4 TEORI DOKTRIN PERJAMUAN KUDUS

Empat Teori Besar Doktrin Perjamuan Kudus

Arti Sakramen Perjamuan Kudus 

Menurut Katekismus menjelaskan bahwa Perjamuan Kudus adalah suatu sakramen, di mana dengan memberi dan menerima roti dan anggur sesuai dengan ketetapan Kristus, kematian-Nya diberitakan; dan orang-orang yang menerimanya dengan cara yang layak, bukan secara jasmaniah atau kedagingan, melainkan melalui iman, dijadikan ber-bagian di dalam tubuh dan darah-Nya, dengan semua berkat-berkat dari-Nya. Dengan demikian mereka mendapatkan makanan rohani dan bertumbuh dalam anugerah.

1. Teori Transubstansiasi (Perubahan Materi).

Doktrin ini dianut oleh gereja Katolik. Williamson (2004, p. 346) mengutip pendapat Hodge (1958, p. 359) menjelaskan bahwa doktrin transubstansiasi mengajarkan jika seluruh substansi roti diubah menjadi tubuh dalam arti hurufiah, dari Kristus. Oleh sebab itu, hanya penampakan dan properti yang terasa dari roti dan anggur itu yang masih tersisa, tetapi substansi-substansi yang ada benar-benar merupakan tubuh dan darah sejati, jiwa dan keilahian, dari Tuhan. 
4 TEORI DOKTRIN PERJAMUAN KUDUS
Setelah diucapkan berkat maka roti dan anggur yang adalah materi berubah menjadi tubuh serta darah Tuhan, walau materi tidak berubah setelah pemberkatan. Meski demikian, jemaat-jemaat gereja Katolik meyakini jika roti dan anggur adalah bentuk materi dari tubuh dan darah Tuhan.

Oleh karena itu ketika perjamuan kudus, Gereja Katolik membagikan tubuh Kristus dalam rupa roti yang disebut komuni. Makna penerimaan komuni adalah merujuk kepada partisipasi umat dalam persitiwa karya penebusan Tuhan yang dihadirkan pada waktu doa syukur agung yang dibawakan oleh imam. Komuni yang umat terima akan menghubungkan dan memasukkan umat ke dalam karya penebusan Tuhan itu. Itulah sebabnya, dalam Katolik juga mereka sangat menghargai dan menjaga roti itu, jangan sampai jatuh ke lantai. Namun anggur tidak dibagikan kepada jemaat

Dalam ajaran Katolik Roma, peran iman atau percaya tidak banyak memainkan peranan. Yang diutamakan di sini adalah objektivitas dari Perjamuan Kudus yaitu misa yang dilayani atau dilakukan. Sehingga iman dari objek yang merasakannya hampir-hampir tidak mendapat perhatian. Dalam ajaran ini misa dianggap sebagai pekerjaan yang dilakukan (opus operatum). Ia adalah suatu “korban” yang dipersembahkan oleh imam atau gereja. 

Jadi, misa dipandang sebagai sesuatu pekerjaan yang baik yang dapat menghasilkan pahala, bahkan keselamatan. Karena itu para imam menanggap bahwa jika mereka melayani misa, mereka mempersembahkan Kristus sebagai korban kepada Allah

2. Teori Konsubtansiasi (Penyatuan Materi – Martin Luther).

Luther menolak ajaran Katolik tentang transubstansiasi, tetapi Luther tidak menolak bahwa terdapat kehadiran tubuh dan darah Kristus dalam roti dan anggur. Abineno (1990, p. 21) menjelaskan bahwa ajaran Luther ini disebut dengan konsubstansiasi. Dalam pandangan ini tidak ada perubahan dari materi roti anggur sebagaimana teori transubstansiasi, melainkan tubuh dan darah Kristus mendiaminya sehingga terdapat dua substansi dalam roti dan anggur tersebut. 

Perjamuan Kudus ditetapkan oleh Kristus sendiri. Roti dan dan anggur dimakan dan diminum atas dasar firman. Firman inilah yang membuat roti dan anggur menjadi tidak biasa. Ini yang menjadi dasar pandangan Luther.

