4 MAKNA PENDERITAAN AYUB BAGI ORANG KRISTEN

Ada beberapa hal penting mengenai pemaknaan kisah Ayub sebagai refleksi iman dalam menghadapi penderitaan, khususnya bagi orang percaya/KRISTEN.

1. Orang Kristen Tidak Terlepas Dari Realitas Penderitaan

Bukan tidak mungkin masih ada orang percaya yang berpikir salah mengenai penderitaan. Ada yang mengatakan bahwa orang yang hidupnya takut akan Allah, tidak mungkin mengalami penderitaan karena Allah tidak mungkin menghendaki penderitaan atas orang-orang percaya. Dapat dikatakan bahwa masalah penderitaan pasti disebabkan akibat dosa. Namun Alkitab mengungkapkan suatu fakta yang berbeda. Fakta itu diungkapkan di dalam kisah seorang yang bernama Ayub. “Orang itu saleh dan jujur; ia takut akan Allah dan menjauhi kejahatan” (Ayub 1:1).
4 MAKNA PENDERITAAN AYUB BAGI ORANG KRISTEN
Perlu diakui bahwa secara universal memang penderitaan adalah bentuk hukuman Tuhan atas dosa manusia sebagaimana diungkapkan oleh ketiga sahabat Ayub. Tetapi secara personal, penderitaan orang percaya tidaklah selalu disebabkan oleh dosanya sendiri. Ayub adalah contoh nyata seseorang yang mengalami penderitaan bukan akibat dosanya, melainkan dalam kedaulatan-Nya, Ia mengijinkannya untuk menyatakan maksud dan kehendak-Nya. Alkitab memberikan kesaksian mengenai Ayub adalah seorang yang saleh hidupnya, takut akan Tuhan serta menjauhi kejahatan, tokh ia tetap bisa mengalami penderitaan.

Orang percaya harus memahami persoalan penderitaan secara obyektif dan jujur. Dan Kitab Ayub ini membawa kepada pemahaman yang obyektif dan jujur mengenai penderitaan, bahwa penderitaan merupakan bagian integral dari kehidupan manusia. Tidak ada seorang pun yang terluput dari penderitaan. Demikian juga orang percaya harus memiliki paradigma yang benar mengenai penderitaan. Penderitaan harus dimaknai dan diterima sebagai bagian integral dari kehidupan manusia tanpa kecuali.

Oleh karena itu ketika orang percaya menghadapi masalah, harus memaknai penderitaan itu sebagai realitas yang tak dapat dihindari dari kehidupan manusia di muka bumi dan bahwa Tuhan tidak akan memberikan cobaan hidup maupun penderitaan yang melebihi kemampuannya (bdk. 1 Korintus10:13). 

Sebagai orang percaya, sikap menolak, apalagi mempersalahkan Tuhan sementara mengalami penderitaan adalah hal yang tidak dapat dibenarkan sebab penderitaan merupakan realitas yang dapat menimpa siapa saja, termasuk orang percaya. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa penderitaan tidak dapat dielakkan dari kehidupan orang Kristen kendatipun ia adalah seorang Kristen yang takut akan Tuhan, saleh dan menjahuhi kejahatan

2. Iman orang Kristen akan Diuji Tuhan

Kristen tanpa ujian iman adalah Kristen yang tak bernilai alias bermutu rendah. Mungkinkah ada anak sekolah tanpa ujian tetapi mendapat nilai? Demikian halnya berlaku dalam sekolah kehidupan iman orang Kristen. Setiap iman orang Kristen pasti akan diuji oleh Tuhan. Justru ujian iman tersebut menghasilkan nilai, mutu/peningkatan kekristenannya. Tuhan tidak pernah mengijinkan orang percaya menderita tanpa maksud, tanpa alasan di dalamnya. 

Salah satu tujuan Tuhan mengijinkan penderitaan ialah untuk memurnikan iman. Firman Tuhan berkata,”Saudara-saudaraku, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan… sebab apabila ia sudah tahan uji, ia akan menerima mahkota kehidupan yang dijanjikan Allah kepada barangsiapa yang mengasihi Dia” (Yakobus 1:2,12).

Berdasarkan narasi kisah Ayub ini mengingatkan bahwa iman orang percaya akan diuji. Sebab itu, penting sekali orang percaya memandang setiap penderitaan yang dialaminya sebagai suatu ujian iman, tidak selalu merupakan bentuk hukuman Tuhan. Sebagaimana dituturkan dalam kisah Ayub ini bahwa penderitaan yang dialami Ayub adalah akibat ulah iblis dan seijin Tuhan, bukan karena akibat dosanya sebagaimana yang dituduhkan oleh ketiga teman Ayub (Elifaz, Bildad, dan Zofar).

