7 TELADAN YESUS DALAM INJIL MATIUS

Pendahuluan

Istilah teladan dalam Bahasa Yunani menggunakan kata “Tupos” yang memiliki arti pola, contoh, patokan, serta gambaran (B. M. N. Jr., 1997, p. 176). Menurut Lexicon, kata hupodaigma memiliki arti an example (Henry & Thayer, n.d.). Yesus bukan hanya sekedar memberikan sebuah pengajaran, namun Dia sendiri menjadi teladan yang benar bagi murid-muridNya dan bagi banyak orang, artinya Yesus menghidupi apa yang menjadi pengajaran-Nya.
7 TELADAN YESUS DALAM INJIL MATIUS
bisnis, otomotif, gadget
Hidup dan pelayanan Tuhan Yesus menaruh perhatian dan keprihatinan yang sesungguhnya pada pekerjaan dan pelayanan penginjilan-Nya, dan Ia juga tidak mementingkan diri-Nya sendiri. Sehingga dalam Injil Matius 9:35 menjelaskan bahwa: Yesus melaksanakan pelayananNya dari rumah ke rumah, desa ke desa untuk memberitakan Injil dan menyembuhkan orang-orang sakit. Tuhan Yesus merupakan pribadi pengajar yang Agung sehingga patut untuk diteladani oleh setiap guru Kristen. 

Yesus sebagai pengajar yang kreatif dalam menggunakan metode-metode untuk menyampaikan kebenaran tentang kerajaan Allah. Ia diutus oleh Allah ke dalam dunia untuk memberikan teladan yang sempurna tentang kehidupan yang benar, di mana Yesus sangat rendah hati dan memiliki belas kasihan kepada semua orang.

Maksud dan tujuan dari Injil Matius adalah untuk menyatakan bahwa Yesus Kristus adalah Mesias yang telah dinubuatkan atau dijanjikan oleh Allah dalam Perjanjian Lama (Oet, 2020). Oleh sebab itu dalam pembahasan ini, peneliti akan memaparkan beberapa bagian tentang teladan Tuhan Yesus menurut Injil Matius, yakni: teladan dalam hal pengajaran, dalam hal memberi nasihat, memberi teguran, kesabaran, kerendahan hati, mengasihi, kesetiaan dan pengampunan.

1. Teladan Dalam Hal Pengajaran

Tuhan Yesus datang ke dunia bukan hanya sekedar menyelamatkan manusia, namun juga menjadi seorang pengajar atau guru. Bagi orang Yahudi istilah guru ialah “Rabbi”, yang memiliki arti, 

Pertama, Pendeta Yahudi, 

Kedua, di Palestina pada abad pertama Masehi di zaman Yesus, kata ‘Rabi’ adalah sebutan yang memiliki arti sama dengan ‘tuan’ kita sekarang, 

Ketiga, Rabi atau Rabbi (Ibrani Klasik “ribbi”; Ashkenazi Modern dan Israel “Rabbi”) dalam Yudaisme berarti “guru”, atau arti bebasnya “yang Agung”. Arti lain dari Kata “Rabbi” ialah seseorang yang besar atau terkemuka dalam dunia pengetahuan (Tafonao, 2020, p. 55).

Sebutan bagi Tuhan Yesus sebagai guru juga sering digunakan dengan istilah “Didaskalos”, yang diartikan sebagai ‘pengajar’, kata ini muncul sebanyak 12 kali dalam Injil Matius. Yesus disebut sebagai “didaskalos” oleh karena aktivitas yang dilakukan Yesus berorientasi pada aktivitas mengajar (to teach) (Tafonao, 2020). Baik “Rabbi” maupun “Didaskalos” menjadi sebutan yang penting bagi Yesus dalam pelayanan-Nya, karena Dia dikenal dengan seorang pengajar.

Kehadiran Yesus sebagai guru atau pengajar sangatlah dikagumi oleh banyak orang, dalam Matius 7:28-29 memaparkan bahwa: orang banyak takjub akan apa yang Yesus ajarkan dalam pengajaran-Nya, karena Yesus mengajar dengan penuh kuasa, tidak seperti ahli-ahli Taurat. Prince menyatakan bahwa “Yesus tepat sekali dikatakan sebagai seorang pengajar, karena Yesus pengajar yang sempurna baik dari segi ilahi maupun insani (Prince, n.d., p. 5). 
\
Ia datang sebagai seorang guru yang diutus oleh Allah untuk melayani, mengajar dan menyembuhkan banyak orang. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan dalam Matius 4:23 bahwa Yesus melayani, mengajar serta memberitakan Injil Kerajaan Allah di seluruh daerah Galilea dan menyembuhkan penyakit-penyakit di antara bangsa tersebut. Yesus terus melayani dalam pengajarannya dan memberitakan Injil kepada setiap orang tanpa membedakan baik perempuan maupun laki-laki, yang miskin maupun yang kaya, Ia menunjukkan belas kasihan-Nya kepada mereka. 

