ALLAH TRITUNGGAL

Dr. Stephen Tong. 

Allah Tritunggal (Edisi Revisi). Allah yang benar adalah Allah yang tidak terbatas. Allah yang melampaui segala sesuatu. Allah Yang Esa. Allah yang tidak ada bandingnya, dan Allah menyatakan diri sebagai Allah Tritunggal. Istilah Tritunggal ini memang tidak ada di dalam Alkitab, baik Perjanjian lama maupun Perjanjian Baru. Yang tidak muncul di dalam Alkitab secara istilah, bukan berarti bukan konsep Alkitab. Sebaliknya, istilah yang muncul di dalam Alkitab jika ditafsir secara keliru menjadi bukan kebenaran Firman Tuhan. Faktanya, konsep atau doktrin Tritunggal ini terus menerus muncul di dalam Alkitab.
ALLAH TRITUNGGAL
Tritunggal berarti Tiga Pribadi di dalam Satu Allah, atau di dalam satu esensi diri Allah, ada tiga Pribadi. Sebelum Abad Pertengahan, Gereja di Timur (Yunani Ortodox dan di Barat (Roma Katolik) mempunyai pengertian yang sangat berbeda dalam hal ini. Di Timur Gereja Ortodox banyak dipengaruhi oleh filsafat-filsafat Yunani, di Barat Gereja Katolik banyak dipengaruhi oleh pikiran-pikiran Latin. 

Ini mengakibatkan adanya dua cara pendekatan yang berbeda, yang akhirnya menimbulkan dua pandangan ekstrim terhadap doktrin Allah Tritunggal : (1) Pandangan yang menganggap adanya tiga Allah, atau (2) Pandangan yang menganggap adanya satu Allah yang menyatakan diri dalam tiga keadaan yang berbeda.

Doktrin Allah Tritunggal adalah doktrin Monotheisme (percaya hanya kepada Satu Allah), dan bukan Politheisme (percaya kepada banyak Allah). Doktrin Allah Tritunggal termasuk monotheisme, yang percaya kepada Allah Yang Maha Esa. 

Dan Allah Yang Maha Esa itu mempunyai Tiga Pribadi, bukan satu: Pribadi Pertama adalah Allah Bapa, Pribadi Kedua adalah Allah Anak (Yesus Kristus), dan Pribadi Ketiga adalah Allah Roh Kudus. Tiga Pribadi bukan berarti tiga Allah, dan satu Allah tidak berarti satu Pribadi. Tiga Pribadi itu mempunyai sifat dasar atau esensi (Yunani: Ousia, Inggris: Substance) yang sama, yaitu Allah. Allah Bapa adalah Allah. Allah Anak adalah Allah, dan Allah Roh Kudus adalah Allah. Namun Ketiganya memiliki Satu Ousia, yaitu esensi Allah. Maka Ketiga Pribadi itu adalah Satu Allah.

Apakah Tritunggal merupakan konsep Yunani? Ataukah merupakan konsep filsafat abad pertama hingga ke-empat? Ataukah hasil kesimpulan Bapa-Bapa Gereja? Ataukah ini merupakan konsep murni dari Alkitab? Kalau kita mempelajari konsep filsafat-filsafat yang penting mulai dari Thales sampai kepada Sokrates, Plato dan Aristoteles, kita tidak akan menemukan konsep Allah Tritunggal di dalam filsafat mereka. Bahkan sebelum Sokrates, mereka percaya kepada banyak dewa. Sokrates-lah yang pertama di dalam sejarah Yunani yang mencetuskan: “Saya percaya kepada Allah yang tertinggi, dan Allah yang satu-satunya, yaitu Allah yang sejati.” Pikiran Sokrates ini baru merupakan sesuatu Wahyu Umum yang murni yang mungkin dimengerti oleh manusia. 

Di dalam Seri Pembinaan Iman Kristen mengenai Iman dan Wahyu Allah, telah diuraikan bahwa berdasarkan Roma 1:19-20, pengetahuan mengenai keberadaan Allah yang sejati sudah diberikan kepada setiap manusia ciptaan-Nya, baik Kristen maupun bukan. Tetapi, akibat distorsi dan pencemaran oleh dosa didalam diri manusia, manusia tidak lagi mempunyai pengertian yang murni mengenai Allah, yang telah mewahyukan Diri secara umum dalam hati setiap manusia.

Di tengah-tengah pencemaran pengertian terhadap Wahyu Umum Allah ini, Sokrates merupakan salah seorang yang memiliki pengertian yang begitu murni mengenai Allah melalui Wahyu Umum. Namun, hal itu tidak cukup. Bukankah kita telah melihat bahwa Wahyu Umum hanya bisa dimengerti dengan murni melalui Wahyu Khusus? 

Kemungkinan sekali orang Yunani pada zaman Sokrates sudah dipengaruhi oleh konsep monotheisme dari orang Ibrani (bangsa Israel), karena sebelum kedatangan Kristus ke dunia, orang Ibrani sudah tersebar ke tiga tempat penting, yaitu: (1) ke Babilonia, semasa menjadi tawanan raja-raja Babel, seperti Nebukadnezar dll., (2) ke Alexandria, Mesir Utara, di mana Alkitab Perjanjian Lama sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani, yang disebut Septuaginta, dan (3) ke Daerah-daerah Roma-Yunani (Gracco-Roman), seperti Makedonia, tempat perdagangan yang ramai. Di tempat-tempat inilah orang-orang Ibrani sudah menerima Wahyu Khusus dan yang mengenal Allah yang Esa itu membawa kesaksian ini. Konsep monotheisme yang dibawa oleh orang-orang Ibrani inilah yang mungkin sekali sudah mempengaruhi Sokrates.

A). Konsep Allah Yang Esa

Tiga hal penting mengenai konsep Allah Yang Esa ini perlu kita perhatikan.

