KERUSAKAN TOTAL MANUSIA BERDOSA

Antonius Steven Un, S.Kom., M.Div.

Pendahuluan

Konsep Kerusakan Total orang Berdosa atau yang dikenal dengan Total Depravity of Sinners merupakan konsep pertama dari “Lima Pokok Calvinisme”, yang dirumuskan di Dortrecht, Belanda tahun 1600-an, untuk melawan pengajaran sesat dari Jacobus Arminius dan pengikutnya. Salah satu a mereka adalah bahwa manusia pada dasarnya baik, tidak bersalah.
KERUSAKAN TOTAL MANUSIA BERDOSA
otomotif, business
1. Arti Positif: ”Seluruh Aspek Hidup Manusia Tercemar Dosa”

Secara positif, konsep ini berarti bahwa seluruh aspek hidup manusia telah tercemar oleh dosa, tanpa kecuali. Bahwa semua manusia sudah jatuh dalam dosa tanpa kecuali, merupakan suatu konsep yang namanya Universalitas Dosa. Memang antara konsep ini dengan konsep Kerusakan Total tidak bisa dipisahkan, namun yang terakhir ini membicarakan tentang segala aspek hidup manusia telah tercemar.

Secara vertikal, pencemaran itu masuk hingga ke akar hati manusia (radical = radix = root = akar). Itu sebabnya Kejadian 6:5 menegaskan bahwa dalam dosa, kecenderungan hati manusia selalu membuahkan kejahatan semata-mata. Hal ini justru mengerikan karena hati manusia merupakan pusat kehidupan manusia, yang sangat dekat dalam hidup manusia, tersembunyi dan terus bekerja. Kalau begitu, hidup manusia sudah begitu dalamnya jatuh dalam dosa. Secara horisontal, pencemaran dosa merasuk masuk ke dalam segala aspek manusia, baik kemampuan agama (sense of divine), kemampuan bahasa, kemampuan seni, rasionalitas, kreativitas, moralitas, relasional, dan sebagainya.

Pencemaran ini menyebabkan kerusakan. Kata ”rusak” berarti tidak lagi berfungsi sebagaimana seharusnya. Itu sebabnya, segala aspek hidup manusia sebenarnya masih ada, tidak hilang, sebagaimana yang ditegaskan oleh John Calvin bahwa gambar Allah tidak hilang melainkan rusak alias tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya. Kemampuan akal dan agama misalnya, masih ada tetapi tidak lagi membawa akal dan agama kembali kepada Tuhan sejati tetapi kepada berhala dan allah palsu. Hal ini dapat diumpamakan dengan mobil dimana semua onderdilnya masih ada tetapi tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya, tidak dapat bekerja seharusnya.

Jika seluruh aspek se dalam-dalamnya dan seluas-luasnya telah tercemar oleh dosa maka kita sekarang harus memikirkan kalau begitu apakah dosa itu, yang telah mencemari hidup manusia. Dosa secara esensi adalah perlawanan kepada Tuhan sebagaimana yang ditegaskan Daud dalam Mazmur 51:6: “Terhadap Engkau, terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa dan melakukan apa yang Kau anggap jahat.”

Hal ini tidak berarti bahwa dalam dosa Daud, ia tidak sama sekali merugikan orang lain. Jelas Daud merugikan Batsyeba dan Uria. Lihat saja, setelah Batsyeba hamil, Daud begitu jahatnya ingin menutupi dosa dengan berbuat licik kepada Uria. Ia memanggil Uria, memberi hadiah dan memabukkannya dengan maksud supaya Uria pergi dan tidur dengan Batsyeba, dengan demikian janin itu adalah benih dari Uria. Tetapi Uria begitu setia kepada Raja, mengingat pasukan kerajaan yang sedang berperang, ia merasa diri tidak layak untuk beristirahat dan enak-enakkan. Uria begitu setia kepada Daud tetapi Daud begitu jahat kepadanya. Tetapi, dalam refleksi akan dosa-dosanya, Daud menegaskan bahwa dosa itu sesungguhnya adalah melakukan apa yang Tuhan anggap jahat.

Di sini, dosa tidak berarti sekedar perasaan tidak enak saja, sekedar mengganggu perasaan orang lain, sekedar kelemahan dan ketidaksempurnaan, sekedar kerugian secara materi. Dosa banyak kali mengenakkan perasaan, didukung banyak orang dan mendatangkan keutungan secara materi. Tetapi jangan lupa bahwa dosa adalah melakukan apa yang jahat di mata Tuhan.