Untuk merayakan Perjamuan Kudus, menurut Luther harus memerhatikan dua hal yaitu, penyesalan dan percaya dan dia menekankan kesatuan orang-orang percaya. Kesatuan ini disebut juga kesatuan hati. Oleh sebab itu Perjamuan Kudus disebut suatu persekutuan atau commmunio. Bagi Luther, communion atau persekutuan ini sangat penting karena di dalamnya tiap-tiap orang yang merayakan Perjamuan Kudus menerima segala pemberian rohani dari Kristus. Dan sebaliknya juga mendapat bagian dalam penderitaan.

Jadi, Luther percaya bahwa roti dalam Perjamuan Kudus adalah benar-benar roti dan anggur adalah benar-benar anggur. Dalam suatu cara yang tersembunyi tubuh dan darah Kristus dalam Perjamuan Kudus berada dalam roti dan anggur. Luther mengatakan bahwa dia percaya bukan saja tubuh Kristus berada di dalam roti dan anggur, tetapi juga bahwa roti dan anggur adalah tubuh dan darah Kristus. Luther mengatakan memang secara rasional mungkin kehadiran tubuh dan darah Kristus dalam Perjamuan Kudus tidak dapat dipahami. Sungguhpun demikian kehadiran Kristus di situ tetap harus dipercayai.

3. Teori Lambang atau Simbolis.

Teori ini adalah pandangan Zwingli. Roti dan air anggur adalah lambang tubuh dan darah Kristus. Semuanya bermakna secara rohani (Abineno, 1990, p. 64). Hal yang terpenting bagi Zwingli adalah “mengingat”; upacara ini sebagai pengingat karya Kristus – kematian dan kebangkitan-Nya.

Menurut Zwingli, sakramen bukanlah sesuatu yang suci, yang membebaskan hati nurani manusia dari dosa oleh karena kuasa sakramen. Ia mengingatkan bahwa sakramen berarti jaminan, atau janji, atau sumpah. Sakramen tidak pernah mempunyai arti, yang mengandung sesuatu yang suci atau sakral. Sakramen lebih banyak mengandung arti “kewajiban”. Siapa yang menerima sakramen, mewajibkan dirinya untuk melayani.

Bagi Zwingli, Perjamuan Kudus adalah “perjamuan-peringatan” yang gembira dan pengucapan syukur umum atas segala pemberian yang Kristus berikan kepada kita. Bagian Alkitab yang Zwingli gunakan sebagai dasar dari ajarannya ialah Yohanes 6.Ia mengatakan bahwa Kristus adalah keselamatan kita, bukan karena Ia dilahirkan oleh anak dara Maria, tetapi karena Ia turun dari surga dan karena Ia adalah Allah. Karena itu “roti” dipahaminya sebagai Injil, dan “makan” dipahami sebagai percaya. Jadi yang penting dalam Perjamuan Kudus ialah bukan Yesus yang dilahirkan sebagai manusia, tetapi Kristus yang disalibkan.

Dalam ajaran Zwingli tentang Perjamuan Kudus, kenaikan Kristus ke surga memainkan peranan yang penting. Oleh karena kenaikan Kristus ke surga meniadakan kehadiran-Nya secara fisik atau badaniah dalam Perjamuan Kudus. Karena itu, Yesus Kristus sebagai manusia tidak dapat serentak hadir di dalam surga dan di dalam roti dan anggur dari Perjamuan Kudus. Jadi dalam Perjamuan Kudus, tubuh alamiah Kristus tidak dimakan secara alamiah dan secara substansial, tetapi hanya secara rohani

Selain itu, bagi Zwingli yang menentukan dalam kata-kata penetapan ialah kata “adalah” yang mempunyai arti yang sama dengan “menandai”. Jadi, roti yang diberikan kepada kita untuk dimakan adalah “simbol” dari tubuh-Nya. Kata-kata “perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku” menyatakan bahwa Perjamuan Kudus adalah perjamuan peringatan. Demikian pula dengan anggur. Cawan merupakan simbol dari warisan yang sebenarnya. Dengan pengertian symbol, ia ingin mengatakan bahwa keselamatan kita tidak diperoleh dari roti tetapi hanya dari korban Kristus