1. Pertama, konsep Allah Yang Esa ini merupakan sumbangsih terbesar dari orang-orang Israel (Ibrani) kepada dunia. 

Inilah konsep yang terbesar yang diberikan bangsa Israel kepada dunia. Jikalau kita mempelajari sejarah bangsa Israel di zaman Perjanjian Lama, kita akan menemukan bahwa setiap suku bangsa yang tinggal di sekitar daerah Israel mempunyai dewa-dewa mereka sendiri, dan mereka menyembah lebih dari satu dewa. Mereka saling membandingkan dewa-dewa mereka, dan mereka dapat berpindah ke dewa yang mereka anggap lebih besar atau lebih hebat. 

Dewa-dewa yang terkenal pada waktu itu adalah Baal, Dagon, Asyera, Asytoret, dan banyak lagi lainnya. Dewa-dewa yang sangat banyak ini dianggap sebagai dewa-dewa pemelihara, baik dalam bidang politik, sosial, ekonomi, militer (dalam peperangan), maupun dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, mereka bisa berpaling memuja dan menyembah dewa-dewa yang dianggap sesuai dengan kesejahteraan yang mereka butuhkan. 

Tetapi bangsa Israel tidak demikian ; mereka berbeda dari bangsa-bangsa di sekitarnya. Orang Israel tidak mempunyai konsep: Kita mempunyai Allah kita, mereka (bangsa-bangsa lain) mempunyai allah mereka; Allah kita adalah Allah Israel, allah mereka bukan Allah kita. Sebaliknya mereka mempunyai konsep Allah orang Israel adalah Allah seluruh alam semesta. Ini konsep yang sangat besar dan sangat penting. Konsep ini menerobos semua konsep agama yang ada pada saat itu. Sejak permulaan Perjanjian Lama sudah tertulis ayat seperti demikian: “Allah yang mengadili seluruh bumi; bukankah Dia adil adanya?” (band. Kejadian 18:25). 

Konsep ini tidak terdapat pada suku-suku bangsa yang lain. Mereka hanya bersembah sujud kepada suatu dewa atau illah yang berhubungan dengan lingkup kesejahteraan mereka yang kecil dan terbatas. Tetapi, di dalam bangsa Israel, konsep Allah Yang Esa merupakan konsep yang bersifat universal dan supra alamiah. Konsep Allah Yang Satu-Satunya ini bukan Satu untuk satu suku, melainkan Satu untuk seluruh alam semesta. 

Konsep Allah Yang Satu-Satunya ini diulangi terus-menerus, sampai sebelum Musa mati, dia mengulanginya lagi sekali di dalam satu ayat yang disebut sebagai Syamma, Ayat Mas, ayat kunci untuk mengerti seluruh Taurat, yaitu Ulangan 6:4-5 : “Dengarlah, hai Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu Esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap kekuatanmu.” Ayat ini, “TUHAN itu Allah Yang Esa!” merupakan prinsip dasar untuk mengerti seluruh Taurat dan Wahyu Tuhan di dalam Perjanjian Lama. Orang Israel mengetahui bahwa segala kebajikan di dalam iman kepercayaan dimulai dengan meletakkan iman mereka di atas dasar ini: Allah itu Esa. 

Sesudah itu Musa menuliskan: “Haruslah engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu.” Orang Israel mengerti perintah ini secara hurufiah dan melaksanakannya, sehingga mereka betul-betul membuat kotak, lalu meletakkan suatu ayat yang indah ini di atas secarik kain dan mengikatkannya dikepala mereka. Padahal maksud Musa dengan Firman ini ialah Allah itu Esa harus senantiasa kamu ingat di dalam otakmu, di dalam segala pekerjaan dan tingkahlakumu, kemana pun engkau pergi, ingat: Allah itu Esa!

2. Kedua, konsep Allah Yang Esa merupakan penyataan Allah yang serius, sehingga Dia menuntut sesuatu dari orang-orang yang menerima Wahyu Khusus ini. 

Allah itu Esa berarti kita tidak bisa sembarangan berserah atau menyerahkan diri kita kepada yang lain; kita harus menyerahkan diri kita kepada Allah Yang Esa dengan segenap hati, dengan segenap jiwa, dan dengan segenap kekuatan serta akal budi kita untuk mengasihi Dia. Disinilah kita melihat perbedaannya dengan agama. Mengenal Allah Yang Esa mengakibatkan hidup yang bersifat totalitas; maksudnya, seluruh hidup kita harus merupakan kesatuan di hadapan Allah.

3. Ketiga, konsep Allah Yang Esa (tidak ada yang seperti Dia) ini menjadi dasar Teologi Tritunggal di dalam mengerti sifat Allah yang: 

(1). Transender, artinya Dia lain dari yang lain, dan Dia melampaui segala sesuatu. (2) Kudus atau suci, artinya kesucian-Nya tidak ada bandingnya, sekaligus menjadi Sumber segala kesucian. (3) Mutlak, artinya hanya Dia satu-satunya yang melampaui segala sesuatu yang relatif. (4) Sempurna, artinya Dia adalah Satu-Satunya yang tidak berkekurangan, yang mencukupi diri sendiri, serta menjadi Sumber yang mencukupi yang lain. (5) Kekal, artinya hanya Dia yang tidak mempunyai permulaan dan tidak mempunyai akhir, serta menjadi Sumber dari kekekalan.

Pada waktu Yesus di dunia, Dia mengajarkan Doa Bapa Kami dengan kata-kata, “Bapa kami yang di Sorga, dikuduskankanlah nama-Mu….” Allah Yang Esa adalah Allah yang harus dikuduskan, karena berbeda dengan yang lain. Pada waktu dewa-dewa dibandingkan dengan Allah, menjadi begitu nampak kepalsuan dan kenajisannya. 

