PANDANGAN LUTHER-CALVIN TENTANG KERJA

Reformasi: Luther-Calvin dan Doktrin Kerja sebagai Panggilan

Luther­


Ketika Luther menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Jerman, ia menerjemahkan istilah Yunani klesis (=panggilan) dalam 1 Korintus 7: 20 dengan istilah Beruf. Sebelumnya, istilah Beruf hanya dikenakan pada jabatan gerejawi. Jabatan-­jabatan gerejawi itu (Amt) merupakan pekerjaan yang berkaitan dengan wilayah supranatural (sakral) dalam kosmologi Thomas. 
PANDANGAN LUTHER-CALVIN TENTANG KERJA SEBAGAI PANGGILAN
Istilah Beruf tidak pernah dipakai untuk menyebut pekerjaan­-pekerjaan ‘sekuler’ yang terpisah dari hal-­hal ‘sakral,’ seperti Allah, gereja, malaikat, dan surga. Kerja ‘sekuler’ hanya merupakan sarana untuk mencukupi kebutuhan sehari-­hari di dalam saeculum ini, atau paling ‘rohani’ sebagai latihan kerendahan hati.

Dengan demikian, pemakaian istilah Beruf dalam konteks modern sebagai suatu panggilan ilahi untuk mengerjakan suatu misi tertentu dalam hidup seseorang pada posisi masing-­masing adalah inovasi orisinil dari Luther. 

Luther mengajarkan bahwa tidak ada keistimewaan pada panggilan imam. Semua orang percaya adalah imam yang terpanggil di dalam posisi (Stand) masing­-masing, termasuk mereka yang berada di posisi-­posisi ‘sekuler.’ Untuk menjawab pertanyaan seseorang yang merasa ‘tidak memiliki panggilan apapun’ dalam hidupnya, Luther menjawab, ‘Bagaimana mungkin? Engkau pasti berada dalam suatu posisi tertentu (Stand).’ Yang dimaksud Luther dengan Stand adalah peran-­peran sosial yang dimiliki seseorang, baik sebagai ayah, petani, atau pejabat dewan kota. Tuhan memanggil kita di dalam posisi­posisi tersebut.

Kerja bagi Luther, bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup tetapi merupakan bagian dari devosi yang menghasilkan puji-pujian kepada Allah. Kita dapat melayani Allah di dalam pelayanan kita kepada sesama melalui Stand kita masing-­masing. Dalam pengakuan

Augsburg, gereja Lutheran menentang ajaran yang mendorong orang untuk meninggalkan ‘kegiatan­kegiatan dunia’ dan hidup membiara demi kesempurnaan Kristen. Sebaliknya, bagi Luther, ‘kegiatan­kegiatan dunia’ itu merupakan perwujudan kasih Kristen secara nyata dalam hal saling memenuhi kebutuhan.

Untuk dapat memahami ajaran Luther tentang panggilan dengan baik, kita harus membedakan pemakaian empat istilah teknis yang dipakai dalam ajaran ini. 

Pertama adalah Beruf, terjemahan dari kalein, yang dalam konteks ini berarti panggilan Tuhan. 

Kedua adalah Stand, berarti posisi dalam jejaring sosial, yang relatif statis sepanjang abad pertengahan, misalnya sebagai raja, pendeta, hakim, petani, pedagang, pelayan, ayah, istri, atau sebagai anak. 

Ketiga adalah Amt, berarti jabatan yang bersifat formal. 

Keempat adalah Befehl, yang berarti tugas atau kewajiban yang harus dikerjakan di dalam jabatan atau posisi seseorang.

Bagi Luther, Stand seseorang ditentukan oleh Allah sendiri. Di dalam Stand itu ada Befehl yang harus dikerjakan. Dalam mengerjakan setiap Befehl, di mana pun Stand seseorang, dan apa pun Amt­nya, setiap orang Kristen harus menyadari bahwa ia sedang mengerjakan panggilan (Beruf) dari Tuhan sendiri. Dengan kata lain, bagi Luther tidak ada Stand atau Amt yang lebih rohani dari yang lain. 