Dialog di antara mereka berlangsung dalam tiga putaran, yang makin lama makin bertambah panas. Ketiga temannya itu berusaha membujuk Ayub supaya menerima keadaannya dan mengaku bersalah kepada Tuhan agar diampuini dan segera dipulihkannya.

Namun Ayub dengan tegas menolak pendapat mereka. Sebaliknya Ayub menganggap para sahabatnya sebagai para penipu (13:4-6; 16:2-3).

Ayub sangat menderita baik secara fisik maupun psikisnya. Tentu ia mengharapkan penghiburan tapi justru sebaliknya dituduh telah berbuat kejahatan di hadapan Tuhan. Ketiga sahabatnya, yakni mengatakan bahwa penderitaan yang dialami Ayub tentunya adalah akibat dari dosa yang telah diperbuatnya. Paham ini disebut “retribusi”. Paham inilah yang dipersoalkan dalam kisah Ayub.

Seperti yang dikemukan oleh Fokkelman bahwa ketiga sahabatnya memandang penderitaan Ayub itu dengan pandangan yang menghukum dan bukan menghibur. Balchin menyatakan: “Jawaban baku teman-teman Ayub bahwa Allah menghukum orang yang jahat, dan oleh karenanya pasti Ayub telah melakukan kejahatan.

Ditambahkan oleh Drane bahwa jawaban baku itu disebabkan adanya konsep teologi yang dibangun atas dasar kesadaran mereka tentang Tuhan sesuai konteks waktu itu. Kesalehan diberi pahala dengan kemakmuran dan kebahagiaan, sedangkan kefasikan diberi penghukuman.

Wahono juga menyatakan yang hal sama bahwa ketiga sahabat Ayub tersebut sangat memperkuat pandangan orthodoksi yang mengatakan, bahwa Allah memberi ganjaran kepada orang benar dan menghukum orang salah. Sedangkan Ayub, justru mempertanyakan semua itu. Ayub terus mempergumulkannya.

Dalam keadaannya yang demikian, Ayub tetap teguh dalam pendiriannya, bahwa tidak mungkin penderitaannya merupakan hukuman dari Tuhan karena ia menegaskan bahwa dirinya tidak pernah melakukan sesuatu yang jahat di hadapan Allah (1:1). Ayub menegaskan bahwa dirinya adalah tidak berlaku fasik atau berbuat suatu kejahatan dan karena itu penderitaannya bukanlah hukuman atas apapun juga. 

Tidak sepantasnya ia mendapat hukuman itu, sebab ia benar. Ayub berulang kali menyatakan bahwa dirinya adalah benar (lihat pasal 6:29-30; 9:15,20; 10:7; 13:18; 27:5; 33:9; 34:5-6). Hal itulah yang membuat Ayub berkata-kata yang keras dan penuh kemarahan kepada Tuhan dan menuduh bahwa Ia telah bertindak tidak adil terhadap dirinya (19:6; 27:2 band 8:3; 34:17).

Sehubungan dengan penderitaan Ayub, dengan jelas Alkitab mengatakan bahwa Ayub tidak tahu sama sekali asal mula penderitannya dan tidak tahu juga akan kesudahannya.18 Di sinilah iman Ayub diuji.19 Ayub sendiri mengatakan di dalam pasal 23: 10,”Karena Ia tahu jalan hidupku; seandainya Ia menguji aku, aku akan timbul seperti emas.” Dan benar, Ayub belajar menerima dan menanggapi penderitaannya dengan sikap iman itu. 

Dengan sikap iman itu, Ayub hanya mengarahkan hati dan pikiran kepada kedaulatan dan kehendak Allah dengan berkata: “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah TUHAN!” (1:21). Sikap iman Ayub juga tampak ketika melalui pernyataannya kepada istrinya: “Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” (2:10).

Perkataan Ayub tersebut menyatakan kesadarannya akan segala keberadaan materi adalah dari pemberian Tuhan. Dia menyadari bahwa ia telanjang keluar dari kandungan ibunya, tidak membawa sesuatu pun. Tuhanlah yang memberi segala yang dia miliki. Jadi Tuhanlah yang mempercayakan semua harta dan keluarga yang dimilikinya. Keyakinan itulah yang membuat Ayub menjadi sadar, bahwa tidak ada hak yang dimilikinya untuk mempertahankan semuanya itu. 