Pada waktu Allah Yang Esa menyatakan diri-Nya, Dia selalu menggabungkan Keesaan-Nya ini dengan kekekalan-Nya, sehingga Dia berkata, “Siapakah yang dapat kau bandingkan dengan Aku? Akulah yang terdahulu dan Akulah yang terkemudian. Siapakah yang mengatakan dari dahulu kala hal-hal yang akan datang? Bukankah Aku, Tuhan? Tidak ada lain, tidak ada Allah selain dari pada-Ku.” (Yesaya 44:6-8; 45:20-22; 46:9-10). Pada waktu tuanya, Musa juga pernah menulis Mazmur dengan kalimat-kalimat: “Dari selama-lamanya sampai selama-lamanya Engkaulah Allah. Engkaulah Allah yang melampaui segala ciptaan.” (Mazmur : 90).

Allah itu Esa. Kalau Allah itu Esa, bagaimana kita bisa percaya bahwa di dalam Keesaan Allah itu mempunyai tiga Pribadi? Apakah ketiga Pribadi itu tidak bertentangan dengan Keesaan Allah? Sebaliknya, kalau Allah itu Tritunggal, mempunyai tiga Pribadi, bagaimana kita bisa percaya bahwa ketiga didalam Ketritunggalan Allah itu tetap adalah Allah Yang Esa? Di dalam satu ada tiga dan di dalam tiga tetap mempunyai Keesaan; bagaimanakah kita menjelaskan hal ini? Apakah ini konsep yang terikat oleh hukum matematika dan hukum logika manusia? Tidak! Sebab Allah adalah Allah yang transenden; Dia melampaui rasio dan logika manusia, melampaui segala sesuatu. Karena Allah adalah Allah bukanlah merupakan refleksi dari pikiran manusia tentang yang supra alamiah, maka Allah tidak diikat oleh logika, tidak diikat oleh matematika, dan mempunyai sifat supra alamiah yaitu: transenden.

Doktrin Allah Tritunggal merupakan Wahyu Allah yang diberikan kepada manusia secara bertahap (bersifat progresif). Di dalam Seri Pembinaan Iman Kristen mengenai “Iman dan Wahyu Allah” kita membahas istilah Wahyu Progresif (Progresif Revelation), yaitu Wahyu yang bersifat semakin maju, makin lama makin jelas; semakin lama muncul penjelasan-penjelasan yang semakin kompleks dan semakin sempurna. Bagaikan sebuah bibit bunga, yang ketika ditanam di tanah, mula-mula timbul daunnya, lalu tangkai, lalu akhirnya keluarlah bunga yang indah. Demikianlah juga pada waktu Allah memberikan Wahyu pengenalan akan diri-Nya, langkah demi langkah semakin lama semakin jelas. 

Pertama-tama Allah memberikan konsep pengenalan terhadap diri-Nya yang paling mendasar, yaitu Allah Yang Esa. Kemudian maju terus dengan wahyu yang semakin lama semakin jelas sampai kepada pengenalan bahwa Allah Yang Esa itu adalah Allah yang berpribadi tiga, Allah Tritunggal. Tetapi, mengapa tidak dari permulaan Allah menyatakan bahwa Dia adalah Allah yang mempunyai tiga Pribadi? Mengapa Dia memperkenalkan diri-Nya dengan memakai cara memberikan Wahyu yang bersifat memaju? Karena Allah ingin mencegah segala kemungkinan dari permulaan manusia sudah menangkap kesan atau konsep yang salah, sehingga jatuh kepada konsep politheisme. Maka monotheisme harus ditegakkan terlebih dahulu. 

Kepercayaan yang benar bukan kepada tiga Allah, melainkan kepada Satu Allah yang mempunyai tiga Pribadi. Maka kepercayaan kepada Allah Yang Esa haruslah ditegakkan lebih dulu, baru setelah itu secara lambat laun manusia diajarkan bahwa Allah Yang Esa itu mempunyai tiga Pribadi di dalam esensi atau substansi (sifat dasar) yang sama dengan Esa itu.

Kita telah melihat, pengertian yang salah terhadap doktrin Tritunggal ini bisa mengakibatkan manusia jatuh ke dalam dua kutub ekstrim yang salah, yaitu: (1) Monotheisme yang percaya kepada satu Allah dengan satu Pribadi dan tidak bisa menerima konsep Oknum Allah yang lebih dari satu; dan (2) Politheisme yang percaya kepada tiga allah yang tidak mungkin Esa, tidak mungkin mempunyai substansi yang sama. Kedua pandangan itu sesat dan merusak pengenalan kita terhadap Allah yang benar.

Untuk mencegah konsep yang salah itulah, Allah terlebih dahulu menegakkan konsep dasar: Allah itu Esa. Allah yang Tunggal, Allah yang Satu-Satunya. Apakah ini berarti bahwa konsep Tritunggal tidak diwahyukan oleh Tuhan sejak permulaan? Apakah konsep Tritunggal baru muncul belakangan? Tidak! Konsep Tritunggal sudah diwahyukan sejak mula sekali, sejak di permulaan Kitab Kejadian.

B. Istilah Yang Mengindikasikan Keesaan Allah

1). Pemakaian kata “kita” dalam Kitab Kejadian.

Pada waktu Tuhan Allah memberikan wahyu tentang diri-Nya di dalam Kejadian 1:26, 3:22, 11:7; Yesaya 6:8. Allah memakaikata ganti “Kita” untuk menyebut diri-Nya sendiri, bukan “Saya”. Berfirmanlah Allah, “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita….”(Kejadian 1:26). Siapakah yang dimaksud Kita di dalam ayat ini? “Kita” bukan menunjukkan satu pribadi tunggal, melainkan jamak, lebih dari satu. Ada yang menafsirkan “Kita” di sini menunjukkan perundingan antara Allah dan malaikat. Benarkah Allah bersama-sama malaikat dalam menciptakan manusia? Ini sama sekali salah! Jikalau “Kita” disini menunjukkan perundingan Allah dengan malaikat, maka berarti manusia tidak diciptakan langsung oleh Allah, melainkan oleh Pencipta yang bekerja sama dengan yang dicipta, sebab di dalam Yehezkiel dikatakan malaikat-malaikatpun adalah makhluk (creatures) yang diciptakan Allah (Yehezkiel 1:5-14, 9:3,10:1-22, bandingkan Kejadian 3:24, disebut Kerub atau Kerubim).

