YESUS BERJALAN DI ATAS AIR (MARKUS 6:45-52)

MUJIZAT YESUS KRISTUS :MELAWAN HUKUM GRAVITASI : YESUS BERJALAN DI ATAS AIR.

Peristiwa Mujizat yang dilakukan Yesus salah satunya adalah berjalan di atas air. Tidak ada seorang manusia pun yang bisa melakukan hal itu sekalipun menggunakan bantuan peralatan yang mutakhir sekalipun. Karena berjalan di atas air, apalagi dalam keadaan laut yang bergelombang, itu berarti melawan hukum gravitasi.
YESUS BERJALAN DI ATAS AIR (MARKUS 6:45-52)
Gravitasi adalah gaya tarik menarik antar partikel di alam semesta yang memiliki bobot atau massa. Untuk bumi, gaya gravitasi berada di pusat bumi. Semua benda akan jatuh ke bawah karena gaya gravitasi menariknya ke pusat bumi. Ada banyak contoh peristiwa gaya gravitasi yang terjadi di kehidupan sehari-hari: Air hujan jatuh ke tanah; Benda yang dilempar ke udara, akan jatuh kembali ke tanah; Daun dan buah jatuh dari pohon; Manusia berjalan, kendaraan bergerak di jalan, dan banyak lagi.

Gaya gravitasi adalah salah satu gaya yang sangat penting di alam semesta. Tanpa adanya gaya gravitasi, semua benda yang ada di bumi akan melayang-layang seperti di ruang angkasa. Hal ini karena semua benda kehilangan tekanan yang bisa membuat mereka berdiri tegak di bumi.

Dengan demikian apa yang dilakukan Yesus ketika berjalan di atas air, merupakan suatu peristiwa yang sangat tidak masuk akal. Apa yang Ia lakukan itu berarti melawan dengan hukum gravitasi, di mana setiap benda, termasuk manusia yang memiliki berat, pasti akan tenggelam ketika di taruh di atas air. Namun kenyataannya, Yesus berjalan di atas air tanpa terpengaruh oleh gaya gravitasi bumi. Ini merupakan suatu peristiwa mukjizat Yesus Kristus yang sangat mengherankan karena melawan hukum alam.

Markus mencatat peristiwa itu dalam Injilnya demikian:

“Sesudah itu Yesus segera memerintahkan murid-murid-Nya naik ke perahu dan berangkat lebih dulu ke seberang, ke Betsaida, sementara itu Ia menyuruh orang banyak pulang. Setelah Ia berpisah dari mereka, Ia pergi ke bukit untuk berdoa. Ketika hari sudah malam perahu itu sudah di tengah danau, sedang Yesus tinggal sendirian di darat. Ketika Ia melihat betapa payahnya mereka mendayung karena angin sakal, maka kira-kira jam tiga malam Ia datang kepada mereka berjalan di atas air dan Ia hendak melewati mereka. Ketika mereka melihat Dia berjalan di atas air, mereka mengira bahwa Ia adalah hantu, lalu mereka berteriak-teriak, sebab mereka semua melihat Dia dan mereka pun sangat terkejut. Tetapi segera Ia berkata kepada mereka: "Tenanglah! Aku ini, jangan takut!" Lalu Ia naik ke perahu mendapatkan mereka, dan angin pun redalah.” Mereka sangat tercengang dan bingung, sebab sesudah peristiwa roti itu mereka belum juga mengerti, dan hati mereka tetap degil.” (Markus 6:45-52)

Peristiwa ini terjadi setelah Yesus memberi makan banyak orang. Setelah rasa lapar orang banyak itu terpuaskan, Yesus segera menyuruh murid-murid-Nya pergi sebelum Ia membubarkan orang banyak itu. Mengapa Dia harus melakukan itu? Markus sama sekali tidak menjelaskan hal itu, tetapi dalam Injil Yohanes dikatakan bahwa setelah orang banyak itu diberi makan, ada suatu gerakan massa yang menghendaki Yesus untuk dijadikan raja. Cara meraih kekuasaan semacam inilah yang ditolak oleh Yesus. Dia tidak ingin para murid terkontaminasi oleh keinginan duniawi dan nafsu politik nasionalisme massa saat itu. Yesus tahu, Galilea adalah sarang revolusi. Jika gerakan ini tidak ditanggulangi, mungkin akan muncul orang-orang dengan semangat tinggi untuk memberontak terhadap pemerintah Romawi, dan hal itu jelas akan menghancurkan segalanya dan menciptakan bencana bagi semua pihak.

Yesus tahu dan melihat, ada permusuhan dari orang-orang Yahudi orthodox dan keinginan untuk menggulingkan Herodes Antipas; ada orang-orang yang mempunyai sikap politik yang keras yang menginginkan Dia menjadi “Mesias nasionalis” yang tentunya bertentangan misi dan tujuan-Nya datang ke dunia ini. Kehendak-Nya berbeda jauh dengan kehendak manusia.

