9 Refleksi Penderitaan Kristus: Formula Hidup Orang Percaya
Rangkaian sengsara Tuhan Yesus berdasarkan kronologi tersebut memiliki makna mendalam bagi kehidupan orang percaya. Makna yang terkandung bukan hanya sebatas kepada teladan untuk umatNya ketika menghadapi penderitaan hidup, atau menjadi bukti kasih sebagai penebusan dosa manusia semata. Rangkaian penderitaan tersebut sejatinya mengandung pendidikan atau pengajaran bagaimana formula hidup yang dikehendaki bagi anak-anak-Nya.
Perjalanan penderitaan Tuhan Yesus tersusun dalam kronologi peristiwa penting yang ke semuanya itu merupakan kurikulum kehidupan yang harus dijalani umat Allah. Formula hidup dan sikap yang terangkum dalam kurikulum pendidikan tersebut adalah:
1. Pengkhianatan Yudas (Matius 26:16-36), orang percaya dituntut untuk memiliki kasih pada tingkatan tertinggi, yaitu mengasihi musuh. Kasih bukan sebatas kepada orang yang juga mengasihi sebagai timbal balik namun justru kepada orang yang menyakiti dan mengkhianati. Inilah tingkatan tertinggi kasih kepada sesama. Pengkhianatan Yudas menjadi awal perjalanan sengsara Tuhan, ini menandakan bahwa kasih menjadi tuntutan awal atau dasar bagi orang percaya dalam menjalani totalitas kehidupan di dunia.
Kasih kepada sesama yang dilandasi atas kasih kepada Tuhan, sehingga kasih itu menjadi sempurna. Sikap Yudas yang rela berkhianat hanya demi materi, menjadi contoh sikap yang banyak terjadi dewasa ini. Perilaku korupsi dan gaya hidup hedon umat percaya merupakan sikap egois yang mementingkan diri sendiri sama seperti Yudas. Korupsi dan hedonisme mengabaikan kasih kepada sesama karena melalui hal tersebut sejatinya hak-hak orang lain ter-enggut dan terjadi pengabaian penderitaan kesulitan orang lain
2. Peristiwa di taman Getsemani (Matius 26:36-46), melalui peristiwa ini Tuhan mengajarkan bahwa kehidupan orang percaya harus terus terhubung kepada Tuhan melalui ketekunan doa dan kesetiaan kepada firman Tuhan. Yesus berdoa seorang diri selama tiga kali menyiratkan kepada orang percaya untuk berdoa dalam roh, ketekunan, ketulusan dan bersifat pribadi.
1. Pengkhianatan Yudas (Matius 26:16-36), orang percaya dituntut untuk memiliki kasih pada tingkatan tertinggi, yaitu mengasihi musuh. Kasih bukan sebatas kepada orang yang juga mengasihi sebagai timbal balik namun justru kepada orang yang menyakiti dan mengkhianati. Inilah tingkatan tertinggi kasih kepada sesama. Pengkhianatan Yudas menjadi awal perjalanan sengsara Tuhan, ini menandakan bahwa kasih menjadi tuntutan awal atau dasar bagi orang percaya dalam menjalani totalitas kehidupan di dunia.
Kasih kepada sesama yang dilandasi atas kasih kepada Tuhan, sehingga kasih itu menjadi sempurna. Sikap Yudas yang rela berkhianat hanya demi materi, menjadi contoh sikap yang banyak terjadi dewasa ini. Perilaku korupsi dan gaya hidup hedon umat percaya merupakan sikap egois yang mementingkan diri sendiri sama seperti Yudas. Korupsi dan hedonisme mengabaikan kasih kepada sesama karena melalui hal tersebut sejatinya hak-hak orang lain ter-enggut dan terjadi pengabaian penderitaan kesulitan orang lain
2. Peristiwa di taman Getsemani (Matius 26:36-46), melalui peristiwa ini Tuhan mengajarkan bahwa kehidupan orang percaya harus terus terhubung kepada Tuhan melalui ketekunan doa dan kesetiaan kepada firman Tuhan. Yesus berdoa seorang diri selama tiga kali menyiratkan kepada orang percaya untuk berdoa dalam roh, ketekunan, ketulusan dan bersifat pribadi.
Keterhubungan dengan Tuhan yang terus terjalin akan membentuk sikap yang benar yaitu bersedia menyangkal diri demi terwujudnya kerajaan Allah, keteguhan hati untuk mengalahkan ketakutan, menempatkan kepentingan Tuhan di atas segala kepentingan diri, peduli kepada sesama dan bijak menerima kelemahan orang lain.