Di dalam seluruh Alkitab tidak pernah dikatakan bahwa malaikat adalah pencipta. Belum pernah dikatakan bahwa malaikat mencipta atau mengambil bagian di dalam karya Allah yang pertama, yaitu mencipta. Karya atau pekerjaan Allah sangat banyak, dan yang pertama adalah mencipta. Dan Allah disebut Allah, karena, yang pertama, Dia adalah Pencipta. Dia menciptakan segala sesuatu dari tidak ada (creation ex nihilo). Menciptakan dari kekosongan atau dari ketidak-adaan ini adalah tindakan atau pekerjaan yang hanya bisa dilakukan oleh Allah sendiri. Betapa pun besarnya kuasa dan kemuliaan malaikat atau penghulu malaikat, tidak dapat membuat mereka loncat dari derajat yang dicipta menjadi Yang Mencipta. Mencipta adalah pekerjaan Allah sendiri. Lagi pula manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, bukan menurut gambar dan rupa malaikat.

Pada waktu Allah Pencipta mengatakan, “Marilah Kita menciptakan manusia…” di sini Dia mewahyukan suatu pikiran yang penting, meskipun tidak terlalu jelas bahwa Allah itu lebih dari satu Pribadi. “Kita” di dalam Kejadian 1:26 ingin menunjukkan bahwa itu adalah perundingan di antara Pribadi-Pribadi yang berada di dalam Diri Allah Yang Esa. Di sini doktrin Tritunggal sudah dinyatakan, walaupun dalam bentuk yang tidak jelas.

2. Sebutan Elohim bagi Allah

Istilah atau sebutan Allah yang dipakai selalu dalam bentuk jamak, yaitu Elohim, bukan dalam bentuk tunggal, El. Di dalam tata bahasa Indonesia konsep ini tidak ada. Dalam bahasa Inggris kita masih melihat hal yang seperti demikian, misalnya bentuk tunggal ditambah “s” untuk menunjukkan jamak. (one boy, two boys, atau many boys). Tetapi didalam bahwa Ibrani selain bentuk tunggal (singular) dan jamak (plural) juga ada bentuk dua atau ganda (dual). 

Hal ini sangat unik dan tidak terdapat dalam bahasa Yunani, bahasa Inggris dan bahasa-bahasa di Eropa atau di dunia Barat lainnya, maupun bahasa-bahasa di Timur. Allah begitu teliti di dalam memilih bahasa yang akan dijadikan-Nya sebagai media untuk memperkenalkan diri melalui Wahyu-Nya. Dia memilih bahasa Ibrani yang mempunyai keajaiban tersendiri. Di dalam Alkitab, di dalam bahasa Ibrani, sebutan yang dipakai untuk Allah tidak memakai bentuk tunggal (singular) ataupun bentuk dua atau ganda (dual), melainkan bentuk jamak (plural).

Bukan saja sebutan TUHAN selalu muncul dalam bentuk jamak, namun juga seringkali sebutan TUHAN atau ucapan terhadap TUHAN muncul diulangi tiga kali. Misalnya: Setiap kali Musa dan Harun memberkati bangsa Israel mereka mengucapkan doa berkat, sebagaimana yang diperintahkan Tuhan Allah sendiri, sebagai berikut:

“TUHAN memberkati engkau dan melindungi engkau; TUHAN menyinari engkau dengan wajah-Nya Dan memberikan engkau kasih karunia; TUHAN menghadapkan wajah-Nya kepadamu dan memberi engkau damai sejahtera.” (Bilangan 6:24-26)

Demikian juga dalam penglihatan Yesaya, para Serafim memuji kepada Tuhan Allah: “Kudus, kudus, kuduslah TUHAN semesta alam, Seluruh bumi penuh kemuliaan-Nya.” (Yesaya 6:3).

Rupanya ada kebiasaan di antara orang-orang Israel menyebut Bait TUHAN juga tiga kali (Yeremia 7:4). Hal ini bukan sesuatuyang secara kebetulan muncul berkali-kali di dalam Alkitab, namun mengindikasikan bahwa konsep Allah Tritunggal sudah mulai diwahyukan dan ditanamkan khususnya kepada bangsa Israel, sejak mula-mula sekali.

Ada bantahan yang mengatakan bahwa hal itu merupakan sesuatu yang umum dalam pembentukan bahasa-bahasa di Timur Tengah. Pada waktu mereka menyebut dewa atau ilah mereka, mereka juga tidak pernah memakai bentuk tunggal, melainkan bentuk jamak, sebagai indikasi yang menunjukkan penghormatan mereka terhadap yang harus lebih dihormati dari manusia, yaitu dewa atau ilah mereka. 

Di daerah-daerah tertentu di Indonesia, penggunaan kata “kita” atau “kami” juga sering dipakai sebagai kata ganti orang dalam pengertian tunggal). Hal ini memang benar, namun bukan berarti kita bisa menyangkal bahwa Allah telah menyatakan diri dengan cara berbeda dari cara bangsa-bangsa lain menyebut dewa-dewa mereka. Lagipula, kebiasaan menyebutkan dewa atau ilah mereka dengan bentuk jamak ini baru muncul jauh sesudah Kitab Kejadian dituliskan melalui Musa.