Karena setiap Stand berasal dari Tuhan, maka setiap orang Kristen yang melayani sesamanya dengan rajin di dalam Stand masing-­masing, sesungguhnya sedang menyambut panggilan Tuhan sendiri.108 Bagi Luther, Beruf ini merupakan hak istimewa dari orang percaya. Di luar Tuhan, walaupun seseorang juga berada pada Stand tertentu, ia tidak memiliki panggilan karena tidak beriman

Tidak seperti ajaran kepausan abad pertengahan yang menggunakan kuasa politik untuk memaksakan ajarannya dalam hidup bermasyarakat dan bernegara, Luther sangat menentang hal ini. Juga tidak seperti Thomas Muntzer, ia percaya gereja tidak terpanggil untuk memakai pedang memaksakan reformasi sosial. Gereja tidak boleh mengambil bagian pemerintah dengan mengajarinya bagaimana harus mengatur negara, demikian juga pemerintah tidak berhak untuk mencampuri urusan gereja dengan mendikte keputusan­-keputusan gereja.

Walaupun Luther seolah­-olah membela status quo, ia tidak menutup mata terhadap ketidak adilan yang terjadi di dalam masyarakat. Luther sangat menentang kesewenang­-wenangan yang dilakukan para tuan tanah dan majikan terhadap kaum petani; walaupun ia sama sekali menolak untuk mengadakan revolusi melawan para penguasa lalim dengan kekerasan. 

Pemberontakan berdarah melawan pemerintah, seperti yang dikerjakan oleh para petani Jerman di bawah pimpinan Muntzer, bagi Luther adalah pemberontakan melawan Allah sendiri. Itu sebabnya Luther akhirnya dengan keras menganjurkan pemerintah untuk menggunakan cara apapun, termasuk ‘menikam, membunuh, dan menjerat’ untuk menghentikan para pemberontak itu. 

Bagi Luther, reformasi sosial tidak terjadi sebagai hasil pertumpahan darah untuk mengubah struktur luar, tetapi sebagai hasil dari perubahan hati oleh Injil Tuhan. Suatu perubahan di dalam hati orang percaya yang dikerjakan melalui Firman, oleh Roh Kudus.

Dapat disimpulkan di sini bahwa, bagi Luther, Kristus membersihkan hati manusia, bagian internal yang merupakan ‘the springs of action,’ tetapi Ia tidak secara langsung mengatur tindakan eksternal atau membangun immediate community di dalam mana orang melakukan tindakannya

Calvin

Ajaran Calvin tentang kerja secara garis besar sejalan dengan Luther, walaupun ada beberapa perbedaan mendasar yang diakibatkan oleh perbedaan penekanan teologis dan konteks permasalahan yang dihadapi. P. Marshall mendaftarkan 3 (tiga) perbedaan, yang: 

1.Pertama adalah: Bagi Luther, kita menaati panggilan Tuhan ketika melalui iman kita melayani Tuhan di dalam posisi (Stand) kita masing-­masing (in vocatione), sedangkan bagi Calvin, kerja dari posisi sosial itu sendirilah yang merupakan panggilan Tuhan (per vocationem). 

2.Perbedaan kedua ada pada prinsip ‘manfaat’ dari panggilan. 

Bagi Calvin, setiap panggilan haruslah memiliki ‘manfaat’ secara sosial. Hal ini berkaitan dengan Hakekat manusia yang diciptakan sebagai makhluk yang bersekutu. Dalam hal ini kerja mewujudkan kesaling­tergantungan antar anggota tubuh Kristus. 

Ketika Luther memandang kerja sebagai wujud kasih dalam melayani sesama, ia melihat kerja sebagai sarana memenuhi kebutuhan setiap anggota di dalam masyarakat. Bagi Luther kerja adalah media bagi anugerah pemeliharaan (providensia) Allah. Tetapi ketika Calvin berbicara tentang manfaat sosial kerja, ia menunjuk kepada manfaat dari kerja jejaring sosial itu sendiri, yaitu sebagai perwujudan kemanusiaan kita, yang bersifat sosial, sebagai citra dari Pencipta Yang Tritunggal.

Bagi Calvin, dasar dari jejaring sosial ini adalah keluarga. Dalam menggambarkan ikatan di dalam keluarga, ia memakai metafor yang erat kaitannya dengan kerja sama, yaitu: kuk. Ikatan keluarga diibaratkan sebagai ‘kuk’ yang menyatukan para pekerja

Interdependensi dalam kerja ini, bagi Calvin terwujud dalam pembagian kerja (division of labour), yang pada masa revolusi industri menjadi salah satu sumber alienasi utama bagi seorang pekerja. 

3.Perbedaan ketiga adalah soal Stand. Konsep hierarki masyarakat Luther lebih statis, mirip hierarki abad pertengahan. 