3. Penangkapan Tuhan Yesus (Matius 26:47-56), memberikan pendidikan bahwa orang percaya harus memiliki pola pikir yang benar, penguasaan diri, kelemahlembutan dalam segala situasi, memancarkan kebaikan dan kebijaksanaan. Kombinasi dari sikap-sikap tersebut melahirkan kondisi batin yang ikhlas. Peristiwa ini secara jelas menunjukkan bagaimana Tuhan Yesus memiliki keikhlasan hati yang sempurna untuk menerima segala perkara yang harus dijalani-Nya. Dalam hal ini orang percaya perlu meneladan sikap-Nya untuk selalu ikhlas secara tulus menerima setiap kondisi hidup yang Tuhan ijin kan terjadi tanpa penyesalan apa pun di dalamnya.
4. Tuhan Yesus di hadapan Mahkamah Agama (Matius 26:57-68), dalam peristiwa ini Tuhan mengajarkan agar orang percaya mampu menerima tindak atau perilaku kejahatan, fitnah, penghinaan, kekejaman dan perlakuan tidak adil eks trim lainnya dengan ketulusan. Yesus tidak membela diri dan tidak memberi jawab atas tuduhan, mulut-Nya terkunci ini mengandung didikan untuk anak-anak-Nya agar mampu mengendalikan ucapan, lebih banyak mendengar daripada berkata-kata, membiarkan orang lain berlaku tidak adil tanpa pembalasan.
Baca Juga: Yesus Dibawa Menghadap Mahkamah Agama (Matius 26:57-68)
3. Penangkapan Tuhan Yesus (Matius 26:47-56), memberikan pendidikan bahwa orang percaya harus memiliki pola pikir yang benar, penguasaan diri, kelemahlembutan dalam segala situasi, memancarkan kebaikan dan kebijaksanaan. Kombinasi dari sikap-sikap tersebut melahirkan kondisi batin yang ikhlas. Peristiwa ini secara jelas menunjukkan bagaimana Tuhan Yesus memiliki keikhlasan hati yang sempurna untuk menerima segala perkara yang harus dijalani-Nya. Dalam hal ini orang percaya perlu meneladan sikap-Nya untuk selalu ikhlas secara tulus menerima setiap kondisi hidup yang Tuhan ijin kan terjadi tanpa penyesalan apa pun di dalamnya.
4. Tuhan Yesus di hadapan Mahkamah Agama (Matius 26:57-68), dalam peristiwa ini Tuhan mengajarkan agar orang percaya mampu menerima tindak atau perilaku kejahatan, fitnah, penghinaan, kekejaman dan perlakuan tidak adil eks trim lainnya dengan ketulusan. Yesus tidak membela diri dan tidak memberi jawab atas tuduhan, mulut-Nya terkunci ini mengandung didikan untuk anak-anak-Nya agar mampu mengendalikan ucapan, lebih banyak mendengar daripada berkata-kata, membiarkan orang lain berlaku tidak adil tanpa pembalasan.
Baca Juga: Yesus Dibawa Menghadap Mahkamah Agama (Matius 26:57-68)
Di masa kini ketulusan untuk mau menerima perlakuan tidak adil atau tidak menyenangkan dari orang lain menjadi sesuatu yang sulit dijumpai. Media sosial justru menjadi wahana untuk secara bebas menyampaikan segala perkataan dan komentar yang tidak sesuai dengan kebenaran. Padahal teladan Tuhan sangat jelas dalam hal ini bahwa selama di hadapan Mahkamah Agama mulut-Nya tidak mengeluarkan sepatah kata pun yang tidak sesuai dengan kebenaran.
5. Petrus menyangkal Tuhan (Matius 26:69-75), membawa pengajaran tentang pengampunan tanpa syarat. Tuhan mendidik orang percaya agar mampu mengampuni seperti Dia mengampuni. Penyerahan kepada Pilatus (Matius 27: 1-10), peristiwa ini memberikan pendidikan mengenai keberanian untuk melepaskan segala sesuatu termasuk semua hak yang dimiliki. Tuhan Yesus tidak berusaha untuk bermufakat dengan Pilatus mengajarkan tentang memutuskan keterikatan dengan dunia.
Sebagaimana yang Tuhan ajarkan melalui Rasul Yakobus bahwa persahabatan dengan dunia adalah permusuhan dengan Tuhan (Yakobus 4:4). Tuhan mengajarkan untuk tidak mengandalkan kekuatan diri dan kekuatan dunia namun lebih kepada menyerahkan segala perkara di dalam tangan Tuhan dan menjadikan-Nya satu-satunya sumber kekuatan.