Di dalam Alkitab, pada waktu Allah menyebut diri-Nya sendiri dengan sebutan “Kita”, Dia menyatakan diri-Nya sebagai Pencipta (Creator), Penebus (Redeemer), dan Pewahyu (Revealer).

Inilah tiga karya yang hanya dapat dikerjakan oleh Allah sendiri: (1) Penciptaan (Creation), (2) Penebusan (Redemption), dan (3) Penyataan/Wahyu (Revelation). Hanya Allah sendiri yang dapat melakukan ketiga pekerjaan itu, dan di dalam ketiga karya itu tidak ada campur tangan dari pribadi atau oknum yang lain. 

Sebagai Pencipta, Allah bukan saja telah menciptakan segala sesuatu yang diciptakan-Nya sampai pada waktu yang ditetapkan menurut kehendak-Nya. Maksudnya, kalau segala sesuatu bisa ada, itu adalah karena kuasa penciptaan Allah; dan kalau yang ada itu bisa berada terus didalam jangka waktu yang ditetapkan oleh Tuhan, itu adalah karena kuasa penopangan-Nya. Dan sebagai Pencipta, Dia juga akan menyempurnakan atau menggenapi segalanya. Segala yang ada akan disempurnakan menurut waktu dan rencana-Nya.

Allah Pencipta, Penebus, dan Pewahyu, yang menyebut diri dengan sebutan “Kita” inilah yang telah mewahyukan atau menyatakan diri kepada manusia bahwa Dia adalah Allah yang lebih dari satu Pribadi, bukan satu Pribadi juga bukan dua Pribadi, melainkan banyak Pribadi. Kalau banyak, mengapa kita harus berhenti pada tiga Pribadi? Mengapa bukan empat, lima, dan seterusnya? Karena selain Ketiga Pribadi yang tersembunyi dan dinyatakan didalam Wahyu yang bersifat progresif ini, tidak ada pribadi lainnya lagi. Tiga menjadi angka eksklusif dan sempurna dari diri Allah. Tiga merupakan angka mutlak bagi Allah Tritunggal dan tidak dapat ditambahkan lagi.

Namun, satu hal yang perlu kita perhatikan di dalam ayat-ayat ini ialah bentuk kata kerja yang mengikuti sebutan Allah ini. Walaupun sebutan Allah ini selalu dalam bentuk jamak (Elohim), namun kata kerja yang mengikutinya selalu memakai kata kerja untuk bentuk tunggal. Biasanya subyek berbentuk jamak diikuti predikat kata kerja yang berbentuk jamak juga; demikian pula kalau subyek berbentuk tunggal memakai kata kerja berbentuk tunggal. Contoh di dalam bahasa Inggris: He (singular subject) does(singular verb) something. They(plural subject) do (plural verb)something. Sebenarnya hal ini berlaku juga dalam bahasa Ibrani. Namun, setiap kali Alkitab mencatat Elohim (bentuk jamak dari El) mengerjakan sesuatu, selalu memakai kata kerja bentuk tunggal.

C. Cara Allah Menyatakan Diri : Antropomorfe

Di dalam Perjanjian Lama beberapa kali dicatat Pribadi Oknum Kedua Allah yang menyatakan diri kepada manusia dalam bentuk Antropomorfe (Yunani: anthopos= manusia, morphe = bentuk); maksudnya dalam bentuk manusia. Misalnya: Di taman Eden, Adam dan Hawa bercakap-cakap dengan Tuhan Allah sampai manusia berdosa dan diusir dari sana (Kejadian 2:15-3:21); Tuhan menampakkan diri dan mengunjungi Abraham beberapa kali di dekat Sikhem, yakni di pohon terbantin di More (Kejadian 12:6-7), dikemahnya di Mamre (Kejadian 18); Tuhan menampakkan diri kepada Ishak di Gerar dan mengulangi janji-Nya dulu kepada Abraham (Kejadian 26:1-6); Yakub bergumul melawan Allah di sungai Yabok (Kejadian 32:22-32); Musa bertemu dan bercakap-cakap dengan Allah di gunung Horeb (Keluaran 3:1-4:17). Yosua bertemu dengan Tuhan di dekat Yerikho (Yosua 5:13-15). Tuhan menampakkan diri kepada Manoah dan kepada istrinya (Hakim-Haklim 13:1-18), dan lain-lainnya. Di dalamPerjanjian Lama tercatat lebih dari 40 kali Tuhan menampakkan diri kepada manusia.

Namun, Alkitab juga mengatakan bahwa tidak ada seorang pun yang pernah melihat Allah (Yohanes 1:18a), dan Allah memang tidak dapat dilihat. Kalau Perjanjian Lama berkali-kali mencatat ada orang-orang yang bertemu dengan Allah, apakah ini berarti mereka bertemu dengan allah yang lain, karena Allah yang sejati tidak pernah, tidak dapat, dan tidak mungkin dilihat oleh manusia? Apakah ini hanya khayalan orang-orang itu yang kemudian menganggap dan mengatakan bahwa mereka sudah bertemu dengan Allah, seperti yang ditafsirkan oleh banyak psikolog modern?