Zwingli berpendapat bahwa maksud dari Perjamuan Kudus adalah supaya jelas bagi orang-orang Kristen bahwa mereka adalah anggota-anggota dari tubuh Kristus dan bahwa sebagai anggota-anggota dari tubuh Kristus mereka saling berhubungan sebagai saudara. Berkaitan dengan gereja, bagi Zwingli sakramen Perjamuan Kudus berfungsi sebagai suatu elemen yang konstitutif dari gereja yaitu gereja sebagai suatu realitas yang kelihatan.26Itulah sebabnya ini penting bagi gereja.

Satu hal yang penting lagi dalam ajaran Zwingli tentang perjamuan kudus adalah pengucapan syukur yang mendapat tempat yang sentral. Sebagai jawaban atas pekerjaan Kristus, jemaat bersyukur. Hal ini sebenarnya menunjukkan usaha Zwingli untuk mengadakan pengalihan dari misa Gereja Katolik kepada Perjamuan Kudus reformatoris. 

Transubstansiasi sebenarnya tidak terjadi pada roti dan anggur, tetapi pada jemaat. Tubuh Kristus adalah jemaat. Zwingli memahami “praesentia realis”(kehadiran Kristus yang sesungguhnya) bukan pada roti dan anggur, tetapi di dalam orang-orang percaya secara keseluruhan, yaitu orang-orang percaya yang memakan roti dan meminum anggur. 

Jadi, melakukan perjamuan kudus menyatakan kita adalah anggota gereja, tubuh Kristus. Sehingga sebagai orang yang mengambil bagian dalam perjamuan kudus sebagai bagian dari tubuh Kristus, maka seseorang diwajibkan untuk hidup menurut kehendak Tuhan dan untuk hidup sama seperti apa yang telah dibuat oleh Kristus (1 Yohanes 2:6). Kalau ia tidak berbuat demikian maka ia memisahkan dirinya dari Gereja dan dari orang Kristen yang lain. Di sinilah disiplin gerejawi sebagai perintah Kristus penting.

Secara singkat, Zwingli menjelaskan bahwa dalam Perjamuan Kudus roti dan anggur adalah kiasan, simbol, tetapi perjamuan sendiri tidak. Pengampunan dosa terjadi oleh kematian Kristus, bukan oleh peringatan ini. Jika kita sebagai orang percaya merayakan Perjamuan Kudus untuk memperingati Kristus, maka kita memberitakan kematian-Nya sampai ia datang kembali (1 Korintus 11:26). Itu berarti merayakannya dengan gembira dan puji-pujian. Itulah sebabnya perayaan ini disebut ekaristi (pengucapan syukur).

4. Teori John Calvin.

Dalam pandangan Calvin, Perjamuan Kudus merupakan peringatan atas kematian Kristus. Pandangan Calvin sama seperti pandangan Zwingli, yang menolak kehadiran fisik Kristus dalam roti dan anggur Perjamuan Kudus. 

Meski demikian, Calvin memiliki kesamaan pandangan dengan Luther bahwa Kristus benar-benar hadir secara rohani dalam Perjamuan Kudus, bukan secara fisik sebagaimana pandangan Katolik (Abineno, 1990, p. 123; Tuela, 2014). 

Kristus hadir bukan di dalam roti dan anggur, tetapi hadir secara rohani melalui Roh Kudus di tengah-tengah umat-Nya yang sedang melakukan Perjamuan Kudus sehingga tanpa karya Roh Kudus, sakramen Perjamuan Kudus akan menjadi sia-sia.

Bagi Calvin, sakramen merupakan sesuatu yang menguatkan iman. Dalam penjelasannya mengenai Perjamuan Kudus, Calvin mengambil Yohanes 6:26-65 yang membahas mengenai Roti Hidup. Gambaran yang diambil oleh Calvin, seperti roti yang kita makan memberi energi bagi kehidupan kita, demikian pula Roti Hidup yang kita terima dalam Perjamuan Kudus memberi kekuatan rohani dalam perjalanan iman kita.