6. Tuhan Yesus diolok-olok (Matius 27:27-31), melalui situasi ini Tuhan mengajarkan mengenai kerendahan hati. Orang percaya harus rela melepaskan harga diri, keegoisan dan kepentingan diri. Peristiwa ini memberikan gambaran pengajaran bahwa segala sesuatu untuk kemuliaan Tuhan, bukan kemuliaan diri. Orang percaya harus rela menanggalkan segala atribut kemewahan dunia, nilai diri dan keangkuhan hidup. Tuhan menghendaki sikap rendah hati sebagaimana yang sudah Dia teladankan.
7. Peristiwa penyaliban (Matius 27:32-44), merupakan pendidikan agar orang percaya bertanggungjawab menjaga kesehatan tubuh sebagai bait Allah. Tanggung jawab tersebut tidak hanya sebatas kepada pemeliharaan fisik namun lebih jauh bertanggung jawab atas segala tugas dan panggilan yang Tuhan berikan.
Selama perjalanan sengsara ditempuh-Nya dalam diam, hal ini mengajarkan agar dalam menjalankan tanggung jawab tanpa ada keluh dan sungut-sungut sebagaimana bangsa Israel lakukan ketika berjalan di padang gurun. Dia mengajarkan kepada orang percaya untuk tidak bersungut dan mengeluh dalam kondisi sulit. Kunci dari hal ini adalah senantiasa bersyukur dalam segala keadaan. Melalui peristiwa ini Tuhan juga mengajarkan mengenai pengorbanan bagi sesama dan integritas mulia.
8. Peristiwa kematian di salib (Matius 27:45-56), memberikan pendidikan mengenai percaya. Tuhan menuntut anak-anak-Nya untuk memiliki kepercayaan yang sempurna kepada Tuhan, bahkan dalam situasi tersulit ketika Tuhan seakan tidak hadir menyertai. Kepercayaan total kepada Tuhan ketika berada dalam krisis terendah adalah kepercayaan level tertinggi yang Tuhan kehendaki. Peristiwa ini juga mendidik orang percaya untuk selalu taat kepada kehendak Tuhan dan memberikan diri sepenuhnya bagi terwujudnya kerajaan Allah.
9. Berita kebangkitan (Matius 28:1-10), mengajarkan kepada semua orang percaya bahwa setiap perkataan yang keluar haruslah mengandung integritas. Perkataan dan perbuatan selalu sejalan. Semua perkataan pun harus mengalirkan sukacita, kedamaian dan semangat bagi sesama. Tuhan mengajarkan kekudusan dalam perkataan yang sempurna. Lebih daripada hal itu, kehidupan maupun kematian umat Tuhan dituntut untuk mewariskan perkara-perkara yang mulia bagi orang lain, sama seperti kehidupan dan kematian Tuhan Yesus yang mewariskan janji keselamatan.
KESIMPULAN
Rangkaian perjalanan penderitaan Kristus merupakan pendidikan yang Tuhan berikan kepada orang percaya mengenai bentuk formula kehidupan secara total yang Dia kehendaki. Orang percaya mendapatkan teladan nyata bagaimana kehidupan harus dijalani dan karakter atau sikap apa yang harus dimiliki agar berkenan pada-Nya.
Secara garis besar pendidikan formula kehidupan yang termuat adalah: kasih kepada Tuhan dan sesama sebagai fondasi kehidupan; hidup yang terus terhubung dengan Tuhan melalui doa dan firman Tuhan; perubahan pola pikir/akal budi dan penguasaan diri; kekuatan bertahan dalam penderitaan; pengampunan tanpa syarat; rela melepaskan segala sesuatu, hidup tidak terikat dengan dunia; kerendahan hati, melepaskan egoisme dan kepentingan diri; bertanggung jawab secara total, berintegritas, rela berkorban, hidup penuh syukur tanpa sungut-sungut; percaya sepenuhnya kepada Tuhan dan taat serta mengandalkan-Nya dalam segala perkara. -Andreas Fernando
5. Petrus menyangkal Tuhan (Matius 26:69-75), membawa pengajaran tentang pengampunan tanpa syarat. Tuhan mendidik orang percaya agar mampu mengampuni seperti Dia mengampuni. Penyerahan kepada Pilatus (Matius 27: 1-10), peristiwa ini memberikan pendidikan mengenai keberanian untuk melepaskan segala sesuatu termasuk semua hak yang dimiliki. Tuhan Yesus tidak berusaha untuk bermufakat dengan Pilatus mengajarkan tentang memutuskan keterikatan dengan dunia.
