripada yang manusia pikirkan. Berdasarkan pengertian yang benar tentang dosa (hamartia), maka kita segera menyadari kebenaran pernyataan Firman Tuhan, bahwa kita sekalian telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah (Roma 3:23). Kita mengalami kegagalan, kehilangan, kekurangan kemuliaan Allah, karena kita gagal dan tidak mampu mencapai standar yang Allah tetapkan bagi kita.

Ketika kita kurang menghormati orang yang patut dihormati, maka kita telah jatuh ke dalam dosa. Ketika kita kurang mengasihi orang yang seharusnya dikasihi, maka kita sudah berdosa. Ketika kita tidak memberikan gaji yang patut pada orang yang seharusnya menerimanya, maka kitapun telah berdosa. Di dalam konsep ini, setiap hari kita semua sedang berbuat dosa karena melakukan kurang dari apa yang seharusnya kita lakukan. Dengan demikian kita menyadari bahwa kita harus belajar menghormati orang lain. Kemurahan hati dan belas kasihan bisa kita pelajari melalui menghormati orang lain sesuai dengan kepatutan kehormatan yang harus diberikan kepadanya.

3. Intropeksi Kesusahan Sendiri

Ketiga, kita belajar mengasihani orang lain dan mengerti kesusahan orang lain melalui merenungkan kembali semua kesusahan dan penderitaan yang pernah kita alami. Jikalau kita mengingat bahwa dahulu kita pernah sudah dan sekarang kita melihat orang lain mengalami hal serupa, maka dengan kesadaran pengertian dan pengalaman itu, maka kita bukannya tidak memedulikan orang lain yang sedang mengalami kesusahan, tetapi kita akan bersimpati, mengerti; dengan mengingat kesusahan sendiri, kita pun dapat menghargai orang lain. 

Banyak orang tua mengerti hal ini pada waktu mendidik anak-anaknya, tetapi anehnya terhadap sesama, mereka tidak selalu memakai cara yang sama. Orang yang dipelonco tahu susahnya dipelonco, tetapi setelah selesai dipelonco, dia pun memelonco orang lain dengan cara yang lebih kejam lagi. Jarang ada orang yang dipelonco dan tahu penderitaan yang dia alami, lalu mulai memiliki belas kasihan dan tidak mau orang lain atau adik-adik kelasnya mengalami penderitaan yang dia alami, lalu mulai memiliki belas kasihan dan tidak mau orang lain atau adik-adik kelasnya mengalami penderitaan seperti yang dialaminya dulu. 

Kebanyakan orang menaruh dendam, ingin membalas, senang memberikan kesulitan dan kejahatan yang lebih besar kepada orang lain karena dia sendiri pernah mengalami kesusahan. Orang demikian adalah orang yang tidak baik. Apakah kita dulu pernah miskin luar biasa? Apakah sekarang kita mengatakan kepada anak kita bahwa, “Dulu papa makan nasi saja tanpa lauk, maka sekarang kamu pun harus makan beras jagung saja tanpa lauk?” Tidak demikian. Kebanyakan orang tua yang dahulu pernah hidup susah, dan sekarang sudah hidup enak, sekarang memberikan hidup yang seenaknya kepada anaknya sampai anaknya rusak, karena anaknya tidak pernah disiplin, dan tidak perlu mengalami kesusahan.

Sepuluh tahun yang lalu Ibu Mochtar Riady berbicara kepada saya dan menganjurkan agar kamar mandi anak tidak diberikan bathtub, karena anak kecil tidak boleh dibiasakan mandi tidur di dalam bak mandi. Kalau untuk orang dewasa boleh ada bak mandi sedemikian, tapi untuk kamar mandi anak lebih baik pakai pancuran (shower). Dengan demikian anak tidak dibiasakan berlama-lama mandi. Begitu banyak orang tua yang pernah susah, ketika mereka sudah sukses dan hidup enak, mereka membeli apa saja untuk anak mereka sampai anak itu menjadi rusak.

Hai kalian anak-anak orang kaya, kalian dalam keadaan bahaya sekali. Ketika kamu menjadi dewasa mungkin kamu akan menjadi orang yang kejam, orang yang tidak berprikemanusiaan, orang yang sangat tidak mengerti akan kesulitan orang lain, karena sejak kecil kamu tahunya hanya hidup enak. Banyak orang-orang agung pernah hidup susah, tetapi yang menjadikan mereka agung bukan karena mereka memaksakan kesusahan kepada orang lain. Mereka menjadi agung karena mereka mengerti kesusahan orang lain.

