EKSPOSISI MATIUS 22:37-40 (SPIRITUALITAS KRISTEN)

Pendahuluan

Spiritualitas Kristen dalam Matius 22:37-40 

Spiritualitas Kristen harus dirumuskan dalam koridor prinsip atau esensi (being) dan praksis (doing). Apa yang dipercaya bermuara kepada apa yang dikerjakan. Dalam koridor tersebut, spiritualitas dipahami sebagai menyatunya apa yang dipercayai (inward) dan apa yang dilakukan (outward). Apa yang dipercayai berkaitan dengan relasi antara manusia dengan Allah dan relasi dengan sesama manusia. Hidup bersama Allah yang diekspresikan melalui dan di dalam hidup dengan Allah dan sesama.
EKSPOSISI MATIUS 22:37-40 (SPIRITUALITAS KRISTEN)
bisnis, otomotif, gadget
Berikut ini spiritualitas Kristen dalam Matius 22:37-40 sebagai pola hidup Kristiani:

1. Mengasihi Allah

Sebagaimana yang penulis singgung di atas, bahwa spiritualitas Kristen bukanlah spiritualitas sekuler tanpa Allah, melainkan berkaitan dengan Allah secara mutlak. Spiritualitas Kristen secara mutlak berawal dan berdasar pada kasih Allah. Relasi itu sifatnya eksistensial dalam kehidupan manusia. Relasi yang hanya mungkin karena Allah terlebih dahulu menyatakan diri-Nya kepada manusia melalui Yesus Kristus. Dalam Matius 22:37-40 di atas, Tuhan Yesus mengatakan bahwa orang percaya harus mengasihi Allah terlebih dahulu dengan segala keberadaan dirinya.

Kata “agapao” ini kontras dengan emosi, kasih sayang yang lembut (phileo) dan kasih secara fisik (eros). Kata “agapao” dalam bahasa Ibrani menggunakan kata “aheb” dalam Ulangan 6:5, yang menunjuk pada kasih yang mengetahui dan memilih untuk mengikuti apa yang benar. Sehingga frase ini memiliki arti mengasihi Tuhan tanpa syarat.

Dengan kata lain, dia harus mengasihi Allah secara total, bukan setengah-setengah. France memberikan komentar tentang mengasihi Allah sebagai berikut:“Hearth, soul and mind are not different “parts” of man, but different ways of thinking of the whole man in his relation to God; no clear distinction can be drawn between them… The three nouns together indicate the essential nature of man, his ultimate, fundamental loyalty, not just a superficial allegiance.”

Dari pernyataan France di atas, dapat disimpulkan bahwa frase “mengasihi Allah dengan segenap hati, segenap jiwa dan segenap akal budi” menegaskan keutuhan manusia untuk mengasihi Allah. Kata “hati”, “jiwa” dan “pikiran” tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena Matius menggunakan ketiga kata itu untuk mempertegas keutuhan pribadi manusia untuk mengasihi Allah.

Penggunaan kata “agapao” pada ayat 37 ini, Kenneth S. Wuest mengatakan: “Agapao speaks of a love which is awakened by a sense of value in an object with causes one to prize it. It springs from an apprehension of the preciousness of an object. It is a love of esteem and approbation. The quality of this love os determined by the character of the one who loves, and that of the object loved.”

Dalam ayat 37 ini terdapat 3 kali kata “segenap” (whole). Kata ini menegaskan bahwa mengasihi Allah harus dengan totalitas eksistensi orang percaya sebagai manusia yang telah dibenarkan oleh korban Kristus di kayu salib. Perintah untuk mengasihi merupakan sebuah panggilan sebagai komitmen sukarela kepada Allah yang bersifat pribadi, komprehensif, dan sepenuh hati.

Hal ini ditekankan dengan pengulangan kata “dengan” yang menunjukkan sumber, “semua”, “kamu” (bentuk singular) serta berbagai istilah yang berkaitan dengan kepribadian manusia - hati (pusat kendali), jiwa (kehidupan sadar diri), pikiran (kapasitas berpikir), dan kekuatan (kekuatan fisik).