Matius 9:36 menjelaskan bahwa pada waktu Yesus melihat orang-orang yang seperti tidak memiliki gembala, tergeraklah hati-Nya karena belas kasihan untuk melayani dan menolong orang-orang tersebut. Maka inti dari pengajaran Tuhan Yesus adalah untuk menyelamatkan setiap orang yang berdosa. Karena itu, sebagai guru Kristen masa kini, haruslah meneladani Tuhan Yesus, bahwa tugas yang dipercayakan bukan hanya mengajar, tetapi bagaimana merebut peserta didik tersebut untuk diselamatkan.

Yesus adalah Anak Allah yang menjalankan misi-Nya di dunia melalui metode pengajaran yang bertujuan untuk memperkenalkan siapakah Allah yang sesungguhnya, kepada murid-murid dan umat-Nya. Yesus memberi pengajaran tentang hidup bergaul dengan Allah dan mengalami pembaharuan iman, dengan tujuan untuk menumbuhkan dan meningkatkan kualitas iman percaya pada Allah (Non-Serano, 2009, p. 25). 

Dalam pengajaran Tuhan Yesus terdapat suatu kesempatan yang berharga, oleh karena Yesus ingin membentuk umat-Nya untuk memiliki cita-cita sesuai dengan kehendak Allah, sejalan dengan ini Injil Matius. 5:48 menjelaskan bahwa setiap orang percaya haruslah sempurna, karena Bapa di Surga juga sempurna. 

Dalam ayat tersebut Yesus mengajarkan dengan jelas tentang sifat Allah dan sikap-Nya terhadap manusia. Pengajaran Tuhan Yesus juga dapat mendorong para pendengar untuk memahami dan melakukan apa yang diajarkan-Nya, sehingga melalui pengajaran-Nya, dapat mengenal kebenaran serta memperoleh keselamatan.

2. Teladan Dalam Hal Memberi Nasihat

Nasihat merupakan sebuah perilaku yang dinyatakan pada orang lain secara nyata, yang memerlukan jawaban dari setiap pertanyaan yang disampaikan. Demikianlah juga yang dilakukan oleh Yesus Kristus. Dia datang ke dunia ini juga memberikan banyak jawaban yang merupakan nasihat bagi manusia. Kedua belas murid Yesus sering kali mendengarkan nasihat yang diberikan Yesus kepada mereka. Nasihat yang diberikan Yesus selalu memiliki tujuan untuk hidup dalam kebenaran. Nasihat dari Yesus juga acapkali berhubungan dengan konteks kehidupan orang-orang Yahudi.

Nasihat Yesus kepada murid-murid-Nya, agar tidak sama seperti Ahli-ahli Taurat, orang-orang Farisi yang suka mencari pujian dan kehormatan, tidak memiliki sikap hidup yang benar. Mereka berdoa di tempat yang bisa dilihat orang, namun hal itu bagi Yesus adalah sesuatu yang munafik. Bahasa Yunani menjelaskan dengan istilah “hupokrithes” yang artinya kemunafikan atau bermuka dua (bdk. Matius 22:18; 23;28; 24:51). Nasihat yang Yesus berikan kepada murid-murid-Nya, bertujuan agar supaya murid-murid-Nya tidak menjadi orang yang munafik.

Nasihat juga diberikan Yesus kepada murid-murid-Nya ialah kedatangan Yesus yang kedua kali, Yesus menyatakan kepada mereka untuk berjaga-jaga. Pada bagian akhir khotbah Yesus tentang akhir zaman dalam Injil Matius pasal 24-25, Yesus berkata tentang dua hal yang harus diperhatikan yaitu: (a) Berjaga-jagalah dengan kesadaran penuh. (b) berjaga-jaga dengan dikuatkan oleh roti kehidupan (Mimery, 1999, p. 219).