Apa yang terjadi kita tidak tahu, dan tidak akan pernah tahu. Kisah ini diselimuti misteri yang menuntut penjelasan. Apa yang kita ketahui adalah bahwa Yesus datang kepada mereka dan badai mereka menjadi tenang. Dengan Dia di samping mereka, tidak ada yang penting lagi.

Ketika Agustinus menulis tentang kejadian ini, dia berkata, "Yesus datang menerjang ombak; jadi Dia meletakkan semua hiruk pikuk kehidupan di bawah kaki-Nya. Orang-orang Kristen- mengapa takut?" Ini adalah fakta kehidupan yang sederhana, fakta yang telah dibuktikan oleh ribuan pria dan wanita yang tak terhitung jumlahnya di setiap generasi, bahwa ketika Kristus ada di sana, badai menjadi tenang, keributan menjadi kedamaian, apa yang tidak dapat dilakukan adalah dilakukan, tak tertahankan menjadi tertahankan, dan manusia melewati titik puncak dan tidak patah. Berjalan bersama Kristus bagi kita juga merupakan penaklukan badai kehidupan.

Catatan dalam Injil Yohanes pun tidak berbeda mengenai kemampuan Yesus berjalan di atas air. Injil Ke-empat mencatat :

“Dan ketika hari sudah mulai malam, murid-murid Yesus pergi ke danau, lalu naik ke perahu dan menyeberang ke Kapernaum. Ketika hari sudah gelap Yesus belum juga datang mendapatkan mereka, sedang laut bergelora karena angin kencang. Sesudah mereka mendayung kira-kira dua tiga mil jauhnya, mereka melihat Yesus berjalan di atas air mendekati perahu itu. Maka ketakutanlah mereka. Tetapi Ia berkata kepada mereka: "Aku ini, jangan takut!" Mereka mau menaikkan Dia ke dalam perahu, dan seketika juga perahu itu sampai ke pantai yang mereka tuju.” (Yohanes 6:16-21)

Ini adalah salah satu cerita yang paling indah dalam Injil Ke-empat, dan yang selalu diingat oleh seorang nelayan seperti Yohanes. Setiap kali dia memikirkannya, dia akan merasakan malam itu lagi, perak abu-abu dari cahaya bulan, dayung kasar di tangannya, layar yang mengepak, jeritan angin, suara air yang bergelombang, penampakan Yesus yang tidak terduga., suara-suara-Nya melintasi ombak dan derak perahu saat mencapai sisi Galilea. Seingatnya, Yohanes melihat keajaiban yang masih ada bagi kita:

[1]. Ia melihat bahwa Yesus mengawasi para murid-Nya. 

Di atas bukit, Yesus memperhatikan mereka. Dia tidak lupa. Dia tidak terlalu sibuk dengan Tuhan untuk memikirkan mereka. Yohanes tiba-tiba menyadari bahwa sepanjang waktu mereka menarik dayung, pandangan kasih Yesus tertuju pada mereka. Ketika kita melawan-Nya, Yesus menga-wasi. Dia tidak membuat segalanya mudah bagi kita. Dia membiarkan kita bertarung dalam pertempuran kita sendiri. Hidup dijalani dengan mata kasih Yesus kepada kita.

[2]. Dia melihat bahwa Yesus datang. 

Turun dari lereng bukit Yesus datang untuk memungkinkan para murid melakukan tarikan terakhir yang akan mencapai keselamatan. Yesus tidak melihat kita dengan sikap tenang; ketika kekuatan melemah Dia datang dengan kekuatan untuk upaya terakhir yang mengarah pada kemenangan.

[3]. Dia melihat bahwa Yesus memberikan pertolongan. 

Dia melihat, dia datang dan dia menolong. Ini adalah keajaiban kehidupan Kristen bahwa tidak ada yang tersisa untuk kita lakukan sendiri. Kita selalu bisa melakukan dengan Yesus dan kita tidak perlu melakukannya tanpa Dia.

[4]. Dia melihat bahwa Yesus membawa kita ke surga. 

Tampaknya bagi Yohanes, seperti yang diingatnya, bahwa, segera setelah Yesus tiba, landasan perahu itu pun menyentuh pantai, dan mereka ada di sana. Seperti yang dikatakan Pemazmur: "Maka mereka bergembira karena mereka memiliki ketenangan, dan dia membawa mereka ke tempat persembunyian yang mereka inginkan" ( Mazmur 107:30 ). Entah bagaimana di hadapan Yesus perjalanan terpanjang lebih pendek dan pertempuran tersulit lebih mudah.