Teks Ibrani tidak menyebutkan "pikiran", sedangkan teks dalam Septuaginta menghilangkan kata "hati", tetapi Yesus memasukkan kedua istilah tersebut untuk menekankan sifat komprehensif dari perintah. Dengan aspek-aspek penting kasih, pengetahuan yang tepat dan penuh kasih dapat dipamerkan ketika seseorang mengasihi Allah. Dalam hal mengasihi Allah, seseorang menunjukkan bahwa ia dikenal oleh Allah dan Allah mengenalnya sebagai milik-Nya. Dengan demikian dia memiliki pengetahuan yang benar (ayat 3).

Singkatnya, orang yang melihat Allah, berpikir tentang Allah sepanjang waktu, pikirannya terus tertuju kepada Allah, mengakui Dia dalam segala jalannya. Dia memulai segala sesuatu untuk kemuliaan Allah. Mereka inilah yang mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa, kekuatan, dan akal budi.

2. Mengasihi Sesama

Setelah Yesus mengajari hukum yang terutama yaitu mengasihi Allah dengan segenap hati, segenap jiwa dan segenap akal budi, selanjutnya Yesus mengatakan: ”Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (ayat 39). Alkitab New International Version menerjemahkan ayat ini sebagai berikut: “and the second is like it” (dan yang kedua yang mirip/sama dengan itu).

Frase ini memiliki arti yang tidak jauh berbeda dengan frase “mengasihi Tuhan” di atas, yaitu mengasihi sesama dengan kasih tanpa syarat pula.24 Ayat 39 ini dikutip dari Imamat 19:18 yang tertulis: “Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri; Akulah Tuhan.”

Hal ini berarti bahwa tindakan mengasihi Allah dan sesama adalah dua hal yang sama dan harus dilakukan oleh orang percaya. Sebab orang yang mengasihi Allah harus memiliki kasih juga kepada sesama, sebaliknya barangsiapa yang tidak mengasihi sesama maka ia tidak memiliki kasih kepada Allah juga (1 Yohanes 4:20-21).

R. T. France menyimpulkan bahwa kata “sesama” dalam ayat 39 bukan hanya berarti sesama orang Israel sebagaimana yang tertulis dalam kitab Imamat 19:18, tetapi termasuk “musuh”. A. Plummer mengatakan: “The commandment to love was not new… But the motive is new, to love our neighbour because Christ has loved us.” 

Mengasihi sesama itu bukan hanya pada sesama orang Yahudi saja, melainkan kepada semua orang. Yesus menegur kasih yang dimiliki oleh orang Farisi dan Ahli Taurat pada waktu itu. Mereka memiliki tendensi untuk mengasihi hanya orang-orang yang mereka sukai saja atau orang Yahudi saja. Mengenai hal itu, John MacArthur mengatakan: “Just as the Pharisees had no genuine love for God, neither did they have genuine love even for their Jewish neighbor, not to mention their Gentile neighbor.”

Dalam Perjanjian Baru, Yesus menggabungkan perintah kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama manusia, tetapi melangkah lebih jauh dengan menekankan kewajiban untuk mengasihi musuh juga (Matiua 5:43-46). Kehidupan spiritualitas setiap pribadi orang percaya mendapat konteksnya di dalam sebuah komunitas orang percaya. 

Kehidupan spiritualitas yang dihidupi secara sendirian dan terisolasi dari sebuah komunitas adalah bukan manifestasi kehidupan spiritualitas Kristen yang benar. Karena kehidupan spiritualitas yang seperti itu dapat memunculkan sikap egois, sombong, serta memunculkan sikap ketidakpedulian terhadap sesamanya. Kasih tidak dapat diekspresikan jika tanpa adanya komunitas; dan kasih yang tidak diekspresikan maka kasih itu tidak berfungsi.

Spiritualitas Kristen Menurut Matius 22:37-40 Sebagai Pola Hidup Kristiani


Menurut William Barclay, bagi seseorang yang percaya, ia sekaligus mempunyai dua macam kewajiban: secara vertikal, the obligation to God; secara horizontal, the obligation to our fellow-men. Ia menambahkan bahwa mengasihi Allah adalah dasar seorang anak Tuhan untuk mengasihi sesamanya. Senada dengan pernyataan tersebut, Norman L. Geisler mengatakan bahwa mengasihi Tuhan adalah tanggung jawab vertikal orang percaya dan mengasihi sesama adalah tanggung jawab horizontal orang percaya.

