3 ASPEK DOSA (STATUS, HABITUS DAN ACTUS)
Pengertian aspek disini adalah apa saja yang merupakan sisi-sisi yang kelihatan atau pemunculan, pada dosa yang sangat mempengaruhi manusia berdosa. Kejatuhan manusia dalam dosa telah meracuni setiap kemampuan manusia, sehingga seluruh keberadaan manusia ternoda dosa. Pikiran manusia yang menolak kebenaran Allah (1 Korintus 2:14); Perasaan telah tumpul sehingga tidak sensitif lagi terhadap dosa (Efesus 4:19); Perkataan dan perbuatan penuh dengan dosa (Roma 3:13-16).
Hati manusia adalah hati yang licik (Yeremia 17:9). Keberdosaan manusia bukan hanya untuk pelanggaran yang terlihat tetapi bahkan yang tidak terlihat (Matius 5:21-22; 27-28). Jadi seluruh aspek hidup manusia telah jatuh ke dalam dosa Dalam hal ini akan dibahas aspek dosa sebagai status, habitus dan aktus.
1. Dosa Sebagai Status
Secara status, sejak Adam dan Hawa, dosa sudah ada di hadapan manusia, tentunya sebagai akibat dari kejatuhan mereka. Manusia adalah makhluk yang berdosa dan karena itu sekaligus seteru Allah. Dikatakan bahwa semua manusia telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah (Roma 3:23).
Stephen Tong melihatnya dan mengatakannya ”sebagai pergeseran dari status yang seharusnya. Pergeseran status itu sendiri adalah pokok dan sumber dari segala macam dosa yang mungkin diperbuat oleh umat manusia”. Ada pendapat yang mengemukakan bahwa bayi yang lahir itu seperti kertas yang putih. Akan jadi apa kertas itu nantinya tergantung dari yang menulis dan yang menggambar di atasnya. Pandangan tersebut adalah pandangan yang salah.
Jika manusia berdosa sejak dari kandungan, berarti ketika manusia dilahirkan sebagai bayi, ia pun telah berdosa. Status keberdosaan dengan sendirinya melekat kepada setiap manusia yang hidup di bumi dan tidak bisa lepas, selama Allah sendiri tidak melepaskannya.
Berkhof menyimpulkannya dengan mengatakan: Dosa ini disebut sebagai ”dosa asal” karena diperoleh dari akar mula-mula umat manusia; karena dosa ini ada dalam hidup manusia secara individu sejak ia mulai dilahirkan dan dengan demikian tidak dapat dianggap sebagai hasil dari peniruan; dan arena dosa ini adalah akar yang terdalam dari semua dosa sesungguhnya yang mengotori seluruh hidup manusia.
Status ini pun diikuti oleh rasa bersalah yang nyata, konkrit, dan objektif. Seorang terpidana tetaplah seorang terpidana sampai hakim memutuskan bahwa ia tidak lagi menjadi terpidana, atau ia telah memenuhi tuntutan hukum yang dibebankan kepadanya. Setiap manusia yang berdosa tetap harus mempertanggungjawabkan keberdosaannya di hadapan Allah karena secara legal telah menyeleweng dari standar legal yang telah ditetapkan Allah.
Itu sebabnya, manusia oleh naturnya telah memiliki keinginan yang tidak dapat ditahan untuk senantiasa membeloknya ke arah yang jahat. Ia tak mampu mencari dan mencintai kesempurnaan spiritual, mencari dan melakukan hal-hal spiritual, hal-hal yang berasal dari Allah yang menuju kepada keselamatan.
2. Dosa Sebagai Habitus
Dunia tempat manusia dilahirkan adalah dunia yang telah berdosa. Lingkungan tempat manusia dilahirkan ada dalam kondisi berdosa. Hal ini juga memungkinkan semua manusia memiliki kecenderungan berdosa dan kecenderungan berbuat jahat. Kondisi keberdosaan juga menyebabkan manusia menularkan kebiasaan berdosa yang semuanya membawa kebobrokan. Bergaul dengan orang fasik/jahat akan menyebabkan orang juga menjadi fasik (Amsal 11:9).