3. Teladan Dalam Hal Kesabaran

Kesabaran merupakan suatu sikap yang harus dikendalikan oleh emosi dan juga keinginan yang mempunyai nilai positif yang ditonjolkan oleh individu atau seseorang. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan, bahwa sabar ialah tahan menghadapi cobaan (tidak lekas marah, tidak lekas putus asa, tidak lekas patah hati); tabah, tenang, tidak tergesa-gesa, tidak terburu nafsu (Kemdikbud, n.d.). 

Kesabaran dalam bahasa Ibrani yaitu “Erekh” yang artinya suatu sikap seseorang terhadap yang lain dan mencakup ketidak-sediaan untuk membalas kejahatan dengan kejahatan. Sedangkan dalam bahasa Yunani yaitu “Makrothumia” yang artinya panjang sabar dan tahan menderita. Kesabaran itu juga bukan sebuah sikap yang mudah untuk dilakukan. Rex menyatakan bahwa: sabar itu cape, sabar itu kesal, sabar itu menahan emosi, tetapi sabar itu indah (Rey, 2014, p. 156). 

Kesabaran bukanlah sesuatu yang pasif saat kesulitan datang menghampiri, melainkan aktif bergerak mencari kebaikan di balik kesulitan, lalu melihat solusi terbaik karena dalam kesabaran akan menemukan indahnya kehidupan yang selalu menghasilkan kehidupan yang berorientasi pada damai sejahtera.

Yesus adalah guru Agung, telah menjadi teladan dalam hal kesabaran, baik kehidupan-Nya, maupun pelayanan-Nya. Dalam hidup-Nya, Yesus mengalami penderitaan demi keselamatan umat manusia. Bahkan sebelum Yesus melayani, Dia terlebih dahulu dicobai oleh Iblis di Padang Gurun (Matius. 4:1-11). 

Peristiwa di padang gurun memaparkan bagaimana Yesus yang dicobai iblis sampai tiga kali, namun Yesus tidak jatuh ke dalam tipu muslihat iblis, Yesus tetap sabar. Yesus bukan hanya dicobai oleh Iblis, Ia juga menghadapi orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat untuk mencobai Yesus (Matius. 19:1-12). Bahkan Yesus pun sabar terhadap murid-murid-Nya, yang di antara kedua belas murid-Nya, ada yang mengkhianati-Nya (Matius. 26:21-25). 

Drescher menjelaskan bahwa: perhatikan kesabaran Kristus dalam menghadapi murid-murid-Nya, karakter mereka sangat beragam, mereka kadang begitu egois, namun Kristus tetap sabar terhadap semua hal mengenai murid-murid-Nya (Drescher, 2008, p. 143).

Maka seorang guru Kristen, haruslah memiliki karakter yang panjang sabar, sebagaimana yang telah diajarkan Yesus dalam masa kehidupan maupun pelayanan-Nya. Seorang guru Kristen harus mampu mengelola karakternya agar tidak jatuh ke dalam sebuah hal yang mendatangkan kerugian baginya. Kesabaran dari seorang guru Kristen akan membawa dampak yang positif bagi para peserta didik.

4. Teladan Dalam Hal Kerendahan Hati

Mengosongkan diri (Kenosis), artinya menjadi sama seperti manusia, dan mengambil rupa seorang hamba (Filipi. 2:7) merupakan sebuah kerendahan hati yang sempurna yang dilakukan oleh Yesus Kristus demi menyelamatkan umat manusia. Penjelasan yang demikian juga dipaparkan dalam Matius 11:29, Yesus menyatakan sebuah identitas diri-Nya, bahwa Ia adalah Pribadi yang lemah lembut dan rendah hati, sehingga perlu diingat dan diperhatikan bahwa kerendahan hati Yesus adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari sifat-Nya sebagai Allah (bdk. Yohanes 13:1-17) (Giawa, 2019, p. 60). 

Yesus menunjukkan kerendahan hati-Nya dengan membasuh kaki dari murid-murid-Nya. Kerendahan hati yang dimiliki Yesus telah diberikan kepada manusia, agar manusia belajar untuk memiliki sifat rendah hati. Yesus mengajarkan untuk menjadi seseorang yang memiliki sifat rendah hati, maka belajarlah kepada seorang anak kecil, Matius 18:4: menjelaskan bahwa untuk masuk dapat kerajaan Surga harus menjadi sama seperti anak kecil. 

Maka seorang guru Kristen haruslah memiliki sifat rendah hati sebagaimana Yesus telah mengajarkannya melalui gambaran seorang anak kecil, karena sifat rendah hati menunjukkan jati diri atau identitas sebagai seorang guru Kristen yang hidup sesuai dengan ajaran Yesus Kristus.