Sebagaimana yang Tuhan ajarkan melalui Rasul Yakobus bahwa persahabatan dengan dunia adalah permusuhan dengan Tuhan (Yakobus 4:4). Tuhan mengajarkan untuk tidak mengandalkan kekuatan diri dan kekuatan dunia namun lebih kepada menyerahkan segala perkara di dalam tangan Tuhan dan menjadikan-Nya satu-satunya sumber kekuatan.
6. Tuhan Yesus diolok-olok (Matius 27:27-31), melalui situasi ini Tuhan mengajarkan mengenai kerendahan hati. Orang percaya harus rela melepaskan harga diri, keegoisan dan kepentingan diri. Peristiwa ini memberikan gambaran pengajaran bahwa segala sesuatu untuk kemuliaan Tuhan, bukan kemuliaan diri. Orang percaya harus rela menanggalkan segala atribut kemewahan dunia, nilai diri dan keangkuhan hidup. Tuhan menghendaki sikap rendah hati sebagaimana yang sudah Dia teladankan.
7. Peristiwa penyaliban (Matius 27:32-44), merupakan pendidikan agar orang percaya bertanggungjawab menjaga kesehatan tubuh sebagai bait Allah. Tanggung jawab tersebut tidak hanya sebatas kepada pemeliharaan fisik namun lebih jauh bertanggung jawab atas segala tugas dan panggilan yang Tuhan berikan.
Selama perjalanan sengsara ditempuh-Nya dalam diam, hal ini mengajarkan agar dalam menjalankan tanggung jawab tanpa ada keluh dan sungut-sungut sebagaimana bangsa Israel lakukan ketika berjalan di padang gurun. Dia mengajarkan kepada orang percaya untuk tidak bersungut dan mengeluh dalam kondisi sulit. Kunci dari hal ini adalah senantiasa bersyukur dalam segala keadaan. Melalui peristiwa ini Tuhan juga mengajarkan mengenai pengorbanan bagi sesama dan integritas mulia.
8. Peristiwa kematian di salib (Matius 27:45-56), memberikan pendidikan mengenai percaya. Tuhan menuntut anak-anak-Nya untuk memiliki kepercayaan yang sempurna kepada Tuhan, bahkan dalam situasi tersulit ketika Tuhan seakan tidak hadir menyertai. Kepercayaan total kepada Tuhan ketika berada dalam krisis terendah adalah kepercayaan level tertinggi yang Tuhan kehendaki. Peristiwa ini juga mendidik orang percaya untuk selalu taat kepada kehendak Tuhan dan memberikan diri sepenuhnya bagi terwujudnya kerajaan Allah.
9. Berita kebangkitan (Matius 28:1-10), mengajarkan kepada semua orang percaya bahwa setiap perkataan yang keluar haruslah mengandung integritas. Perkataan dan perbuatan selalu sejalan. Semua perkataan pun harus mengalirkan sukacita, kedamaian dan semangat bagi sesama. Tuhan mengajarkan kekudusan dalam perkataan yang sempurna. Lebih daripada hal itu, kehidupan maupun kematian umat Tuhan dituntut untuk mewariskan perkara-perkara yang mulia bagi orang lain, sama seperti kehidupan dan kematian Tuhan Yesus yang mewariskan janji keselamatan.
KESIMPULAN
Rangkaian perjalanan penderitaan Kristus merupakan pendidikan yang Tuhan berikan kepada orang percaya mengenai bentuk formula kehidupan secara total yang Dia kehendaki. Orang percaya mendapatkan teladan nyata bagaimana kehidupan harus dijalani dan karakter atau sikap apa yang harus dimiliki agar berkenan pada-Nya.
Secara garis besar pendidikan formula kehidupan yang termuat adalah: kasih kepada Tuhan dan sesama sebagai fondasi kehidupan; hidup yang terus terhubung dengan Tuhan melalui doa dan firman Tuhan; perubahan pola pikir/akal budi dan penguasaan diri; kekuatan bertahan dalam penderitaan; pengampunan tanpa syarat; rela melepaskan segala sesuatu, hidup tidak terikat dengan dunia; kerendahan hati, melepaskan egoisme dan kepentingan diri; bertanggung jawab secara total, berintegritas, rela berkorban, hidup penuh syukur tanpa sungut-sungut; percaya sepenuhnya kepada Tuhan dan taat serta mengandalkan-Nya dalam segala perkara. -Andreas Fernando