Dengan kata lain, Ayub hendak mengatakan bahwa Tuhanlah yang memiliki hak untuk mengambil kembali apa yang pernah diberikan-Nya kepadanya, dengan banyak cara dan salah satunya melalui bencana, sakit penyakit, dan sebagainya. Kesadaran itu timbul dari diri Ayub, sebagai dampak dari pengenalannya akan Allah

Ayub telah mengalami kedukaan dan penderitaan yang sangat ekstrim, tetapi dalam kesemuanya itu Ayub memilih sikap penyerahan diri kepada kedaulatan Allah. Itulah iman Ayub di mana semua penderitaannya tidak melunturkan imannya kepada Allah.20 Ayub berpendirian teguh bahwa Tuhan memegang segala sesuatu dalam kuasa-Nya, dan menentukan akhir dari segalanya sebagaimana telah ditentukan untuk demikian.

Itulah sebabnya, penting bagi orang Kristen masa kini untuk memiliki persekutuan dan pengenalan akan Allah setiap hari, supaya ketika menghadapi badai kehidupan, tidak akan kehilangan iman. Dari proses pengenalan akan Tuhan tersebut akan menemukan perspektif ilahi yang berasal dari hubungan pribadinya dengan Tuhan, lalu mengarahkan pandangannya (imannya) untuk bisa memahami permasalahan yang dialaminya secara positif, apalagi menyalahkan dan menuduh Tuhan berbuat hal yang tidak adil. 

Ayub memilih bersikap positif dengan berserah diri kepada Tuhan di dalam membentuk dirinya. Iman itulah yang menjadi sumber kekuatan Ayub dalam menghadapi penderitaannya. Kisah Ayub memperlihatkan kepada orang Kristen masa kini bahwa iman merupakan kunci kemenangan untuk dapat melewati semua problem kehidupan yang diijinkan Tuhan

Dengan demikian, sebagai orang percaya dengan melihat kisah Ayub ini, mendapatkan pemaknaan yang baru bahwa penderitaan tidak selalu merupakan hukuman dari Tuhan, melainkan merupakan ujian iman sehinga menjadi termotivasi ketika menghadapi penderitaan yang berat

3. Tuhan adalah Tuhan yang Mahaadil

Bukan tidak mungkin, timbul pertanyaan di dalam diri Ayub kepada Tuhan, “Mengapa penderitaan ini menimpaku? Bukankah aku hidup saleh, takut akan Tuhan serta menjauhi kejahatan?” Bukankah seharusnya jika hidup saleh, takut akan Tuhan serta menjauhi kejahatan maka akan diberkati, sebaliknya jika berdosa maka akan menderita (4:7-9). Ayub membandingkan kehidupannya dengan mereka yang menurut pandangan manusiawinya sebagai orang-orang fasik tapi justru hidup mereka seperti sangat jauh dari penderitaan

Ayub pernah menjadi sangat kecil hati dan menyesali kelahirannya,’Orang fasik tampaknya jauh lebih baik keadaannya daripada aku,’ katanya (21:7-9), “Mengapa Allah menghukumku?”. Ada saat-saatnya ia ingin mati saja. ”Ah, kiranya Engkau menyembunyikan aku di dalam dunia orang mati, ... kalau manusia mati, dapatkah ia hidup lagi? Maka aku menaruh harap selama berhari-hari pergumulanku, sampai tiba giliranku; maka Engkau memanggil, dan aku pun akan menyahut ... (14:13-14).

Dan tidak hanya berhenti di situ. Ayub pun pernah menuduh Allah bertindak tidak adil terhadap dirinya. Dikatakan Bullock, bahwa dengan menuduh Allah bertindak tidak adil terhadap dirinya, Ayub telah melakukan kesalahan yang sama seperti yang telah dilakukan oleh para sahabat-sahabatnya. Mereka membenarkan Allah dengan mengorbankan Ayub, sedangkan Ayub membenarkan dirinya sendiri dengan mengorbankan Allah (40:2).

Hal yang serupa diungkapkan oleh Sukmana bahawa demi mempertahankan pandangan ortodoks, Ayub dikorbankan oleh masyarakatnya (hal ini diwakili oleh ketiga sahabatnya: Elifas, Bildad dan Zofar). Dalam pandangan masyarakat pada waktu tentang penderitaan sebagai akibat dosa. Apa yang dipikirkan oleh para sahabat merefleksikan pandangan masyarakat di sekeliling Ayub. Dan Ayub berhadapan dengan masyarakatnya dalam situasi yang buruk.