Bagi Luther, Stand seseorang ditentukan oleh Tuhan sehingga setiap orang harus tetap berada pada posisinya masing-­masing. Keengganan Luther untuk mengubah struktur sosial mediaeval ini diakibatkan oleh pemisahan tajamnya antara alam sekuler dan spiritual. Bagi Luther Kristus tidak berurusan dengan negara maupun politik ekonomi.

Hal ini menyebabkan Luther cenderung mempertahankan status quo dengan mempertahankan bentuk kehidupan sosial yang sudah ada. Bagi Luther, Tuhan menghendaki orang percaya untuk tunduk pada ‘pemerintah yang ada di atasnya,’ dan ini memiliki konsekuensi logis hierarki status sosial yang relatif statis dalam Lutheranisme.

Bagi Calvin, Stand yang berbeda-­beda ini ditentukan Tuhan demi efisiensi dan agar setiap orang Kristen menghargai talenta dan keterbatasan masing-­masing. Berbeda dengan Luther, Calvin tidak melarang orang untuk pindah posisi sosial. 

Calvin menafsirkan 1 Korintus 7: 20 semata-mata sebagai usaha Paulus untuk ‘mengoreksi keteledoran seseorang yang mendorong perubahan situasi sosial tanpa alasan yang cukup, digerakkan oleh takhayul atau pengaruh lainnya.’ Calvin hanya menentang usaha mengubah posisi sosial yang semata­-mata disebabkan oleh rasa iri terhadap orang lain, yang berasal dari ketidak­mauan untuk mencukupkan diri dengan keadaan yang diberikan Tuhan. Calvin memandang hierarki sosial secara dinamis, tidak lagi statis seperti hirarki abad pertengahan, dan yang masih tersisa di dalam konsep sosial Luther.

Kita dapat menyimpulkan perbedaan mendasar antara Calvin dan Luther di dalam ajaran vocation terkait erat dengan pandangan mereka tentang society dan apa yang harus dilakukan orang kristen di dalam masyarakat. Bagi Calvin dunia ini mengalami disorder dan tugas orang Kristen adalah secara aktif merestorasi order di dalam masyarakat dengan kedaulatan Allah.

Sedangkan bagi Luther tugas orang Kristen adalah mengerjakan panggilan Tuhan di dalam struktur yang disordered itu tanpa coba mengubah struktur sosial itu sendiri. Luther memandang struktur sosial itu sebagai alat yang diberikan Allah untuk mengekang dosa manusia. Keefektifan struktur itu justru terletak pada superioritasnya. 

Kitalah yang harus ‘menundukkan diri kepada pemerintah yang ada di atas kita’ dan bukannya pemerintah yang harus ‘menundukkan diri di bawah keinginan kita masing­-masing.’ Jadi bagi Luther, kita harus tunduk pada struktur (tentu saja sejauh tidak melanggar hukum Allah), sedangkan Calvin memandang struktur hierarkis sosial ini secara lebih longgar atau fleksibel.

Bagi Luther, konflik (Kampf) yang ada dalam dunia masa kini, yang diakibatkan oleh si Iblis akan dilawan oleh Allah dengan menggunakan dua senjata: nalar dan kasih. Nalar, walaupun sering kali salah tetap dapat dipakai Allah untuk mengawetkan dunia, sedangkan kerusakan ciptaan hanya dapat dipulihkan dengan kasih, walaupun Luther juga menyadari kerapuhan kasih di dalam dunia berdosa yang kejam ini.

BACA JUGA: 6 PRINSIP DASAR ETIKA KERJA KRISTEN

Inilah sebabnya Luther cenderung lebih pasif di dalam hubungan dengan pemerintah jika dibandingkan dengan Calvin dan Bucer. Mengenai hal ini, Troeltsch berpendapat bahwa ajaran vocation Luther lebih dekat ke katolikisme abad pertengahan

Secara umum, para Reformator mengangkat kedudukan kerja ‘sekuler’ di dalam religiositas. Kalau pada masa mediaeval kerja hanya dianggap sebagai sarana memenuhi kebutuhan jasmani, atau pelatihan rohani, pada jaman Reformasi kerja ‘sekuler,’ secara an sich dihargai sebagai pelayanan kepada Tuhan. Kerja dianggap sebagai wujud devosi kepada Allah. PANDANGAN LUTHER-CALVIN TENTANG KERJA SEBAGAI PANGGILAN
Next Post Previous Post