Kedua spiritualitas itu adalah kehidupan spiritualitas yang dicirikan dengan persekutuan yang intim di dalam kehidupan pribadi orang percaya bersama dengan Allah dan kehidupan spiritualitas yang ada di dalam komunitas orang percaya dengan sesamanya. Kedua perwujudan ini tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Mereka adalah saling menyatu, memperkaya, dan mengisi satu sama lainnya. Keduanya merupakan kesatuan yang utuh dan penuh yang butuh diekspresikan di dalam kehidupan orang-orang percaya

a. Mempercayai Allah

Seseorang yang mengaku mengasihi Allah, ia harus memiliki iman kepada Allah. Penulis surat Ibrani menuliskan, “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat (Ibrani 11:1).”

Ayat ini menegaskan bahwa orang Kristen beriman hanya kepada Allah berdasarkan janji-janji-Nya. Dasar iman orang Kristen adalah Allah dan janjijanji-Nya yang tidak dapat dan tidak pernah berubah. Firman Allah yang tidak pernah berubah tersebut juga menjadi bukti iman orang Kristen. Leon Morris berpendapat, “Faith enable us to know that they exist and, while we have no certainty apart from faith, faith does give us genuine certainty. To have faith is to be sure of the things we hope for

Yesus banyak berbicara tentang iman. Ia menyembuhkan para pengikut-Nya yang memiliki iman (Markus 2:5; 10:52; Lukas 5:20; 7:50) dan menegur orang-orang yang tidak mempunyai cukup iman (Matius 6:30). Alkitab menegaskan bahwa iman sangat diperlukan. Iman yang diperlukan bagi keselamatan orang percaya bukan merupakan lompatan membabi-buta ke dalam kegelapan, melainkan berpegang pada satu hal yang benar-benar dapat diyakini, yaitu kasih Allah kepada manusia.31 Dengan demikian, orang percaya harus memiliki pengenalan yang benar tentang Allah sebagai bukti bahwa ia mengasihi Allah. Mengenal Allah dengan benar adalah dasar untuk seseorang mempercayai Allah.

Orang yang mengenal Allah akan memiliki komitmen khusus untuk hidup bagi Allah (Filipi 1:21, 27) dan hidup dalam kebenaran. Ia juga memiliki gairah dan kehausan untuk selalu bersekutu dan dekat dengan Allah (Mazmur 42). Ia juga akan memiliki kebanggaan dan kekaguman yang besar akan segala keberadaan dan kesetiaan Allah, mengetahui dan menyadari bahwa segala sesuatu berasal dari Allah (Yeremia 9:23-24; 1 Taw. 29).

Sehingga orang yang mengasihi Allah harus mengenal Allah terlebih dahulu dan memiliki iman kepada Allah. Seseorang yang tidak mempercayai Allah tidak mungkin mengaku bahwa ia mengasihi Allah. Mempercayai Allah berarti percaya dengan segenap hati bahwa Allah mengasihi, memelihara, dan memperhatikan segala kebutuhan umat-Nya.

b. Mentaati Allah

Yohanes menuliskan dalam 1 Yohanes 5:2: “Inilah tandanya, bahwa kita mengasihi anakanak Allah, yaitu apabila kita mengasihi Allah serta melakukan perintah-perintah-Nya” (bdk. Yohanes 14:15, 21-24; Ulangan 5:8-10; 1 Yohanes 3:22-23). Alkitab dengan tegas mengatakan bahwa orang yang mengasihi Allah pasti menuruti perintah-perintah Allah. Menaati perintah-perintah-Nya berarti membaca dan mengerti Alkitab, kemudian memutuskan untuk hidup tepat seperti yang diajarkan Alkitab. Setiap orang percaya bisa hidup sesuai dengan kehendak Allah dengan mengerti apa yang dikehendaki oleh perintah Allah lalu sedikit demi sedikit membiarkan pengertian itu menguasai tindakan-tindakan orang percaya

Ini merupakan proses bersama. Allah telah memberi manusia kemauan bebas sehingga bisa berkata “ya” atau “tidak” terhadap apa yang benar sekalipun. Tetapi Allah menolong orang percaya untuk mengatakan “ya” melalui pekerjaan Roh Kudus. Seseorang tidak bisa hanya duduk dan tidak melakukan apa-apa dan mengharapkan Allah untuk menyucikan kita oleh Roh-Nya.

