JODOH KRISTEN: TAKDIR ATAU PILIHAN?
Pdt. Samuel T. Gunawan, M.Th.
Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap? (2 Korintus 6:14)
Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap? (2 Korintus 6:14)
bisnis, otomotif |
Pendahuluan
Berbicara tentang jodoh, secara umum ada ada dua pandangan yang berbeda, yaitu pandangan bahwa jodoh adalah takdir dan pandangan bahwa jodoh adalah pilihan. Pandangan takdir atau disebut juga determinisme, mengakui bahwa jodoh seseorang itu telah ditentukan oleh Tuhan, sehingga tidak perlu berusaha atau melakukan upaya apa pun untuk mendapatkan jodoh.
Pandangan seperti ini pada akhirnya menggiring seseorang pada determinisme fatalistik yaitu pandangan yang beranggapan bahwa setiap kejadian sudah ditentukan, dan manusia hanya bisa menerima apa yang sudah ditentukan tanpa bisa berbuat apa-apa. Menurut pandangan ini, manusia hanyalah “wayang” yang melakoni apa saja yang dikehendaki oleh “sang dalang”. Orang-orang yang begitu saja menerima segala sesuatu yang terjadi sebagai nasib (takdir) yang ditentukan, bersikap pasrah pada nasib dan tak ingin merubahnya, disebut fatalistik.
Sebaliknya, pandangan pilihan mengakui bahwa jodoh semata-mata adalah pilihan yang melibatkan keputusan dan kehendak manusia tanpa melibatkan Tuhan. Pilihan diartikan sebagai penentuan atau pengambilan sesuatu berdasarkan keputusan atau kehendak sendiri. Pandangan ini lebih menekankan pada kehendak bebas (free will) manusia. Kehendak bebas adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk membuat pilihan secara sukarela, bebas, dari segala kendala ataupun tekanan yang ada. Lalu, bagaimana pandangan Alkitab mengenai hal ini?
MANUSIA DAN KEHENDAK BEBAS.
Manusia adalah makhluk ciptaan yang berpribadi, yang diciptakan menurut rupa dan gambar Allah (Kejadian 1:26). Kata Ibrani “gambar” adalah “tselem” yang berarti gambar yang dihias, suatu bentuk dan figur yang representatif yaitu suatu gambar dalam pengertian yang konkret atau nyata.
Kata Ibrani “rupa” adalah “demuth” yang mengacu pada arti kesamaan tapi lebih bersifat abstrak atau ideal. Jadi, menyatakan bahwa manusia adalah gambar dan rupa Allah berarti menjelaskan bahwa manusia dalam hal tertentu merupakan refleksi yang nyata dari Allah yang hidup, yang cerdas dan bermoral. Dengan kata lain, manusia memiliki “citra” Allah.
Sebagai makhluk ciptaan, manusia bergantung pada Tuhan, Sang pencipta-Nya, bagi keberlangsungan hidupnya; ia tidak bisa berdiri sendiri; hidupnya bergantung pada Allah pencipta. Di dalam Allah manusia hidup, bergerak, dan bernafas (Kejadian 1:26; 2:7; Kisah Para Rasul 17:28). Sebagai mahluk berpribadi, manusia memiliki kemandirian yang relatif (tidak mutlak), dalam pengertian bahwa ia memiliki kemampuan untuk membuat keputusan-keputusan dan membuat pilihan-pilihannya sendiri.
Hal baik yang diciptakan Tuhan adalah bahwa makhluk ciptaan-Nya memiliki kebebasan untuk memilih.
Dengan kehendak bebas itu manusia dapat melayani Allah. Fakta bahwa manusia menggunakan pilihan bebas yang diberikan Allah untuk memberontak terhadap Tuhan tidak mengejutkan-Nya, karena Tuhan Mahatahu.
Dengan kehendak bebas itu manusia dapat melayani Allah. Fakta bahwa manusia menggunakan pilihan bebas yang diberikan Allah untuk memberontak terhadap Tuhan tidak mengejutkan-Nya, karena Tuhan Mahatahu.