Hati manusia adalah hati yang licik (Yeremia 17:9). Keberdosaan manusia bukan hanya untuk pelanggaran yang terlihat tetapi bahkan yang tidak terlihat (Matius 5:21-22; 27-28). Jadi seluruh aspek hidup manusia telah jatuh ke dalam dosa Dalam hal ini akan dibahas aspek dosa sebagai status, habitus dan aktus.
1. Dosa Sebagai Status
Secara status, sejak Adam dan Hawa, dosa sudah ada di hadapan manusia, tentunya sebagai akibat dari kejatuhan mereka. Manusia adalah makhluk yang berdosa dan karena itu sekaligus seteru Allah. Dikatakan bahwa semua manusia telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah (Roma 3:23).
Stephen Tong melihatnya dan mengatakannya ”sebagai pergeseran dari status yang seharusnya. Pergeseran status itu sendiri adalah pokok dan sumber dari segala macam dosa yang mungkin diperbuat oleh umat manusia”. Ada pendapat yang mengemukakan bahwa bayi yang lahir itu seperti kertas yang putih. Akan jadi apa kertas itu nantinya tergantung dari yang menulis dan yang menggambar di atasnya. Pandangan tersebut adalah pandangan yang salah.
Jika manusia berdosa sejak dari kandungan, berarti ketika manusia dilahirkan sebagai bayi, ia pun telah berdosa. Status keberdosaan dengan sendirinya melekat kepada setiap manusia yang hidup di bumi dan tidak bisa lepas, selama Allah sendiri tidak melepaskannya.
Berkhof menyimpulkannya dengan mengatakan: Dosa ini disebut sebagai ”dosa asal” karena diperoleh dari akar mula-mula umat manusia; karena dosa ini ada dalam hidup manusia secara individu sejak ia mulai dilahirkan dan dengan demikian tidak dapat dianggap sebagai hasil dari peniruan; dan arena dosa ini adalah akar yang terdalam dari semua dosa sesungguhnya yang mengotori seluruh hidup manusia.
Status ini pun diikuti oleh rasa bersalah yang nyata, konkrit, dan objektif. Seorang terpidana tetaplah seorang terpidana sampai hakim memutuskan bahwa ia tidak lagi menjadi terpidana, atau ia telah memenuhi tuntutan hukum yang dibebankan kepadanya. Setiap manusia yang berdosa tetap harus mempertanggungjawabkan keberdosaannya di hadapan Allah karena secara legal telah menyeleweng dari standar legal yang telah ditetapkan Allah.
Itu sebabnya, manusia oleh naturnya telah memiliki keinginan yang tidak dapat ditahan untuk senantiasa membeloknya ke arah yang jahat. Ia tak mampu mencari dan mencintai kesempurnaan spiritual, mencari dan melakukan hal-hal spiritual, hal-hal yang berasal dari Allah yang menuju kepada keselamatan.
2. Dosa Sebagai Habitus
Dunia tempat manusia dilahirkan adalah dunia yang telah berdosa. Lingkungan tempat manusia dilahirkan ada dalam kondisi berdosa. Hal ini juga memungkinkan semua manusia memiliki kecenderungan berdosa dan kecenderungan berbuat jahat. Kondisi keberdosaan juga menyebabkan manusia menularkan kebiasaan berdosa yang semuanya membawa kebobrokan. Bergaul dengan orang fasik/jahat akan menyebabkan orang juga menjadi fasik (Amsal 11:9).
Seseorang yang dibesarkan dan tinggal dalam lingkungan yang jahat akan mudah untuk jatuh dalam kejahatan, apalagi pada dasarnya ia juga sudah jahat. Jika demikian, tidak seorang manusia pun dapat lolos dari dosa.
Itu berarti bahwa dosa adalah sesuatu yang lebih dari sekedar suatu ketidaktaatan, Richard J. Foster mengatakan: Kita telah terbiasa untuk berpikir tentang dosa sebagai perbuatan ketidaktaatan individual terhadap Allah. Memang pernyataan ini ada kebenaran juga, tetapi di Alkitab dosa bukan sekedar ketidaktaatan.