Di pihak lain, dengan kekuatan sendiri, orang Kristen tidak bisa memutuskan untuk melakukan segala sesuatu yang benar dan menaati perintah-perintah Allah. Allah bekerja di dalam diri semua anak-Nya, dan anakNya harus berusaha sebaik-baiknya untuk bekerja sama dalam apa yang sedang Allah lakukan.

Seorang Kristen harus menumbuhkan dan memelihara suatu hasrat akan kekudusan, suatu hasrat untuk menjadi seperti Yesus. Hasrat akan kekudusan bukan saja akan menghasilkan satu hasrat untuk mengetahui kebenaran, tetapi juga untuk melakukan kebenaran. Allah memberikan banyak rahasia kekudusan kepada manusia secara umum dan orang percaya secara khusus melalui FirmanNya yaitu Alkitab. Salah satu tujuan dari Alkitab adalah untuk menunjukkan kepada umat pilihan Allah bagaimana menempuh kehidupan yang berkenan dan menyenangkan Dia.

Charles Coslon mengatakan bahwa ketaatan kepada Kristus adalah soal dua puluh empat jam sehari. Orang Kristen tidak bisa memakai Dia lalu melepaskan-Nya seperti pakaian. Dia harus membiarkan Allah bekerja dalam hidupnya dan dengan demikian, dia akan melihat ketaatan menjadi reaksi yang timbul dengan sendirinya. Dia harus terus menerus mencari kekuatan dan bimbingan Allah dalam hidupnya karena Allah memberikan akal budi untuk menaati Kristus dan merenungkan pengajaran-Nya. Secara praktis, orang Kristen hendaknya memulai ketaatan setiap hari dengan berkata, “Aku ingin kehendak Allah berlaku atas hidupku hari ini

c. Beribadah Kepada Allah

Orang yang memiliki kasih kepada Allah juga ditunjukkan dengan kesukaan hatinya beribadah kepada Allah. Ibadah yang tidak melibatkan kasih kepada Allah adalah ibadah yang pernah ditawarkan oleh berhala-berhala Athena di mana Paulus menemukan sebuah altar penyembahan yang ditujukan kepada “Allah yang tidak dikenal” (Kisah Para Rasul 17:23).

John Stott mengatakan: “Tetapi tidak demikian dengan kekristenan.” Rasul Paulus tidak bisa meninggalkan orang-orang Athena yang berada dalam ketidaktahuan mereka. Rasul Paulus justru bertindak dengan memberitahukan kepada orang-orang Athena tentang sifat, eksistensi (keberadaan), dan karya Allah yang mereka sembah secara buta. Rasul Paulus juga tahu bahwa satu-satunya bentuk ibadah yang diterima Allah adalah ibadah yang dilakukan secara sadar dan dengan akal sehat; ibadah yang dilakukan oleh mereka yang tahu siapa yang mereka sembah dan yang mencintai-Nya dengan segenap akal budi mereka (Yohanes 4:24; Lukas 10:27; Matius 22:37).

Definisi dasar tentang ibadah terdapat dalam kitab Mazmur sebagai buku hymne yang besar dalam Perjanjian Lama, dan mazmur-mazmurnya masih sering dinyanyikan dalam ibadah Kristen saat ini. Oleh sebab itu, sangatlah penting untuk mengetahui apakah ibadah itu berdasarkan kitab ini. Dalam kitab Mazmur, ibadah adalah “memuji nama Tuhan” atau “pujilah Tuhan, sebab hanya namaNya saja yang tinggi luhur” (Mazmur 148:5, 13; 96:8; 115:1).

Pada umumnya, Allah disembah dalam Mazmur sebagai Pencipta alam semesta dan Pembebas Israel, dan para pemazmur senang memujimuji Tuhan dengan mengungkapkan serangkaian perbuatan-perbuatan Tuhan dalam penciptaan dan pembebasan. Beberapa contoh dalam kitab Mazmur tersebut menunjukkan bahwa bangsa Israel tidak menyembah Allah sebagai sesuatu yang abstrak, tetapi sebagai Allah Pencipta alam semesta dan bangsa-bangsa. 