Tetapi, akibat dari dosa pertama Adam dan Hawa tersebut “citra” Allah dalam diri manusia telah tercoreng dan mengakibatkan dosa masuk dan menjalar kepada setiap manusia (Roma 3:10-12, 23; 5:12). Manusia telah rusak total (total depravity). Adam dan Hawa telah membuat dosa menjadi aktual pada saat pertama kalinya di Taman Eden, sejak saat itu natur dosa telah diwariskan kepada semua manusia (Roma 5:12; 1 Korintus 15:22).
Kerusakan total bukanlah berarti (1) bahwa setiap orang telah menunjukkan kerusakannya secara keseluruhan dalam perbuatan, (2) bahwa orang berdosa tidak lagi memiliki hati nurani dan dorongan alamiah untuk berhubungan dengan Allah, (3) bahwa orang berdosa akan selalu menuruti setiap bentuk dosa, dan (4) bahwa orang berdosa tidak lagi mampu melakukan hal-hal yang baik dalam pandangan Allah maupun manusia.
Yang dimaksud dengan kerusakan total adalah (1) kerusakan akibat dosa asal menjangkau setiap aspek natur dan kemampuan manusia: termasuk rasio, hati nurani, kehendak, hati, emosinya dan keberadaannya secara menyeluruh (2 Korintus 4:4, 1Timotius 4:2; Roma 1:28; Efesus 4:18; Titus 1:15), dan (2) secara natur, tidak ada sesuatu dalam diri manusia yang membuatnya layak untuk berhadapan dengan Allah yang benar (Roma 3:10-12).
Akibat natur dosa itulah kita sekarang ini terus menggunakan kehendak bebas itu untuk membuat kejahatan itu menjadi aktual (Markus 7:20-23). Bahkan kejahatan natural seperti gempa bumi, badai, banjir dan hal-hal lainnya yang serupa, berakar dari penyalahgunaan kehendak bebas manusia.
Saat ini kita hidup dalam dunia yang telah jatuh dan karena itu, rentan terhadap bencana alam yang tidak akan terjadi jika manusia tidak memberontak melawan Allah pada mulanya (Roma 8:20-22). Walaupun demikian, Allah tetap menghargai “kehendak bebas” yang diberikanNya kepada manusia termasuk dalam hal memilih dan menentukan jodoh dalam hidup pernikahannya.
JODOH DAN KETETAPAN TUHAN.
Di atas telah disebutkan bahwa Tuhan menghargai kehendak bebas manusia termasuk dalam hal memilih jodoh. Apakah ini berarti jodoh semata-mata pilihan dan tidak ditentukan Tuhan? Orang Kristen mengakui bahwa dunia dan alam semesta tidak bekerja secara kebetulan. Mereka menyakini bahwa Tuhan memiliki suatu rencana yang mencakup segala sesuatu yang terjadi, dan bahwa Dia saat ini sedang berkarya mewujudkan rencananya tersebut.
Rencana atau Ketetapan Tuhan (Devine Decree) itu menurut Millard J. Erickson adalah “keputusan kekal-Nya yang membuat pasti segala sesuatu yang akan terjadi”. Sedangkan menurut Henry C. Thiessen rencana atau ketetapan Tuhan adalah “rencana atau rencana-rencana kekal Allah yang dilandaskan pada pertimbangan ilahi yang bijaksana dan kudus. Dengan jalan ini maka Allah secara bebas dan tidak berubah, demi kemuliaan-Nya sendiri, telah menetapkan baik secara efektif maupun secara permisif segala sesuatu yang akan terjadi”.
Alkitab mengajarkan bahwa Tuhan telah menetapkan sebelumnya (predestinasi) segala hal yang akan terjadi. Dengan kata lain, tidak ada satu hal pun di dunia ini yang terjadi dengan sendirinya atau terjadi secara kebetulan (Efesus 1:4,11). Ketetapan itu meliputi segala sesuatu di masa lampau, masa kini, dan masa depan; ketetapan itu meliputi juga hal-hal yang diadakannya secara efektif dan hal-hal sekedar yang diizinkannya (Yesaya 46:10-11), dengan kata lain, dengan kuasa dan kebijaksanan yang tidak terbatas, sejak segenap kekekalan yang silam, Allah telah memutuskan dan memilih serta menentukan jalannya semua peristiwa tanpa kecuali bagi segenap kekekalan yang akan datang.