Calvin juga menekankan keterkaitan Perjamuan Kudus dengan Firman Tuhan. Gereja Roma Katolik lebih menekankan sakramen ketimbang Firman, sehingga mereka melihat Firman sebagai sesuatu yang berlebihan, karena sakramen saja sebenarnya cukup membawa orang pada keselamatan penuh. Di pihak lain, gereja Reformasi menekankan firman sebagai alat kasih karunia, dan mempertanyakan tempat sakramen dalam pertumbuhan iman orang Kristen. 

Namun, Calvin menekankan keterkaitan keduanya. Firman tidak dapat dilepaskan dari sakramen. Sebaliknya, sakramen pun tidak dapat dilaksanakan terlepas dari Firman. Itu sebabnya, dalam definisi di atas, sakramen meneguhkan janji-janji Allah dalam hati kita untuk memperkuat iman kita

Menurut Calvin, sakramen dan janji Allah erat hubungannya. Sakramen adalah tanda yang ditetapkan oleh Allah untuk memeteraikan janji-Nya kepada kita. Sakramen adalah apendiks, tambahan dari janji itu. Ia diberikan kepada kita untuk menguatkan iman kita yang lemah dan penguatan itu dilakukan oleh Roh Kudus. 

Jadi, pemikiran yang penting tentang sakramen bagi Calvin adalah tanda dan meterai yang menguatkan atau mengokohkan, tanda dan meterai yang menjamin dan menyaksikan. Dibanding dengan firman, sakramen adalah apendiksnya. Lebih daripada itu, bagi Calvin, sakramen itu bukan saja tanda dan meterai yang kognitif saja, tetapi lebih. Dalam sakramen anugerah Allah bukan hanya ditandai dan dilukiskan, di situ anugerah diberikan kepada kita

Jadi, Calvin menekankan kepada Gereja Katolik bahwa kehadiran Kristus ini bukanlah sekedar kehadiran fisik atau badaniah, tetapi kehadiran oleh Roh Kudus. Kristus tidak dapat dikurung dalam sakramen. Sama seperti Zwingli, Calvin menolak kehadiran Kristus secara fisik dalam Perjamuan Kudus. Namun Calvin tidak mau penolakan itu dibawa kepada anggapan simbolis yang kosong. Karena itu, dengan kuat ia menekankan kehadiran Kristus oleh Roh Kudus, dan kehadiran itu adalah sungguh. 

Sama seperti Luther, Calvin mengajar bahwa Kristus benar-benar hadir dalam Perjamuan Kudus. Melalui roti dan anggur dalam Perjamuan Kudus, Kristus sungguh-sungguh hadir. Sekalipun demikian, kita tidak bisa mengatakan bahwa roti itu adalah “tubuh Kristus. ”Namun Calvin tidak menerima pandangan kehadiran fisik dari Kristus seperti halnya dengan Luther. 

Bagi Calvin, kehadiran fisik Kristus tidak diperlukan. Namun, juga bukan berarti kehadiran Kristus cuma sekedar simbol seperti dikatakan oleh Zwingli. Calvin menekankan bahwa tubuh Kristus ada di surga, di sebelah kanan Allah Bapa. Maksud Calvin adalah bahwa dalam Perjamuan Kudus Kristus tidak turun dari surga dan datang kepada kita di bumi tetapi Ia hadir oleh Roh Kudus. Kehadiran-Nya oleh Roh Kudus ini bukanlah sesuatu yang pasif tetapi aktif, kehadiran sebagai suatu perbuatan anugerah yaitu Kristus memberi diri-Nya sendiri sehingga kita menjadi satu dengan Dia

Oleh sebab itu, ajaran Calvin mengenai kehadiran Kristus dalam Perjamuan Kudus adalah ajaran yang seluruhnya bersifat pnemautologis. Dalam ajarannya, Calvin sangat kuat menekankan pekerjaan Roh Kudus: tanpa pekerjaan Roh Kudus sakramen itu sia-sia saja dan tak mempunyai arti. Sebaliknya, oleh pekerjaan Roh Kudus sakramen dipenuhi dengan kekuatan sehingga kita yang menerimanya dimungkinkan untuk mendapat bagian dalam Kristus yang adalah materi atau substansi sakramen. Dengan demikian fungsi sakramen ialah memperlihatkan Kristus, lebih dari pada itu, ia memberikannya kepada kita.