Allah yang menyatakan diri-Nya dengan tindakan-tindakan nyata, dengan cara menciptakan dan memelihara dunia, dengan membebaskan dan memelihara umat-Nya. Bangsa Israel memiliki alasan yang baik untuk memuji Allah atas kemurahan, perbuatan, dan untuk segala kebaikanNya (Mazmur 103:2).

Sebagaimana yang Yesus ungkapkan bahwa Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran (Yohanes 4:24). Ungkapan menyembah dalam roh berarti bahwa orang Kristen benar-benar mengalami kelahiran baru yang sejati sedangkan ungkapan dalam kebenaran mengandung arti bahwa orang Kristen menyadari bahwa Allah adalah satu-satunya kebenaran.

Jadi, secara hakiki, ibadah Kristen adalah praktek hidup yang selalu taat terhadap firman Tuhan. Seluruh ibadah Kristen, baik umum maupun pribadi, haruslah merupakan tanggapan kasih terhadap penyataan diri Allah dalam Firman dan pekerjaan-Nya yang tertulis dalam Alkitab. Ibadah Kristen baru akan sempurna pada akhir zaman ketika orang Kristen mengenal keberadaan Allah sepenuhnya. Dengan demikian orang percaya dapat memuji-Nya secara lebih dan tepat

d. Melayani Allah

Melayani adalah mengosongkan diri dan menempatkan kepentingan diri dibawah kepentingan Tuhan dan sesama. Kata melayani digunakan oleh Perjanjian Baru dalam banyak arti. Ada empat macam kata yang digunakan dalam bahasa aslinya, yaitu diakoneo, douleo, leitourgeo, dan latreuo. Kata diakoneo berarti menyediakan makanan di meja untuk majikan. Orang yang melakukannya disebut diakonos (Lukas 17:8). 

Namun di Lukas 22:26-27, Yesus memberi arti yang baru bagi diakoneo, yaitu melayani orang yang lebih rendah kedudukannya. Dalam 1 Petrus 4:10 kata diakoneo berarti menggunakan karisma yang ada pada diri seseorang untuk kepentingan dan kebaikan orang lain.

Kata douleo adalah sikap menghamba yang dilakukan oleh seorang budak (doulos).39 Paulus memakai kata itu untuk menggambarkan bahwa orang yang belum di dalam Kristus menghamba kepada yang jahat, dibebaskan oleh Kristus supaya mereka bisa menghamba kepada Kristus (Galatia 4:1- 11). Sebuah kontras yang sangat tajam diperlihatkan di Filipi 2:5-7, yaitu bahwa Yesus yang walaupun mempunyai rupa Allah namun telah mengosongkan diri-Nya dan mengambil rupa seorang doulos.

Kata “leitourgeo” berarti bekerja untuk kepentingan rakyat atau kepentingan umum sebagai lawan dari bekerja untuk kepentingan diri sendiri. Orang yang melakukan hal ini disebut leitourgos dan pekerjaan ini disebut leitourgia. Kata itu juga berarti melakukan upacara dan ibadah kepada para dewa. Dari kata itulah muncul kata “liturgi” sebagaimana yang sering digunakan orang Kristen saat ini.

Sedangkan kata “latreuo” berarti bekerja untuk mendapatkan gaji (latron). Kata ini juga bisa berarti pemujaan kepada dewa. Dalam Perjanjian Baru, kata ini digunakan dalam arti menyembah atau beribadah kepada Tuhan (Matius 4:10; Kis. 7:7). Penggunaan yang mencolok terdapat dalam Roma 12: di mana Paulus berpesan supaya orang percaya mempersembahkan tubuhnya kepada Tuhan sebagai persembahan yang pantas (logike latreia). Keempat kata ini digunakan dalam gereja mula-mula dalam arti melayani, mengabdi atau menghamba kepada Tuhan atau pola hidup yang hidup bukan untuk diri sendiri lagi tetapi untuk kepentingan Tuhan dan sesama.

Ada banyak perhatian yang diperbaharui dalam hal pelayanan dan karunia yang diberikan oleh Roh Kudus untuk meningkatkan kualitas dan memperlengkapi umat Allah dalam pelayanan pastoral di gereja. Semua karunia rohani dimaksudkan untuk pelayanan jenis tertentu. Tujuannya adalah untuk membangun gereja, tubuh Kristus, agar bertumbuh menjadi dewasa.