Perlu dipahami, ada dua aspek ketetapan Allah yaitu: ketetapan efektif, yaitu kehendak Allah yang mengarahkan dan ketetapan permisif, yaitu kehendak Allah yang mengizinkan. Ada hal-hal yang direncanakan Allah dan yang ditetapkan-Nya harus terjadi secara efektif dan ada hal-hal lainnya yang sekadar diizinkan Allah untuk terjadi (Roma 8:28).
Beberapa hal di mana Allah terlihat sebagai penggerak yang secara aktif menjadikan semua peristiwa, yaitu : menciptakan (Yesaya 45:18); mengontrol alam semesta (Daniel 4:35); menetapkan penguasa (Daniel 2:21); memilih orang untuk diselamatkan (Efesus 1:4).
Beberapa hal menunjukkan kehendak Allah yang permisif, yaitu: Allah mengizinkan kejatuhan, dosa, kejahatan dan penderitaan, tetapi Ia bukan pencipta dosa, kejahatan ataupun penderitaan manusia. Akan tetapi, dalam hal ketetapan-ketetapan yang permisif itu pun, Allah mengarahkan semuanya bagi kemuliaan-Nya (Matius 18:7; Kisah Para Rasul 2:23).
Demikian juga dalam hal jodoh, manusia diberi kebebasan untuk memilih, tetapi semuanya sesuai dengan kehendak Tuhan yang mengizinkan. Jadi, dapat dikatakan bahwa dalam hal jodoh ada peran manusia dan ada peran Tuhan. Tuhan telah menetapkan syarat-syarat dalam memilih jodoh; manusia berupaya menemukan jodoh dengan memperhatikan syarat-syarat yang Tuhan telah tetapkan.
Pernikahan bukanlah hal yang boleh diremehkan! Pernikahan adalah hal mulia, yang dikaruniakan Tuhan, sejak manusia belum jatuh ke dalam dosa. Kejadian 1:28 mencatat bagaimana Tuhan memberkati Adam dan Hawa sebelum mereka diperintahkan untuk beranak cucu. Lembaga pernikahan ini ditetapkan oleh Allah sendiri (Kejadian 2:24), dan melukiskan persekutuan antara Kristus dan gereja-Nya (Efesus 5:31-32).
Dalam pernikahan suami dan istri mengikat diri dalam suatu tujuan yang kudus, untuk membangun rumah tangga bahagia dan harmonis. Pernikahan tidak boleh ditempuh atau dimasuki dengan sembarangan, dirusak oleh karena kurang bijaksana, dinista atau dinajiskan; melainkan hendaklah hal itu dihormati dan dijunjung tinggi dengan takut akan Tuhan serta mengingat maksud Allah dalam pernikahan itu.
Karena itu, dalam hal mencari dan memilih jodoh, Kekristenan mengajarkan bahwa Tuhan tidak membiarkan manusia bertindak sendiri. Tuhan telah memberikan prinsip-prinsip absolut dalam membangun sebuah keluarga yang harmonis dan bahagia. Siapa pun orangnya, apabila sungguh-sungguh menaati prinsip firman Tuhan tersebut, keluarganya akan bahagia.
KEKELIRUAN AJARAN BAHWA JODOH ADALAH TAKDIR.
Tuhan telah menciptakan pria dan wanita untuk hidup bersama. Dengan demikian Tuhan memberi kesempatan kepada pria dan wanita untuk hidup bersama dalam suatu pernikahan. Kehidupan bersama ini harus didasarkan atas kasih karunia. Sebagaimana Yesus Kristus mengasihi satu gereja dan gereja itu mengasihi satu Tuhan, demikian laki-laki dipanggil mengasihi satu perempuan dan perempuan mengasihi satu laki-laki (Efesus 5:22-33).