Pada akhirnya, Allah menyatakan diri-Nya dan menjawab Ayub (38-41). Kemudian dari dalam badai itu, Tuhan berbicara kepada Ayub dengan pertanyaan retoris: “Siapakah dia yang menggelapkan keputusan dengan perkataan-perkataan yang tidak berpengetahuan? Bersiaplah engkau sebagai laki-laki! Aku akan menanyai engkau, supaya engkau memberitahu Aku” (38:1- 3). “Apakah engkau hendak meniadakan pengadilan-Ku, mempersalahkan Aku supaya engkau dapat membenarkan dirimu?” (40:3). Fokkelman menyatakan demikian: “Ayub menghendaki pengadilan yang jujur untuk membuktikan kejujurannya dan memohon pertanggungjawaban

Allah, bahwa ia adalah seorang yang sungguh-sungguh benar.” Pendirian Ayub bahwa dirinya tidak bersalah dan bahwa Allah telah menghukumnya dengan tidak adil (19:6) nyaris membuat Ayub menggugat Allah. Kini, Tuhan bertanya kepada Ayub secara khusus apakah dia akan terus menegaskan pengetahuannya yang terbatas itu mengenai cara Allah mengatur dunia dengan menolak keadilan dan kebaikan Allah? Ayub tidak bisa menjawab pertanyaan Tuhan. Ayub menuntut agar dibenarkan, tapi apakah dia berkuasa membenarkan dirinya? 

Atkinson mengatakan: “Sering Ayub menekankan bahwa ia yakin akan keadilan Allah, tapi ia juga memaksakan untuk membenarkan dirinya. Sekarang ia sadar bahwa hanya Allah yang dapat membenarkan dia.

Tetapi pada akhirnya Ayub menjadi sadar, insaf dan mengaku salah karena telah menuduh Tuhan bertindak tidak adil atau curang kepadanya. Ayub berkata,”Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu” (42:6). Perenungan diri Ayub ini menunjukkan penerimaannya terhadap kedaulatan Tuhan atas apa yang telah menimpanya bahwa Tuhan adalah Tuhan yang mahadil, tak mungkin curang atau bertindak salah. Pasal 42:6 ini jelas menunjukkan bahwa Ayub sadar apa yang ia alami masih bertalian dengan rencana Allah seperti yang telah diucapannya pada pasal 23:10.

Dengan demikian, melalui narasi kisah Ayub di sini menyadarkan orang Kristen untuk berpikir positif atas setiap cobaan hidup yang menimpa hidupnya bahwa Tuhan adalah Tuhan yang Mahaadil, tak mungkin berbuat curang atau salah dalam bertindak. Ia adalah sempurna. Dan akhirnya terbukti benar bahwa dalam kesemuannya itu Ayub tidak berbuat dosa dan tidak menuduh Allah berbuat tidak adil atau kurang patut kepada dirinya (bdk.1:22).

4. Penderitaan orang Kristen ada dalam Batas dan Pengawasan Tuhan

Nampak jelas bahwa Allah yang berdaulat dan mengawasi segala sesuatu yang terjadi atas hidup orang percaya sebagai umat-Nya. Di pasal 1: 2 dan 2:2, menunjukkan secara jelas bahwa Allah terus mengawasi ciptaan-Nya, termasuk Iblis. Maka bertanyalah Tuhan kepada iblis: “Dari mana engkau?”. Allah mengawasi dan memberi batas juga terlihat dari apa yang iblis katakan bahwa ia tidak dapat menjamah Ayub karena Tuhan telah memagari dia beserta rumahnya serta segala yang dimilikinya (1:10,12).

Selanjutnya pasal 2:6 dengan jelas Allah kembali menetapkan batas kepada iblis: “Nah, ia dalam kuasamu; hanya sayangkan nyawanya.” Dengan kata lain, iblis hanya bisa menjamah tubuh Ayub, tapi tidak dapat menjamah nyawanya. Itu berarti, penderitaan yang dialami orang percaya ada dalam batas dan pengawasan Tuhan yang sempurna

Menurut Strong sebagaimana dikutip Tolanda dan Maiaweng, kata “pagar” (1:10,12) berasal dari kata Ibrani שׂוּך” suk” yang artinya “to entwine, that is, shut in (for formation, protection or restraint): - fence. (make an) hedge (up).” Dalam bahasa Indonesia, dapat diartikan berarti “melilitkan, mengurung (untuk formasi, perlindungan atau pengendalian), memagari.