Istilah atau sebutan yang dipakai di dalam ayat-ayat tadi sebenarnya adalah Utusan/Malaikat Allah (Yunani: Apostolos berarti Rasul yang diutus Allah; Inggris: The messenger of God). Di dalam Perjanjian Lama belum ada rasul, sehingga pada waktu itu Utusan Allah ini hanya dimengerti sebagai malaikat. Di antara malaikat-malaikat Allah atau utusan-utusan Allah itu ada satu Malaikat yang muncul dalam bentuk tunggal (LAI menggunakan huruf “M” besar), yang lain dari semua malaikat yang lain dan yang tidak berada di dalam tingkat malaikat melainkan melampaui semua malaikat. Siapakah Malaikat Allah yang satu ini? Di dalam Ibrani 1:5 dan seterusnya tertulis:

“Karena kepada siapakah di antara malaikat-malaikat itu pernah Ia katakan, “Anak-Ku Engkau! Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini?” dan “Aku akan menjadi Bapa-Nya, dan Ia akan menjadi Anak-Ku?” Dan ketika Ia membawa pula Anak-Nya yang sulung ke dunia, Ia berkata, “Semua malaikat Allah harus menyembah Dia.” Dan tentang malaikat-malaikat Ia berkata, “Yang membuat malaikat-malaikat-Nya menjadi badai, dan pelayan-pelayan-Nya menjadi nyala api.” Tetapi tentang Anak Ia berkata, “Takhta-Mu, ya Allah, tetap untuk seterusnya dan selamanya, dan tongkat kerajaan-Mu adalah tongkat kebenaran.”

Di dalam ayat-ayat di atas kita melihat suatu konsep Kristologi yang sudah berkembang luar biasa dari penulis kitab Ibrani. Siapakah yang bisa dan layak menerima sembah sujud dari manusia kecuali Allah? Dan di sini, bukan manusia yang diperintahkan menyembah Dia, melainkan malaikat-malaikat. Mari, kita lihat, Malaikat Allah yang Tunggal ini berhak menerima sembah sujud dari malaikat-malaikat yang lain.

Di dalam salah satu syair yang teragung di sepanjang sejarah Inggris, di dalam “Paradise Lost” dari John Milton, terungkap suatu pikiran teologis yang luar biasa agungnya, yang berdasarklan Alkitab, jauh lebih agung dari pada teologis dari banyak dosen pengajar di sekolah-sekolah teologi, mengenai sebab malaikat diusir dari sorga. Malaikat jatuh menjadi iblis dan akhirnya dibuang adalah karena ia tidak taat pada perintah Allah yang satu ini, “Semua malaikat harus menyembah Dia (Anak).” Kalau Allah adalah satu-satunya Pribadi yang menjadi obyek sembah sujud segala makhluk yang lain, maka siapakah Dia ini, yang kepada-Nya Allah memerintahkan semua malaikat menyembah? Dia adalah Utusan Allah yang lain dari yang lain, bukan utusan yang menyembah Allah, melainkan Utusan yang adalah Allah menerima sembah sujud malaikat-malaikat yang lain. Dia adalah Kristus!

Pada waktu Yesus Kristus berinkarnasi berlaku: Semua malaikat harus bersembah sujud kepada Dia. Tetapi iblis, bukan saja tidak mau menyembah sujud kepada-Nya, malahan pada waktu mencobai Yesus dipadang gurun ia membalikkan kebenaran atau perintah ini, minta Yesus menyembah dia, “Segala kuasa itu (dunia) serta kemuliaannya akan kuberikan kepada-Mu,…. Jikalau Engkau menyembah aku…”(Lukas 4:6-7). Karena Kristus mengetahui di mana posisi atau status-Nya, Dia adalah Allah yang menerima sembah sujud dari oknum yang lain, maka Dia menolak hal itu. Dan Yesus menjawab, “…Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!” Lalu iblis meninggalkan Dia, dan malaikat-malaikat datang melayani Yesus (Lukas 4:8; Matius 4:11).

Di dalam Kejadian 19:24, kita mambaca, “Tuhan menurunkan hujan belerang dan api atas Sodom dan Gomora, yang berasal dari Tuhan yang berada di Sorga.” Disini kita melihat dengan jelas ada dua Pribadi Allah, yaitu Pribadi Kedua yang menyatakan diri sementara dalam bentuk tubuh manusia yang bisa dilihat oleh manusia, yang menerima doa permohonan Abraham, menyatakan kuasa ilahi-Nya menurunkan api dari Allah Pribadi Pertama ke dunia.

Siapa bilang konsep Tritunggal tidak ada di Perjanjian Lama? Memang benar, istilah “Tritunggal” tidak muncul, namun konsep wahyu dan realita tentang Allah Tritunggal sudah tersedia baik di Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Janganlah Saudara mudah dikacaukan oleh berbagai macam ajaran seperti Saksi Yehovah, UnificationChurch (Dr. Moon), dll.

Pribadi Kedua dari Allah Tritunggal pernah menampakkan diri dalam bentuk secara sementara inilah yang dimaksud Antropomorfi. Antropomorfi ini berbeda dengan inkarnasi. Di dalam inkarnasi-Nya (Latin: in = di dalam, carne =daging), Allah Pribadi Kedua betul-betul mempunyai (bersalut dengan) daging dan darah, betul-betul dilahirkan menjadi anak dara Maria dan hidup ditengah-tengah manusia, sehingga disebut Immanuel (Allah beserta kita). Jadi, yang dilihat manusia di dalam Perjanjian Lama adalah Allah Pribadi Kedua, bukan Pribadi Pertama, yang dalam bentuk manusia untuk sebentar, sebelum inkarnasi; kemudian Dia kembali lagi ke Sorga.

Dengan demikian, orang-orang di Perjanjian Lama sudah melihat Kristus, dan hal ini tidak bertentangan dengan apa yang dikatakan Alkitab, bahwa tidak ada orang yang pernah melihat Allah. Maksudnya, Alllah Bapa, Pribadi Pertama, tidak pernah menyatakan diri dalam bentuk manusia, sehingga tidak pernah dilihat oleh manusia, tetapi Anak-Nya, Pribadi Kedua, pernah, dan juga di dalam inkarnasi-Nya, Pribadi Kedua secara konkrit menyatakan diri kepada manusia, sehingga manusia melihat Kristus yang masuk ke dalam sejarah manusia. Sebagai manusia di dunia ini, Kristus tetap mempunyai sifat ilahi, disamping sifat manusia-Nya. Hal ini perlu kita tegaskan terus menerus.