Salah satu karunia yang harus dimiliki dan dihargai adalah karunia mengajar karena dengan itulah gereja diajar atau dibangun. Dasar bagi seorang Kristen untuk melayani Tuhan adalah teladan Yesus sendiri yang datang ke dunia untuk melayani. Ia datang bukan untuk mendapatkan pelayanan dari manusia, tetapi memberikan pelayanan bagi manusia. Alkitab menggambarkan Yesus sebagai pelayan (diakonos), bahkan hamba (doulos). Jadi, sebagai orang yang mengasihi Allah, dia akan memiliki jiwa melayani seperti yang dimiliki oleh Yesus Kristus.

e. Mengasihi dalam Keluarga

Keluarga adalah berkat terbesar kedua setelah penebusan Kristus. Suasana dalam keluarga Kristen, sebagaimana seharusnya suasana dalam gereja, adalah suasana saling mengasihi, saling menerima, dan saling mengampuni. Ketiga hal ini hanya dapat diperoleh selengkapnya di dalam keluarga, di mana baik suami maupun istri menaati Yesus Kristus sebagai Tuhan atas kehidupan.

Sebagaimana suatu keluarga tidak lengkap dengan adanya seorang ayah atau seorang ibu saja, maka demikian pula suasana kasih dalam keluarga tidaklah lengkap dengan hanya ayah atau ibu yang menaati Yesus Kristus. Kehendak Allah adalah agar setiap keluarga Kristen menjadi keluarga yang menaati Yesus Kristus, baik suami maupun istri. 

Tidak jarang terjadi keretakan atau kehancuran kehidupan keluarga manakala suami atau istri, atau kedua-duanya tidak lagi menaati Yesus Kristus. Untuk tercapainya dan terpeliharanya suasana saling mengasihi, saling menerima, dan saling mengampuni dalam keluarga, syaratnya adalah baik suami maupun istri bersedia menaati Yesus Kristus.

Allah telah mencurahkan kasih-Nya di dalam hati orang percaya, melalui Roh-Nya (Roma 5:5). Kasih bukanlah sekadar kasih emosional, atau sekadar kasih persahabatan, tetapi kasih yang senantiasa memberi, yang senantiasa bersedia berkorban. Kasih harus menjadi ciri utama setiap keluarga Kristen. Setiap anggota keluarga harus menyatakan kasihnya kepada anggota keluarga yang lain. Suami harus menunjukkan kasih kepada isteri dan sebaliknya isteri juga harus mengasihi suami. Kemudian, suami dan isteri (sebagai orang tua) harus menunjukkan kasih kepada anak dan sebaliknya anak mengasihi orang tua

f. Mengasihi dalam Gereja

Dalam kehidupan gereja, setiap orang percaya diminta untuk hidup saling mengasihi. Mengenai hal ini, Rasul Paulus berkata: “Hendaklah kasih itu jangan pura-pura! Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik. Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat” (Roma 12:9-10). Kasih yang sejati adalah kasih yang tidak munafik. Dalam kehidupan di dalam gereja, setiap orang percaya dapat mengeskpresikan kasihnya kepada anggota jemaat yang lain. Sebagai contoh, apabila ada anggota jemaat yang mengalami sakit, jemaat lain sebaiknya menjenguk dan mendoakan jemaat yang sakit tersebut.

Selain itu, kasih juga dapat ditunjukkan dengan saling menasehati. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Paulus tentang kasih dalam persekutuan orang percaya, yaitu: “Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik. Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat” (Ibrani 10:24-25).

Dari ayat tersebut, Paulus mendorong setiap orang yang termasuk anggota tubuh Kristus (gereja) harus saling memperhatikan satu sama lain dalam kasih. Mengasihi tidak selalu berarti merasa kasihan atau simpati terhadap sesama. Ketika Yesus menceritakan perumpamaan orang Samaria sebagai suatu contoh tentang mengasihi sesama manusia, Ia menyebutkan perhatian orang Samaria kepada seseorang yang dipukul oleh para penyamun, dan pertolongan praktis orang Samaria terhadap orang itu.