Pernikahan mempersatukan kedua hati, mempersatukan kasih dan pengharapan dalam suatu kehidupan bersama; karena itu hendaklah pernikahan ditempuh dengan rukun, sehati, setujuan, penuh kasih sayang, percaya seorang akan yang lain, dan bersandar kepada kasih karunia Tuhan. Hanya dengan cara yang demikian kehidupan bersama ini dapat bertahan dan menjadi berkat. Namun, hal yang sangat memprihatinkan, ada orang yang gagal dalam pernikahannya memakai konsep “jodoh ditentukan Tuhan” sebagai “senjata” untuk membenarkan dirinya dan untuk mengambil keputusan bercerai. Perhatikan contoh berikut:
Bambang yang sudah menikah dua tahun merasakan hubungannya dengan istrinya, tidak harmonis. Hampir setiap hari keluarganya diwarnai dengan percekcokan yang membuatnya stres, frustasi dan putus asa. Istrinya, Wati yang merasakan hal yang sama berkata kepada suaminya: “melihat keadaan keluarga kita, saya pikir kayanya engkau bukan jodohku yang ditentukan (ditakdirkan) Tuhan.”
“Oh ya? Kok saya juga berpikir hal yang sama. Engkau pasti bukan “tulang rusukku” yang sejati.
“Oh ya? Kok saya juga berpikir hal yang sama. Engkau pasti bukan “tulang rusukku” yang sejati.
Makanya tidak pernah pas,” sahut Bambang tersenyum setuju dengan istrinya. “Kalau begitu seharusnya kita bercerai dan masing-masing mencari jodoh kita yang sesungguhnya, yang terbaik, yang pas, yang ditentukan dari sejak semula (takdir),” lanjut Bambang dengan penuh semangat sambil menganggukkan kepalanya kepada Wati seolah meminta persetujuan. “Saya setuju! Besok kita ke pengadilan bersama pak pendeta,” jawab Wati mantap.
Perhatikanlah, konsep bahwa jodoh ditentukan oleh Tuhan adalah konsep “takdir” yang salah, tidak sesuai dengan ajaran Alkitab. Pandangan takdir atau disebut juga determinisme, mengakui bahwa jodoh seseorang itu telah ditentukan oleh Tuhan, sehingga tidak perlu berusaha atau melakukan upaya apapun untuk mendapatkan jodoh.
Pandangan seperti ini pada akhirnya menggiring seseorang pada determinisme fatalistik yaitu pandangan yang beranggapan bahwa setiap kejadian sudah ditentukan, dan manusia hanya bisa menerima apa yang sudah ditentukan tanpa bisa berbuat apa-apa. Dengan kata lain, manusia hanyalah “wayang” yang melakoni apa saja yang dikehendaki oleh “sang dalang”. Orang-orang yang begitu saja menerima segala sesuatu yang terjadi sebagai nasib (takdir) yang ditentukan, bersikap pasrah pada nasib dan tak ingin merubahnya disebut fatalistik.
Pandangan bahwa jodoh ditentukan oleh Tuhan memiliki beberapa kesalahan fatal, antara lain:
1. Membuka “pintu” perceraian dengan mudah dan seenaknya jika sebuah pernikahan tidak berjalan harmonis dan bahagia sesuai yang diharapkan.
2. Manusia akan melarikan diri dari tanggung jawabnya dan “mengkambinghitamkan” Tuhan jika keluarganya tidak bahagia; seolah-olah Tuhanlah yang memberikan jodoh yang tidak baik dan menakdirkan keluarga yang tidak harmonis baginya.
3. Kalau Allah menentukan setiap manusia sudah ada jodohnya masing-masing, maka sampai saat ini sudah berapa juta pasang pernikahan yang salah dan tertukar jodohnya, karena perceraian yang terjadi? Hal ini sangat spekulatif sifatnya.
4. Setiap pasangan yang merasa kurang cocok dan yang suka cekcok, akan mencurigai pasangannya sebagai “jodohnya” orang lain, dan hidup dalam ketidakpastian.
“Teologi takdir” ini, sesungguhnya adalah pandangan yang menghasil-kan sikap hidup yang melarikan diri dari tanggung jawab, yang pasif, malas, dan diperalat oleh Iblis untuk memfitnah dan menuduh Tuhan.
“Teologi takdir” ini, sesungguhnya adalah pandangan yang menghasil-kan sikap hidup yang melarikan diri dari tanggung jawab, yang pasif, malas, dan diperalat oleh Iblis untuk memfitnah dan menuduh Tuhan.
KETETAPAN TUHAN DALAM MEMILIH JODOH.