D. Tritunggal Dalam Pengajaran Para Rasul

Kita akan melihat bagaimana para rasul sangat menghayati pengertian akan Wahyu yang diberikan kepada mereka mengenai Tritunggal. Secara tidak langsung mereka sudah mengalami dan menghayati pengertian Wahyu tentang Tritunggal, sekalipun mereka tidak menguraikannya secara istilah. Jikalau muncul pertanyaan, “Apakah istilah Tritunggal muncul (terdapat) di dalam Perjanjian Lama?, maka jawabannya, “Tidak” dan “Apakah istilah Tritunggal muncul di dalam Perjanjian Baru? Maka jawabannya juga“Tidak!” Tetapi ini tidak berarti konsep Allah Tritunggal tidak terdapat di dalam Perjanjian Lama dan di dalam Perjanjian Baru. Bukan saja di dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru terdapat konsep mengenai Tritunggal, bahkan konsep Tritunggal hanya ada didalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Di luar Alkitab tidak ada kemungkinan manusia mempunyai pengertian mengenai Tritunggal.

Kalau kita mempelajari filsafat Plato, diantara para filsafat seolah-olah hanya Plato yang mempunyai konsep sedikit mirip dengan Tritunggal. Plato mengatakan bahwa Allah itu seperti suatu terang, lalu ada cahaya yang keluar dari padanya, dan ada hangat yang berada di dalamnya. Ketiganya itu adalah satu. Pemikiran semacam ini seperti sangat mirip, tetapi tetap tidak sama dengan konsep Allah Tritunggal. Yang serupa (mirip) tidak berarti sama.

Di dalam hidup dan kerohanian para rasul (di dalam Perjanjian Baru), konsep Allah Tritunggal ini sudah mereka alami dan mereka hayati secara tidak sadar. Hal ini nampak di dalam tulisan-tulisan mereka yang diwahyukan Allah. Yang paling jelas kita lihat adalah di dalam doa berkat yang Paulus berikan kepada jemaat-jemaat. (Berkat ini sekarang dijadikan standar oleh para pendeta di seluruh dunia): “Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus, dan kasih Allah dan persekutuan Roh Kudus, menyertai kamu sekalian.” (2 Korintus 13:13).

Hanya Allah-lah satu-satunya yang menjadi Sumber Berkat bagi manusia. Tetapi di sini Paulus menyebutkan tiga Pribadi, karena di dalam penghayatannya dia percaya ada tiga Sumber yang menjadi satu-satunya Sumber yang memberikan berkat bagi manusia: Allah Bapa, Kristus, dan Roh Kudus. Sekalipun tidak memakai istilah Tritunggal, tetapi hal itu sudah dihayati, diterapkan, dan dipakai di dalam mengucapkan berkat. 

Kita juga melihat ketiga Pribadi Allah muncul di dalam 1 Petrus 1:2 (Ayat ini juga berisi definisi terbaik, terlengkap dan tertepat di dalam Alkitab mengenai orang Kristen) : “….yaitu orang-orang yang terpilih, sesuai dengan rencana Allah, Bapa kita, dan yang dikuduskan oleh Roh, supaya taat kepada Yesus Kristus dan menerima percikan darah-Nya. Kiranya kasih karunia dan damai sejahtera makin melimpah atas kamu.”

Di sini dari ketiga Pribadi Allah, yang muncul pertama kali adalah Pribadi Pertama, kemudian Pribadi Ketiga, dan terakhir Pribadi Kedua. Rencana pilihan dari Bapa, Roh Kudus menggerakkan kita agar taat kepada Kristus yang sudah mati dan memberikan darahNya untuk menyucikan kita. Bapa memilih, Roh Kudus melaksanakan, dan Kristus menggenapi. Hal ini menunjukkan bahwa para rasul mengenal Kristus dan Roh Kudus, dan mereka menyetarakan kedua Pribadi ini dengan Allah Bapa, karena mereka mengetahui hanya ketiga Pribadi ini sajalah yang memiliki ousia Allah Yang Esa itu. Selain ketiga Pribadi ini tidak ada lagi yang mempunyai sifat dasar Allah. Ketiga Pribadi ini menjadi Sumber Berkat.

Kiranya orang-orang Kristen tidak lagi diombang-ambingkan oleh ajaran-ajaran sesat seperti Saksi Yehovah, Mormon, Unitarian, Unification Church (Dr. Moon), dan Teologi Liberal, yang kini sedang menjalar di Indonesia. Semua ajaran itu menyangkal dokltrin Tritunggal yang benar. Cukup banyak gereja yang tidak atau kurang mengajarkan doktrin-doktrin yang penting sepertri Tritunggal ini kepada anggota-anggota jemaatnya, sehingga mereka dihanyutkan oleh pengajaran yang sesat.

Perlu kita pertanyakan: Sementara agama-agama lain, dan bidat-bidat, sangat menekankan dan menyebarkan ajaran-ajaran mereka dengan berani melalui media massa, mengapa orang-orang Kristen justru tidak mementingkan dan melalaikan doktrin? Bukankah data yang ada mencatat bahwa Saksi Yehovah mendapatkan anggotanya 70% dari Kristen Protestan dan Katolik, sedangkan Mormon 80%. 

Mereka tidak menginjil atau mencari jiwa-jiwa yang baru, melainkan hanya menarik atau mengeluarkan orang-orang yang sudah berada di dalam pukat Tuhan ke dalam gereja mereka serta mengajarkan ajaran-ajaran yang menyesatkan, termasuk ajaran Tritunggal yang tidak beres. Mengapa kita tidak baik-baik dan cepat-cepat mengajarkan doktrin yang sangat penting ini, sehingga mereka yang sudah disesatkan itu sulit dikembalikan kepada ajaran yang benar? Sebelum hal itu terjadi lebih parah lagi, mengapa gereja tidak cepat-cepat mencegahnya dengan mengajarkan doktrin yang benar kepada mereka?