Baca Juga: Jalan Dari Dosa Dan Kematian Dari Allah
Itu berarti bahwa dosa adalah sesuatu yang lebih dari sekedar suatu ketidaktaatan, Richard J. Foster mengatakan: Kita telah terbiasa untuk berpikir tentang dosa sebagai perbuatan ketidaktaatan individual terhadap Allah. Memang pernyataan ini ada kebenaran juga, tetapi di Alkitab dosa bukan sekedar ketidaktaatan.
Baca Juga: Jalan Dari Dosa Dan Kematian Dari Allah
Dalam kitab Roma, Rasul Paulus sering menunjukan dosa sebagai suatu keadaan yang mengganggu umat manusia (mis. Roma 3:9-18). Sebagai suatu keadaan, dosa bekerja melalui anggota-anggota tubuh; yaitu kebiasaan-kebiasaan yang telah mendarah daging dalam tubuh (Roma 7:5). Tidak ada perbudakan lain yang dapat dibandingkan dengan perbudakan kebiasaan-kebiasaan dosa yang mendarah daging.
3. Dosa Sebagai Actus
Dosa adalah sesuatu yang sifatnya adalah pribadi. Artinya, dosa merupakan sesuatu yang dilakukan manusia secara pribadi. Manusia selalu melakukan dosa secara aktif. Itulah sebabnya semua manusia memiliki pengalaman berbuat dosa. Semua tindakan manusia selalu menuju kepada pelanggaran terhadap ketetapan Allah.
Itu sebabnya Yohanes 8:34b “setiap orang yang berbuat dosa adalah hamba dosa”. Istilah ‘hamba’ perlu ditekankan di sini. Dengan manusia dinyatakan sebagai ‘hamba dosa’, itu jelas menunjukkan bahwa ia selalu atau terus menerus menuruti dosa, dan tidak bisa berbuat baik. Ini dinyatakan secara lebih jelas oleh Roma 6:16-17, 20-21.
Secara khusus Roma 6: 20 yang berbunyi: “Sebab waktu kamu hamba dosa, kamu bebas dari kebenaran”. Istilah ‘bebas dari kebenaran’ itu jelas menunjukkan bahwa manusia berdosa itu tidak bisa berbuat apapun yang benar. Perbuatan dosa harus dipertanggungjawabkan kepada Allah secara pribadi.
Sebenarnya hal ini adalah apa yang telah diketahui oleh semua orang, seperti tanggapan terhadap persitiwa yang telah terjadi di desa Jambo Dalam, Kecamatan Plimbang, Bireuen, Aceh. Bentrokan berdarah terjadi antara warga karena berbeda keyakinan itu. Satu pihak menuduh pihak lain telah menyebarkan aliran sesat, pihak yang dituduh melakukan pembelaan karena meyakini kebenaran ajaran yang dipercayai itu, mereka nyaman dalam menjalankan ibadahnya. Akibat bentrokan itu, tiga orang meninggal dunia, sepuluh orang lainnya menderita luka parah, satu unit rumah turut hangus dibakar massa.
Kompasiana memuat artikel yang mengatakan: Kalau tidak percaya, jangan marah. Kalau berbeda kepercayaan, jangan memaksa, apalagi saling menyerang sampai berkorban nyawa. Kalau dia salah, dialah yang dosa dan kalau dia benar, dialah yang dapat pahala. Keyakinan atau kepercayaan adalah hal yang pribadi, dan tidak ada dasarnya untuk saling mencela, saling memaksa, apalagi sampai memutuskan hubungan persaudaraan.