Orang Samaria itu mendahulukan kesejahteraan orang lain di atas kesejahteraan dirinya, dan berusaha supaya kebutuhan orang itu terpenuhi. Meskipun demikian, Yesus tidak menyebutkan sama sekali tentang perasaan yang penuh kasih, yang mungkin dimiliki orang Samaria itu. Cara lain yang diajarkan Yesus tentang konsep mengasihi sesama seperti dirinya sendiri adalah melalui hukum utama: Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi (Matius 7:12).

g. Mengasihi dalam Masyarakat

Kasih kepada sesama juga dapat ditunjukkan dalam hidup di tengah-tengah masyarakat. Hidup mengasihi dalam lingkungan masyarakat dapat dibagi menjadi dua, yaitu hidup dalam lingkungan tempat tinggal dan hidup dalam lingkungan kerja.

(1) Kasih dalam lingkungan tempat tinggal. Tuhan Yesus memanggil setiap orang Kristen untuk menjadi garam dan terang dunia (Matius 5:13). Dalam lingkungan tempat tinggal, orang Kristen dipanggil untuk menyatakan kasih Allah. Kasih dalam lingkungan tempat tinggal dapat ditunjukkan dengan mentaati pihak yang berkuasa (kepala RT, RW, Lurah, dan Camat), membayar kewajiban (iuran kebersihan, iuran keamanan, iuran sosial, dan lain-lain), menolong tetangga atau warga yang membutuhkan pertolongan, dan ikut serta dalam kegiatan masyarakat (kerja bakti, gotong royong, dan kegiatan sosial lainnya), dan memberitakan Injil kepada orang-orang yang belum mendengar kabar keselamatan.

(2) Kasih dalam lingkungan tempat kerja. Dalam lingkungan tempat kerja, orang Kristen dapat menjadi berkat melalui perbuatan kasih. Dia harus menjadi teladan dalam pekerjaan yang baik bagi orang lain, tidak memiliki niat untuk menjatuhkan reputasi orang lain atau rekan kerja, membantu rekan kerja yang mengalami kesulitan, dan mematuhi atasan (apabila ia seorang bawahan) atau menghargai bawahan (apabila ia seorang atasan)

Baca Juga: 7 Pola Hidup Kristiani (Matius 22:37-40)

Pada khotbah di bukit dalam Matius 5:44-48, Yesus mengajarkan bahwa orang percaya harus mengasihi musuhnya. Kemungkinan besar orang percaya tidak merasa harus mengasihi musuh, tetapi Yesus mengajarkan untuk memperhatikan mereka dan berusaha meningkatkan kesejahteraan mereka. Sesama orang percaya bukanlah seseorang yang disukai, bukan seseorang yang berhubungan atau seseorang yang dipilih menjadi sahabat saja. Sesama dalam hal ini adalah semua orang yang memerlukan pertolongan. Meskipun orang yang membutuhkan pertolongan tersebut adalah orang yang memusuhi atau menyakiti hati, orang yang mengaku memiliki kasih kepada Tuhan harus mengasihi orang tersebut

KESIMPULAN

Spiritualitas Kristen menurut Matius 22:37-40 mencakup dua hal yang sama, yaitu mengasihi Allah dengan segenap hati, segenap jiwa, dan segenap akal budi; dan mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri. Kualitas kehidupan rohani orang percaya dalam relasinya dengan Allah (mengasihi Allah) yang berpusat pada Kristus serta dituntun oleh Roh Kudus yang dipraktekkan dalam hidup dengan sesama (mengasihi sesama).

Kasih akan Allah ditunjukkan dengan kerinduan untuk dekat dengan Tuhan melalui ibadah dan pelayanan, membaca dan merenungkan firman Tuhan, ketaatan kepada firman Tuhan, dan iman yang bertumbuh kepada Tuhan. Kasih akan sesama ditunjukkan dengan pemberian perhatian kepada sesama anggota jemaat, mendoakan anggota jemaat atau orang lain yang sakit atau memiliki problema dalam hidup, komunikasi dengan semua anggota jemaat dan masyarakat, dan saling tolong-menolong dengan semua orang, khususnya sesama tubuh Kristus. -Yosua Sibarani
Next Post Previous Post