PENUTUP

Kalau doktrin Allah Tritunggal ini disalah mengerti, akan menimbulkan dua pandangan ekstrim yang keliru: (1) Percaya akan tiga allah, dan (2) Percaya akan satu allah yang memakai tiga topeng. Kedua-duanya bukan ajaran Kristen; bukan teologi yang berdasarkan Alkitab yang benar; bukan ajaran mengenai Allah yang sejati.

Allah yang sejati adalah Allah yang mempunyai ousia ilahi, tiga Prosopon; satu sifat dasar ilahi, tiga Pribadi. Orang-orang Yahudi hingga kini tidak bisa menerima Tritunggal, demikian pula orang-orang Islam, Mormon, Saksi Yehovah. Orang-orang Yahudi tetap mempertahankan iman monoteistik, percaya kepada Allah yang tunggal, tetapi tidak mempunyai tiga Pribadi. Mereka memegang erat paham itu sejak zaman Moses Maimonaides (abad pertengahan), yang dianggap sebagai “Musa kedua didalam sejarah bangsa Yahudi”. 

Musa pertama adalah Musa yang menulis Pentateukh (kelima kitab Taurat). Untuk mempertahankan pandangannya, Moses Maimonaides mengemukakan kata Ibrani “yachid” yang berarti yang satu-satunya, tidak ada yang lainnya (the only one, anda no more other). Dengan kata “yachid” ini, Moses Maimonaides dengan serius dan ketat melarang orang Israel menerima konsep Allah Tritunggal, sebab dia hanya percaya kepada Allah Yang Tunggal, tetapi tidak “tri” atau terdiri dari tiga Pribadi.

Sampai kemudian ada seorang teolog Reformed bernama Loraine Boettner, yang setelah menyelidiki dengan teliti, mengemukakan di dalam bukunya, “Itu kesalahan yang telah mengurung bangsa Yahudi selama kira-kira 800 tahun, sehingga mereka tidak bisa menerima konsep Allah Tritunggal, karena diikat oleh istilah “yachid” yang diajarkan oleh Moses Maimonaides. Tetapi itu salah, karena di dalam Alkitab istilah “yachid” tidak pernah dipakai untuk Allah.”

Istilah “yachid” dipakai dalam pengertian tunggal yang benar-benar hanya satu; misalnya, Allah berkata kepada Abraham, “Ambillah anakmu yang tunggal itu….” (Kejadian22:2). Kata “tunggal” di sini memakai istilah “yachid” sebab artinya adalah satu-satunya, tidak ada yang lain. Tetapi untuk Allah dipakai istilah “ehad”, bukan “yachid”. Ehad berarti satu, yachid berarti hanya satu. Dimana letak perbedaannya? Misalnya, di dalam Kejadian 1 dikatakan, “Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari pertama.” Adalah satu hari, hari pertama; maka, satu di sini memakai istilah ehad, sebab di dalam satu hari ini mengandung dua yang disatukan petang dan pagi. Jadi, ehad adalah kesatuan dari penyatuan, sedangkan yachid adalah kesatuan yang mutlak tunggal, satu-satunya.

Demikian pula ketika Allah berkata, “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.” (Kejadian 2:24). Kata “satu” di sini memakai kata“ehad”, sebab ini merupakan kesatuan hasil persatuan dua insan. Demikian pula“ehad” sekali lagi dipakai di dalam Ulangan 6:4 : “Dengarlah, hai Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu Esa!”, karena ini merupakan kesatuan dari persatuan ketiga Pribadi, yaitu Pribadi Bapa, Pribadi Anak, dan Pribadi Roh Kudus.

Jikalau kita tidak percaya Allah itu adalah Allah Tritunggal, maka kita tidak berhak percaya bahwa Allah itu Kasih adanya. Sebab jikalau Allah hanya Tunggal dan bukan Tritunggal, siapakah yang menjadi obyek kasih-Nya sebelum segala sesuatu diciptakan? Kalau Dia adalah Allah yang Kasih, tetapi sebelum segala sesuatu ada, tidak ada obyek kasih-Nya, maka Dia akan merasakan kesepian yang akan menjadi masalah. Sebelum segala sesuatu diciptakan, sebelum ada waktu dan tempat, di dalam kekekalan, Dia tetap adalah Allah yang Kasih dan Dia adalah Allah yang Kekal, sebab di antara ketiga Pribadi itu Allah saling mengasihi. Allah Tritunggal; dan Allah yang Kasih menjadi gabungan yang kekal; Allah yang Kekal mempunyai kasih yang kekal juga.

Baca Juga: Mengenal Allah Tritunggal

Maka, di dalam agama apapun di luar Kekrisatenan, tidak ada ungkapan Allah itu Kasih, sebab mereka tidak mampu menggabungkan Allah yang Tunggal dengan Allah yang Kasih dan Allah yang Kekal. Di sinilah keunikan teologi Kristen. Satu-satunya agama yang menyatakan Allah adalah Kasih adalah yang didasarkan atas kepercayaan bahwa Allah adalah Allah Tritunggal. Dan karena Allah Tritunggal adalah Allah yang Kasih, maka Dia berhak menuntut kepada manusia, “Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu, dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap kekuatanmu.” (Ulangan 6:5). Jikalau kita percaya Allah Tritunggal, kita harus mengasihi Dia dan jikalau kita mencintai-Nya, kita harus mentaati segala perintah-Nya. Amin.

Nama Buku : Allah Tritunggal (Edisi Revisi)
Sub Judul : Pengertian Tritunggal
Penulis : Pdt. DR. Stephen Tong
Penerbit : Momentum, 2013
Halaman : 29 – 45; 70-73, 107-109
Next Post Previous Post