Dengan kata lain bahwa Allah memberikan perlindungan, mengendalikan dan memagari Ayub, rumah, ternak, usaha, budak, istri dan kesepuluh anaknya serta segala yang dimilikinya sebagai pengawasan-Nya dan sekaligus batasan yang ditetapkan-Nya sehingga tidak ada satu pribadi atau kuasapun (termasuk iblis) yang dapat menjamah Ayub dan apa yang dimilikinya. Kuasa Allah telah memagari (dengan memberi batasan dan pengawasan terhadap gerak iblis) Ayub dan semua yang ada padanya.

Ayub percaya akan kekuasan dan kedaulatan Allah seperti diungkapkan berikut ini: Bila Ia membongkar, tidak ada yang dapat membangun kembali; Bila Ia menangkap seseorang, tidak ada yang dapat melepaskannya. Bila Ia membendung air, keringlah semuanya; bila Ia melepaskannya mengalir maka tanah dilandanya. Pada Dialah kuasa dan kemenangan, Dialah yang menguasai baik orang yang tersesat maupun orang yang menyesatkan. (Ayub 12:14-16, dst)

Inilah kedaulatan Allah atas ciptaan-Nya, termasuk berdaulat atas orang percaya, umat-Nya. Walaupun Iblis ingin menghancurkan umat-Nya, namun Dia adalah Tuhan yang berdaulat dan lebih berkuasa di mana maksud dan rencana-Nya atas umat-Nya tidak pernah dapat digagalkan oleh Iblis (bdk. 42:5). Tentu hal ini juga berlaku atas hidup orang Kristen sepanjang zaman.

Oleh sebab itu, adanya penderitaan di dalam kehidupan orang percaya bukanlah alasan untuk meragukan kasih dan kebaikan Tuhan. Bila orang percaya saat ini mengalami penderitaan, maka penderitaan itu ada di dalam batas dan pengawasan Tuhan yang sempurna untuk menggenapkan maksud dan tujuan-Nya bagi orang percaya, contohnya Ayub (bdk. Roma 8:28).

Karena itu, tidak ada sikap yang tepat bagi orang percaya selain tetap percaya dan berharap kepada Tuhan untuk merealisasikan maksud dan kehendak-Nya tersebut. Seperti Ayub mengalami penderitaan tanpa kehilangan iman kepada Tuhan, justru sebaliknya melalui penderitaannya, ia dapat mengalami perjumpaan pribadi dengan Tuhan, semakin intim dan mengenal Dia lebih dalam (42:5-6)

KESIMPULAN

Pandangan umum, penderitaan cenderung dimaknai sebagai akibat dosa dan hukuman dari Allah seperti yang dianut oleh ketiga sahabat Ayub. Pandangan ketiga sahabat Ayub itu merupakan refleksi dari pandangan ortodoks masyarakat pada waktu itu. Tapi pandangan ini dipersoalkan dalam kisah Ayub. Melalui kisah Ayub ini, ada beberapa hal penting berkaitan dengan pemaknaan penderitaan sebagai refleksi iman dalam menghadapi penderitaan konteks orang percaya, yaitu :

Baca Juga: Biografi Ayub Dalam Alkitab

Pertama, bahwa orang Kristen tidak terlepas dari realitas penderitaan. Manusia dalam hidupnya tidak pernah luput dari penderitaan. Walaupun Ayub dikenal saleh hidupnya dan taat kepada Allah, tetapi ia tetap mengalami penderitaan.

Kedua: Iman orang Kristen akan diuji Tuhan. Salah satu bentuk ujian iman adalah melalui penderitaan seperti yang dialami Ayub; kematian ketujuh anaknya, harta bendanya serta mengalami penyakit badani bahkan kekerasan psikis karena tuduhan masyarakatnya.

Ketiga: Tuhan adalah Tuhan yang Mahaadil, tidak ada kecurangan dalam diri-Nya.

Keempat: Penderitaan orang Kristen ada dalam batas dan pengawasan Tuhan, sehingga tidak satu pribadi maupun kuasa apapun yang dapat menjamah orang percaya, jika tidak mendapat ijin-Nya. Ayub belajar menerima dan menanggapi penderitaannya dengan sikap iman dan percaya pada kedaulatan Allah. Dengan sikap iman itu Ayub hanya mengarahkan hati dan pikiran kepada kehendak Allah. -Kalis Stevanus
Next Post Previous Post