5. Teladan Dalam Hal Mengasihi

Kasih adalah Yesus itu sendiri. Kasih tidak bisa dipisahkan dari Yesus. Kasih bukanlah sekedar karakter atau sifat Yesus, melainkan sesuatu yang ada pada diri-Nya dari sebelum dunia diciptakan, artinya setiap tindakan Yesus pasti didasari oleh kasih (Soegiarto, 2012, p. 233). 

Yesus tidak bisa tidak mengasihi. Oleh karena itu, kedatangan Dia ke dunia ini, menandakan betapa besar kasih-Nya kepada manusia-manusia berdosa (bdk. Yohanes 3:16). Karya penebusan di atas kayu salib untuk menebus dosa umat manusia, menunjukkan kebesaran kasih Bapa melalui Anak-Nya yang Tunggal yaitu Yesus Kristus (GEA, 2018, p. 139). Maka dapat dikatakan bahwa Yesus itu kasih, dan sumber kasih.

Yesus dalam pelayanan-Nya di dunia, menunjukkan cara bagaimana seharusnya manusia itu mengasihi Tuhan dan sesama. Sebuah hal yang prinsip yang diajarkan Yesus mengenai mengasihi Tuhan dan sesama manusia ialah dengan keseluruhan kehidupan (bdk. Matius 22:37-40). 

Yesus bukan hanya sekedar mengajar tentang kasih, namun Dia sendiri juga menjadi teladan kasih. Oleh sebab itu Yesus pun mengajarkan kepada murid-murid-Nya untuk saling mengasihi satu dengan yang lainnya. Pengajaran Yesus kepada murid-muridNya dilandaskan pada diriNya sendiri yang sudah terlebih dahulu mengasihi murid-murid-Nya (Yohanes 13:34). 

Kasih Yesus bukan hanya sekedar menjadi dasar yang memungkinkan murid-muridNya untuk saling mengasihi, melainkan Ia sendiri sebagai teladan yang harus diteladani atau dicontohi (Napel, 2006, p. 291). Yesus mengajarkan untuk mengasihi dengan tulus tanpa pamrih dan mengasihi orang lain dengan sebuah tindakan aktif yang didasarkan pada kebenaran.

Bukan hanya kepada murid-murid-Nya Yesus menunjukkan dan mengajarkan tentang kasih, melainkan juga kepada orang-orang yang mengikuti-Nya. Matius mencatat bagaimana kasih Yesus kepada orang banyak. Yesus memberi makan lima ribu orang (Matius 14:13-21), empat ribu orang (Matius 15:32-39). Hal ini menunjukkan bahwa kasih Yesus itu universal untuk semua orang dan bukan hanya untuk orang-orang tertentu. 

Matius. 19:13-15 menunjukkan bagaimana Yesus mengasihi anak-anak dan mendoakan mereka. Matius. 9:35-36 menunjukkan bagaimana Yesus mengasihi orang-orang yang terlantar seperti domba yang tak bergembala. Matius 14:14 menjelaskan demikian, bagaimana sikap dan hati Yesus melihat orang banyak, hati-Nya yang penuh belas kasihan untuk menyembuhkan dan menyelamatkan orang banyak. Yesus menunjukkan kasih-Nya melalui hidup dan pelayananNya, supaya manusia melihat betapa besar kasih-Nya kepada manusia.

Kasih Yesus bukan hanya sekedar perkataan. Oleh sebab itu, kasih harus dinyatakan secara aktif. Yesus mengajarkan untuk mengasihi dan mendoakan orang yang telah berbuat kesalahan, bahkan Yesus mengajarkan untuk mengampuni orang yang telah melakukan kesalahan, dengan mengampuni sampai tujuh puluh kali tujuh kali (Matius 18:22). 

Pengajaran Yesus ini bukanlah sebuah teori semata, melainkan Ia sendiripun melakukan itu sampai karya keselamatan di atas kayu salib. Dengan kasih Yesus menjalankan pelayanan agung-Nya, disiksa, dicambuk, diludahi, difitnah, dianiaya, dan pikul salib sampai mati di atas kayu salib (Teologi et al., 2020, p. 48). 

Kematian Yesus di atas kayu salib menunjukkan betapa besar Ia mengasihi manusia, dan terlebih dari itu kasih yang Dia tunjukkan di atas kayu salib untuk membuat manusia bisa kembali bersekutu dengan Bapa (S. Zaluchu, 2017, p. 73). Maka, setiap orang yang menyadari bahwa ia adalah guru Kristen, sudah seharusnya ia mengajar dan menghidupi kasih Yesus dalam kehidupannya.