Kerusakan total ini memimpin kepada ketidakmampuan total. Ketidakmampuan total mencakup tiga aspek: tidak mampu memahami kebenaran sejati, tidak mampu menginginkan kebenaran sejati, tidak mampu melakukan kebaikan sejati. Ketidakmampuan mengenal kebaikan sejati tercermin dalam ungkapan “tidak ada yang berakal budi” (Mazmur 53). 

Di sini bukan soal ada tidaknya akal budi tetapi dalam bahasa Inggris jelas: no one who understand (tidak ada yang mengerti). Hal ini bahwa segala kebenaran itu bukan saja melampaui akal manusia tetapi bahwa tanpa pertolongan Roh Kudus, akal berdosa tidak bisa memahami kebenaran sejati. Itu sebabnya, penginjilan begitu sulit membuat orang memahami semua kebenaran ini.

Aspek kedua adalah tidak mampu menginginkan kebenaran sejati. Hal ini karena dosa adalah perlawanan kepada Allah sehingga semakin berdosa, semakin jauh dari Tuhan, berjalan bertolak belakang dengan Tuhan. Celakanya, semakin beragama, seperti dikatakan John Stott, semakin membawa manusia jauh dari Tuhan. Semakin beragama, semakin merasa diri benar, dan semakin tidak menginginkan Injil dan kebenaran sejati. Celaka!

Aspek ketiga adalah ketidakmampuan melakukan kebaikan sejati. Karena yang sejati hanyalah Allah Tritunggal maka kebaikan sejati haruslah memenuhi tiga standar: dalam iman kepada Tritunggal, menurut hukum Tritunggal dan bermotivasi memuliakan Tritunggal. Kalau begini maka tidak ada orang yang sanggup memenuhi apa yang seharusnya dan kebaikan yang dilakukan hanyalah kebaikan semu.

Hal ini yang tergambar jelas dalam perikop Lukas 18:18-27. Seorang pemimpin datang dan bertanya, “Guru yang baik, apa yang harus aku perbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?”. Terkandung beberapa kelemahan dalam pertanyaan ini. 

Pertama, ia memahami Tuhan Yesus sekedar sebagai guru yang baik. 

Kedua, ia merasa perbuatan baik manusia dapat diandalkan untuk mencapai keselamatan. Ketiga, ia merasa bahwa ia sanggup berbuat baik agar diselamatkan. Tuhan Yesus menjawab kelemahan-kelemahan ini dengan lugas dan tuntas.

Tuhan Yesus mengkritisi pengenalan sang pemimpin akan diri Tuhan Yesus, sekedar guru yang baik. Jika demikian, Tuhan Yesus berkata, tidak ada yang baik kecuali Allah. Kalau ia mengenal Yesus sebagai Allah, jelas baik. Sebab yang ditegaskan Tuhan Yesus adalah bahwa di antara manusai tidak ada yang baik. Tuhan Yesus juga menguji moralitas dengan memberikan lima hukum dari bagian kedua 10 hukum Taurat. Ia menjawab, “semuanya telah kuturuti sejak masa mudaku” (21). Kemudian Tuhan Yesus menguji moralitasnya: apakah sejati mencapai esensi atau tidak yaitu dengan menyuruhnya menjual segala harta dan memberi kepada orang miskin kemudian mengikuti Yesus.

Baca Juga: Kerusakan Total (Dosa, Mati Rohani Dan Berbuat Dosa)

Ada dua esensi dari 10 hukum: mengasihi Allah dan mengasihi manusia. Tuhan Yesus sedang menguji benarkah ia mengasihi Allah lebih dari harta? Ternyata tidak. Tuhan Yesus juga sedang menguji benarkah ia mengasihi manusia? Ternyata tidak. Jadi, apa yang dia lakukan Cuma fenomena, tidak mencapai esensi. Karena itu, sulit bagi manusia dengan perbuatan baik bisa diselamatkan, ibaratnya seekor unta masuk lubang jarum.

2. Arti Negatif: “Bukan Kerusakan Mutlak”

Kerusakan total bukan berarti kerusakan mutlak. Kerusakan mutlak berarti manusia berbuat serusak-rusaknya sesuai dengan potensi kemungkinan ia bisa berbuat dosa. Tidak! Di antara manusia yang jahat, banyak contoh kalau ada kebaikan semu yang bisa ia lakukan.

Lagipula, kerusakan total tidak berarti manusai tdiak dapat mengenal Allah sama sekali karena manusia diberi Wahyu Umum melalui alam, sejarah dan hati nurani.
Next Post Previous Post