Pengalaman bisa berbicara dua macam. Pertama, kamu sudah mengalami kesusahan, biar orang lain lebih susah dari kamu supaya mereka juga mengalami apa itu kesusahan. Kedua, kamu sudah mengalami kesusahan, biar dengan demikian kamu mengerti kesusahan orang lain, tetapi juga mendidik mereka dengan baik. Apa yang menjadikan manusia agung? Apakah unsur-unsur yang menjadikan seseorang itu menjadi agung? Apakah orang yang dilahirkan dalam keluarga kaya bisa menjadi agung? Bisa. Adakah orang yang dilahirkan dalam keluarga miskin bisa menjadi agung? Banyak. Adakah orang yang dilahirkan dalam keluarga miskin menjadi jahat? Banyak juga. Maka semua kembali harus dilihat bukan dari sekedar latar belakang keluarganya, tetapi tergantung bagaimana pengalaman itu berbicara di dalam dirinya.

Banyak anak yang menjadi yatim piatu karena orang tuanya meninggal dan setelah dewasa menjadi perampok atau menjadi orang jahat. Tetapi ada juga anak yang telah menjadi yatim piatu sejak kecil, namun setelah dewasa dia membuka rumah yatim piatu untuk menampung anak-anak yang tidak mempunyai ayah dan ibu. Orang seperti ini adalah orang yang agung. Apa sebabnya? Pengalaman berbicara.

Pada saat pengalaman berbicara di dalam dirimu, kamu harus memperhatikan prinsip apa yang menjadi dalil dan kunklusi untuk membentuk karaktermu. Pada saat kamu sedang menyendiri, ketika kamu bertanya kepada dirimu sendiri, itu akan menentukan seluruh masa depanmu. Jika pada suatu saat kamu mengalami sakit keras. Setelah selesai sakit, kamu dengan air mata berbicara kepada dirimu sendiri, bahwa begitu susah dan menderitanya manusia kalau sakit, lalu akhirnya kamu mulai benci Tuhan Allah yang membuat tubuh menjadi sakit. Maka, saat itu kamu telah menjadi atheis karena kamu telah berbicara kepada diri sendiri. Kalimat-kalimat akibat pengalaman kamu berbicara kepada diri sendiri itulah yang membentuk hari depanmu.

Tetapi dipihak lain, ada orang lain yang sakit keras dan harus mencucurkan air mata karena sakit dan sangat menderita. Dia mengalami sendiri betapa menderitanya terkena penyakit. Setelah sembuh dia berdoa kepada Tuhan, minta diberi kekuatan untuk menolong orang-orang lain yang menderita karena sakit seperti yang pernah dialaminya dulu. Para janda, bagaimana kamu berbicara kepada dirimu? Orang-orang yang menderita sakit keras, yang cacat, yang diperlakukan tidak adil, yang diwarisi kesulitan yang besar kepada dirimu? 

Dalam hal ini kamu harus berhati-hati agar jangan dipakai setan. Pada saat-saat kritis di mana kamu berbicara, mintalah kekuatan agar Tuhan campur tangan. Ketika Tuhan campur tangan dengan cinta kasih, menggerakkan kamu, merangsang kamu, dan mengubah kamu, maka kamu akan berani berbicara kepada dirimu dengan tepat, dan kalimat-kalimat di mana kamu berbicara kepada dirimu itu akan membangun masa depanmu.

Saya sudah menjadi anak yatim pada usia tiga tahun. Ibu saya menjadi janda dan kami sekeluarga hidup penuh dengan kesulitan. Saya pernah empat puluh hari tidak makan. Saya pernah mengalami kemiskinan yang luar biasa. Saya pernah tidak bisa bayar uang sekolah. Saya pernah diusir. Sebelumnya saya bukanlah orang miskin, karena ayah saya adalah salah satu orang paling kaya di Asia Tenggara. Kenapa menjadi begini? Karena Tuhan mau memakai saya menjadi pendeta. 

Untuk bisa menjadi hamba-Nya, saya harus dilatih di luar sekolah theologi. Yang saya terima dari sekolah theologi hanya pengetahuan beberapa tahun. Tetapi pendidikan yang saya terima dari Tuhan Allah sendiri diberikan sejak kecil selangkah demi selangkah, dipukul, dihajar, didorong, dirangsang, dipacu, dan dibentuk dengan kesulitan luar biasa besar, itulah yang mengakibatkan saya memiliki karakter demikian.

Kita tidak boleh lupa bahwa pembentukan karakter sangat membutuhkan campur tangan Tuhan sendiri pada saat kita sedang berbicara kepada diri kita. Bagaimana kita dapat berbicara kepada diri kita sendiri dengan benar, dan pada waktu kita menentukan sesuatu, biarlah Tuhan sendiri yang campur tangan dalam pengalaman itu, membuat kita bisa menjadi orang yang mengasihi orang lain, bersimpati, penuh belas kasihan, penuh kemurahan kepada orang lain. Selain kita menjalankan perintah Tuhan dan kita menghormati orang lain, kita tidak boleh melupakan bahwa ada pengalaman pribadi yang di dalamnya campur tangan Tuhan mengubah kita untuk mengerti orang lain.