6. Teladan Dalam Hal Kesetiaan

Setia dalam bahasa Yunani yaitu “Pistis” yang berarti kesetiaan. Alkitab sering menjelaskan bahwa kesetiaan selalu berdampingan dengan seorang hamba. Kesaksian Alkitab mengenai kesetiaan yang dilakukan seorang hamba ialah Yesus Kristus. Ia mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama seperti manusia (Filipi 2:7). Gambaran Yesus sebagai hamba yang setia mencapai sebuah puncak dalam gambaran hamba yang menderita sampai mati (ALAKAMAN, 2018, p. 22). 

Kesetiaan Yesus selalu berpusat kepada Bapa, sehingga apa yang dilakukan Yesus selalu bersinergi dengan Bapa (Manullang, 2019).

Tentang teladan Yesus dalam hal kesetiaan, berulang kali Ia menjelaskan melalui perumpamaan. Dari perumpamaan-perumpamaan tersebut Ia berusaha agar murid-murid-Nya dan pendengar-Nya memahami dengan benar pengertian dari perumpamaan tersebut. Itulah sebabnya dalam Injil Matius. 13:9 menjelaskan “Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar”. 

Artinya bahwa setiap orang yang Dia ajar hendaklah ia sungguh-sungguh mendengarkan apa yang telah Ia sampaikan melalui perumpamaan tersebut. Ia dengan begitu mudah menjelaskan hal Kerajaan Sorga itu melalui perumpamaan, berulang kali Ia memakai perumpamaan, namun mereka tidak mengerti apa maksud dari perumpamaan tersebut. 

Secara logika, tentu bisa ditinggalkan pelayanan tersebut, namun Yesus tidak seperti itu, Ia tetap setia menjalankan tugas-Nya baik dalam pemberitaan Injil, maupun pengajaran. Matius 4:23-25, memaparkan bagaimana Yesus tidak berdiam diri, namun Ia berkeliling Galilea untuk melayani serta memberitakan Injil pada semua orang dan menyembuhkan orang-orang dari segala penyakit dan kelemahan-kelemahan. 

Matius 5:1-12 “ketika melihat orang banyak itu yang berbondong-bondong datang kepada-Nya, maka Ia naik ke atas bukit dan mulai berbicara dan mengajar tentang ucapan bahagia. Ia begitu setia dalam melayani orang-orang pada masa itu, karena Ia datang untuk melayani bukan dilayani.

7. Teladan Dalam Hal Pengampunan

Sejak kejatuhan manusia ke dalam dosa, Allah terlebih dahulu berinisiatif untuk mengadakan rencana penyelamatan terhadap umat manusia yang berdosa. Rencana penyelamatan tersebut dimulai dari peristiwa air bah yang melanda seluruh dunia, namun dalam peristiwa tersebut, Allah menyelamatkan Nuh beserta dengan keluarganya. Nuh dan keluarganya diselamatkan, oleh karena mereka hidup benar di hadapan Allah. 

Peristiwa itu menyatakan bahwa Allah sungguh dan serius untuk menyatakan keselamatan bagi umat manusia. Allah mengasihi manusia, karena itu sejak manusia berbuat dosa, Allah sudah memikirkan cara untuk menebus manusia dari dosa (Nee, 2019, p. 1). 

Karya keselamatan terus dilakukan oleh Allah, mulai dari kejatuhan manusia ke dalam dosa sampai saat ini. Oleh karena itu, Ia mengutus Anak-Nya yang tunggal Yesus Kristus, datang ke dunia untuk mengampuni setiap dosa manusia. Kedatangan Tuhan Yesus di dunia adalah sarana bagi pengampunan dosa, satu bentuk intervensi Allah untuk merebut dan menyelamatkan manusia. Dalam diri Yesus Kristus, manusia berdosa dipertemukan dengan Allah yang mengampuni dosa (Gintings, 2000, p. 76).

Tuhan Yesus datang ke dunia untuk mendamaikan manusia dengan Allah dan mengampuni setiap dosa yang telah dilakukan oleh manusia. Dalam Injil Matius 9:1-8 menjelaskan tentang orang lumpuh yang disembuhkan. Ketika Yesus melihat iman mereka, berkatalah Ia kepada orang lumpuh itu; “Percayalah, hai anak-Ku, dosamu sudah diampuni” penyembuhan yang dilakukan Yesus selalu memiliki dasar untuk mengampuni dosa. 