Karena itu menurut Calvin, kehadiran Kristus mestilah bersifat “non fisik”. Calvin menggunakan analogi untuk “sign” (tanda) dan “the thing signified” (yang ditandai). Dengan menggunakan istilah Kristologis, Calvin mengatakan, bahwa sign dan the thing signified berbeda, namun tidak dapat dipisahkan. Kehadiran Kristus bukan bersifat fisik. Tubuh Kristus sendiri tetap tinggal di surga. Dengan konsep ini Calvin menolak doctrine of the ubiquity, yaitu doktrin yang menyatakan bahwa tubuh Kristus dapat hadir dimana-mana pada suatu saat. Konsep tubuh yang demikian adalah mustahil bagi Calvin

Bagi Calvin, bila kita mengambil bagian dalam Perjamuan Kudus secara benar, kita akan bertumbuh dalam kerohanian kita. Perjamuan Kudus adalah makanan rohani bagi jiwa kita. Makanan rohani ini akan menumbuhkan iman kita dan mendorong kita untuk lebih lagi hidup kudus dan menjadi lebih serupa dengan Kristus. 

Sehingga ketika seseorang mengikuti Perjamuan Kudus dengan benar maka akan ada perubahan dalam kerohaniannya. Yang penting diingat adalah dalam Perjamuan Kudus adalah Kristus bukan hanya memberikan kepada kita pemberian-pemberian-Nya, tetapi pertama-tama diri-Nya sendiri, dan dengan diri-Nya sendiri Ia juga memberikan kepada kita pengampunan dosa, pendamaian, hidup dan kegembiraan. Menerima Perjamuan Kudus ialah menerima Kristus sendiri. Ia bukan saja adalah isi, makna dan kekuatan dari Perjamuan Kudus, Ia juga adalah Pemberi dan pemberian dari padanya. 

Dengan demikian ini disebut dengan ekaristi yaitu suatu perbuatan pengucapan syukur, sebagai suatu tanda kegembiraan, bukan saja karena segala sesuatu yang telah Kristus kerjakan untuk kita oleh sengsara, kematian, dan kebangkitan-Nya, tetapi juga karena keselamatan yang sekarang juga ia berikan kepada kita di dalam Perjamuan Kudus dan karena keyakinan dan pengharapan akan apa yang Ia janjikan kepada kita menjelang hari, di mana kita akan merayakan Perjamuan Agung bersama-sama dengan Dia dalam kerajaan Bapa-Nya. 

Pengharapan ini adalah satu bagian aspek eskatologis yang dijelaskan Jimmy Setiawan bahwa, Dalam Perjamuan Kudus, sebagaimana yang dipahami oleh Reformator seperti Calvin dan Luther, Kristus sepenuhnya hadir. Namun, Indera kita mengatakan bahwa Kristus tidaklah hadir secara ragawi dalam Perjamuan Kudus kita. “Ketidakhadiran” Kristus ini seharusnya memicu sikap kerinduan kita akan kegenapan kehadiran Kristus kelak dalam dunia yang baru

Kesimpulan dan Penutup

Dari penjelasan di atas mengenai pandangan atau teologi tentang Perjamuan Kudus baik dari Gereja Katolik, Luther, Zwingli, dan Calvin, dapat dilihat bahwa masing-masing memiliki alasan Alkitab yang kuat dengan penafsirannya masing-masing. Gereja Katolik mengajarkan ajaran transubstansiasi; Luther mengajarkan ajaran konsubstansiasi; Zwingli mengajarkan ajaran memorialisme bahwa roti dan anggur dalam perjamuan kudus hanyalah simbol saja; dan Calvin mengajarkan ajaran bahwa roti dan anggur dalam perjamuan Kudus adalah simbol sekaligus tanda Kristus hadir pada saat itu secara rohani. Oleh karena perbedaan ini, muncul banyak perdebatan-perdebatan mengenai pandangan mana yang paling benar atau pandangan mana yang salah; saya kira perdebatan ini tidak akan selesai. 