Salah satu hal terindah dalam Injil Keempat adalah bahwa Yohanes, seorang nelayan yang berubah menjadi seorang Penginjil, menemukan semua kedalaman dan kekayaan makna Kristus dalam ingatan cerita para nelayan.

Terakhir kita melihat, ada keunikan pada catatan Matius dalam Injilnya, di mana ia menambahkan kisah mengenai Petrus yang nyaris tenggelam karena ingin mencapai di mana Yesus berjalan di atas air danau yang sedang bergelora. Kisah ini tercatat abadi dalam Alkitab, sehingga setiap orang Kristen bisa mengambil hikmat dan makna yang terkandung dalam kisah dramatis itu.


“Sesudah itu Yesus segera memerintahkan murid-murid-Nya naik ke perahu dan mendahului-Nya ke seberang, sementara itu Ia menyuruh orang banyak pulang. Dan setelah orang banyak itu disuruh-Nya pulang, Yesus naik ke atas bukit untuk berdoa seorang diri. Ketika hari sudah malam, Ia sendirian di situ. Perahu murid-murid-Nya sudah beberapa mil jauhnya dari pantai dan diombang-ambingkan gelombang, karena angin sakal. Kira-kira jam tiga malam datanglah Yesus kepada mereka berjalan di atas air. Ketika murid-murid-Nya melihat Dia berjalan di atas air, mereka terkejut dan berseru: "Itu hantu!", lalu berteriak-teriak karena takut. Tetapi segera Yesus berkata kepada mereka: "Tenanglah! Aku ini, jangan takut!" Lalu Petrus berseru dan menjawab Dia: "Tuhan, apabila Engkau itu, suruhlah aku datang kepada-Mu berjalan di atas air." Kata Yesus: "Datanglah!" Maka Petrus turun dari perahu dan berjalan di atas air mendapatkan Yesus. Tetapi ketika dirasanya tiupan angin, takutlah ia dan mulai tenggelam lalu berteriak: "Tuhan, tolonglah aku!" Segera Yesus mengulurkan tangan-Nya, memegang dia dan berkata: "Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?" Lalu mereka naik ke perahu dan angin pun redalah. Dan orang-orang yang ada di perahu menyembah Dia, katanya: "Sesungguhnya Engkau Anak Allah.” (Matius 14:22-33)

Tidak ada bagian dalam Perjanjian Baru di mana karakter Petrus diungkapkan lebih lengkap daripada ini. Ini memberitahu kita tiga hal tentang Petrus:

(1). Petrus mempunyai tabiat yang impulsif, melakukan sesuatu tanpa berpikir lebih dahulu. 

Berulang kali ia berbuat salah, yaitu bertindak tanpa benar-benar memikirkan situasinya dan tanpa memperhitungkan akibatnya. Dia melakukan kesalahan yang sama ketika menegaskan bahwa ia akan setia kepada Yesus sampai mati dan tidak tergoyahkan (Matius 26:33-35), namun kemudian menyangkali Tuhannya. Kesalahan yang paling utama adalah bahwa Petrus selalu dikendalikan oleh hatinya. Namun terkadang ia jatuh, hatinya selalu ada dalam posisi yang benar dan naluri hatinya selalu dipenuhi oleh kasih.

(2). Karena Petrus sering bertindak secara impulsif, maka ia sering kali gagal dan menjadi sedih. 

Yesus selalu menekankan agar orang selalu menimbang keadaan yang paling pahit sebelum bertindak (Lukas 9:57-58; Matius 16:24-25). Yesus sungguh jujur terhadap manusia. Ia selalu memperlihatkan kepada mereka betapa sulit untuk mengikut Dia dan hidup menurut ajaran Kristen. Sejumlah kegagalan orang Kristen disebabkan karena bertindak dalam keadaan emosional, tanpa memperhitungkan akibatnya.

(3). Namun, Petrus tidak pernah benar-benar gagal, karena dalam saat kegagalannya ia selalu merangkul Kristus. 

Hal menakjubkan mengenai Petrus adalah bahwa setiap kali ia jatuh, ia bangkit kembali; dan hal ini tentu benar sehingga kegagalannya pun mengantarkan Petrus semakin dekat kepada Yesus Kristus. Kegagalan Petrus hanya membuat kasihnya kepada Yesus Kristus semakin besar.

Semua kisah dramatis ini diakhiri dengan suatu kebenaran yang agung dan abadi. Ketika Yesus naik ke dalam perahu, angin topan itu mereda. Kebenarannya adalah bahwa di mana ada Yesus Kristus, badai yang paling ganas pun menjadi tenang kembali. Setiap kali badai menerpa, kehadiran Yesus dan kasih yang mengalir dari Salib, membawa damai, keteduhan, dan ketenangan. Amin.
Next Post Previous Post