Yesus juga mengaitkan penyembuhan dan pengampunan melalui iman (bdk Matius 15:21-28). Dalam hal pengampunan Yesus mengajarkan dan memberikan prinsip yang sangat mendasar, yakni “jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, maka Bapamu yang di Sorga akan mengampuni kamu juga (Matius 6:14-15). Yesus mengajarkan dan memberi teladan tentang berapa kali harus mengampuni, dalam Matius.18:21-22 Yesus menyatakan tujuh puluh kali tujuh kali. Sebenarnya Yesus mau menjelaskan bahwa pengampunan itu tidak ada batasnya. 

Puncak dari pengampunan Yesus kepada manusia berdosa, dan manusia yang menyalibkan Dia,yakni pada waktu di atas kayu salib dan Yesus berkata, “Ya Bapa ampunilah mereka, sebab mereka tidak tau apa yang mereka perbuat Mengampuni artinya mampu memaafkan keselahan seseorang yang telah diperbuatnya dan tidak mengungkit kesalahan tersebut. Tindakan mengampuni merupakan sebuah keputusan yang bersumber dari dalam hati dan berimplikasi pada kehidupan masa depan yang lebih cerah. 

Dalam bahasa Yunani mengampuni dalam kata benda “pengampunan” pada umumnya adalah pelepasan, pembebasan, tawanan, pembatalan utang, penghapusan hukuman. Di dalam Alkitab pengampunan menunjuk kepada tindakan Allah menghapus dosa sebagai hutang atau mengampuni orang yang melanggar hukum Taurat (Nida, 2014, p. 12). 

Mengampuni tidak sama dengan melupakan. Mengampuni dan melupakan seringkali tidak jalan, pengampunan yang benar justru adalah memikirkan sungguh-sungguh, menyadari apa yang telah terjadi, artinya yang sejati bagi kehidupan (Meninger, 1999, p. 30). 

Pengampunan adalah sarana yang paling pasti untuk mengetahui dalamnya iman pribadi. Kelak kesediaan untuk mengampuni akan menjadi patokan penghakiman terakhir terhadap manusia (Leks, 2003, p. 320). 

Dengan mengampuni seseorang, maka implikasinya ialah seseorang tersebut terbebas dari sifat kebencian dan mendatangkan kedamaian dalam hati, sehingga menjadikan kehidupan yang lebih baik, oleh sebab itu, seorang guru Kristen sebelum mengajar, ia harus memahami dengan benar apa itu pengampunan, dan dia sendiri telah mengalami pengampunan dari Yesus Kristus, sehingga dia bisa mengajarkan kepada para anak didiknya untuk bisa mengampuni.

Kesimpulan

Dalam kehidupan dan pelayanan Tuhan Yesus merupakan contoh yang patut untuk di teladani, bahwa Ia datang sebagai manusia, yang diutus oleh Allah untuk memberikan teladan yang sempurna tentang kehidupan yang benar, dan menunjukkan teladan-Nya kepada setiap orang, supaya mengikuti teladan-Nya. Ia adalah manusia yang tidak berdosa dan tak bercacat karena Ia adalah Allah sekaligus Manusia yang tidak berubah. 


Semasa hidup Nya di dunia memberikan suatu teladan yang patut untuk diteladani secara komprehensif. Ia juga merupakan seorang guru yang mengajar mengenai kebenaran yang mendasar, sehingga banyak orang datang kepada-Nya dan kagum tentang pengajaran-Nya. Karena itu, Ia mengajar kepada murid-murid-Nya untuk mengikuti teladan-Nya. Ia bukan hanya sekedar mengajar murid-murid-Nya, tetapi juga menjadi teladan bagi mereka. 

Keteladanan yang Ia berikan dalam pengajaran dan pelayanan memiliki tujuan yang jelas, sebagaimana Ia berkata bahwa “supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu.” Karena itu sebagai guru Kristen, harus mempunyai tolak ukur yang jelas agar mencapai tujuannya sebagai motivator spiritual dalam hal pendidikan Kristen. Maka Kristuslah yang menjadi sentral dalam pengajarannya, menjadi teladan dalam pengajarannya, dan Kristuslah menjadi tujuan dari pengajarannya. 

Keteladanan kepada Kristus tidak meniadakan konsep Tritunggal, tetapi Kristuslah yang patut menjadi teladan bagi guru Kristen, karena Ia adalah Allah seutuhnya dan Manusia seutuhnya. -Alfons Renaldo Tampenawas
Next Post Previous Post