Salah satu buktinya, ialah telah lewat beberapa masa sejak masa reformasi dan sampai sekarang perbedaan dan perdebatan itu pun masih tetap ada. Dan mungkin masih akan tetap seperti ini sampai beberapa masa ke depan. Maksud saya dalam bagian ini adalah berdebat tidak akan selesai tetapi ada satu hal penting yang perlu diingat dan diperhatikan dalam perdebatan mengenai sakramen Perjamuan Kudus ini yaitu bahwa sakramen tidak membawa keselamatan. Melakukan sakramen Perjamuan Kudus bukan untuk memperoleh keselamatan, seperti yang dipercaya Gereja Katolik.

Oleh sebab itu, pandangan ini ditolak. Para Reformator sepakat untuk hal ini. Keselamatan sudah kita per oleh. Kita mengingatnya dalam Perjamuan Kudus. Yesus Kristus mengajarkan Perjamuan Kudus dilakukan untuk menjadi peringatan akan karya pengorbanan-Nya di kayu salib yaitu keselamatan yang dianugerahkan kepada setiap orang percaya. Jadi, perjamuan Kudus menjadi deklarasi akan karya penebusan Kristus. Semua tindakan liturgikal dan kesatuan komunitas anak Allah di meja Perjamuan merupakan kesaksian akan postur hati Allah yang berbelas kasih dan merangkul orang berdosa ke dalam persekutuan dengan-Nya

Oleh sebab itu, pandangan mana yang dipercaya seseorang selama ia tidak beranggapan bahwa keselamatan diperoleh karena sakramen, maka seharusnya kita tidak lantas membenci dan menghakiminya dan menganggap bahwa kitalah yang paling suci karena pandangan kita yang paling benar. Berarti dia ke neraka dan saya ke surga, tidak! Saya tidak merendahkan atau melebihkan satu pandangan apa pun, tetapi yang menjadi poin di sini adalah sikap yang benar terhadap perjamuan kudus itu: bukan memperdebatkan atau bahkan saling menghakimi.

Jadi, untuk menikmati berkat Perjamuan Kudus itu maka hal penting yang menurut saya harus diperhatikan oleh setiap orang percaya setiap kali melaksanakan Perjamuan Kudus adalah mengingat pengorbanan Yesus, mengucap syukur atasnya dan percaya kepada janji Yesus bahwa ia akan datang kembali dan menjalani hidup yang kudus sebagai orang beriman. 

Sekalipun berbeda pandangan, Allah tetap mengasihi umat-Nya. Terlepas dari pendapat masing-masing tentang roti dan anggur apakah sekedar simbol atau bukan, tubuh dan darah Yesus tetaplah berkuasa. Kalau roti itu dimakan dan air anggur itu diminum dengan iman, dan dengan cara rohani, maka hal itu membawa hubungan yang erat dengan Tuhan dan lebih menguatkan persatuan dengan Dia.

Sebagaimana Luther menekankan kepercayaan itu (sola fide) bukan pada sakramennya. Zwingli menekankan pengucapan syukur atas karya Yesus itu dan penegasan jemaat sebagai bagian dari tubuh Kristus. Demikian juga Calvin menekankan bagaimana kehadiran Kristus itu seharusnya mengubah kita. Maka sebagai kesimpulannya, saya kira Perjamuan Kudus adalah respons syukur kita terhadap keselamatan dan mendorong kita untuk tetap setia kepada Kristus. 

Di samping itu, kita diingatkan untuk berefleksi sejauh mana kehidupan kita layak dan kudus di hadapan Allah sebagai tubuh Kristus dan seberapa banyak kita membagikan karya Yesus itu kepada orang lain sehingga mereka akhirnya bisa mengambil bagian juga dalam Perjamuan Kudus ini, sambil kita juga menantikan janji kedatangan Kristus untuk pada akhirnya sama-sama dalam Perjamuan dengan Tuhan di surga nanti.
Next Post Previous Post