Penutup

Ada seorang jemaat saya yang menderita penyakit kanker yang ganas sekali. Dia harus mengalami perawatan yang membuatnya sangat menderita. Pengobatan yang dijalaninya begitu menyakitkan, dan membuat kesengsaraan di dalam hari-harinya. Tetapi bagi saya, dia adalah salah seorang wanita yang paling kuat menanggung kesakitan dan kesusahan, serta berusaha untuk bisa tetap ceria dan penuh sukacita. Setiap kali saya bertemu dengannya, mukanya sama, selalu penuh dengan pengharapan dan syukur. Suatu saat jemaat itu dipanggil oleh dokternya di Singapura, bukan disuruh untuk kontrol, tetapi diminta untuk memberitakan injil kepada seorang penderita kanker yang sudah putus asa. Dokter itu meminta bantuan jemaat itu untuk menguatkan pasien tersebut. 

Dengan demikian, jemaat yang sakit kanker ini telah menjadi berkat, bukan saja bagi dokter itu, tetapi juga bagi pasien-pasien lainnya. Orang melihat dia sebagai seorang Kristen reformed yang begitu tabah menghadapi kesulitan dan penderitaan dalam kehidupannya. Dia mempunyai kekuatan yang begitu ajaib, dan dengan demikian dia menjadi orang yang bisa menasihati pasien lain yang sudah putus asa. Itulah pernyataan kemuliaan Tuhan.

Dalam kehidupan, saya berusaha untuk mau mendengar firman yang diberitakan dengan keras, dan juga mau berusaha mengerti prinsip-prinsip Alkitab yang sangat ketat. Pada saat harus mengalami sakit, saya berusaha tidak mengeluh dan tidak mencela Tuhan. Semua pengalaman itu berbicara kepada diri saya. Pengalaman divonis empat kali penyakit kanker membuat saya semakin lama semakin kuat.

Setiap kita memiliki pengalaman yang berbeda-beda, dan pasti kita pernah mengalami pengalaman-pengalaman pahit tersebut tidak menjadi alasan bagi kita untuk menghina diri, membunuh diri, mengejek diri, atau menginjak diri. Pengalaman pahit dapat menjadi sarana untuk menguatkan, melengkapi, menyempurnakan, dan menggenapkan kehendak Allah dalam diri kita untuk menjadi seorang yang agung. Di sini pengalaman pahit menjadi seorang suatu sharing yang manis bagi orang lain, dan kelemahan menjadi kekuatan untuk mendorong orang lain. 

Dengan demikian, kita belajar bagaimana mengasihi orang lain. Bukan saja demikian, kita harus belajar dari sejarah dan dari para teladan, khususnya Yesus Kristus, bagaimana menghadapi sesama ketika Dia berada di dalam dunia. Jika kita bisa bersimpati kepada orang yang berada dalam kesusahan, itu membuat kita menjadi agung. Simpati bukan berarti banyak bicara, tetapi memberikan kesadaran kepada orang yang mengalami kesusahan itu bahwa kita hadir bersamanya, dan kehadiran kita itu menjadi suatu pendampingan eksistensi yang tidak bisa digantikan oleh orang lain.

Baca Juga: 4 Keinginan Dan Kerinduan Orang Kristen

Ketika Ayub dicobai oleh iblis, yang sekaligus menjadi ujian Allah baginya, di seluruh tubuhnya tumbuh bisul. Sebelum itu, seluruh hartanya musnah, semua anak-anaknya meninggal, dan istrinya menghina dia dan memarahi dia, menganggap bahwa percuma mencintai Tuhan. Sulit bagi kita untuk membayangkan ada orang yang harus mengalami penderitaan sedemikian dasyat dalam hidupnya. Ini adalah suatu penderitaan eksistensial yang sulit ditandingi. 

Pada saat seperti itu, ketiga kawan Ayub datang. Mereka tidak memaki, tidak menghibur, tidak berbicara sepatah kata pun pada Ayub. Mereka datang dari tempat jauh dan duduk diam mendampingi dia selama tujuh hari tujuh malam tanpa berbicara. Saya kira, inilah sikap yang terbaik untuk menghibur orang lain. Saat seperti itu, tidak perlu kita terlalu banyak memarahi, menasehati, atau bahkan menghibur. Bukan anjuran yang dibutuhkan, bukan banyak bicara yang dibutuhkan, tetapi simpati yang sesungguhnya, tanpa kata. Dia merasakan kita mendampingi dia, merasakan penderitaannya, dan kita duduk bersamanya. Inilah simpati yang sesungguhnya.

Kiranya Tuhan terus boleh menyucikan emosi kita, menjadi seorang Krsiten Reformed dengan simpati yang benar dihadapan Tuhan dan menjadi berkat bagi sesama. Amin.
Next Post Previous Post