Dalam hal jodoh, manusia diberi kebebasan untuk memilih, tetapi semuanya harus sesuai dengan ketetapan Tuhan yang permisif (mengizinkan). Kekristenan mengajarkan bahwa Tuhan tidak membiarkan manusia bertindak sendiri, dalam memilih jodoh. Tuhan telah memberikan prinsip-prinsip absolut (mutlak) dalam membangun sebuah keluarga yang harmonis dan bahagia. Siapa pun orangnya, apabila sungguh-sungguh menaati prinsip-prinsip firman Tuhan tersebut, keluarganya akan bahagia.
Jadi kebahagiaan pernikahan tidak bergantung kepada “takdir" tetapi pada ketaatan terhadap prinsip-prinsip yang ditentukan Tuhan, di dalam kepada Alkitab. Prinsip-prinsip itu adalah:
1. Pernikahan harus bersifat monogami antara pria dan wanita (berlawanan jenis kelamin). Dengan demikian, Kekristenan menolak pernikahan sesama jenis kelamin karena bertentangan dengan ketetapan Tuhan (Kejadian 2:18-25).
2. Keduanya (pria dan wanita) haruslah orang yang beriman kepada Yesus Kristus (2 Korintus 6:14-18).
3. Keduanya (pria dan wanita) bertekad mengikat perjanjian seumur hidup di hadapan Tuhan (Matius 19:4-9).
4. Keduanya (pria dan wanita) memelihara dan kekudusan dan kesetiaan apa pun yang terjadi (Ibrani 13:4).
5. Suami harus mengasihi istri, dan istri tunduk kepada suami seperti kepada Kristus yang artinya menjadikan Kristus sebagai kepala keluarga yang sebenarnya (Efesus. 5:22-23).
6. Keduanya (pria dan wanita) bertekad untuk mendidik anak-anak sesuai dengan ajaran dan nasihat Tuhan (Ulangan 6:5-9; Efesus 6:4).
7. Semua persoalan diselesaikan berdasarkan kebenaran firman Tuhan (2 Timotius 3:16-17).
Semua prinsip di atas adalah absolut (mutlak). Artinya, siapa pun calon pasangan hidup, baik pria maupun wanita, yang telah memenuhi prinsip-prinsip mutlak firman Tuhan di atas, Tuhan pasti menjamin kebahagiaan hidup dalam pernikahan dan keluarga nya. Jadi, kebahagiaan tidak ditentukan oleh “jodoh yang pas” – tulang rusuk atau tempat tulang rusuk yang sudah ditakdirkan Tuhan, karena Tuhan memberi kepada kita kebebasan untuk memilih jodoh yang sesuai dengan prinsip-prinsip firmanNya yang absolut.
Semua prinsip di atas adalah absolut (mutlak). Artinya, siapa pun calon pasangan hidup, baik pria maupun wanita, yang telah memenuhi prinsip-prinsip mutlak firman Tuhan di atas, Tuhan pasti menjamin kebahagiaan hidup dalam pernikahan dan keluarga nya. Jadi, kebahagiaan tidak ditentukan oleh “jodoh yang pas” – tulang rusuk atau tempat tulang rusuk yang sudah ditakdirkan Tuhan, karena Tuhan memberi kepada kita kebebasan untuk memilih jodoh yang sesuai dengan prinsip-prinsip firmanNya yang absolut.
Bila prinsip absolut sudah dipenuhi, hal-hal lainnya adalah bersifat relatif. Misalnya: umur, suku, pendidikan, kekayaan, status sosial, kecantikan, kecakapan, dan penampilan lainnya.
Semua itu tidak menentukan kebahagiaan seseorang. Hanya soal selera saudara yang sangat pribadi dan relatif sifatnya. Walaupun hal di atas bersifat relatif, tetapi Tuhan memberikan kita pikiran yang sehat dan jernih untuk mempertimbangkan juga semua hal yang bersifat relatif tersebut. Karena itu perlu dipertimbangkan dalam pimpinan Roh Kudus, agar “kebebasan” yang kita gunakan dalam memilih calon pasangan hidup kita itu bukan asal-asalan saja; melainkan dipergumulkan dalam pimpinan Roh Kudus melalui doa yang serius. Karena memang Roh Kudus diberikan kepada kita untuk memimpin kita dalam aspek hidup kita sesuai kebenaran firman.
Tuhan Yesus berkata: “Tetapi Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam nama-Ku, Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu” (Yohanes 14:26).