Baca Juga: Pandangan Alkitab Tentang Dosa Asal (Original Sin)
Kenapa saling menyalahkan karena perbedaan kepercayaan itu, cobalah bertanya apakah telah pernah menyampaikan kebenaran yang dipercaya atau diyakini itu, kalau belum, wajar saja bilamana terjadi berbeda keyakinan, Kalau dianalogkan, salahkah bila ada pihak yang belum saling kenal, tetapi salah satu pihak telah mencintai dan dicintai pihak lain ? Tentu saja tidak salah, kenal saja belum, apalagi pendekatan, Lalu kenapa uring-uringan bilamana si dia yang dicintai telah memilih orang lain sebagai tambatan hatinya?
Jadi ketika seseorang berbuat dosa maka itu adalah keputusan dan pilihannya secara pribadi, dilakukan dalam kehendak dan pengetahuan akan akibat dan konsekuensi yang akan ditanggung atau dipikulnya
3. Dosa Sebagai Actus
Dosa adalah sesuatu yang sifatnya adalah pribadi. Artinya, dosa merupakan sesuatu yang dilakukan manusia secara pribadi. Manusia selalu melakukan dosa secara aktif. Itulah sebabnya semua manusia memiliki pengalaman berbuat dosa. Semua tindakan manusia selalu menuju kepada pelanggaran terhadap ketetapan Allah.
Itu sebabnya Yohanes 8:34b “setiap orang yang berbuat dosa adalah hamba dosa”. Istilah ‘hamba’ perlu ditekankan di sini. Dengan manusia dinyatakan sebagai ‘hamba dosa’, itu jelas menunjukkan bahwa ia selalu atau terus menerus menuruti dosa, dan tidak bisa berbuat baik. Ini dinyatakan secara lebih jelas oleh Roma 6:16-17, 20-21.
Secara khusus Roma 6: 20 yang berbunyi: “Sebab waktu kamu hamba dosa, kamu bebas dari kebenaran”. Istilah ‘bebas dari kebenaran’ itu jelas menunjukkan bahwa manusia berdosa itu tidak bisa berbuat apapun yang benar. Perbuatan dosa harus dipertanggungjawabkan kepada Allah secara pribadi.
Sebenarnya hal ini adalah apa yang telah diketahui oleh semua orang, seperti tanggapan terhadap persitiwa yang telah terjadi di desa Jambo Dalam, Kecamatan Plimbang, Bireuen, Aceh. Bentrokan berdarah terjadi antara warga karena berbeda keyakinan itu. Satu pihak menuduh pihak lain telah menyebarkan aliran sesat, pihak yang dituduh melakukan pembelaan karena meyakini kebenaran ajaran yang dipercayai itu, mereka nyaman dalam menjalankan ibadahnya. Akibat bentrokan itu, tiga orang meninggal dunia, sepuluh orang lainnya menderita luka parah, satu unit rumah turut hangus dibakar massa.
Kompasiana memuat artikel yang mengatakan: Kalau tidak percaya, jangan marah. Kalau berbeda kepercayaan, jangan memaksa, apalagi saling menyerang sampai berkorban nyawa. Kalau dia salah, dialah yang dosa dan kalau dia benar, dialah yang dapat pahala. Keyakinan atau kepercayaan adalah hal yang pribadi, dan tidak ada dasarnya untuk saling mencela, saling memaksa, apalagi sampai memutuskan hubungan persaudaraan.
Baca Juga: Pandangan Alkitab Tentang Dosa Asal (Original Sin)
Kenapa saling menyalahkan karena perbedaan kepercayaan itu, cobalah bertanya apakah telah pernah menyampaikan kebenaran yang dipercaya atau diyakini itu, kalau belum, wajar saja bilamana terjadi berbeda keyakinan, Kalau dianalogkan, salahkah bila ada pihak yang belum saling kenal, tetapi salah satu pihak telah mencintai dan dicintai pihak lain ? Tentu saja tidak salah, kenal saja belum, apalagi pendekatan, Lalu kenapa uring-uringan bilamana si dia yang dicintai telah memilih orang lain sebagai tambatan hatinya?
Jadi ketika seseorang berbuat dosa maka itu adalah keputusan dan pilihannya secara pribadi, dilakukan dalam kehendak dan pengetahuan akan akibat dan konsekuensi yang akan ditanggung atau dipikulnya